Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

PERDARAHAN POST PARTUM

DISUSUN OLEH:
Try Wahyudi Jeremi Loly
C111 12 296

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Fujiyanto

SUPERVISOR PEMBIMBING:
Dr .dr. Isharyah Sunarno , Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan pasca-salin (PPS)/ postpartum haemorrhage (PPH) merupakan salah satu


penyebab terbesar kematian ibu di seluruh dunia. Data WHO menunjukkan bahwa 35% dari
kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum. Setiap tahun,14 juta wanita
diseluruh dunia mengalami perdarahan post partum. Pada negara berkembang, resiko terjadinya
kematian maternal akibat perdarahan postpartum 1:1000 persalinan. Kebanyakan kematian (99
%) akibat perdarahan post partum terjadi pada negara dengan penghasilan menengah ke bawah
dan hanya 1 % pada negara maju.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia(SDKI) tahun 2012, angka
kematian ibu di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 10.000 kelahiran hidup dimana
perdarahan post partum masih menjadi penyebab utama yaitu 30,3%.Tingginya AKI secara
nasional juga tercermin di tingkat provinsi termasuk diProvinsi Sulawesi Selatan.Pada
tahun2010, jumlah kematian ibu yang dilaporkanoleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kotaterdapat
144 orang atau 77.13 per 100.000 kelahiran hidup. Khusus untuk KotaMakassar, AKI pada tahun
2010 tercatat 3 kasus kematian ibu dari 25.830 kelahiran hidup. Kematian tersebut disebabkan
oleh asma, kehamilan dan persalinan, sedangkan pada tahun 2010, kejadian perdarahan
postpartum adalah 118 kasus dari 149.675 persalinan.
Data register di RSKDIA Pertiwi Makassar tahun 2013, dari 3.741 ibu bersalin
terdapat 318 kasus komplikasi persalinan (8,5%) dan 41 diantaranya adalah perdarahan
postpartum. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni pada tahun
2012 tercatat jumlah kejadian perdarahanpostpartum sebanyak 31 kejadian dari 3.259 ibu
bersalin. Sedangkan kejadian perdarahan postpartum pada tahun 2014 tercatat sebanyak 33
kejadian dari 4.500 ibu bersalin. Sepa
Penyebab PPS yang paling sering adalah uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik
untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone) trauma jalan lahir (trauma),
sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan
gangguan pembekuan darah (thrombin).Pada praktiknya, jumlah PPS jarang sekali diukur secara
objektif dan tidak diketahui secara jelas manfaatnya dalam penatalaksanaan PPS, serta luaran
yang dihasilkan.Selain itu, beberapa pasien mungkin saja membutuhkan intervensi yang
lebihwalaupun jumlah perdarahan yang dialaminya lebih sedikit apabila pasien tersebutberada
dalam kondisi anemis.
Perlunya pencegahan, diagnosis dini, dan manajemen yang benar, merupakan kunci
untuk mengurangi dampak tersebut. Perawatan intrapartum harus selalu menyertakan perawatan
pencegahan perdarahan postpartum dini, identifikasi faktor risiko, dan ketersediaan fasilitas
untuk mengatasi kejadian perdarahan postpartum.

.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Perdarahan postpartum didefinisikan oleh ICD-10 sebagai hemoragik akibat persalinan.
Namun pada keadaan normal, perdarahan memang terjadi pada persalinan. Kesulitan
dalam menentukan jumlah perdarahan dan adanya perbedaan keadaan umum pada
masing-masing ibu dengan perdarahan yang sama, juga menjadi menjadi pertimbangan
dalam menentukan definisi yang dapat mencakup semua perdarahan postpartum.
Oleh karena itu, dibuatlah definisi terbaru yang menjadi 3 level diagnosis. Perdarahan
post partum adalah suatu keadaan yang ditandai dengan:
Level 1Diagnostic Certainty:
Perdarahan pada saluran genital setelah persalinan yang menyebabkan gangguan
maternal yang berat (kematian maternal atau maternal near-miss).
Level 2Diagnostic Certainty:
Perdarahan pada saluran genital setelah persalinan yang diikuti minimal 1 dari
perdarahan abnormal yang terhitung 1000 ml atau lebih, atau perdarahan yang
menyebabkan hipotensi atau memerlukan transfusi darah.
Level 3Diagnostic Certainty:
Perdarahan pada saluran genital setelah persalinan berjumlah 1000 ml atau lebih.
Perdarahan post partum dibagi menjadi:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum
hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum
hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada masa
nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.

2.2 Etiologi
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan post partum, faktor-
faktor yang menyebabkan perdarahan post partum dapat dikategorikan menjadi 4 T, yaitu
Tone, Tissue, Trauma, dan Thrombin.
2.2.1 Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum, dimana 70 %
kasus perdarahan postpartum yang tercatat disebabkan oleh atonia uteri.
Atonia uteri merupakan suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan
mengecil sesudah janin keluar dari rahim.Perdarahan postpartum secara fisiologis di
kontrol oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi
ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus
membesar dan lembek pada palpasi.Atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah
dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus.Atonia
uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :
Manipulasi uterus yang berlebihan,
General anestesi (pada persalinan dengan operasi),
Uterus yang teregang berlebihan :
o Kehamilan ganda
o Fetal macrosomia (berat janin antara 4500 5000 gram)
o Polyhydramnion
Kehamilan lewat waktu
Partus lama
Grande multipara (fibrosis otot-otot uterus)
Anestesi yang dalam
Infeksi uterus (chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia)
Plasenta previa
Solutio plasenta

2.2.2 Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta acreta dan variasinya.
Apabila plasenta belum lahir tiga puluh menit setelah janin lahir, hal itu dinamakan
retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta belum lepas dari dinding
uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan.
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan, tapi apabila terlepas
sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.

Gambar 2. Retensio Plasenta

Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :


- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva )
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis menembus desidva
sampai miometrium sampai dibawah peritoneum ( plasenta akreta perkreta )

Gambar 3. Perlekatan Plasenta


Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan
oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III.
Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).Sisa plasenta yang tertinggal merupakan
penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum.
Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung diagnosa
retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah
persalinan ataupun pada perdarahan post partum sekunder. Apabila didapatkan cavum
uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan curettage.

2.2.3 Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir :
a. Ruptur uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain
grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan
dengan induksi oxytosin. Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan parut section
secarea sebelumnya.

Gambar 4. Ruptur Uteri


b. Inversi uterus
Pada inversi uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri
sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri.Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam
kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Inversi uterus dapat dibagi :
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang
tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar
vagina.
Klasifikasi prolapsus uteri
- Tingkat I : Uterus turun dengan serviks paling rendah dalam introitus vagina
- Tingkat II: uterus sebagian besar keluar dari vagina
- Tingkat III : Uterus keluar seluruhnya dari vagina yang disertai dengan inversio
vagina (prosidensia uteri)

Gambar 5. Pembagian Klasifikasi Inversio Uteri


Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada korpus
uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum
lepas dari dinding uterus.Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak
ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai.
Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri atau
dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawat dengan angka
kematian tinggi ( 15 70 % ). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik
untuk keselamatan penderita.

Gambar 6. Reposisi uteri pervaginam

Gambar 7. Reposisi uteri dengan laparotomi

c. Perlukaan jalan lahir


Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi
karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar,
terminasi kehamilan dengan vacum atau forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi
pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan
vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi
berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan
terjadinya syok.

Gambar 8. Derajat Laserasi

d. Vaginal hematoma
Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai arteri
atau vena yang besar jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan
persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episiotomi.
Perdarahan yang terus terjadi dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada
perdarahan dari laserasi ataupun episiotomy.
Gambar 9. Episiotomi

2.2.4 Thrombin : Kelainan pembekuan darah


Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat,
kelainan pembekuan darah bisa berupa :
- Hipofibrinogenemia
- Trombocitopeni
- Idiopathic thrombocytopenic purpura
- HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count )
- Disseminated Intravaskuler Coagulation
Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit
3. Diagnosis
Dapat disebut perdarahan post partum bila perdarahan terjadi sebelum, selama, setelah
plasenta lahir. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum :
a. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
b. Penurunan tekanan darah
c. Peningkatan detak jantung
d. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
e. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan ditatalaksana sesuai
penyebabnya.
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga
dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan
yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak
dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah,
nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok. Pada perdarahan sebelum
plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena
retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang
terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau
trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan membesar
jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui
adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir.
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum:
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan rahim
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.
Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode antenatal.
Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan.
6. Pemeriksaan radiologi
Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau
radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat
adanyagumpalan darah dan retensi sisa plasenta.
USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko
tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti
plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

4. PENCEGAHAN DAN MANAJEMEN


a. Pencegahan Perdarahan Postpartum
1. Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang
disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja
dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan
antenatal care yang baik.
Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang mempunyai
predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di
rumah sakit.
2. Persiapan persalinan
Sebelum dilakukan persalinan dilakukan pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan
umum serta tanda vital, juga pemeriksaan laboratorium untuk menilai kadar Hb,
golongan darah, PT/APTT dan bila memungkinkan sediakan darah untuk persiapan
transfuse. Pemasangan cateter intravena dengan ukuran yang besar untuk persiapan
apabila diperlukan transfusi.Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung
dilakukan transfusi.
3. Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massase uterus dengan arah gerakan circular sampai
uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik. Massase yang berlebihan atau
terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa
mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan mempercepat kontraksi akan
menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan
postpartum.
4. Penanganan Aktif Kala Tiga
a. Pemberian suntikan oksitosin
- Segera berikan bayi yang telah terbungkus kain kepada ibu untuk diberi ASI
- Letakkan kain bersih diatas perut ibu
- Periksa uterus untuk memastikan tidak ada bayi yang lain
- Memberitahukan pada ibu ia akan disuntik
- Selambat-lambatnya dalam waktu dua menit setelah bayi lahir, segera
suntikan oksitosin 10 unit IM pada 1/3 bawah paha kanan bagian luar
b. Melakukan penegangan tali pusat terkendali
- Berdiri disamping ibu
- Pindahkan klem kedua yang telah dijepit sewaktu kala dua persalinan pada tali
pusat sekitar 5-10 cm dr vulva
- Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (alas dengan kain) tepat
dibawah tulang pubis, gunakan tangan lain untuk meraba kontraksi uterus dan
menahan uterus pada saat melakukan peregangan pada tali pusat, tangan pada
dinding abdomen menekan korpus uteri ke bawah dan atas (dorso-kranial)
korpus.
- Tegangkan kembali tali pusat ke arah bawah bersamaan dengan itu, lakukan
penekanan korpus uteri kea rah bawah dan cranial hingga plasenta terlepas
dari tempat implantasinya
- Jika plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya penegangan tali pusat
dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan lepasnya plasenta, jangan
teruskan penegangan tali pusat. Setelah plasenta terlepas, anjurkan ibu untuk
meneran agar plasenta terdorong ke introitus vagina. Tetap tegang ke arah
bawah mengikuti arah jalan lahir.
- Pada saat plasenta terlihat pada introitus vagina, teruskan kelahiran plasenta
dengan menggunakan kedua tangan. Pegang plasenta dengan kedua tangan
rata dengan lembut putar plasenta hingga selaput terpilin
- Lakukan penarikan secara lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan
selaput ketuban
- Jika terjadi selaput robekan pada selaput ketuban saat melahirkan plasenta,
dengan hati-hati periksa vagina dan serviks dengan seksama
c. Melakukan masase fundus uteri
- Letakkan telapak tangan pada fundus uteri
- Jelaskan tindakan ini kepada ibu dan mungkin merasa tidak nyaman
- Dengan lembut gerakkan tangan secara memutar pada fundus uteri, agar
uterus berkontraksi. Jika tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik, lakukan
penatalaksaan atonia uteri
- Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastikan keduanya lengkap dan
utuh
- Periksa uterus setelah satu hingga dua menit memastikan uterus berkontraksi
dengan baik, jika belum diulangi rangsangan taktil fundus uteri
- Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama satu jam pertama pasca
persalinan dan setiap 30 menit selama satu jam kedua pasca persalinan.

Gambar 10. Penanganan Aktif Kala Tiga


d. Kala tiga dan Kala empat
o Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Study
memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang
mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan
insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada
pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk
memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti mengurangi volume
darah yang hilang dan kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%.
o Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit setelah bayi
lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya justru dapat
menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus mulai
mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari vagina,
uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak keluar
dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik tali
pusat secara hati-hati. Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap,
uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta.
o Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak. Untuk
manual plasenta ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya manual plasenta.
Apabila 30 menit setelah bayi lahir plasenta belum dilahirkan manual plasenta
harus dilakukan tanpa ditunda lagi, tidak menunggu plasenta lahir secara spontan.
o Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan lahir
yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka
trauma ataupun episiotomi segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang
mengeras dan berkontraksi dengan baik.
b. Manajemen Perdarahan Postpartum
Tujuan utama pertolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah
menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat mungkin.
Terapi pada pasien dengan perdarahan postpartum mempunyai 2 bagian pokok :
1) Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga
dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab
perdarahan.Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena.Selama
persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko
perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan
resiko sangat tinggi.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid
dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat
melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat
persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar
obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah
dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan
kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan
Ringer Laktat3.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada
penanganan perdarahan post partum.Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah
perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak
tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang
interstisial.Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat
menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum.Ginjal
normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum
lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup
dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn
darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah
merah3.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat
menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis.Tidak ada cairan koloid yang
terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek
yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan3.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat3.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat
indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi.PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan
infus.Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-
masing unit.
2) Manajemen penyebab perdarahan postpartum
Tentukan penyebab perdarahan postpartum :
a. Atonia uteri
Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan
danperdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 IM atau IV Oral atau rektal
pemberian awal L larutan garam (lambat): 0,2 mg 600 mg
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal
fisiologis dengan40 Bila masih
tetes/menit diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4
jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 Total 1 mg (5 Total 1200 mg atau
per hari L larutan fisiologis dosis) 3 dosis
Kontraindikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi
atau hati-hati secara cepat atau vitium kordis, Asma
bolus hipertensi

Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang
tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan
kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus.Pantau aliran darah yang
keluar.Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga
uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi
bimanual internal
Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan
dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai
pengganti mekanisme kontraksi).Perhatikan perdarahan yang terjadi.Pertahankan
kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus
berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi aorta
abdominalis

Gambar 11. Kompresi Bimanual Interna


Gambar 12. Kompresi Bimanual Eksterna

Kompresi aorta abdominalis


Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak
lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan
yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi
Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba
prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium
(transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap
2 atau 3 jam sesudahnya.
Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap
> 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik
(khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali)
Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
BAB III
Kesimpulan

1. Post partum haemorrhage adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih, sesudah anak
lahir. Perdarahan pasca persalinan terbagi menjadi 2, yaitu ppp dini dan masa nifas
2. Perdarahan pasca persalinan Perdarahan pervaginam 500 ml atau lebih yang terjadi
segera setelah bayi lahir sampai 24 jam kemudian.Perdarahan masa nifas adalah
Perdarahan yang terjadi pada masa nifas 500 ml atau lebih setelah 24 jam bayi dan
plasenta lahir.
3. Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan oleh Atonia uteri,
Robekan (laserasi, luka) jalan lahir., retensio plasenta dan sisa plasenta, Gangguan
pembekuan darah (koagulopati).
4. Gejala klinis yang ditemui adalah Perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah
bayi lahir., Pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, denyut nadi
cepat dan halus, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
5. Diagnosa ditegakkanberdasarkan gejala klinis, Palpasi uterus ,Inspekulo, Laboratorium.
6. Prinsip penanganan adalah menghentikan perdarahan, cegah/ atasi syok., dan ganti darah
yang hilang
DAFTAR PUSTAKA

1. Himpunan Kedokteran Feto Maternal.2016.Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Perdarahan Pasca Salin.Jakarta:, POGI
2. WHO. 2012. WHO Guidelines For The Management of Post Partum Haemorrhage.
3. Edy, E. Jumriani, A. 2015.Faktor risiko kejadian perdarahan postpartum di RSKDIA Pertiwi
Makassar.Riset Informasi Kesehatan, Vol. 5, No. 2.
4.AOM Clinical Practice Guideline Summary. 2016. Postpartum
Hemorrhage.http://bit.ly/AOMPPHCPG
5. Schorn et al. 2017. US Physician and Midwife Adherence to Active Management of Third
Stage of Labor International Recommendations. Journal of Midwifery & Womens Health
6. Colin et al. 2016.Management of Coagulopathy associated with postpartum hemorrhage:
Guidance from the SSCof The ISTH. Journal of Thrombosis and Haemostasis

Anda mungkin juga menyukai