Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS LUAS KAWASAN HUTAN BERDASARKAN UU NO 11

TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA (Omnibus Law)

Disusun oleh :
KELOMPOK 2
Setiya Tiara A P0502222056
Gecci Dwi Prasetyo P0502222053
Ibrahim Ahmad P0502222060
Syiskha Eka Patri P0502222062
Rozi Agustian P0502222068
Sulistio Rizki I P0502221024

Dosen :
Dr. Drs. Budi Riyanto, SH., M.si

ILMU PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
1. PENDAHULUAN

I.I latar belakang

Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja


akhirnya disahkan melalui rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 5 Oktober 2020.
Presiden Joko Widodo mengungkapkan ide pertama kali untuk menyusun
Rancangan UU Cipta Kerja ini pada saat pidato pelantikannya pada 20 Oktober
2019. Rancangan pertama kemudian diserahkan oleh pemerintah pada tanggal 12
Februari 2020. Berbagai kontroversi telah muncul dan banyak pendapat dari
kalangan buruh, pemerhati lingkungan dan masyarakat hukum adat serta pemangku
kepentingan terkait.
Salah satu alasan kontroversi dalam penyusunan rancangan dan
pembahasannya adalah bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Nomor 378 tahun 2019 tentang Satuan Tugas Bersama
Pemerintah dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau KADIN untuk
konsultasi publik Omnibus Law. Susunan satuan tugas penyusunan UU Cipta Kerja
didominasi oleh perwakilan dari KADIN dan asosiasi pengusaha dengan pelibatan
perwakilan buruh, masyarakat hukum adat dan pemerhati lingkungan, termasuk
Coorporate Social Responsibilty atau CSR yang sangat minim. Pembahasan dan
pengesahan rancangan UU Cipta Kerja dinilai secara singkat dan terkesan terburu-
buru. Perubahan terhadap UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UU PPLH) dan UU Kehutanan cukup banyak dilakukan dalam UU Cipta Kerja.
Tujuan utama dirumuskannya UU Cipta Kerja untuk meningkatkan ekosistem
investasi dapat membawa implikasi terhadap usaha bersama dalam perlindungan
hutan dan lingkungan hidup.
Sebelum adanya RUU Cipta Kerja, pemerintah di dalam UU Kehutanan
menyatakan secara tegas bahwa kawasan hutan minimal 30% dari luas daerah aliran
sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Perubahan UU No.
41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 18 ayat 2 melalui RUU Cipta Kerja
yaitu penghapusan batas minimal kawasan hutan 30% akan menimbulkan
kesempatan yang besar untuk mengeksploitasi hutan tanpa batas, sehingga
memberikan dampak mengganggu ketahanan ketersediaan air bagi masyarakat
sekitar hutan dan kota. Sebagai penggantinya Pemerintah Pusat akan mengganti
luas minimal kawasan hutan dengan kriteria biogeofisik, daya dukung dan daya
tampung lingkungan, karakteristik DAS serta keanekaragaman flora dan fauna.
Ketentuan UU Cipta Kerja ini menempatkan komitmen tersebut dalam posisi
yang sulit karena pada akhirnya komitmen tersebut menjadi sangat tinggi
standarnya dibandingkan dengan komitmen pemerintah pusat. Ancaman untuk
deforestasi juga bisa dilihat dari pengaturan bahwa pemerintah pusat dalam
menentukan luasan kawasan hutan yang dipertahankan tersebut juga akan melihat
proyek strategis nasional pemerintah yang diatur di dalam peraturan pemerintah.
Dihilangkannya luasan minimal kawasan hutan ini, jaring pengaman minimal untuk
mempertahankan laju deforestasi tidak lagi ada. Sesuai dengan latar belakang
tersebut makalah ini akan menganalisis perubahan kebijakan luas kawasan hutan
dalam RUU Cipta Kerja (Nugroho 2021).
1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana dampak dari penghapusan minimal 30% (tiga puluh persen) dari
luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional
(UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 18 ayat 2) bagi
keberlanjutan dan kelestarian alam?
2. Apa saja dampak yang akan diterima oleh masyarakat dari sisi lingkungan,
sosial, budaya, dan ekonomi dengan dihapuskannya pasal tersebut?
3. Apa indikator penentuan kawasan hutan setelah mengalami perubahan pada
UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui dan meningkatkan kepedulian terhadap dampak negatif


terhadap penghapusan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah
aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional (UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 18 ayat 2) bagi keberlanjutan dan
kelestarian alam.
2. Mengetahui dampak yang akan diterima oleh masyarakat dari sisi
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi dengan dihapuskannya UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 18 ayat 2.
3. Mendiskripsikan indikator untuk penentuan kawasan hutan setelah
mengalami perubahan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.

2. PEMBAHASAN

Pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas-asas pembentukan


peraturan perundang-undangan, sehingga Mahkamah berpendapat proses
pembentukan UU No 11 Tahun 2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan asas
UUD 1945 dan disebutkan jika gagal dalam formil. Hal ini disebabkan karena tata
cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan dengan metode yang pasti,
baku, dan standar sistematika pembentukan Undang-Undang.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan definisi
terkait kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan
hutan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Kehutanan adalah memiliki
luasan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan
sebaran yang proporsional untuk optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial
dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Hal tersebut secara tidak langsung
menyebutkan bahwa hutan yang dimiliki dan ditetapkan oleh negara sebagai
Kawasan hutan paling sedikit memiliki luasan 30% terhadap DAS atau pulau
(Sahnan dan Asikin 2018).
Kawasan hutan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia juga
mengalami perubahan beriringan dengan pembangunan serta tujuan pembangunan
berkelanjutan yang juga menjadi komitmen Indonesia. Undang-undang No.11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melakukan perubahan pada Pasal 18 Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999 menjadi “Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan
yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran
sungai dan/atau pulau”. Penjelasan lebih lanjut dari perubahan tersebut dan
pengenalan norma baru berupa “kecukupan luas kawasan hutan” tertuang pada
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
pada Pasal 41 yang menyebutkan bahwa Menteri menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan berdasarkan kondisi fisik dan
geografis pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang
proporsional. Pasal 41 mengindikasikan bahwa penghitungan luas kecukupan
Kawasan hutan tidak hanya dihitung berdasarkan Kawasan hutan yang ditetapkan
oleh Pemerintah, namun juga yang berada di luar Kawasan hutan dan memiliki
tutupan berhutan. Pasal 41 tersebut juga menyebutkan parameter dalam penentuan
luas kecukupan Kawasan hutan yang tidak hanya berdasarkan tutupan hutan di
Kawasan hutan pada DAS atau pulau, namun juga berdasarkan biogeofisik, daya
tampung daya dukung, karakteristik das, dan keanekaragaman flora fauna.
Luas kecukupan Kawasan hutan dijelaskan lebih detail dalam Peraturan
Menteri LHK No.7 Tahun 2021 yang menyebutkan bahwa kecukupan Kawasan
hutan dan penutupan adalah ambang batas minimal luas kawasan hutan dan
penutupan hutan yang harus dipertahankan pada DAS, pulau, dan/atau provinsi
berdasarkan kriteria kondisi biogeofisik, geografis dan ekologis dalam rangka
optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan budaya serta manfaat ekonomi
dan produksi (Pungky widiaryanto 2015). Definisi tersebut juga memberikan
terdapatnya parameter baru, yaitu provinsi dalam penentuan kecukupan Kawasan
hutan dan penutupan hutan. Terdapatnya wilayah administrasi sebagai salah satu
penghitungan kecukupan Kawasan hutan mengindikasikan bahwa penentuan luas
kecukupan Kawasan hutan akan juga mempertimbangkan ekosistem khas masing-
masing provinsi. Hal tersebut menunjukan bahwa kecukupan suatu provinsi akan
berbeda satu sama lain bergantung bagaimana hasil analisis kondisi fisik Kawasan
pulau/provinsi, biogeofisik (daya tampung daya dukung lingkungan hidup,
karakteristik DAS, dan keanekaragaman hayati).
Parameter dalam penentuan kecukupan Kawasan hutan dan penutupan
Kawasan hutan adalah daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Parameter tersebut merupakan parameter yang wajib digunakan dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tertuang dalam Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009. Pasal 12 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 telah
menyebutkan bahwa tujuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
adalah untuk menjamin keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup,
keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup, dan kesejahteraan dan mutu hidup
masyarakat. Pertimbangan daya dukung dan daya tampug lingkungan hidup sebagai
parameter kecukupan Kawasan hutan dan penutupan hutan merupakan gambaran
bagaimana kondisi dan kemampuan hutan sebagai tutupan lahan dalam
memberikan dan menyediakan kondisi lingkungan hidup bagi kesejahteraan
manusia.
Keanekaragaman hayati merupakan parameter baru dan menjadi suatu hal
yang penting bagi kecukupan Kawasan hutan dan penutupan hutan. Kriteria dari
keanekaragaman hayati yang secara langsung mempengaruhi kecukupan Kawasan
hutan dan penutupan hutan adalah dengan penyediaan habitat bagi flora dan fauna
yang memiliki nilai konservasi. Terjaminnya habitat flora dan fauna akan menjadi
parameter penting dalam penentuan kecukupan Kawasan hutan dan penutupan
hutan sehingga dengan beriringan dapat melaksanakan tujuan dari konservasi
sumber daya alam dan ekosistem sebagaimana mandate dari Undang-Undang No.
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Konservasi sumber daya alam dan ekosistem dalam kecukupan Kawasan
hutan dan penutupan hutan juga diperkuat dalam parameter karaketeristik DAS.
Kriteria karakterisitk DAS seperti erosi, kerentanan lahan, dan Kawasan
perlindungan setempat (riparian dan sempadan sungai) secara komprehensif dapat
menggambarkan fungsi lindung suatu DAS dalam lingkup yang makro. Parameter-
parameter tersebut sebenarnya telah menggambarkan bagaimana aspek lingkungan
hidup dan kehutanan secara berkesinambungan digunakan dalam penentuan
kecukupan Kawasan hutan dan penutupan hutan di Indonesia (Zulkarnain 2013).
Hal yang harus digarisbawahi dalam kecukupan Kawasan hutan dan
penutupan hutan di Indonesia adalah ketersediaan data dan kesamaan skala dalam
proses analisisnya. Perlu diintegrasikan antara parameter tersebut dengan peraturan
perundang-undangan lain tentang DAS dan keanekaragaman hayati terkait
bagaimana prioritas aspek yang dapat dan harus diperhitungkan dalam analisis
kecukupan Kawasan hutan dan penutupan hutan di suatu provinsi. Kondisi sosial
dan politik dari suatu provinsi tersebut juga memegang peranan cukup penting
karena dalam mempertahankan Kawasan hutan yang ada dibutuhkan komitmen dari
Pemerintah Daerah setempat. Monitoring dan evaluasi dalam mekanisme dan
standar prosedur yang jelas juga patut diperhitungkan dalam proses penentuan dan
mempertahankan kecukupan Kawasan hutan dan penutupan hutan.
UUCK menghapus luas wilayah minum hutan 30%, hal ini merupakan suatu
kebijakan yang diambil oleh pemerintah indonesia. Di beberapa wilayah pulau
jawa, kisaran rasio luas kawasan hutan berada di bawah batas minimal. Luas Pulau
dari jawa adalah ± 13.210.700 Hektar sedangkan luas kawasan hutannya ±
3.532.600 Hektar (Statistik KLHK 2015). Ini berarti wilayah pulau jawa memiliki
kawasan hutan sebesar 26,7% dan lebih rendah jika diharuskan untuk luas minimum
kawasan hutan dari UU 41/1999 yaitu 30%.
UUCK lahir dengan menghapus luas minimum dikarenakan adanya daerah
yang tidak bisa memenuhi jumlah minimum dari luas kawasan hutan. Setelah
UUCK di sahkan dan terdapat penghapusan wilayah minum luas hutan maka terjadi
reaksi penolakan karena setiap daerah takut akan manipulasi peraturan terhadap
luas hutan mereka oleh pihak swasta yang bekerja sama dengan pemerintah pusat.
Provinsi Papua setelah UUCK terbit tetap mempertahankan Perdasi No. 23
tahun 2013 yang menyatakan bahwa papua akan tetap mempertahakan 90%
kawasan hutan dan 60% kawasan hutan lindung. Lebih lanjut Kedua provinsi
(Papua dan Papua Barat) menyatakan komitmen untuk melidungi minimal 70%
daratan melalui Deklarasi Manokwari (Simangunsong 2020). Setiap daerah agak
waswas dengan terbitnya UUCK karena yang memiliki keputusan adalah pihak
pusat bukan daerah, dalam hal ini KLHK. Pihak pusat merasa bahwa dengan
mereka yang mengelola kawasan hutan maka tidak ada adanya miss informasi
terkait pusat dan daerah.
3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kawasan hutan yang diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999


tentang Kehutanan adalah memiliki luasan minimal 30% dari luas daerah
aliran sungai (DAS) dan atau pulau namun terjadi perubahan pada Undang-
undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melakukan perubahan pada
Pasal 18 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 menjadi “Pemerintah Pusat
mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi
fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau”.
2. Dengan dihapusnya peraturan kawasan hutan minimal 30% dari luas daerah
aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional pada UU
Cipta Kerja menimbulkan kesempatan yang besar untuk dapat
mengeksploitasi hutan tanpa batas yang akan mengganggu ketahanan
ketersediaan air tawar bagi masyarakat sekitar hutan dan kota.
3. Terdapatnya wilayah administrasi sebagai salah satu penghitungan
kecukupan Kawasan hutan mengindikasikan bahwa penentuan luas
kecukupan Kawasan hutan akan juga mempertimbangkan ekosistem khas
masing-masing provinsi, sehingga kecukupan suatu provinsi akan berbeda
satu sama lain bergantung bagaimana hasil analisis kondisi fisik Kawasan
pulau/provinsi, biogeofisik (daya tampung daya dukung lingkungan hidup,
karakteristik DAS, dan keanekaragaman hayati).

3.2 Saran

1. Pemerintah daerah haruslah membuat komitmen seperti Provisi Papua yang


tetap mempertahankan Perdasi No. 23 tahun 2013 yang menyatakan bahwa
papua akan tetap mempertahakan 90% serta provinsi (Papua dan Papua
Barat) menyatakan komitmen untuk melidungi minimal 70% daratan
melalui Deklarasi Menokwari
2. Perlu diintegrasikan antara parameter biogeofisik, daya tampung daya
dukung, karakteristik das, dan keanekaragaman flora fauna tersebut dengan
peraturan perundang-undangan lain tentang DAS dan keanekaragaman
hayati terkait bagaimana prioritas aspek yang dapat dan harus
diperhitungkan dalam analisis kecukupan Kawasan hutan dan penutupan
hutan di suatu provinsi
3. Pemerintah provinsi harus mengatur ambang batas kawasan hutan yang
lebih tinggi agar tidak berpotensi meningkatkan deforestasi dan potensi
ekspansi industri ekstaktif merambah kawasan hutan lebih dalam, bahkan
lindung.
DAFTAR PUSTAKA

[UU] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 2020


[Permen] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 7 Tahun
2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Perentukan Kawasan
Hutan, Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan
Kawasan Hutan. 2021
Nugroho A wahyu. 2021. Membaca Arah Perubahan Kehutanan Pasca-terbitnya
Undang-Undang Cipta Kerja. J Huk Lingkung Indones. 7(2):275–296.
doi:10.38011/jhli.v7i2.278.
Pungky widiaryanto. 2015. Rasionalitas Kebijakan Konsepsi Hutan Dan
Penghapusan Batas Minimal Kawasan Hutan 30 Persen. Manaj dan
Kebijak Publik. 1(1):1–14.
Sahnan S, Asikin Z. 2018. Penegakan Hukum Pemanfaatan Tanah Kawasan Hutan
Di Kabupaten Lombok Timur. J IUS Kaji Huk dan Keadilan. 6(1):143.
doi:10.29303/ius.v6i1.530.
Simangunsong CJ. 2020. Uu Cipta Kerja Dan Implikasinya Kepada Hutan,
Lingkungan Hidup, Dan Masyarakat Hukum Adat Di Tanah Papua.
Econusa., siap terbit.
Zulkarnain. 2013. Analisis Penetapan Kriteria Kawasan Hutan. J Agrifor.
XII(2):96–109.

Anda mungkin juga menyukai