Anda di halaman 1dari 77

1

No. Registrasi: PTD-2006-013


LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN
PENELITIAN TINGKAT MADYA

PENELITIAN TINGKAT MADYA

Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek


Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi Terhadap Teori Fiqh Muamalat dan
Hukum Ekonomi Indonesia)

Peneliti:
1. Dr. Asyari Hasan, SHI., M.Ag. (Ketua Tim)
NIDN : 2019088001
2. Dr. Alimin, Lc., M.Ag. (Anggota)
NIDN : 2005057202

DILAKSANAKAN ATAS BIAYA DIPA IAIN BATUSANGKAR


SESUAI SURAT PERJANJIAN KONTRAK PENELITIAN
NOMOR: B-201/In.27/L.I/TL.00/06/2016

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR
2016
2

LAPORAN IDENTITAS DAN PENGESAHAN


LAPORAN HASIL PENELITIAN

1. a. Judul Penelitian : Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek


Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi Terhadap Teori
Fiqh Muamalat dan Hukum Ekonomi Indonesia)
b. Nomor Kontrak : B-201/In.27/L.I/TL.00/06/2016

c. Program Penelitian : Peneliti Madya


c. Jenis Penelitian : Kelompok
2. Peneliti
a. Nama Lengkap : Dr. Asyari Hasan, SHI., M.Ag

b. Jenis Kelamin :L
c. NIP : 19800819 200604 1 002
d. Bidang Ilmu : Perbankan Syariah
e. Pangkat/Golongan : Lektor/IIId
f. Jurusan / Prodi : Syariah dan Ekonomi Islam/Perbankan Syariah
g. Alamat : Jl. Sudirman no. 137. Kubu rajo, Lima Kaum, Tanah
Datar Sumatera Barat
h. Telp : 081374666317
i. Email : drasyarihasan@gmail.com
Anggota Tim Peneliti

a. Nama Lengkap : Dr. Alimin, Lc., M.Ag


b. Jenis Kelamin :L
c. NIP : 19720505 200212 1 004
d. Bidang Ilmu : Perbankan Syariah
e. Pangkat/Golongan : Lektor/IIIc
f. Jurusan / Prodi : Syariah dan Ekonomi Islam/Perbankan Syariah
g. Alamat : Jl. Sudirman no. 137. Kubu rajo, Lima Kaum, Tanah
Datar Sumatera Barat
h. Telp : 081374666317
i. Email : aliminkoto10@gmail.com
3. Lokasi Penelitian : Kabupaten Tanah Datar
3

4. Waktu Penelitian : 15 September 2016 s/d 11 November 2015


5. Biaya : Rp. 15.000.000,-
6. Sumber Biaya : IAIN Batusangkar

Batusangkar, 1 November 2016


Mengetahui, Peneliti,
Kepala LPPM IAIN Batusangkar

Yusrizal Efendi, S.Ag., M.Ag. Dr. Alimin, Lc., M.Ag.


Nip. 19730819 199803 1 001 NIP. 19720505 200212 1 004
4

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………… 1
A. Latar Belakang......................................................... .......................................... 2
B. Batasan Masalah………………………………….............................................. 5
C. Rumusan Masalah…………………………………............................................ 5
D. Sasaran dan Tujuan Penelitian…………………………………........................ 6
E. Definisi Operasional…………………………………........................................ 6
F. Kajian dan Riset Sebelumnya…………………………………………………. 7
BAB II: KAJIAN TEORI…………………………………................................. 9
A. Kajian Teori…………………………………................................................... 9
B. Bagan Kerangka Konseptual………………………………………………….. 12
BAB III: METODE PENELITIAN…………………………………………… 13
A. Metode Penelitian………………………………….......................................... 13
B. Jenis Data Penelitian…………………………………................................... 13
BAB IV: PEMBIYAAN…………………………………................................... 15
BAB IV: HASIL PENELITIAN……………………………………………….. 16
A. Teori Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Hukum Ekonomi Islam.. 17
1. Ganti Rugi dalam Akad (Dhaman ’Aqd) …………………………………… 17
2. Pengertian Kelalaian……………………………………………………………. 21
a. Istilah-istilah terkait dalam Fikih yang Menunjukkan Kelalaian………… 21
b. Pengertian Tafrith.................................. .................................. ........... ..... 22
c. Perbedaan antara Taqshir dan Ta’addiy………………………………….. 22
d. Pengertian Ta’addiy Sebagai Istilah Umum dari Kelalaian........... ........... 23
e. Pendapat Imam asy-Syathibiy tentang Ta’addiy………………………… 24
2. Prinsip-Prinsip Kelalaian Penyebab Ganti Rugi dalam Fikih........... ............. 25
a. Bagaimana Suatu Perbuatan Dianggap Melampaui Batas? ……………... 25
b. Bagaimana suatu perbuatan dianggap lalai? …………………………….. 26
c. Melanggarkan Isi Kontrak…………………………………....................... 27
d. Melanggar Tradisi…………………………………................................... 28
e. Melanggar Suatu Maslahat Akad…………………………………............ 31
f. Melanggar Tabiat Akad………………………………….......................... 31
B. Teori Kelalaian dalam Hukum Positif…………………………………............ 33
1. Ilmu Ekonomi dan Hukum dalam Integrasi dan Interkoneksi Ilmu.............. 33
2. Teori Tanggungjawab Hukum………………………………….................... 35
3. Perbuatan Melawan Hukum…………………………………....................... 39
4. Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian Bisnis.................................. ................ 43
5. Sosiologi Hukum…………………………………....................................... 44
6. Hukum Adat………………………………….............................................. 45
7. Kelalaian dan Ganti Rugi dalam Perpektif Hukum Indonesia........... ........... 46
a. Hukum Kelalaian………………………………….................................... 46
b. Ganti Rugi………………………………….............................................. 48
C. Hukum Kelalaian dalam Perbankan Syariah…………………………………... 52
D. Analisis Data Hukum Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi........... ............. 55
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………............ 61
Daftar Rujukan…………………………………..................................................... 64
5

Abstrak

Penelitian ini meneliti prinsip-prinsip kelalaian dalam hukum ekonomi syariah melalui
kajian-kajian hukum fikih muamalah dan hukum perdata Indonesia, selanjutnya diadakan
studi lapangan terhadap aplikasi lapangan terhadap teori kelalaian sebagai penyebab ganti rugi
pada lembaga keuangan syariah. Penelitian ini menemukakan bahwa melakukan perbuatan
yang melebihi kadar yang semestinya (ta’addiy) adalah masuk dalam kategori lalai (ifrath),
dan hal ini terbagi dalam dua bentuk, yaitu a) melakukan hal yang melebihi dari apa-apa yang
dibolehkan dalam akad, atau tradisi dan kepatutan menilai bahwa perbuatan itu telah melebihi
apa yang semestinya dilakukan, dan b) Tidak melakukan perbuatan yang semestinya
dilakukan (at-ta’addiy bi qillah al-ihtiraz) oleh subyek hukum sesuai tuntutan akad atau
maslahat dalam akad, hal ini juga dapat dinilai melalui unsur tradisi dan kepatutan bahwa
perbuatan itu telah kurang dari apa yang semestinya dilakukan.

Dalam aplikasi hukum kelalaian dalam lembaga keuangan syariah, profesional dalam
aspek manajemen modern adalah salah satu penunjuk yang efektif dalam mengontrol faktor
kelalaian para dalam akad. Selanjutnya dalam hukum ekonomi syariah Indonesia, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah tidak memuat penjelasan tentang prinsip-prinsip perbuatan yang
dinyatakan tergolong kelalaian tapi lebih menekankan pada pelanggaran terhadap syarat-
syarat yang dibuat oleh para pihak. Sedangkan pada Undang-undang RI No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah memuat penjelasan tentang perbuatan tergolong lalai hanya dari
aspek manajemen perbankan syariah, tidak berkaitan dengan pelaksanaan akad atau transaksi.
6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan bank syariah di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Republik


Indonesia No. 10 Tahun 1988 tentang Perbankan UU no 7 tahun 1992 dan diperkuat secara
lebih utuh pada undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah cukup pesat
karena pada UU ini status dan kegiatan bank syariah sudah diatur secara lebih jelas dan lebih
terperinci dibandingkan dengan UU RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Hal ini
menunjukkan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap perbankan syariah dan tingginya
respon masarakat terhadap bank syariah. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan
keluarnya fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman bunga bank konvensional
pada tahun 2004. Perkembangan pesat dunia perbankan syariah tersebut sudah selayaknya
diresponi dengan memberikan perangkat-perangkat lunak dan keras yang dapat menjamin
kelancaran operasional bank syariah, bila tidak maka bank syariah akan berada pada posisi
membahayakan citra bank syariah itu sendiri dan syariah Islam sebagai label yang melekat
padanya.

Operasional bank syariah tidaklah sama dengan bank konvensional karena bank
syariah memiliki masalah yang komplek dalam hal pengumpulan dan penyaluran dana.
Disamping itu bank syariah mempunyai produk dan kegiatan yang lebih banyak dari bank
konvensional diantaranya, ia dibolehkan melakukan kegiatan perdagangan barang dan jasa
seperti dengan adanya akad murabahah, ijarah, salam, istishna’, kafalah, dan lain
sebagainya.

Oleh karena itu, bank syariah harus menerapkan prinsip kehati-hatian yang lebih
optimal dibandingkan bank konvensional. Sementara kebijakan moneter Indonesia secara
tegas dinyatakan dilaksanakan atas prinsip kehati-hatian tersebut sebagaimana yang tertera
dalam Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia sebagai regulator perbankan: “tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut perlu ditopang dengan tiga pilar utama, yaitu
kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat,
serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat”. Sedangkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 pada pasal 7 dan 8 berbunyi:
7

Pasal 7 : Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pasal 8 : Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia
mempunyai tugas sebagai berikut : a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b.
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank.
Secara lebih jelas lagi tingginya resiko operasional perbankan syariah ditegaskan
dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan: “Pemberian
kredit atau pembiyaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank mengandung risiko atau
kemacetan dalam pelunasannya”. Pernyataan ini dapat dimaklumi karena umumnya sebagian
besar produk bank syariah mengandung resiko tinggi utamanya produk mudharabah,
musyarakah, dan wadi’ah, yang lebih mengedepankan asas kepercayaan terhadap nasabah
dalam pengelolaan dana yang disalurkan bank syariah. Hal ini bila tidak dicarikan solusi atau
jalan keluar yang baik akan akan membawa dampak yang riskan bagi perkembangan bank
syariah itu sendiri.
Dalam dunia perbankan dan perkembangan sosial budaya yang semakin komplek
mengandalkan asas kepercayaan membuat posisi bank syariah dan juga nasabah pada posisi
beresiko tinggi. Sejak zaman klasik para ulama fiqh juga telah meletakkan piranti-piranti yang
dapat menghindarkan diri dari resiko tersebut diantara piranti hukum tersebut adalah asas
kelalaian (ketidakhati-hatian/taqshir) sebagai penyebab ganti rugi (dhaman).1
Sebagai contoh dalam praktek perbankan syariah, pada produk wadi’ah, bank syariah
penerima titipan wajib menjaga barang yang dititipkan secara hati-hati, kemudian bila terjadi
kerusakan atau kehilangan, maka ia akan tidak menjadi tanggung-jawab bank syariah
penerima titipan selama ia masih dalam batas hati-hati, sedangkan bila terdapat unsur
kelalaian, maka ia akan menjadi tanggungjawab bank syariah. Demikian juga halnya dengan
modal yang berada pada nasabah penerima dana produk mudharabah, ia (mudharib) wajib
mengelola harta yang disalurkan bank syariah atas prinsip kehati-hatian, dan dikenakan ganti
rugi selama terjadi kelalalian.2 Penyewa barang sewaan (al-ajir) dalam akad ijarah

1
Dhaman dalam istilah ahli fikih mengandung dua pengertian: (a) ganti rugi, sebagaimana yang
didefinisikan oleh Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah sebagai, “Penyeraham suatu harta pada orang lain, apabila
harta tersebut harta al-mitli (serupa dan dapat diukur atau dihitung dengan tepat), maka harus diserahkan harta
al-mistli pula, akan tetapi harta tersebut harta qiami (Harta yang tidak dapat diukur dengan tepat dan tidak
terdapat jenis yang sama dalam satuannya dalam masyarakat), maka harus dikembalikan pula harta qiami
tersebut”. Secara lebih ringkas al-Syaukâniy mendefinisikannya dengan “ganti rugi dari suatu hal yang rusak
atau lenyap”, (b) tanggung jawab, sebagaimana yang terdapat pada definisi dhaman ahli fikih mazhab Mâliki
sebagai, “Menimpakan suatu tanggung jawab pada orang lain dengan alasan yang benar”. al-Imam al-Syaukâniy,
Nail al-Authâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), h. 326-328., dan: ‘Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh
Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), juz 1-3, pasal 410
2
Fatwa al-Majma' al-Fiqh al-Islâmiŷ (The Council of Islamic Fiqh Academy-OKI) ke-19 di Shariqah,
UAE, tahun 2009, No.179.
8

bertanggung jawab atas barang yang digunakan selama tidak ada kelalaian selama terjadi
kelalalian.3 Selanjutnya pembuat barang (ash-shani’) dalam akad ishtishna’ yang menerima
bahan dari pemesan (mushtashni’) juga bertanggung jawab atas barang selama terjadi
kelalalian.
Untuk menentukan apakah bank syariah atau nasabah sudah berhati-hati dengan
amanah yang dipercayakan kepadanya dan untuk mencari solusi ideal dalam penerapan asas
kehatian-kahatian yang relevan memerlukan kajian tersendiri karena hal ini saling terkait
dengan tiga hal, yaitu (1) hukum fiqh yang merupakan ciri dari penerapan hukum muamalat
dalam bank syariah, (2) hukum ekonomi Indonesia yang merupakan rujukan penyelesaian
sengketa bagi semua rakyat Indonesia, (3) kondisi sosial budaya dan ekonomi guna solusi
ideal dalam penerapan asas kehatian-kahatian yang relevan.

Jika dilihat dari produk hukum Indonesia yang sudah diproduk, memang terdapat
aturan tentang kelalaian, namun tidak terdapat deteil masalah tentang hakikat dan sebab
kelalaian tersebut:

1. Dalam UU RI Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara, Bab 1,
ayat 7, dsebutkan tentang salah satu prinsip kelalaian sebagai penyebab ganti rugi:
Mudarabah adalah Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih, yaitu satu pihak
sebagai penyedia modal dan pihak lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian,
keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah
disetujui sebelumnya, sedangkan kerugian yang terjadi akan ditanggung sepenuhnya
oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian penyedia
tenaga dan keahlian.
2. Dalam Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 43/DSN-
MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (ta'widh) disebutkan: 1. Bahwa para pihak yang
melakukan transaksi dalam LKS terkadang mengalami risiko kerugian akibat
wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang
melanggar perjanjian, 2. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang
dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain, 3. Kerugian yang dapat
dikenakan ta'widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang
dapat diperhitungkan dengan jelas.

3
Fatwa Dewan Syariah Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI) Standar Syariah No.9 Tahun 2003, Pasal: 4/1/7.
9

3. Dan dalam Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 08/DSN-
MUI/IV/2000, tentang Pembiayaan Musyarakah, juga disinggung tentang masalah
kelalaian sebagai penyebab ganti rugi: d. Setiap mitra memberi wewenang kepada
mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi
wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan
mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
Kajian tentang masalah hakikat kelalaian (taqshir) sebagai penyebab ganti rugi dalam
akad masih langka dilakukan, penelitian ini begitu termotivasi dari hasil penelitian (skripsi)
Muhammad Adfan Yhu’nanda yang berjudul Analisis Unsur Kesalahan dan Kelalaian
Mudharib dalam Akad Pembiayaan Mudharabah Bermasalah Sebagai Dasar Eksekusi
Jaminan pada Universitas Brawijaya Fakultas Hukum tahun 2014. Penelitian sampai pada
suatu kesimpulan bahwa unsur kesalahan dan kelalaian tidak dijelaskan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar akad perjanjian mudharabah dalam hukum
perbankan Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
Mudharabah, Kompilasi Hukum Islam, dan Akad Perjanjian Mudharabah, dan secara
Substantif dan secara Prosedural tidak mengatur serta tidak memberikan pengertian
bagaimana kriteria kesalahan dan kelalaian yang dimaksudkan dalam akad perjanjian
mudharabah. Maka, Unsur kesalahan dan kelalain dalam akad mudharabah merujuk pada
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni Kesalahan sebagai wujud Perbuatan Melawan
Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata), dan Kelalain sebagai wujud Wanprestasi (ingkar janji)
(Pasal 1234 KUH Perdata).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka Muhammad Adfan Yhu’nanda
mengajukan saran pada akhir penelitiannya kepada Pembuat Peraturan Perundang-undangan
khususnya terkait hukum Ekonomi Syariah, agar diperjelas kembali apa yang dimaksaud
dengan kesalahan atau kelalaian dalam peraturan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
07/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah pada bagian ketiga angka 3 bahwa
“pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini
bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau
pelanggaran kesepakatan”. Hal ini penting mengingat landasan penentuan kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan ada pada peraturan ini, tujuannya yakni
10

agar mempermudah Lembaga Perbankan Syariah untuk mementukan kriteria kesalahan dan
kelalain yang dimaksud.
Ketiadaan aturan tentang masalah ini akan menyebabkan interpretasi berbeda antara
pihak bersengketa, selanjutnya akan terdapat pula hukum yang tidak adil dalam melihat
masalah ini. Serta akan muncul pula perbedaan pandangan antara hukum Islam dan hukum
perdata tentang masalah ini sehingga terjadi dualisme hukum.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik meneliti masalah ini dengan judul
Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi
Terhadap Teori Fiqh Muamalat dan Hukum Ekonomi Indonesia), selanjutnya bahasan tentang
teori kelalaian dalam regulasi lembaga keuangan syariah perlu diteliti, dan penelitian tentang
aplikasi teori kelalaian tersebut pada perbankan syariah akan mengokohkan teori karena
adanya fenomena nyata di lapangan secara holistik.

B. Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini penulis melihat ada beberapa masalah yang terkait
dengan topik penelitian ini, sehingga masalah-masalah tersebut perlu penulis identifikasi
sebagai berikut: 1. Prinsip kelalaian (nazhariyah at-taqshir/tafrith) sebagai penyebab ganti
rugi dalam fiqh muamalat, 2. Prinsip kelalaian sebagai penyebab ganti rugi dalam hukum
ekonomi positif Indonesia (termasuk undang-undang syariah yang sudah dinyatakan sebagai
hokum positif).
Dari aspek aplikasi penerapan teori kelalaian sebagai penyebab ganti rugi dalam
perbankan syariah, penelitian ini penulis batasi pada produk mudharabah, musyarakah, dan
wadi’ah saja karena tiga produk ini lebih dominan di laksanakan oleh lembaga keuangan
syariah.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana teori hukum ekonomi Islam (fiqh al-muamalat maliyah Islamiyah) dan hukum
ekonomi positif Indonesia dalam memandang dan meletakkan prinsip-prinsip kelalaian dan
kehatia-hatian sebagai penyebab ganti rugi dalam transaksi-transaksi perbankan syariah
Indonesia?
11

D. Sasaran dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan, penelitian ini bertujuan menemukan


prinsip atau azaz kelalaian atau kehati-hatian sebagai penyebab ganti rugi pada produk bank
syariah ditinjau dari kacamata fiqh al-mu‘âmalah dan hukum ekonomi positif Indonesia. Dan
penelitian lapangan akan ditemukan apa saja aspek kelemahan, kekuatan, dan aspek hukum
lainnya yang dapat menjadi masukan bagi pengembangan hukum ekonomi Islam Indonesia.

Dari hasil penelitian diharapkan akan dapat diperoleh beberapa manfaat berikut,
yaitu:

1. Memberikan kontribusi ilmiah bagi pengembangan wacana dan implementasi hukum


perbankan syariah Indonesia.
2. Memberikan masukan ilmiah yang berarti bagi kalangan akademisi dan kalangan lainnya
untuk memperdalam konsep hukum ekonomi Islam dalam upaya meningkatkan kinerja
lembaga perbankan syariah.
3. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dan regulasi pada lembaga keuangan
syariah dalam memproduk hukum ekonomi syariah pada perbankan syariah khususnya,
dan lembaga keuangan non bank, termasuk pada pasar modal syariah dalam produk bagi
hasil seperti saham syariah, sukuk mudharabah, dan sukuk musyarakah.
4. Dapat dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, baik pada IAIN Batusangkar atau jurnal
lainnya.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul penelitian ini, perlu


penulis jelaskan pengertian beberapa istilah-istilah yang dipergunakan sebagai berikut:

1. Kelalaian yang penulis maksud pada penelitian ini adalah sepadan istilah yang terdapat
pada istilah ekonomi klasik dengan tafrîth dan dalam istilah ekonomi kontemporer dengan
taqshîr, yaitu berlebihan dalam hal tidak menjaga amanah sehingga keluar dari
semestinya.4 Substansi definisi tersebut juga sejalan dengan hukum positif Indonesia,
yaitu kelalaian adalah lengah atau sikap kurang hati-hati5 yang dilakukan oleh salah satu
pihak yang bertransaksi.

4
Nazih Hammad, Mu`jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ (IIPH: Saudi Arabia, 1994), hal. 122
5
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 239.
12

2. Ganti rugi yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah penggantian atas kerugian
yang dialami seseorang, sesuai dengan definisi dalam hukum positif Indonesia.6 Definisi
yang sama juga terdapat dalam fikih muamalah Islam, yaitu: kewajiban untuk mengganti
dengan pengganti yang bersifat harta karena adanya bahaya pada pihak lain dengan
ketentuan barang mitsliy dengan mitsliy dan barang qimiy diganti dengan qimiy.7
3. Teori Fiqh Muamalat yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah kerangka berfikir
yang menafsirkan sekumpulan fenomena ilmiah dalam bidang hokum ekonomi Islam
terkait masalah kelalaian sebagai penyebab ganti rugi, dan meletakkannya dalam suatu
susunan yang saling berkaitan dimana dalam penyusunan tersebut lebih didominasi oleh
usaha akal. Sehingga dari teori dapat diketahui kebenaran yang menjadi pokok dasar
berfikir dalam menentukan apakah sikap seseorang dianggap hati-hati atau tidak.
4. Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masarakat dalam pembiyaan berdasarkan prinsip
syariah
5. Fiqh Muamalat adalah hukum-hukum ekonomi yang terdapat syariat Islam.
6. Hukum Ekonomi Indonesia adalah sekumpulan perintah atau larangan-norma dan aturan-
aturan Negara Republik Indonesia dalam segala kegiatan ekonomi. 8

F. Kajian dan Riset Sebelumnya

Sesuai dengan penjelasan penulis pada latar belakang penelitian ini dari hasil
penelitian (skripsi) Muhammad Adfan Yhu’nanda yang berjudul Analisis Unsur Kesalahan
dan Kelalaian Mudharib dalam Akad Pembiayaan Mudharabah Bermasalah Sebagai Dasar
Eksekusi Jaminan pada Universitas Brawijaya Fakultas Hukum tahun 2014, bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi
Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah,
Kompilasi Hukum Islam, dan Akad Perjanjian Mudharabah, secara Substantif dan secara
Prosedural tidak mengatur serta tidak memberikan pengertian bagaimana kriteria kesalahan
dan kelalaian yang dimaksudkan dalam akad perjanjian mudharabah. Maka, Unsur kesalahan

6
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 136.
7
Nazih Hammad, Mu`jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ (IIPH: Saudi Arabia, 1994), hal. 122
8
Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1999), h. 2-3
13

dan kelalain dalam akad mudharabah merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yakni Kesalahan sebagai wujud Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata), dan
Kelalain sebagai wujud Wanprestasi (ingkar janji) (Pasal 1234 KUH Perdata). Sementara
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak pula dijelaskan secara rinci bagaimana
kriteria kelalaian tersebut.
Dalam literatur berbahasa Indonesia, penulis tidak menemukan kajian khusus terkait
teori kelalaian ataupun aplikasi tentang teori kelalaian tersebut dalam lembaga keuangan
syariah, sementara teori ini begitu penting dalam memberikan piranti hokum yang kuat guna
menopang perkembangan ekonomi syariah secara lebih kukuh.
Dari aspek teori fikih muamalah, terdapat suatu hasil penelitian Sulaiman Muhammad
Ahmad berjudul Dhaman al-Matlafât fi al-Fiqh al-Islâmiy (Hukum Ganti Rugi dalam Hukum
Islam) yang berasal dari sebuah desertasi pada Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Mesir
yang diterbitkan dalam bentuk buku tahun 1985 oleh Maktabat al-Mujallad al-‘Arabi.
Meskipun buku ini berbicara tentang hukum ganti rugi, namun ketika membicarakan tentang
hukum ganti rugi dalam masalah dhaman ‘aqd (ganti rugi yang disebabkan oleh adanya
transaksi), buku ini membahas tentang beberapa aspek penyebab dhaman ‘aqd di antaranya
kelalaian, namun dibahas tidak mendalam.

Dalam Desertasi Ahmad Hafizh Musa Musa berjudul adh-Dhaman fi 'Uqud al-
Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuhu al-Mu'ashirah (Jaminan Ganti Rugi dalam
Akad Amanah dalam Fikih dan Aplikasi Kontemporer), juga membahas setengah halaman
tentang teori kelalaian, namun secara terpisah membahas berbagai aspek tentang teori
kelalaian ini.9

Bahasan secara sepintas tentang teori kelalaian juga dibahas oleh Dr. Ali Muhyiddin
al-Quradaghi (Fakultas Syariah-Universitas Qatar) dalam bukunya Mada Mas.uliyyah al-
Mudharib wa Asy-Syarik, al-Bank wa Majlis al-Idarah 'an al-Khasarah (Tanggung Jawab
Mudharib dan Syarik, Bank, dan Dewan Direksi terhadap Kerugian). Dalam makalah ini
terdapat satu kajian khusus tentang prinsip perbuatan melampaui batas (dhawabith at-
ta’addhi) sebanyak satu halaman, namun tidak terdapat bahasan tentang konsep perbuatan
lalai (tafrith).10

9
Ahmad Hafizh Musa Musa, adh-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuhu al-
Mu'ashirah, Desertasi, Universitas Yordan, 2005
10
Dr. Ali Muhyiddin al-Quradaghi (Fakultas Syariah-Universitas Qatar), Mada Mas.uliyyah al-
Mudharib wa Asy-Syarik, al-Bank wa Majlis al-Idarah 'an al-Khasarah, (Jeddah: Majallah al-Majma' al-Fiqhiy
al-Islamiy, Majma' al-Fiqh al-Islamiy), tahun ke-8, edisi 10, 28 Mei 2014
14
15

BAB II

KAJIAN TEORI

B. Kajian Teori
Pada kenyataannya, nasabah bank syariah berkedudukan sebagai konsumen yang
memanfaat produk-produk yang ditawarkan bank, sehingga ia berhak menuntut bila terjadi
cacat produk bank syariah sebagai produsen. Namun nasabah juga berkedudukan sebagai
pihak yang berakad yang berkedudukan setara dengan bank syariah yang dapat dituntut bila
melakukan hal-hal yang merugikan bank syariah. Prinsip kehati-hatian dalam dua posisi
tersebut harus sejalan. Islam tidak mengenal sebuah istilah kapitalisme klasik yang berbunyi
“ceveat emptor” atau “let the buyer beware” (pembelilah yang harus berhati-hati)11, tidak
pula “ceveat venditor” (pelaku usahalah yang harus berhati-hati), tetapi dalam Islam yang
berlaku adalah prinsip keseimbangan (al-ta’adul) atau ekuiblirium dimana pembeli dan
penjual harus berhati-hati dimana hal itu tercermin dalam teori perjanjian (nazhariyyat al-
‘uqud) dalam Islam. Sehingga Khalifah Umar ibn al-Khatthab berkata:12 "Orang yang tidak
mengerti hukum pasar, tidak dapat ambil bagian dalam aktivitas pasar kami". (Riwayat
Tirmidzi dari Anas ibn Malik) Dalam kajian fikih Islam terkenal sebuah prinsip dasar hukum
Islam yang berasal dari Nabi saw, berbunyi: "Tidak boleh ada tindakan bahaya dan
membahayakan dalam Islam".(HR. Ahmad dan Ibnu Mâjah dari Ibnu ‘Abbas, sedangkan al-
Hakîm dan al-Dâruquthni dari Abû Sa‘îd al-Khudhri).

Pembahasan ganti rugi akibat transaksi menyangkut banyak cabang permasalahan


fikih, mulai dari prinsip hak dan penggunaannya, prinsip harta, prinsip akad, prinsip sebab
perbuatan kejahatan (nazhariyyat al-sabab), sampai dengan prinsip tanggung jawab (mabda’
al-mas’ûliyyah) dan prinsip ganti rugi (mabda’ al-dhamân). Sebagai contoh dalam al-Qurân,
surah an-Nisâ’, ayat 92, termaktub sebuah hukum bahwa apabila seseorang membunuh orang
lain karena tersalah-tidak sengaja, maka ia terlepas dari hukuman qishash (hukum bunuh
pula), namun demikian ia tidak akan terlepas dari hukuman ganti rugi senilai 100 ekor onta
atau 1000 dinar emas (sekitar 60.000 dolar US).

11
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 55
12
Al-Tirmîdziy mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan gharib, Lihat: Abû ‘Isa al-Tirmîdziy, Sunan al-
Tirmîdziy, tahkik Muhammad Muhammad Hasan Nasshar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), Jilid 1, h.
361
16

Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan, "Analogi akal dan keadilan
menuntut bahwa barang siapa yang menyebabkan lenyapnya harta seseorang atau
menyebabkan kerugian orang lain, maka ia bertanggung-jawab atas kerugian tersebut
sebagaimana ia bertanggung-jawab atas kerusakan harta tersebut".

Dalam arti kata, segala kerusakan yang ditimbulkan oleh seseorang harus dihapuskan
baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik secara sengaja (al-‘amd) maupun secara
tersalah (al-khata’), sedangkan orang yang mendapat kerugian harus mendapat ganti rugi
(dhamân) atas kerusakan yang ditimbulkan tersebut sebagai konpensasi. 13 Dengan demikian,
perbuatan pelaku transaksi yang secara tersalah atau khilaf mengakibatkan kerugian mitranya,
harus bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.14

Kerugian yang diderita seseorang karena perbuatan orang lain, harus diberi ganti rugi
yang disebut dengan jawabir (penutup maslahat yang hilang). Jawabir terhadap harta
mempunyai suatu kaidah umum “suatu hak harus kembalikan kepada pemiliknya selama
memungkinkan, namun apabila barang atau manfaat tersebut ia kembalikan dalam keadaan
cacat, maka cacat tersebut harus ditanggung dengan nilai (qimah) kerusakan tersebut.
Sedangkan jawabir terhadap kerugian jiwa, cacat tubuh, hilangnya manfaat anggota badan,
dan terluka, maka syara’ sudah menentukan ganti ruginya berupa diyat dan kebijaksanaan dari
pemerintah.

Selanjutnya secara lebih jelas al-‘Iz ibn Abd al-Salâm menerangkan tentang kewajiban
menanggung jawabir dari pelaku kerusakan, “Sesungguhnya jawabir itu disyari’atkan untuk
menambal maslahat yang hilang atau menutup kerugian yang terjadi. Oleh karena itu, jawabir
diberlakukan terhadap pelaku kerusakan secara tersalah, tidak disengaja, sengaja, lalai, sadar,
lupa, dan bahkan terhadap orang gila, serta anak-anak.15

Pernyataan Ibnu al-Qayyim dan al-‘Iz di atas menunjukkan secara benar bahwa
perbuatan berbahaya yang merugikan orang lain benar-benar tidak dapat ditolerir, terutama
apabila dikaitkan dengan ketersalahan pihak pengusaha yang tidak berhati-hati dalam
menggunakan hak.

13
Sulaiman Muhammad Ahmad, Dhaman al-Matlafât fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Kairo: Maktabat al-Mujallad
al-‘Arabi, 1985), h. 38
14
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, (Beirut: Dâr al-Fikri, 1977),
Jilid. 2, hal. 158
15
al-‘Iz ibn Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1999), h. 119
17

Sejauh pengamatan penulis, kajian hukum ekonomi dan perbankan syariah merupakan
hal yang menarik pada zaman ini dan menjadi perhatian besar di kalangan ulama, pemikir
dan pemerhati ekonomi Islam yang banyak tertuang dalam buku-buku karya mereka. Namun
demikian, penulis belum menemukan porsi perhatian yang cukup dalam bidang kajian ini.

Sampai saat ini, penulis belum menemukan penelitian khusus tentang masalah
penelitian ini selain dari buku Sulaiman Muhammad Ahmad, Dhaman al-Matlafât fi al-Fiqh
al-Islâmiy, (Kairo: Maktabat al-Mujallad al-‘Arabi, 1985), yang berasal dari sebuah desertasi
pada Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Mesir. Dan dalam wacana hukum positif
Indonesia terdapat beberapa buku yang dapat penulis rujuk, utamanya buku besar hukum
perdata Indonesia serta buku Sanusi Bintang dan Dahlan dalam buku mereka yang berjudul
Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999). Dalam
hukum positif Indonesia aturan yang terkait dengan teori kelalaian terdapat pada pasal 1365
tentang perbuatan melawan hukum yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan rang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan pada Buku Ketiga Bab I
lebih dominan tentang wanprestasi dalam bidang utang piutang.

Melihat pada kajian para ulama dan pemikir Islam serta hukum positif Indonesia di
atas, penulis menemukan bahwa mereka belum membahas masalah asas ketidakhati-hatian
sebagai penyebab ganti rugi dalam praktek perbankan syariah secara khusus dan mendasar.

Dalam perbankan syariah akad yang paling utama terkait dengan masalah kelalaian
adalah akad-akad dalam kelompok akad amanah, seperti wadi’ah dan mudharabah, dan akad
musyarakah. Maka akad ini memerlukan piranti hukum yang cukup karena rentas terhadap
masalah kelalaian, baik dari pihak bank sebagai penerima wadi’ah, pelaku usaha atau
mudharib kedua, ataupun sebagai serikat.

Penulis dalam penelitian ini membahas asas kelalaian dan ketidakhati-hatian sebagai
penyebab ganti rugi dalam praktek perbankan syariah secara kusus dan komprehensif dengan
memperhatikan problematika bank syariah kontemporer karena nampaknya banyak aspek-
aspek positif yang kiranya dapat kita ambil darinya.
18

C. Bagan Kerangka Konseptual

Kelalaian Sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Praktek


Perbankan Syariah (Analisis Aplikasi Terhadap Teori Fiqh Muamalat dan
Hukum Ekonomi Indonesia)

Teori Kelalaian Sebagai Teori Kelalaian Sebagai


Penyebab Ganti Rugi Penyebab Ganti Rugi

Aplikasi Teori Kelalaian Sebagai


Penyebab Ganti Rugi

Dalam Perbankan Syariah

Apliaksi Akad-akad
19

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka dan lapangan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip
umum yang mendasari perwujudan dari satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
manusia. Penelitian kualitatif menggunakan pradigma interpretativisme, bertujuan memahami
fenomena sosial, fokus pada alasan tindakan sosial, mengacu pada moralitas dengan pola fikir
rasionalitas.16 Maka dalam penelitian ini, data-data pustaka dan lapangan akan dikaji secara
komprehensif dan mendalam, lalu diinterpretasikan sesuai dengan teori yang sudah diperoleh.

Sedangkan alasan pelaksanaan penelitian ini alasan intelektual (intelectual research),


yaitu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya diakhir dengan alasan-alasan
praktis. Hasil penelitian juga ditujukan untuk tujuan praktis atau untuk mencapai langkah atau
tindakan yang dipandang lebih baik atau lebih sempurna dari sebelumnya. Sedangkan
berdasarkan tempatnya, penelitian ini adalah library research, yaitu studi melalui literatur
terkait, lalu dilanjutkan dengan aplikasinya ranah praktis.

Menurut taraf atau derajat pencapaian hasilnya, penelitian ini adalah penelitian
inferensial (inferencial research), yaitu penelitian yang tidak hanya melukiskan keadaan saja
melainkan berdasarkan konsep yang sudah dibangun dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan
berdasarkan analisis yang mendalam sehingga dapat digunakan dalam membuat kebijakan.
Secara lebih terfokus, penelitian ini adalah penelitian sosial keagamaan yang dilakukan dari
segi meneliti "apa yang dimaksud oleh teks agama" berdasarkan pada tafsiran yang
dihubungkan dengan alam ril dan sistem syara` secara keseluruhan serta studi kritis terhadap
tafsiran ulama terdahulu (rekonstruksi).17

Sebagai sebuah penelitian hukum normatif, maka digunakan analisis kualitatif


(normatif-kualitatif) karena datanya bersifat kualitatif. Penelitian hukum normatif dapat
berupa inventarisasi hukum positif, usaha-usaha penemuan asas-asas dasar falsafah (doktrin)

16
Burhan Bugin, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: RajaGrafindo,
2001), hal. 46
17
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial dan Budaya, (Bandung: Rosdakarya,
2001), hal. 15
20

hukum positif, usaha penemuan hukum (in concreto) yang sesuai untuk diterapkan guna
penyelesaian perkara tertentu
Subyek utama dari penelitian ini adalah 1) tulisan-tulisan dan pemikiran para pakar
hukum dan ulama syariah yang membahas dan menganalisa masalah asas kelalaian atau
kehati-hatian yang dikaitkan dengan produk perbankan syariah, dan 2) Aplikasi prinsip-
prinsip kelalaian dan kehati-hatian sebagai penyebab ganti rugi dalam transaksi-transaksi
perbankan syariah. Dalam analisa data, penelitian ini menggunakan metode analisa isi
(content analysis) melalui fiqh mu‘amalah dan metode komparatif, sedangkan untuk analisis
lapangan dilakukan analisis domain. Data yang dikumpulkan, kemudian dideskripsikan dan
dianalisis dengan cara memperbandingkan antara satu pendapat dengan yang lain dan pokok-
pokok pikiran lainnya, serta menganalisis data pendukung dan dalil-dalil yang dikemukakan.
Dari deskripsi dan analisis tersebut penulis menyusun kesimpulan akhir penelitian ini, baik
secara deduksi. Data-data lapangan berupa aplikasi masalah penelitian akan dianalisi sesuai
dengan teori yang sudah dibangun.

Bahasan tentang teori kelalaian dalam regulasi lembaga keuangan syariah perlu
diteliti, dan penelitian tentang aplikasi teori kelalaian pada lembaga keuangan syariah akan
mengokohkan teori karena adanya analisis terhadap fenomena nyata di lapangan secara
holistik.

Langkah-langkah penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Permasalahan 2:
Permasalahan 1: Aplikasi Pelaksanaan Teori Kelalaian
Teori Kelalaian dalam Fiqh Islam dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah

Sumber Data: Sumber Data: Lembaga


Teks Agama, Studi Kritis Pendapat keuangan syariah dan nasabah
Ulama dan Pemikir, dan Teks Hukum
Positif

Metode Analisis Data:


Metode Analisis Data: Metode Analisis Domain dengan
1. Contents Analisis terhadap teks Mengunakan teori yang sudah
2. Studi Komperatif antara hokum Islam dibangun
dan Positif
3. Metode analisis berdasarkan ushul
fiqh Islam.

Pembahasan :

Interpretasi Data
21

B. Jenis Data Penelitian


Dari aspek jenis data, karena tipe penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka data-
data yang akan dikumpulkan selanjutnya akan dianalisa adalah data-data kualitatif berupa
kata-kata dan tulisan yang umumnya bersifat verbal, sedangkan ketika melakukan wawancara
langsung ke responden akan data non verbal.
Dari aspek sumber data, data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan
responden di lapangan terkait aplikasi penerapan teori kelalaian, sedangkan data sekunder
berasal dari data-data pendukung berupa dokumen-dokumen pada lembaga keuangan dan dari
tulisan yang ada pada teks-teks karya para pemikir ekonomi Islam kontemporer yang
dianalisis secara analisis isi (content analysis).
Dari segi cara memperoleh data, data-data dengan tujuan untuk menyusun teori yang
akan digunakan dalam analisis lapangan, didapatkan melalui buku-buku dan jurnal
perpustakaan yang ada di perpustakaan IAIN Batusangkar, dan IAIN Imam Bonjol Padang,
demikian juga melalui situs-situs resmi di internet berupa data-data elektronik. Sedangkan
data untuk penelitian lapangan diperoleh melalui wawancara dan observasi (data
obervasional) dengan pihak-pihak pengelola lembaga keuangan syariah khususnya bidang
pembiyaan, account officer, dan bagian pemasaran, demikian juga ketika peneliti melakukan
trigulasi saat mewawancarai nasabah yang pernah melaksanakan akad bagi hasil dengan
lembaga keuangan syariah.
22

BAB IV. PEMBIYAAN

ANGGARAN BIAYA (RAB)


KEGIATAN PENELITIAN DOSEN TINGKAT MADYA
IAIN BATUSANGKAR TAHUN 2016

HARGA
KODE URAIAN VOL JUMLAH
SATUAN
A BELANJA BARANG OPERASIONAL LAINNYA
Penggandaan draf cetak pasca pelaksanaan (1 KEGx1
1 JDL) 1 JDL Rp 350,000 Rp 350,000
Penggandaan proposal pasca pelaksanaan (14
2 EXSPx1 JDL) 14 EXSP Rp 20,000 Rp 280,000
Penggandaan instrumen pasca pelaksanaan (1400
3 LBRx1 JDL) 1,400 EXSP Rp 175 Rp 245,000
Penggandaan laporan pasca pelaksanaan (12 EXSPx1
4 JDL) 12 EXSP Rp 45,000 Rp 540,000
JUMLAH Rp 1,415,000
B BELANJA BAHAN
Konsumsi peserta diskusi pra kegiatan (10 ORG X 1
1 HR x 1 JDL) 10 OH Rp 35,000 Rp 350,000
2 konsumsi pelaksanaan (6 ORG X 1 HR x 1 JDL) 6 OH Rp 35,000 Rp 210,000
Konsumsi peserta diskusi pra kegiatan (15 ORG X 1
3 HR x 1 JDL) 15 OH Rp 35,000 Rp 525,000
4 ATK pasca pelaksanaan (1 KEG x 1 JDL) 1 KEG Rp 870,000 Rp 870,000
JUMLAH Rp 1,955,000
C HONOR OUTPUT KEGIATAN
1 Honor responden (20 ORG x 1 JDL) 20 JDL Rp 100,000 Rp 2,000,000
Honor pengolah data pelaksanaan (1 ORG x 1 KEG x
2 1 JDL) 1 JDL Rp 1,450,000 Rp 1,450,000
3 honor lay out pasca pelaksanaan (1 KEG x 1 JDL) 1 JDL Rp 500,000 Rp 500,000
JUMLAH Rp 3,950,000
D BELANJA JASA PROFESI
narasumber penyempurnaan proposal pra
1 pelaksanaan (2 ORG x 1 JPL x 1 JDL) 2 JDL Rp 300,000 Rp 600,000
narasumber ekspos hasil penelitian pasca
2 pelaksanaan (2 ORG x 1 JPL x 1 JDL) 2 JDL Rp 900,000 Rp 1,800,000
JUMLAH Rp 2,400,000
E BELANJA PERJALANAN DINAS
transportasi narasumber pra pelaksanaan (2 ORG x 1
1 JPL x 1 JDL) 2 PERJ Rp 110,000 Rp 220,000
transportasi pengumpul data pelaksanaan (22 ORG x
2 1 HR x 1 JDL) 22 PERJ Rp 200,000 Rp 4,400,000
transportasi penyusun laporan pelaksanaan (2 ORG x
3 1 PERJ x 1 JDL) 4 PERJ Rp 110,000 Rp 440,000
transportasi narasumber pasca pelaksanaan (2 ORG x
4 1 PERJ x 1 JDL) 2 PERJ Rp 110,000 Rp 220,000
JUMLAH Rp 5,280,000
JUMLAH Rp 15,000,000
23

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan berbagai teori hukum, baik dalam hukum Islam maupun konvensional,
kelalaian mempunyai arti yang khusus dan luas, bukan sekedar tindakan alpa, karena
implikasi dari kelalaian sangat fatal dalam kegiatan ekonomi. Selanjutnya untuk menilai
apakah suatu perbuatan lalai atau tidak, tidak hanya berdasarkan pada pelanggaran terhadap
kontrak yang sudah dibuat tapi juga terkait dengan berbagai teori hukum yang luas seperti
teori unsur kepatutan, adat kebiasaan, dan kesusilaan dalam kerangka teori tanggungjawab,
perbuatan melawan hukum, itikad baik, sosiologi hukum, dan sosiologi ekonomi.

A. Teori Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi dalam Hukum Ekonomi Islam

Dalam bahasan teori kelalaian dalam hukum ekonomi Islam, terdapat dua masalah
pokok yang menjadi perhatian, yaitu pertama tentang kelalaian dan kedua tentang ganti rugi.
Oleh karena ganti rugi sebagai akibat dari kelalaian, sementara tujuan utama dari bahasan ini
adalah tentang prinsip-prinsip kelalaian dalam hukum ekonomi Islam, maka penulis memulai
bahasan dari masalah ganti rugi dalam fikih Islam.

1. Ganti Rugi dalam Akad (Dhaman ’Aqd)


Ganti rugi disebut dalam istilah fikih adh-dhaman (‫)الضمان‬, dan kadangkala kata adh-
dhaman juga berarti jaminan. Jaminan dalam bahasa Arab adalah adh-dhaman atau al-
kafalah. Sedangkan dalam istilah ekonomi atau perbankan adalah bank guaranty disebut juga
adh-dhaman al-mashrifi atau dapat juga disebut dengan collateral security bila ia sudah
berbentuk kontrak atas surat berharga, dokumen, dan sertifikat kepemilikan. Jaminan
(guaranty) adalah perjanjian atau kontrak untuk memikul tanggungjawab atas suatu hutang
untuk melaksanakan suatu kewajiban (pembayaran hutang) atau tugas karena kelalaian.
Sedangkan warranty adalah jaminan mutlak, walaupun tanpa disertai oleh kelalaian.18

Dalam ungkapan fikih muamalah terdapat contoh-contoh aplikasi penggunaan istilah


ini, misalnya: penerima titipan bertanggung jawab mengganti rugi (dhamin) jika barang
titipan rusak atau binasa karena kelalaian ; dan peminjam bertanggung jawab mengganti rugi
(dhamin) jika barang pinjaman rusak atau binasa karena kelalaian ; Mudharib dhamin atas
18
Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
1991), h.492
24

barang shahibul mal sebagaimana akad titipan (yad amanah); Tidak ada dhaman atas alat-alat
hiburan yang melalaikan; Tidak ada dhaman atas barang ghairu mutaqawwim; Orang yang
mengambil harta orang lain tanpa izin, ia dhamin atas keselamatan barang itu; dan, Harta A
yang terdapat pada tangan orang lain dapat masuk dalam ketegori dhaman akad seperti
barang yang masih di tangan penjual atau uang yang masih di tangan pembeli, dan juga dapat
masuk dalam ketegori dhaman yad, jika harta itu sedang dighasab orang lain atau dipinjam
(dalam 'ariyah), atau dapat juga tidak ada dhaman sama sekali seperti harta serikat dalam
syirkah atau di tangan wakil dalam wakalah.

Ketika Rasulullah saw bersabda:

ِ ‫الضم‬
)‫ان (رواه أبو داود‬ ِ ‫ َقاَل ْت َقال رسول ه‬.‫ض‬.‫عن ع ِائ َش َة ر‬
‫ اْل َخَر ُ ِ ه‬:‫م‬.‫َّللا ص‬
َ ‫اج ب‬ ُ ََُ َ َْ

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Laba menantang dhaman” (HR. Abu
Daud), hadits ini bermaksud bahwa seseorang yang mengharapkan laba dari suatu usaha harus
ada risikonya, karena pekerjaann yang tidak ada risikonya itu adalah riba. Maka kata dhaman
pada hadits ini dapat berarti “pertanggungan” atau “pengorbanan” karena pencari laba akan
menanggung risiko usaha seperti tenaga, waktu, dan kerugian materil lainnya, atau harus ada
yang dikorbankannya, maka bisa jadi ia mendapat laba dan bisa jadi ia menderita kerugian.
Sedangkan dalam hal riba, seseorang tidak akan pernah rugi, karena jumlah modalnya tetap,
sedang ia akan menerima bunga secara tetap.

Rasulullah saw bersabda tentang tanggung jawab suatu perbuatan:

ْ ‫ت َح هّت ُؤ ََ ِيََِّهُ َرَواهُ أ‬


,‫َْحَ ُد‬ ْ ‫َخ َذ‬ ِ‫ول اَ ه‬
َ ‫َّلل صلى هللا عليه وسلم ( َعلَى اَلْيَ ِد َما أ‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ ٍ ‫َع ْن ََسُرَة بْ ِن ُج ْن ُد‬
َ َ‫ب رضي هللا عنه ق‬ َ
‫ص هح َحهُ اَ ْْلَاكِ ُم‬
َ ‫ َو‬,ُ‫َو ْاْل َْربَؤ َعة‬

Dari Samurah ibn Jundub RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tanggung jawab barang yang
diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu.” (HR. Abu Daud, al-
Arba'ah, dan Dinyatakan Shahih oleh al-Hakim)

Hilangnya barang yang dipinjam atau rusak dengan sebab pemakaian yang diizinkan
maka yang meminjam tidak harus mengganti, apabila pinjam meminjam itu didasari atas
kepercayaan, suka sama suka, dan kecelakaan bukan karena kesengajaan.

Dhaman (‫ )الضمان‬dalam istilah ahli fikih mengandung dua pengertian:


25

(a) ganti rugi, sebagaimana yang didefinisikan oleh Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah
sebagai, “Penyeraham suatu harta pada orang lain, apabila harta tersebut harta al-mitli
(serupa dan dapat diukur atau dihitung dengan tepat), maka harus diserahkan harta al-
mistli pula, akan tetapi harta tersebut harta qiami (Harta yang tidak dapat diukur dengan
tepat dan tidak terdapat jenis yang sama dalam satuannya dalam masyarakat), maka harus
dikembalikan pula harta qiami tersebut”. Secara lebih ringkas al-Syaukâniy
mendefinisikannya dengan “ganti rugi dari suatu hal yang rusak atau lenyap”,
(b) tanggung jawab, sebagaimana yang terdapat pada definisi dhaman ahli fikih mazhab
Mâliki sebagai, “Menimpakan suatu tanggung jawab pada orang lain dengan alasan yang
benar”. 19 Dan juga dapat disamakan dengan makna jaminan atau penanggungjawab.
Pembahasan ganti rugi akibat transaksi menyangkut banyak cabang permasalahan
fikih, mulai dari prinsip hak dan penggunaannya, prinsip harta, prinsip akad, prinsip sebab
perbuatan kejahatan (nazhariyyat al-sabab), sampai dengan prinsip tanggung jawab (mabda’
al-mas’ûliyyah) dan prinsip ganti rugi (mabda’ al-dhamân).20
Dalam kajian fikih Islam terkenal sebuah prinsip dasar hukum Islam yang berasal dari
Nabi saw, berbunyi:
‫هار قُن ِْ ي َو اْْلَاكِ ْم َع ْن أَِ ي َس ْعي ٍد ارضير‬
ُ ‫إ بِبْ ِن أَِ ي َي ْيؤََةإ الد‬،‫ا‬ َ ‫َْحَ ُدإ بِبْ ُن َم‬
ٍ ‫اجة َع ْن ب ِن َعَه‬ ْ ‫ أ‬:ُ‫(رَواه‬ ِ
َ ‫ض َرَر َوالَ ض َر َار‬
َ َ‫ال‬
Tidak boleh ada tindakan bahaya dan membahayakan dalam Islam.(HR. Ahmad dan Ibnu
Mâjah dari Ibnu ‘Abbas, sedangkan al-Hakîm dan al-Dâruquthni dari Abû Sa‘îd al-Khudhri).
Dalam arti kata, segala kerusakan yang ditimbulkan oleh seseorang harus
dihapuskan baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik secara sengaja (al-‘amd)
maupun secara tersalah (al-khata’), sedangkan orang yang mendapat kerugian harus
mendapat ganti rugi (dhamân) atas kerusakan yang ditimbulkan tersebut sebagai
konpensasi.21 Sebagai contoh dalam al-Qurân, surah an-Nisâ’, ayat 92, termaktub sebuah
hukum bahwa apabila seseorang membunuh orang lain karena tersalah-tidak sengaja, maka
ia terlepas dari hukuman qishash (hukum bunuh pula), namun demikian ia tidak akan
terlepas dari hukuman ganti rugi senilai 100 ekor onta. Dengan demikian, perbuatan pelaku
transaksi yang secara tersalah atau khilaf mengakibatkan kerugian mitranya, harus
bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.

19
Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukâniy, op.cit., h. 326-328., dan: ‘Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh
Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), juz 1-3, pasal 410
20
Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukâniy, op.cit., h. 326-328., dan: ‘Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh
Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), juz 1-3, pasal 410
21
Sulaiman Muhammad Ahmad, Dhaman al-Matlafat fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Mujallad
al-’Arabi, 1985), h. 38
26

Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan,

ْ ََ ُ‫ص أ َْو َُؤ ْغ ِرْْيِ ِه أَنهه‬ ِ َ‫يى أَ هن من َُسَهب ِِف بُِْال‬


ِ ‫ف َم‬
ٍ ‫ال َي ْخ‬ ِ َ‫ واْلع ْد ُل َؤ ْقت‬،‫واْ ِلقيا‬
ُ‫ي َم ُن َما أَُْؤلَ َهه‬
ْ ََ ‫ي َم ُن َما غَ هرَمهُ َك َما‬ َ َ َْ َ َ َ ُ َ َ
Analogi akal dan keadilan menuntut bahwa barang siapa yang menyebabkan lenyapnya harta
seseorang atau menyebabkan kerugian orang lain, maka ia bertanggung-jawab atas kerugian
tersebut sebagaimana ia bertanggung-jawab atas kerusakan harta tersebut.22
Kerugian yang diderita seseorang karena perbuatan orang lain, harus diberi ganti rugi
yang disebut dengan jawabir (penutup maslahat yang hilang). Jawabir terhadap harta
mempunyai suatu kaidah umum “suatu hak harus kembalikan kepada pemiliknya selama
memungkinkan, namun apabila barang atau manfaat tersebut ia kembalikan dalam keadaan
cacat, maka cacat tersebut harus ditanggung dengan nilai (qimah) kerusakan tersebut.
Sedangkan jawabir terhadap kerugian jiwa, cacat tubuh, hilangnya manfaat anggota badan,
dan terluka, maka syara’ sudah menentukan ganti ruginya berupa diyat dan kebijaksanaan dari
pemerintah.
Selanjutnya secara lebih jelas al-‘Iz ibn Abd al-Salâm menerangkan tentang kewajiban
menanggung jawabir dari pelaku kerusakan, “Sesungguhnya jawabir itu disyari’atkan untuk
menambal maslahat yang hilang atau menutup kerugian yang terjadi. Oleh karena itu, jawabir
diberlakukan terhadap pelaku kerusakan (ta’addiy) secara tersalah, tidak disengaja, sengaja,
lalai, sadar, lupa, dan bahkan terhadap orang gila, serta anak-anak.23
Pernyataan Ibnu al-Qayyim dan al-‘Iz di atas menunjukkan secara benar bahwa
perbuatan berbahaya yang merugikan orang lain benar-benar tidak dapat ditolerir, terutama
apabila dikaitkan dengan ketersalahan para pihak berakad yang tidak berhati-hati dalam
menggunakan haknya.
Sebagai contoh dalam praktek perbankan syariah, pada produk wadi’ah, bank syariah
penerima titipan wajib menjaga barang yang dititipkan secara hati-hati, kemudian bila terjadi
kerusakan atau kehilangan, maka ia akan tidak menjadi tanggung-jawab bank syariah
penerima titipan selama ia masih dalam batas hati-hati, sedangkan bila terdapat unsur
kelalaian, maka ia akan menjadi tanggungjawab bank syariah. Demikian juga halnya dengan
modal yang berada pada nasabah penerima dana produk mudharabah, ia (mudharib) wajib
mengelola harta yang disalurkan bank syari’ah atas prinsip kehati-hatian; penyewa barang

22
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam, op.cit., h. 158
23
al-‘Iz ibn Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1999), h. 119
27

sewaan (al-ajir) dalam akad ijarah; dan, pembuat barang (ash-shani’) dalam akad ishtishna’
yang menerima bahan dari pemesan (mushtashni’).

2. Pengertian Kelalaian

a. Istilah-istilah terkait dalam Fikih yang Menunjukkan Kelalaian


Istilah kelalaian dalam fikih populer dengan istilah at-tafrith (‫)التفريط‬, kata at-tafrith
sering disamakan dengan istilah at-taqshir (‫ )التقصير‬dan jarang dengan kata al-ihmal (‫)اإلهمال‬
yang berarti meremehkan. Terkadang juga digunakan istilah tadhyi’ (‫ )تضييع‬yang berarti
menyia-nyiakan. Istilah-istilah tersebut selalu atau sering disandingkan dengan kata at-
ta’addiy (‫ )التعدي‬yang secara bahasa berarti “pelanggaran” atau “melanggar”, karena perbuatan
ta’addiy mencakup perbuatan lalai. Setiap pelaku kelalaian adalah pelaku ta’addiy, karena
kelalaian melanggar aturan umum untuk memenuhi suatu kewajiban. Misalnya terdapat
ungkapan Imam an-Nawawiy dalam Raudhah ath-Thalibin berbicara tentang hukum
wakalah,24
‫ فيد الوكيل يد أمانة فال يضمن ما تلف في يده بال تفريط سواء كان بجعل أو متبرعا ً فإن تعدى بأن ركب‬.‫للوكالة حكم األمانة‬
.‫الدابة أو لبس الثوب ضمن قطعا ً وال ينعزل‬
Pada kalimat ini terlihat jelas, Imam an-Nawawiy menggunakan istilah at-Tafrith,
kemudian juga menggunakan istilah at-ta’addiy sebagai sandingannya atau persamaannya.
Sedangkan kata at-taqshir dapat dilihat pada ungkapan Ibnu ‘Abidin dalam Radd al-
Muhtar:25
َ : ‫ف بِ َال ت َ ْق ِصير ِقي َل‬
‫ َال‬: ‫ض ِمنَ َوقِي َل‬ َ ‫ضعَهُ فِي بَ ْيتِ ِه فَت َ ِل‬
َ ‫ب فَ َو‬ َ ‫لَ ْو ا ْست َأ ْ َج َر قَد ُو ًما ِل َكس ِْر ْال َح‬
ِ ‫ط‬
Jika dibandingkan dengan hukum konvensional, kata ta’addiy dapat disamakan
dengan “perbuatan melawan hukum”, dan tidak tepat dengan kata kesalahan.
Jadi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Sulaiman, kadangkala para fuqaha
menggunakan istilah ta’addiy dengan makna taqshir, yaitu ketika seseorang lalai dari suatu
perbuatan biasa yang semestinya ia lakukan. Oleh karena itu, kata ta’addiy mencakup
perbuatan sengaja atau tersalah, demikian juga mencakup perbuatan melalaikan, meremehkan,
dan tidak hati-hati. Terlihat jelas bahwa terdapat kesamaan, yaitu adanya “perbuatan
melampaui batas”, maka ta’addiy dengan taqshir adalah tidak melakukan suatu perbuatan
yang dituntut, yang pertama (ta’addiy) melewatinya, sedangkan yang kedua (taqshir) tidak

24
an-Nawawiy, Raudhah ath-Thalibin, Jilid. 2, hal. 102
25
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Jilid. 23, hal. 498
28

memenuhi yang dituntut, maka keduanya dinilai melampaui batas karena tidak memenuhi
perbuatan yang dituntut.26
Sepanjang analisa penulis, istilah yang paling sering digunakan dalam buku-buku
tulisan ahli fikih kontemporer adalah kata ta’addiy dan kata taqshir, sedangkan kata tafrith
dan tadhyi’ juga sering digunakan. Sedangkan kata ihmal digunakan juga dalam kontek
menjelaskan kata taqshir.

b. Pengertian Tafrith
Secara bahasa tafrith berarti berbuat taqshir (melalaikan) dan tadhyi' (menyia-
nyiakan).27 Oleh karena itu, tafrith sepadan dengan makna taqshir, sedangkan ifrath sepadan
dengan kata ta'addiy.
Dalam istilah fikih, tafrith berarti melalaikan suatu perbuatan yang mesti dilakukan
secara tradisi ataupun syar'iy.28 Contoh perbuatan tafrith dalam wadi'ah, jika seorang
pemegang amanah meninggal sedangkan tidak menjelaskan kepada ahli warisnya bahwa harta
tersebut adalah harta amanah, maka kewajibannya secara syara' adalah menjelaskan harta
titipan orang lainnya yang ada padanya, tapi ia lalai dalam menjelaskan hal tersebut, maka ia
(pemegang amanah) harus mengganti harta itu dari hartanya yang tersisa.29

c. Perbedaan antara Taqshir dan Ta’addiy


Perbedaan antara taqshir dengan ta’addiy adalah bahwa taqshir adalah perbuatan
melampai batas karena melalaikan atau tidak melakukan sesuatu yang mesti dilakukan,
sedangkan ta’addiy adalah perbuatan melampai batas dengan cara melakukan sesuatu dan
pelanggaran.30 Oleh sebab itu, fuqaha mengulang kata ta’addiy setelah taqshir, meskipun
taqshir itu salah satu bentuk ta’addiy (pelanggaran atau perbuatan melawan hukum).
Dalam al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ dijelaskan bahwa masalah taqshir
mencakup banyak akad: “Perbuatan melalaikan (taqshir) dapat mewajibkan ganti rugi dalam
bidang muamalat pada akad-akad yang dasarnya tidak terdapat ganti rugi padanya seperti
akad wadi’ah, wakalah, rahn, musaqah, mudharabah, dan ijarah, karena pelaku kelalaian
adalah penyebab dari terjadi kerugian atau kerusakan harta dengan cara tidak melakukan apa
26
Sulaiman Muhammad Ahmad, Dhaman al-Matlafat fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Mujallad
al-’Arabi, 1985), h. 229
27
Lisanul 'Arab, 7:268
28
al-Jurjani, at-Ta'rifaat, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1405 H), cet. 1, hal. 49
29
Ibnu 'Abidin, Hasyiyah, 1:217; as-Sarakhsi, al-Mabsuth, 11:129; dan, Ibnu al-Humam, Syarh Fath al-
Qadir, 1:241
30
Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ, (Kuwait: Kementrian
Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 14, hal. 148
29

yang semestinya dilakukannya dalam menjaga harta tersebut. Hal ini disepakati oleh para
ulama.”31

d. Pengertian Ta’addiy Sebagai Istilah Umum dari Kelalaian


Kata at-ta’addiy dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, mengandung
pengertian “melampaui suatu hak kepada suatu perbuatan aniaya”.32 Sedangkan secara istilah
fikih adalah sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-
Kuwaitiŷaħ Ta’addiy adalah “melanggar sesuatu yang seharusnya sesuai standar syariat,
tradisi ‘urf, dan adat kebiasaan”.33

Secara bahasa, ta'addiy berarti "perbuatan aniaya dan melampaui batas",34 sedangkan
dalam istilah fuqaha at-ta'addiy didefinisikan oleh Nazih Hammad dalam Mu`jam al-
Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ sebagai "melampai apa yang seharusnya pada batasnya secara
syariat dan 'urf (tradisi).35 Definis tersebut cukup memadai, namun dalam penjelasan definisi
tersebut belum mencakup substansi ta’addiy secara menyeluruh, karena tidak memasukkan
faktor-faktor selain pelanggaran terhadap isi kontrak.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, ta’addiy adalah melanggar kebenaran, atau apa-apa yang
diizinkan syariah, atau tidak melakukan suatu perbuatan hati-hati yang dapat melindungi dari
bahaya meskipun terdapat “izin dalam melakukan suatu perbuatan”. Seperti membuat lobang
di tanah milik sendiri adalah boleh, tapi jika ada orang atau hewan terjatuh ke lobang itu, ia
bertanggungjawab atas perbuatannya jika ia sembarang menggali, atau tidak membuat tanda
khusus. Atau seperti, menyalakan api saat angin kencang di rumahnya, atau seperti membawa
barang di jalanan adalah boleh tapi jika menimpa barang atau orang lain, maka ia
bertanggungjawab.36 Jadi meskipun perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang dibolehkan,
tapi ia tidak hati-hati dalam melakukannya, maka ia menanggung akibat perbuatannya itu.
Wahbah az-Zuhailiy dalam Nazhariyyah ad-Dhaman37 menegaskan prinsip dari
perbuatan ta’addiy adalah keluar dari perilaku yang biasa bagi seorang laki-laki biasa, atau

31
Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ, (Kuwait: Kementrian
Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 14, hal. 149
32
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 1:179
33
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 29:216
34
Ibnu Manzhur: Lisanul Arab, 15:33
35
Nazih Hammad, Mu`jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ, (Riyadh: ad-Dar al-‘Alamiyyah li al-Kitab
al-Islamiy, 1995), cet. 3, hal. 117.
36
DR. Wahbah az-Zuhaili ,al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, (Beirut: Dâr al-Fikri, 1989), Jilid. 5, h. 748
37
Aiman Shalih, Hikmah Dhaman al-Fi’l adh-Dharr wa Atsaruha fi Tahdid Mujibatih fi al-Fiqh al-
islamiy, Makalah: Jurnal Mu’tah li al-Buhuts wa ad-Dirasat, Jilid 17, edisi 4, 2002, diterbitkan oleh Universitas
Mu’tah, Yordania, hal. 6
30

ta’addiy adalah pekerjaan berbahaya tanpa ada hak atau suatu pembolehan secara syara’,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu an-Nujaim dalam Kitab al-Asybah. Maka, prinsip
ta’addiy adalah “menyalahi apa yang ditentukan oleh syara’ atau tradisi ‘urf. Apabila
ta’addiy adalah perbuatan melampaui suatu batas yang ia harus berhenti padanya, maka
prinsipnya kembali kepada hukum kebiasaan masarakat terhadap hal-hal-hal yang mereka
anggap suatu perbuatan melampaui batas, baik tradisi ‘urf itu berupa tradisi umum ataupun
tradisi khusus. Dan ta’addiy mencakup melampaui batas, melalaikan suatu kewajiban,
meremehkan, tidak hati-hati, demikian juga dengan kesengajaan dan tersalah.38
Suatu tanggungjawab tidak hanya karena perbuatan berbahaya tapi harus dikatikan
dengan adanya ta’addiy. Istilah ta’addiy lebih baik dari istilah “kesalahan” dalam hukum
konvensional karena ta’addiy langsung terkait dengan kewajiban harta benda, kata ta’addiy
jelas memandang pada hasil perbuatan bukan pada perbuatan pelaku, terakhir, kata ta’addiy
mencakup perbuatan salah, sengaja, lalai, meremehkan, dan sejenisnya, sedangkan kata
“kesalahan” mencakup unsur kesengajaan secara kabur.39

e. Pendapat Imam asy-Syathibiy tentang Ta’addiy


Berhubungan teori umum ta’addiy, penting untuk disimak komentar Abu 'Ubaidah
Masyhur ibn Hasan Âli Sulaiman dalam menjelaskan pendapat asy-Syathibi dalam membahas
konsep “kesemenaan dalam menggunakan hak dengan bersebab (tasabbub) dalam Kitab al-
Muwafaqat:
Jika dicermati uraian dari asy-Syathibi, dapat kita simpulkan beberapa hal berikut:
Pertama, pendapat asy-Syathibi persis sama dengan teori-teori hukum modern yang
berhubungan dengan masalah “kesalahan dalam menggunakan hak”, jika tidak lebih maju dari
teori modern pada beberapa aspek dari sisi uraian dan rasionalitas, terutama apabila kita
analogikan dengan zaman buku ini (al-Muwafaqat) ditulis. Kedua, asy-Syathibi, telah
mendirikan suatu teori terhadap tujuan umum syariat, yaitu bahwa “kesalahan dalam
menggunakan hak” termasuk dalam masalah “melakukan suatu perbuatan pelanggaran dengan
cara bersebab”, dan penulis juga sudah memberikan bantahan-bantahan yang sudah dipahami
penulis dalam tulisannya sebelumnya (Lihat al-Muwafaqat, Jilid. 1, halaman 376). Ketiga,
menurut asy-Syathibi, unsur-unsur ta’addiy terdiri dari tiga hal, yaitu:

38
Dikutip Wahbah dari Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ,
(Kuwait: Kementrian Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 29, hal. 216
39
Nashir ibn Muhammad al-Jaufan, at-Ta’widh ‘an as-Sijn: Dirasah Muqaranah, Riyadh: Jurnal al-
Buhuts al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah, edisi: 61
31

1. Perbuatan yang bermaksud pada bahaya secara murni, perbuatan ini dianggap sebagai
perbuatan ta’addi utama.
2. Penilaian, dugaan, atau perkiraan kuat (mazhinnah) adanya kesengajaan atau bertujuan
untuk membahayakan, perbuatan ini dianggap ta’addi yang disimpulkan dari karenah-
karenah (bukti atau faktor-faktor yang menguatkan).
3. Perbuatan meremehkan atau melalaikan (al-ihmal) sesuai dengan substansi sosial yang
diperintahkan Islam. Dimana idealnya adalah pelaku semestinya melakukan suatu
perbuatan hati-hati agar tidak terjadi bahaya pada pihak lain. Atau dengan uangkapan
lain “sikap lalai dalam melakukan suatu perbuatan yang semestinya dilakukan dengan
benar (sesuai prosedur), dan malalaikan substansi-substansi syariat dari perbuatan
tersebut.
Keempat, Penulis menteorikan suatu “perbuatan semena-mena dalam mengunakan
hak” dengan cara bersebab, dan dia tidak mengikuti prinsip-prinsip ta’addiy yang
dikemukakan oleh mayoritas fuqaha terdahulu.40

2. Prinsip-Prinsip Kelalaian Penyebab Ganti Rugi dalam Fikih

Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa kelalaian dapat terjadi karena “meninggalkan


suatu perbuatan yang mesti dilakukan secara syariat dan tradisi” (taqshir) dan juga dapat
terjadi karena “melakukan suatu perbuatan karena melampaui batas” (ta’addiy), maka di sini
penulis perlu menjelaskan kedua aspek yang berkaitan dengan kelalaian ini.

a. Bagaimana Suatu Perbuatan Dianggap Melampaui Batas?


Perbuatan melampaui batas (ta'addiy) dapat terjadi karena:
1) Melanggar kesepakatan yang terdapat dalam akad, seperti mudharib yang melanggar
persyaratan dengan rabbul mal dengan tidak membawa harta itu dalam perjalanannya,
maka mudharib bertanggungjawab terhadap bahaya yang menimpa harga itu karena ia
bawa dalam perjalanannya, sedangkan pada hukum dasar menyatakan bahwa mudharib
tidak bertanggungjawab.
2) Melanggar tradisi yang sudah populer di masarakat secara umum, karena keberlakuan
hukum 'urf sama dengan nash syara', Segala sesuatu yang ditentukan oleh syara’ secara
umum, dan tidak terdapat suatu standar khusus untuknya, demikian juga tidak ada

40
asy-Syathibiy, al-Muwafaqat, sesuai komentar (ta’liq) dari Abu 'Ubaidah Masyhur ibn Hasan Âli
Sulaiman, (KSA-Khubar: Dar Ibnu 'Affan, 1997), Jilid. 3 hal. 56. Sedangkan dalam Kitab al-Muwafaqat dalam
CD al-Maktabah asy-Syamilah, terbitan Dar al-Ma'rifah, Beirut, tahkik Abdullah Darraz, dapat dilihat pada
halaman 349.
32

standar khusus dari sisi bahasa, maka standar itu ditetapkan oleh tradisi masarakat
(‘urf),41 maka apabila terdapat sengketa antara rabbul mal dan mudharib atas suatu
perbuatan mudharib, apakah perbuatan itu dianggap sebagai ta'addiy atau tidak, maka ia
dikembalikan pada para ahli yang berpengalaman dalam bidangnya (ahl al-khibrah)42
untuk menyelesaikan sengketa ini.43
Sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-
Kuwaitiŷaħ Ta’addiy adalah “melanggar sesuatu yang seharusnya sesuai standar
syariat, tradisi ‘urf, dan adat kebiasaan”,44 maka subtsansi dari perbuatan ta’addiy telah
tercakup dalam definisi ini.
b. Bagaimana suatu perbuatan dianggap lalai?

Setelah menjelaskan pentinya kajian taqshir (kelalaian), al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-


Kuwaitiŷaħ menjelaskan kriteria taqshir yang menyebabkan ganti rugi: “Perbuatan
melalaikan (taqshir) yang menyebabkan ganti rugi adalah semua hal yang dianggap manusia
merupakan perbuatan lalai secara urf (tradisi masarakat) dalam menjaga suatu jenis amanah.
Maka, penilaian hakim terhadap kelalaian akan berbeda sesuai dengan sifat alamiah suatu
perkara, dan para ulama sudah mengemukakan banyak contoh perbuatan melalaikan dalam
bab-bab yang bermacam-macam, jika kita ingin mengkaji lebih dalam, dapat dikaji masing-
masing masalah akad tersebut.” Misalnya, jika seorang hakim sembrono dalam menghukum
karena tidak melakukan pemeriksaan terhadap saksi maka ia adalah kelalain, atau jika seorang
dokter mengobati seseorang, lalu ia terbukti melakukan kelalaian dalam pengobatan, atau
salah secara menyolok, maka ia bertanggungjawab atas kesalahan tersebut, hal ini disepakati
oleh para ulama.45

Dengan demikian, obyek dari hukum kelalaian adalah segala perbuatan yang terkait
dengan hukum amanah yang terdapat dalam akad seperti modal yang ada di tangan mudharib,
barang titipan yang ada di tangan penerima tititpan, kekuasaan yang ada di tangan wakil, dan
bahan-bahan yang terdapat di tangan shani’ dalam akad istishna’.

41
as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 1:98
42
al-Buhutiy, Syarh Muntaha al-Iradat, 2:269
43
Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-
Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 31-32
44
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 29:216
45
Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ, (Kuwait: Kementrian
Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 14, hal. 149
33

c. Melanggarkan Isi Kontrak46

Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa perbuatan ta'addiy dapat terjadi karena


melanggar isi kontrak, maka di sini perlu dijelaskan tentang hakikat pelanggaran isi kontrak
yang dapat menyebabkan ganti rugi. Melanggar isi kontrak adalah perbuatan melawan hukum
yang masuk dalam kategori ta’addiy.

Dasar hukum perikatan Islam adalah bahwa para pihak dalam akad harus memenuhi
syarat-syarat yang mereka buat karena Rasulullah saw telah bersabda:

ٍ ‫الّتِم ِذ ِ عن عمرو ب ِن عو‬


‫فإ َوِِف ِرَواََِة‬ ِ ِ ِ
ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ‫اجة َو أَبُؤ ْو َِّ ُاو َِّ َو ي ْ ي‬
َ ‫(رَواهُ ابْ ُن َم‬ َ ‫َواْملُ ْسل ُم ْو َن َعلَي ُي ُرْوط ِه ْم بِاله َي ْرطًا أ‬
َ ً‫َح هل َح َر ًاما أ َْو َح هرَم َحالَال‬
47
‫ اْملُ ْسلِ ُم ْو َن ِع ْن َد ُي ُرْو ِط ِه ْم‬:،‫ا‬
ٍ ‫اْلَُ َخا ِر َع ْن ابْ ِن َعَه‬

“Kaum muslimin harus mentaati persyaratan atau perjanjian yang mereka buat, kecuali
apabila persyaratan atau perjanjian itu menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal”, dan dalam riwayat al-Bukhariy berbunyi: “Kaum muslimin harus menta’ati perjanjian
atau persyaratan yang mereka buat” (HR. Ibnu Majah, Abû Dawud, dan al-Tirmidzi dari
‘Amru ibn ‘Auf. Sedangkan pada riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas).

Oleh karena itu, kedua pihak wajib memenuhi syarat-syarat yang mereka buat, maka
jika mudharib melakukan suatu perbuatan yang melanggar isi kontrak mudharabah atau jika
penerima titipan melanggar isi kontrak wadiah, maka si pelanggar bertanggungjawab atas
perbuatannya jika terjadi kerugian terhadap barang karena ia sudah melakukan suatu
perbuatan di luar izin pemilik harta.

Misal lainnya, jika rabbul mal mensyaratkan agar mudharib tidak melakukan suatu
komoditi tertentu, lalu ia melanggar, maka ia menanggung rugi meskipun ia sudah hati-hati
dalam melakukan perdagangannya karena ia sudah mengelola harta orang tanpa persetujuan
pemiliknya.

Jika penitip mensyaratkan agar titipan tidak dikeluarkan dari tempat penyimpanannya
yang sudah ditentukan, lalu penerima titipan mengeluarkan tanpa ada suatu keadaan darurat,
maka bertanggungjawab karena melanggar isi kontrak.

46
Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-
Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 32
47
al-Imâm al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), h. 60, dan: al-
Imâm Muhammad al-Shan’âni, Subul, op.cit., h.59
34

d. Melanggar Tradisi

‘Urf dalam istilah hukum konvensional disebut juga dengan adat kebiasaan atau tradisi
yang terdapat pada suatu masarakat tertentu termasuk aspek etika dan kesusilaan yang berlaku
pada mereka, dan ia akan berobah sesuai dengan berobahnya tempat, waktu, dan pelaku.
Maka, kajian terhadap ‘urf menempati ruang yang sangat luas dalam penyelesaian hukum-
hukum perdata pada umumnya, baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum
konvensional.

‘Urf menempati porsi yang sangat besar dalam bidang hukum perbuatan manusia,
maka ia harus diketahui dan ditaati oleh masing-masing berakad. Sehingga para
memunculkan suatu kaidah umum ushul fikih yang masyhur, yaitu:

‫اِّ َة ُُمَ هك َمة‬


َ ‫ال َْع‬

“Suatu Adat kebiasaan menjadi dasar hukum”, yang bermaksud bahwa kebiasaan manusia
pada umumnya pada suatu tempat atau waktu, baik ucapan ataupun perbuatan dijadikan
sebagai dasar dalam menghukumi sesuatu selama tidak berlawanan dengan nash syara'.
Selanjutnya untuk lebih mempertegas dan menjelaskan posisi adat dalam hukum Islam, para
ulama memberikan suatu kaidah yang disepakati, yaitu:

ِ ‫ط لَه فيه وال ِِف اللُّغَ ِة فَؤرِجع فِيها َبَل الْعر‬


‫ف‬ َ ِ‫ضاب‬
َ ‫كل ما ورِّ به الشرع منلقا وَال‬
ُْ َ َ ُ

“Segala sesuatu yang ditentukan oleh syara’ secara umum, dan tidak terdapat suatu standar
khusus untuknya, demikian juga tidak ada standar khusus dari sisi bahasa, maka standar itu
ditetapkan oleh tradisi masarakat (‘urf)”, dan kaidah:

‫ب ال َْع َم ُل ِِبَا‬ ِ ُ ‫استِ ْع َم‬


ِ ‫ال الن‬
ُ ‫ ُح هجة ََي‬،‫ها‬ ْ

“Suatu kebiasaan manusia menjadi suatu dalil yang wajib diamalkan”

‫ب ال َْع َم ُل ِِبَا‬ ِ ُ ‫استِ ْع َم‬


ِ ‫ال الن‬
ُ ‫ ُح هجة ََي‬،‫ها‬ ْ

Suatu kebiasaan manusia menjadi suatu dalil yang wajib diamalkan

ِ ِ
‫ت ِِبل ُْع ْرف َكالثهابِت ِِبلن ِي‬
‫هص‬ ُ ِ‫التهؤ ْقيِي ُد الثهاب‬
35

Suatu hal yang sudah kokoh secara tradisi mempunyai kedudukan yang sama kokohnya
dengan nash.

ِ ‫وف عرفًا كسالْم ْشر‬


‫وط َي ْرطًا‬ ُ َ َ ْ ُ َ ‫ال َْم ْع ُر‬

Kedudukan suatu tradisi seperti suatu syarat yang dibuat.

ِ ‫ف بؤ ْني التُّ هجا ِر َكالْم ْشر‬


‫وط‬ ِ ‫املعروف بني التجار كاملشروط بينهم إ الْمتؤع‬
ُ َ َ َ ‫ار‬ َ َ َُ

Sesuatu yang sudah ma'ruf dikalangan pebisnis, maka ia seperti syarat bagi mereka

ً‫اِّ ًة َكال ُْم ْمتَنِ ِع َح ِقي َقة‬


َ ‫ال ُْم ْمتَنِ ُع َع‬

Sesuatu yang tidak mungkin secara hukum kebiasaan, maka ia dianggap tidak mungkin secara
realita.

ِ ‫َال َؤ ْن َكر َُؤغَيُّؤر ْاْلَح َك ِام لِتَؤغَ ُُِّّي ال هزم‬


‫ان‬ َ ْ ُ ُ ُ

Perubahan hukum karena berubahnya zaman tidak dapat diingkari/dibantah

‫ياهُ ُي ْرع أ َْو ُع ْرف‬ َ ‫ع َي ْيئاً َِّ َخ َل فِ ْي ِه َما ُه َو ِم ْن‬


َ َ‫ض ُرْوَراُِِه َوَما اقؤْت‬ َ ‫َم ْن َِب‬

Barangsiapa yang menjual sesuatu, maka akan masuk padanya segala sesuatu yang sudah
menjadi kelazimannya, dan semua yang dituntut oleh syara' dan tradisi.

ِ‫اِّة‬
َ َ‫وراُِِه َوَُؤ َوابِ ِع ِه ال ُْم ْعت‬ َ ‫ك َما ُه َو ِم ْن‬
َ ‫ض ُر‬ َ َ‫ك َي ْيؤئًا َمل‬
َ َ‫َم ْن َمل‬

Barangsiapa yang memiliki sesuatu, maka ia juga memiliki sesuatu yang sudah semestinya
mengikuti barang tersebut sesuatu dengan tradisi suatu masarakat terhadap barang tersebut.

Diantara contoh-contoh adat sebagai rujukan yang dikemukakan para ulama adalah:

1) Belanja di Supermarket tanpa ada ijab qabul termasuk terhadap bukan barang remeh
(muhaqqarat).

2) Seorang tukang angkut barang wajib meletakkan barang dalam rumah jika tradisi
memang bergitu.
36

3) Barang yang dibeli dapat dikembalikan karena cacat, jika cacat tersebut diakui secara
tradisi oleh pelaku pasar, tapi jika masyarakat tidak menganggapnya sebagai cacat,
maka tuntutan tidak dapat diterima.

4) Barang yang biasanya dilakukan secara mu'athâh, maka ia sah, dan sebaliknya (seperti
rumah atau ternak).

5) Akad muqawalah (istishna' konstruksi rumah kontemporer)

6) Pemberian upah kepada makelar, berikut jumlahnya, meskipun tidak disebutkan dalam
akad.

7) Memberi hadiah jeruk beralas piring, jika tradisi menunjukkan bahwa piring itu
biasanya dikembalikan, maka ia harus dikembalikan.

8) Jam waktu kuli harian merujuk pada tradisi saat tidak ditentukan oleh akad.

9) Jika dulu beras (dan sejenis) dijual/diukur dengan ditakar, maka tradisi sekarang
dengan ditimbang, dan hal tersebut diakui secara hukum.

10) Membeli sebuah mobil berikut alat-alat perbaikan dan ban serap adalah tradisi yang
sudah kokoh. (kuda dengan pelana atau tapal)

11) Mata uang yang digunakan dalam suatu pasar adalah mata uang populer, ketika terjadi
sengketa.

12) Menjual anggur pada orang yang biasanya pembuat khamar tidak boleh karena itu
tradisinya.

13) Menjual rumah atau toko pada seseorang yang biasanya ia untuk tempat maksiat.

14) Memberi hadiah pada pejabat (biasanya dengan tujuan buruk).

15) Memberi hadiah pada pejabat atau kreditor memang dilarang, jika hal itu menjadi
kebiasaan sebelumnya, maka dibolehkan.

16) Suatu kebiasaan yang sudah populer di kalangan para pedagang sama kedudukannya
dengan syarat yang mereka buat sesama mereka.

17) Dalam suatu pasar jika tidak disebutkan metode pembayaran, apakah secara tunai atau
tangguh, maka hal itu dikembalikan pada tradisi mereka
37

18) Jika seseorang meminjam motor pada temannya, maka motor itu harus digunakan
sesuai cara yang biasa dalam masyarakat.

19) Jika ada orang yang dikenal miskin menuntut bahwa seseorang yang dikenal kaya
berhutang kepadanya dalam suatu jumlah yang tidak biasa terjadi, maka tuntutannya
tidak dapat diterima

20) Dulu membeli rumah cukup dengan melihat sebagiannya, sekarang dilihat dengan
secara terukur dan teliti, bagian perbagian, karena rumah masa dulu tidak rumit
susunannya.

21) Imam Abu Hanifah melarang jual beli ulat sutra, lalu Imam Muhammad
membolehkannya karena pada zamannya ulat sutra sudah dianggap harta.

22) Menjual rumah, lalu didapati pembeli terdapat didalamnya sekantong uang, uang itu
tidak termasuk bagian dari rumah biasanya. Yang masuk dalam ikutan rumah adalah:
sumur, tanah, barang tambang dalam tanah, sumber air, atap, dst.

23) Menjual tanah berarti termasuk bangunan dan pon yang terdapat padanya. Tapi jika
tanaman muda, ini dikembalikan pada tradisi.

Sekiranya tradisi suatu masarakat mengharuskan seorang penyewa tidak boleh


menyewakan lagi rumah sewaannya pada orang lain, lalu ia tetap melakukannya, maka ia
bertanggung jawab atas kerusakan yang menimpa rumah tersebut.

Oleh karena itu, mengetahui suatu tradisi mesti dilakukan semua orang, terutama
seorang hakim, dan jika hakim tidak mengetahui tradisi, maka ia harus bermusyawarah
dengan orang-orang yang ahli dan berpengalaman (ahl al-khibrah).

e. Melanggar Suatu Maslahat Akad

Kewajiban atas seorang penjaga amanat adalah menjaga harta amanat sesuai dengan
maslahat harta tersebut, maka jika penerima amanah melakukan suatu perbuatan yang
menafikan maslahat penjagaan, maka ia bertanggungjawab atas kerusakan barang.

Misalnya, jika penyewa suatu barang berani menyewakan lagi pada orang lain yang
kurang amanah dari dirinya, maka ia bertanggungjawab terhadap barang yang disewa,
meskipun kerusakan yang diakibatkan penyewa kedua sama dengan penyewa pertama, karena
38

penyewa pertama telah melakukan suatu perbuatan yang menafikan kemaslahatan barang
yang semestinya.48

Dan jika seorang penerima wasiat melakukan suatu kontrak, sedangkan ia tahu bahwa
kon‫ف‬rak tersebut akan merugikan dan menyebabkan bahaya terhadap harta, maka ia
bertanggungjawab.

f. Melanggar Tabiat Akad

Tabiat akad wadiah adalah menjaga harta, sedangkan tabiat akad mudharabah adalah
mencari laba, tabiat akad wakalah adalah menjaga kepentingan pewakil.

Jika seseorang menerima suatu akad titipan, dengan syarat tidak memindahkan titipan
itu dari tempat penyimpanannya, lalu tiba-tiba api menyala di dekat titipan itu, maka
kewajiban penerima titipan adalah memindahkan barang itu meskipunn dengan demikian ia
telah melanggar perjanjian, dan sekiranya ia tetap membiarkan, maka ia bertanggungjawab
karena perbuatan ini berlawanan dengan tabiat akad.49

B. Teori Kelalaian dalam Hukum Positif

Sebagaimana sudah dibahas, dalam hukum positif perbuatan ta’addiy disebut dengan
“kesalahan” yang dalam bahasa Arabnya adalah al-khatha’ (‫)الحطأ‬. Para ahli hukum
konvensional di Timur Tengah, juga menggunakan istilah sama dengan ahli hukum di
Indonesia, yaitu kesalahan. Dan juga sudah dikemukakan bahwa istilah ta’addiy lebih tepat
dari istilah khatha’ ditinjau dari aspek bahasa maupun dari aspek substansi hukum.

Dalam membahas teori kelalaian dalam hukum positif, terdapat beberapa hal yang
perlu dibahas, yaitu 1) hubungan antara ilmu ekonomi dan ilmu hukum karena ilmu ekonomi
digunakan oleh ilmu hukum dalam memproduk suatu hukum dimana analisa ekonomi sangat
berguna bagi ilmu hukum dalam menimbang maslahat dari penerapan suatu hukum sehingga
tujuan utama dari pembentukan dan penerapan hukum tercapai, 2) Teori Tanggung Jawab

48
Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-
Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 33
49
Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-
Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 34
39

Hukum, karena prinsip-prinsip kelalaian dalam hukum konvensional diperoleh dari teorin
tanggungjawab hukum, 3) Teori perbuatan melawan hukum, karena kelalaian merupakan
salah bentuk perbuatan melawan hukum, 4) Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian Bisnis,
karena untuk menilai apakah suatu perbuatan dianggap suatu kelalaian atau tidak tergantung
dari penilaiann terhadap itikad baik pelaku, 5) Sosiologi hukum, karena hukum tidak hanya
akan melihat bahwa pelaku kelalaian telah melakukan suatu perbuatan lalai yang
menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tapi dari aspek sosial mengapa ia melakukan
kelalaian, 6) hukum adat, karena kebanyakan masalah kelalaian merujuk pada hukum adat
atau tradisi suatu tempat pada waktu tertentu dengan pelaku tertentu, 7) Kelalaian dan ganti
rugi dalam hukum positif Indonesia, dan 8) Hukum Kelalaian dalam Perbankan Syariah.

1. Ilmu Ekonomi dan Hukum dalam Integrasi dan Interkoneksi Ilmu

Secara keilmuan, ilmu hukum dan ilmu ekonomi saling berkaitan karena keduanya
berkaitan dengan perilaku manusia. Secara luas, ilmu hukum mengatur perilaku manusia,
sementara ilmu ekonomi mempelajari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya
sehingga kedua memiliki hubungan yang erat, saling mengisi (interdependence) satu sama
lainnya, saling membutuhkan, dan tidak dapat berdiri sendiri.50

Interaksi antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya mempunyai persamaan dan keterikatan di dalam teori-teorikeilmuan tentang
perilaku (scientific theories of behavior). Ilmu ekonomi menyediakan acuan normatif untuk
mengevaluasi hukum dan kebijakan, sementara hukum bukan hanya berupa misteri rahasia,
argumen-argumen teknikal, namun berupa alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang
penting. ilmu ekonomi memprediksi terhadap efesiensi kebijakan.51

Sebagai contoh penerapan ilmu ekonomi terhadap hukum, dalam hukum kontrak.
misalnya, teori tawar-menawar (bargaining theory) yang menjadi jembatan penghubung ke-
interpendesian antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi.52 Menurut Posner, teori tawar menawar
ini merupakan bentuk kemanfaatan dalam memperoleh atau mempersamakan posisi tawar

50
Fajar Sugianto, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II, (Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1,
hal. 30
51
Fajar Sugianto, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II, (Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1,
hal. 31
52
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, 7th edition, Aspen Publisher, New York, 2007, hal. 3,
249-259, sebagaimana dikutip dalam Fajar Sugianto, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II,
(Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1, hal. 31
40

menawar untuk menemukan kehendak dan tujuan yang sama sehingga tercapai kesepakatan
yang seimbang (fair).

Di dalam hukum dan ekonomi, keingingan mencapai tujuan hukum tidak diarahkan
mentah-mentah ke arah keadilan dan kepastian hukum, tetapi ke arah efisiensi. artinya, suatu
pengaturan hukum (regulation of law) adalah "baik" apabila menghasilkan keadila yang
nmenjadi standar manusia, misalnya mencapai kesejarhteraan sosial dengan maksimum
(maximum of social welfare).53

Oleh karena itu, hukum sebagai entitas ekonomi yang selalu digunakan manusia
sumber daya (resources) dalam interaksi sosialnya harus mengarah pada suatu keadilan secara
umum dan juga secara individual. misalnya hukum ekonomi "supply and demand" berbicara
tentang teori ekonomi tentang kekuatan tawar menawar antara dua sisi penawaran dan
permintaan, namun hubungan tersebut dapat berakibat buruk bagi publik meskipun baik bagi
beberapa indvidu. Hukum ekonomi, hanya menjelaskan suatu fenomena ekonomi, sedangkan
baik buruknya harus diluruskan oleh hukum keadilan untuk semua (justice for all). Misalnya,
jika pasar dibiarkan sebebas-bebasnya, maka pihak lemah tidak akan terlindungi, lalu
terjadilah hukum rimba.

Maka, kesejahteraan individu atau masalah pendistribusian bukan yang menjadi pokok
pengkajian dalam hukum dan ekonomi, tapi kesejarhteraan total masarakat yang menjadi
salah satu satu orientasi pembelajaran. Untuk memprediksi itu semua digunakan konsep-
konsep dan teori ilmu ekonomi sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai
dampak dan akibat, misalnya dalam mengubah hukum: akan seperti apakah efek perubahan
hukum mempengaruhi keputusan pelaku pasar? bagaimana keputusan pelaku pasar ini
mempengaruhi kesejahteraan sosial masarakat? Ilmu ekonomi berguna membantu
mendudukkan kembali permasalahan hukum dengan jawaban dan ekplanasi lebih konkret,
dengan pengertian lebih definitif. Selanjutnya ilmu ekonomi inilah yang dijadikan pendekatan
kepada hukum untuk memperluas domain hukum sekaligus mencermatinya.54

Berkaitan dengan hukum kelalaian, kajian lebih mendalam terhadap fenomena


ekonomi atau sosiologi ekonomi akan memberikan kontribusi yang besar bagi para ahli dan
praktisi hukum dalam memproduk hukum ekonomi yang lebih tepat dan adil. Serta kajian ini

53
A.C. Pigou, The Economics Welfare (4th edition), 1932, dikutip dalam Fajar Sugianto, Seri Analisis
Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II, (Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1, hal. 32
54
Fajar Sugianto, Seri Analisis Ke-ekonomian tentang Hukum, Seri II, (Jakarta: Kencana, 2013), cet. 1,
hal. 33
41

menjadi ruang yang luas bagi para akademisi untuk melakukan penelitian yang lebih luas,
karena kajian ini akan menghasilkan ‘urf atau adat kebiasaan serta nilai-nilai yang terdapat
dalam suatu komunitas.

2. Teori Tanggungjawab Hukum

Teori tanggungjawab, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan the theory of legal
liability, bahasa Belandanya disebut de theorie van wetteleijke aansprakeelijkheid, sedangkan
di dalam bahasa Jerman disebut dengan die theorie der hafting merupakan teori yang
menganalisis tentang tanggungjawab subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan
melawan hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian atau cacat, atau
matinya orang lain. Ada tiga unsur yang terkandung dalam tanggungjawab hukum, yang
meliputi: 1. Teori, 2. Tanggungjawab, dan 3. Hukum.55

Dalam bahasa Indonesia, kata tanggungjawab berarti “keadaan wajib menanggung


segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan
sebagainya). Menanggung diartikan sebagai bersedia memikul biaya (mengurus, memelihara),
menjamin, menyatakan kedaan kesediaan untuk melaksanakan kewajiban. Pengertian
tanggungjawab atau verantwoordelijkheid secara rinci, diartikan oleh Algra dkk., dengan:56
"Kewajiban memikul pertanggungjawaban dan memikul kerugian yang diderita (bila
dituntut), baik dalam hukum maupun dalam bidang administrasi”.57

Tanggungjawab hukum dalam definisi ini adalah jenis tanggungjawab yang


dibebankan kepada subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum
atau tindak pidana. Sehingga yang bersangkutan dapat dituntut membayar ganti rugi dan/atau
menjalankan pidana. Sedangkan tanggungjawab administratif tertuju pada pelanggaran
administratif, seperti pelanggaran administratif dokter sehingga dicabut izin prakteknya.

Sedangkan teori tanggungjawab hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis
tentang kesediaan dari subyek hukum atau pelaku tindak pidana untuk memikul biaya atau
kerugian atau melaksanakan pidana atas kesalahannya maupun karena kealpaannya.

55
Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), cet. 2, hal. 206
56
Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), cet. 2, hal. 207
57
N.E. Algra, dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, (Jakarta: Binacipta,
1983), hal. 68, dalam: Salim HS, Penerapan Teori Hukum …, hal. 208
42

Tanggungjawab hukum dapat dikategorikan dalam tiga bidang tanggungjawab, yaitu:


1. perdata, 2. pidana, dan 3. administrasi.

Dalam bidang perdata, munculnya tanggungjawab dalam bidang ini adalah disebabkan
karena subyek hukum tidak melaksanakan prestasi dan/atau melakukan perbuatan melawan
hukum. Prestasi subyek hukum berupa melakukan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu. Apabila subyek hukum itu tidak melaksanakan prestasinya, maka ia dapat digugat
atau dimintai pertanggungjawaban perdata, yaitu melaksanakan prestasi dan/atau membayar
ganti rugi kepada subyek hukum yang dirugikan sebagaimana tercantum dalam pasal 1346
KUH Perdata, yaitu:

1. kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian; dan

2. keuntungan yang sedianya akan diperoleh.58

Begitu juga dalam subyek hukum melakukan perbuatan melawan hukum, maka
subyek hukum dapat dituntut membayar ganti kerugian, sebagaimana yang diatur dalam pasal
1365 KUH Perdata. Timbulnya ganti rugi ini disebabkan subyek hukum melakukan kesalahan
kepada subyek hukum lainnya. kesalahannya berupa subyek hukum melakukan perbuatan
melawan hukum. Menurut H.R. 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum
adalah berbuat atau tidak berbuat yang:

1. melanggar hak orang lain

2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku kewajiban hukum hanya kewajiban yang
dirumuskan dalam aturan undang-undang.

3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu
bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam
masarakat; dan,

4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masarakat. aturan tentang
kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu: (1) aturan-aturan yang mencegah orang lain
terjerumus dalam bahaya, dan (2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain
ketika hendak menyelenggarakan kepentingan sendiri.59

58
Dalam hukum ekonomi Islam, tentunya hal ini berkaitan dengan riba, dan hal ini jelas dilarang keras
dalam Islam, maka riba harus menjadi pengecualian dalam kaidah ini.
59
Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, diterjemahkan Djasadin Saragih, (Surabaya: Universitas
Airlangga, 1985), hal. 118, dalam: Salim HS, Penerapan Teori Hukum …, hal. 208-209
43

Prinsip-prinsip Tanggungjawab Hukum

Prinsip tanggungjawab hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. liability based on fault; dan

2. strict liability ((pasal 5 KUH Perdata))

liabelity based on fault, baru memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan
adanya kesalahan pada pihak tergugat. kesalahan merupakan unsur yang menetukan
pertanggungjawaban, yang berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan, tidak ada kewajiban
memberikan ganti rugi. perintah untuk membuktikannya ini diintrodusir dalam pasal 1365
KUH Perdata. Pasal 1865 KUH Perdata berbunyi:

"Barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia medasarkan suatu hak, diwajibkan


membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa
guna membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan persitiwa-peristiwa itu".

Ketentuan ini mensyaratkan pihak tergugat membuktikan adanya kesalahan-kelsahan


yang dilakukan oleh tergugat. untuk membuktikan adanya kesalahan itu, maka pihak tergugat
harus membuktikannya berdasarkan alat-alat bukti, sebagaimana yang diintrodusir dalam
pasal 1866 KUH Perdata. Alat bukti terdiri atas lima macam, yaitu:

1. tulisan;

2. saksi-saksi;

3. persangkaan-persangkaan;

4. pengakuan

5. sumpah (Pasal 1866 KUH Perdata)60

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan akta autentik dan akta bawah tangan.
Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa
untuk itu di tempat dimana akta dibuat (Pasal 1868 KUH Perdata). sedangkan akta di abwah
tangan adalah suatu akta yang dibuat oleh para pihak, tanpa bantuan notaris.

Saksi-saksi adalah orang yang mengetahui tentang peristiwa-peristiwa atau perbuatan


melawan hukum yang dilakukan pihak tergugat maupun pihahk penggugat. Yang diartikan
strict liability (tanggungjawab mutlak) sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan

60
Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), cet. 2, hal. 211
44

ditimbulkannya kerusakan. salah satu ciri utama tanggungjawab mutlak tidak adanya
persyaratan tentang perlunya kesalahan. Pihak penggugat tidak perlu membuktikan tergugat
bersalah, namun pihak tergugatlah yang harus membuktikannya.

Teori tradisional tanggungjawab oleh Hans Kelsen mengemukakan bahwa


tanggungjawab dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. tanggungjawab yang didasarkan kesalahan; dan

2. tanggungjawab mutlak.61

Tanggungjawab yang didasarkan kesalahan adalah tanggungjawab yang dibebankan


kepada subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum atau
perbuatan pidana karena adanya kekeliruan atau kealpaannya (kelalaian atau kelengahan).
Kelalaian adalah suatu keadaan dimana subyek hukum atau pelaku lengah, kurang hati-hati,
tidak mengindahkan kewajibannya atau lupa melaksanakan kewajibannya.

Dalam masarakat modern, tanggungjawab meliputi:

1. Pembatasan kepada keadaan yang tidak sepenuhnya kewajiban untuk mengambil


tindakan, seperti dalam keadaan normal.

2. Dapat menghindarkan akibat-akibat dari tindakan manusia yang membahayakan.

3. Jika tindakan seorang individu telah menimbulkan suatu akibat yang


membahayakan pada seorang individu lainnya, dia dapat terbebas dari sanksi pidana atau
perdata dengan jalan membuktikan bahwa dirinya tidak menduga atau tidak mengehendaki
akibat yang membahayakan dari tindakannya; dan

4. yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban hukum untuk mengambil tindakan


yang dalam keadaan normal, mesti dapat menghindarkan akibat yang membahayakan
tersebut.

Menurut Wright, berdasarkan standar no worse limitation, tidak ada pembatasan


tanggungjawab terhadap suatu perbuatan melawan hukum jika jelas adanya suatu kesalahan
dan yang mempunyai kontribusi langsung berdasarkan asas kausalitas suatu kerugian.

61
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2006), hal. 95..... dalam: Salim
HS, Penerapan Teori Hukum …, hal. 211
45

Jadi kerugian itu harus dilihat dari segala aspek, apakah berdiri sendiri ataukah ada
aspek lain yang menyebabkan kerugian tersebut.

Di Indonesia, tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (based on fault liability


theory), dikenal dengan tanggungjawab berdasarkan perbuatan yang melanggar hukum, dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu
karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Pada dasarnya konsep kesalahan
yang terdapat dalam pasal 1356 KUH Perdata mengandung dua aspek, sebagai berikut:

1. adil, jika seseorang menyebabkan kerugian atau kerusakan pada orang lain karena
kesalahannya diwajibkan untuk membayar ganti rugi kerugian kepada korban atas kerugian
tersebut; dan

2. adil, jika seseorang yang menyebabkan kerugian atau kerusakan pada orang lain
tanpa kesalahannya tidak wajib untuk membayar ganti kerugian tersebut kepada korban.

Tanggungjawab berdasarkan praduga (presumption of liability theory) menyatakan


bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab, sampai tergugat dapat membuktikan
sebaliknya bahwa tergugat tidak bersalah. Teori tanggungjawab mutlak (strict liability theory)
merupakan teori yang mengkaji bahwa tanggung jawab yang berlaku tanpa keharusan adanya
pembuktian unsur kesalahan/kelalaian. Penerapan tanggungjawab mutlak ini tentu akan lebih
melindungi kepentingan konsumen tanpa mempermasalahkan, apakah pelaku usaha telah
melakukan kesalahan/kelalaian dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut.

4. Perbuatan Melawan Hukum

Salah satu cara dan wujud manusia untuk memenuhi berbagai kepentingan adalah
melalui perjanjian. Korelasi antara hukum dan ekonomi sangat erat dan saling mempengaruhi
untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Perkembangan ekonomi akan mempengaruhi
peta hukum, sebaliknya perubahan hukum juga akan memberikan dampak yang luas terhadap
ekonomi.62 Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kontrak atau
perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau
dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.63

62
Ibrahim, J., & Sewu, L. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern (Bandung: Refika Aditam,
2007), 39, 45
63
Subekti, R. Dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita,
2007), 338
46

Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1365 hingga Pasal
1380. Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata hanya 15 Pasal,
tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata di pengadilan didominasi oleh gugatan
perbuatan melawan hukum disamping gugatan wanprestasi. Terminologi perbuatan melawan
hukum merupakan terjemahan dari kata onrechtmatige daad (bahasa Belanda) atau dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah ‘tort’. Beberapa sarjana ada yang menggunakan istilah
‘melanggar’ ada juga yang menggunakan istilah ‘melawan’ dalam menerjemahkan
onrechtmatige daad. Penterjemahan onrechtmatige daad sebagai ‘perbuatan melawan hukum’
lebih tepat dibandingkan ‘perbuatan melanggar hukum’. Pertama, dalam kata ‘melawan’
melekat sifat aktif dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya
dibandingkan dengan kata ‘melanggar’. Maksudnya adalah bahwa dalam kata ‘melawan’
dapat mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai. Sementara kata
‘melanggar’ cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan kesengajaan saja. Rumusan
Pasal 1365 KUH Perdata adalah “tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugiaan
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugiaan itu,
mengganti kerugian tersebut.”64 Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah
perbuatan ‘melukai’ (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract).
Apalagi gugatan perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya
hubungan hukum kontraktual.65
Istilah perbuatan melawan hukum sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara
sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena
undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat
dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum,
suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut
adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan
dalam pergaulan masyarakat. Meninjau perumusan luas dari perbuatan melawan hukum,
maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :
1. Bertentangan dengan hak orang lain,
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,
3. Bertentangan dengan kesusilaan baik,

64
R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
2003), 346
65
Rosa Agustina, “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Rosa Agustina, dkk, Hukum Perikatan (law of
Obligation), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 4
47

4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat


mengenai orang lain atau benda.66
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu
sebagai berikut :
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan. Kesengajaan merupakan perbuatan
yang dilakukan atas dasar mengetahui dan menghendaki, yaitu terjadinya kesengajaan
tidak dibutuhkan adanya maksud untuk merugikan orang lain, melainkan meskipun
mengetahui akibatnya, si pembuat tetap saja melakukan perbuatan tersebut. Kelalaian
merupakan perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat yang mengetahui akibat
perbuatannya itu kemungkinan merugikan orang lain. 67
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian). Kesalahan merupakan terjemahan dari kata schuld yang dalam arti luas
terdiri dari kesengajaan (opzet) dan kelalaian (onachtzaamheid). Debitur yang
mempunyai kesalahan, mengakibatkan ia berada dalam situasi tidak mampu lagi untuk
memenuhi kewajibannya, dalam hal ini kewajiban penyerahannya terhadap kreditur,
sehingga kerugian tidak dapat dihindari terhadap benda prestasinya. Berdasarkan Pasal
1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ditentukan bahwa adanya kewajiban
untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila debitur memiliki kesalahan. Perbuatan
debitur yang merupakan suatu kesalahan, syaratnya adalah dalam perbuatannya itu
harus terdapat unsur salah (schuld dalam arti luas). 68
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Sedangkan untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan
hukum diperlukan unsur-unsur:
1. Perbuatan tersebut melawan hukum;
2. Harus ada kesalahan pada pelaku;
3. Adanya kerugian. 69
Sifat melawan hukum suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan
hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang
materil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila

66
Martha Vivy, dkk “Pertanggung Jawaban Direksi Karena Kelalaian atau Kealahannya yang
Mengakibatkan Perseroan Pilit”, TRANSPARENCY, Jurnal Hukum Ekonomi, Volume 1, ( Feb-Mei 2013); 5
67
Setiawan, R. Pokok-pokok Hukum Perikatan. (Bandung: Binacipta, 1994); 17
68
Satrio, J. Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan. Bagian 2. Bandung: Citra Aditya Bakti.
(1996), 90
69
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi,(
Jakarta: Salemba Empat, 2009), 73
48

perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-


undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan
terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya,
melawan hukum materil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan
demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materil, melawan hukum dapat diartikan
baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-
undangan.70
Dalam hal perbuatan melawan hukum, si pelaku dituntut untuk melakukan
pertanggung jawaban yang dilakukakannya sesuai dengan kadarnya. Dalam hukum Indonesia
model tanggung jawab hukum tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana
terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367.71
Kelalaian merupakan salah satu perbuatan melawan hukum, walaupun semata lalai
bukan unsur kesengajaan. namun lebih dipicu oleh keadaan dimana seseorang atau
sekelompok orang kurang hati-hati dan cermat dalam melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Dalam prakter perbankan nasional (termasuk syari’ah) tidak tertutup adanya kelalaian
tersebut, karena manusia tidak lepas dari sifat lupa dan salah atau ada situasi tertentu yang
membuat seseorang tidak sempurna dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jika
kelalaian hanya personal dan tidak berkaitan dengan orang, kerugian yang diakibatkan tidak
terlalu berpengaruh kepada si pelaku, namun jika kelalaian tersebut berada pada suatu ikatan
janji dan berhubungan dengan orang lain dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga, maka
kelalain tersebut bisa mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak terkait, termasuk oleh
perbankan syariah atau karyawan yang mewakilinya serta kelalaian yang diakibatkan oleh
nasabah bank tersebut.

70
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994) hal. 115
71
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), 3.
49

4. Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian Bisnis

Aspek itikad baik, menempati porsi yang luas terhadap hukum kelalaian, karena
penilaian terhadap itikad baik akan menghasilkan sejauhmana kelalaian sudah terjadi pada
pelaku suatu perbuatan, dan rujukan yang paling utama dalam menilai itikad baik ada unsur
kepatutan, kerasionalan, dan adat kebiasaan. Untuk pra kontrak, semakin deteil suatu aturan
dalam bentuk manajemen dan isi kontrak, maka tingkat itikad baik dinilai makin baik, dan
sebaliknya, sedangkan dalam masa kontrak, kembali asas kepatutan berlaku sedangkan “asas
kepatutan” mempunyai ruang yang sangat luas” yang sangat dipengaruhi oleh keecrmatan
sebelum kontrak.

I'tikad baik telah menjadi asas yang sangat penting dalam hukum kontrak dan telah
diterima dalam berbagai hukum nasional dan internasional, tetapi sampai sekarang
permasalahan tentang definisi itikad baik tetap sangat abstrak. Tidak ada pengertian itikad
baik yang diterima secara universal. Pada akhirnya pengertian itikad baik memiliki dua
dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi kejujuran. Dimensi kedua adalah dimensi
yang memaknai itikad baik sebagai kerasionalan dan kepatuttan atau keadilan.
Kecenderungandewasa ini dalam berbagai sistem hukum mengaitkan itikad baik pelaksanaan
kontrak dengan kerasionalan dan kepatutan. Jadi, ini itikad baik yang bersifat obyektif.

Itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata harus didasarkan pada
kerasionalan dan kepatutan. Itikad baik pra kontrak tetap mengacu kepada itikad baik yang
bersifat subyektif. Itikad yang bersifat subyektif ini digantungkan pada kejujuran para pihak.
Dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak, pihak krediturn memiliki kewajiban untuk
menjelaskan fakta materil yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan sedangkan
debitur memiliki kewajiban untuk meneliti fakta materiil tersebut. Terciptanya itikad baik
dalam tahap pra kontrak ini sangat dipengaruhi ajaran culpa ini contrahendo.

Standar itikad baik dalam prakontrak didasarkan pada prinsip kecermatan dalam
berkontrak. Dengan asas ini, para pihak memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti
fakta materiil yang berkaitan dengan kontrak tersebut.

Standar itikad baik pelaksanaan kontrak adalah standar obyektif. Dengan standar ini,
perilaku para pihak dalam melaksanakan kontrak, dan penilaian terhadap isi kontrak harus
didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan. Kontrak tidak hanya dilihat dari apa yang
50

secara tegas diperjanjikan, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan kontrak.

Itikad baik dalam kontrak memiliki tiga fungsi. Pertama, semua kontrak harus
ditafsirkan dengan itikad baik. Itikad baik juga memiliki fungsi menambah suatu kewajiban
kontraktual. Selain itu, itikad baik juga memiliki fungsi membatasi dan meniadakan suatu
kewajiban kontraktual. Dalam fungsi pertama, penafsiran kontrak tidak hanya didasarkan
kepada apa yang secara jelas diperjanjikan atau kehendak para pihak, tetapi juga harus
memperhatikan itikad baik. Bahkan terhadap yang sudah jelas pun masih dapat ditafsirkan
dengan itikad baik. Dalam fungsinya yang kedua, berdasarkan itikad baik, hakim dalam suatu
perkara tertentu dapat menambahkan isi perjanjian atau bahkan ketentuan undang-undang.
Dalam fungsinya ketiga, manakala hakim dalam suatu perkara tertentu menemukan isi
kontrak yang bersangkutan sangat bertentangan dengan keadilan atau kepatutan, ia dapat
mengurangi atau bahkan meniadakan suatu kewajiban kontraktual.

Pengadilan di Indonesia belum memiliki pemahaman yang utuh mengenai itikad baik,
akibatnya penerapan itikad baik sering kali menjadi tidak konsisten, dan tidak jelas standar
atau parameter apa yang digunakan untuk menilai itikad baik tersebut.72

5. Sosiologi Hukum

Masalah kelalaian sebagai penyebab ganti rugi berkaitan dengan teori sosiologi hukum
karena hukum tidak hanya akan melihat bahwa pelaku kelalaian telah melakukan suatu
perbuatan lalai yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tapi dari aspek sosial mengapa ia
melakukan kelalaian. bisa jadi kelalaian itu disebabkan oleh suatu desakan kebutuhan
individu atau desakan sosial yang menghimpitnya. Berbeda dengan sosiologi ekonomi, maka
sosiologi hukum meneliti motif-motif yang lebih luas bagi seorang hakim dalam menilai suatu
perbuatan terkiat kenyataan di masarakat termasuk hukum kepatutan dan etika kesulilaan
yang berlaku.

72
Ridwan Khairandi, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia), 2003, hal. 346-349 dalam: Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), cet. 2, hal. 257-258
51

Sosiologi hukum menganalisis keberlakuan empirik atau faktual dari hukum.


Sosiologi hukum diarahkan pada kenyataan kemasyarakatan. Bruggink, dalam Salim HS,73
Mengemukakan bahwa sosiologi hukum sebagai terori tentang hubungan kaidah hukum
dengan kenyertaan ke masyarakat. Hubungan ini dapat dipelajari dengan dua cara, yaitu:

1. menjelaskan kaidah hukum dari sudut kenyataan kemasarakatan; dan

2. menjelaskan kenyataan kemasarakatn dari sudut kidah-kaidah hukum.

Meuwissen, dalam Salim HS,74 juga mengemukakan pandangannya tentang sosiologi


hukum. ia berpendapat bahwa sosiologi hukum menjelaskan: "Hukum positif yang berlaku
(artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat) dengan bantuan
faktor kemasarakatan".

Ada dua cara menghubungkan hukum dengan faktor kemasarakatan, yaitu:

1. hukum dapat dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasarakatan;

2. gejala-gejala kemasarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum.

Yang dimaksud dengan menjelaskan adalah memberikan penjelasan kausal konform


(sikap dan perilaku yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku)
dengan pandangan yang berpengaruh dalam ilmu hukum empirik. J. Griffiths memberikan
sebuah kesimpulan bahwa sosiologi hukum adalah ilmu empirik yang setia hanya pada
pemaparan fakta.75

6. Hukum Adat

Hukum Islam dengan tegas memisahkan antara hukum syariat dengan hukum adat
karena hukum syara’ adalah suatu materi hukum sudah baku dengan kaidah tersendiri,
sedangkan hukum adat adalah diakui legalitasnya oleh syara’ sekaligus menjadi salah pintu
masuk menuju kesempurnaan hukum syariat.

73
J.J. H. Bruggink, Rechts Refelectie (Refleksi tentang Hukum), alih bahasa B. Arief Sidharta, (Bandung:
Citra Adytia Bakti, 1999), hlm. 160, dalam Salim HS, Penerapan…, hal. 16
74
Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum,
diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 7, dalam Salim HS, Penerapan…,
hal. 17
75
Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), cet. 2, hal. 16-17
52

Sebelum abad ke 19, hukum adat diidentifikasikan sama dengan hukum agama, dalam
bahasa Belanda disebut dengan Godsdienstigewetten. Sebutan demikian selaras dengan
pendapat dari Van Den Berg yang memperkenalkan teori receptio in complexu, yang
menyatakan bahwa hukum adat suatu golongan (hukum) masarakat merupakan receptie dari
seluruh agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu.

Receptio merupakan suatu proses penerimaan atau adaptasi budaya dalam masarakat.
Oleh karena itu, sampai abad 19, belum digunakan istilah hukum adat, sebab terdapat
penegrtian yang keliru bahwa hukum adat identik dengan hukum agama
(Godsdienstigewetten). Menyamakan hukum adat dengan hukum agama menurut Snouck
Hurgronje dan Van Vollenhoven adalah keliru, karena tidak keseluruhan hukum agama
diterima atau di-receptie oleh hukum adat setempat, melainkan hanya sebagian saja. 76

Bentuk hukum adat, sebagian besar tidak tertulis dan sebagian kecil tertulis. hukum
tertulis biasanya dikenal oleh masarakat yang lebih maju yang sudah mengenal tulisan,
dimana hukum adat itu sudah dituliskan. hal demikian ada di daerah-daerah swapraja atau
kerajaan pada waktu itu serta di Subak, Bali. 77

Di Indonesia, hukum adat menjadi sumber hukum nomor dua, sehingga dalam
berbagai undang-undang dijelaskan bagaimana undang-undang negara mengakui dan
menghargai hukum adat. Dan bahkan ada sebagian hukum ada yang diundangkan menjadi
hukum tertulis karena sudah bersifat umum di negara Indonesia.

7. Hukum Kelalaian dan Ganti Rugi dalam Perpektif Hukum Positif Indonesia

a. Hukum Kelalaian
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan.
Namun ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh salah pihak. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa
Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu
keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, sehingga debitur tidak dapat

76
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 2006), hal. 27
77
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 2006), hal. 29
53

memenuhi prestasi.78 seperti yang telah yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan
dalam keadaan yang memaksa.79
Sementara Salim HS mendefenisikan wanprestasi sebagai keadaan dimana debitur
tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditor dengan debitor.80 Wirjono Prodjodikoro mengatakan
bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu
hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.81
Pengertian umum tentang wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena
kelalaian salah satu pihak. Bentuk dari kelalaian tersebut dapat berupa sama sekali tidak
melaksanakan prestasi, terlambat melaksanakan prestasi atau debitur keliru dalam
melaksanakan prestasi. Konsekuensi hukum dari wanprestasinya debitur adalah keharusan
bagi debitur untuk membayar ganti rugi. Dengan adanya wanprestasi salah satu pihak, pihak
yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian atau pemenuhan perjanjian.82 Sementara
menurut R. Subekti “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4
macam yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.
4.
Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.83
Kelalaian merupakan suatu kegagalan dalam melaksanakan sesuatu dengan cermat
dan hati-hati yang dapat mengakibatkan kesalahan fatal,84 namun hampir sama dengan unsur
kesengajaan yang mengakibatkan kerugian orang lain, dan kealpaan juga adalah suatu
kesalahan namun tingkatannya tidak seberat kesengajaan. Di dalam undang-undang tidak
ditentukan apa arti dari kelalalian secara komprehensif, namun dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan kelaaian adalah kurang hati-hati atau sifat (keadaan, perbuatan) lalai,

78
. Prestasi dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam
suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan kontrak yang
bersangkutan. Lihat Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2008), 120. Menurut Pasal
1234 KUH Perdata bentuk dari prestasi berupa : 1) Memberikan sesuatu 2) Berbuat sesuatu 3) Tidak berbuat
sesuatu
79
. Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta, Pusat Penerbitan UT, 2003), 21
80 .
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakartta: Sinar Grafika, 2009,), 180
81
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung, Sumur, 1999), 17
82
Rosa Agustina, “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Rosa Agustina, dkk, Hukum Perikatan (law of
Obligation), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 5.
83
R.Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, (Jakarta: Pembimbing Masa, hal.50
84
Richard A. Posner, "A Theory of Negligence," 1 Journal of Legal Studies 29 (1972); 1
54

semata-mata bukan karena kebodohan.85 Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui
bahwa inti, sifat-sifat atau cirinya adalah:

1. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/
otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-baiknya, tetapi ia
tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah suatu tindakan aktif (pasif) dengan
kurang kewaspadaan yang diperlukan.
2.
Pelaku dapat memperkirakan apa yang dapat terjadi, tetapi merasa dapat
mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak
melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak
diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.86

Menurut Pasal 1238 KUHPerdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu dianggap lalai
jika melakukan komplain secara resmi dengan apa yang disebut dengan somasi, Adapun
bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata adalah: surat perintah, akta atau
disimpulkan dari perikatan itu sendiri.

b. Ganti Rugi

Kerugian adalah kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat
perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. 87 Pengertian kerugian sangat
relatif yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih
(yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi
yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi. Kerugian
nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak
debitur.88

85
http://kbbi.web.id/lalai
86
Muhammad Rudi Ilbaya, Pertanggung Jawaban atas Delik Kealpaan yang Dilakukan oleh Anggota
Polri yang Mengakibatkan Luka Berat (Studi Kasus Putusan No. 544/ Pid. B/2010.PN. MKS) (Makasar: skripsi
Unhas Makasar, 2013), 26
87
Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, , 2001), 21, lihat juga R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung Binacipta, 197, M.
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung Alumni, 1986), 66
88
M. Tjoanda, “Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Perdata”, Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4
(Oktober – Desember 2010); 42
55

Ganti rugi dalam tanggung jawab kontraktual adalah ganti rugi yang merupakan akibat
langsung wanprestasi. Dengan kata lain, ada hubungan sebab akibat atau causal-verband
antara kerugian yang diderita dengan perbuatan wanprestasi, kerugian harus merupakan akibat
langsung dari wanprestasi. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang
ganti rugi dari kerugian yang bersifat material (berwujud) yang dapat dinilai dengan uang, dan
tidak mengatur ganti rugi dari kerugian yang bersifat immateriil, tidak berwujud (moral,
ideal). Yurisprudensi menyetujui diberikannya ganti rugi terhadap kerugian immateriil,
misalnya dikabulkannya tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena
kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan hidup. setiap kelalaian dan keingkaran
mengakibatkan si pelaku wajib mengganti kerugian serta memikul segala risiko akibat
kelalaian dan keingkaran. Akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang
menimbulkan kerugian terjadi karena keadaan memaksa (overmacht/force majeur) debitur
dibebaskan menanggung kerugian yang terjadi. Menurut undang-undang (pasal 1244, 1245
KUHPerdata) ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu: Tidak
Memenuhi Prestasi; Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur; Faktor penyebab itu
tidak dapat diduga sebelumnnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. 89
Pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan : “Biaya, rugi dan bunga yang oleh si
berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang
telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak
mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di
bawah ini.”
Dari pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah
sebagai berikut :
a. Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos
cetak, biaya materai, biaya iklan.
b. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atau barang kepunyaan kreditur akibat
kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita,
misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah
rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya
barang karena terbakar.

89
Rosa Agustina, “Perbuatan Melawan Hukum” dalam Rosa Agustina, dkk, Hukum Perikatan (law of
Obligation), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 5.
56

c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur
kehilangan keutungan yang diharapkannya. 90
Sementara Purwahid Patrik menyebutkan kerugian terdiri dari dua unsur utama, yaitu;
Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi; dan Keutungan
yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga. Kadang-kadang kerugian hanya
merupakan kerugian yang diderita saja, tetapi kadang-kadang meliputi kedua-dua unsur
tersebut.91 Sedangkan Satrio melihat bahwa unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai pengganti
daripada kewajiban prestasi perikatannya, untuk mudahnya dapat kita sebut “prestasi pokok”
perikatannya, yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan, atau; Sebagian
dari kewajiban perikatan pokoknya. .92
Ganti rugi dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak
seimbang akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan
konsumen). Hak ini sangat terkait dengan produk yang telah merugikan konsumen baik
93
berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri. Pemulihan keadaan yang
telah menjadi rusak ini didasarkan kepada ajaran atau teori faktor kelayakan yang disebut
dengan ajaran atau teori dipertanggungjawabkan secara layak (toerrekening naar
redelijkheid), faktor-faktor penting yang mempengaruhi teori tersebut adalah:
1. Sifat dari kejadian yang menjadi dasar pertanggung gugat;
2. Sifat kerugian; Besar kecilnya kerugian yang akan diperkirakan akan terjadi; dan
3. Beban seimbang yang dapat dilakukan bagi pihak tergugat dari kewajibannya untuk
membayar ganti rugi, serta memperhatikan keadaan keuangan pihak yang dirugikan. 94
Besarnya jumlah ganti rugi dituntut menjadi sesuatu yang logis dengan jumlah yang
“wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek perjanjian dibanding
dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat
besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan
timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya. Sementara Bentuk-bentuk
kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni; Kerugian materiil; Kerugian immateriil.
Namun Undang-undang hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil. namun
tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kerugian dapat menimbulkan kerugian yang
90
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung Alumni, , 1982), 41.
91
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari
Undang-Undang), ( Bandung, Mandar Maju,1994), 14
92
J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), (Bandung Alumni, , 1999), 147. Lihat juga M.
Tjoanda, “Wujud Ganti Rugi..,47
93
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005),
126.
94
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen.., 136
57

immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis, yaitu
berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, waktu yang terpakai, dan sebagainya. 95
Bank dalam kedudukannya sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa pelayanan
perbankan dituntut untuk bertanggung jawab atas jasa yang dihasilkannya, karena bank
mempunyai tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan perjanjian pemberian jasa
terhadap nasabah, karena itu gugatan dapat diajukan atas dasar wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum. Pada pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:
"Kewajiban pelaku usaha adalah:
1. “Beritikad baik” dalam menjalankan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3. Memperlakukan konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan atau/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang beriaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 96

C. Hukum Kelalaian dalam Hukum Positif Syariah Indonesia

Pada sub bab ini, peneliti menganalisa jika terdapat kandungan hukum positif syariah
Indonesia, khususnya pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagai hukum umum dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

95
M. Tjoanda, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Perdata, 48
96
Imas Rosidawati Wiradirja, Perlindungan Konsumen Terhadap Nasabah Pengguna Kartu ATM dalam
Sitem Perbankan Nasional”, http://e-
journal.kopertis4.or.id/file.php?file=preview_repository&id=504&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&na
me=imas_2.pdf
58

sebagai hukum khusus yang terkait dalam perbankan syariah. Kesimpulan utama sub bab ini,
tidak terdapat kandungan hukum yang menjelaskan prinsip-prinsip hukum kelalaian dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah karena hanya disebut kelalaian tanpa menyebutkan conth
atau prinsip tentang perbuatan yang tergolong lalai, dan terdapat penjelasan tentang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
tentang kelalaian dalam pelaksanaan menajemen perbankan syariah, dan ini suatu kemajuan
dalam menjelaskan perbuatan lalai.
Dalam praktek perbankan syari’ah banyak terdapat unsur-unsur yang ditengarai
menimbulkan adanya kesalahan maupun kelalaian terutama dalam akad-akad kerjasama
seperti mudharabah dan musyarakah. Namun kenyataannnya dalam fatwa MUI disebutkan
pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
mudharabah pada bagian ketiga angka 3 bahwa “pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada
ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat
dari kesalahan disegaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”.
Sandaran utama hukum ekonomi syariah Indonesia saat ini adalah Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah yang disahkan oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yang secara tegas
menyatakan bahwa:
Pasal 1
1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah, mempergunakan
sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah.
2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari'ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggungjawab hakim untuk
menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
Pasal 2
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah yang menjadi lampiran dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah Agung ini.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah memuat banyak pasal dan ayat tentang hukum
kelalaian, namun peneliti tidak menemukan hakikat dan substansi dari kelalaian tersebut
sehingga sulit menemukan benang merah dari kelalaian yang dimaksud alam penelitian ini.
Sedangkan Undang-undang ekonomi Syariah, yang sudah ada di Indonesia terkait
lembaga keuangan bisnis syariah, baru Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
59

2008 Tentang Perbankan Syariah, dan pada Undang-undang ini juga menyinggung sedikit
tentang hukum kelalaian terkait manajemen perbankan syariah.

1. Hukum Kelalaian dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah


Pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdapat aturan-aturan tentang kelalaian
terkait pelaksanaan akad, sedangkan pada
Sepanjang analisa peneliti terhadap hukum kelalaian dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, peneliti tidak menemukan prinsip-prinsip yang jelas tentang hukum
kelalaian yang terkait dengan kegiatan ekonomi Islam. Namun terdapat beberapa pasal
tentang perbuatan lalai dalam akad, yaitu:
a. Bab V, tentang Akibat Bai’ pada pasal 92 ayat 3 yang berbunyi:
(2) Barang yang telah diterima pembeli dalam jual beli yang batal adalah (berstatus –pen.)
barang titipan
(3) Pembeli harus mengganti barang yang telah diterima sebagaimana tersebut pada ayat
(2) di atas, jika barang itu rusak karena kelalaiannya.
(4) Jika barang yang harus diganti itu tidak ada di pasar, maka pembeli harus mengganti
dengan uang seharga barang tersebut pada saat penyerahan.
b. Bab VI, tentang Syirkah pada pasal 140 ayat 5 yang berbunyi:
(5) Apabila barang yang diniagakan rusak karena kelalaian pihak pedagang, maka pihak
pedagang wajib mengganti kerusakan tersebut
c. Bab VI, Bagian Tiga tentang Syirkah Abdan pada pasal 163 yang berbunyi:
Kerusakan hasil pekerjaan yang berada pada salah satu pihak yang melakukan akad
kerjasama-pekerjaan bukan karena kelalaiannya,pihak yang bersangkutan tidak wajib
menggantinya.
d. Bab VI, Bagian Lima tentang Syirkah ‘Inan pada pasal 177 ayat 1 yang berbunyi:
(1) Nilai kerugian dan kerusakan yang terjadi bukan karena kelalaian para pihak dalam
syirkah al-‘inan, wajib ditanggung secara proporsional
e. Bab VII, Bagian Lima tentang Ketentuan Mudharabah pada pasal 205 dan 208 yang
berbunyi:
Pasal 205
Mudharib wajib bertanggungjawab terhadap risiko kerugian dan atau kerusakan yang
diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang diizinkan dan atau tidak
sejalan dengan ketentuan ketentuan yang telah ditentukan dalam akad.
Pasal 208
60

Kerugian usaha dan kerusakan barang dagangan dalam kerjasama mudharabah yang
terjadi bukan karena kelalaian mudharib, dibebankan pada pemilik modal
f. Bab VIII: Muzara’ah dan Musaqah, Bagian Kedua tentang Rukun dan Syarat Musaqah,
Pasal 226 yang berbunyi:
Pemelihara tanaman wajib mengganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya
jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.
g. Bab IX tentang Khiyar Bagian Keempat tentang Khiyar ‘Aib Pasal 237 ayat 3 dan 4:
(3) Penjual wajib mengembalikan uang pembelian kepada pembeli apabila obyek
dagangan ‘aib karena kelalaian penjual
(4) Pengadilan berhak menolak tuntutan pembatalan jual-beli dari pembeli apabila ‘aib
benda terjadi karena kelalaian pembeli
h. Pasal 269
(1) Kerusakan obyek ijarah karena kelalaian pihak penyewa adalah tanggung jawab
penyewa, kecuali ditentukan lain dalam akad.
(2) Jika obyek ijarah rusak selama masa akad yang terjadi bukan karena kelalaian
penyewa, maka pihak yang menyewakan wajib menggantinya.
(3) Jika dalam akad ijarah tidak ditetapkan mengenai pihak yang bertanggung jawab
atas kerusakan obyek ijarah, maka hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka
yang dijadikan hukum.
i. Pasal 317
(1) Penjamin wajib bertanggung jawab untuk membayar utang peminjam jika peminjam
tidak melunasi utangnya.
(2) Penjamin wajib mengganti kerugian untuk barang yang hilang atau rusak karena
kelalaiannya.
j. Pasal 367
Apabila harta gadai rusak karena kelalaiannya, penerima gadai harus mengganti harta
gadai.
k. Pasal 369
Penyimpan harta gadai harus mengganti kerugian jika harta gadai itu rusak karena
kelalaiannya.
l. Pasal 386
(1) Apabila mustaudi’ meninggal dunia, maka ahli waris harus mengembalikan wadi’ah
bih.
61

(2) Mustaudi’ tidak bertanggung jawab atas kerusakan dan/atau kehilangan wadi’ah bih
yang terjadi sebelum diserahkan kepada muwaddi’ dan bukan karena kelalaiannya.
m. Pasal 389
(1) Jika mustaudi’ meninggal dunia dan sebagian harta peninggalannya merupakan
wadi’ah bih, maka ahli warisnya wajib mengembalikan harta tersebut kepada muwaddi’.
(2) Jika wadi’ah bih hilang bukan karena kelalaian ahli waris, maka mereka tidak harus
menggantinya.
n. Bab XV Gashb dan Itlaf, Bagian Kelima Perusakan Harta secara Tidak Langsung, Pasal
411, ayat 3:
(2) Perusak tidak langsung yang dilakukan secara sengaja, wajib membayar ganti rugi.
(3) Perusak tidak langsung yang terjadi karena kelalaiannya, wajib membayar ganti rugi.
(4) Ganti rugi perusakan tidak langsung dapat dilakukan secara langsung, melalui
mediator, dan atau pengadilan.
o. Bab XXI Obligasi Syariah Mudharabah, Pasal 578 dan 579:
Pasal 578: Apabila emiten lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau
melampaui batas, maka emiten berkewajiban menjamin pengembalian dana mudharabah,
dan pemegang obligasi syariah mudharabah dapat meminta emiten untuk membuat surat
pengakuan utang.
Pasal 579: Apabila emiten diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian
dan/atau melampaui batas kepada pihak lain, pemegang obligasi syariah mudharabah
dapat menarik dana obligasi syariah mudharabah.
Secara umum tidak terdapat penjelasan tentang prinsip kelalaian dalam KHES, pada
pasal 205 terdapat aturan yang tergolong ta’addiy (perbuatan melampaui batas) yang
tergolong dalam hukum kelalaian, yaitu: Mudharib wajib bertanggungjawab terhadap risiko
kerugian dan atau kerusakan yang diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang
diizinkan dan atau tidak sejalan dengan ketentuan ketentuan yang telah ditentukan
dalam akad. Redaksi senada juga terdapat pada Pasal 578: Apabila emiten lalai dan/atau
melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, maka emiten berkewajiban
menjamin pengembalian dana mudharabah, dan pemegang obligasi syariah mudharabah dapat
meminta emiten untuk membuat surat pengakuan utang.
Dengan demikian, sesuai KHES dapat disimpulkan bahwa penjelasan tentang hukum
kelalaian lebih tergolong pada perbuatan melampau batas (ta’addiy) jika terdapat pelanggaran
terdapat pelanggaran terhadap syarat-syarat perjanjian, sedangkan hukum kelalaian lebih luas
dari pada itu. Maka, penentuan hukum kelalaian kembali juga pada kaidah-kaidah hukum
62

umum tentang perbuatan salah atau tersalah yang terkait dengan tradisi ‘urf dan nilai-nilai
yang berkembang.

2. Hukum Kelalaian dalam UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah


Penulis menemukan suatu kemajuan berarti dalam prinsip-prinsip kelalaian dalam UU
No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah namun hanya terkait kelalaian dalam bidang
manajemen, dan tidak tidak terdapat penjelasan hukum kelalaian dalam masalah pelaksanaan
akad.
Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah juga terdapat beberapa aturan tentang hukum kelalaian, yang terbagi menjadi dua,
yaitu kelalaian dalam melaksanakan manajemen perbankan syariah dan kedua berkaitan
dengan pelaksanaan akad mudharabah. Yaitu pada:
a. Kelalaian Terkait Manajemen Perbankan Syariah
Pasal 62, Ayat (2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai:
a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(2); dan/atau
b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana kurungan
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

b. Kelalaian Terkait Pelaksanaan Akad Mudharabah


Pada Bagian Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah, pada bagian II. Pasal Demi Pasal, Pasal 19, Ayat (1), Huruf
c, yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan adalah Akad kerja
sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang
menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang
bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung
sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
63

Menurut analisa peneliti, penjelasan tentang hukum kelalaian dalam bidang


manajemen pada UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ini sangat membantu
dalam perumusan hukum kelalaian karena prinsip kelalaian terkait dengan tradisi ‘urf dalam
setiap kegiatan umat manusia, maka tradisi manajemen yang sudah tertradisi dengan baik
menjadi suatu acuan yang kuat dalam menentukan apakah suatu perbuatan tergolong
perbuatan lalai atau tidak. Dalam UU No. 21 Tahun 2008 ini secara tegas dinyatakan bahwa
suatu perbuatan tergolong lalai apabila: “a. tidak menyampaikan laporan keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2”, maka pada aturan ini secara deteil yang
dimaksud adalah aturan yang terdapat pada 35 ayat dua yang berbunyi:
Pasal 35
(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian.
(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan
keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta
penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku
umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia.
(3) Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.
(4) Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
(5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik
dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Sedangkan Pasal 52 berbunyi:
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan
mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang ditetapkan
dengan Peraturan Bank Indonesia.
(2) Bank Syariah dan UUS, atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan
kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya,
serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh
kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh
Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(3) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang:
64

a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait


dengan Bank;
b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak
yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank;
dan
c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik
rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.
(4) Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS yang
diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Berhubungan dengan hasil akhir penelitian ini, bahwa prinsip kelalaian dalam hukum
ekonomi Islam demikian juga dengan hukum perdata Indonesia didasarkan dengan tradisi dan
nilai yang berlaku di masarakat, dan bahwa aturan yang deteil tentang suatu transaksi sangat
berguna dalam menentukan suatu perbuatan tergolong lalai atau tidak.

D. Hukum Kelalaian dalam Perbankan Syariah


Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi payung
hukum dan jaminan penting bagi perkembangan dan kegiatan usaha perbankan syariah.
Dengan Undang-Undang tersebut bank syariah leluasa menciptakan inovasi dalam produk dan
layanan jasa perbankan syariah sekaligus menjadi rambu-rambu tentang usaha-usaha serta
produk apa saja yang legal maupun illegal dalam setiap transaksi yang dilakukan, termasuk
mengatur pula sanksi pidana dan sanksi administratif kepada perbankan syariah ketika
melanggar ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Oleh karenya di samping
Undang-Undang tersebut bank syari’ah juga harus memahami dan melaksanakan peraturan
lain dari otoritas moneter yang mengatur hal-hal yang belum termaktub dalam UU 21 tahun
2008, termasuk di antaranya perturan PBI (sekarang peraturan OJK) dan juga kesesuainya
dengan fatwa fatwa DSN sebagai lembaga formal yang mensyahkan lalu lintas usaha-usaha
yang dibuat oleh bank syari’ah.
Bank syari’ah sebagai lembaga formal dalam melakukan intermediasi antara surplus
money dan depicit money dalam sistem keuangan Indoensia berbadan hukum dan memiliki
hubungan hukum yang lahir dari perjanjian dikarenakan adanya usaha-usaha dan kegiatan
baik itu dalam bidang jasa maupun produk perbankan syariah termasuk ranah hukum perdata.
Hubungan hukum tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam menjalankan kegiatan
65

usahanya, pelaku usaha perbankan syariah pasti melakukan suatu perbuatan hukum.
Kesadaran tentang adanya perbuatan hukum, menuntut perbankan syari’ah melakukan
usahanya secara profesional sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan hukum yang
ada. Untuk mendukung usaha yang profesional, akuntable, handal, amanah dan exellent
service bank syari’ah harus menyiapkan sumberdaya yang mumpuni. Sebab sebagai suatu
kegiatan usaha yang berbadan hukum, peran pelaku dan kemampuan stakeholder akan
menentukan apakah badan hukum ini berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada atau
menyimpang dari ketentuan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 kode etik
Bankir Indonesia bahwa dalam menjalankan kegiatan operasional sehari hari bagi Petugas,
karyawan atau pejabat bank di Indonesia mereka harus patuh dan taat pada semua ketentuan
Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku.
Selanjutnya pegawai bank harus mengedepankan beberapa asas yang berkaitan erat
dengan fungsi dan peranannya yaitu; 1, Prinsip kepercayaan (fiduciary principle); 2. Prinsip
kehati-hatian (prudential principle); 3. Prinsip kerahasiaan (confidential principle); 4. Prinsip
mengenal nasabah (know your customer principle); 5. Prinsip kepatuhan atas peraturan; 6.
Prinsip kebenaran pencatatan; 7. Prinsip kejujuran wewenang dan ; 8. Prinsip kehormatan
profesi; 9. Prinsip kebersihan pribadi; 10. Prinsip kesehatan persaingan; 11. Prinsip
keterbatasan keterangan.97
Dalam praktek operasional suatu bank tidak luput dari risiko maupun efek minor yang
buruk tetapi dapat berpengaruh pada operasional bank itu sendiri. Bank syari’ah sebagai
perbankan yang berdasarkan sistem bagi hasil mengalami perkembangan yang sangat baik.
Namun dalam setiap usaha bisnis pasti ada untung dan rugi. Di sisi lain bank syari’ah
dihadapkan kepada resiko-resiko yang multi dimensi baik disebabkan oleh internal maupun
eksternal bank itu sendiri, baik resiko yang bisa dituntaskan, tuntas dengan sendirinya atau
yang tidak bisa dituntaskan. Hal ini tergantung dengan kekuatan dan kemampuan sumber
daya manusianya dan kecekatan internal perbankan itu sendiri dalam mencegah dan
menyelesaikan risiko-risiko tersebut. Diantara resiko tersebut adalah masalah hukum
diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum oleh pihak-pihak tertentu yang mengakibatkan
tuntutan sanksi berupa ganti rugi.

Peta Permasalahan Hukum Kelalaian dalam Aplikasi Lembaga Keuangan Syariah, Kasus
Lembaga Perbankan Syariah:

97
Djoni S. Ghazali, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 25
66

INVESTOR
PEMILIK SAHAM [SYARIK]-DEPOSAN [MUDHARABAH]-
WADIAH-SUKUK [BERAGAM AKAD]

Bank tidak boleh lalai dalam


mengelola dana investor

Nasabah tidak boleh dalam


memenuhi kewajiban pada bank

NASABAH PEMBIYAAN
UTANG-WADIAH-SYIRKAH-IJARAH-MUDHARABAH-ISTISHNA

Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa praktisi lembaga keuangan syariah


dan Dewan Pengawas Syariah,98 bahwa untuk saat ini masalah utama terakait hukum
kelalaian dominan berhubungan dengan prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh manajemen
perbankan terhadap investor. Dan oleh karena sudah banyaknya aturan manajemen serta
bentuk kontrak yang deteil dan profesional serta penerapan manajemen risiko yang baik,
maka pengontrolan terhadap aspek kelalaian sudah banyak dapat diminimalisir, namun dalam
tentu tidak semua aspek risiko dapat dikendalikan sehingga tetap saja terjadi berbagai
permasalahan yang menyebabkan kerugian pada para pihak.
Zaman ini adalah zaman manajemen dimana manajemen lembaga keuangan sudah
ditata sedemikian rupa sehingga melahirkan berbagai aturan dan Standard Operational
Procedure (S.O.P) yang deteil terhadap pihak manajemen bank sebagai mudharib dari
investor terhadap bank, dan bahkan aturan tentang adanya Good Corporate Governance
(GCG) juga semakin memantapkan kontro manajemen bank, dan juga antara pihak
manajemen bank dengan nasabah pembiyaan bank tempat bank menyalurkan dananya dalam
berbagai akad pembiyaan yang ditulis secara deteil, lengkap dengan berbagai perangkat
manajemen risiko. Semua itu akan menjadi bahan yang sangat baik dalam menentukan dan
menegakkan prinsip kelalaian pada bank syariah.

98
Wawancara dan Diskusi bersama Dr. Ahmad Wira, akademisi sekaligus Dewan Pengawas Syariah
Bank Nagari Syariah Sumatera Barat; Dr. Mukhlis Bahar (Ahli Hukum Ekonomi Syarah), Dr. Rosalinda (Ahli
Hukum Ekonomi Syarah), dan Suhatril Mariko, SEI., ME.Sy. (Prakitisi Lembaga Keuangan Syariah), dalam
bulan September dan Oktober 2016.
67

Prinsip-prinsip manajemen modern yang mengatur manajemen bank secara deteil


dapat dimasukkan sebagai piranti dalam mengantisipasi kelalaian yang akan dilakukan oleh
pihak manajemen bank. Misalnya, ketika pihak manajemen bank melanggar S.O.P yang
sudah ditentukan, lalu terjadi kerugian pada bank, maka di sini dapat diajukan suatu tuntutan
pada pihak manajemen bank sebagai mudharib untuk mengganti kerugian atau sanksi tertentu.

Dalam pelaksanaan akad pembiyaan, bentuk kotrak yang sudah deteil lengkap dengan
unsur-unsur manajemen risiko, dapat dijadikan bank sebagai alat untuk menegakkan prinsip
hukum kelalaian nasabah dalam memenuhi kewajibannya pada bank syariah.

Menurut analisa peneliti, akad murabahah adalah akad pembiyaan yang paling
dominan diaplikasikan oleh bank syariah, dalam akad wakalahpun terdapat prinsip hukum
kelalaian sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam an-Nawawiy dalam Raudhah ath-
Thalibin tentang hukum wakalah: “Dalam akad wakalah terdapat hukum amanah, karena
kekuasaan yang terdapat pada wakil adalah “yad amanah” dimana ia bertanggungjawab atas
kerusakan yang terjadi pada apa-apa yang diwakilkan padanya jika terdapat sikap lalai
(tafrith), baik wakalah itu bersifat tabarru’ maupun dengan wakalah dengan upah.” 99 Para
ulama sepakat bahwa otoritas wakil bersifat yad amanah, maka ia bertanggungjawab terhadap
apa yang diwakilkan padanya jika terdapat pelanggaran atau kelalaian.100 Dalam akad
murabahah selalu digunakan akad wakalah ketika nasabah diwakilkan bank syariah untuk
membeli komoditi murabahah, maka berbagai kelalaian atau pelanggaran bisa saja dilakukan
oleh nasabah, maka jika piranti untuk menegakkan hukum kelalaian di sini sangat penting,
misalnya membuat prinsip-prinsip yang dapat mendisiplinkan nasabah dan mengurangi risiko
kerugian bagi bank syariah, demikian juga meminimalisir “risiko hukum” yang dapat terjadi.

E. Analisis Data Hukum Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi

1. Konsep Hukum Kelalaian sebagai Penyebab Ganti Rugi

Posisi hukum kelalaian dalam hukum ekonomi secara umum sangat penting karena
menyangkut beragama akad yang dalam kehidupan manusia, apalagi untuk zaman modern
dimana sudah sedemikian berkembang. Dalam akad tradisonal Islam saja yang tentu sudah

99
Abû Zakariŷa Yahyâ ibn Syaraf al-Nawawiŷ, Raudhaħ al-Thâlibîn, (Beirut: al-Maktab al-Islâmiŷ li al-
Thibâ`aħ wa al-Nasyr, 1405), jil. 2, hal. 102
100
Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-
Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 91
68

pula disesuaikan dengan mekanisme keuangan modern terdapat banyak akad terkait kelalaian,
yaitu wadiah, mudharabah, ijarah, wakalah, musyarakah, musaqah, qardh, dan ‘ariyah serta
semua akan-akad yang berdimensi amanah seperti jual beli murabahah, salam, wadhi’ah, dan
tauliyah. Dan jika dikembangkan pada akad-akad kontemporer, maka banyak lagi akad yang
terkait dengan perbuatan kelalaian sebagai penyebab ganti rugi seperti sukuk, ijarah
muntahiyah bittamlik, dan muqawalah.

Baik hukum ekonomi Islam, maupun hukum ekonomi konvensional mempunyai


pandangan yang relatif sama dalam memandang kelalaian sebagai penyebab ganti dalam
berbagai transaksi, yaitu bahwa kelalaian mempunyai cakupan yang luas, mulai dari
kewajiban ganti rugi materil jika terjadi kelalaian dalam transaksi, hukum yang berlaku,
tradisi atau adat yang berbeda, kesusilaan, sampai pada teori-teori umum tentang hukum.
Perbedaan terletak dari aspek kedalaman dan penggunaan istilah.

Penggunaan istilah ta’addiy dalam hukum perdata Islam dapat diterjemahkan sebagai
“perbuatan melawan hukum” dalam hukum konvensional. Sedangkan menggunakan istilah
“kesalahan” yang banyak juga digunakan dalam hukum konvensional tidak mencakup semua
substansi dari hukum kelalaian. Maka, penggunaan para fuqaha dengan istilah ta’addiy yang
disandingkan dengan istilah taqshir dan tafrith merupakan penekanan atau konfirmasi
terhadap istilah ta’addiy karena ta’addiy lebih umum.

Menurut penulis, definisi kelalaian yang paling singkat namun padat adalah definisi
yang dikemukakan oleh al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ Ta’addiy adalah “melanggar
sesuatu yang seharusnya sesuai standar syariat, tradisi ‘urf, dan adat kebiasaan”.101

Tanggungjawab yang didasarkan kesalahan adalah tanggungjawab yang dibebankan


kepada subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum atau
perbuatan pidana karena adanya kekeliruan atau kealpaannya (kelalaian atau kelengahan).
Kelalaian adalah suatu keadaan dimana subyek hukum atau pelaku lengah, kurang hati-hati,
tidak mengindahkan kewajibannya atau lupa melaksanakan kewajibannya.

Berhubungan teori umum ta’addiy, jika dicermati uraian dari asy-Syathibi, dapat
disimpulkan bahwa pendapat asy-Syathibi persis sama dengan teori-teori hukum modern yang
berhubungan dengan masalah “kesalahan dalam menggunakan hak”, jika tidak lebih maju dari

101
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 29:216
69

teori modern pada beberapa aspek dari sisi uraian dan rasionalitas, terutama apabila kita
analogikan dengan zaman buku ini (al-Muwafaqat) ditulis. 102
Setelah menjelaskan tentang substansi ta’addiy dalam hukum Islam dan setelah
memandang banyak penelitian terdahulu tentang prinsip-prinsip ta’addiy dalam hukum
perdata Islam, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat beberapa prinsip perbuatan kelalaian
dalam hukum ekonomi Islam, yaitu:
1. Melanggar aturan atau isi akad yang sudah dibuat oleh para pihak, karena jelas Islam
mengharuskan semua pihak berakad memenuhi isi-isi akad mereka.
2. Hukum kelalaian terkait tiga hal pokok yang saling berkaitan, yaitu: a. Perbuatan
berlebihan, b. Perbuatan berlebihan itu tidak mengandung unsur hati-hati atau
sembrono, c. Perbuatan berlebihan yang dianggap tidak hati-hati itu dinilai berdasar
unsur hukum tradisi ‘urf (adat kebiasaan dan kesusilaan). Maka, melakukan perbuatan
yang melebihi kadar yang semestinya adalah masuk dalam kategori lalai (ta’addiy),
dan hal ini terbagi dalam dua bentuk:
a. Melakukan hal yang melebihi dari apa-apa yang dibolehkan dalam akad, atau
tradisi dan kepatutan menilai bahwa perbuatan itu telah melebihi apa yang
semestinya dilakukan.
b. Tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilakukan (at-ta’addiy bi qillah al-
ihtiraz) oleh subyek hukum sesuai tuntutan akad atau maslahat dalam akad, hal ini
juga dapat dinilai melalui unsur tradisi dan kepatutan bahwa perbuatan itu telah
kurang dari apa yang semestinya dilakukan. Maka prinsip "hati-hati” (kecermatan)
adalah bagian pokok dari hukum kelalaian, para ulama ulama menyatakan: Para
ulama dalam berbagai tulisan menyatakan bahwa “suatu perbuatan boleh dalam
memenuhui suatu kebutuhan disyaratkan padanya amannya akibat perbuatan pada
perbuatan yang meungkinkan sikap hati-hati (kecermatan) padanya, bukan pada
yang sikap hati-hati (kecermatan) tidak mungkin padanya padanya.”103
3. Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi suatu bahaya atas
orang lain, Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi
kerugian pada pihak lain, maka ia tetap bertanggungjawab (mengganti kerugian) tanpa

102
asy-Syathibiy, al-Muwafaqat, sesuai komentar (ta’liq) dari Abu 'Ubaidah Masyhur ibn Hasan Âli
Sulaiman, (KSA-Khubar: Dar Ibnu 'Affan, 1997), Jilid. 3 hal. 56. Sedangkan dalam Kitab al-Muwafaqat dalam
CD al-Maktabah asy-Syamilah, terbitan Dar al-Ma'rifah, Beirut, tahkik Abdullah Darraz, dapat dilihat pada
halaman 349.
103
Mughni al-Muhtaj, 4:80; al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 2:8416
70

memperhatikan niatnya, kebodohannya, ilmunya, kondisi ingat atau lupa, mumayyiz


atau tidak mumayyiz, dan juga kondisi tersalah.
4. Kondisi luaran atau lingkungan sesuai penilaian tradisi ‘urf menjadi pertimbangan
dalam hukum kelalaian, misalnya kondisi cuaca yang sedang buruk atau angin
kencang, maka seorang tidak boleh menyalakan api dihalaman rumahnya.
Perbuatan melampaui batas (ta'addiy) dapat terjadi karena:
3) Melanggar kesepakatan yang terdapat dalam akad, seperti mudharib yang melanggar
persyaratan dengan rabbul mal dengan tidak membawa harta itu dalam perjalanannya,
maka mudharib bertanggungjawab terhadap bahaya yang menimpa harga itu karena ia
bawa dalam perjalanannya, sedangkan pada hukum dasar menyatakan bahwa mudharib
tidak bertanggungjawab.
4) Melanggar tradisi yang sudah populer di masarakat secara umum, karena keberlakuan
hukum 'urf sama dengan nash syara', Segala sesuatu yang ditentukan oleh syara’ secara
umum, dan tidak terdapat suatu standar khusus untuknya, demikian juga tidak ada
standar khusus dari sisi bahasa, maka standar itu ditetapkan oleh tradisi masarakat
(‘urf),104 maka apabila terdapat sengketa antara rabbul mal dan mudharib atas suatu
perbuatan mudharib, apakah perbuatan itu dianggap sebagai ta'addiy atau tidak, maka ia
dikembalikan pada para ahli yang berpengalaman dalam bidangnya (ahl al-khibrah)105
untuk menyelesaikan sengketa ini.106
Sedangkan kriteria taqshir yang menyebabkan ganti rugi: “Perbuatan melalaikan
(taqshir) yang menyebabkan ganti rugi adalah semua hal yang dianggap manusia merupakan
perbuatan lalai secara urf (tradisi masyarakat) dalam menjaga suatu jenis amanah. Maka,
penilaian hakim terhadap kelalaian akan berbeda sesuai dengan sifat alamiah suatu perkara,
dan para ulama sudah mengemukakan banyak contoh perbuatan melalaikan dalam bab-bab
yang bermacam-macam, jika kita ingin mengkaji lebih dalam, dapat dikaji masing-masing
masalah akad tersebut.”.107

2. Prinsip-prinsip Kelaian dalam Islam


Setelah menjelaskan tentang substansi ta’addiy dalam hukum Islam, dapat
disimpulkan beberapa prinsip perbuatan kelalaian dalam hukum ekonomi Islam, yaitu:

104
as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, 1:98
105
al-Buhutiy, Syarh Muntaha al-Iradat, 2:269
106
Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-
Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 31-32
107
Kementrian Perwakafan Kuwait, al-Mausû`aħ al-Fiqhiŷaħ al-Kuwaitiŷaħ, (Kuwait: Kementrian
Perwakafan Kuwait, 2006), cet. I, jil. 14, hal. 149
71

1. Melanggar aturan atau isi akad yang sudah dibuat oleh para pihak, karena jelas Islam
mengharuskan semua pihak berakad memenuhi isi-isi akad mereka.
2. Hukum kelalaian terkait tiga hal pokok yang saling berkaitan, yaitu: a. Perbuatan
berlebihan, b. Perbuatan berlebihan itu tidak mengandung unsur hati-hati atau
sembrono, c. Perbuatan berlebihan yang dianggap tidak hati-hati itu dinilai berdasar
unsur hukum tradisi ‘urf (adat kebiasaan dan kesusilaan). Maka, melakukan perbuatan
yang melebihi kadar yang semestinya adalah masuk dalam kategori lalai (ta’addiy),
dan hal ini terbagi dalam dua bentuk:
a. Melakukan hal yang melebihi dari apa-apa yang dibolehkan dalam akad, atau
tradisi dan kepatutan menilai bahwa perbuatan itu telah melebihi apa yang
semestinya dilakukan.
b. Tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilakukan (at-ta’addiy bi qillah al-
ihtiraz) oleh subyek hukum sesuai tuntutan akad atau maslahat dalam akad, hal ini
juga dapat dinilai melalui unsur tradisi dan kepatutan bahwa perbuatan itu telah
kurang dari apa yang semestinya dilakukan. Maka prinsip "hati-hati” (kecermatan)
adalah bagian pokok dari hukum kelalaian, para ulama ulama menyatakan: Para
ulama dalam berbagai tulisan menyatakan bahwa “suatu perbuatan boleh dalam
memenuhui suatu kebutuhan disyaratkan padanya amannya akibat perbuatan pada
perbuatan yang meungkinkan sikap hati-hati (kecermatan) padanya, bukan pada
yang sikap hati-hati (kecermatan) tidak mungkin padanya padanya.”108
3. Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi suatu bahaya atas
orang lain, Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi
kerugian pada pihak lain, maka ia tetap bertanggungjawab (mengganti kerugian) tanpa
memperhatikan niatnya, kebodohannya, ilmunya,konidisi ingat atau lupa, mumayyiz
atau tidak mumayyiz, dan juga kondisi tersalah.
4. Kondisi luaran atau lingkungan sesuai penilaian tradisi ‘urf menjadi pertimbangan
dalam hukum kelalaian, misalnya kondisi cuaca yang sedang buruk atau angin
kencang, maka seorang tidak boleh menyalakan api dihalaman rumahnya.
Dalam aplikasi lembaga keuangan syariah, masalah utama terakait hukum kelalaian
dominan berhubungan dengan prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh manajemen
perbankan terhadap investor. Maka, sudah banyaknya aturan manajemen serta bentuk kontrak
yang deteil dan profesional serta penerapan manajemen risiko yang baik, maka pengontrolan

108
Mughni al-Muhtaj, 4:80; al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 2:8416
72

terhadap aspek kelalaian sudah banyak dapat diminimalisir, namun dalam tentu tidak semua
aspek risiko dapat dikendalikan sehingga tetap saja terjadi berbagai permasalahan yang
menyebabkan kerugian pada para pihak.
Di zaman ini manajemen lembaga keuangan sudah ditata sedemikian rupa sehingga
melahirkan berbagai aturan dan Standard Operational Procedure (S.O.P) yang deteil terhadap
pihak manajemen bank sebagai mudharib dari investor terhadap bank, dan bahkan aturan
tentang adanya Good Corporate Governance (GCG) juga semakin memantapkan kontro
manajemen bank, dan juga antara pihak manajemen bank dengan nasabah pembiyaan bank
tempat bank menyalurkan dananya dalam berbagai akad pembiyaan yang ditulis secara deteil,
lengkap dengan berbagai perangkat manajemen risiko. Semua itu akan menjadi bahan yang
sangat baik dalam menentukan dan menegakkan prinsip kelalaian pada bank syariah.
Prinsip-prinsip manajemen modern yang mengatur manajemen bank secara deteil
dapat dimasukkan sebagai piranti dalam mengantisipasi kelalaian yang akan dilakukan oleh
pihak manajemen bank. Misalnya, ketika pihak manajemen bank melanggar S.O.P yang
sudah ditentukan, lalu terjadi kerugian pada bank, maka di sini dapat diajukan suatu tuntutan
pada pihak manajemen bank sebagai mudharib untuk mengganti kerugian atau sanksi tertentu.
Dalam pelaksanaan akad pembiyaan, bentuk kotrak yang sudah deteil lengkap dengan
unsur-unsur manajemen risiko, dapat dijadikan bank sebagai alat untuk menegakkan prinsip
hukum kelalaian nasabah dalam memenuhi kewajibannya pada bank syariah.
Menurut analisa peneliti, akad murabahah adalah akad pembiyaan yang paling
dominan diaplikasikan oleh bank syariah, dalam akad wakalahpun terdapat prinsip hukum
kelalaian sebagaimana yang dinyataka oleh Imam an-Nawawiy dalam Raudhah ath-Thalibin
tentang hukum wakalah: “Dalam akad wakalah terdapat hukum amanah, karena kekuasaan
yang terdapat pada wakil adalah “yad amanah” dimana ia bertanggungjawab atas kerusakan
yang terjadi pada apa-apa yang diwakilkan padanya jika terdapat sikap lalai (tafrith), baik
wakalah itu bersifat tabarru’ maupun dengan wakalah dengan upah.”109 Para ulama sepakat
bahwa otoritas wakil bersifat yad amanah, maka ia bertanggungjawab terhadap apa yang
diwakilkan padanya jika terdapat pelanggaran atau kelalaian.110 Dalam akad murabahah selalu
digunakan akad wakalah ketika nasabah diwakilkan bank syariah untuk membeli komoditi
murabahah, maka berbagai kelalaian atau pelanggaran bisa saja dilakukan oleh nasabah, maka
jika piranti untuk menegakkan hukum kelalaian di sini sangat penting, misalnya membuat

109
Abû Zakariŷa Yahyâ ibn Syaraf al-Nawawiŷ, Raudhaħ al-Thâlibîn, (Beirut: al-Maktab al-Islâmiŷ li al-
Thibâ`aħ wa al-Nasyr, 1405), jil. 2, hal. 102
110
Ahmad Hafizh Musa, ad-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa Tathbiqaatuh al-
Mu'ashirah, Disertasi, Universitas Yordania, tahun 2005, hal. 91
73

prinsip-prinsip yang dapat mendisiplinkan nasabah dan mengurangi risiko kerugian bagi bank
syariah, demikian juga meminimalisir “risiko hukum” yang dapat terjadi.
74

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari sisi definisi, kelalaian secara subtantif dalam istilah hukum Islam disebut
ta’addiy, yaitu “melanggar sesuatu yang seharusnya sesuai standar syariat, tradisi ‘urf, dan
adat kebiasaan”, sedangkan dalam pengertian sempit disebut dengan taqshir.
Prinsip perbuatan kelalaian dalam hukum ekonomi Islam, yaitu:
1. Melanggar aturan atau isi akad yang sudah dibuat oleh para pihak, karena jelas Islam
mengharuskan semua pihak berakad memenuhi isi-isi akad mereka.
2. Hukum kelalaian terkait tiga hal pokok yang saling berkaitan, yaitu: a. Perbuatan
berlebihan; b. Perbuatan berlebihan itu tidak mengandung unsur hati-hati atau sembrono;
c. Perbuatan berlebihan yang dianggap tidak hati-hati itu dinilai berdasar unsur hukum
tradisi ‘urf (adat kebiasaan dan kesusilaan). Maka, melakukan perbuatan yang melebihi
kadar yang semestinya adalah masuk dalam kategori lalai (ta’addiy), dan hal ini terbagi
dalam dua bentuk:
a. Melakukan hal yang melebihi dari apa-apa yang dibolehkan dalam akad, atau
tradisi dan kepatutan menilai bahwa perbuatan itu telah melebihi apa yang
semestinya dilakukan.
b. Tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilakukan (at-ta’addiy bi qillah al-
ihtiraz) oleh subyek hukum sesuai tuntutan akad atau maslahat dalam akad, hal ini
juga dapat dinilai melalui unsur tradisi dan kepatutan bahwa perbuatan itu telah
kurang dari apa yang semestinya dilakukan. Maka prinsip "hati-hati” (kecermatan)
adalah bagian pokok dari hukum kelalaian, para ulama ulama menyatakan: Para
ulama dalam berbagai tulisan menyatakan bahwa “suatu perbuatan boleh dalam
memenuhui suatu kebutuhan disyaratkan padanya amannya akibat perbuatan pada
perbuatan yang meungkinkan sikap hati-hati (kecermatan) padanya, bukan pada
yang sikap hati-hati (kecermatan) tidak mungkin padanya padanya.”111
3. Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi suatu bahaya atas
orang lain, Kondisi pelaku kelalaian tidak menjadi pertimbangan ketika terjadi kerugian
pada pihak lain, maka ia tetap bertanggungjawab (mengganti kerugian) tanpa

111
Mughni al-Muhtaj, 4:80; al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 2:8416
75

memperhatikan niatnya, kebodohannya, ilmunya,konidisi ingat atau lupa, mumayyiz


atau tidak mumayyiz, dan juga kondisi tersalah.
4. Kondisi luaran atau lingkungan sesuai penilaian tradisi ‘urf menjadi pertimbangan
dalam hukum kelalaian, misalnya kondisi cuaca yang sedang buruk atau angin kencang,
maka seorang tidak boleh menyalakan api dihalaman rumahnya.
5. Hukum kelalaian terkait dengan; Dalam aplikasi hukum kelalaian dalam lembaga
keuangan syariah, profesional dalam aspek manajemen modern adalah salah satu
penunjuk yang efektif dalam mengontrol faktor kelalaian para dalam akad. Hal itu
diaplikasikan dengan membuat S.O.P manajemen yang deteil, namun tetap efektif
dalam memberikan ruang gerak bagi pihak manajemen melakukan usaha dalam
mendapatkan laba, sedangkan dengan nasabah dapat dilakukan dengan membuat isi
kontrak yang deteil yang dilengkapi dengan berbagai aspek manajemen risiko.
Dalam hukum ekonomi syariah Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tidak
memuat penjelasan tentang prinsip-prinsip perbuatan yang dinyatakan tergolong
kelalaian tapi lebih menekankan pada pelanggaran terhadap syarat-syarat yang dibuat
oleh para pihak. Sedangkan pada Undang-undang RI No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah memuat penjelasan tentang perbuatan tergolong lalai hanya dari
aspek manajemen perbankan syariah, tidak berkaitan dengan pelaksanaan akad atau
transaksi.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengemukakan beberapa saran berikut,


yaitu:
1. Menentukan prinsip kelalaian tidak akan mungkin dilakukan secara lebih deteil,
karena prinsip tersebut terkait dengan hukum kepatutan yang akan berbeda antara
perbedaan tempat, wakktu, dan pelaku, maka salah satu jalan memudahkan penegakan
prinsip kelalaian adalah dengan menerapkan pola manajemen modern yang deteil dan
cermat dalam bentuk S.O.P manajemen yang jelas dan transparan seperti aplikasi teori
GCG (Good Corporate Governance) dan membuat akad yang deteil dengan nasabah
yang dilengkapi dengan berbagai piranti manajemen risiko.
2. Ketika aturan atau isi kontrak yang dibuat para pihak berakad tidak mencakup suatu
masalah kelalaian, maka perlu adanya suatu standar umum manajemen modern yang
dibuat oleh pihak pembuat aturan dan fatwa yang menentukan suatui standar umum
76

yang sejalan dengan manajemen modern atau manajemen yang sesuai dengan zaman
modern ini dan sesuai pula dengan tempat suatu lembaga keuangan berada, karena
faktor tradisi ‘urf dan kepatutan sangat penting dalam menentukan faktor kelalaian
yang menyebabkan ganti rugi oleh subyek hukum perdata.
3. Dalam aplikasi lembaga keuangan syariah, akad murabahah sebagai suatu akad yang
dominan digunakan dalam lembaga keuangan syariah, hendaknya mendapat perhatian
lebih serius dalam menegakkan hukum kelalaian, karena disamping sebagai salah satu
jenis akad amanah, dalam akad ini dijuga ditambahkan akad wakalah yang juga
mengandung hukum kelalaian yang besar. Sedangkan akad mudharabah dan ijarah
menempati level kedua dalam memperhatikan hukum kelalaian.
4. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan membuat prinsip-prinsip kelalaian yang
terkait dengan masing-masing akad yang terdapat pada lembaga keuangan syariah.
77

Daftar Rujukan:
Ahmad, Sulaiman Muhammad. 1985. Dhamân al-Matlafât fi al-Fiqh al-Islami. Kairo:
Maktabah al-Mujallad al-’Arabi
Al-Imam al-Syaukâniy. Nail al-Authâr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah. 1999.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. I’lâm al-Muwaqqi’in. Beirut: Dâr al-Fikri.
Al-Quradaghi, Ali Muhyiddin. Fakultas Syariah-Universitas Qatar. “Maza Mas.uliyyah
al-Mudharib wa Asy-Syari’, al-Bank wa Majlis al-Idarah 'an al-Khasarah”
Jeddah: Majallah al-Majma' al-Fiqhiy al-Islamiy. Majma' al-Fiqh al-Islamiy. .
tahun ke-8. edisi 10. 28 Mei 2014
As-Salam, al-’Iz ibn Abd. 1999. Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm. Beirut: Dâr al-
Kutub al-’Ilmiyyah.
Asy-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali. t.th. Nail al-Authâr. Beirut: Dâr al-Fikri.
At-Tirmidzi, Abu ‘Isa. 2000. Sunan at-Tirmidzi, tahkik Muhammad Muhammad Hasan
Nasshar. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Bintang, Sanusi. 1999. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Bungin, Burhan, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta:
Fatwa al-Majma' al-Fiqh al-Islâmiŷ (The Council of Islamic Fiqh Academy-OKI). ke-19
di Shariqah. UAE. tahun 2009. No.179.
Fatwa Dewan Syariah Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions. AAOIFI. Standar Syariah No.9 Tahun 2003. Pasal: 4/1/7.
Haidar, Ali. t.th. Durar al-Hukkâm Syarhu Majallah al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Kutub al-
’Ilmiyyah.
Hammad, Nazih, Mu`jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiŷaħ. IIPH: Saudi Arabia. 1994.
Musa, Ahmad Hafizh Musa. adh-Dhaman fi 'Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islamiy wa
Tathbiqaatuhu al-Mu'ashirah. Desertasi. Universitas Yordan. 2005
Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nasution, Az. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Daya Widya.
RajaGrafindo. 2001.
Sanusi, Bintang dan Dahlan. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. 1999.
Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial dan Budaya.
Bandung: Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai