Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH SENI BUDAYA

“TEATER MODERN”

Disusun Oleh :

1. Alifiana Khairunisa
2. Dea Afifah Ahmad
3. Dhea Cantika Putri
4. Nathia Virgie A A
5. Prameswari Noviarani
6. Safira Salsabila

MAN 1 LAMPUNG TENGAH


TP 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
TEATER MODERN

A.Pengertian

Teater modern adalah sebuah karya yang merupakan curahan perasaan sipengarang yang
biasanya kita kenal sebagai seorang sutradara kalau dalam perfilman. Teater modern ini
sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa? karna teater modern ini banyak
dicurahkan dalam bentuk film. Teater modern ini banyak dikenal dan disukai oleh banyak
orang karena selain banyak nya teater ini menyelimuti hidup masyarakat teater modern ini
juga menyenangkan dan ceritanya tidak bertele-tele dan tidak monoton.

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/13214973#readmore


Teater modern bisa juga dikatakan teater mancanegara. Karena memang lahirnya teater
modern berasal dari luar negeri. Teater modern cenderung ke arah teater mancanegara.
Konsep dan lain sebaginya tentunya menggunakan konsep barat. Walaupun mancanegara
namun kiblatnya tetap konsep barat. Bukan timur tengah atau yang lainnya.

Yang dinamkan ciri-ciri tentunya berhubungan dengan karakter, teknik, hukum yang dipakai,
ceritanya, tema yang diangkat, bahasa, bahkan sampai pada isi ceritanya semuanya diarahkan
pada teater dengan konsep barat. Tidak bisa dipungkiri memang, semuanya harus disetting
seperti itu.

Ciri-ciri Teater Modern sebagai berikut:

1. Teater modern bertolak dari hasil karya sastra.


2. Secara teknik, teater modern bersumber dari konsep teater barat.
3. Teater modern diikat oleh teknik dari hukum dramatologi.
4. Pertunjukan dilakukan ditempat khusus yaitu bangunan yang memisahkan antara
panggung pemain dan penonton.
5. Unsur cerita modern berkaitan dengan peristiwa sezaman.
6. Ungkapan bentuk teater sudah menggunakan idiom-idiom modern (adanya
intermezzo, Sutradara, Lagu-lagu, Ditambah dengan peralatan modern seperti piano
dan lain sebagainya).
7. Bahasa yang digunakan untuk dialog menggunakan bahasa Melayu pasar, atau
berbahasa indonesia.
8. Ada pegangan cerita tertulis berupa naskah Teater

Maka dari ciri-ciri tersebut akan kami uraikan satu-persatu untuk menerangkan masing
masing item yang sudah kami sebutkan diatas agar memperoleh pemahaman yang lebih luas
mengenai ciri-ciri tersebut.

Keterangan mengenai ciri-ciri teater Modern.

Teater modern ini memang berawal dari karya sastra dengan bahasa baku, sesuai dengan
ejaan yang disempurnakan. Namun demikian masih halal apabila melakukan improvisasi
kalimat dengan tidak menggunakan susunan-susunan yang baku. Namun untuk maksud dan
tujuan kalimat tersebut tetap tersampaikan dan bisa difahami penonton. Karya sastra adalah
panduan utamanya dan tetap mengikuti perkembangan bahasa yang telah ada.

Secara teknis, baik teknik pelaksanaan maupun teknik perencanaannya selalu berkiblat pada
konsep barat. Membentuk sebuah cerita dengan konsep barat akan membutuhkan properti
yang tetntunya bervariasi, Asesories yang dipakai tetntunya akan berkaitan dengan konsep
barat.

Teater memang memiliki makna yang sama terhadap interaksi sosial. Teater akan selalu
berkutat pada masalah masalah sosial dalam kehidupan manusia. Setiap cerita yang
dilakonkan akan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga hukum tersebut telah menjadi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat tertentu.
Konflik sosial, masalah sosial, solusi permasalahan akan mewarnai isi cerita teater. Dengan
demikian pertunjukan akan lebih difahami dan dimengerti. Hanya saja agar menarik harus
butuh kreatifitas yang sangat tinggi untuk memodifikasi.

Pertunjukan yang dilaksanakan dipanggung yang dimodifikasi sedemikian rupa, dipisahkan


antara penonton dan pemain. Kesan yang ditampilkan memang terpisah namun tujuan utama
dalah fokus pemain jelas terlihat. Penonton yang menyaksikan dengan jarak tertentu akan
menyaksikan sebuah frame khusus dalam pertunjukan. Panggung memiliki frame atau
bingkai yang jelas dan visualnya terlihat seperti televisi. Kesan home teater juga tercipta
dengan konsep ini. Namun pemisahan penonton dengan panggung pemain bukan syarat
mutlak dalam teater modern. Selama konsepnya modern, panggung tidak begitu berpengaruh
besar.

Isi cerita dalam sebuah naskah teater selalu berkaitan dengan peristiwa sezaman. Artinya
cerita terkini menjadi materi utama dalam membuat naskah. Adapun cerita bisa berupa mitos,
atau legenda masa lalu atau bahkan hanya cerita fiktif, namun settingnya, percakapanya, alur
permasalahannya adalah cerita yang baru update yang tertuang dalam naskah. Memang
peristiwa-peristiwa masa lalu kalau kita teliti lebih jauh, hampir sama dengan peristiwa-
peristiwa saat ini. Karena pada intinya adalah cerita yang berulang. Ada semacam reinkarnasi
peristiwa. Reinkarnasi tokoh lengkap dengan permasalahnya. Sehingga bagaimanapun juga
sejarah akan mempermudah seseorang mebuat konsep cerita serta penokohannya. Pemilihan
peran berkarakter (Protagonis, antagonis) juga lebih mudah didapat.

Pertunjukan lebih menarik jika memang adanya intermezzo, pengkolaborasian antara cerita
yang dinamis. Cerita tidak flat pada kondisi sedih saja, namun fariasi peristiwa akan
menciptakan dinamisasi peristiwa. Penambahan lagu-lagu akan lebih mengantarkan cerita
pada titik penghayatan yang sempurna. Musik menjadi media untuk mengantarkan penonton
lebih cepat masuk dalam sebuah perasaan. Ketika berlakon sedih maka musik pengiring akan
didesain sesuai situasi yang diciptakan. Karakter musik jika bertolak belakang dengan isi
cerita maka gagal mengarahkan penonton pada target yang diinginkan. Peralatan yang paling
mudah didapat saat ini adalah piano. Bahkan saat ini sudah beralih pada keyboard. Mengapa
demikian, sebab keyboard memiliki fiitur-fitur yang dibutuhkan dalam sebuah drama. Piano
menyediakan efek-efek suara yang bervariasi. Suara benda-benda, suara hewan, suara riuh
manusia, suara alat-alat perkusi yang lain semua tercover dalam satu keyboard. Maka sudah
pasti keyboard menjadi pilihan utama untuk mengiringi teater modern.

Bahasa tentu masih menjadi perdebatan, sebab bahasa biasanya menyesuaikan pada bahasa
penonton. Dalam teater modern bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau melayu.
Namun jika dalam masyarakat tertentu yang kurang memahami bahasa melayu atau bahasa
indonesia maka lebih baik menggunakan baha daerah masing-masing. Konsepnya tetap
modern.

Lakon teater akan lebih mudah dimengerti oleh para pemain, maka yang dibutuhkan adalah
naskah sebagai pegangan cerita. Manusia sangat mungkin lupa bahkan melakukan kesalahan.
Bukan masalah daya ingat, tapi kondisi diatas panggung akan mempengaruhi konsentrasi
berakting. Jika seseorang tanpa memiliki naskah, maka yang terjadi adalah improvisasi
ngawur yang berujung pada alur cerita yang kocar-kacir. Penonton akan bingung, sehingga
terkesan abal-abal tanpa adanya naskah. Kalau memang pemain sudah terbiasa
berimprovisasi maka paling tidak ada konsep yang bakalan dilakonkan. Biar tertata.

SEJARAH SENI TEATER MODERN

Teater modern, suatu istilah yang dikaitkan dengan pengaruh dari Barat. Ciri utamanya
lakon-lakon yang dimainkan menggunakan naskah tertulis. Dapat dikatakan, Teater Modern
mulai tumbuh sejak tahun 1920-an (utamanya dalam hal kesusastraan yang terkait dengan
lahirnya naskah-naskah lakon, yang diawali dengan Bebasari karya Rustam Effendi di tahun
1926).

Geliatnya mulai tampak pada tahun 1940-an, dan yang dinilai menonjol adalah Sandiwara
Penggemar Maya, yang pegiatnya kemudian dikenal sebagai pendiri Akademi Teater
Nasional Indonesia (ATNI). Kelompok lain yang dapat disebutkan diantaranya: Tjahaja Asia
(Juli 1942) yang kemudian berganti nama menjadi Bintang Djakarta (Oktober 1942), Bintang
Surabaya (1942) Tjahaja Timur (1943), Ratu Asia (1943 -- Padang Panjang), Pantjawarna
(1945), Raksi Seni (Juli 1948 -- Yogyakarta), dan Front Seniman (Yogyakarta).

Gagasan mendirikan sekolah drama, yang menurut Rosihan Anwar[i] telah digagas sejak
tahun 1942, penting untuk segera direalisir. Sebelum Agresi Militer Belanda ke 2,
Kementerian Penerangan telah mendirikan Cine Drama Instituut (CDI) dengan Direktur Mr
Sudjarwo, wakilnya Iskak, dan urusan administrasi Pak Kasur. Yogya yang diduduki Belanda
membuat CDI hanya bertahan dua bulan, selanjutnya ditutup. Kongres Kebudayaan di
Magelang yang melahirkan Lembaga kebudayaan Indonesia, salah satu hasilnya
merekomendasikan pendirian sekolah sandiwara.

Ini direalisir oleh Sri Murtono (Front Seniman) dengan mendirikan Sekolah Seni Drama dan
Film pada tahun 1950, di mana ia menjadi Kepala Sekolahnya. Ini yang tampaknya menjadi
cikal bakal berdirinya Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) pada tanggal 3 November
1952.[ii] Menyusul kemudian pada pertengahan tahun 1955 berdiri ATNI di Jakarta
(kemudian membuka cabang di Solo pada Maret 1958 dan Bandung) yang oleh Brandon
dinyatakan sebagai Akademi Teater Modern yang pertama di Asia Tenggara. Para alumni
ASDRAFI dan ATNI inilah yang banyak berperan dalam menggerakkan Teater di berbagai
wilayah di Indonesia.

Awal tahun 1950-an, bermunculan berbagai kelompok teater yang aktif melakukan
pementasan. Kota-kota yang menonjol adalah Solo, Jogjakarta, Bogor, Jakarta, Bogor,
Singaradja.[iii] Maraknya kegiatan Teater Modern juga tumbuh di Bandung, Medan,
Makassar, Padang. Palembang. Festival-festival teater mulai diselenggarakan.[iv] Di akhir
tahun 1950-an disebut terjadi "krisis kebudayaan" yang juga berpengaruh terhadap "krisis
teater".

Pada tahun 1962, untuk pertama kalinya diselenggarakan pertemuan nasional di Yogyakarta
yang melahirkan federasi teater Indonesia yang dikenal dengan nama Badan Pembina Teater
Nasional Indonesia (BPTNI). Pada tahun 1960-an, bermunculan lembaga-lembaga
kebudayaan, utamanya yang berlatar belakang partai politik dan agama, yang juga memiliki
organisasi Teater sebagai reaksi dari gerakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Di luar Gedung Kesenian Jakarta yang menjadi tempat pementasan "bermutu" adalah
pementasan-pementasan yang dilangsungkan di Bali Room Hotel Indonesia.[v] Di tempat
inilah kemudian lahir Teater Populer Hotel Indonesia yang memiliki jadwal pementasan rutin
sebulan sekali.

Berdirinya Taman Ismail Marzuki yang kegiatan-kegiatannya dikelola oleh Dewan Kesenian
Jakarta, yang diresmikan pada November 1968, dengan salah satu mata acaranya adalah
pementasan teater (Teater Populer HI, Teater Kecil dan BPTNI[vi]) menjadi satu tonggak
berkembangnya teater modern di Indonesia.

Tiga kelompok teater mendapatkan fasilitas dari DKJ untuk tampil secara rutin di TIM setiap
tiga bulan sekali, yakni Teater Populer, Teater Kecil dan Bengkel Teater, yang mana ini
terkait dengan target bahwa setidaknya ada pementasan Teater minimal sebulan sekali.

Tampaknya inilah yang memunculkan julukan "Tiga Pendekar" teater yakni Teguh karya,
Arifin C. Noer dan WS Rendra.Di luar tiga kelompok tersebut, dilakukan seleksi yang cukup
ketat bagi kelompok yang ingin melakukan pementasan di TIM, atau jikapun dapat tampil
terkait dengan event yang diselenggarakan seperti "Drama Tiga Kota", "Drama Empat Kota"
dan sebagainya. Tercatat diantaranya kelompok dari Bandung, Surabaya, Kudus, Makasar,
Medan, Bogor, Banjarmasin, Bandar Lampung, pernah mendapat kesempatan pada rentang
tiga tahun awal berdirinya TIM.

Diselenggarakannnya Festival Teater Remaja (FtR) pada tahun 1973 menjadi titik baru yang
membangkitkan gairah bermunculannya kelompok-kelompok teater khususnya di Jakarta.
Perangsang yang diberikan adalah adanya "uang pembinaan" bagi kelompok terbaik dan bagi
kelompok yang mendapatkan predikat terbaik selama tiga tahun berturut-turut mendapatkan
fasilitas melakukan pementasan di TIM. FTR yang kemudian berubah nama menjadi Festival
Teater Jakarta (FTJ) masih berlangsung rutin setiap tahun hingga saat ini. (***)

[i] Lihat, "Ke Arah Sekolah Sandiwara Buat indonesia", Majalah siasat, Nomor 15 Tahun
IV, 29 Januari 1950,
[ii] ASDRAFI kemudian membubarkan diri pada tahun ajaran 1980/1981 karena dinilai tidak
mampu menyelenggarakan pendidikan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1961 (Lihat "ASDRAFI dan ASTER Bubarkan Diri", Masa Kini, 9 Juli 1981).

[iii] Lihat Wirawan Respati, "kegiatan Drama Panggung Di Daerah-Daerah" Majalah Aneka,
Nomor 36 tahun VIII, 20 Pebruari 1958.

[iv] Seperti di Bogor yang setiap tahun menyelenggarakan Festival pada periode 1955-1959;
Surabaya (26-30 Maret 1956); Sumatra Utara (1956), Palembang (1958)

[v] Tampaknya menarik untuk melacak sejak kapan Bali Room Hotel Indonesia terbuka
untuk pementasan teater. Ini tampaknya menjadi kebanggan pula bagi suatu group teater jika
dapat tampil di Hotel Indonesia. Awal tahun 1965, misi kesenian dari Yogyakarta sudah
tampil di Bali Room HI. BPTNI pada tahun 1996 & 1967 telah membuat Parade Drama
Arena, Pekan Bhakti Kesenian Hotel Indonesia. Proses para pegiat teater di tempat ini
kemudian melahirkan Teater Populer Hotel Indonesia yang dipimpin oleh Tim Kantoso
Danumihardja, dengan 14 orang pegiat teater di awal pendiriannya.

[vi] Teater Populer HI menampilkan lakon JANGAN KIRIMI AKU BUNGA karya
Norman Barash & Karl Moore, terjemahan Wahab Abdi, dengan sutradara Teguh Karya (11
November 1968). Sedangkan Teater Kecil mementaskan MATA PELADJARAN karya
Eugene Ionesco dan PEMBURU PERKASA (13 November 1968) dan BPTNI mementaskan
LAUTAN BERNJANJI karya Putu Widjaja (14 November 1968).

Anda mungkin juga menyukai