Anda di halaman 1dari 24

IKLIM DI WILAYAH JAKARTA BARAT

KONDISI HISTORIS, MASA KINI DAN PROYEKSINYA KE DEPAN

I.1 Analisis Iklim Wilayah Jakarta Barat

Curah hujan di wilayah Jakarta pada umumnya bertipe monsunal dengan satu
puncak pada bulan November hingga Maret (NDJFM) yang dipengaruhi oleh
monsun barat laut yang basah dan satu palung pada bulan Mei hingga September
(MJJAS) yang dipengaruhi oleh monsun tenggara yang kering, sehingga dapat
dibedakan dengan jelas antara musim kemarau dan musim hujan (Aldrian dan
Susanto, 2003).

Tidak jauh berbeda dengan iklim di wilayah Jakarta Barat, perbedaan musim
terlihat jelas antara musim hujan dengan musim kemarau berdasarkan pola rata –
rata curah hujan dasarian selama 14 tahun (Gambar 1.a).

(a) (b)
Gambar 1. (a) Perbedaan musim wilayah Kedoya, Jakarta Barat, (b) Pola hujan
rata – rata bulanan wilayah Kedoya, Jakarta Barat

Dengan mengambil sampel wilayah Kedoya yang mewakili Jakarta Barat, terlihat
adanya perbedaan musim yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau di
wilayah ini. Berdasarkan pola rata – rata curah hujan dasarian selama 14 tahun
(data tahun 1997 – 2010) dengan kriteria curah hujan 50 mm untuk musim
hujan dan 50 mm untuk musim kemarau selama sekurang – kurangnya tiga
dasarian berturut – turut (1 dasarian = 10 hari), musim hujan di wilayah ini rata –
rata berlangsung selama 23 dasarian (Oktober III – Juni I); lebih panjang dari
durasi musim kemarau yang berlangsung selama sekitar 13 dasarian (Juni II –
Oktober II).

Jika dilihat dari pola rata – rata curah hujan bulanannya terlihat bulan – bulan
yang paling basah di wilayah ini terjadi di sekitar bulan Januari dan Februari,
sedangkan bulan – bulan yang paling kering terjadi di sekitar bulan Agustus dan
September (Gambar 1.b).

Pola curah hujan di wilayah Jakarta Barat adalah pola monsunal dimana
variabilitas curah hujannya sangat dipengaruhi oleh aktivitas monsun di wilayah
Asia dan Australia. Pada musim kemarau angin bergerak dari BBS (Belahan
Bumi Selatan) menuju BBU (Belahan Bumi Utara), akibat adanya gradien
tekanan udara antara BBU yang bertekanan udara rendah dengan BBS yang
bertekanan udara tinggi. Pada saat itu pusat konveksi berada di bagian barat India,
Teluk Benggala dan Asia Tenggara dimana konvergensi uap air di wilayah
tersebut kuat. Uap air tersebut merupakan hasil akumulasi uap air dari BBS yang
bergerak menuju Laut Arab dan sampai di Teluk Benggala hingga Asia dan
menghasilkan hujan di wilayah tersebut. Sehingga terjadinya hujan di wilayah
monsun bukan dikarenakan uap air hasil penguapan di wilayah tersebut, akan
tetapi hasil proses hidrologi yang panjang dan mencakup wilayah yang luas yakni
kurang lebih berorde 105 km2 (Fasullo dan Webster, 2002) seperti ditunjukkan
Gambar 2.
Gambar 2. Distribusi rata-rata transport uap air (vektor, satuan 3. 102kg (m.s)-1)
periode JJA (a) dan DJF (b) (Sumber: Webster dan Fasullo, 2003)

Meskipun pola curah hujan di Jakarta Barat adalah pola monsun, akan tetapi
curah hujan di wilayah Jakarta Barat juga dipengaruhi oleh hujan lokal yang
disebabkan oleh aktivitas konvektif di perairan Jakarta. Hal tersebut
dimungkinkan karena di sebelah utara dari wilayah Jakarta Barat merupakan
perairan Jakarta yang berpotensi sebagai penyedia uap air pembentuk curah hujan.
Berdasarkan penelitian Tambunan, M.P, 2007 menyatakan bahwa banjir yang
terjadi di Jakarta pada tahun 2007, ditengarahi diakibatkan karena aktivitas
konvektif di teluk Jakarta. Pada saat itu distribusi curah hujan lebih terkonsentrasi
di wilayah Jakarta Utara dan terus menurun ke arah Jakarta Selatan. Hujan lokal
yang dimungkinkan terjadi dapat digambarkan dengan siklus hidrologi seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses hidrologi terjadinya hujan

Selain aktivitas monsun dan faktor lokal, dinamika suhu muka laut di wilayah
perairan Indonesia, fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan Dipole
Mode juga mempengaruhi curah hujan di wilayah Jakarta dengan respon yang
cukup bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai korelasi antara curah hujan Jakarta
dengan indeks IOD (Indian Ocean Dipole) dan ENSO yang menunjukkan adanya
korelasi negatif yang signifikan pada periode JJA (Juni – Juli – Agustus) dan SON
(September – Oktober – November).

Tabel 1. Korelasi antara curah hujan Jakarta dengan indeks IOD dan ENSO
MAM JJA SON DJF
IOD -0.110 -0.435 -0.465 -0.026
ENSO 0.357 -0.237 -0.536 0.289

Nilai korelasi negatif pada periode JJA dan SON menunjukkan adanya penurunan
curah hujan yang signifikan pada saat IOD (+) atau kondisi anomali suhu muka
laut di wilayah pantai barat Sumatera lebih dingin dari rata – ratanya dan
bersamaan dengan lebih hangatnya anomali suhu muka laut di Samudera Hindia
bagian barat. Demikian juga apabila anomali suhu muka laut di wilayah Samudera
Pasifik Ekuator (Nino 3.4) lebih hangat dari rata – ratanya dan diikuti dengan
mendinginnya anomali suhu muka laut di perairan Indonesia yang pada intensitas
tertentu disebut sebagai fenomena El Nino. Kedua fenomena ini berdampak pada
penurunan curah hujan di wilayah Jakarta, semakin panjangnya durasi musim
kemarau dan mundurnya awal musim hujan.

Namun dampak fenomena Dipole Mode positif rupanya tidak hanya menurunkan
curah hujan di wilayah Jakarta pada periode JJA dan SON saja. Fenomena ini juga
berdampak pada curah hujan periode DJF (Desember – Januari – Februari) dan
MAM (Maret – April – Mei) meskipun tidak sebesar pada saat musim kemarau.
Berbeda dengan aktivitas ENSO di Samudera Pasifik Ekuator dimana pengaruh
menghangatnya anomali suhu muka laut di wilayah ini terhadap penurunan curah
hujan Jakarta lebih terlihat pada periode JJA dan SON.

I.2 Analisis Iklim Historis (Historical Climate) Wilayah Jakarta Barat

I.2.1 Trend Iklim Historis


I.2.1.1 Curah Hujan
Berdasarkan trend curah hujan historis pada periode bulan paling basah (Januari
dan Februari) dan bulan paling kering (Agustus dan September), terlihat dalam
kurun waktu 25 tahun (1986 – 2010) trend curah hujan di wilayah Jakarta Barat
cenderung mengalami penurunan pada bulan Januari dan Agustus (Gambar 4.a
dan Gambar 4.c) tetapi cenderung naik pada bulan Februari (Gambar 4.b)
meskipun persentase variansinya sangat kecil. Persentase variansi yang dapat
menjelaskan kecenderungan ini hanya berkisar antara 4,2% hingga 9,6%.
Sedangkan trend curah hujan historis bulan September tidak menunjukkan adanya
pola trend yang signifikan (Gambar 4.d).

Jika dibandingkan dengan nilai rata – rata bergerak tiga tahunan (Moving
Average, MA) yang menggambarkan rata – rata curah hujan pada periode bulan
yang sama selama 3 tahun berturut – turut (year-1, year, year+1), maka akan
terlihat beberapa periode lebih basah (diatas rata – rata) dan sisanya lebih kering
(dibawah rata – rata).
(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4. Trend curah hujan historis wilayah Jakarta Barat (a) bulan Januari
1986 – 2010, (b) bulan Februari 1986 – 2010, (c) bulan Agustus 1986 – 2010, (d)
bulan September 1986 – 2010

Baik pada trend bulan Januari maupun Februari terlihat adanya kondisi dimana
curah hujan tercatat jauh diatas rata – rata, yakni curah hujan bulan Agustus 2002
dan September 2008. Tahun 2002 – 2003 dikenal sebagai tahun El Nino sedang
(moderate El Nino) karena bersamaan dengan terjadinya fenomena El Nino
sedang di wilayah Pasifik Ekuator. Fenomena ini berdampak pada penurunan
curah hujan di sebagian wilayah Indonesia pada akhir tahun 2002 yang berlanjut
hingga tahun 2003. Akan tetapi pada bulan Januari 2002 justru terjadi puncak
hujan di wilayah Jakarta Barat yang ditandai dengan tercatatnya curah hujan
hingga lebih dari 800 mm dalam sebulan. Fenomena ini terjadi bersamaan dengan
munculnya Dipole Mode negatif pada periode tersebut yang ditandai dengan lebih
hangatnya suhu muka laut di wilayah pantai barat Sumatera dibanding suhu muka
laut di Samudera Hindia bagian barat sehingga memicu terjadinya peningkatan
curah hujan di wilayah Jakarta.
Sedangkan tingginya curah hujan pada bulan Februari 2008 bersamaan dengan
terjadinya fenomena La Nina sedang (moderate La Nina) yang berlangsung sejak
2007 dan berlanjut hingga 2008.
Sebaliknya, pada bulan Agustus 1986 yang merupakan bulan kering atau musim
kemarau, di wilayah Jakarta Barat justru tercatat curah hujan lebih dari 200 mm
dalam sebulan. Tingginya curah hujan pada bulan ini disebabkan terjadinya curah
hujan tinggi selama tiga hari (sekitar 41 mm hingga 76 mm) yang terjadi pada tiga
dasarian yang berbeda (dasarian I, dasarian II dan dasarian III). Kondisi ini juga
diperkuat dengan terjadinya fenomena Dipole Mode negatif yang cukup signifikan
pada bulan Juli 1986 yang intensitasnya mulai melemah pada bulan Agustus 1986
tetapi justru meningkatkan curah hujan di bulan tersebut. Dari analisis beberapa
kejadian curah hujan diatas, menguatkan bahwa fenomena iklim global El
Nino/La Nina dan Dipole Mode mempenyai peranan dalam mempengaruhi
variabilitas curah hujan di wilayah Jakarta Barat.

I.2.1.2 Suhu

Jika pada trend curah hujan historis pada bulan – bulan paling basah dan bulan –
bulan paling kering menunjukkan kecenderungan yang tidak selalu sama, maka
pada trend suhu rata – rata historis justru menunjukkan kecenderungan yang
konsisten. Baik pada bulan paling basah maupun paling kering telah terjadi
kenaikan suhu rata – rata yang signifikan dalam kurun waktu 25 tahun (Gambar
5).

Kenaikan yang signifikan ini ditandai dengan relatif tingginya persentase variansi
yang dapat menjelaskan trend historis, yakni sekitar 35,1% hingga 70,5%.
Kenaikan terbesar terjadi pada trend suhu rata – rata bulan Agustus (sebesar 0,071
0
C setiap tahunnya selama 25 tahun), sedangkan kenaikan terkecil terjadi pada
bulan Februari (sebesar 0,05 0C setiap tahunnya selama 25 tahun).
(a) (b)

(c) (d)
Gambar 5. Trend suhu rata-rata historis wilayah Jakarta Barat (a) bulan Januari
1986 – 2010, (b) bulan Februari 1986 – 2010, (c) bulan Agustus 1986 – 2010, (d)
bulan September 1986 – 2010

Dominannya kenaikan suhu di wilayah Jakarta dalam kurun waktu 25 tahun


dengan persentase variansi yang cukup tinggi (sekitar 39% hingga 62%)
mengindikasikan telah terjadinya pemanasan di kawasan ini. Hal ini didukung
pula dengan adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang
menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Berdasarkan hasil pengukuran gas
rumah kaca di Stasiun Global Atmospheric Watch (GAW), Bukit Kototabang,
Sumatera Barat selama kurun waktu tahun 2004-2011, terlihat adanya
kecenderungan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (Gambar 6).

(a) (b)
(c) (d)
Gambar 6. (a) Grafik konsentrasi CO2, (b) Grafik konsentrasi CH4, (c) Grafik
konsentrasi N2O, dan (d) Grafik konsentrasi SF6

I.2.2 Kejadian Iklim Ekstrim


Berdasarkan distribusi frekuensi kejadian curah hujan yang terjadi di wilayah
Jakarta Barat seperti ditunjukkan Gambar 7, menunjukkan pola yang bersesuain
dengan pola curah hujan di wilayah tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa
jumlah curah hujan dalam satu bulan akan berpengaruh terhadap distribusi
frekuensi curah hujan itu sendiri. Berdasarkan Gambar 7 frekuensi kejadian hujan
lebat dan sangat lebat lebih dominan terjadi pada bulan Januari, Februari dan
Desember, hal tersebut bersesuaian dengan puncak curah hujan di wilayah kajian.
Yang menarik disini adalah pada bulan transisi-kering kejadian hujan lebat masih
mungkin terjadi, hal tersebut dimungkinkan karena pada bulan transisi-kering
aktivitas konvektif yang dapat memicu hujan lebat masih dapat berpeluang terjadi.

Gambar 7. Distribusi frekuensi kejadian curah hujan


Keterangan Hujan ringan : 5-20mm perhari
Hujan sedang : 20-50mm perhari
Hujan lebat : 50-100mm perhari
Hujan sangat lebat : >100 mm perhari
Apabila dikaji dari segi pola kejadian curah hujan tinggi hingga lebih dari 50 mm
per hari, maka akan terlihat pula pola frekuensi kejadian yang cenderung
meningkat meskipun peningkatan tersebut tidak terlalu besar.

Gambar 8. Frekuensi kejadian curah hujan tinggi (>50mm/hari) wilayah Kedoya


(1997 – 2010)

Sebagai contoh untuk wilayah Kedoya, Jakarta Barat, dalam kurun waktu 14
tahun (1997 – 2010) tercatat adanya peningkatan frekuensi kejadian curah hujan
tinggi berdasarkan threshold 50 mm per hari (Gambar 8). Apabila dikaitkan
dengan fenomena La Nina dengan intensitas sedang yang terjadi pada tahun
1998/1999, 1999/2000 dan 2007/2008 (grafik warna biru), terlihat fenomena
tersebut tidak selalu menjadi pemicu tingginya frekuensi curah hujan tinggi di
wilayah ini.

Meskipun fenomena global seperti La Nina maupun Dipole Mode yang


diidentifikasi membawa pengaruh terhadap curah hujan Jakarta tidak selalu
memicu peningkatan frekuensi curah hujan tinggi, namun kecenderungan
meningkatnya frekuensi kejadian curah hujan tinggi ini disertai pula dengan
kecenderungan meningkatnya frekuensi kejadian banjir, khususnya di wilayah
Jakarta Barat (Gambar 9).
Gambar 9. Frekuensi kejadian banjir wilayah Jakarta Barat Tahun 2003 – 2010
(Sumber : http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/simple_data.jsp)

Berdasarkan data dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dalam


kurun waktu 8 tahun tercatat di wilayah Jakarta Barat mengalami banjir paling
banyak terjadi pada bulan Februari yang merupakan puncak musim hujan. Dari
total 10 kejadian banjir, 6 diantaranya terjadi di bulan Februari. Sisanya terjadi di
bulan Januari, Maret dan Mei (Tabel 2).
Tabel 2. Kejadian banjir di Jakarta Barat
No Tanggal Kejadian
1 13 Februari 2003
2 18 Mei 2003
3 20 Februari 2004
4 01 Februari 2007
5 01 Januari 2007
6 01 Februari 2008
7 12 Maret 2008
8 13 Januari 2009
9 07 Februari 2009
10 13 Februari 2010

Kejadian banjir ini sangat erat kaitannya dengan curah hujan tinggi yang terjadi
selama kurang lebih dua hari. Sebagai contoh berdasarkan data pengamatan di
wilayah Kedoya, banjir yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2004 diawali
dengan curah hujan tinggi (173 mm dalam sehari) pada tanggal 19 Februari 2004,
diikuti curah hujan tinggi pada tanggal 20 Februari 2004 (110 mm dalam sehari).
I.3 Analisis Iklim Saat Ini (Current Climate) dan Perubahannya terhadap
Kondisi Historis (Historical Climate) Wilayah Jakarta Barat

I.3.1 Curah Hujan

(a) (b)
Gambar 10. Perbandingan curah hujan history climate dengan current climate
(a); prosentase perubahan rata-rata curah hujan terhadap history climate

Salah satu metode untuk dapat mengidentifikasikan adanya perubahan iklim


adalah dengan cara membandingkan parameter statistik data iklim (curah hujan
dan temperatur) untuk dua periode iklim yang berbeda (Meehl, 2002). Pada kajian
ini akan dibandingkan parameter iklim hujan antara history climate (periode tahun
1982-2000) dengan current history (periode tahun 2001-2010) dan parameter suhu
antara history climate (periode tahun 1982-2000) dengan current history (periode
tahun 2001-2010). Berdasarkan perbandingan antara curah hujan antara periode
history climate dengan curah hujan periode current climate terlihat bahwa pada
periode current climate pada puncak musim kemarau lebih kering dibanding
dengan history climate, sedangkan pada musim penghujan lebih bervariatif seperti
ditunjukkan pada Gambar 10. Hal tersebut tentunya menjadi kewaspadaan kita,
ketika pada musim kemarau curah hujan semakin berkurang dan pada musim
penghujan curah hujan semakin tinggi (khususnya bulan Februari) karena hal
tersebut akan semakin meningkatkan resiko kebencanaan seperti kekeringan
(berkurangnya pasokan air bersih) dan bahaya banjir.
I.3.2 Suhu

(a) (b)
Gambar 11. Perbandingan suhu udara history climate dengan current climate (a);
prosentase perubahan rata-rata suhu udara terhadap history climate

Berdasarkan perbandingan antara suhu udara periode history climate dengan


current climate menunjukkan bahwa suhu udara pada saat ini lebih panas daripada
periode yang lain seperti ditunjukkan seperti pada Gambar 11. Berbeda dengan
curah hujan, suhu udara kenaikannya lebih konsisten untuk setiap bulannya
dengan kenaikan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Agustus.

I.4 Analisis Iklim di Masa Depan (Future Climate) Wilayah Jakarta Barat
I.4.1 Data dan Metode

Untuk menganalisis kecenderungan trend iklim wilayah Jakarta Barat yang


diproyeksikan hingga tahun 2060, digunakan data yang terdiri dari data curah
hujan bulanan dan suhu rata – rata bulanan. Data observasi yang diperoleh melalui
kegiatan pengamatan di permukaan selain digunakan untuk analisis trend kondisi
historis iklim jangka panjang, juga digunakan untuk validasi dan koreksi data
model. Data model yang digunakan disini adalah data model keluaran IPCC yang
sebelumnya telah divalidasi dan dikoreksi.

Data model keluaran IPCC yang digunakan adalah AR4 GCM data (Assessment
Report 4 Global Circulation Model data) yang dikumpulkan dari berbagai
kelompok pemodelan internasional melalui Program for Climate Model
Diagnosis and Intercomparison (PCMDI), JSC/CLIVAR Working Group on
Coupled Modeling (WGCM), Coupled Model Intercomparison Project (CMIP),
Climate Simulation Panel dan IPCC Working Group 1 (IPCC WG1). Data ini
telah tersimpan dalam PCMDI archive sejak 1 September 2006 dan dapat diakses
melalui situs http://www.ipcc-data.org/gcm/monthly/SRES_AR4/index.html.

Dari 24 data model yang direkomendasikan oleh IPCC, dipilih 3 model yang
selanjutnya diseleksi melalui tahapan ground validation untuk menentukan model
yang paling sesuai dengan kondisi iklim di wilayah Jakarta. Skenario yang
digunakan pada analisis ini adalah skenario SRES (Special Report on Emission
Scenarios) A2, A1B dan B1; masing – masing dengan time baseline 10 tahun
(2001 – 2010) dan diproyeksikan hingga tahun 2100. Namun untuk kepentingan
analisis disini hanya digunakan hasil proyeksi hingga tahun 2060.

Sebelum digunakan untuk analisis lebih lanjut, ketiga data model tersebut
divalidasi dengan menggunakan data observasi permukaan untuk melihat
kesesuaiannya dengan kondisi iklim yang ada. Untuk wilayah Jakarta dipilih data
observasi dari beberapa lokasi pengamatan yang cukup representatif, seperti
ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Lokasi pengamatan wilayah Jakarta


No Lokasi Lintang Bujur
1 Kemayoran -6,21 106,85
2 Cengkareng -6,08 106,65
3 Halim P.K. -6,31 106,90
4 Kedoya -6,20 106,76
5 Tanjung Priok -6,13 106,89

Hasil validasi ketiga model IPCC berdasarkan nilai korelasi (r) dan MAPE (Mean
Absolute Percentage Error) untuk data curah hujan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Koefisien korelasi dan MAPE (dalam %) antara data curah hujan
observasi dan data model
Halim
No Model Skenario Kemayoran Cengkareng Kedoya Tj. Priok
P.K.
A2 0,89 0,86 0,89 0,83 0,84
(33,4%) (52,4%) (38,8%) (32,5%) (55,2%)
CSIRO A1B 0,87 0,88 0,82 0,83 0,82
1
Mk 3.0 (38,5%) (60,7%) (40,3%) (29,3%) (67,8%)
B1 0,87 0,87 0,81 0,80 0,82
(30,8%) (44,8%) (39,1%) (33%) (46,8%)
A2 0,53 0,61 0,41 0,50 0,55
(96,3%) (118,9%) (93%) (52,4%) (142,4%)
MRI
A1B 0,54 0,59 0,43 0,49 0,58
2 CGCM
(104,1%) (126,5%) (101,8%) (55,4%) (156,6%)
2.3.2
B1 0,61 0,68 0,51 0,59 0,61
(96,5%) (114,4%) (93,8%) (52,5%) (150%)
A2 0,85 0,82 0,89 0,83 0,79
(142,9%) (198,9%) (118,2%) (72,8%) (217,6%)
Had A1B 0,69 0,66 0,73 0,66 0,66
3
CM3 (176,5%) (235,6%) (153,2%) (94,4%) (260,4%)
B1 0,72 0,70 0,75 0,69 0,66
(159,7%) (219,9%) (135,9%) (83,6%) (239%)

Nilai MAPE dinyatakan dalam persen (%) dan dicantumkan dalam tanda kurung.
Sedangkan hasil validasi data suhu rata-rata dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Koefisien korelasi dan MAPE (dalam %) antara data observasi suhu rata-
rata dan data model
No Model Skenario Kemayoran Cengkareng Halim P.K.
A2 0,78 (5,5%) 0,80 (0,9%) 0,75 (3,8%)
1 CSIRO
A1B 0,50 (6,1%) 0,65 (1,4%) 0,56 (4,3%)
Mk 3.0
B1 0,76 (6,1%) 0,75 (1,3%) 0,78 (4,4%)
MRI A2 -0,10 (5,3%) 0,27 (2,1%) 0,09 (3,7%)
2 CGCM A1B -0,12 (5,6%) 0,25 (2,1%) 0,05 (4%)
2.3.2 B1 -0,03 (5,6%) 0,33 (2%) 0,14 (3,9%)
A2 0,15 (6,4%) 0,46 (1,7%) 0,19 (4,8%)
3 Had
A1B 0,11 (6,3%) 0,42 (1,8%) 0,15 (4,7%)
CM3
B1 0,34 (6,8%) 0,61 (2%) 0,36 (5,1%)

Berdasarkan Tabel 4 dan 5 menunjukkan koefisien korelasi tertinggi didominasi


oleh data model keluaran CSIRO Mk 3.0 berdasarkan skenario A2 untuk hampir
semua wilayah yang mewakili Jakarta, termasuk didalamnya Jakarta Barat.
Demikian pula dengan nilai MAPE minimum lebih banyak didominasi oleh model
tersebut. Dari sini dapat disimpulkan model yang paling sesuai untuk
menggambarkan kondisi iklim di wilayah Jakarta adalah model CSIRO Mk 3.0
berdasarkan skenario A2.
Kesamaan pola antara data observasi dan data model juga dapat digambarkan
dalam bentuk grafik validasi menggunakan data curah hujan dan suhu rata-rata
untuk periode tahun 2001 – 2010, seperti ditunjukkan Gambar 12.

(a) (b)

(c)
Gambar 12. (a) Grafik validasi curah hujan wilayah Kemayoran, (b) Grafik
validasi suhu rata-rata wilayah Kemayoran, (c) Grafik validasi curah hujan
Kedoya

Secara rata-rata data model keluaran CSIRO Mk 3.0 telah mengikuti pola data
observasi baik untuk curah hujan maupun suhu rata-rata. Namun demikian data
model terlihat masih cenderung underestimate terhadap data observasi. Hal ini
terlihat pula pada grafik validasi curah hujan bulanan untuk wilayah Kedoya
seperti ditunjukkan Gambar 13.
Gambar 13. Grafik validasi curah hujan bulanan Kedoya (Januari 2001 –
Desember 2010)

Salah satu karakteristik data keluaran model CSIRO Mk 3.0 adalah


kecenderungannya untuk berada pada kisaran nilai rata-rata dan tidak mampu
menangkap kondisi ekstrim atau curah hujan tinggi untuk validasi curah hujan.
Pada kenyataannya wilayah Jakarta termasuk wilayah yang mengalami curah
hujan tinggi pada bulan-bulan tertentu yang bisa berakibat banjir. Kondisi
semacam ini lebih sering terjadi di puncak musim hujan (sekitar bulan Februari).
Karenanya untuk mengatasi kasus ini data keluaran model perlu dikoreksi dengan
menggunakan indeks koreksi sehingga diperoleh nilai keluaran yang mendekati
nilai observasinya.

Indeks atau koefisien koreksi dapat dihitung menggunakan persamaan berikut,

Dimana indeks koreksi data pada periode t merupakan perbandingan antara data
observasi dan data model pada periode yang sama yang selanjutnya dirata-rata
sesuai periode dan panjang data. Apabila menggunakan data bulanan maka akan
ada indeks koreksi untuk bulan Januari, Februari dan seterusnya hingga
Desember. Sebab, secara fisis kondisi iklim setiap bulan khususnya di wilayah
Indonesia berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu diperlukan
pencarian faktor koreksi data model untuk tiap bulan. Indeks ini selanjutnya
menjadi pengali data model yang hasilnya disebut sebagai data model terkoreksi.
Data model terkoreksi merupakan data model yang digunakan untuk proyeksi
iklim jangka panjang sehingga diharapkan nantinya dapat menghasilkan model
proyeksi yang bersesuaian dengan data observasi.

Indeks koreksi disini digunakan untuk mengoreksi data proyeksi keluaran model
CSIRO Mk 3.0 near future (N) periode 2011 – 2030 dan future (F) periode 2031 –
2060 berdasarkan baseline periode 2001 – 2010 (present, P). Hasilnya dapat
dilihat pada Gambar 14.

(a) (b)

(c)
Gambar 14. (a) Grafik data curah hujan terkoreksi wilayah Kemayoran, (b)
Grafik data suhu rata-rata terkoreksi wilayah Kemayoran, (c) Grafik data curah
hujan terkoreksi wilayah Kedoya

Dengan menggunakan sampel wilayah Kemayoran (Jakarta Pusat) dan Kedoya


(Jakarta Barat), terlihat secara rata-rata data model yang telah terkoreksi lebih
mendekati data observasi jika dibanding dengan data model sebelum dikoreksi.
Demikian pula dengan nilai korelasi dan MAPE data sebelum dan sesudah koreksi
menunjukkan adanya peningkatan angka korelasi dan penurunan nilai MAPE
setelah data dikoreksi (Tabel 6).
Tabel 6. Nilai korelasi dan MAPE antara data sebelum dikoreksi dan data setelah
dikoreksi
Sebelum Koreksi Setelah Koreksi
No Wilayah
Korelasi MAPE Korelasi MAPE
Curah Hujan
1 Kemayoran 0,89 33,4% 0,97 28,7%
2 Cengkareng 0,86 52,4% 0,95 51,1%
3 Halim P.K. 0,89 38,8% 0,94 46,6%
4 Kedoya 0,83 32,5% 0,95 20,8%
5 Tanjung Priok 0,84 55,2% 0,97 37,3%
Suhu Rata-rata
1 Kemayoran 0,78 5,5% 0,99 0,3%
2 Cengkareng 0,80 0,9% 0,97 0,3%
3 Halim P.K. 0,75 3,8% 0,96 0,5%

I.4.2Proyeksi Suhu Udara dan Curah Hujan

Jika pada analisis trend iklim historis hingga 30 tahun ke belakang menunjukkan
kecenderungan terjadinya kenaikan suhu rata-rata di wilayah Jakarta meskipun
tidak disertai dengan perubahan curah hujan yang signifikan, maka selanjutnya
akan dilihat apakah kecenderungan yang sama masih akan berlangsung untuk
periode mendatang ataukah tidak.

Proyeksi suhu dan curah hujan hingga tahun 2060 khusus untuk wilayah Jakarta
Barat dibuat dengan menggunakan data model keluaran CSIRO Mk 3.0 yang telah
dikoreksi berdasarkan time baseline periode tahun 2001 – 2010 (present, P).
Hasilnya dipetakan secara spasial untuk setiap bulan Januari, Februari, Agustus
dan September, masing-masing untuk near future (N) periode 2011 – 2030 dan
future (F) periode 2031 – 2060. Pemilihan bulan-bulan tersebut didasarkan pada
puncak kejadian curah hujan (Januari dan Februari) dan puncak kejadian musim
kemarau (Agustus dan September) sesuai ditunjukkan pada Gambar 1.
I.4.2.1 Periode Bulan Januari dan Februari

A B C

C D F

Gambar 15. Suhu rata-rata bulan Januari present (a), near (b), future (c)
Suhu rata-rata bulan Februari present (d), near (e), future (f)

Suhu rata-rata wilayah Jakarta Barat selama periode 2001 – 2010 pada bulan
Januari berkisar antara 27,5oC - 28,0oC (Gambar 15a) sedangkan pada bulan
Februari lebih dingin daripada bulan Januari yakni berkisar antara 27,0oC - 27,5oC
(Gambar 15.d). Kondisi ini diproyeksikan akan mengalami kenaikan hingga
sebesar 0,3oC untuk bulan Januari dan Februari mengalami kenaikan dengan
kisaran 0,15oC -0,2oC selama 20 tahun pada tahun 2011 – 2030 (Gambar 15.b dan
Gambar 15.e). Apabila diproyeksikan lebih jauh lagi, maka diperkirakan suhu
rata-rata di wilayah ini kembali mengalami kenaikan hingga mencapai 0,8oC
untuk bulan Januari dan untuk bulan Februari mengalami kenaikan hingga 0,75 oC
selama 30 tahun (2031 – 2060) (Gambar 15.c dan Gambar 15.f).
A B C

D E F

Gambar 16. Curah hujan bulan Januari present (a), near (b), future (c)
Curah hujan bulan Februari present (d), near (e), future (f)

Berdasarkan Gambar 16, menunjukkan bahwa curah hujan selama 10 tahun (2001
– 2010) selama bulan Januari di Jakarta Barat berkisar antara 314 – 332 mm
sedangkan untuk bulan Februari berkisar antara 417,8 – 463,9 mm. Rata-rata
curah hujan tertinggi pada periode bulan Januari dan bulan februari di wilayah
kajian terkonsentrasi di Jakarta Barat bagian Tenggara dan menurun di bagian
barat laut seperti ditunjukkan pada Gambar 16a dan Gambar 16d. Jika
diproyeksikan untuk tahun 2011 – 2030 wilayah ini ternyata akan mengalami
peningkatan curah hujan sekitar 12,85 mm untuk periode Januari dan sekitar 18,9
dengan peningkatan terbesar terjadi di wilayah Jakarta Barat bagian tenggara,
sedangkan peningkatan terendah terjadi di bagian barat laut seperti ditunjukkan
pada Gambar 16b dan Gambar 16e. Lebih jauh lagi, kondisi tersebut akan terus
berlangsung hingga periode tahun 2031-2060 dimana terjadi kenaikan curah hujan
sekitar 47,5 mm untuk bulan Januari, sedangkan untuk bulan Februari kenaikan
curah hujan tidak terlalu signifikan yakni kurang dari 1 mm. Pada periode tahun
2031-2060 kenaikan curah hujan tertinggi lebih terkonsentrasi di Jakarta Barat
bagian tenggara dan peningkatannya terus berkurang kearah barat laut seperti
ditunjukkan pada Gambar 16c dan Gambar 16f.
I.4.2.1 Periode Bulan Agustus dan September

A B C

D E F

Gambar 17. Suhu rata-rata bulan Agustus present (a), near (b), future (c)
Suhu rata-rata bulan September present (d), near (e), future (f)

Suhu rata-rata wilayah Jakarta Barat selama periode 2001 – 2010 pada bulan
Agustus dan September berkisar antara 29,00C - 29,50C seperti ditunjukkan pada
Gambar 17a dan Gambar 17d. Kondisi suhu udara tersebut diproyeksikan akan
mengalami kenaikan sebesar 0,6oC - 0,7oC untuk bulan Agustus dan untuk bulan
September sebesar 0,4oC selama 20 tahun pada tahun 2011 – 2030 hampir
diseluruh wilayah Jakarta Barat seperti ditunjukkan pada Gambar 17b dan
Gambar 17e. Apabila diproyeksikan lebih jauh lagi, maka diperkirakan suhu rata-
rata di wilayah ini kembali mengalami kenaikan hingga mencapai 0,9oC untuk
bulan Agustus dan untuk bulan September mengalami kenaikan sebesar 0,8oC
untuk bulan Februari selama kurun waktu 30 tahun (2031 – 2060) diseluruh
wilayah kajian seperti ditunjukkan pada Gambar 17c dan Gambar 17f.

A B C

D E F

Gambar 18. Curah hujan bulan Agustus present (a), near (b), future (c)
Curah hujan bulan September present (d), near (e), future (f)

Berdasarkan Gambar 18a dan Gambar 18d, menunjukkan bahwa curah hujan
selama 10 tahun (2001 – 2010) selama bulan Agustus di Jakarta Barat berkisar
antara 57 – 104 mm sedangkan untuk bulan September berkisar antara 31 – 78
mm. Pada bulan September curah hujan di wilayah Jakarta Barat lebih kecil dari
pada bulan Agustus, hal tersebut sesuai karakteristik curah hujan di wilayah
tersebut dimana puncak musim kemarau terjadi pada bulan September sehingga
curah hujannya lebih kecil daripada bulan Agustus. Distribusi curah hujan untuk
bulan Agustus dan September ini berkebalikan dengan distribusi curah hujan pada
bulan Januari dan Februari, dimana rata-rata curah hujan tertinggi pada periode
bulan Agustus dan bulan September lebih terkonsentrasi di wilayah Jakarta bagian
barat laut dan curah hujan terendah terjadi di bagian ternggara. Hal tersebut
dimungkinkan karena wilayah Jakarta Barat bagian barat laut lebih dekat dengan
laut sehingga kejadian hujan lokal akibat aktivitas konvektif yang terjadi di sekitar
perairan Jakarta berpengaruh terhadap jumlah curah hujan di wilayah Jakarta
Barat bagian barat laut.
Jika curah hujan diproyeksikan untuk tahun 2011 – 2030, maka curah hujan pada
bulan Agustus di wilayah Jakarta Barat bagian barat akan mengalami penurunan
sebaliknya untuk wilayah Jakarta Barat bagian timur akan cenderung naik.
Sedangkan untuk bulan September curah hujan diproyeksikan akan mengalami
penurunan hampir di seluruh wilayah Jakarta Barat terlebih di wilayah Jakarta
Barat bagian selatan seperti ditunjukkan pada Gambar 18b dan Gambar 18e.
Untuk periode tahun 2031-2060 curah hujan pada bulan Agustus dan September
diproyeksikan akan mengalami penurunan hampir di seluruh wilayah Jakarta
Barat dengan penurunan tertinggi terjadi di wilayah Jakarta Barat bagian utara
(bulan Agustus) dan di wilayah Jakarta Barat bagian selatan (bulan September)
seperti ditunjukkan pada Gambar 18c dan Gambar 18f.

Anda mungkin juga menyukai