0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
5 tayangan16 halaman
Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan delusi, halusinasi, dan perubahan perilaku, sementara epilepsi adalah penyakit neurologis kronis yang ditandai dengan kejang yang tidak terkontrol. Pengobatan untuk kedua kondisi ini meliputi antipsikotik dan obat antiepilepsi seperti asam valproat, meskipun obat-obatan ini dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan gastrointestinal dan hepatotoksisitas.
Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan delusi, halusinasi, dan perubahan perilaku, sementara epilepsi adalah penyakit neurologis kronis yang ditandai dengan kejang yang tidak terkontrol. Pengobatan untuk kedua kondisi ini meliputi antipsikotik dan obat antiepilepsi seperti asam valproat, meskipun obat-obatan ini dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan gastrointestinal dan hepatotoksisitas.
Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang menyebabkan delusi, halusinasi, dan perubahan perilaku, sementara epilepsi adalah penyakit neurologis kronis yang ditandai dengan kejang yang tidak terkontrol. Pengobatan untuk kedua kondisi ini meliputi antipsikotik dan obat antiepilepsi seperti asam valproat, meskipun obat-obatan ini dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan gastrointestinal dan hepatotoksisitas.
NAMA KELOMPOK: 1. INDRA PINOZA: 2248201131 2. IFFAH ARFIANI: 2248201122 3. WIDIYA NURALIZA: 2248201127 4. ANNA SALSABILA: 2248201129 DEFINISI SKIZOFRENIA
Skizofrenia adalah gangguan mental
kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi,halusinasi,pikiran kacau,dan perubahan prilaku. Pengobatan skizofrenia
Dalam menangani skizofrenia, dokter akan
mengkombinasikan obat-obatan dengan terapi psikologis. Obat yang biasa diresepkan dalam kasus ini adalah antipsikotik . Antipsikotik bekerja dengan cara memengaruhi zat neurotransmiter di dalam otak (serotonoin dan dopamine). Pada penderita skizofrenia, obat ini bisa menurunkan agitasi dan rasa cemas, menurunkan atau mencegah halusinasi dan delusi, serta membantu menjaga kemampuan berpikir dan mengingat. Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat (agak) kuat reseptor dopamine (D2) di sistem limbis otak dan di samping itu juga menghambat reseptor D1/D2 ,α1 (dan α2) adrenerg, serotonin, muskarin dan histamin. Akan tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah menunjukkan bahwa blokade-D2 saja tidak selalu cukup untuk menanggulangi skizofrenia secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin ( 5HT2), glutamate dan GABA (gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi (Tjay dan Rahardja, 2007). Ada dua kelompok obat-obatan antipsikotik, yaitu antipsikotik generasi lama (misalnya fluphenazine, perphenazine, chlorpromazine, dan haloperidol) dan generasi baru (misalnya clozapine, ziprasidone, quetiapine, olanzapine, risperidone, aripiprazole, dan paliperidone) Efek samping penggunaan antipsikotik: 1). Gejala ekstrapiramidal (GEP) dapat berbentuk antara lain: a) Parkinsonisme (gejala penyakit parkinsonisme) yakni hipokinesia (daya gerak berkurang, berjalan langkah demi langkah) dan kekakuan anggota tubuh , kadang- kadang tremor tangan dan keluar liur berlebihan. b) Akathisia yaitu selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam tanpa mengerakkan kaki, tangan atau tubuh. c) Dyskinesia tarda yaitu gerakan abnormal tak-sengaja, khususnya otot-otot muka dan mulut yang dapat menjadi permanen. d) Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot dan GEP (gejala ekstrapiramidal). 2). Sedasi 3). Efek antikolinergis yang bercirikan mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih, terutama pada lansia. 4). Gejala penarikan, bila penggunaannya dihentikan mendadak dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia dan rasa takut (Tjay dan Rahardja, 2007). Bagi penderita skizofrenia yang telah melewati episode akut, pemberian antipsikotik harus tetap dilakukan selama 1-2 tahun untuk mencegah kambuh. Namun selama periode akut belum reda, biasanya dokter akan menyarankan perawatan di rumah sakit jiwa agar kebersihan, nutrisi, kebutuhan istirahat, dan keamanan penderita terjamin. Penanganan melalui terapi psikologis Setelah gejala skizofrenia reda, penderita membutuhkan terapi psikologis di samping harus tetap melanjutkan konsumsi obat. Di dalam terapi psikologis, penderita akan diajari cara mengatasi stres dan mengendalikan penyakit mereka melalui identifikasi tanda-tanda kambuh. Selain itu, penderita jugau akan diajari cara meningkatkan kemampuan komunikasi agar bisa tetap berinteraksi secara sosial. Terapi ini juga bermanfaat untuk kembali mengembangkan kemampuan penderita dalam bekerja. Terapi psikologis tidak hanya diperuntukkan bagi penderita. Ahli terapi juga perlu memberikan edukasi pada keluarga penderita tentang cara menghadapi skizofrenia. Tipe- tipe terapi skizofrenia a. Non farmakologi 1) Terapi psikososial Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat, pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul. 2) Terapi psikoreligius Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat misalnya, gejala-gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang. Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci. 3) Terapi fisik berupa olahraga. 4) Berbagai kegiatan seperti kursus atau les (Sinaga, 2007). DEFINISI EPILEPSI Epilepsi merupakan penyakit neurologis kronis yang memiliki manifestasi sering kejang yang tidak terkontrol. Epilepsi didiagnosis apabila terjadi setidaknya sekurangnya dua kejang tidak beralasan yang terjadi setidaknya dalam 24 jam terpisah dan kejang yang tidak beralasan (atau refleks) dengan kemungkinan terjadi kejang lebih lanjut yang serupa dengan resiko kekambuhan pada umumnya (setidaknya 60%) setelah dua serangan kejang tidak beralasan yang terjadi dalam 10 tahun kedepan. Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang selanjutnya menganggu koordinasi otot (Kristanto, 2017). Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat serangan epilepsi sebagian karena otak mengalami kerusakan (Irianto, 2013). Gejala sementara terjadi seperti kehilangan kesadaran, dan gangguan gerak, sensasi (termasuk penglihatan, pendengaran, dan rasa), mood, dan fungsi kognitif lainnya (WHO, 2017). Selain kejang yang tidak terkontrol dan perawatan kompleks, orang dengan epilepsi juga memiliki resiko komorbiditas tinggi (emphysema, penyakit jantung, atau kanker), masalah mental (gangguan psikologis atau insomnia) dan kualitas hidup yang buruk Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan atau mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan kejang, meminimalkan efek samping, dan memastikan kepatuhan, memungkinkan pasien untuk hidup senormal mungkin (Wells et al, 2015). Pengobatan yang paling umum untuk epilepsi adalah terapi farmakologis dan kebanyakan pasien diberi obat anti-epilepsi (AED) (Perucca et al, 2011). Pengobatan dengan AED konvensional dimulai dengan satu obat tunggal, meningkatkan dosis secara bertahap sampai kejang dikendalikan atau tidak terjadi efek samping (Younus et al, 2017). Salah satu obat antiepilepsi lini pertama (AEDs) adalah asam valproat . Asam valproat (VPA) telah digunakan selama lebih dari 50 tahun untuk mengobati berbagai jenis kejang pada anak-anak dan dewasa (Mei et al, 2017). Asam valproat (VPA) adalah AED yang biasa digunakan untuk pengelolaan kejang parsial dan umum (Huang et al, 2017). Studi penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Tang et al, menunjukkan bahwa asam valproat menjadi pilihan yang lebih baik dalam mengendalikan kejang dengan generalized seizure. Efek samping yang paling sering terjadi berupa gejala gastrointestinal sementara, mencakup anoreksia, mual, muntah pada sekitar 16% pasien (Goodman dan Gilman, 2015). Obat ini dimetabolisme secara ekstensif di hati dan diketahui berinteraksi dengan AEDs dan non AED lainnya (Huang et al, 2017). VPA menunjukkan sisi hepatotoksik yang parah dengan steatosis sebagai titik akhir fenotipik utama. Namun tidak jelas bagaimana penggunaan obat VPA menyebabkan akumulasi trigliserida di hati (Breda et al, 2017). Asam valproat tidak dianjurkan pada pasien dengan disfungsi hati dan harus dihindari sebisa mungkin THANKYOU!!!
Pembedahan Skoliosis Lengkap Buku Panduan bagi Para Pasien: Melihat Secara Mendalam dan Tak Memihak ke dalam Apa yang Diharapkan Sebelum dan Selama Pembedahan Skoliosis