Anda di halaman 1dari 6

HYPERTIROID

1. Diagnosis
a. Anamnesa
Pada anamnesis hal yang perlu ditanyakan ialah gejala utama yang dikeluhkan
oleh pasien, riwayat penyakit pasien sebelumnya, dan riwayat penyakit keluarga.
Gejala yang sering dikeluhkan ialah gejala sering letih, mual, muntah, kulit hangat,
lembab dan berkeringat. Mencari informasi riwayat penyakit secara mendetail
diperlukan untuk membantu penegakan diagnosis. Anamnesis dapat memberikan
informasi apakah keadaan ini merupakan keadaan fisiologik ibu hamil atau suatu hal
patologik.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda-tanda hipertiroid secara sistemik dan keadaan kelenjar tiroid
secara spesifik. Pemeriksaan fisik dan tes fungsi tiroid berulang setiap 2-3 minggu
dianjurkan.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan ialah pemeriksaan kadar serum
TSH dilanjutkan dengan kadar T4, fT4 dan T3. Penurunan kadar TSH dalam
kehamilan merupakan akibat stimulasi tiroid oleh tingginya kadar hCG. Diagnosis
hipertiroid dalam kehamilan terlihat dengan adanya penurunan kadar TSH dan
peningkatan kadar T3 dan/atau T4. Menurut American Thyroid Association (ATA)
dan Endocrine Society (ES), kadar TSH yang direkomendasikan pada trisemester
pertama kehamilan sebesar 0,1 hingga 2,5 mU/l; trimester kedua sebesar 0,2 hingga
3,0 mU/l dan trimester ketiga sebesar hingga 3,0– 3,5 mU/l. Adapun hasil penelitian
dari Iran yang menggunakan Roche Diagnostics (Germany) didapatkan referensi
rentang untuk FreeT4 (Ft4) trimester pertama sebesar 0.8–1.53 ng/dL, trimester
kedua sebesar 0.7–1.20 ng/dL dan trimester ketiga sebesar 0.7–1.20 ng/dL. Untuk
T4 pada trimester pertama sebesar 7.31–15.00 µg/dL, trimester kedua sebesar
8.92–17.38 µg/dL, dan trimester ketiga sebesar 7.98–17.70 µg/dL. Selain itu, untuk
T3 pada trimester pertama sebesar 0.90–2.51 ng/mL, trimester kedua sebesar 1.99–
2.87 ng/mL dan trimester ketiga sebesar 1.20–2.70 ng/mL.
2. Klasifikasi
Tiga Klasifikasi Hypertiroid dalam kehamilan, diantaranya sebagai berikut :
a. Graves’ disease
Penyakit Graves adalah penyakit autoimun di mana hipertiroidisme disebabkan oleh
produksi auto antibodi yang diarahkan melawan reseptor TSH dan merangsang
kelenjar tiroid untuk meningkatkan produksi hormon tiroid.
a. Multinodular toxic goiter
b. Solitary toxic adenoma
Hipertiroidisme yang disebabkan oleh gondok toksik multinodular atau adenoma
soliter toksik tidak dianggap berasal dari autoimun, tetapi berkembang dari otonomi
tiroid, di mana sintesis hormon tiroid terjadi secara independen dari regulasi oleh
TSH. Otonomi tiroid seperti itu sering dilihat sebagai konsekuensi akhir dari
defisiensi yodium.
3. Komplikasi
a. IBU
1) Gangguan fungsi Ventrikel
2) Gagal jantung kongestif
3) Krisis tiroid
4) Hipertensi gestational
5) Plasenta abrupsi
6) Plasenta premature
7) Abortus
8) Perdarahan Post partum
b. JANIN
1) IUGR (Intrauterine Growth Restriction)
2) Prematuritas
3) BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
4) Gangguan Fungsi Tiroid
5) Malformasi kongenital
6) Kelahiran mati
4. Penatalaksanaan
Pengobatan hipertiroidisme pada kehamilan penting untuk menghindari komplikasi ibu, janin,
dan neonatus. Tujuan terapi hipertiroidisme pada kehamilan adalah menormalkan fungsi tiroid
dengan dosis obat antitiroid paling minimal. Pengobatan ditargetkan agar kadar fT4 terdapat pada
nilai batas atas normal.3 Dosis obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan hipotiroidisme dan
struma pada janin. Pemantauan berkala setiap 2 minggu pada awal terapi dan setiap 4 minggu bila
target eutiroid sudah tercapai. Terapi obat anti-tiroid sebaiknya tidak dihentikan sebelum kehamilan
32 minggu sebab dapat berisiko terjadi relaps.
Dua obat anti-tiroid yang efektif dan aman untuk mengendalikan hipertiroidisme pada
kehamilan, yaitu propiltiourasil (PTU) dan metimazol. Keduanya menekan sintesis hormon tiroid dengan
cara menghambat organifikasi iodium di dalam kelenjar tiroid. Efek samping yang pernah dilaporkan
adalah aplasia kutis pada janin ibu hamil yang menggunakan metimazol. Namun secara umum,
keduanya aman digunakan pada kehamilan. Pada trimester I lebih dianjurkan untuk menggunakan PTU
karena terdapat risiko kelainan kongenital yang pernah dilaporkan pada penggunaan metimazol; setelah
kehamilan 12 minggu metimazol dapat digunakan terutama bila khawatir terhadap efek samping
hepatotoksik dalam penggunaan PTU pada ibu. Risiko hipotiroid pada janin akibat kedua obat tidak
berbeda. Dosis awal obat PTU adalah 150-450 mg per hari (dibagi dalam 3 dosis), sedangkan dosis
metimazol 20-40 mg per hari (dibagi dalam 2 dosis). Perbaikan klinis akan tampak sesudah beberapa
minggu terapi, fungsi tiroid akan normal dalam 3-7 minggu. Perbaikan klinis yang dimaksud adalah
kenaikan berat badan dan berkurangnya takikardi, sehingga dosis obat anti-tiroid dapat diturunkan
menjadi separuh. Kehamilan sendiri sebenarnya mempengaruhi perjalanan penyakit Graves karena
peningkatan hormon progesteron menekan fungsi limfosit, sehingga mengurangi keaktifan autoimun
penderita Graves. Hal itu ditandai dengan penurunan kebutuhan obat anti-tiroid seiring peningkatan
usia kehamilan, namun dapat meningkat kembali setelah 3 bulan pasca melahirkan.Bila terjadi
eksaserbasi atau perburukan klinis, maka dosis obat anti-tiroid dapat dinaikkan kembali. Kebanyakan
pasien tidak membutuhkan pengobatan anti-tiroid lagi setelah kehamilan di atas 26-28 minggu. Efek
samping yang pernah dilaporkan adalah ikterus kolestatik dan agranulositosis. Pasien dengan gejala
hipermetabolik mendapat obat penyekat beta, seperti atenolol dan propranolol, selama beberapa hari.
Baik PTU maupun metimazol dapat melewati sawar plasenta, jika dalam dosis besar dapat
menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Pada ibu menyusui, obat anti-tiroid dapat terus
diberikan bila dosis PTU 600 mg), alergi obat anti-tiroid, pasien tidak taat berobat, dan struma sangat
besar. Terapi iodium radioaktif merupakan kontraindikasi pada kehamilan sebab dapat melewati
plasenta dengan risiko terapi iodium radioaktif berupa hipotiroidisme pada bayi dan retardasi mental
5. Prognosis penyakit
Krisis tiroid pada Anak
1. Manifestasi klinis
a. Riwayat tirotoksikosis sebelumnya
b. Gejala umum: hiperpireksia, banyak keringat, penurunan berat, distres napas,
mudah lelah, lemah.
c. Gejala saluran cerna: mual, muntah,diare, nyeri perut, ikterus.
d. Gejala kardiovaskuler: aritmia, takikardi, hipertensi bisa berakhir dengan hipotensi,
syok, dan gagal jantung.
e. Gejala neurologis: agitasi, hiper-refleksi, tremor, kejang sampai koma
f. Tanda tirotoksikosis: exophthalmus dan goiter
g. Faktor pencetus: sepsis, pembedahan, anestesi, terapi iodium radioaktif, obat
(pseudoefedrin, salisilat, kemoterapi), pemberian hormon tiroid berlebihan,
penghentian terapi antitiroid, ketoasidosis diabetik, trauma langsung terhadap
kelenjar tiroid.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Peningkatan T3, T4, FT4, kadar TSH menurun.
b. Lekositosis dengan shift to the left.
c. Tes fungsi hati menunjukkan kelainan yang tidak khas: peningkatan alanine
aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST), alkaline phosphatase,
dan serum bilirubin.
3. Pemeriksaan penunjang lain (sesuai indikasi):
a. Radiografi toraks : untuk mendeteksi edema paru dan pembesaran jantung (gagal
jantung) dan juga adanya infeksi paru.
b. EKG : untuk memonitor aritmia fibrilasi atrial dan takikardi ventrikular

Sumber: Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia Diagnosis dan
Tata Laksana Hipertiroid. 2017
4. Penatalaksanaan Krisis tiroid
1. Terapi awal terdiri dari:
a. Mencari penyebab dan mengobati pencetus.
b. Menurunkan secara cepat konsentrasi serum hormon tiroid dan mengganggu
aksi perifer hormon tiroid.
2. Terapi pilihan pertama adalah PTU karena memblok konversi T4 ke T3.
PTU 100-200 mg tiap 4-6 jam oral atau melalui NGT.
3. Iodides (SKKI) 8-10 tetes tiap 8 jam untuk menghambat pelepasan hormon yang
belum terbentuk dari kelenjar, harus diberikan paling tidak 1 jam sesudah pemberian
PTU.
4. Propanolol 2mg/kgBB/hari per oral akan memblok efek adrenergik dari hormon tiroid
dan menghambat konversi T4 menjadi T3.
5. Glukokortikoid :
a. Hidrokortison 2 mg/kgBB IV bolus, dilanjutkan dengan 36-45mg/ m2 /hari, dibagi
dalam 6 dosis.
b. Hidrokortison 5mg/kgBB (hingga 100mg) IV setiap 6-8 jam.
c. Dexametason 0,1-0,2 mg/kgBB/hari dibagi dalam setiap 6-8 jam
(Almomin et al., 2016; Andersen & Laurberg, 2016; Moleti et al., 2019; Pramono & Soebijanto,
2016; Yati, 2017)
Almomin, A., Mansour, A., & Sharief, M. (2016). Trimester-Specific Reference Intervals of
Thyroid Function Testing in Pregnant Women from Basrah, Iraq Using
Electrochemiluminescent Immunoassay. Diseases, 4(4), 20.
https://doi.org/10.3390/diseases4020020
Andersen, S. L., & Laurberg, P. (2016). Managing hyperthyroidism in pregnancy: Current
perspectives. International Journal of Women’s Health, 8, 497–504.
https://doi.org/10.2147/IJWH.S100987
Moleti, M., Di Mauro, M., Sturniolo, G., Russo, M., & Vermiglio, F. (2019). Hyperthyroidism in
the pregnant woman: Maternal and fetal aspects. Journal of Clinical and Translational
Endocrinology, 16(March), 100190. https://doi.org/10.1016/j.jcte.2019.100190
Pramono, L. A., & Soebijanto, N. (2016). Pengelolaan Penyakit Graves pada Kehamilan.
Cermin Dunia Kedokteran, 43(6), 435–439.
http://cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/72
Yati, N. P. (2017). Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Diagnosis dan Tata
Laksana Hipertiroid. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2–19.
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Panduan-Praktik-Klinis-
Diagnosis-dan-Tatalaksana-Hipertiroid.pdf

Anda mungkin juga menyukai