Anda di halaman 1dari 6

BUKAN PERSEPULUHAN MELAINKAN PERSEMBAHAN

YANG IKLAS BEBASPANTAS


Kat. Karyaksi Damai Gulo, S.Ag

Definisi:
Persembahan yang diberikan kepada imam karena dedikasi mereka kepada urusan keagamaan dan juga
pelayanan kasih mereka. Dan ini juga menunjuk kepada persembahan kepada Tuhan, sebagai penguasa
atas manusia, yang biasanya persembahan ini diberikan kepada para pelayan Tuhan.

Kita sering mendengar mengenai persepuluhan yang dipraktekkan oleh beberapa Gereja. Sementara
Gereja Katolik sendiri tidak mewajibkan persepuluhan kepada umatnya. Sebenarnya apakah yang
dimaksud dengan persembahan persepuluhan dan bagaimana itu dilaksanakan umat Perjanjian Lama.
Mengapa orang Kristen tidak wajib lagi melakukannya? Lalu darimanakah Gereja bisa mendapatkan
dana untuk kelangsungan karya pelayanannya?

Dasar dari Kitab Suci di Perjanjian Lama tentang persepuluhan:


Ada beberapa ayat yang dapat kita lihat tentang persembahan persepuluhan, seperti: Abraham
memberikan persembahan persepuluhan kepada imam agung Melkizedek (Kej 14:20). Juga menjadi
dikatakan bahwa persembahan tersebut adalah sebanyak sepersepuluh (1 Sam 8:15; 1 Sam 8:17), yang
menjadi suatu ekpresi akan pengakuan bahwa semua berkat berasal dari Tuhan (Kej 28:22). Dan
peraturan ini juga ditegaskan di dalam kitab Imamat 27:30.
Sepersepuluh juga dapat berupa hasil bumi (Im 27:30), hasil ternak (Im 27:32); persembahan kepada
Tuhan (2 Taw 31:6).
Dan akhirnya dipertegas di kitab Maleakhi 3:6-12, dimana di ayat 10 dikatakan “Bawalah seluruh
persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di
rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu
tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.”

Bagaimana kita mengartikan Perjanjian Lama dalam terang Perjanjian Baru.


St. Thomas Aquinas (ST, I-II, q. 98-108) mengatakan bahwa ada 3 macam hukum di dalam Perjanjian
Lama, yaitu:
Moral Law: Moral Law atau hukum moral adalah menjadi bagian dari hukum kodrati, hukum yang
menjadi bagian dari kodrat manusia, sehingga Rasul Paulus mengatakan “Sebab dengan itu mereka
menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut
bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela” (Rom 2:15). Contoh dari hukum ini
adalah yang tertulis di 10 perintah Allah, dimana terdiri dari dua loh batu, yang mencerminkan kasih
kepada Allah (perintah 1-3) dan juga kasih kepada sesama (perintah 4-10). Hukum kodrati ini adalah
hukum yang tetap mengikat (bahkan sampai sekarang) dan dipenuhi dengan kedatangan Kristus, karena
hukum kodrati ini adalah merupakan partisipasi di dalam hukum Tuhan.
Ceremonial law atau hukum seremonial: sebagai suatu ekpresi untuk memisahkan sesuatu yang sakral
dari yang duniawi yang juga berdasarkan prinsip hukum kodrat, seperti: hukum persembahan, tentang
kesakralan, proses penyucian untuk persembahan, tentang makanan, pakaian, sikap, dll. Hukum ini
tidak lagi berlaku dengan kedatangan Kristus, karena Kristus sendiri adalah persembahan yang
sempurna, Kristus menjadi Anak Domba yang dikurbankan. Itulah sebabnya di Gereja Katolik sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan juga para rasul (Petrus dan Paulus) tidak
mempermasalahkan makanan-makanan persembahan, karena bukan yang masuk yang najis, namun
yang keluar apa?.
Kalau kita mau terus menjalankan hukum seremonial secara konsisten, maka kita harus juga
menjalankan peraturan tentang makanan yang lain, seperti larangan untuk makan babi hutan, jenis
binatang di air yang tidak bersisik (ikan pari), katak, dll.
Judicial law: Ini adalah merupakan suatu peraturan yang menetapkan hukuman sehingga peraturan
dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, maka peraturan ini sangat rinci, terutama untuk
mengatur hubungan dengan sesama, seperti: peraturan untuk penguasa, bagaimana memperlakukan
orang asing, dll. Contoh dari judicial law: kalau mencuri domba harus dikembalikan empat kali lipat
(Kel 22:1), hukum cambuk tidak boleh lebih dari empat puluh kali (Ul 25:3). Setelah kedatangan
Kristus, maka judicial law ini tidak berlaku lagi.
Kalau kita mau konsisten, kita juga harus menjalankan hukuman rajam, hukum cambuk, dll. Judicial
law ditetapkan oleh penguasa sebagai perwakilan dari Tuhan, sehingga hukum dapat ditegakkan untuk
kepentingan bersama. Menarik bahwa Yesus tidak mengajarkan judicial law, karena judicial law
diserahkan kepada kewenangan otoritas pada saat itu. Dan kewenangan disiplin di dalam kawanan
Kristus diserahkan kepada Gereja, dimana disiplin ini dapat berubah sejalan dengan perkembangan
waktu dan keadaan. Ini juga yang mendasari perubahan Kitab Hukum Gereja 1917 ke 1983.

Dari pengertian di atas, maka perpuluhan dalam pengertian yang luas dapat masuk dalam ketiga
kategori di atas. Perpuluhan dapat menjadi bagian dari judicial law kalau setiap orang harus
memberikan kontribusi kepada penyembahan secara publik sesuai dengan cara yang dipilihnya. Namun
di dalam hukum Musa, perpuluhan di atur dengan cara yang begitu khusus sebagai manifestasi dari
penghormatan dan persembahan kepada Tuhan. Dalam pengertian yang luas, perpuluhan dapat menjadi
moral law, karena mengatur persembahan kepada Tuhan. Namun, pengaturan tentang hari
persembahan, dengan cara bagaimana persembahan tersebut diberikan, masuk dalam kategori
ceremonial law. Dan pengaturan bagi pelanggaran perpuluhan masuk dalam kategori judicial law.

Praktek Persepuluhan dalam Taurat


Dalam bangsa Israel persepuluhan dimaksudkan agar kaum Lewi (Bil 18:21) dan para imam (Bil
18:26-28) yang tidak mendapat jatah tanah, bisa tetap hidup. Yang harus dipersembahkan adalah
sepersepuluh dari hasil bumi dan ternak (Im 27:30.32). Dimana mesti dimakan dan siapa saja yang
boleh menikmati persembahan persepuluhan ini? Ternyata ada praktek yang berbeda:
Pada tahun pertama dan kedua, persembahan persepuluhan itu dibawa ke tempat ibadah – yang
menikmati adalah si pembawa persembahan, anak laki-laki dan perempuannya, hamba laki dan
perempuannya, dan kaum Lewi yang di tempatnya (Ul 14:22-28). Jadi, tidak hanya kaum Lewi,
melainkan keluarga si pembawa persembahan juga. Pada tahun ketiga persembahan persepuluhan itu
tidak dibawa ke tempat ibadah, tetapi hanya diletakkan di pintu gerbang kota masing-masing dengan
maksud agar orang Lewi, orang asing, anak yatim dan janda bisa menikmatinya (Ul 14:28-29). Jadi,
pada tahun ketiga ini juga terdapat dimensi sosial untuk mereka yang kurang beruntung.

Persepuluhan sebagai pajak


Menarik bahwa praktek persepuluhan ternyata juga menjadi dasar penarikan pajak raja kepada
rakyatnya. Samuel mengingatkan rakyat Israel yang meminta seorang raja demikian,
14 Selanjutnya dari ladangmu, kebun anggurmu dan kebun zaitunmu akan diambilnya yang paling baik
dan akan diberikannya kepada pegawai-pegawainya 15 dari gandummu dan hasil kebun anggurmu
akan diambilnya sepersepuluh dan akan diberikannya kepada pegawai-pegawai istananya dan kepada
pegawai-pegawainya yang lain. 16 Budak-budakmu laki-laki dan budak-budakmu perempuan,
ternakmu yang terbaik dan keledai-keledaimu akan diambilnya dan dipakainya untuk pekerjaannya. 17
Dari kambing dombamu akan diambilnya sepersepuluh, dan kamu sendiri akan menjadi budaknya.(1
Sam 8:14-17)
Dengan demikian sebenarnya sistem persepuluhan juga dimaksudkan bagi raja Israel untuk menarik
pajak bagi rakyatnya.

Dinamika Praktek Persepuluhan


Entah persepuluhan menjadi pajak bagi raja ataupun sumber penghidupan bagi para imam dan kaum
Lewi, tentulah dipraktekkan bangsa Israel, terlebih setelah Bait Allah dibangun oleh Salomo dan
sesudahnya. Mari kita lacak jejak praktek persepuluhan setelah kerajaan itu pecah menjadi dua, dimana
Kerajaan Utara/Israel kemudian dikalahkan oleh Asyur (722 SM) dan dua ratusan tahun kemudian
Kerajaan Selatan/Yehuda dihancurkan oleh Babel (586 SM). Sebagian besar para pemimpin dan cerdik
pandai di antara kedua kerajaan itu dibuang ke pusat kerajaan yang telah mengalahkan mereka.
Tobit, salah seorang Yahudi yang ikut dibuang ke negeri Asyur, setiap tahun masih berziarah ke Bait
Allah di Yerusalem sambil membawa persembahan, termasuk persepuluhan, sesuai aturan kitab
Ulangan (lih. Tob 1:6-8).
Sementara Hizkia, raja Yehuda, sebelum kehancuran Yerusalem, sempat mengadakan pembaharuan
kerohanian dalam kerajaannya. Ia menetapkan kembali para imam dan kaum Lewi. Ia pun
memerintahkan rakyat untuk memberikan sumbangan agar para imam dan kaum Lewi bisa
mencurahkan tenaganya untuk melaksanakan Taurat Tuhan. Rakyat pun berbondong-bondong
membawa persembahan, termasuk persembahan persepuluhan atas segala sesuatu (2 Taw 31:1-6).
Namun, saat Yerusalem dikalahkan Babel, Bait Allah mereka dihancurkan musuh. Para pemimpin dan
orang pandai di kerajaan Yehuda dibuang ke negeri Babel. Di sana mereka tidak lagi mempunyai
tempat untuk membakar korban persembahan. Maka menjadi tidak ada alasan pula untuk
mempersembahkan persepuluhan bagi kaum Lewi dan para imam yang notabene ‘kehilangan fungsi
pelayanan’ karena Bait Allah telah dihancurkan. Selama di pembuangan itu (586-531 SM) umat
Yahudi setiap hari Sabat berhimpun untuk mempelajari Taurat Tuhan dan berdoa bersama. Inilah cikal
bakal sinagoga orang Yahudi.
Setelah kaum buangan Babel diperkenankan kembali ke Yerusalem, Ezra dan Nehemia memimpin
pembangunan kembali Bait Allah yang telah hancur. Nehemia juga mengatur kembali ibadat di Bait
Allah yang baru, termasuk menegakkan kembali hukum persepuluhan (lih. Neh 10:37-38; 12:44;
13:5,12). Namun agaknya aturan persepuluhan ini kurang diindahkan oleh umat Israel, sehingga
melalui Maleakhi, Tuhan menegur umat Israel dan memerintahkan, “Bawalah seluruh persembahan
persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan
ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap
langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan” (Mal 3:10).
Hukum persepuluhan itu dipraktekkan oleh orang Yahudi sampai zaman Tuhan Yesus. Bahkan orang-
orang Farisi berusaha mempraktekkan persepuluhan sampai pada hal-hal yang kecil. Mereka mengira
bahwa dengan demikian mereka bisa berkenan di hati Tuhan. Namun, kenyataannya mereka justru
mengabaikan yang terpenting dalam Taurat, yakni keadilan, belas kasih, dan kesetiaan, sehingga Tuhan
Yesus mengecam mereka (Mat 23:23). Dalam perumpamaan Yesus pun Orang Farisi yang telah
melakukan banyak kesalehan, termasuk persepuluhan, ternyata tidak dibenarkan oleh Tuhan karena dia
tidak menghadap Tuhan dengan penuh kerendahan hati (Luk 18:10-14).

Ajaran Gereja Katolik


Dalam Perjanjian Baru: Rasul Paulus mengatakan “Hendaklah masing-masing memberikan menurut
kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang
memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7)

Rasul Paulus tidak mengatakan sepuluh persen, namun menekankan kerelaan hati dan sukacita.
Yesus mengatakan “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang
munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting
dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus
dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23)
Yesus menekankan akan hakekat dari pemberian, yaitu keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Yesus
tidak menekankan akan persepuluhan, namun apa yang menjadi dasar perpuluhan.

Kitab Hukum Gereja: Kan. 222 – § 1. Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk membantu
memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan
amal-kasih serta sustentasi yang wajar para pelayan. § 2. Mereka juga terikat kewajiban untuk
memajukan keadilan sosial dan juga, mengingat perintah Tuhan, membantu orang-orang miskin dengan
penghasilannya sendiri.

Kan. 1262 – Umat beriman hendaknya mendukung Gereja dengan bantuan-bantuan yang diminta dan
menurut norma-norma yang dikeluarkan oleh Konferensi para Uskup. Kan. 1263 – Adalah hak Uskup
diosesan, sesudah mendengarkan dewan keuangan dan dewan imam, mewajibkan untuk membayar
pajak yang tak berlebihan bagi kepentingan-kepentingan keuskupan, badan-badan hukum publik yang
dibawahkan olehnya, sepadan dengan penghasilan mereka; bagi orang-perorangan dan badan-badan
hukum lain ia dapat mewajibkan pungutan luar biasa dan tak berlebihan hanya dalam kebutuhan. Jadi,
tidak ada yang mengatakan spesifik sepersepuluh bagian.

Makna Persepuluhan
Praktek persepuluhan sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh orang Israel. Bangsa-bangsa
Mesopotamia kuno juga mempraktekkan hukum persepuluhan untuk dipersembahkan kepada raja atau
dewa-dewi mereka. Agaknya Abraham yang berasal dari tanah Ur-Kasdim cukup familiar dengan
kebiasaan ini sehingga saat menang perang dia mempersembahkan 10% dari hasil jarahannya kepada
Melkisedek, imam-raja Salem, yang menjadi sekutunya (Kej 14:20). Angka 10 di sini adalah lambang
dari totalitas atau kepenuhan dalam sistem numerik mereka. Maka bila mempersembahkan 10%, hal ini
bermakna mempersembahkan keseluruhannya.

Sementara persembahan persepuluhan dalam Perjanjian Lama bermakna untuk mengingatkan bangsa
Israel bahwa segala harta yang mereka peroleh itu berasal dari Tuhan sendiri (bdk. Ul 12:10-11).
Dengan mempersembahkannya, mereka hendak mengucap syukur atas semua anugerah itu.

Apakah Pengikut Kristus mempraktekkan persepuluhan?


Bagaimana dengan para pengikut Kristus, apakah mereka diwajibkan untuk membayar persepuluhan?
Surat kepada orang Ibrani menegaskan bahwa hukum persepuluhan dipraktekkan orang Yahudi untuk
menghidupi para imam dan kaum Lewi (Ibr 7:5). Sementara kita memiliki Yesus, imam agung kita,
yang tidak membutuhkan persepuluhan!

Mari sekarang kita melihat praktek dalam Gereja Perdana, apakah mereka juga mempraktekkan
persepuluhan?
Yesus dan para rasul adalah kaum awam, bukan dari suku Lewi ataupun imam, maka mereka tidak
akan pernah menerima persepuluhan menurut hukum Yahudi (bdk. Ibr 7:13-14). Jadi, seandainya
dipungut persepuluhan, berarti hal itu akan ‘disetorkan’ kepada para imam dan kaum Lewi Yahudi!
Dalam Konsili Pertama di Yerusalem diputuskan oleh para rasul bahwa orang-orang non Yahudi yang
hendak menjadi Kristen tidak diwajibkan mematuhi hukum Taurat. Dalam daftar yang harus mereka
lakukan, persepuluhan pun sama sekali tidak disebutkan (lih. Kis 15:28-29).

Paulus yang mewartakan Injil di antara orang non Yahudi diminta tetap mengingat orang-orang miskin
(Gal 2:9). Maka dia berusaha menghimpun persembahan sukarela di antara jemaat yang didirikannya
(lih. 2 Kor 8-9) untuk keperluan umat Allah yang miskin di Yerusalem (Rom 15:26).
Panduan Persembahan dalam Gereja
Maka jelaslah bahwa sejak awal Gereja memang tidak mempraktekkan persepuluhan, tetapi tetap
menghimpun persembahan sukarela yang dimaksudkan untuk:
- Kepentingan orang miskin (Rom 15:26),
- Karya Gereja (3 Yoh 1:8; Kis 2:45)
- Kehidupan para pelayan Firman (bdk. Mat 10:10; Luk 10:7; 1 Kor 9:14; 2 Kor 11:8-9).
Menarik untuk dicatat bahwa beberapa wanita yang mengikuti Yesus membiayai rombongan Yesus
dengan kekayaan mereka (Luk 8:3). Mereka menghayati Sabda Bahagia Yesus, bahwa yang bermurah
hati akan mendapatkan kemurahan (Mat 5:7). Alkitab sendiri mencatat beberapa orang yang bermurah
hati sungguh mendapatkan kemurahan dari Tuhan sendiri.
Janda Sarfat yang telah memberikan tumpangan kepada Elia, anaknya pun dihidupkan kembali oleh
Nabi Elia (1 Raj 17:20). Tabita alias Dorkas yang telah berbuat baik kepada para janda juga
dibangkitkan oleh Petrus (Kis 9:36.39). Perwira Romawi di Kapernaum yang telah menanggung biaya
pembangunan Sinagoga direkomendasikan oleh tua-tua kota agar Tuhan Yesus berkenan pula
menolong menyembuhkan hambanya (Luk 7:4).
Namun, kiranya patut diingat pula bahwa Tuhan akan tetap melimpahkan berkat kepada kita semua,
entah memberi persembahan sedikit ataupun banyak, sama seperti matahari diterbitkan bagi orang jahat
maupun orang baik (Mat 5:45).

Suatu Persembahan yang Ikhlas, Bebas, dan Pantas


Bagaimana dan seberapa besar kita mesti memberikan persembahan? Persembahan kita hendaknya
diberikan secara:
Ikhlas – memberi dengan penuh kerelaan hati, bukan terpaksa (2 Kor 9:7 – “Hendaklah masing-masing
memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah
mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”
Bebas – tanpa menuntut atau berdagang dengan Tuhan. Kita ingat kisah Zakheus yang setelah disapa
dan diorangkan oleh Tuhan Yesus, berani berkata, "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan
kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat
kali lipat”(Luk 19:8).
Dalam jumlah yang Pantas – sesuai dengan rejeki/berkat yang telah diterima. “Berikanlah kepada
Yang Mahatinggi berpadanan dengan apa yang Ia berikan kepadamu, dengan murah hati dan sesuai
dengan hasil tanganmu”(Sir 35:9). Tentu kita ingin menjadi Si Samaria yang tahu bersyukur dan
berterima kasih atas anugerah Tuhan (Luk 17:1-10).
Tentulah persembahan itu bisa Anda salurkan melalui kolekte mingguan dan persembahan sukarela ke
Gereja paroki Anda.

Kesimpulan
Gereja tidak perlu mendefinisikan seberapa besar sumbangan yang harus diberikan, namun lebih
kepada pemberian sesuai dengan kemampuan dan juga dengan kerelaan hati dan sukacita. Namun itu
tidak berarti bahwa bagi yang mampu untuk memberikan lebih dari sepuluh persen kemudian hanya
memberikan bagian yang sedikit. Bagi yang mampu, seharusnya bukan hanya sepuluh persen, namun
malah lebih pada itu, jika diperlukan. Bagi kaum miskin yang memang tidak mampu untuk
memberikan sepuluh persen, mereka dapat memberikan sesuai dengan kemampuan mereka.
Persembahan juga tidak hanya berupa uang, namun juga bakat dan waktu. Yang terpenting, semua
persembahan harus dilakukan berdasarkan kasih kita kepada Tuhan sehingga kita dapat mengasihi
sesama dengan lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai