Anda di halaman 1dari 16

HUKUM KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG KEHUTANAN

Dosen Pengajar: Aryo Subroto, S.H., M.H

Nama Anggota Kelompok:

Shera Hasinta (1808015001) Andi Ayatullah (1808015192)

Astika (1808015012) Sri Haerianti (1808015209)

Rini Rosadi (1808015015) Shakila Jasmine T (1808015218)

Listiana (1808015017) I Ketut Yoga Apriana (1808015202)

Nur Annisa Putri Alifia (1808015018) Gifari Riski Ananda (1808015239)

M. Vidi Suryanto (1808015033) Carlos Wostyla Nipa (1808015246)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MULAWARMAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Makalah Hukum Kehutanan dan Perkebunan “Penegakan Hukum di
Bidang Kehutanan” tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
akhir dari Bapak Aryo Subroto, S.H., M.H. selaku dosen Mata Kuliah Hukum
Kehutanan dan Perkebunan . Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang penegakan hukum di bidang kehutanan yang
bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis
khususnya. Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Aryo Subroto, S.H.,
M.H selaku dosen bidang studi Hukum Kehutanan dan Perkebunan yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 20 September 2021

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................2

B. Rumusan Masalah.......................................................................................2

C. Tujuan Penulisan........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................3

A. Dasar Hukum Kehutanan............................................................................3

B. Bentuk Penegakan Hukum dalam Bidang Kehutanan.....................................2

C. Efektivitas Penegakan Hukum dalam Bidang Kehutanan................................9

BAB III PENUTUP................................................................................................12

A. Kesimpulan..............................................................................................12

B. Saran.......................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah
(tropical rain forest) terluas kedua di dunia setelah Brazilia (Barber, 1989; Gillis &
Repetto, 1988; Poffenberger, 1990). Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini
kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi
kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang
mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke
tahun, juga terutama karena pemerintah secara sadar telah me-ngeksploitasi sumber
daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara ( state revenue) yang
paling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi. Hutan
merupakan salah satu faktor krusial di dalam mata rantai permasalahan lingkungan
hidup sosial. Terlepas dari bagaimana implementasi pengelolaan hutan di lapangan,
sebenarnya pemerintah Indonesia telah menyatakan concern terhadap masalah
degradasi lingkungan global diantaranya dengan komitmen untuk mengelola hutan
secara lestari (sustainable forest management).
Di samping berbasis pada prinsip-prinsip kelestarian, pemanfaatan sumber
daya hutan dituntut juga untuk memperhatikan juga prinsip multiguna mencakup
konservasi tanah dan air, sumber kayu dan non kayu untuk masyarakat lokal,
konservasi flora dan fauna, serta fungsi support untuk program pembangunan
lainnya seperti transmigrasi, pertanian, dan sarana umum lainnya. Hal tersebut
sejalan dengan apa yang tersebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa dalam
hal pengelolaan hutan pun negara berhak memanfaatkannya untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.1 Hal itu diperjelas di dalam pasal 4 (ayat) 1 Undang-
undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa semua wilayah Republik
Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, namun demikian
pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan harus dilakukan secara
proporsional, agar tidak merusak kondisi dan fungsi hutan secara keseluruhan,

1
Luisa Srihandayani, 2018. Penegakan hukum kehutanan di Indonesia. Vol.16. No 307.

1
mengingat, hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan
sumber kemakmuran rakyat, jika kita tidak ingin kondisinya akan semakin menurun
akibat illegal logging, perambahan dan terbakarnya hutan secara meluas.

Selain UU Kehutanan No.41 tahun 1999, yang berhubungan dengan


pencegahan dan pemberantasan hutan juga dipertegas dengan Undang-Undang
No.18 Tahun 2013 mencakup keseluruhan tentang pemberantasan perusakan hutan,
pemanfaatan hutan dan hasil hutan serta pengelolaan kawasan hutan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Salah satu hal
terpenting yang seharusnya diperhatikan oleh negara untuk penyelenggaraan
kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah pengaturan hak atas hutan
(property rights). Selain itu perlu diketahui bentuk penegakan hukum dalam bidang
kehutanan agar kegiatan yan sifatnya merusak dapat diatasi dengan baik serta dikaji
efektivitas dari pengaturan hukum tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk penegakan hukum bagi pelaku yang melanggar ketentuan


dalam bidang kehutanan ?
2. Bagaimana efektivitas penegakan hukum terkait Pelanggaran di bidang
kehutanan ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan daripada penulisan makalah


sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan sanksi bagi pelaku yang
melanggar ketentuan dalam bidang kehutanan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hambatan dan efektivitas pengaturan hukum terkait
pelanggaran di bidang kehutanan di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Kehutanan


Berikut beberapa ketentuan yang menjadi pedoman pengaturan penegakan
hukum di bidang kehutanan sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistem
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan
5. Memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau
persetujuan dari pejabat yang berwenang; Menyimpan hasil hutan yang
diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau
dipungut secara tidak sah; Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan
yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang
berwenang (Pasal 50A ayat 1 dan Pasal 78 ayat 5,6 dan 8 UU Cipta Kerja No.11
Tahun 2020)
6. Setiap orang yang diberi Perizinan Berusaha di kawasan hutan dilarang
melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan ( Pasal 78 ayat 1 UU
Cipta Kerja No.11 Tahun 2020)
7. Mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak
sah (Pasal 78 ayat 2 UU Cipta Kerja No.11 Tahun 2020)
8. Membakar hutan (Pasal 78 ayat 3 dan 4 UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020)
9. Penambangan dengan pola pertambangan terbuka (Pasal 78 ayat 7 UU Cipta
Kerja No 11 Tahun 2020)
10. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan

B. Bentuk Penegakan Hukum dalam Bidang Kehutanan


Pengelolaan hutan harus berbasis pemanfaatan untuk menjamin dan
memelihara kelestarian dan keseimbangan hutan. Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 dan Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, memandang asas kepentingan dan kelestarian, kerakyatan dan keadilan

3
sebagai kesatuan atau penunjang perlindungan hutan. Oleh karena itu, pemanfaatan
hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dengan tetap menjaga kelestariannya.
Penegakan hukum merupakan bagian dari sistem hukum. Tanpa penegakan hukum
(formeel recht), asas hukum materiil (material recht) mau tidak mau akan menjadi
tumpukan kertas (een papieren muur). Orang yang memahami hukum sebagai
proses penegakan hukum (Hij denk bij recht dus dadelijk aan en process).2
Perusakan hutan juga merupakan perusakan lingkungan hidup yang oleh
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, diartikan sebagai
tindakan yang menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan atau hayati
yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya menurut Pasal 1 angka 16 Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yang dimaksud dengan perusakan lingkungan adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup. Di sisi lain dalam Penjelasan Pasal 50 (2) Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan disebutkan bahwa kerusakan hutan adalah
terjadinya perubahan fisik hutan, sifat fisik atau hayatinya yang menyebabkan hutan
terganggu atau tidak dapat berperan sesuai fungsinya. Perusakan hutan yaitu suatu
tindakan nyata yang melawan hukum dan bertentangan dengan kebijakan atau
tanpa persetujuan pemerintah dalam bentuk perijinan yang dapat menimbulkan yang
merugikan negara dan masyarakat serta lingkungan hidup. Illegal logging oleh
beberapa pakar hukum dikualifikasikan sebagai kejahatan, karena perbuatan
tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan (hutan) yang oleh undang-undang
dikualifikasikan sebagai kejahatan.
Dalam penegakan hukum di bidang kehutanan terdapat tiga aspek yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain sebagai bagian dari sistem hukum, yaitu (1)
substansi hukum yang diatur dan tercantum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lainnya
yang berkaitan dengan hukum kehutanan; (2) struktur hukum, seperti aparat
penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum, maupun hakim, dan penasihat
hukum. Apakah penegak hukum telah berkerja secara benar sesuai tugas dan

2
Irwan. 2017. Efektvitas Penyelesaian Sengketa Perkara Tindak Pidana Kehutanan di Kantor
Kejaksaan Negeri Sinjai. Vol. 4. No. 2

4
wewenang masing serta berkoordinasi secara baik sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana terpadu (integrited criminal justice system), dan (3) kultur hukum,
yaitu berkaitan dengan peran serta masyarakat, baik perseorangan, kelompok sosial,
organisasasi kemasyarakatan, LSM, dan perguruan tinggi dalam penegakan hukum di
bidang kehutanan.3

Kegiatan yang dilarang dalam bidang kehutanan diatur dalam Undang-


Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian di ubah dalam UU
No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, lalu pada Undang-Undang No. 18 tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, berserta dengan
sanksi pidananya yang juga tertuang dalam undang-undang tersebut. Mulanya
penegakan hukum berpatokan pada Undang-Undang No. 41 tahun 1999 namun
ketentuannya telah diubah dalam UU Cipta Kerja, perubahannya tertuang dalam
tabel berikut:

PASAL 50 UU CIPTA KERJA PASAL 78 UU CIPTA KERJA

(1) Setiap orang yang diberi Perizinan (1) Setiap orang yang dengan sengaja
Berusaha di kawasan hutan dilarang melanggar ketentuan sebagaimana
melakukan kegiatan yang menimbulkan dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1)
kerusakan hutan. diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
(2) Setiap orang dilarang:
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
a. mengerjakan, menggunakan,
miliar rupiah).
dan/atau menduduki kawasan hutan
secara tidak sah; (2) Setiap orang yang dengan sengaja

b. membakar hutan; melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
c. memanen atau memungut hasil
a diancam dengan pidana penjara paling
hutan di dalam hutan tanpa memiliki
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
hak atau persetujuan dari pejabat
paling banyak Rp7.500.000.000,00
yang berwenang
(tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
d. menyimpan hasil hutan yang
diketahui atau patut diduga berasal (3) Setiap orang yang dengan sengaja
dari kawasan hutan yang diambil melanggar ketentuan sebagaimana
atau dipungut secara tidak sah; dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
e. menggembalakan ternak di dalam b diancam dengan pidana penjara paling
3
Indra Ch. R. Tihirang. 2013. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan. Vol. 2.
No. 6

5
kawasan hutan yang tidak ditunjuk lama 15 (lima belas) tahun dan denda
secara khusus untuk maksud paling banyak Rp7.500.000.000,00
tersebut oleh pejabat yang (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
berwenang;
(4) Setiap orang yang karena kelalaiannya
f. membuang benda-benda yang
melanggar ketentuan sebagaimana
dapat menyebabkan kebakaran dan
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
kerusakan serta membahayakan
b diancam dengan pidana penjara paling
keberadaan atau kelangsungan
lama 5 (lima) tahun dan denda paling
fungsi hutan ke dalam kawasan
banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar
hutan; dan
lima ratus juta rupiah).
g. mengeluarkan, membawa, dan
mengangkut tumbuh-tumbuhan dan (5) Setiap orang yang dengan sengaja

satwa liar yang tidak dilindungi melanggar ketentuan sebagaimana

undang-undang yang berasal dari dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf

kawasan hutan tanpa persetujuan c diancam dengan pidana penjara paling

pejabat yang berwenang. lama 5 (lima) tahun dan denda paling

(3) Ketentuan tentang mengeluarkan, banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar

membawa, dan/atau mengangkut lima ratus juta rupiah).

tumbuhan dan/atau satwa yang


(6) Setiap orang yang dengan sengaja
dilindungi diatur sesuai dengan
melanggar ketentuan sebagaimana
ketentuan peraturan perundang-
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
undangan.
d diancam dengan pidana penjara paling

Pasal 50A lama 5 (lima) tahun dan denda paling


banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar
(1) Dalam hal pelanggaran sebagaimana lima ratus juta rupiah).
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
c, huruf d danlatau huruf e dilakukan (7) Setiap orang yang dengan sengaja

oleh orang perseorangan atau kelompok melanggar ketentuan sebagaimana

masyarakat yang bertempat tinggal di dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4)

dalam dan/atau di sekitar kawasan diancam dengan pidana penjara paling

hutan paling singkat 5 (lima) tahun lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

secara terus menerus dikenai sanksi paling banyak Rp7.500.000.000,00

administratif. (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

(2) Pengenaan sanksi administratif Note: Pasal 38 ayat (4), larangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pertambangan terbuka di

dikecualikan terhadap: kawasan hutan lindung)

a. orang perseorangan atau kelompok


(8) Setiap orang yang dengan sengaja
masyarakat yang bertempat tinggal di

6
dalam dan/atau disekitar kawasan melanggar ketentuan sebagaimana
hutan paling singkat 5 (lima) tahun dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
secara terus-menerus dan terdaftar e diancam dengan pidana penjara paling
dalam kebijakan penataan Kawasan lama 3 (tiga) bulan dan denda paling
Hutan; atau banyak Rp 1 0.000.000,00 (sepuluh juta

b. orang perseorangan yang telah rupiah)

mendapatkan sanksi sosial atau sanksi


(9) Setiap orang yang dengan sengaja
adat.
melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
f diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).

(10) Setiap orang yang dengan sengaja


melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
g diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

(11) Tindak pidana sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2)
apabila dilakukan oleh korporasi
dan/atau atas nama korporasi, korporasi
dan pengurusnya dikenai pidana dengan
pemberatan 1/3 (sepertiga) dari denda
pidana pokok.

(12) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan


dan pelanggaran dan/atau alat-alat
termasuk alat angkutnya yang
dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan/atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
dirampas untuk negara.

Selain kegiatan yang dilaramg serta ketentuan pidana yang ada pada tabel

7
tersebut, contoh lain ialah kasus di bidang kehutanan yang sering terjadi ialah Illegal
Logging. Ketentuan pidana yang dapat dijeratkan pada perbuatan illegal logging
adalah Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang mengancam hukuman sangat
berat, yaitu pidana penjara sepuluh tahun dan denda paling banyak lima miliar
rupiah (Pasal 78 juncto Pasa 150 UU Nomor 41 Tahun 1999). Disamping itu juga bisa
dikenakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistem. Dalam Pasal 19 (1), Pasal 33 (1) dan Pasal 40 (1)
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 telah dirumuskan perbuatan yang merusak
keutuhan suatu kawasan, termasuk hutan, dengan pidana penjara 10 tahun dan
denda paling banyak dua ratus juta rupiah. Terhadap perbuatan yang dengan
sengaja menebang, mengangkut, merniliki, merusak dan memperniagakan
tumbuhan dan tanaman yang dilindungi diancam penjara paling lama lima tahun dan
denda paling banyak seratus juta rupiah (Pasal 21 ayat I Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990). Kejahatan illegal logging juga dapat dijerat ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan. Menurut Pasal 9 (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985, disebutkan bahwa barangsiapa dengan
sengaja melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan lindung tanpa ijin,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak
seratus juta rupiah. Apabila perbuatan itu dilakukan di kawasan hutan yang bukan
hutan lindung diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda
paling banyak dua puluh juta rupiah.

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang


Perlindungan Hutan untuk menjerat kejahatan illegal logging didasarkan pada
ketentuan peralihan UU Kehutanan. Dalam Pasal 82 Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 dinyatakan bahwa semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-
undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan
pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini. Jadi, dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 82 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut maka ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 dapat diterapkan pada kcjahatan
illegal logging. Ketentuan lain dalam hukum pidana positif yang dapat dijeratkan
pada kejahatan illegal logging adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun pasal-pasal KUHP yang dapat dikenakan kepada kejahatan illegal logging
adalah pengrusakan barang (Pasal 406- 412 KUHP) dengan ancaman pidana penjara
paling lama 5 tahun. Di samping itu delik pencurian dalam Pasal 363-365 KUHP juga

8
dapat dijeratkan pada perbuatan illegal logging dengan ancaman pidana mulai paling
lama lima tahun sampai lima belas tahun. Ketentuan mengenai delik pemalsuan
surat-surat dalam Pasal 263-276 KUHP juga dapat diterapkan pada illegal logging
jika pelakunya menggunakan surat surat palsu untuk mengangkut kayu hasil curian,
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun sampai 8 tahun. 4

Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak secara


hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak langsung. Tindakan secara
hukum meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan hutan dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku. Dalam penegakan hukumnya selain pemberian
sanksi pidana, undang-undang terkait mewajibkan kepada penanggung jawab
perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau
akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi
hutan, atau tindakan lain yang diperlukan. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini,
apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana dikenakan sanksi
administratif. Sanksi administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, penca-
butan izin, penghentian kegiatan, dan atau pengurangan areal.

C. Efektivitas Penegakan Hukum dalam Bidang Kehutanan


Efektivitas hukum dapat diartikan sebagai keberhasilan suatu aturan hukum
sesuai dengan tujuan, diberlakukan, serta dibentuknya aturan hukum itu sendiri.
Efektivitas diartikan sebagai sesuatu atau kondisi di mana telah sesuai dengan target
atau tujuan yang akan ditempuh atau diharapkan. Ada pula yang menyatakan suatu
hukum itu dikatakan efektif apabila warga masyarakat berperilaku sesuai yang
diharapkan atau dikehendaki oleh hukum. 5 Menurut Friedman, efektivitas hukum
akan terwujud apabila sistem hukum yang terdiri dari unsur struktur hukum,
substansi hukum dan kultur hukum dalam masyarakat bekerja saling mendukung
dalam pelaksanaannya.

Sebagai bahan pertimbangan, pendapat Soerjono Soekanto terkait beberapa


4
Patris Toar Pandeirot. 216. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan. Vol.
4. No. 1
5
Soerjono Soekanto,1985, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: Remadja Karya,
Hlm 1-2

9
faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagai berikut: 6

1. Faktor hukumnya sendiri. Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan


kemanfaatan. Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
2. Faktor penegak hukum. Untuk menjalankan fungsi hukum, mentalitas atau
kepribadian petugas penegak hukum menjadi sangat penting. Jika peraturan
sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, pasti ada masalah. Oleh karena
itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas
atau kepribadian penegak hukum.
3. Faktor sarana dan fasilitas. Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini memang
diakui masing cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju
yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalammembantu
menegakkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah
mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila
tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional.
Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting
di dalam penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat. Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup
mempengaruhi juga didalam efektivitas hukum. Apabila masyarakat tidak sadar
hukum dan atau tidak patuh hukum maka tidak ada keefektifan.
5. Faktor kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai
fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar
manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan
menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.
Parameter keefektifan sebuah aturan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
Ketika sebuah aturan belum efektif dalam mengatasi suatu masalah bukan berarti
bahwa aturan tersebut tidak terbentuk secara baik. Aturan yang sudah dibentuk
secara komprehensif harus sejalan dengan penerapannya serta adanya kerjasama
antara masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Dalam
penegakan hukum di bidang kehutanan, keefektifannya dapat dilihat dari data kasus
di bidang kehutanan yang terjadi pada suatu daerah setiap tahunnya. Mengambil
salah satu data kebarakan hutan di Kalimantan Tengah. Data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 September 2019 menunjukan jumlah titik

6
Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers, Hlm. 8.

10
panas atau hotspot di Kalimantan Tengah terdapat sebanyak 954 titik api. Total
lahan yang terbakar sejak Januari hingga Agustus 2019 seluas 328.724 hektare. 7
Dari luas tersebut, 27 persen di antaranya adalah lahan gambut. Selebihnya, lahan
mineral. Hal tersebut menunjukan bahwa masih banyak tindakan pembakaran hutan
yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan. Artinya kepatuhan terhadap
hukum oleh masyarakat masih kurang sehingga kasus-kasus serupa masih terjadi.

BAB III
PENUTUP

7
https://tirto.id/eic3, "Penyebab dan Akibat Kebakaran Hutan di Kalimantan Hingga Sumatera" ,
diakses pada 20 September 2021, pukul 10.51 WITA

11
A. Kesimpulan

Pada dasarnya pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang


sebesar-besarnya bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dengan tetap
menjaga kelestariannya. Maka dari itu perlunya Penegakan hukum dalam bidang
kehutanan, dalam penegakan hukum di bidang kehutanan terdapat tiga aspek yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai bagian dari sistem hukum, yaitu (1)
substansi hukum yang diatur dan tercantum dalam Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lainnya
yang berkaitan dengan hukum kehutanan; (2) struktur hukum, seperti aparat
penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum, maupun hakim, dan penasihat
hukum. Apakah penegak hukum telah berkerja secara benar sesuai tugas dan
wewenang masing serta berkoordinasi secara baik sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana terpadu (integrited criminal justice system), dan (3) kultur hukum,
yaitu berkaitan dengan peran serta masyarakat, baik perseorangan, kelompok sosial,
organisasasi kemasyarakatan, LSM, dan perguruan tinggi dalam penegakan hukum di
bidang kehutanan. Tetapi jika kita lihat dari Efektifitas pengauturannya di lapangan
masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi itu Artinya kepatuhan terhadap
hukum oleh masyarakat masih kurang sehingga perlu adanya kerjasama antara
masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum, dan sebagainya.

B. Saran

1. Hendaknya pengaturan mengenai kejahatan di bidang kehutanan terutama


dalam UU Ciota Kerja yang cakupannya cenderung dipersempit sehingga perlu
direvisi agar dapat mencakup subyek dan obyek kejahatan secara lebih luas,
agar upaya pemberian perlindungan hukum di bidang kehutanan dapat diberikan
secara lebih komprehensif.
2. Selain melakukan pembenahan terhadap regulasi yang ada, sekiranya perlu
adanya kerjasama dari masyarakat, pemerintah, korporasi, dan aparat penegak
hukum di bidang kehutanan agar kinerja penegakan hukum dalam menangani
kejahatan di bidang kehutanan dapat berjalan dengan baik. Sehingga aturan
hukum yang telah dbuat berlaku secara efektif.

12
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistem
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan

Buku

Soerjono Soekanto,1985, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi , Bandung:


Remadja Karya.
Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ,
Jakarta: Rajawali Pers.

Jurnal

Indra Ch. R. Tihirang. 2013. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang


Kehutanan. Vol. 2. No. 6

Irwan. 2017. Efektvitas Penyelesaian Sengketa Perkara Tindak Pidana Kehutanan di


Kantor Kejaksaan Negeri Sinjai. Vol. 4. No. 2

Luisa Srihandayani, 2018. Penegakan hukum kehutanan di Indonesia . Vol.16. No


307.

Patris Toar Pandeirot. 216. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang


Kehutanan. Vol. 4. No. 1

Website Berita

https://tirto.id/eic3, "Penyebab dan Akibat Kebakaran Hutan di Kalimantan Hingga


Sumatera" , diakses pada 20 September 2021, pukul 10.51 WITA

13

Anda mungkin juga menyukai