Anda di halaman 1dari 3

Menurut Leonard Hayflick, profesor anatomi dari University of California, Amerika

Serikat, penuaan dini tersebut terjadi bila percepatan kemampuan replikasi sel membuat
penggantinya menurun bila sel itu mengalami kerusakan. Dalam kondisi tersebut,
kecepatan sel memperbarui diri sudah lebih rendah dibandingkan dengan proses
kerusakannya. Penuaan dini itu dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu: inflamasi
(peradangan), radikal bebas, ketidakseimbangan hormon (yang dapat mengakibatkan
buruknya perbaikan sel), glikosilasi (peningkatan kadar glukosa) dan metilasi (yang
berdampak pada kerusakan gen). Proses penuaan dini juga dipengaruhi oleh faktor
eksternal, yaitu gaya hidup dan kondisi lingkungan yang buruk.
Teori Pemanjangan Telomer
Setiap sel mempunyai kemampuan untuk membelah diri untuk mempertahankan fungsinya dan
memperlambat kematian. Kemampuan untuk membelah diri ini terjadi sampai sel-sel tersebut cukup
padat untuk saling bertemu satu sama lain, untuk kemudian berhenti untuk membelah diri, untuk
kemudian berhenti untuk membelah diri, suatu fenomena yang disebut “contact inhibition”. Saat sel-sel
sudah kehilangan kemampuan untuk membelah diri kembali. Sel-sel tersebut kemudian akan membesar,
bertahan beberapa lama, untuk kemudian perlahan-lahan akan mati(1).
Terbatasnya sel-sel untuk membelah diri setelah 50 kali dikenal dengan fenomena Hayflick atau “Hayflick
limit”. Fenomena Hayflick ini ternyata berhubungan dengan panjang telomer suatu sekuensi DNA pada
ujung setiap kromosom manusia. Setiap kali sel membelah, maka telomer ini akan semakin pendek,
sampai suatu saat telomer tidak dapat memendek lagi. Telomer yang sudah sangat pendek akan menjadi
sinyal untuk memicu terjadinya penuaan proliferatif atau apoptosis, sehingga turut berperan pada
munculnya fenotipe penuaan. Oleh karena itu, telomer nampak berperan sebagai suatu jam biologis yang
menentukan masa hidup proliferatif maupun tingkat fungsional dari sel(1,2).

d. Teori Glikosilasi (peningkatan kadar glukosa)


Teori ini menyatakan bahwa proses glikosilasi non-enzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-
protein yang disebut sebagai advanced glycation end products (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan
protein dan makromolekul lain yang termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi pada hewan  atau
manusia yang menua. Protein glikasi menunjukan perubahan fungsional, meliputi menurunnya aktivitas
enzim dan menurunnya degradasi protein abnormal. Manakala manusia menua, AGEs berakumulasi di
berbagai jaringan, termasuk kolagen, haemoglobin, dan lensa mata(1,2).
Karena muatan kolagennya tinggi, jaringan ikat menjadi kurang elastis dan lebih kaku. Kondisi tersebut
dapat mempengaruhi elastisitas dinding pembuluh darah. AGEs diduga juga berinteraksi dengan DNA
dan  karenanya mungkin mengganggu kemampuan sel untuk memperbaiki perubahan pada DNA(1).

Teori Imunitas
Sistem imun memiliki dua peranan yang utama : pertahanan terhadap serangan eksternal dan
pengawasan imunologis internal. Penuaan sistem imunitas umumnya ditandai oleh berkurangnya jumlah
sel T memori, berkurangnya populasi sel T naif, serta gangguan sistem imunitas humoral dan seluler.
Kondisi inflamasi kronik, berkurangnya imunitas terhadap sejumlah antigen eksogen, dan meningkatnya
autoreaktivitas nampak mengganggu kemampuan untuk melawan serangan dari lingkungan. Pada
proses penuaan, peningkatan jumlah spesies oksigen reaktif (ROS) di dalam sel akan menyebabkan
terjadinya stres oksidatif dan turut berperan dalam memicu terjadinya inflamasi ringan.
Selain itu, pengangkutan elektron mitokondria selama proses fosforilasi oksidatif juga nampak mengalami
gangguan pada penuaan, sehingga menyebabkan masuknya ROS proinflamasi ke dalam sitoplasma.
Ketidakseimbangan ROS ini turut berperan dalam menyebabkan terjadinya penuaan sistem imunitas
yang diawali dengan berkurangnya respon imunitas alamiah dan berujung pada terganggunya respon
imunitas adaptif. Berbagai kelainan ini nampak turut berperan dalam meningkatnya kejadian infeksi dan
keganasan pada usia lanjut(5).

c.   Teori Pacemaker atau Endokrin


Teori ini mengatakan bahwa proses menjadi tua diatur oleh pacemaker, seperti kelenjar timus,
hipotalamus, hipofisis, dan tiroid yang menghasilkan hormon-hormon, dan secara berkaitan mengatur
keseimbangan hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh manusia. Proses penuaan terjadi akibat perubahan
keseimbangan sistem hormonal atau penurunan produksi hormon-hormon tertentu(2).
Berbagai penelitian pada tikus menunjukan bahwa keadaan panhypopituitarisme dengan defisiensi jelas
pada hormon tirotropin, prolaktin, dan growth hormone (GH) akan memperpanjang usia pada hewan-
hewan tersebut dibandingkan kontrol. Tikus mutan yang rendah jumlah reseptor IGF-1 nya menunjukan
konsumsi makanan dan energy expenditure yang lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Tikus mutan
juga lebih tahan terhadap stress oksidatif akibat pemberian bahan oksidan (radikal bebas), sehingga
kerusakan pada DNA, protein, dan lipid lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Hal-hal ini nampaknya
juga sesuai dengan teori penuaan yang telah diuraikan diatas(1).

Teori DNA repair


Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka menunjukan bahwa adanya perbedaan pola lajur
”repair” atau perbaikan kerusakan DNA  yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai fibroblast
yang dikultur. Fibroblast pada spesies yang mempunyai umur maksimum terpanjang menunjukan laju
perbaikan DNA terbesar, dan korelasi ini dapat ditunjukan pada berbagai mamalia dan primata. Teori
DNA repair atau lebih tepatnya mitochondrial DNA repair ini terkait erat dengan teori radikal bebas.
Karena, sebagian besar radikal bebas (terutama ROS) dihasilkan melalui fosforilisasi oksidatif yang
terjadi di mitokondria. Mutasi DNA mitokondria (mtDNA) dan pembentukan ROS di mitokondria saling
mempengaruhi satu sama lain, membentuk “vicious cycle” yang secara eksponensial memperbanyak
kerusakan oksidatif dan disfungsi selular, yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Mutasi mtDNA
di manusia terutama terjadi setelah umur pertengahan tiga puluhan, terakumulasi seiring bertambahnya
umur dan jarang melebihi 1%. Rendahnya jumlah mutasi mtDNA yang terakumulasi ini diakibatkan
proses repair pada kerusakan oksidatif yang merupakan penyebab  percepatan proses penuaan 
(accelerated aging)(1).
Individu dengan kemampuan perbaikan DNA yang normal pun akan tetap mengalami akumulasi
kerusakan DNA dalam sel sepanjang hidup mereka, yang pada akhirnya dapat mengganggu proses
metabolisme dan fungsi seluler. Salah satu sistem yang nampak lebih rentan mengalami kerusakan DNA
adalah growth hormone dan insulin growth factor(1,2).
c.   Teori Pacemaker atau Endokrin
Teori ini mengatakan bahwa proses menjadi tua diatur oleh pacemaker, seperti kelenjar timus,
hipotalamus, hipofisis, dan tiroid yang menghasilkan hormon-hormon, dan secara berkaitan mengatur
keseimbangan hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh manusia. Proses penuaan terjadi akibat perubahan
keseimbangan sistem hormonal atau penurunan produksi hormon-hormon tertentu(2).
Berbagai penelitian pada tikus menunjukan bahwa keadaan panhypopituitarisme dengan defisiensi jelas
pada hormon tirotropin, prolaktin, dan growth hormone (GH) akan memperpanjang usia pada hewan-
hewan tersebut dibandingkan kontrol. Tikus mutan yang rendah jumlah reseptor IGF-1 nya menunjukan
konsumsi makanan dan energy expenditure yang lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Tikus mutan
juga lebih tahan terhadap stress oksidatif akibat pemberian bahan oksidan (radikal bebas), sehingga
kerusakan pada DNA, protein, dan lipid lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Hal-hal ini nampaknya
juga sesuai dengan teori penuaan yang telah diuraikan diatas(1).

Anda mungkin juga menyukai