Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Hipertiroid adalah hipersekresi produksi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Sebagian besar
kasus hipertiroid pada anak kurang dari 18 tahun adalah penyakit Graves. Penyakit Graves (PG)
merupakan penyakit autoimun dengan insidens 0,1-3 per 100.000 anak. Insidensnya meningkat sesuai
umur, jarang ditemukan pada usia sebelum 5 tahun dengan puncak insidens pada usia 10-15 tahun.
Perempuan lebih sering dibandingkan lelaki dan riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
meningkatkan risiko PG sebesar 60%. Penyakit ini dapat bersamaan dengan penyakit autoimun
lainnya, misal dengan diabetes melitus tipe-1. Remisi dan kekambuhan yang tinggi merupakan
masalah PG bergantung dari usia pasien, derajat tirotoksikosis saat diagnosis, respons terapi awal, dan
kadar TRAb (Thyrotropin receptor antibodies).
Hipertiroid neonatal terjadi saat prenatal dan muncul pada beberapa hari atau beberapa
minggu setelah lahir dari ibu penderita penyakit graves selama hamil, biasanya bersifat transien.
Insidensnya 1-2% dari ibu penderita penyakit graves atau 1 dari 4.000-50.000 kelahiran. Lebih sering
ditemukan pada lelaki dari pada perempuan. Angka kematiannya 25% yang biasanya disebabkan oleh
gagal jantung. Hipertiroid neonatal terjadi karena transfer TRSAb (TSH receptor-stimulating
antibodies) dari ibu ke bayi melalui plasenta.
Krisis tiroid, suatu keadaan hipermetabolik yang mengancam nyawa, dipicu oleh pelepasan
hormon tiroid yang berlebihan pada penderita hipertiroid.
Krisis tiroid hampir selalu fatal jika tidak ditangani segera, diagnosis cepat dan terapi yang agresif
sangat diperlukan untuk mengatasi kegawatannya (Angka kematiannya 10-20%).

KRITERIA DIAGNOSIS
Hipertiroid neonatal
• Manifestasi klinis
-- Riwayat kehamilan: penyakit autoimun pada ibu dan obat antitiroid yang diminum.
-- Sebagian besar bayi lahir prematur, pertumbuhan intrauterin terhambat.
-- Mikrosefali, sutura sempit, kraniosinostosis.
-- Goiter, eksoftalmus, flushing, peningkatan suhu tubuh.
-- Iritabel, sangat gelisah, hiperaktif, takipnea, hiper-refleksi.
-- Takikardi (denyut jantung >160x/menit), aritmia, pembesaran ventrikel jantung, gagal jantung, dan
hipertensi.
-- Pada keadaan yang berat dapat terjadi penurunan berat badan yang progresif.
• Pemeriksaan Laboratorium
-- Peningkatan kadar T4/FT4, T3/FT3, kadar TSH menurun, TRAb positif pada ibu dan anak.
• Pemeriksaan TRAb pada ibu hamil sebaiknya dilakukan pada kehamilan 20 – 24 minggu. Bila
TRAb ibu tinggi, sangat berisiko bayi yang dilahirkan mengalami tirotoksikosis neonatal. Bila TRAb
ibu negatif, tidak akan ada risiko tirotoksikosis neonatal.

TATA LAKSANA
Hipertiroid neonatal
• Terapi harus segera dimulai untuk mencegah gagal jantung (jangka pendek) dan kraniosinostosis
serta gangguan kognitif di kemudian hari (jangka panjang).
• Pilihan terapi adalah methimazole (MMI) dengan dosis 0.2-0.5 mg/kgBB/hari dibagi 1 sampai 3
dosis.
• Durasi terapi 2-4 minggu tapi bisa sampai 3 bulan.
• Jika MMI tidak tersedia atau terdapat efek samping terhadap MMI, maka bisa diberikan PTU hanya
untuk jangka pendek.
• Lugol iodine 1-3 tetes /hari bisa ditambahkan dalam kasus yang berat untuk menghambat sekresi
hormone tiroid.
• Jika terdapat gejala hiperaktivitas simpatetis seperti takikardi, hipertensi, kesulitan minum, maka
ditambahkan propranolol 2mg/kgBB/hari.
• Perawatan NICU diperlukan jika terdapat ketidakstabilan hemodinamik, gagal jantung atau gagal
nafas. Dalam kondisi ini bisa ditambahkan prednisolone 2 mg/kgBB dibagi 1-2 dosis terbagi.
• Pemberian terapi harus dititrasi sampai tercapai kondisi eutiroid.
• Pemberian Air susu ibu (ASI) tetap disarankan.
Pemantauan
• Fungsi tiroid harus diukur setiap minggu sampai stabil dan sesudahnya diperiksa setiap 2 minggu.
• Perlu dievaluasi terhadap gangguan perkembangan, kraniosinostosis, dan mikrosefali.
• TRAb Setiap tahun.

Hipertiroid pada anak (penyakit Grave)


a. Manifestasi klinis
 Riwayat penyakit autoimun pada penderita dan keluarga.
 Gejala dan tanda sesuai tabel 1
 Pemeriksaan kelenjar tiroid: Goiter (konsistensi, noduler, nyeri), murmur, dan bruit.
b. Pada penderita dengan pembesaran tiroid simetris disertai dengan kelainan mata (orbitopathy),
sangat mungkin penyakit Grave sehingga tidak perlu mencari penyebab lebih lanjut.
c. Pemeriksaan laboratorium:
 Kadar T4/FT4 dan T3/FT3 meningkat, kadar TSH menurun, dan TRAb positif.
d. Pemeriksaan radiologi
 Skintigrafi: Uptake iodium meningkat.
 Skintigram dengan 123I maupun 99mTc sebaiknya dilakukan bila ada kecurigaan Toxic
Adenoma (TA) atau Toxic Multinodular Goiter (TMNG).
 USG (colour doppler): penilaian aliran darah tiroid dan dapat membedakan PG dan tiroiditis
destruktif. Bila kelenjar tiroid tidak noduler tanpa orbitopathy, perlu pemeriksaan TRAb dan
RAIU untuk membedakan PG dengan sebab lain.
 Bila kelenjar tiroid tidak noduler tanpa orbitopathy, perlu pemeriksaan TRAb dan RAIU
untuk membedakan PG dengan sebab lain.

Tabel 1: Tanda dan gejala penyakit Grave pada anak

Krisis tiroid
• Manifestasi klinis
-- Riwayat tirotoksikosis sebelumnya
-- Gejala umum: hiperpireksia, banyak keringat, penurunan berat, distres napas, mudah lelah, lemah.
-- Gejala saluran cerna: mual, muntah,diare, nyeri perut, ikterus.
-- Gejala kardiovaskuler: aritmia, takikardi, hipertensi bisa berakhir dengan hipotensi, syok, dan gagal
jantung.
-- Gejala neurologis: agitasi, hiper-refleksi, tremor, kejang sampai koma
-- Tanda tirotoksikosis: exophthalmus dan goiter
-- Faktor pencetus: sepsis, pembedahan, anestesi, terapi iodium radioaktif, obat (pseudoefedrin,
salisilat, kemoterapi), pemberian hormon tiroid berlebihan, penghentian terapi antitiroid, ketoasidosis
diabetik, trauma langsung terhadap kelenjar tiroid.
• Pemeriksaan laboratorium:
-- Peningkatan T3, T4, FT4, kadar TSH menurun.
-- Lekositosis dengan shift to the left.
-- Tes fungsi hati menunjukkan kelainan yang tidak khas: peningkatan alanine aminotransferase
(ALT), aspartate aminotransferase (AST), alkaline phosphatase, dan serum bilirubin.
• Pemeriksaan penunjang lain (sesuai indikasi):
-- Radiografi toraks : untuk mendeteksi edema paru dan pembesaran jantung (gagal jantung) dan juga
adanya infeksi paru.
-- EKG : untuk memonitor aritmia fibrilasi atrial dan takikardi ventrikular
Tabel 2: Skoring untuk mendiagnosis krisis tiroid.

Krisis tiroid
• Terapi awal terdiri dari:
-- Mencari penyebab dan mengobati pencetus.
-- Menurunkan secara cepat konsentrasi serum hormon tiroid dan mengganggu aksi perifer hormon
tiroid.
• Terapi pilihan pertama adalah PTU karena memblok konversi T4 ke T3.
-- PTU 100-200 mg tiap 4-6 jam oral atau melalui NGT.
• Iodides (SKKI) 8-10 tetes tiap 8 jam untuk menghambat pelepasan hormon yang belum terbentuk
dari kelenjar, harus diberikan paling tidak 1 jam sesudah pemberian PTU.
• Propanolol 2mg/kgBB/hari per oral akan memblok efek adrenergik dari hormon tiroid dan
menghambat konversi T4 menjadi T3.
• Glukokortikoid :
-- Hidrokortison 2 mg/kgBB IV bolus, dilanjutkan dengan 36-45mg/m 2/hari, dibagi dalam 6 dosis.
Atau
-- Hidrokortison 5mg/kgBB (hingga 100mg) IV setiap 6-8 jam. Atau
-- Dexametason 0,1-0,2 mg/kgBB/hari dibagi dalam setiap 6-8 jam

Hipertiroid pada anak (penyakit Grave)

a. Terapi medikamentosa
1. Obat antitiroid diberikan sebagai terapi pilihan utama pada anak dengan PG.
 Methimazole (MMI): dosis 0,2 – 0,5 mg/kg hari dalam jangka waktu 1-2 tahun
 Titrasi dosis dengan pedoman fungsi tiroid.
 Sebelum pemberian obat anti-tiroid, periksa darah tepi lengkap, fungsi hepar (bilirubin,
transaminase dan alkali fosfatase).
 Hentikan obat jika anak mengalami demam, atralgia, luka-luka di mulut, faringitis atau
malaise, dan dilakukan pengukuran hitung lekosit.
2. Apabila tidak mengalami remisi dalam 2 tahun lakukan dievaluasi terhadap kepatuhan
pengobatan, efek samping obat, dan dievaluasi kembali pengobatan yang diberikan. Dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan tiroidektomi.
3. Jika dalam keadaan tidak tersedia MMI, maka bisa diberikan PTU dengan dosis awal 5-7
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis dengan pengawasan ketat terutama terkait dengan fungsi hati.
4. PTU harus dihentikan jika kadar transaminase meningkat 2-3 kali lipat di atas kadar normal
dan gagal membaik dalam 1 minggu setelah diulang tes tersebut.
b. Terapi simtomatik
 Beta adrenergic blocker (misal propranolol, atenolol, metoprolol) direkomendasikan untuk
anak dengan hipertiroid yang denyut jantungnya > 100x/menit.
 Beta adrenergic blocker bisa dihentikan ketika kadar hormon tiroid sudah mencapai normal.
 Dosis propanolol: 0.5 – 2 mg/kg/hari.
c. Terapi pembedahan
 Jika pembedahan dipilih sebagai terapi untuk anak dengan PG, maka dilakukan near-total
tiroidektomi
 Pembedahan harus dilakukan oleh ahli bedah tiroid yang berpengalaman.
 Setelah terapi pembedahan anak memerlukan terapi sulih atau pengganti hormon tiroid
seumur hidup.
d. Radioterapi
 Radioterapi dilakukan dengan 131I, belum termasuk first line therapy di Indonesia. Tujuan
radioterapi adalah menjadikan penderita hipotiroid. Dosis radioterapi sesuai dengan protokol
yang berlaku pada masing-masing pemberi pelayanan radioterapi.

Pemantauan
 Pemeriksaan laboratorium dilakukan 4-6 minggu sesudah terapi awal dan setiap pergantian
dosis. Ulang tiap 2-3 bulan jika dosis sudah sesuai.
 TSH seringkali masih tersupresi sampai waktu yang cukup lama sehingga penyesuaian dosis
berdasarkan (fT4 atau fT3).
 Sesudah terapi obat antitiroid selama 2 tahun dan anak masih melanjutkan terapi, maka
pemantauan laboratorium dilakukan tiap 6-12 bulan.
 Pemantauan jangka panjang hingga dewasa diperlukan meskipun telah terjadi remisi atau
telah menjalani pembedahan dan terapi iodine radioaktif.
 Prognosis :
 30% anak yang diobati obat antitiroid mencapai remisi dalam 2 tahun.
 75% pasien relaps dalam 6 bulan setelah henti obat, sedangkan hanya 10% relaps setelah
18 bulan.

A. Pendahuluan
Penyebab tersering hipotiroid didapat di seluruh dunia adalah defisiensi yodium, tetapi
tiroiditis Hashimoto merupakan penyebab tersering hipotiroid didapat pada daerah-daerah dengan
asupan yodium yang adekuat. Pada PPK ini hanya akan dibahas tiroiditis Hashimoto.
Insiden tiroiditis Hashimoto di dunia diperkirakan sebesar 0,3-1,5 kasus per 1000 populasi per
tahun. Tiroiditis Hashimoto tidak dipengaruhi oleh ras. Perempuan 3-5 kali lebih sering terkena
dibandingkan lelaki. Insiden tertinggi pada populasi anak terjadi pada usia remaja.
Pasien DM tipe-1, sindrom Down, sindrom Turner lebih berisiko untuk menderita tiroiditis
Hashimoto maupun kondisi autoimun lainnya. Kurang lebih 20% anak dengan DM tipe-1 memiliki
antibodi terhadap tiroid tetapi hanya seperempatnya yang menunjukkan kenaikan TSH.
Tiroiditis Hashimoto merupakan bagian spektrum penyakit tiroid autoimun. Tiroiditis
Hashimoto juga disebut sebagai tiroiditis autoimun atau tiroiditis limfositik kronik. Faktor genetik,
defek imunitas, dan faktor lingkungan berperan dalam patogenesis tiroiditis Hashimoto. Beberapa
kepustakaan membagi tiroiditis limfositik kronik menjadi dua bentuk klinis yaitu tiroiditis Hashimoto
disertai struma dan tiroiditis atrofik tanpa disertai struma. Karakteristik tiroiditis Hashimoto adalah
adanya infiltrasi limfositik (sehingga menyebabkan tiromegali), dekstruksi sel tiroid, serta
peningkatan antibodi terhadap peroksidase tiroid (TPO=thyroid peroxidase) dan tiroglobulin.
Tiroiditis Hashimoto secara klinis dapat asimtomatik (eutiroid), hipotiroid maupun hipertiroid
dan sering kali terdiagnosis karena adanya goiter. Salah satu penelitian retrospektif pada 153
penderita tiroiditis Hashimoto usia < 18 tahun memperlihatkan 47.1% eutiroid, hipotiroid subklinis
pada 31.4%, hipotiroid klinis 14.4%, dan hipertiroid pada 7.2%.
Gejala yang sering ditemukan adalah sesuai manifestasi hipotiroid antara lain: pelupa,
mengantuk, mudah lelah, kesulitan belajar, kuku dan rambut yang rapuh dan kering, kulit kering dan
gatal, wajah sembab, konstipasi, nyeri otot, berat badan bertambah, dan laju pertumbuhan melambat.

B. Kriteria Diagnosis
Rekomendasi

1. Diagnosis tiroiditis Hashimoto ditegakkan berdasarkan:


a. Adanya struma difus, dengan atau tanpa disertai manifestasi klinis hipotiroid
b. Ditemukannya antitiroid peroksidase (antithyroid peroxidase antibody/anti-TPO) anti-
thyroglobulin antibody (ATA), atau antibodi reseptor TSH (TSH receptor antibody= TRAb).
Penanda autoimun yang paling sering ditemukan adalah anti-TPO (dilaporkan dapat hingga
90% kasus). Perlu diingat bahwa 10–15% penduduk positif untuk anti-TPO antibody.
2. Diagnosis hipotiroid pada pasien tiroiditis Hashimoto ditegakkan jika ditemukan penurunan
kadar FT4 dan peningkatan kadar TSH.
3. Ultrasonografi tiroid berguna untuk menilai ukuran dan struktur kelenjar tiroid, dan ada tidaknya
nodul.
4. Sidik tiroid bukan merupakan alat diagnostik utama tiroiditis Hashimoto, tetapi terindikasi pada
kasus yang meragukan.
5. Aspirasi jarum halus (fine-needle aspiration biopsy) tidak direkomendasikan untuk dikerjakan
pada pasien dengan tiroiditis Hashimoto.

Penjelasan
Setiap anak dengan kecurigaan hipotiroid didapat perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH,
kadar FT4, dan salah satu antibodi tiroid (anti-TPO, ATA atau TRAb). Penanda antibodi tiroid yang
positif mengkonfirmasi diagnosis tiroiditis Hashimoto. Hasil pemeriksaan antibodi tiroid yang negatif
tidak menyingkirkan diagnosis tiroiditis Hashimoto. Pada 10-15% pasien tiroiditis Hashimoto tidak
ditemukan antibodi terhadap tiroid. Pada sebagian besar pasien didapatkan titer anti-TPO dan ATA
positif sehingga anti-TPO dan ATA merupakan penanda diagnostik yang terbaik untuk tiroiditis
Hashimoto. Pada tiroiditis Hashimoto kadang juga ditemukan kondisi hipotiroid subklinis yang
ditandai dengan kadar TSH meningkat sedangkan kadar FT4 masih dalam rentang normal. Penurunan
kadar FT4 dengan peningkatan kadar TSH memastikan diagnosis hipotiroid primer.
Ditemukannya nodul pada penderita Hashimoto baik saat diagnosis maupun saat monitoring
tahunan adalah 13% dan 0.07% diantaranya ternyata termasuk keganasan. USG dapat membedakan
apakah nodul itu padat atau kistik dan berguna untuk membantu pelaksanaan biopsi jarum halus pada
nodul berukuran kecil.
Gambaran yang ditemukan pada USG adalah adanya pembesaran tiroid yang difus dengan
pola echo parenkimal hipoekoik dan heterogen kasar. Adanya mikronodul diskrit hipoekoik
menunjukkan adanya tiroiditis kronik. USG doppler menunjukkan gambaran vaskularisasi parenkim
tiroid yang menurun atau normal. Gambaran USG pasien tiroiditis Hashimoto tidak mengalami
perubahan dan akan menetap seumur hidup pasien.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis tiroiditis
Hashimoto adalah biopsi aspirasi jarum halus untuk mengetahui histologi kelenjar tiroid. Kumar dkk.
menyatakan bahwa biopsi jarum halus terindikasi pada keadaan kecurigaan diagnosis tiroiditis
Hashimoto dengan antibodi antitiroid yang negatif. Indikasi lain biopsi aspirasi jarum halus jika tidak
terdapat fasilitas untuk pemeriksaan imunologis.
Pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan darah tepi lengkap hanya dilakukan atas
indikasi. Pada kurang lebih 30-40% pasien hipotiroid menderita anemia akibat menurunnya
eritropoesis, sedangkan 15% lainnya menderita anemia defisiensi besi.

Diagnosis Banding
1. Pembesaran struma pada tiroiditis Hashimoto harus dibedakan dengan struma nontoksik dan
karsinoma tiroid.
a. Pada palpasi konsistensi struma nontoksik cenderung lebih lunak daripada tiroiditis
Hashimoto.
b. Pada remaja, tiroiditis Hashimoto dapat tidak disertai peningkatan titer antibodi sehinggga
biopsi kelenjar tiroid perlu dilakukan.
2. Untuk membedakan tiroiditis Hashimoto dengan karsinoma dapat dilakukan berdasarkan
manifestasi klinis.
a. Struma dengan keganasan biasanya ditemukan nodul tiroid, keras pada perabaan, melekat
pada stuktur sekitarnya dan terdapat tanda kompresi nervus laringeus rekuren.
b. Pemeriksaan USG yang mencurigakan adanya keganasan padat, hipoechogen,
mikrokalsifikasi, batas tidak jelas, aliran darah tinggi internodular, subkapsular, dan klinis
adanya limfadenopati.
c. Pada pemeriksaan sidik tiroid, karsinoma tiroid tampak sebagai cold nodul sedangkan pada
tiroiditis Hashimoto ambilan radioaktif rendah secara menyeluruh.
C. Tata Laksana
Rekomendasi
1. Jika terdapat kecurigaan tiroiditis Hashimoto direkomendasikan untuk melakukan rujukan ke
dokter spesialis anak konsultan endokrinologi.
2. Tiroiditis Hashimoto dengan hipotiroid harus diterapi dengan levotiroksin (L-tiroksin), dengan
dosis awal 1-2 μg/kgBB/hari
3. Tiroditis Hashimoto dengan hipotiroid subklinis:
a. Jika kadar TSH <10 μU/mL tidak direkomendasikan untuk pemberian terapi dengan
levotirokin.
b. Jika kadar TSH >10 μU/mL direkomendasikan untuk diterapi dengan levotiroksin.
Penjelasan
Terapi pilihan untuk tiroiditis Hashimoto dengan hipotiroid adalah: levotiroksin (L-tiroksin) per oral.
Keputusan untuk memberikan terapi pada anak dengan peningkatan ringan TSH dan kadar T4 normal
masih kontroversial. Banyak anak dengan peningkatan TSH ringan (<10 μU/mL) memperlihatkan
fungsi tiroid yang normal tanpa terapi. Anak dengan kadar TSH >10 μU/mL harus diterapi dengan L-
tiroksin walaupun sebagian besar anak dengan peningkatan TSH antara 10-20 μU/mL tidak
menunjukkan gejala klinis selain goiter. Pemberian L-tiroksin juga dikatakan dapat mengurangi
ukuran struma. Pada 50-90% pasien, ukuran struma menurun rata-rata sebesar 30% setelah terapi
selama 6 bulan.

D. Pemantauan
Rekomendasi
1. Untuk menentukan cukup tidaknya dosis obat yang diberikan, harus dilakukan pemantauan
kemajuan klinis maupun fungsi tiroid meliputi pemeriksaan FT4 atau T4 total (TT4) dan TSH
secara periodik.
2. Darah untuk pemeriksaan laboratorium sebaiknya diambil paling cepat 4 jam setelah pemberian
levotiroksin.
3. Pemantauan laboratorium sebaiknya dilakukan setiap 2 bulan setelah perubahan terapi
levotiroksin sampai ditemukan dosis yang tepat. Pemantauan selanjutnya dapat dilakukan setiap
6 bulan.
4. Pemantauan TSH dan FT4 dilakukan seumur hidup.
5. Pemantauan anti-TPO setiap terbukti hipotiroid.
6. Pemantauan tumbuh kembang setiap kontrol terutama kecepatan pertumbuhan dan perbaikan
berat badan.
7. Pemantauan klinis menghilangnya gejala-gejala hipotiroid.
8. Pemeriksaan USG minimal 1 tahun sekali apabila masih terdapat goiter.
Penjelasan
Pada awal terapi, pemeriksaan fungsi tiroid harus diulang setiap 2 bulan. Berat badan biasanya akan
menurun dalam 6 bulan pertama setelah terapi dimulai dan kecepatan tumbuhnya bertambah.
Pemantauan dilakukan seumur hidup karena adanya kemungkinan klinis dan laboratorium normal dan
dapat terjadi relaps.
E. Ringkasan Rekomendasi
1. Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun.
2. Tiroiditis Hashimoto dengan hipotiroid harus diterapi dengan levotiroksin.
3. Tiroditis Hashimoto tanpa hipotiroid, diterapi dengan levotiroksin jika kadar TSH >10 μU/mL.
4. Pemantauannya dilakukan seumur hidup.

Anda mungkin juga menyukai