Anda di halaman 1dari 31

1

TUGAS TERSTRUKTUR
REGULASI, ETIKA, DAN PROFESIONALISME APOTEKER

Disusun Oleh:
Kelompok 3
Nur Amalia I4C017077
Sarah Nur Azkia I4C017078
Noviana Intan Munawaroh I4C017079
Ferdi Haryanto I4C017080
Melaty Puti Pertiwi I4C017081
Fikri Rianto Anugerah I4C018082
Finny Ardiyani I4C017083
Prizky Deris Suryaman I4C079084
Tri Budi Hastuti I4C017085
Ira Nurlita Primananda I4C017086
Inas Yumn Hanifah I4C017087

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
PURWOKERTO
2018
2

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………... 2
A. Kasus………………...................................................................... 2
B. Pembahasan Kasus…..................................................................... 3
BAB III KESIMPULAN............................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 28
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktik kefarmasian oleh Apoteker. Pelayanan kefarmasian di apotek
meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Dalam melakukan masing-
masing pelayanan tersebut harus sesuai dengan peraturan atau regulasi
yang berlaku, dimana semua peraturan yang telah dibuat menjelaskan
secara rinci apa saja yang harus dilakukan oleh apoteker dalam
melakukan pelayanan kefarmasian di apotek.
Namun dalam pelaksanaannya, masih banyak ditemukan kasus-
kasus yang menunjukkan bahwa pelayanan kefarmasian di apotek
dilakukan tidak sesuai sesuai aturan yang berlaku, baik dari segi
menejemen maupun pelayanan kepada pasien. Jika suatu apotek tidak
menggunakan standar pelayanan farmasi dalam menjalankan apotek,
maka tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Karena pelayanan farmasi adalah bentuk pelayanan dan
tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien/masyarakat
Selain itu, pengelolaan sediaan farmasi ataupun administrasi di
apotek juga harus dijalankan sesuai dengan peratura yang ada, sehingga
dapat memudahkan apoteker dalam menjalankan tugasnya. Karena
apabila dalam menjalankan suatu apotek tidak sesuai dengan peraturan
yang berlaku, akan ada sanksi hukum yang diterima oleh apoteker yang
mengelola apotek tersebut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KASUS IV
Sebuah Apotek Dikunjungi oleh BPOM. Kondisi yang terlihat adalah
sebagai berikut
1. Apotek tersebut menjual obat-obat secara lengkap. Ada obat
bebas, obat bebas terbatas, obat keras, prekursor, narkotika dan
psikotropika
2. Layout Apotek cukup rapi dan nyaman, terdapat ruang tunggu yang
nyaman dan AC
3. Berdasarkan buku rekap penjualan, diketahui apotek tersebut
pernah menjual obat-obatan dalam jumlah besar (kemasan box)
kepada beberapa toko yang ada di sekitar lokasi apotek tersebut.
4. Apotek tersebut tidak memiliki arsip surat pesanan Prekursor. Surat
pesanan disediakan oleh Sales PBF.
5. Ditemukan Blanko Surat Pesanan kosong yang sudah
ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek
6. Penyimpanan obat-obatan cukup rapi dan jenis obat cukup
lengkap. Terlihat Apotek ini juga menjua Hufagrip sirup pilek,
Guanistrep sirup, Anakonidin sirup, Actifed sirup, Ambroxol sirup,
Parasetamol sirup dan Neokaolana sirup. Obat-obat tersebut di tata
rapi dalam satu lemari dengan sistem urut abjad.
7. Apotek ini memiliki gudang yang tidak terlalu luas. Penataan
disesuaikan dengan urut abjad. Ada Rak kayu yang digunakan.
Untuk obat-obat yang tidak cukup yang di taruh di rak kayu, boks
obat-obat tersebut ditumpuk di atas lantai dan ditata sesuai abjad.
8. Sistem pengadaan apotek tersebut adalah pengadaan langsung.
Surat pesanan dan faktur dari PBF maupun faktur jual (jika
melayani pembelian dari apotek lain) tidak disimpan. Faktur dari
PBF langsung dibuang jika faktur tersebut telah dibayar lunas.

2
3

B. PEMBAHASAN KASUS
1. Apotek tersebut menjual obat-obat secara lengkap. Ada obat
bebas, obat bebas terbatas, obat keras, prekursor, narkotika dan
psikotropika
Apotek menjual obat-obat secara lengkap. Hal tersebut sesuai
dengan Permenkes No. 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Apotek. Dimana pada Pasal 6 menyebutkan bahwa
“Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus menjamin
ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau”.
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika. Menurut Permenkes No. 9 Tahun 2017 Tentang Apotek
juga sudah sesuai dimana pada pasal 7 menyebutkan bahwa
“Bangunan Apotek memiliki sarana ruang yang berfungsi salah
satunya adalah untuk penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan”. Sehingga apotek diperbolehkan untuk menjual obat
secara lengkap karena apotek berfungsi untuk menyerahkan obat dan
menjamin ketersediaan obat.
4

Selain itu pada Permenkes No. 3 Tahun 2015 Tentang


Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Dimana pada pasal 19
menyebutkan bahwa, “Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika
hanya dapat dilakukan salah satunya oleh Apotek”. Kemudian pada
pasal 22 menyebutkan bahwa “Penyerahan Prekursor Farmasi hanya
dapat dilakukan salah satunya oleh Apotek”. Sehingga apabila apotek
menjual obat narkotika, psikotropika, dan prekursor tidak
dipermasalahkan karena sudah sesuai dengan Permenkes No. 3
Tahun 2015.
5

2. Layout Apotek cukup rapi dan nyaman, terdapat ruang tunggu


yang nyaman dan AC
Tata ruang apotek ditata serapi dan senyaman mungkin,
terdapat ruang tunggu yang nyaman dan AC. Hal ini sesuai dengan
Permenkes No. 9 Tahun 2017 Tentang Apotek, pada bagian ketiga
pasal 6 ayat 1 bahwa, “bangunan di Apotek harus memiliki fungsi
keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian
6

pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi


semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang
lanjut usia. Pasien yang berada di Apotek terkadang tidak semua
dilayani semua secara langsung, harus menunggu giliran atau antri.
Ada beberapa apotek yang menyediakan ruang tunggu untuk
pasiennya.
7

Apotek tidak diharuskan memiliki untuk ruang tunggu ber-AC.


Permenkes No. 9 Tahun 2017 Tentang Apotek, pada bagian keempat
pasal 7 dan pasal 8, mengenai sarana, prasarana, dan peralatan
Apotek paling sedikit memiliki sarana ruang yang berfungsi:
a. Penerimaan resep
b. Pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas)
c. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan
d. Konseling
e. Penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
f. Arsip
Prasarana apotek paling sedikit terdiri atas:
a. Instalasi air bersih
b. Instalasi listrik
c. System tata udara
d. System proteksi kebakaran
Penjelasan yang mendetail mengenai sarana dan prasarana
yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek
dapat dilihat di Permenkes No. 73 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
8
9

3. Berdasarkan rekap buku penjualan, diketahui apotek tersebut


pernah menjual obat-obatan dalam jumlah besar (kemasan box)
kepada beberapa toko yang ada disekitar lokasi apotek tersebut

Dalam hal penjualan obat di apotek kepada toko dalam jumlah


besar tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di Indonesia
sendiri terdapat peraturan yang mengatur segala sesuatu hal yang
harus dilakukan oleh sebuah apotek dalam Permenkes nomor 9 tahun
2017. Menurut Permenkes No 9 tahun 2017 Tentang Apotek ini pada
pasal 17 dikatakan bahwa apotek hanya dapat menyerahkan sediaan
farmasi, alkes, dan bahan medis habis pakai kepada apotek lainnya,
puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik,
dokter, bidang praktek mandiri, pasien, dan masyarakat. Penyerahan
pada apotek lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit,
instalasi farmasi klinik pun hanya dapat dilakukan untuk memenuhi
kekurangan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai jika terjadi kelangkaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai di fasilitas distribusi, dan terjadi
kekosongan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai di fasilitas pelayanan kesehatan.
10

Seharusnya apotek tidak boleh menjual obat kepada toko atau


tempat lain selain yang tertera pada Permenkes. Dalam PP No. 72
tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat
Kesehatan, disebutkan bahwa penyaluran sediaan farmasi dan alat
kesehatan hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah
memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan
sediaan farmasi yang berupa bahan obat, obat dan alat kesehatan.
Penyaluran atau penjualan obat secara besar diatur dalam
pedoman Cara Distribuasi Obat yang Baik (CDOB). Menurut pedoman
CDOB yang dikeluarkan oleh BPOM, untuk pengadaan obat pada
toko obat dilakukan oleh PBF karena PBF memiliki wewenang untuk
menyalurkan obat ke toko obat. Apotek berfungsi sebagai pusat
pelayanan obat, tidak boleh mendistribusikan obat dalam jumlah
besar. Toko yang di maksud bukan sembarang toko biasa namun toko
obat yang dalam menjual obatnya harus sesuai dengan PP No. 51
tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian.
11

4. Apotek tersebut tidak memiliki arsip surat pesanan Prekursor.


Surat Pesanan disediakan oleh sales PBF.
a. “Apotek tidak memiliki arsip surat pesanan Prekursor”
Hal tersebut tidak sesuai dengan peraturan Permenkes No. 3
Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Dimana
pada Pasal 44 disebutkan bahwa seluruh dokumen termasuk surat
pesanan Pekursor Farmasi harus disimpan selama paling singkat 3
tahun.
b. ”Surat Pesanan disediakan oleh sales PBF”
12

Hal tersebut diperbolehkan, selama surat pesanan yang


disediakan oleh PBF sesuai dengan aturan dan contoh yang telah
dibuat oleh Permenkes No. 3 Tahun 2015.
13

Walaupun hal tersebut tidak melanggar aturan, namun akan


lebih baik apabila dari pihak Apotek memiliki surat pesanan sendiri
seperti yang telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan POM No. 40
Tahun 2013. Adapun surat pesanan yang dibuat harus sesuai dengan
syarat sebagai berikut :
1) Asli dan dibuat tindasan sebagai arsip;
2) Ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek/Apoteker
Pendamping dengan mencantumkan nama lengkap dan nomor SIPA,
nomor dan tanggal SP, dan kejelasan identitas pemesan (antara lain
nama dan alamat jelas, nomor telepon/faksimili, nomor ijin, dan
stempel);
3) Mencantumkan nama dan alamat Industri Farmasi/Pedagang Besar
Farmasi (PBF) tujuan pemesanan; Pemesanan antar apotek
diperbolehkan dalam keadaan mendesak misalnya pemesanan
sejumlah obat yang dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan jumlah
obat yang diresepkan;
4) Mencantumkan nama obat mengandung Prekursor Farmasi, jumlah,
bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan;
5) Diberi nomor urut tercetak dan tanggal dengan penulisan yang jelas
atau cara lain yang dapat tertelusur, dan
6) Khusus untuk pesanan obat mengandung Prekursor Farmasi dibuat
terpisah dari surat pesanan obat lainnya dan jumlah pesanan ditulis
dalam bentuk angka dan huruf.
7) Apabila pemesanan dilakukan melalui telepon (harus menyebutkan
nama penelpon yang berwenang), faksimili, email maka surat pesanan
asli harus diberikan pada saat serah terima barang, kecuali untuk
daerah-daerah tertentu dengan kondisi geografis yang sulit
transportasi dimana pengiriman menggunakan jasa ekspedisi, maka
surat pesanan asli dikirimkan tersendiri.
14
15

5. Ditemukan Blanko Surat Pesanan kosong yang sudah


ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek
Seharusnya dalam suatu pemesanan obat blanko pemesanan
masih dalam keadaan kosong tanpa adanya tanda tangan apoteker
pengelola terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan kemungkinan dapat
16

disalahgunakan oleh TTK (tenaga teknis kefarmasian). Terutama di


perhatikan dalam pemesanaan untuk obat seperti narkotika,
psikotropika, dan prekuosor karena sudah terdapat Undang-undang
yang mengatur tentang surat pesanaan obat-obat tersebut yang
tercantum dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016. Tentang
Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu Yang Sering
Disalahgunakan.

6. Penyimpanan obat-obatan cukup rapi dan jenis obat cukup


lengkap. Terlihat Apotek ini juga menjua Hufagrip sirup pilek,
Guanistrep sirup, Anakonidin sirup, Actifed sirup, Ambroxol
sirup, Parasetamol sirup dan Neokaolana sirup. Obat-obat
tersebut di tata rapi dalam satu lemari dengan sistem urut abjad
Dalam sistem penyimpanan di apotek, hal yang harus diperhatikan
yaitu:
a. Memisahkan antara alat kesehatan dengan bentuk bentuk
sedian obat.
b. Perhatikan stabilitas dari setiap bentuk sedian obat tersebut
c. Aspek legal. Contohnya yaitu seperti obat narkotik dan
psikotropik yang diatur dalam undang-undang khusus.
17

d. Memisahkan atau mnyusun sesuai kelas terapi farmakologi


obat
e. Menyusun secara alfabetis
f. Pengeluaran obar memakai sistem FIFO (First In First Out) dan
FEFO (First Expire First Out)

Semua obat obatan diatas merupakan bentuk sedian sirup, ada


beberapa yang memiliki efek farmakologi yang sama dan ada juga
yang berbeda. Jadi dalam penyimpanannya dapat didalam satu lemari
yang sama namun dipisahkan ditempat atau papan yang berbeda
dalam lemari tersebut. Seperti Actifed sirup, Ambroxol sirup,
Anakonidin sirup, Hufagrif sirup pilek, misalkan disimpan dilemari
bagian atas karena memiliki kelas terapi yang sama yaitu untuk
gangguan sistem penafasan seperti flu, pilek dan batuk. Untuk
Paracetamol sirup digunakan sebagai analgetik (pereda nyeri) dan
antipirek (penurun panas/demam), biasanya bisa disimpan sebaris
dengan obat obatan kelas terapi gangguan sistem pernafaasan
seperti yang diatas karena biasanya flu, batuk, pilek sering disertai
dengan demam jadi biasanya penyimpanannya saling berdekatan.
Namun jauh lebih baik dipisahkan dengan kelas terapinya sendiri.
Kemudian untuk Guanistrep sirup dan Neokaolana sirup disimpan
dirak kedua atau dibawahnya karena memiliki kelas terapi yang sama
yaitu untuk gangguan sitem pencernaan seperti diare. Setelah
diketahui setiap kelas terapi obatnya dan telah dipisahkan juga
dengan kelas terapi lainnya, baru kita menyusun sesuai dengan
alfabetis dari masing masing obat tersebut.
18

7. Apotek ini memiliki gudang yang tidak terlalu luas. Penataan


disesuaikan dengan urut abjad. Ada Rak kayu yang digunakan.
Untuk obat-obat yang tidak cukup yang di taruh di rak kayu, boks
obat-obat tersebut ditumpuk di atas lantai dan ditata sesuai abjad
Penyimpanan sediaan farmasi merupakan suatu kegiatan
pengaturan terhadap Sediaan Farmasi yang diterima agar aman (tidak
hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya
tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Tujuannya adalah agar mutu sediaan farmasi yang tersedia di
Apotek dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan.
19

Penyimpanan Sediaan Farmasi dengan mempertimbangkan hal-hal


sebagai berikut:
1. Bentuk dan jenis sediaan
2. Kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan dikemasan sediaan
farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya dan kelembaban
3. Mudah atau tidaknya meledak/terbakar
4. Penyimpanan sesuai spesifikasi produk dan menggunakan palet
(mempertahankan mutu)
5. Mengunakan Sistem FIFO/FEFO dan label yang jelas (kesalahan
pengambilan)
6. Narkotika dan Psikotropika disimpan dengan peraturan perundang-
undangan
7. Barang rusak, ED, terkontaminasi, Recall, diduga palsu , disimpan
terpisah dan terkunci dan diberi penandaan.
8. Tempat penyimpanan sediaan farmasi tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
9. Barang tidak boleh langsung terkena lantai atau tembok untuk
menghindari kelembaban/ basah/ kerusakan, dapat diidentifikasi
dengan cepat pada saat dibutuhkan, mudah untuk dibersihkan baik
barang maupun mudah untuk dipindahkan.
10. Menempatkan barang dalam gudang yang aman dan terkunci ,
memastikan karakteristik barang (kualitas, kondisi fisik barang)
ditangani dengan benar.
11. Melakukan Stock Opname secara berkala untuk menjaga akurasi
stock
12. Tersedia SOP dan semua dokumen yg berkaitan didokumentasikan
20

Sebagaimana yang terdapat Dalam:

Penyimpanan :
1) Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-
kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan tanggal
kadaluwarsa.
2) Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3) Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan
barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
4) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
21

5) Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out)


dan FIFO (First In First Out).

Berdasarkan Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan


(2010) menyebutkan bahwa adapun sarana yang minimal sebaiknya
tersedia adalah Gudang, dengan luas 3×4 m². Sedangkan gudang
yang tersedia pada Apotek tersebut tidak terlalu luas sehingga tidak
mencukupi kebutuhan untuk penyimpanan obat mengakibatkan
penyimpanan obat atau boxs yang tidak cukup ditumpuk diatas lantai
meskipun sesuai abjad, tetapi stabilitas obat atau bahan obat harus
disimpan pada kondisi yang sesuai dan tidak boleh langsung terkena
lantai atau tembok untuk menghindari kelembaban, basah dan
kerusakan. Apabila pelaksanaan penyimpanannya sudah tepat dapat
diidentifikasi dengan cepat pada saat dibutuhkan dan mudah untuk
dibersihkan baik barang maupun mudah untuk dipindahkan.

8. Sistem pengadaan apotek tersebut adalah pengadaan langsung.


Surat pesanan dan faktur dari PBF maupun faktur jual (jika
melayani pembelian dari apotek lain) tidak disimpan. Faktur dari
PBF langsung dibuang jika faktur tersebut telah dibayar lunas
Pengadaan perbekalan farmasi di Apotek dilakukan oleh
bagian unit pembelian yang meliputi pengadaan obat bebas, obat
bebas terbatas, obat keras tertentu, narkotika dan psikotropika, dan
alat kesehatan. Pengadaan perbekalan farmasi dapat berasal dari
beberapa sumber, yaitu:
1) Pengadaan Rutin
Merupakan cara pengadaan perbekalan farmasi yang paling
utama. Pembelian rutin yaitu pembelian barang kepada para
distributor perbekalan farmasi untuk obat-obat yang kosong
berdasarkan data dari buku defekta. Pemesanan dilakukan dengan
cara membuat Surat Pesanan (SP) dan dikirimkan ke masing-masing
distributor/PBF yang sesuai dengan jenis barang yang dipesan. PBF
22

akan mengirim barang-barang yang dipesan ke apotek beserta


fakturnya sebagai bukti pembelian barang.
2) Pengadaan Mendesak (Cito)

Pengadaan mendesak dilakukan, apabila barang yang diminta


tidak ada dalam persediaan serta untuk menghindari penolakan
obat/resep. Pembelian barang dapat dilakukan ke apotek lain yang
terdekat sesuai dengan jumlah sediaan farmasi yang dibutuhkan tidak
dilebihkan untuk stok di apotek.

3) Konsinyasi Konsinyasi

Merupakan suatu bentuk kerja sama antara Apotek dengan


suatu perusahaan atau distributor yang menitipkan produknya untuk
dijual di apotek, misalnya alat kesehatan, obat-obat baru, suplemen
kesehatan, atau sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan yang
baru beredar di pasaran. Setiap dua bulan sekali perusahaan yang
menitipkan produknya akan memeriksa produk yang dititipkan di
apotek, hal ini bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah produk yang
terjual pada setiap dua bulannya. Pembayaran yang dilakukan oleh
apotek sesuai jumlah barang yang laku. Apabila barang konsinyasi
tidak laku, maka dapat diretur/dikembalikan ke distributor/perusahaan
yang menitipkan.

Apotek melakukan kegiatan pembelian hanya ke distributor


atau PBF resmi. Pemilihan pemasok didasarkan pada beberapa
kriteria, antara lain legalitas PBF, kecepatan dalam mengirim barang
pesanan, jangka waktu pembayaran, harga yang kompetitif dan untuk
obat-obat golongan narkotika hanya dapat dipesan ke PBF yang
ditunjuk oleh pemerintah yaitu PBF Kimia Farma.

Berdasarkan Permenkes RI No. 73 tahun 2016 Untuk menjamin


kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi
harus melalui jalur resmi sesuaiketentuan peraturan perundang-
undangan.
23

Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyusun


perencanan pengadaan perbekalan farmasi adalah :
24

Pemilihan pemasok.

 Legalitas pemasok (Pedagang Besar Farmasi/PBF)


 Service, meliputi ketepatan waktu, ketepatan barang yang dikirim,
ada    tidaknya diskon atau bonus, layanan obat kadaluarsa, dan
tenggang rasa penagihan.
 Kualitas obat, perbekalan farmasi lain dan pelayanan yang
diberikan.
 Ketersediaan obat yang dibutuhkan.
 Harga sama.

Ketersediaan barang/ perbekalan farmasi.

 Sisa stok.
 Rata-rata pemakaian obat dalam satu periode pemesanan.
 Frekuensi pemakaian.
 Waktu tunggu pemesanan.

Pembelian barang di apotek sebaiknya disesuaikan dengan


kebutuhan pelayanan setempat. Prosedur pembelian meliputi tahap-
tahap sebagai berikut :

1) Persiapan
Pengumpulan data obat dan perbekalan farmasi yang akan
dipesan berdasarkan bukudefecta (buku barang habis) baik dari
bagian penerimaan resep, obat bebas maupun dari gudang.
2) Pemesanan
Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat
Pemesanan (SP) untuk setiap supplier. Surat pemesanan di Apotek
ada tiga macam yaitu surat pesanan narkotika, surat pesanan
psikotropika, dan surat pesanan untuk obat selain narkotika dan
psikotropika.  SP minimal dibuat 2 rangkap (untuk supplier dan arsip
apotek) dan ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama
dan nomor SP serta cap apotek. SP pembelian Narkotik dibuat 5
rangkap, 1 lembar merupakan arsip untuk administrasi apotek dan 4
25

lembar dikirim ke PBF Kimia Farma, selanjutnya PBF Kimia Farma


menyalurkan kepada kepala Dinas kesehatan Kota/Kabupaten, BPOM
dan penanggungjawab Narkotika di Depot Kimia Farma Pusat. Satu
lembar surat pesanan untuk memesan satu jenis narkotika. SP untuk
psikotropika, format telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan, dibuat
rangkap 3, satu lembar (asli) untuk PBF dan dua lembar (tembusan)
untuk arsip apotek dan pengecekan barang datang. Dalam satu SP
dapat memuat lebih dari satu item obat, pemesanan bisa dilakukan
selain PT. Kimia Farma.

3) Barang yang datang dicocokkan dengan faktur dan SP (Surat


Pesanan).
Faktur tersebut rangkap 4-5 lembar, dimana untuk apotek
diberikan 1 lembar sebagai arsip, sedangkan yang lainnya termasuk
yang asli dikembalikan ke PBF yang akan digunakan untuk penagihan
dan arsip PBF. Faktur tersebut berisikan nama obat, jumlah obat,
harga obat, bonus atau potongan harga, tanggal kadaluarsa, dan
tanggal jatuh tempo. Faktur ini dibuat sebagai bukti yang sah dari
pihak kreditur mengenai transaksi penjualan.
SP digunakan untuk mencocokkan barang yang dipesan
dengan barang yang dikirim. Selain itu dicek apakah barang dalam
keadaan utuh, jumlah sama dengan permintaan dan sesuai pada
faktur tanggal kadaluarsa sesuai dengan faktur atau tidak. Setelah
sesuai dengan pesanan, APA atau AA yang menerima dan
menandatangani faktur, memberi cap dan nama terang serta nomor
SIPA apoteker sebagai bukti penerimaan barang. Barang yang telah
diterima kemudian dimasukkan ke gudang dan dicatat dalam kartu
stok.

Untuk obat-obat yang memiliki waktu kadaluarsa, dalam


pembeliannya diperlukan perjanjian mengenai batas waktu
pengembalian ke PBF bersangkutan jika sudah mendekati waktu
26

kadaluarsa obat. Jika tidak cocok atau tidak sesuai maka barang akan
dikembalikan melalui petugas pengantar barang.

Surat pesanan dan faktur dari PBF maupun faktur jual (jika melayani
pembeliaan dari apotek lain) tidak disimpan. Faktur dari PBF langsung
dibuang jika faktur tersebut telah dibayar lunas.

Seharusnya pihak apotek walaupun sudah lunas. Surat


pesanan dan faktur tetap disimpan secara terpisah paling singkat 3
tahun untuk penyimpanan arsip tersebut.
27
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek perlu
persiapan yang matang dan harus taat terhadap peraturan yang ada.
Pada kasus yang dibahas beberapa poin menunjukkan bahwa apotek
telah menjalankan pelayan kefarmasian sesuai dengan aturan atau
regulasi yang berlaku. Namun masih banyak beberapa hal yang tidak
sesuai bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Menjalankan
pelayanan kefarmasian di apotek haruslah sesuai sesuai dengan
peraturan yang berlaku agar menejemen dapat berjalan dengan baik serta
pelayan kepada pasien berjalan dengan aman dan lancar.

27
28

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Kesehatan, 2014, Permenkes No. 35 Tahun 2014
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
Peraturan Menteri Kesehatan, 2017, Permenkes No. 9 Tahun 2017
Tentang Apotek.
Peraturan Menteri Kesehatan, 2015, Permenkes No. 3 Tahun 2015
Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
Peraturan Menteri Kesehatan, 2016, Permenkes No. 73 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
Peraturan Pemerintah, 1998, PP No. 72 Tahun 1998 Tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan.
Badan Pengelola Obat dan Makanan, 2015, Petunjuk Pelaksanaan Cara
Distribusi Obat yang Baik, BPOM RI.
Peraturan Pemerintah, 2009, PP No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
Badan Pengelola Obat dan Makanan No. 40 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi Dan Obat Mengandung
Prekursor Farmasi.

Anda mungkin juga menyukai