Anda di halaman 1dari 24

Halaman Judul

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS


(Disusun dalam upaya pemenuhan tugas penulis akan
PKB: Membuat karya tulis ilmiah dan dipublikasikan)

Disusun oleh :

ABDUL CHALIM, S.Ag.


NIP. 197105012007101002

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 KOTA MADIUN


2019

i
Lembar Pengesahan Kepala

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS


(Disusun dalam upaya pemenuhan tugas penulis akan
PKB: Membuat karya tulis ilmiah dan dipublikasikan)

Disusun oleh :

ABDUL CHALIM, S.Ag.


NIP. 197105012007101002

Telah disetujui oleh:


Kepala MAN 2 Kota Madiun

Zainal Arifin, S.Ag, M.Pd.I, M.A


NIP. 197401152002121002

Kementerian Agama

Madrasah Aliyah Negeri 2 Kota Madiun


Jl. Sumberkarya No. 5 Kota Madiun

ii
Lembar Pengesahan Perpustakaan

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS


(Disusun dalam upaya pemenuhan tugas penulis akan
PKB: Membuat karya tulis ilmiah dan dipublikasikan)

Disusun oleh :

ABDUL CHALIM, S.Ag.


NIP. 197105012007101002

Dipublikasikan dan dicatat dalam Induk Perpustakaan MAN 2 Kota Madiun,


pada :
Tanggal : 15 Juli 2019
Nomor Induk : R23013
Nomor Klasifikasi : 2X2.9 Cha s

Kota Madiun, 15 Juli 2019


Pengurus Perpustakaan
Ketua,

Drs. Agus Budi Basuki, M.Pd.


NIP. 196412241998031002

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya makalah tentang
“Sejarah Perkembangan Hadits” dapat disusun dengan sebaik-baiknya.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Tupoksi kami dalam PKB:
Membuat karya tulis ilmiah dan dipublikasikan. Selain itu, dengan adanya makalah
ini diharapkan dapat menambah wawasan yang lebih bagi kami selaku Guru Al-
Qur’an Hadist di MAN 2 Kota Madiun.

Penyusun menyadari sepenuhnya dalam menyusun makalah ini masih jauh


dari kata sempurna. Oleh karena itu saya mengharap kritik dan saran yang guna
menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi saya khususnya, dan bagi
Civitas akademika MAN 2 Kota Madiun pada umumnya.

Kota Madiun, 15 Juli 2019


Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................................i
Lembar Pengesahan Kepala.....................................................................................................ii
Lembar Pengesahan Perpustakaan.........................................................................................iii
KATA PENGANTAR..................................................................................................................iv
DAFTAR ISI...............................................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2
A. Sejarah Perkembangan Hadis Pada Masa Prakodifikasi...................................2
B. Masa Pengumpulan dan kodifikasi hadits.......................................................14
C. Masa Pentasihihan dan penyusunan kaidah-kaidahnya...................................16
BAB III PENUTUP.............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................19

v
BAB I
PENDAHULUAN

Mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis diharapkan dapat


mengetahui sikap dan tindakan umat islam terhadap hadis serta usaha pembinaan dan
pemeliharaan pada setiap periode hadis hingga pada akhirnya muncul kitab-kitab
hasil pembukuan secara sempurna yang dalam islam dikenal dengan istilah tadwid.
Studi tentang keberadaan hadis selalu semakin menarik untuk dikaji seiring dengan
perkembangan analisis dan nalar perkembangan manusia.

Studi hadis tidak hanya dilakukan oleh kalangan muslim, melainkan juga
dilakukan oleh kalangan orientalis. Bahkan, kajian studi hadis dalam dunia islam
semakin menguat dilatar belakangi oleh upaya umat islam untuk membantah
terhadap pendapat kalangan orientalis tentang ketidakaslian hadis. Goldziher
misalnya, dia meragukan sebagian besar orisinilitas hadis yang bahkan diriwayatkan
oleh ulama besar seperti imam Bukhari, hal ini dikarenakan jarak semenjak wafatnya
Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pembukuan hadis sangat jauh,
menurutnya sangat sulit menjaga orisinilitas hadis tersebut.

Oleh karena itu, mengkaji sejarah berarti melakukan upaya mengungkap


fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalanan
hadis pada setiap periode mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang
dihadapi, antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka
pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dari persoalan
tersebut.

Diantara ulama tidak sependapat dalam penyusunan periodesasi pertumbuhan


dan perkembangan hadis. Ada yang membaginya menjadi tiga periode yaitu masa
Rasulullah, masa sahabat, dan masa tabi’in. Begitu pula ada yang membaginya
menjadi dua periode yaitu masa prakodifikasi dan masa kodifikasi. Bahkan ada yang
membaginya dengan spesifikasi yang lebih jelas.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hadis Pada Masa Prakodifikasi

Sejarah perkembangan hadits pada masa prakodifikasi maksudnya adalah


pada masa sebelum pembukuan. mulai sejak zaman Rasullah SAW hingga
ditetapkannya pembukuan hadist secara resmi (kodifikasi). Masa ini penulis
membagi menjadi tiga periode yaitu masa Rasulullah SAW, masa sahabat dan
masa Tabi’in. Adapun periode tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Hadis Pada Masa Rasullah SAW.

Membicarakan Hadis pada masa Rasullah SAW berarti membicarakan


Hadis pada awal kemunculannya. Uraian ini akan terkait langsung kepada
Rasulullah SAW sebagai sumber Hadis. Rasulullah SAW membina umat
islam selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu
sekaligus diwurudkannya Hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan
dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Wahyu
yang diturunkan Allah SWT kepadaanya dijelaskannya melalui perkataan,
perbuatan, dan pengakuan atau penetepan Rasulullah SAW. Sehingga apa
yang disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka dengar, lihat, dan
saksikan merupakan pedoman. Rasullah adalah satu-satunya contoh bagi
para sahabat, karena Rasulullah memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan
yang berbeda dengan manusia lainnya. Adapun metode yang digunakan oleh
Rasulullah SAW dalam mengajarkan Hadis kepada para sahabat sebagai
berikut:
a. Para sahabat berdialog langsung dengan Rasulullah SAW
b. Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW
c. Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh
dari Rasulullah SAW
d. Para sahabat menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang diperoleh dari
Rasullah SAW.

2
1) Larangan Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW sedikit sekali sahabat yang bisa menulis
sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah
dengan menghafal. Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan
keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan
menghafal.1
Mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, hadis, dan syair dengan baik.
Seakan mereka membaca dari sebuah buku. Perhatian sahabat terhadap
hadis sangat tinggi, terutama diberbagai majlis nabi atau tempat untuk
menyampaikan risalah islamiyah seperti di masjid, halaqah ilmu, dan
diberbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Rasulullah menjadi pusat
naraumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para sahabat
menghadapi masalah, baik secara langsung atau tidak langsung seperti
melalui istri-istri Rasulullah dalam masalah keluarga dan kewanitaan,
karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui keadaan
Rasulullah dalam masalah keluarga.

2) Diperbolehkannya Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW


Larangan menulis hadis tidaklah umum kepada semua sahabat, ada
sahabat tertentu yang diberikan izin untuk menulis hadis. Nabi melarang
menulis hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada
kesempatan lain nabi memperbolehkannya. Sebagaimana diriwayatkan
oleh Abd Allah Ibn Umar, dia berkata: “Aku permah menulis segala
sesuatu yang ku dengar dari Rasulullah, aku ingin menjaga dan
menghafalkannya. Tetapi orang Quraisy melarangku melakukannya.”
Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (hadis) padahal Rasulullah
bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri
(Untuk tidak menulis hadis) hingga aku ceritakan kejadian itu kepada
Rasulullah.

1
Mangunsuwito, Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Asing
(Jakarta: Widytama

3
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis
dan seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis
dapat ditulis.
Karena menurut M Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa alasan
berikut:
1) Hadis disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai
menulis
2) Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-
Qur’an
3) Meskipun Nabi mempunyai sekretaris tetapi mereka hanya diberi
tugas menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi
Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal orang
yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan
alat sederhana.2

3) Tanggapan Terhadap Larangan Pencatatan Hadis Pada Masa


Rasulullah SAW
Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan di atas, ada
beberapa pendapat berkenaan dengan ini, yaitu:
1) Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan, sedangkan
izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan
2) Larangan penulisan hadis itu ditujukan bagi orang yang kuat
hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan
salah dan bercampur dengan Al-Qur’an. Izin menulis hadis diberikan
kepada orang yang pandai menulis dan tidak dikhawatirkan salah dan
bercampur dengan Al-Qur’an.3
3) Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis
dikhawatirkan tulisannya keliru, sementara orang yang pandai
menulis tidak dilarang menulis hadis

2
Muhammad Ali Al-Shobuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an (Madinah: Daru Al-Shobuni,
2003), 29.
3
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2012), 49.

4
4) Larangan hadis dicabut oleh izin menulis hadis karena tidak
dikhawatirkan tercampurnya catatan hadis dengan Al-Qur’an.
5) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadis bersifat
khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan
catatan hadis dan catatan Al-Qur’an
6) Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan
untuk sekedar dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri
7) Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan
dicatat.4 Adapun ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat,
maka penulian hadis diizinkan.

2. Hadis Pada Masa Sahabat


Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang
harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah
Nabi saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan
shahabat Nabi. Shahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu
adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh
Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656
M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam
sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa
disebut juga dengan zaman shahabat besar.
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era shahabat besar
dan menyusul era shahabat kecil. Dalam pada itu muncullah pra tabi’in besar
yang bekerjasama dalam perkembangan pengetahuan dengan para shahabat
Nabi yang masih hidup pada masa itu. Diantara shahabat Nabi yang masih
hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar
peranannya dalam periwayatan hadits Nabi saw ialah ‘A’isyah istri Nabi
(wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), ‘Abdullah bin
Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al- Khatthab (wafat 73
H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M).

4
Ibid, 37.

5
Para shahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai sumber
syari’ah pertama setelah Al-Qur’an Al-karim. Mereka tidak mau menyalahi
as-Sunnah jika as-Sunnah itu mereka yakini kebenarannya, sebagaimana
mereka tidak mau berpaling sedikitpun dari as-Sunnah warisan beliau.
Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi saw. karena
khawatir berbuat kesalahan dan takut as- Sunnah yang suci tiu ternodai oleh
kedustaan atau pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh segala cara
untuk memelihara hadits, mereka lebih memilih bersikap “sedang dalam
meriwayatkan hadits” dari Rasulullah., bahkan sebagian dari mereka lebih
memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan hadits”.5 Periode shahabat
disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah” yaitu masa
pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya, cara shahabat
meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi
saw yang mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi saw.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan
dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi saw.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang
periwayatan hadits Nabi.

a. Abu Bakar al-Shiddiq


Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347
M), Abu Bakar merupakan shahabat Nabi yang pertama-tama
menunjukkan kehati- hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan
al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala
menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang
nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari
harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak
melihat petunjuk al-Qur’an dan prektek Nabi yang memberikan bagian
harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para shahabat.
Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi
telah memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar seperenam
5
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 39.

6
bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan kewarisan
nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-
Mughirah menghadirkan seorang saksi.
Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas
kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan
kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan
hadits Nabi saw yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut. Kasus di
atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima
riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnya.
Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat
hadits untuk menghadirkan saksi. Bukti lain tentang sikap ketat Abu
Bakar dalam periwayatan hadits terlihat pada tindakannya yang telah
membakar catatan-catatan hadits miliknya.6 Putri Aisyah, menyatakan
bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus
hadits.
Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia
membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam
periwayatan hadits7. Hal ini menjadi bukti sikap kehari-hatian Abu Bakar
dalam periwayatan hadits.
Data sejarah tentang kediatan periwayatan hadits dikalangan umat
Islam pada masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat
dimaklumi, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat
Islam dihadapkan pada berbagai ancaman dan kekacauan yang
membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan
kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah.
Dalam pada itu tidak sedikit shahabat Nabi, khususnya yang hafal
Qur’an, telah gugur di berbagai peperangan. Atas desakan Umar bin al-
Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an (jam’
al-Qur’an). Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa
Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang

6
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits (Jakarta: Bulan Bintang,
1995), 41.
7
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 42.

7
menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat
dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits tampak
tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati.
Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadits yang
diriwayatkan oleh para shahabat.

b. Umar bin al-Khatthab


Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal ini
terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh
Ubay bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari
Ubay, setelah para shahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr
menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang
dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay:
“Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya
berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan
hadits ini. Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami
juga oleh Abu Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain.
Kesemua itu menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadits.
Disamping itu, Umar juga menekankan kepada para shahabat agar
tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar
masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan
mendalami al-Qur’an.Kebijakan Umar melarang para sahabat Nabi
memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar
sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan hadits. Larangan umar
tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi
dimaksudkan: [a] agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan
hadits, [b] agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu.
Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini:
1. Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk
mempelajari hadits Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih
menetahui tentang kandungan al-Qur’an.
2. Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi, Ahmad bin
Hanbal telah meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat
Umar sekitar tiga ratus hadits. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah

8
menyebutkan nama-nama shahabat dan tabi’in terkenal yang telah
menerima riwayat hadits Nabi dari Umar. Ternyata jumlahnya cukup
banyak.
3. Umar pernah merencanakan menghimpun hadits nabi secara tertulis.
Umar meminta pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat
menyetujuinya.8 Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada
Allah dengan jalan melakukan shalat istikharah, akahirnya dia
mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan hadits itu akan
memalingkan perhatian umat Islam dari al-Qur’an.
Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan terhadap
periwayatan hadits. Niatnya menghimpun hadits diurungkan bukan
karena alas an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain, yakni
takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an. Dari uraian di
atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar bin
al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila
dibandingkan dengan zaman Abu Bakar.
Hal ini bukan hanya disebabkan karena umat islam telah lebih banyak
menghajatkan kepada periwayatan hadits semata, melainkan juga karena
khalifah Umar telah pernah memberikan dorongan kepada umat islam
untuk mempelajari hadits Nabi.
Dalam pada itu para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam
melakukan periwaytan hadits, karena Umar telah melakukan pemeriksaan
hadits yang cukup ketat kepad para periwayat hadits. Umar melakukan
yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak
berpaling dari al-Qur’an, melainkan juga agar umat Islam tidak
melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadits. Kebijakan Umar yang
demikian telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab
melakukan pemalsuan-pemalsuan hadits.

c. Usman bin Affan

8
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 46.

9
Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak
jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah
penduhulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah
‘Umar bin Khatthab. ‘Usman secara pribadi memang tidak banyak
meriwayatkan hadits.
Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari
riwayat ‘Usman sekitar empat puluh hadits saja. Itupun banyak matan
hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matn hadits yang banyak
terulang itu adalah haditstentang berwudu’.18 Dengan demikian jumlah
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab. Dari uraian diatas dapat
dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan, kegiatan umat Islam
dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin
Khatthab.
Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak
begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap
“longgar” dalam periwaytan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain
pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah Islam
telah makin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya
kesuliatan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.9

d. Ali bin Abi Thalib.


Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali
barulah bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits
yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang
disampaikannya itu benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang
benar-benar telah diparcayainya.

9
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 46.

10
Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam
periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat muthlak keabsahan
periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang
menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Hadits yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam
bentuk tulisan (catatan).
Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda
(diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan
larang melakukan hokum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang
membunuh orang kafir. Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits
melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits.
Sebagian mant dari hadits tersebut berulang-ulang karena perbedaan
sanad-nya.
Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib
merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ke
tiga khalifah pendahulunya. Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah,
kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada zaman khalifah ‘Ali
bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi
umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada zaman
sebelumnya.
Pada zaman Ali, pertentang politik dikalangan umat Islam telah
makin menajam. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan
pendukung Mu’awiyah telah terjadi.
Hal ini membawa dampak negative dalam bidang kegiatan
periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong terjadinya
pemalsuan hadits.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para
khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah sebagai berikut:
1. Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam
periwayatan hadits

11
2. Larangan memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh
khalifah ‘Umar, tujuan pokoknyaialah agar periwayat bersikap
selektif dalam meriwayatakan hadits dan agar masyarakat tidak
dipalingkan perhatiannya dari al-Qur’an
3. Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits
merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat
yang dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani
kewajiabn mengajukan saksi atau sumpah
4. Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits
yang disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya
dalam bentuk lisan. Hanya ‘Ali yang meriwayatkan hadits secara
tulisan disamping secara lisan.
Adapun penulisan hadits pada masa Khulafa al-Rasyidin masih tetap
terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah
umar bin khattab mempunyai gagasan untuk membukukan hadits, namun
niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah.
Para sahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi, karena
pertimbang-pertimbangan:
1. Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an.
Perhatian shahabat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an
seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya
sehingga menjadi mush-haf.10
2. Para shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam
menulis hadits.

3. Hadis Pada Masa Tabi’in


Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam
periwayatan hadis. Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti
seperti pada masa sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam
satu mushaf dan sudah tidak menghawatirkan lagi. Selain itu, pada akhir
masa Al-Khulafa Al- Rasyidun para sahabat ahli hadis telah menyebar ke
10
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 47.

12
beberapa wilayah sehingga mempermudah tabi’in untuk mempelajari hadis.
Para sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan hadis
sehingga hadis tersebar ke banyak daerah. Kemudian muncul sentra-sentra
hadis sebagai berikut:
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Aiyah dan Abu
Hurayrah.
b. Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn ‘Abbas
c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Abd Allah Ibn
Mas’ud
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Utbah Ibn Gahzwan
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-
Ash
Pada masa ini muncul kekeliruan dalam periwayatan hadis dan juga
muncul hadis palsu. Faktor terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat
itu antara lain:
a. Periwayat hadis adalah manusia maka tidak akan lepas dari kekeliruan
b. Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis
c. Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat
Pemalsuan hadis dimulai sejak masa ‘Ali Ibn Abi Thalib buukan karena
masalah politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya pemalsuan hadis
dan kekeliruan periwayatan maka para ulama mengambil langkah sebagai
berikut:
a. Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadis atau para
periwayatnya
b. Hanya menerima hadis dari periwayat yang tsiqoh saja
c. Melakukan penyaringan terhadap hadis dari rowi yang tsiqah
d. Mensyaratkan tidak adanya penyimpangan periwayat yang tsiqoh pada
periwayatyang lebih tsiqah
e. Meneliti sanad untuk mengetahui hadis palsu

13
B. Masa Pengumpulan dan kodifikasi hadits
Sejak masa Rasulullah SAW dan bahkan hingga era sahabat,tabi’in dan
tab’in terdapat dua cara ijtihad berkaitan dengan pemeliharaan atau
penyelamatan keberadaan hadist Nabi.

 Ijtihad pertama :
Dengan lisan ,yaitu mendengar suatu hadist dari sseorang lalu
menyampaikannya kepada orng lain.Demikian seterusnya dari satu generasi
ke generasi selanjutnya.
 Ijtihad kedua:
Dengan tulisan.cara ini lebih baik dan lebih langgeng daripada cara lisan
maupun secara tulisan ,tetap saja terdapat kesalahan.

Orang yang memutuskan pelaksanaan kodifikasi hadist adalah seorang


tokoh yang adil dan zuhud, Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada
pejabatnya yang menjadi hakim (qadhi) di madinah,Abu Bakar bin Hazim.

“Carilah hadist Rasulullah SAW lalu tulislah. aku khawatir ilmu


semakin berkurang dan para ulama meninggal dunia. Jangan kamu terima
kecuali hadist Nabi SAW.Perintahkan mereka agar menyebarkan ilmu dan
duduk mendengarkannya sehingga orng yang tidak tahu menjadi tahu.
Sesungguhnya ilmu tidah akan punah sehingga (sebelelumnya) mejadi sesuatu
rahasia.”

Hal yang sama juga dilakukannya kepada para pejabat pembantunya yang
beraa di kota-kota islam penting lainnyayang dihuni oleh para sahabat dan para
tab’in.11 dapun orang pertama yang melakukan kodifikasi hadits di bawah
perintah Umar bin Abdullah Aziz RA adalah Muhham bin Muslim bin
Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab Az-Zuhri (w.125H), tokoh ulama negeri
syam dan Hijaz. Az-Zuhri memperoleh hadist-hadistnya dari para sahabat junior
yang masih hidup di masanya,yang ia lihat dan dengar sendiri serta dari
beberapa orang tokoh tabi’in senior. Setelah Az-Zuhri, kodifikasi hadist pada
peringkat selanjutnya (ath-thabqah) semakin banyak dilakukan. Orang pertama

11
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 44-45.

14
pada peringkat ini adalah Ibnu Ishaq dan Malik di kota madinah, Ibnu Juraij di
makkah serta ulama-ulama lain yang berada di kota lainnya seperti Sufyan Ats-
Tsauri di Kufah, Husyam di Wasith, Jarir bin Abdul Hamid di Rayy, Ibnu
Almubarak di Kharasan, Al Auza’i di Syam, Ma’mar di yaman dan abu bakar
bin abu syaibah di kufah.

Masa itu merupakan tahap penulisan dan pengarangan yang brlangsung


sejak akhir abad 2 H hingga awal awal abad 3 H. Tahap ini diikuti dengan tahap
kodifikasi (tadwiin), pengumpulan dan kompilasi antara matan hadist dan
perawinya. Lalu tahap pemillahan hadist shahih dan penilaian terhadap perawi
dari segi ‘adil dan tidaknya.

Orang pertama yang mucul berkaitan dengan pemilhan dan penilaian


tersebut adalah Al-Buqhari. Buku shahihnya yang terkenal merupakan buku
hadist shahih yang pertama selanjutnya langkah awala Al-Bukhari diikiti oleh
Muslim bin Al Hajjaj yang menysun bukunya yang terkenal shahih Muslim.Lalu
orang-orang menyebut kedua buku diatas dengan istilah Ash-Shahihain. Buku-
buku hadist sebelum kedua buku ini mencampur adukkan hadist nabi dengan
pendapat sahabat serta fatwa para tab’in. Disamping itu buku-buku tersebut
berisi hadist shahih, dha’if, matruk dan majhul.

Ketika terjadi pergolakan akibat kepemimpinan dalam tubuh muslimin


sendiri sehingga menimbulkan perpecahan dan muncul kelompok Khawarij,
sebagian mereka ketika menemukan hadits yang dapat digunakan oleh
kelompok lain untuk menyerangnya maka mereka menciptakan hadits baru dan
meyebarkan kepada semua orang.Ketika suasana mulai tenang dan normal, para
ulama khususnya para ahli hadist melakukan perlawanan dengan cara melakukan
pemisahan diantara hadist-hadist yang ada dan pemurnian, memisahkan diantara
yang shahi dan yang bukan pertama kali mereka mengumpulkan seluruh hadist
mereka hanya meninggalkan hadist yang secara pasti diketahui sebagai hadits
palsu (maudhuu), lalu mulai meneliti para perawinya.

Pada masa selanjutnya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu hadist


semakin berkembang dan bercabang. Diantaranya ilmu yang berkaitan dengan

15
para perawin hadist dari sisi perilaku,biografi,penilaian guru atau penilaiannya
tempat tinggal dan pertumbuhannya. Ilmu-ilmu ini dikemudian hari di kenal
dengan istilah ilmu-ilmu hadist, ushul Al-hadits atau mushthalah ilmu hadist.

C. Masa Pentasihihan dan penyusunan kaidah-kaidahnya


Abad ke tiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadist. Sesudah
kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ Al-Malik tersebar dikalangan
mayarakat. Para ulama mulanya hanya menerima hadits dari para rawi dan
mulai menulis kitabnya, tanpa mengadakan syarat syarat menerimanya dan
memerhatikan shahih tidaknya. Namun, setelah terjadinya pmalsuan hadits dan
adanya upaya orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun
melakukan hal-hal berikut: yaitu membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai
segi keadilan,tempat kediaman , masa dan lain-lainnya, Dan memisahkan hadist-
hadist yang shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan mentashi-hkan hadist
Penyusunan kaidah-kaidah menurut istilah para ahli hadits itu berbeda-beda
dalam membuat redaksinya,tetapi isi yang dimaksud sama diantaranya:

1. al-Nawawi
Hadist dha’if adalah hadits yang tidak ditemukan syarat-syarat yang terdapat
pada syarat-syarat hadist hasan.
2. Ajjaj al-Khatibi
Hadits dha’if adalah hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat maqbul.

Masa mentashihkan hadist dan penyusunan kaidah-kaidahnya yaitu;

1) Masa membutuhkan hadist mata-mata (hadist dalam abad ketiga).


2) Bertambah meluas lawatan,penyusunan kaidah dan pentashihan hadist
memuncaklah usaha pembukuan hadist.
3) Imam yang mula-mula membukukan hadist yang di pandang shahih saja.
4) Langkah-langkah yang diambil utuk memelihara hadist.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadaanya dijelaskannya melalui
perkataan, perbuatan, dan pengakuan atau penetepan Rasulullah SAW.
Sehingga apa yang disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka
dengar, lihat, dan saksikan merupakan pedoman. Rasullah adalah satu-
satunya contoh bagi para sahabat, karena Rasulullah memiliki sifat
kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan manusia lainnya.
2. Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua
pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang
harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi
saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan shahabat
Nabi. Shahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu
Bakar as-Shiddiq (wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin
Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan
Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah
dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut
juga dengan zaman shahabat besar.
3. Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam
periwayatan hadis . Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti
seperti pada masa sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam
satu mushaf dan sudah tidak menghawatirkan lagi. Selain itu, pada akhir
masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para sahabat ahli hadis telah menyebar ke
beberapa wilayah sehingga mempermudah tabi’in untuk mempelajari hadis.
4. Pada masa ini terjadi kodifikasi hadis yang dimulai pada masa Umar bin Abd
Aziz yang mengintrupikan pada Muhammad bin syihab Al-zuhri karena dia
dinilai paling mampu dalam hadis. Sehingga pada masa lahir kodifikasi hadis
secara resmi, yaitu :
1) Hadis Pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III H Masa kodifikasi
dilanjutkan dengan masa seleksi hadis yaitu upaya mudawwin hadis

17
menyeleksi hadis secara ketat. Masa ini dimulai ketika pemerintahan
dipegang oleh dinasti bani ‘Abbasiyah khususnya pada masa Al-
Makmun.
2) Hadis Pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Masa seleksi di
lanjutkan pengembangan dan penyempurnaan system penyusunan kitab-
kitab hadis. Masa ini disebut dengan masa pemeliharaan, penerbitan,
penambahan, dan penghimpunan. Maka muncul kitab Al-Muwattha’
karya imam Malik Ibn Anas.
3) Hadis Pada Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang Masa ini
disebut dengan masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan
pembahasan. Pada masa ini ulama berupaya mensyarahi kitab hadis yang
sudah ada.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2012), 49.


Al-Shobuni, Muhammad Ali. 2003, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an. Madinah: Daru Al-
Fahmi, Akrom. 1999, Sunnah Qabla Tadwin. Jakarta: Gema Insani Press.
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 42.
Idri. 2013, Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Ismail, M. Syuhudi. 1995, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits. Jakarta: Bulan
Bintang.
Kaptein, H.L. Beck dan N.J.G. 1988, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum,
Filosofi, Jakarta: Widytama Pressindo.
Khon, Abdul Majid. 2012, Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), 41.
Mangunsuwito, Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Asing
Jakarta: Widytama
Muhammad Ali Al-Shobuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an (Madinah: Daru Al-
Shobuni, 2003), 29.
Soetari, H. Endang. 1997, Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.
Suparta, Munzier. 2011, Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.
Teologi, Dan Mistik Tradisi Islam. Jakarta: INIS.
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 39.

19

Anda mungkin juga menyukai