Anda di halaman 1dari 3

TAHAPAN-TAHAPAN AKAD MENURUT HANAFIYAH

Dalam belajar fikih muamalat kita diajarkan tentang tahapan-tahapan akad, bagaimana akad itu
bisa terlaksana menurut ajaran islam, secara sah dan terhindar dari akad-akad yang salah.
Dibawah ini akan dijelaskan bagaimana tahapan akad itu terjadi mulai dari mulai bertransaksi
sampai terjadinya akad.
A. Jenis-jenis Akad
Para ahli fikih membahas legalitas akad dari dua aspek mendasar, yaitu
Pertama, Akad yang legal (sah)
1. Bentukan dasar akad yang legal, yaitu akad yang memenuhi unsur-unsur dasarnya
(rukun dan syarat akad/shighat, pelaku akad, objek akad dan tujuan akad)
2. Sifat akad yang legal, yaitu akad yang tidak mengandung sifat-sifat akad yang dilarang
oleh syara.
Kedua, Akad yang tidak legal
1. Bentukan akad yang tidak legal, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu unsur-unsur
dasarnya (rukun dan syarat akad/shighat, pelaku akad, objek akad dan tujuan akad).
2. Sifat akad yang tidak legal, yaitu akad yang memiliki sifat-sifat yang dilarang syara’
seperti beberapa sifat akad yang menyebabkan sah dan tidaknya akad.

B. Tahapan Akad Menurut Hanafiyah


Mayoritas ulama berbeda dengan madzhab Hanafiyah dalam pembagian akad. Menurut
Hanafiyah, ada tiga fase yang harus dilalui sehingga sebuah akad itu menjadi sah dan melahirkan
akibat hukumnya secara sempurna yaitu sebagai berikut:
Pertama, Fase in’iqad (pembentukan)
Setiap akad harus melewati fase kelahiranya atau pembentukanya (fase In’iqad) dengan
memenuhi rukun dan syarat sah akad. Jika rukun dan syarat akad terpenuhi, maknanya akad itu
mulai terbentuk (mun’aqid). Dan sebaliknya jika rukun dan syarat akad tidak terpenuhi,
maknanya akad itu belum ada atau disebut akad bathil.
Misalnya, akad jual beli yang lengkap rukun dan syarat sahnya, diantara objek jualnya
halal dan bisa diserah terimakan, ada ijab qabul yang jellas dan dilakukan oleh penjual dan
pembeli yang cakap hukum, maka akad jual beli ini menjadi akad mun’aqid
Suatu akad yang cukup rukun dan syaratnya itu tidak serta merta mejadi sah dan
melahirkan akibat hukum karena harus memenuhi ketenuan lain. Oleh karena itu, sete;ah fase
pembentukanya, akad ini harus melewati fase selanjutnya (fase kedua), yaitu fase legalitas
(shihah)
Kedua, Fase shihah (legalitas)
Fase kedua adalah fase legalitas (shihah) di mana itu tidak mengandung sifat-siat yang
dilarang syara’. Jika hal tersebut terpenuhi, maka akad menjadi akad yang sah.
Sebaliknya, jika akad tersebut memenuhi syarat-syarat pembentukanya, tetapi
mengandung sifat-sifat yang dilarang oleh syara’, maka akad tersebut menajadi akad yang fasid
Misalnya akad jual beli yang lengkap rukun dan syarat sahnya sebagaimana tersebut di
atas, tetapi waktu dan harganya ditentukan berdasarkan imdeks harga yang tidak jelas, maka
akadnya menjadi tidak sah.
Setelah akad cukup rukun dan syaratnya serta tidak mengandung sifat-sifat yang dilarang
oleh syara’ itu juga tidak serta merta sah dan melahirkan akibat hukum yang sempurna Karen
harus memenuhi ketentuan lain. Oleh karena itu, setelah fase legalitas, akad ini harus melewati
fase selanjutnya (fase ketiga), yatu fase nafadz.
Ketiga, Fase nafadz (terjadinya akad)
Jika akad itu mun’aqid dan sah itu belum menjadi akad yang sempurna jika belum
melahirkan akibat-akibat akad secara langsung karena membutuhkan persetujuan pihak lain
(akadnya masih begantung pada persetujuan mitranya). Oleh karena itu, agar akad yang sah
tersebut bisa berlaku efektif sejak akad disepakati, maka harus memenuhi ketentuan nafadz.
Sebaliknya, akad itu mun’aqid dan sah, tetapi tidak melahirkanakibat-akibat akad secara
langsung kecuali dengan persetujuan pihak lain, maka akad tersebut dikategorikan akad mauquf
(menggantung).
Misalnya akad jual beliyang lengkap rukun dan syarat sahnya sebagaimana tersebut di
atas tetapi akad tersebut masih tertunda karena menunggu persetujuan dari pihak lain, maka
akadnya walaupun sah tapi mauquf.
Setelah akad itu terbentuk, sah dan berlaku efektif itu juga tidak serta merta melahirkan
akibat hukum secara sempurna karena harus memenuhi ketentuan lain. Oleh karena itu, setelah
fase nafadz, akad ini harus memenuhi akad selanjutnya (keempat), yaitu fase luzum.
Keempat, Fase luzum (akad mengikat)
Akad yang mun’aqid, sah, nafadz itu belum menjadi akad yang sempurna jika pihak akad
lain masih bisa mem-fasakh (batal) akad tersebut karena akadnya masih bergantung paa
mitranya.
Oleh Karena itu, agar akad yang lazim tersebut bisa berlaku efektif sejak akad disepakati,
maka harus memenuhi ketentuan luzumnya.
Tetapi sebaliknya, jika akad itu mun’aqid, sah, nafadz dan pihak-pihak akad bisa mem-
fasak akad tanpa seizing pihak lain, maka akad tersebut menjadi akad ghairu lazim.
Misalnya akad jual beli yang lengkap rukun syarat sahnya sebagaimana tersebut diatas,
tetapi akad tersebut masih tertunda karena masih menunggu kepastianpihak akad lain tidak
membatakan akad tersebut.
Inilah fase terakhir suatu akad, maka akad itu terbentuk, legal, nnafidz, lazim maka akad
tersebut bisa melahirkan akibat hukumnya secara sempurna.

Anda mungkin juga menyukai