Anda di halaman 1dari 15

DAFTAR ISI

1. Panduan Program: Lomba ‘Dramatic Reading’


2. Tentang Teater Sastra Welang
3. Naskah Monolog NINI karya Moch Satrio Welang
PANDUAN PROGRAM

LOMBA VIRTUAL
PEMBACAAN DRAMATIK MONOLOG NINI
TEATER SASTRA WELANG BALI 2023

SYARAT DAN KETENTUAN LOMBA:

PENDAFTARAN :

1. Mengirim biaya pendaftaran sebesar Rp. 30.000 ke Rekening BCA


7680455940 a/n Mochamad Zaenal Efendi. Bukti transfer kirim ke WA
panitia. 


2. Peserta membagikan Poster Lomba dan PDF Panduan Program dan


Naskah di 3 Group Whatssap (WAG). Screenshot bukti posting dikirim
ke WA panitia.

3. Peserta membagikan Poster di Akun FB dan Akun Instagram. Juga di


3 Group Facebook. Screenshot bukti posting dikirim ke wa panitia.

4. Usia peserta 15 tahun ke atas.

5. Silahkan mengikuti IG @satriowelang

6. Mengirim: bukti transfer biaya pendaftaran, biodata dan foto peserta


ke WA Panitia (081353767150) yang kemudian akan mendapat
konfirmasi keikutsertaan lomba sebagai peserta.

Biodata berisi Nama, Alamat, TTL, Email, No Hp dan foto

7. Pendaftaran peserta ditutup 30 Desember 2022 pukul 23.59 wita


atau DITUTUP SEWAKTU-WAKTU jika Kuota Peserta telah terpenuhi

PENGUMPULAN VIDEO PEMBACAAN:

1. Peserta melakukan pembacaan dramatik atas Naskah Monolog NINI


karya Moch Satrio Welang yang telah disiapkan panitia. Peserta tampil
membaca bukan menghafal. Pembaca tampak jelas dalam video. Semua
bagian dalam naskah dibacakan termasuk narasi pembuka. Nama tokoh
saat berdialog tidak perlu dibaca, namun langsung dimainkan.

2. Format video: landscape.

3. Durasi video pembacaan maksimal 20 menit di luar bumper opening


dan credit title. Video pembacaan menggunakan sistem sekali
pengambilan (One take)
4. Video pembacaan dramatik monolog diunggah di kanal YOUTUBE
masing-masing peserta dengan format penulisan judul :

MONOLOG NINI - KARYA MOCH SATRIO WELANG - DIBACAKAN OLEH


(NAMA PESERTA) (KOTA PESERTA)

contoh:
MONOLOG NINI - KARYA MOCH SATRIO WELANG - DIBACAKAN OLEH
JASMINE OKUBO (DENPASAR)

5. Membubuhkan hastag 
#mochsatriowelang #sastrawelangbali2023


#teatersastrawelang #monolognini2023
#bacamonolognini_satriowelang2023

6. Video pembacaan tidak boleh diiringi musik, namun boleh


menggunakan efek latar suara semisal rintik hujan, gemercik air, debur
ombak, desau angin, kicau burung, gemerisik daun, petir, suara derap
kuda, riuh pasar, kereta api dan lain-lain, dengan catatan mendukung
suasana adegan yang dimainkan. Volume suara efek ilustrasi latar
tidak menggangu volume vokal utama.

7. Diperbolehkan membubuhkan nama peserta, kota peserta, judul


naskah dan nama pengarang di opening video dan credit title di akhir
video. Durasi opening video maksimal 2 menit, durasi credit title
maksimal 2 menit. Durasi pembacaan monolog maksimal 20 menit.
Total 24 menit. Jika tidak memasang opening video dan credit title pun
tidak apa-apa. Tidak akan mengurangi penilaian pembacaan.

8. Batas akhir pengiriman tautan/link video pembacaan di Youtube


adalah 30 Januari 2023 Pukul 23.59 Wita

9. Pengiriman tautan/link Youtube ke no. WA Teater Sastra Welang


081353767150 untuk Admin dan ke alamat
email mochsatriowelang@gmail.com untuk Dewan Juri.

10. Membagikan tautan/link YouTube ke platform Facebook dengan


menandai 50 kawan. Screenshot bukti posting, dikirim ke WA Panitia

11. Peserta yang tidak mengumpulkan tautan video pada batas yang
ditentukan, dianggap mengundurkan diri. Dan uang pendaftaran tidak
dapat dikembalikan.
PENGUMUMAN PEMENANG

1. Pengumuman pemenang yakni pada tanggal 30 Februari 2023.


Pukul 19.00 WITA di platform Youtube: Moch Satrio Welang atau IG
@satriowelang atau melalui rilis Berita Acara di pesan Whatssap.

2. Penilaian Juara 1, 2, 3, Harapan 1,2,3 ditentukan oleh Dewan Juri.


Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

3. Penilaian untuk Pemenang Piala Favorit ditentukan dari jumlah ‘like’


terbanyak platform Youtube. Penghitungan didapat dari jumlah ‘like’
hingga batas 25 Februari 2023 pukul 2 siang (wita).

4. Kriteria Penilaian (Penghayatan Peran, Vokal, Intonasi, Ekspresi,


Penampilan)

HADIAH

JUARA 1
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 1.000.000

JUARA 2
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 700.000

JUARA 3
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 500.000

HARAPAN 1
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 400.000

HARAPAN 2
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 300.000

HARAPAN 3
memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 250.000

JUARA FAVORIT (Jumlah ‘Like‘ YouTube )


memperoleh Piala, Sertifikat dan Uang Rp. 250.000

Uang hadiah pemenang diberikan


pada tanggal: 30 Maret 2023
melalui transfer rekening

Nara Hubung:
Admin Teater Sastra Welang
081353767150
TENTANG
TEATER SASTRA WELANG 


SEJARAH TERBENTUK

Teater Sastra Welang didirikan oleh Moch Satrio Welang pada tahun
2010. Bergerak di bidang Teater, Penulisan Sastra, Pembuatan Poetry
Video Art dan Musikalisasi Puisi. Memiliki visi dan misi seni untuk
semua.

Moch Satrio Welang lahir di Surabaya, 14 April 1982. Bergabung


pertama kali di Teater Orok Universitas Udayana (2003) dan terlibat
pementasan Drama Caligula ( Teater Orok, 2003), yakni pentas keliling
di tiga kota di Pulau Jawa, yakni Surabaya, Malang dan Yogyakarta.

Pada tahun 2004, ia bergabung bersama Kelompok 108 pimpinan Giri


Ratomo dan terlibat produksi Pentas Drama Death of A Salesman
(Kelompok 108, 2004) yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki
dalam acara Panggung Teater Realis Indonesia - Dewan Kesenian
Jakarta dan dilanjutkan beberapa nomor pertunjukan lainnya setelah
itu.

Selain itu, ia sempat mendukung beragam pementasan produksi Teater


Lajose, Sanggar Poerbatjaraka, Teater Bumi – Abu Bakar, Cok Sawitri,
Pentas Ayu Laksmi Svara Semesta, Jane Chen, Garin Nugroho,
Jatijagat Kehidupan Puisi, Kelompok KitaPoleng, Sanggar Sura
Pradnya, Kelompok Sekali Pentas, Teater Sadewa, Teater Genta Malini,
Teater Solagracia, Komunitas Senja, Teater Lah, Tebo Aumbara, dan
lain sebagainya.

Pada tahun 2009, ia mendirikan penerbit Sastra Welang Pustaka yang


disusul setahun kemudian dengan berdirinya Teater Sastra Welang
(2010).

VISI DAN MISI

Teater Sastra Welang memiliki visi bahwa kesenian teater modern


dapat dinikmati dan diikuti oleh lapisan mana saja di masyarakat.
Sebagian masyarakat masih melihat teater modern sebagai ‘benda
asing’ yang belum menyatu dalam nafas kehidupan mereka sehari-hari.
Penulisan karya sastra pun, Teater Sastra Welang lebih memilih karya-
karya yang secara diksi atau pemilihan kata, penggunaan bahasa masih
dapat dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Tujuan pementasan
drama, penulisan karya sastra, agar ‘pesan’ dapat disampaikan dengan
baik. Ini adalah target utama.
Ruang gerak Teater Sastra Welang adalah teater, sastra dan film
termasuk penyelenggaraan workshop, pementasan, pembuatan klip
video art puisi dan juga penerbitan buku sastra.

PROGRAM KERJA

1. Nomor Pementasan :
Drama Orang Kasar 2010, 2011
Drama Presiden Kita Tercinta 2013
Pentas Taman Samaya 2020
2. Festival Monolog : Sawma Awards 2011, 2012, 2014
3. Festival Film : Sawma Movie Awards 2017
4. Lomuisi Tetra Welang ( Lomba Musikasisasi Puisi) 2013, 2019
5. Sayembara Sastra : Siwa Nataraja Award 2015, 2016
6. Sayembara Sastra : Sawtaka Nayyotama 2013, 2014
7. Festival Drama Orang Kasar 2012
8. Lomba Drama Pendek - Cerpen Satrio Welang 2014
9. Album Musikalisasi Puisi :
1. Taman Bunga (2013)
2. Instalasi Bulan dan Matahari ( 2016)
3. Danumaya ( 2020)
10. Video Art : ( Beberapa video tersebut telah diputar di stasiun BALI TV)
1. Video Art Dance Theater, Shri ( Moch Satrio Welang, 2016)
2. Video Puisi Keberangkatan (Risma Putri, Arr. Heri W. Anggara, 2016)
3. Video Puisi Perang ( Dewi Pradewi, Arr. Wendra Wijaya, 2017)
4. Video Puisi Hukuman ( Penyanyi dan Arr. Risma Putri, 2019)
5. Video Art ‘Luka’ Sutardji Calzoum Bachri ( Moch Satrio Welang, 2020).
6. Video Art ‘Surat Kematian Seniman’ ( Moch Satrio Welang, 2021)
11. Penerbitan Buku:
1. Desa Kala Patra, Kumpulan Naskah Drama karya Temu Teater
Mahasiswa Nasional (2009)

 2. Karena Aku Tak Lahir dari Batu, Kumpulan 100 Puisi Ibu se-
Indonesia, ( 2011)
3. Trilogi Sastra Kritik Sosial se-Indonesia (2013)
Negeri Sembilan Matahari (Puisi 50 Penyair ) 

Langit Terbakar Saat Anak-anak Itu Lapar (Puisi 50 Penyair ) 

Semangkuk Nasi dan Sang Presiden (20 Cerpenis Indonesia)
4. Penjara, Kumpulan 14 Cerpen Tema LGBT (2014)

5. Di Tangkai Mawar Mana, Buku Puisi Cinta 25 Penyair (2014)

6. Kaung Bedolot, Karya Pemenang Sawtaka Nayyotama 2013 (2014)

 7. Kupetik Puisi di Langit, Kumpulan Puisi Siswa SMAK Harapan
Denpasar, Bintang Tamu Puisi Pranita Dewi, Orang Rantai dan Puisi
Moch Satrio Welang, Ia Yang Datang Tiap Malam
8. Jatuhnya Sepotong Bulan, Kumpulan Cerpen SMAK Harapan
Denpasar, Bintang Tamu Cerpen Moch Satrio Welang, Jatuhnya
Sepotong Bulan.
Monolog
NINI
Karya: Moch Satrio Welang

SESOSOK PEREMPUAN TERDUDUK, BERSENANDUNG LIRIH, PEDIH.


IA SENDIRI. USIANYA BARU TIGA PULUH TAHUNAN, NAMUN GURAT
WAJAH YANG LELAH TAK MAMPU BERSEMBUNYI ATAU LARI.
TANGAN KANANNYA MEMBAWA KERANJANG BERISI BUNGA
HUTAN, JUGA ALANG - ALANG. BEBERAPA TANAMAN OBAT DAN
SEDIKIT UMBI – UMBIAN. PEREMPUAN ITU BERSENANDUNG LIRIH,
MATANYA MENERAWANG KE UJUNG PEPOHONAN DIMANA ANGAN -
ANGAN BERSARANG. IA SENANDUNGKAN NADA YANG TAK
TERATUR, KADANG MENINGGI DAN BEGITU TIPIS. SINIS. SISANYA
MENYAYAT.

PEREMPUAN:
Adakah malam ini seseorang datang? Menjamah tubuhku,
memintal rambut dan jelajahi tiap inci mataku yang hitam, legam.
Sesekali kulempar ringan kerikil kecil ini ke telaga. Genangannya
merambat, menyebar, semakin jauh kemudian lenyap. Tertelan
kerinduan.

(PEREMPUAN DI UJUNG TELAGA DENGAN MATA LEGAMNYA, JUGA


BIBIR KERINGNYA, MENDONGENG LIRIH. PERLAHAN IA ARUNGI
RUANG TERGELAP DALAM INGATANNYA. DAN MULAI BERCERITA
SENDIRI. SEPERTI RIBUAN TELINGA YANG IKHLAS TERPASANG,
WALAU DIA TAHU BAHWA HANYA BATU, RERUMPUTAN DAN
TELAGA YANG RELA BERBAGI RUANG DAN KERINDUAN.)

PEREMPUAN :
O, Para Dewa, sungguh hidup hanyalah seuntai rambut,
yang memanjang, tipis kemudian terserabut. O, Dewa yang
Agung, di manakah kau sembunyikan keabadian
dan keadilan? Aku hambamu yang malang ini, tak kuasa
memetik gemintang. Hanya sunyi yang merangkulku tiap malam.
Malam kerap datang tanpa bayang, malam yang menjadi suami
sekaligus juga anakku

Kubisikan pada kunang-kunang. Sebuah desa yang


dikutuk langit, sebuah desa yang dulu pernah memupukku
menjadi bunga.
Kudengar Niniku memanggil
“Pratni, cepat kau petik dan rangkai bunga - bunga ini
sebelum layu dan lapuk. Ingat jangan sampai ada kelopak
yang terbuang, semua itu uang!”

Dulu mataku bercahaya. Rambutku legam. Usiaku baru belasan,


namun aku telah menjadi bunga desa para kumbang.
Akulah yang kerap memekarkan bunga, mewarnai langit dengan
pelangi, menyapu angkasa dengan senja, dan menyemai bintang-
bintang malam untuk kupersembahkan kepada penduduk desa.
Burung - burung bernyanyi karenaku. Ikan dan rerumputan
menari untukku. Penduduk desa yakin dan percaya bahwa
di manapun aku berada, segala kemurungan sirna.
Segala kegundahan terobati.

Di sebuah gubuk kecil di ujung desa ini, aku dan nenekku tinggal.
Tidak seperti penduduk lain yang kebanyakan bertani,
kami mempertahankan hidup dari menjual bunga.
Tentunya bunga yang dipelihara dengan cinta.
Walau bunga hutan sekalipun, akan memancarkan cahaya.
Di tanganku, bunga yang hampir mati terselamatkan.
Di tanganku, rumput yang merana, bahagia.

(PEREMPUAN ITU MELEMPAR PANDANGAN JAUH MENEMBUS


PEPOHONAN)

PEREMPUAN :
Namun hari itu datang. Hari perhitungan dimana segalanya
dipertaruhkan. Hari dimana udara begitu kering.
Sebuah pertanda. Sore itu, sore yang tak biasa. Penduduk
desa ini resah. Wabah penyakit datang. Bayi -bayi menguning
dan kaku. Para manula tersumbat nafasnya. Para pejabat desa,
ibu – ibu rumah tangga, dan lelaki sawah bergumam bahwa
Dewa telah murka seperti yang telah diramalkan oleh Nini.
Sudah berpuluhtahun Niniku mengocehkan bencana,
yang menyebabkan bulu kuduk mereka berdiri. Ocehan
tentang kekalutan. Ramalan kengerian akan melanda. Kelaparan,
kematian, dan malapetaka datang silih berganti tiada henti.
Tak ada yang percaya ocehan Nini. Penduduk desa mulai gerah
akan ulahnya hingga kami berdua dikucilkan, terbuang
di ujung telaga ini, di antara bunga –bunga liar ini. Di antara batu-
batu yang mengubur masa laluku.
Wabah gelap di depan mata. Semua kekuatan magis
telah dikerahkan, namun tak kunjung meredakan
kengerian. Tiga hari sebelumnya, seorang ibu tercekik di sumur
pemandian desa. Tujuh hari sebelumnya, tiga orang laki -
laki ditemukan hanyut di parit dengan luka menganga di leher.
Juga baru siang tadi, sebelum sore yang kering ini datang,
bayi kecil kepala desa ditemukan terbujur kaku. Tubuhnya kuning
membiru. Dukun-dukun desa tetangga berdatangan,
hendak menolong. Mereka merapal mantra dan doa.

Namun tak satu orang pun berhasil. Mereka malah raib


tertelan bumi. Dimanakah muara petaka? Sudah
menjadi kebiasaan turun temurun bahwa tertanam rahasia,
yang setiap lidah tak mampu bercerita.
Yang tertinggal hanyalah kesunyian menggila. Kulihat Niniku
berkeringat. Matanya liar menari dan bibirnya mengoceh
tak henti.
“ Ayo, bakar dupa! Bencana datang! Ini peringatan!”
Niniku yang di ambang ketidaksadaran terengah-engah, nafasnya
berlarian. Aku yang belia bergegas merebus
air, membubuhkan boreh, mengurut dadanya agar sedikit lega.

Memang bertahun-tahun ini, Nini mengoceh, namun


tak satu pun penduduk desa mau percaya dan peduli. Mereka
menutup telinga rapat – rapat. Membungkam ingatan dan
membiarkan keadaan berlalu begitu saja. Toh, tak terjadi apa –
apa seperti yang diramalkan Nini. Bahwa malapetaka akan
datang. Bahwa kegelapan akan mengarungi desa. Keadaan baik –
baik saja. Pasar tetap saja ramai dan segala kegiatan warga
berjalan seperti sedia kala.

Namun kali ini berbeda.


Sore itu begitu kering. Sebelumnya, dua keluarga berduka karena
anak – anak mereka terjerat tali layangan yang mereka
pasang sendiri di halaman rumah. Empat hari
sebelumnya seorang lelaki berperut buncit, terpenggal
kepalanya sehabis menonton layar tancap. Ususnya terburai.
Celananya penuh darah.

Senja merayap cepat. Gelap mengintai menyergap desa


yang kini berduka. Akankah ini ramalan Nini? Inikah
bencana yang sering ia ocehkan? Warga bersikeras tidak
mau percaya, namun mereka tak sanggup menipu diri,
bahwa mayat – mayat telah menggunung, bahwa darah
menggenang dimana-mana, di parit, di sumur, di selokan, di kendi-
kendi tempat air minum dan di mata yang liar, yang takut maut
menjemput. Saat itu penduduk desa berkumpul, ramai
berdebat. Sebuah keresahan masal yang berakhir ujung
pada keputusan bulat. Aku dan Niniku harus disingkirkan. Kami
pun di usir. Kami dibuang ke utara, menjauh dari mereka.
Di sebuah telaga yang jarang dijamah. Telaga terlentang tempat
orang buangan.

Namun anehnya, selepas kepergian kami, wabah di desa


ini tak kunjung sirna. Malapetaka mengintip di sela-sela dedaunan,
merayap tiap dinding rumah, di setiap nafas yang dihembuskan,
di setiap keringat yang bertetesan.Mata penduduk berkilat tajam,
menusuk liar.

Mereka sudah muak! Letih diburu pisau dewa maut. Tubuh mereka
mengurus drastis, tinggal tulang
dan kecemasan yang maha hebat. Dari jarak bermil – mil, mereka
mengular membawa obor menuju ujung telaga, menuju
gubuk kami.

“ Hai, Nenek busuk, keluar kau dari gubuk reyotmu itu!


Atau akan kami bakar sekarang juga!”
“ Lihat apa yang kau lakukan? Kami kehilangan anak – anak kami,
juga istri dan suami-suami kami!”

Dengan paksa mereka mendobrak pintu gubuk kami yang


renta. Aku yang masih belia menangis ketakukan. Nini
terperangah. Tangan –tangan kasar menjambak rambut
putihnya. Mendorong tubuh rentanya tersungkur di halaman.

“ Hai Nini Bangsat! Lihat karena ocehanmu bertahun –


tahun, desa ini jadi benar - benar tertimpa bencana.
Kau harus bertanggung jawab. Cepat potong lidahnya!”

Membabi buta, mereka memegang tangan dan


kaki Nini yang meronta – ronta. Nini tak berhenti mengoceh,
” Ini kutukan! Cepatlah kalian bakar dupa. Sungguh ini kutukan!”
Namun tak ada yang mendengar. Mereka ramai – ramai
memotong lidah Nini, hingga putus mengenaskan. Lidah
yang dipercaya menjadi sumber malapetaka. Lidah yang
meresahkan warga selama bertahun - tahun. Lidah
yang karena ucapannya, kengerian melanda. Lidah
itu kini telah terpotong. Habis.

Aku yang masih belia, bersimbah darah memeluk Nini


yang tersengal-sengal menahan perih. Mereka puas.
Terbebas dari maut ganas. Saat Nini mati. Mati di pelukanku.

Mereka gelar pesta gembira, perayaan atas akhir drama


mencekam yang menghantui hidup bertahun-tahun.

Aku kehilangan kesadaran. Terguncang. Tak ada lagi kupu -


kupu di mataku. Senyum bunga yang dulu bertabur kini sirna.
Kelopaknya jatuh satu persatu, menghitam legam.
Kukubur Nini tepat di ujung telaga.
Kutanami bunga liar. Kunyanyikan kidung kesukaannya.
Kuantar ia dalam upacara keberangkatan. Meninggalkanku sendiri
menghitung batu-batu, dalam kegelapan.

(PEREMPUAN ITU MENEMBANG, LIRIH, PEDIH)


LAMPU FADE OUT

LAMPU FADE IN
(PEREMPUAN DATANG DENGAN MEMBAWA SEBUNTALAN
KARUNG, MEMBAWA SEKOP DAN DUDUK DI SALAH SATU NISAN)

PEREMPUAN :
Kini aku paham apa yang diocehkan Nini bertahun-tahun
lalu. Aku paham bahwa bukan kebenaran yang takut
didengar melainkan ketakutan melihat wajah sendiri saat
bertatapan dengan kebenaran.

Kini di tanah ini, aku tak sendiri. Itu di sana, nisan


yang hanya batu kapur itu, milik Johadi, mantan anggota
partai. Banyak menebar janji, hasut sana, hasut sini. Matinya
menelan racun karena hutang-hutangnya sebanyak janji-janjinya.

Lalu,
yang ini, nisan mewah ini, milik Armandi, pengusaha kaya,
yang mengeruk segalanya. Kerakusan tak terbendung.
Menjadi otak segala pembabatan hutan. Penjualan anak-anak
desa. Ia mengirim upeti ke petinggi-petinggi kota, menghisap darah
desa ini, sampai tulang sum-sum tanpa sisa.

Kalau nisan yang roboh di ujung itu, milik Siti Anisa, kuburan
tanpa semen. Siti pelacur desa yang dijanjikan nikah oleh pacar-
pacarnya, para penjaga pasar. Sungguh malang nasibnya. Siti
yang dijanjikan nikah, malah dibungkam mulutnya,
disumpal, giwang dan kalung imitasi satu-satunya raib
dibawa kabur untuk modal judi. Siti mati ngangkang.
Lubangnya penuh nanah.

Kuburan yang ditengah itu, itu milik Romlah, penjual


udang di pengkolan pasar, yang selalu mengurangi
timbangan. Makan dari hasil kecurangan tipis-tipis, sedikit-
sedikit. Matinya tidak bisa menutup mata.

(PEREMPUAN ITU MULAI MENGGALI TANAH, MEMBUAT LIANG)

PEREMPUAN :
Kalau Arjo, nisannya di baris nomer dua, ya di sebelah
kiri itu. Arjo dibantai habis-habisan karena jadi makelar
jual vaksin gila-gilaan. Arjo menggelapkan dana kesehatan.
Memanfaatkan kesulitan warga yang tertimpa wabah.

Lalu sekumpulan tulang belulang itu, sudah tak terkenali


lagi. Semua menumpuk jadi satu. Yang dulunya terlibat
pertengkaran anjing dan kucing tentang agama kini mati
berangkulan, mengering menjadi tulang-tulang yang pucat
menguning.

Di tumpukan itu pula, tulang para wanita yang gemar


bergunjing dan gemar berhubungan intim dengan suami-suami
tetangga. Juga para lelaki tua yang sibuk menenggak
tuak, menghisap payudara anak – anak gadis. Lalu anak-
anak lelaki yang gemar sabung ayam dan meniduri wanita
setengah baya yang ditinggal suami-suami berjudi.
Perzinahan dan pencurian di mana-mana. Di desa ini pula, aborsi
dimana-mana. Mereka buta. Tak ada yang membakar dupa.
Hati menghitam legam. Selegam rambutku. Selegam mataku.

(PEREMPUAN ITU MEMBUKA BUNTALAN KARUNG,


MENGELUARKAN PULUHAN LIDAH YANG TERPOTONG. TAMPAK
SEGAR, NAMUN AMIS. MEMBUANGNYA SATU PERSATU KE DALAM
LIANG YANG BARU DIBUATNYA)

PEREMPUAN :
Dulu aku pernah menjadi bunga. Menghias langit dengan
jingga senja. Memetiki bunga dan rerumputan. Berlarian
mengejar kupu-kupu. Bergumam lirih pada kunang –
kunang, berbagi rahasia. Sejak Nini mati, Desa ini mati. Tak ada
lagi kengerian. Tak ada lagi kegaduhan. Hanya tersisa wajah
orang-orang kusam dan kuyu. Kehampaan. Juga mata yang
menghitam. Legam. Tak ada lagi yang bicara. Tak ada lagi
suara. Lidah mereka semua, sudah di sini. Sudah bersamaku.

(PEREMPUAN ITU MENGUSAP DAHINYA DENGAN TANGAN YANG


BERLUMUR DARAH, TIGA POTONG LIDAH TERJATUH)

(IA MENEMBANG MENYAYAT)

LAMPU BLACK OUT

Anda mungkin juga menyukai