LOMBA VIRTUAL
PEMBACAAN DRAMATIK MONOLOG NINI
TEATER SASTRA WELANG BALI 2023
PENDAFTARAN :
contoh:
MONOLOG NINI - KARYA MOCH SATRIO WELANG - DIBACAKAN OLEH
JASMINE OKUBO (DENPASAR)
11. Peserta yang tidak mengumpulkan tautan video pada batas yang
ditentukan, dianggap mengundurkan diri. Dan uang pendaftaran tidak
dapat dikembalikan.
PENGUMUMAN PEMENANG
HADIAH
JUARA 1
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 1.000.000
JUARA 2
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 700.000
JUARA 3
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 500.000
HARAPAN 1
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 400.000
HARAPAN 2
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 300.000
HARAPAN 3
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 250.000
Nara Hubung:
Admin Teater Sastra Welang
081353767150
TENTANG
TEATER SASTRA WELANG
SEJARAH TERBENTUK
Teater Sastra Welang didirikan oleh Moch Satrio Welang pada tahun
2010. Bergerak di bidang Teater, Penulisan Sastra, Pembuatan Poetry
Video Art dan Musikalisasi Puisi. Memiliki visi dan misi seni untuk
semua.
PROGRAM KERJA
1. Nomor Pementasan :
Drama Orang Kasar 2010, 2011
Drama Presiden Kita Tercinta 2013
Pentas Taman Samaya 2020
2. Festival Monolog : Sawma Awards 2011, 2012, 2014
3. Festival Film : Sawma Movie Awards 2017
4. Lomuisi Tetra Welang ( Lomba Musikasisasi Puisi) 2013, 2019
5. Sayembara Sastra : Siwa Nataraja Award 2015, 2016
6. Sayembara Sastra : Sawtaka Nayyotama 2013, 2014
7. Festival Drama Orang Kasar 2012
8. Lomba Drama Pendek - Cerpen Satrio Welang 2014
9. Album Musikalisasi Puisi :
1. Taman Bunga (2013)
2. Instalasi Bulan dan Matahari ( 2016)
3. Danumaya ( 2020)
10. Video Art : ( Beberapa video tersebut telah diputar di stasiun BALI TV)
1. Video Art Dance Theater, Shri ( Moch Satrio Welang, 2016)
2. Video Puisi Keberangkatan (Risma Putri, Arr. Heri W. Anggara, 2016)
3. Video Puisi Perang ( Dewi Pradewi, Arr. Wendra Wijaya, 2017)
4. Video Puisi Hukuman ( Penyanyi dan Arr. Risma Putri, 2019)
5. Video Art ‘Luka’ Sutardji Calzoum Bachri ( Moch Satrio Welang, 2020).
6. Video Art ‘Surat Kematian Seniman’ ( Moch Satrio Welang, 2021)
11. Penerbitan Buku:
1. Desa Kala Patra, Kumpulan Naskah Drama karya Temu Teater
Mahasiswa Nasional (2009)
2. Karena Aku Tak Lahir dari Batu, Kumpulan 100 Puisi Ibu se-
Indonesia, ( 2011)
3. Trilogi Sastra Kritik Sosial se-Indonesia (2013)
Negeri Sembilan Matahari (Puisi 50 Penyair )
Langit Terbakar Saat Anak-anak Itu Lapar (Puisi 50 Penyair )
Semangkuk Nasi dan Sang Presiden (20 Cerpenis Indonesia)
4. Penjara, Kumpulan 14 Cerpen Tema LGBT (2014)
5. Di Tangkai Mawar Mana, Buku Puisi Cinta 25 Penyair (2014)
6. Kaung Bedolot, Karya Pemenang Sawtaka Nayyotama 2013 (2014)
7. Kupetik Puisi di Langit, Kumpulan Puisi Siswa SMAK Harapan
Denpasar, Bintang Tamu Puisi Pranita Dewi, Orang Rantai dan Puisi
Moch Satrio Welang, Ia Yang Datang Tiap Malam
8. Jatuhnya Sepotong Bulan, Kumpulan Cerpen SMAK Harapan
Denpasar, Bintang Tamu Cerpen Moch Satrio Welang, Jatuhnya
Sepotong Bulan.
Monolog
NINI
Karya: Moch Satrio Welang
PEREMPUAN:
Adakah malam ini seseorang datang? Menjamah tubuhku,
memintal rambut dan jelajahi tiap inci mataku yang hitam, legam.
Sesekali kulempar ringan kerikil kecil ini ke telaga. Genangannya
merambat, menyebar, semakin jauh kemudian lenyap. Tertelan
kerinduan.
PEREMPUAN :
O, Para Dewa, sungguh hidup hanyalah seuntai rambut,
yang memanjang, tipis kemudian terserabut. O, Dewa yang
Agung, di manakah kau sembunyikan keabadian
dan keadilan? Aku hambamu yang malang ini, tak kuasa
memetik gemintang. Hanya sunyi yang merangkulku tiap malam.
Malam kerap datang tanpa bayang, malam yang menjadi suami
sekaligus juga anakku
Di sebuah gubuk kecil di ujung desa ini, aku dan nenekku tinggal.
Tidak seperti penduduk lain yang kebanyakan bertani,
kami mempertahankan hidup dari menjual bunga.
Tentunya bunga yang dipelihara dengan cinta.
Walau bunga hutan sekalipun, akan memancarkan cahaya.
Di tanganku, bunga yang hampir mati terselamatkan.
Di tanganku, rumput yang merana, bahagia.
PEREMPUAN :
Namun hari itu datang. Hari perhitungan dimana segalanya
dipertaruhkan. Hari dimana udara begitu kering.
Sebuah pertanda. Sore itu, sore yang tak biasa. Penduduk
desa ini resah. Wabah penyakit datang. Bayi -bayi menguning
dan kaku. Para manula tersumbat nafasnya. Para pejabat desa,
ibu – ibu rumah tangga, dan lelaki sawah bergumam bahwa
Dewa telah murka seperti yang telah diramalkan oleh Nini.
Sudah berpuluhtahun Niniku mengocehkan bencana,
yang menyebabkan bulu kuduk mereka berdiri. Ocehan
tentang kekalutan. Ramalan kengerian akan melanda. Kelaparan,
kematian, dan malapetaka datang silih berganti tiada henti.
Tak ada yang percaya ocehan Nini. Penduduk desa mulai gerah
akan ulahnya hingga kami berdua dikucilkan, terbuang
di ujung telaga ini, di antara bunga –bunga liar ini. Di antara batu-
batu yang mengubur masa laluku.
Wabah gelap di depan mata. Semua kekuatan magis
telah dikerahkan, namun tak kunjung meredakan
kengerian. Tiga hari sebelumnya, seorang ibu tercekik di sumur
pemandian desa. Tujuh hari sebelumnya, tiga orang laki -
laki ditemukan hanyut di parit dengan luka menganga di leher.
Juga baru siang tadi, sebelum sore yang kering ini datang,
bayi kecil kepala desa ditemukan terbujur kaku. Tubuhnya kuning
membiru. Dukun-dukun desa tetangga berdatangan,
hendak menolong. Mereka merapal mantra dan doa.
Mereka sudah muak! Letih diburu pisau dewa maut. Tubuh mereka
mengurus drastis, tinggal tulang
dan kecemasan yang maha hebat. Dari jarak bermil – mil, mereka
mengular membawa obor menuju ujung telaga, menuju
gubuk kami.
LAMPU FADE IN
(PEREMPUAN DATANG DENGAN MEMBAWA SEBUNTALAN
KARUNG, MEMBAWA SEKOP DAN DUDUK DI SALAH SATU NISAN)
PEREMPUAN :
Kini aku paham apa yang diocehkan Nini bertahun-tahun
lalu. Aku paham bahwa bukan kebenaran yang takut
didengar melainkan ketakutan melihat wajah sendiri saat
bertatapan dengan kebenaran.
Lalu,
yang ini, nisan mewah ini, milik Armandi, pengusaha kaya,
yang mengeruk segalanya. Kerakusan tak terbendung.
Menjadi otak segala pembabatan hutan. Penjualan anak-anak
desa. Ia mengirim upeti ke petinggi-petinggi kota, menghisap darah
desa ini, sampai tulang sum-sum tanpa sisa.
Kalau nisan yang roboh di ujung itu, milik Siti Anisa, kuburan
tanpa semen. Siti pelacur desa yang dijanjikan nikah oleh pacar-
pacarnya, para penjaga pasar. Sungguh malang nasibnya. Siti
yang dijanjikan nikah, malah dibungkam mulutnya,
disumpal, giwang dan kalung imitasi satu-satunya raib
dibawa kabur untuk modal judi. Siti mati ngangkang.
Lubangnya penuh nanah.
PEREMPUAN :
Kalau Arjo, nisannya di baris nomer dua, ya di sebelah
kiri itu. Arjo dibantai habis-habisan karena jadi makelar
jual vaksin gila-gilaan. Arjo menggelapkan dana kesehatan.
Memanfaatkan kesulitan warga yang tertimpa wabah.
PEREMPUAN :
Dulu aku pernah menjadi bunga. Menghias langit dengan
jingga senja. Memetiki bunga dan rerumputan. Berlarian
mengejar kupu-kupu. Bergumam lirih pada kunang –
kunang, berbagi rahasia. Sejak Nini mati, Desa ini mati. Tak ada
lagi kengerian. Tak ada lagi kegaduhan. Hanya tersisa wajah
orang-orang kusam dan kuyu. Kehampaan. Juga mata yang
menghitam. Legam. Tak ada lagi yang bicara. Tak ada lagi
suara. Lidah mereka semua, sudah di sini. Sudah bersamaku.