Anda di halaman 1dari 19

Makalah Kebijakan

PENGUATAN MODERASI BERAGAMA MELALUI


TRADISI RITUAL KEAGAMAAN
Novita Siswayanti, Nurrahmah, Mahmudah Nur
Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen
Organisasi, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian
Agama

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penguatan moderasi beragama menjadi salah satu indikator utama sebagai
upaya membangun kebudayaan dan karakter bangsa. Moderasi beragama juga
menjadi salah satu prioritas di Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 Kementerian Agama. Dalam konteks
keIndonesiaan, moderasi beragama dapat dijadikan sebagai strategi
kebudayaan untuk merawat Indonesia yang damai, toleran dan menghargai
keragamaan. Moderasi Beragama adalah cara hidup untuk rukun, saling
menghormati, menjaga dan bertoleransi tanpa harus menimbulkan konflik
karena perbedaan yang ada. Dengan penguatan moderasi beragama diharapkan
agar umat beragama dapat memposisikan diri secara tepat dalam masyarakat
multireligius, sehingga terjadi harmonisasi sosial dan keseimbangan kehidupan
sosial. (Bappenas, 2020, h. 120)
Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh adanya
perbedaan-perbedaan dalam pemelukan agama, yang selanjutnya membangun
pengelompokan masyarakat berdasarkan pemeluk agama itu. Kondisi
kehidupan keagamaan di Indonesia juga ditandai oleh berbagai faktor sosial
dan budaya, seperti perbedaan tingkat pendidikan para pemeluk agama,
perbedaan tingkat sosial ekonomi para pemeluk agama, perbedaan latar
belakang budaya, serta perbedaan suku dan daerah asal. Oleh karena itu,
moderasi beragama dapat dijadikan jalan tengah di tengah keberagaman
beragama.
Wajah moderasi beragama nampak dalam hubungan harmoni antara
agama (Islam, Hindu, Budha dan Kristen) dan kearifan lokal (local value) di
Indonesia. Kearifan lokal ini sebagai warisan budaya Nusantara, mampu
disandingkan secara sejajar sehingga antara spirit agama dan kearifan budaya
berjalan seiring, tidak saling menegasikan. (Faiqoh, 2018: 33-60) Menurut Zain
selaku Kepala Pusat Penelitian Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen
Organisasi bahwa agama dan budaya memperkuat kebangsaan dan
kebhinekaan Indonesia. Ulama dan tokoh agama pun turut serta dalam
memprakarsai berdirinya Indonesia dalam kepaduan dan harmonisasi agama
dan budaya. Berbagai persoalan fikih ataupun tafsir kehidupan dijawab dan
disatukan dengan budaya. Agama datang memahkotai budaya lokal bukan
menggerus ataupun mempertentangkannya. (Siswayanti, 2018)
Upaya penguatan moderasi beragama dapat menjadikan tradisi ritual
keagamaan sebagai penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan budaya
masyarakat setempat. Tradisi ritual keagamaan merupakan dimensi ekspresif
dari agama yang tertanam secara turun temurun. Tradisi ritual keagamaan
dapat dikelola menjadi medium kultural yang dapat menjadi sarana

1
2

menyebarkan nilai-nilai kebangsaan moderasi beragama berbasis toleransi,


solidaritas kebangsaan dan kesetaraan. (Kemenag, 2019: 116) Selain itu, Tradisi
ritual keagamaan mengandung pesan-pesan moral moderasi beragama budaya
yang dapat menjadi pondasi kerukunan antar umat beragama. Tradisi ritual
keagamaan juga merupakan aset kekayaan khazanah budaya bangsa yang
mengandung nilai-nilai budaya, kearifan lokal dan identitas karakter bangsa.
Sebagaimana tertera dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan, bahwa tradisi ritual menjadi salah satu dari 9 (sembilan)
obyek pemajuan kebudayaan.
Upaya pemajuan kebudayaan tersebut bertujuan untuk mengembangkan
nilai-nilai luhur budaya bangsa; memperkaya keberagaman budaya;
memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa; dan melestarikan warisan
budaya. Di sisi yang lain, Indonesia selain budayanya yang sarat akan nilai-nilai
agama, juga memiliki keragaman dalam kebudayaan yang menjadi identitas
masyarakatnya. Penerimaan budaya dalam agama melahirkan ekspresi-ekspresi
budaya yang beragam pula. Dengan beragamnya masyarakat Indonesia ini,
terutama dari sisi agama dan budaya, di satu sisi memberikan potensi bagi
kekayaan khazanah kebudayaan Indonesia, tapi di sisi yang lain juga memiliki
potensi disharmoni. Karena itu, selain taat beragama, masyarakat juga
diharapkan rukun dalam perbedaan-perbedaan yang ada.
Dalam konteks ini, Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan
Manajemen Organisasi melihat bahwa tradisi ritual keagamaan dapat dijadikan
sebagai medium penyampaian dan penguatan pesan-pesan agama kepada
masyarakatnya. Tradisi ritual keagamaan dapat juga dijadikan sarana
pendekatan kultural dalam rangka pemantapan kerukunan umat beragama. Di
samping itu juga, dengan mengungkap dan memaknai nilai-nilai dalam sebuah
tradisi ritual keagamaan menjadi sebuah modal besar dalam merawat
keindonesiaan kita.
Kajian Pustaka
Kajian mengenai tradisi ritual sudah banyak dilakukan oleh beberapa akademisi,
peneliti dan lembaga penelitian. Namun ada beberapa hal yang perlu diperiksa
kembali mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sehingga kajian
ini penting untuk dilakukan. Salah satunya yang dilakukan Mashadi (2013)
dalam kajian tentang konteks dan corak mistisisme Islam dalam tradisi
keagamaan masyarakat Gorontalo menunjukkan bahwa praktek keberagamaan
masyarakat Gorontalo adalah praktek keagamaan yang banyak diwarnai oleh
praktek tarekat dalam bentuk ritual peribadatan yang bercorak mistis. Praktek
keagamaan tersebut merupakan ritual-ritual sebagai wujud dan manifestasi
dalam berbagai tradisi upacara keagamaan yang dilatari oleh budaya agama dan
budaya sosial (Mashadi, 2013: 259).
Berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Hasbullah, Toyo, dan Pawi
(2017: 98) mengenai ritual tolak bala pada masyarakat Melayu (kajian pada
masyarakat Petalangan kecamatan Pangkalan Kuras kabupaten Pelalawan).
Kajian tersebut menunjukkan bahwa ritual tolak bala merupakan bentuk
sinkretisme agama, yang terdiri dari ajaran Islam, Hindu, animisme dan
dinamisme. Fenomena tersebut merupakan akulturasi antara Islam dengan
kepercayaan lama yang terdapat pada masyarakat Petalangan. Kajian ini juga
menunjukkan bahwa bertahannya tradisi ritual ini dikarenakan kurangnya

2
3

pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam serta rendahnya tingkat


pendidikan masyarakat, serta masih kuatnya hubungan psikologis masyarakat
dengan alam sekitarnya.
Kajian yang dilakukan Miharja (2013: 77) tentang tradisi wuku taun
sebagai bentuk integritas agama Islam dengan budaya Sunda pada masyarakat
adat Cikondang. Kajian ini menunjukkan bahwa masyarakat Cikondang
dikategorikan sebagai komunitas masyarakat adat, karena sampai saat ini
masih berpegang teguh terhadap tradisi leluhurnya dan seluruhnya beragama
Islam. Artinya disini terjadi integrasi Islam dengan budaya Sunda dalam pola-
pola tertentu. Setelah dilakukan pengkajian secara mendalam, maka pola
integrasi sinkretik cenderung pada masyarakat yang masih berpegang teguh
terhadap tradisi leluhurnya (Cikondang dalam), sehingga pemahaman
keagamaan mereka dikategorikan tradisional dengan sebutan Islam sinkretik.
Sedangkan pola integrasi akulturatif cenderung pada masyarakat yang tidak
terikat dengan tradisi leluhur (Cikondang luar), sehingga pemahaman
keagamaan mereka dikategorikan modern dengan sebutan Islam akulturatif.
Pendekatan Antropologi digunakan Hafil (2016) dalam kajiannya
mengenai komunikasi agama dan budaya: studi atas budaya kompolan
sabellesen berdhikir tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di Bluto Sumenep
Madura. Kajian ini menunjukkan bahwa kompolan sabellesen menjadi media
komunikasi agama dan budaya yang dikemas dalam ritual keagamaan yang
dipadukan dengan praktik kultural sehingga menjadi sarana memperkokoh
Ukhuwah Islamiyyah dalam rangka membentuk masyarakat yang harmonis dan
humanis. Kajian yang sama juga dilakukan oleh Sila (2015) dalam disertasinya
mengenai Maudu’: A way of union with God. Sebuah tradisi maulid yang
dilakukan di desa Cikoang, Sulawesi Selatan sebagai upaya menegaskan bahwa
pemahaman ruhaniah secara hakekat terhadap Allah terlebih dahulu harus
didahului dengan pemahaman yang mendalam atas kejadian dan kelahiran
Nabi Muhammad.
Tradisi menjadi ruang ketiga dalam kajian yang dilakukan oleh Homi
Bhaba (1994). Artinya ruang ketiga adalah sebuah konseptual hibriditas yang
lahir dari pemikiran dan studi Pasca kolonialisme. Titik berat karena adanya
suatu perubahan nilai dalam tradisi menuju bentuk yang baru. Setiap
perbedaan yang bereksistensi di masyarakat mampu dijembatani dengan ruang
ketiga ini. Suatu proses dominasi yang mengakibatkan terjadinya pesimisme
pada pemikiran kelompok atau individu yang terjajah, akan ada upaya memilih
antara kebudayaannya atau kebudayaan milik penjajah dalam kerangka
pascakolonialisme. Di dalam ruang ketiga, terjadi pertemuan antara dua atau
lebih pandangan yang saling berbeda. Ketika setiap nilai yang dimiliki mampu
dipergunakan di dalam ruang ketiga sebagai wadah interaksi, maka hibriditas
pun mampu terlaksana, menciptakan suatu interaksi yang seimbang di antara
kedua belah pihak.”
Penelitian tentang tradisi ritual keagamaan yang dilakukan dalam bentuk
skripsi, tesis, disertasi atau laporan penelitian di perguruan tinggi telah pula
banyak dilakukan. Tentu saja, hasil-hasil penelitian tersebut tidak mungkin
disampaikan seluruhnya, namun yang jelas, penelitian ini pada posisi
melakukan pengkajian ulang dan melengkapi penelitian-penelitian dalam
bentuk skripsi, tesis, disertasi maupun laporan penelitian yang ada. Selain itu,
posisi makalah kebijakan ini, sebagai salah satu penelitian yang dilakukan

3
4

lembaga penelitian di bawah Kementerian Agama demi memberikan informasi


kepada pihak pembuat kebijakan di lingkungan Kementerian Agama mengenai
potensi-potensi nilai-nilai kultural bagi sumber peningkatan kerukunan umat
beragama.
Perumusan Masalah
Perspektif antropologi, ritual/upacara keagaman bisa dikategorikan sebagai
bentuk adaptasi budaya antara budaya lokal dan agama, dan bahkan bisa
dianggap sebagai bentuk sinkretisme (Abdullah, 2008:87). Melalui pelaksanaan
ritual/upacara keagamaan, warga masyarakat diharapkan memiliki keteraturan
dalam memelihara keseimbangan lingkungan dengan kehidupan manusia,
terutama dalam stabilitas desa.
Oleh karena itu, menarik untuk mengamati proses negosiasi antara
budaya lokal dengan agama atau bagaimana agama memasuki praktek lokal dan
memberikan makna baru pada ritual/upacara keagamaan. Pengamatan
terhadap tradisi ritual keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat
menjadi penting untuk melihat aspek yang bisa dikaji. Misalnya tradisi ritual
dapat menjadi sarana untuk mendidik dan melatih anggota masyarakat agar
menjadi manusia yang beradat, berakhlak dan memupuk rasa kegotong
royongan, rela berkorban dan beriman kepada yang Maha Kuasa. Namun dalam
makalah kebijakan ini, yang menjadi fokus adalah bagaimana tradisi ritual
keagamaan dapat dijadikan medium penguatan moderasi beragama di
Indonesia.
Tradisi ritual keagamaan sebagai medium penguatan moderasi beragama
menjadi pembahasan utama dalam makalah kebijakan ini dengan
pertimbangan signifikansi penelitian yang dapat dijadikan bahan informasi bagi
peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama serta
meneguhkan moderasi beragama dan kerukunan umat beragama berbasiskan
nilai-nilai kultural. Fokus pada nilai-nilai ini juga menggambarkan dua realitas
bangsa Indonesia, yakni selain bangsa yang dikenal sangat agamis di satu sisi,
juga sangat majemuk (multikultur) di sisi yang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa pemangku kebijakan yang
sangat terkait dengan penelitian ini, yaitu;
1. Kementerian Agama Kota/Kabupaten dan Dinas Pendidikan
Kota/Kabupaten sesuai dengan wilayah penelitian masing-masing. Tugas
penting bagi Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten
adalah menjadikan tradisi ritual keagamaan sebagai bagian dari
pengembangan moderasi beragama para siswa/i. Melalui tradisi ritual
keagamaan para siswa/i akan diajarkan bagaimana menjaga dan
melestarikan nilai-nilai moderasi beragama yang disampaikan.
2. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata/Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga
dan Pariwisata sesuai dengan wilayah penelitian masing-masing. Punahnya
tradisi ritual keagamaan juga mengakibatkan hilangnya sumber-sumber
informasi yang sangat penting dan sangat potensial untuk menguak ide,
gagasan, dan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam suatu komunitas
masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhan tindakan-tindakan nyata yang
muaranya sebagai sebuah bentuk upaya penyelamatan tradisi ritual
keagamaan. Di sinilah peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata/Dinas
Kebudayaan, Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kota/Kabupaten untuk

4
5

terus melakukan pemeliharaan, pelestarian, revitalisasi dan pengembangan


tradisi yang ada di daerahnya masing-masing, terutama daerah-daerah
yang mengalami kekurangan pelaku tradisi ritual keagamaan diperlukan
upaya nyata dengan menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan
melakukan pelatihan-pelatihan bagi generasi muda sebagai pelaku baru.
Program tersebut harus menjadi bagian dari strategi kebudayaan yang
menjadi dasar penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan di
daerah masing-masing.
Sebagaimana tercermin di dalam Rencana Strategis Kementerian Agama
Tahun 2020-2024, makalah kebijakan ini diharapkan dapat memberikan
informasi bagi penguatan pemahaman dan pengamalan keagamaan yang
inklusif berbasiskan budaya masyarakat setempat melalui jalur kultural, yang
dapat digunakan sebagai sarana atau modal pembangunan agama di Indonesia.
Pada akhirnya nanti, makalah kebijakan ini akan dikembangkan dalam sebuah
pengembangan modal pembangunan agama dengan menyajikan tradisi ritual
keagamaan sebagai salah satu mediumnya, sehingga cita-cita luhur Ketuhanan
yang Maha Esa dengan atau secara berkebudayaan dapat terwujud.
Tujuan dan Pertanyaan Kebijakan
Upaya memperoleh informasi dan data terkait tradisi ritual keagamaan yang
masih ada di masyarakat sebagai bahan kebijakan terkait upaya pemajuan
kebudayaan. Secara khusus, penelitian ini dilakukan untuk melihat:
1. Keberadaan tradisi ritual keagamaan sebagai salah satu obyek pemajuan
kebudayaan dan bagaimana tradisi ritual keagamaan yang ada di masyarakat
memberikan pemahaman dan pengamalan ajaran agama dan memantapkan
kerukunan intra dan antar umat beragama dengan nilai-nilai yang
dikandungnya.
2. Bagaimana peran pemerintah daerah, dalam hal ini, Dinas Pendidikan
Kota/Kabupaten, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota/Kabupaten dan
Kementerian Agama Kota/Kabupaten di dalam upaya melakukan pelestarian
dan pengembangan tradisi ritual keagamaan di masyarakat.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh 3 (tiga) orang peneliti bidang Khazanah
Keagamaan, Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen
Organisasi di 6 (enam) kota/kabupaten yang menjadi wilayah kerja Puslitbang
Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi. Pemilihan wilayah
tersebut bukan hanya karena wilayah penelitian dari Puslitbang Lektur,
Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi, namun juga mewakili
gambaran bentuk atau ungkapan kebudayaan dari etnis/suku yang ada di
Indonesia. Fokus tradisi ritual keagamaan dalam penelitian ini menekankan
kepada tradisi yang hidup di masyarakat baik dilihat dari segi teks dan konteks
masyarakat yang menjadi locus penelitian, dalam hal ini adalah bagaimana
nilai-nilai moderasi beragama yang ada dalam tradisi ritual keagamaan.
Metode yang digunakan dalam penelitian moderasi beragama dalam
sinkretisme Islam Jawa: kajian terhadap tradisi ritual Keagamaan bersifat
deskriptif kualitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan fenomenologi dan konstruksi sosial. Pendekatan
fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam
perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan

5
6

untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang


lain tersebut. (Moeloeng, 2005, 2011)
Pendekatan fenomenologi digunakan untuk mengamati berbagai macam
tradisi keagamaan yang diduga mengandung unsur sinkritisme. Fenomena-
fenomena tersebut antara lain berupa praktek keagamaan, ajaran-ajaran,
bacaan-bacaan, tokoh-tokoh dan lainnya. Pendekatan fenomenologis juga
mendeskripsikan atau mengungkapkan fenomena keagamaan dalam bentuk
kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi maupun simbol keagamaan. Mendeskripsikan
dan menginterpretasi kan apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang
dirasakan, dikatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut
bermakna baginya. (Mariasusai, 1995, h. 21). Dalam konteks ini, objek yang
diteliti adalah wujud Sinkretisme dalam Ritual Keagamaan di Sunda dengan
cara melihat wujud praktis sinkretisme upacara keagamaan di Sunda dan
mengintrepretasikannya dari nilai-nilai moderasi beragama.
Sedangkan teori konstruksi sosial dalam gagasan Berger mengandaikan
bahwa agama sebagai bagian dari kebudayaan, merupakan konstruksi manusia.
artinya terdapat proses dialektika ketika melihat hubungan masyarakat dengan
agama, bahwa agama merupakan entitas yang objektif karena berada diluar diri
manusia. dengan demikian agama, agama mengalami proses objektivasi, seperti
ketika agama berada didalam teks atau menjadi tata nilai, norma, aturan dan
sebagainya. Teks atau norma tersebut kemudian mengalami proses internalisasi
kedalam diri individu, sebab agama telah diinterpretasikan oleh masyarakat
untuk menjadi pedomannya. Agama mengalami proses eksternalisasi karena ia
menjadi acuan norma dan tata nilai yang berfungsi menuntun dan mengontrol
tindakan masyarakat. (Berger, 2013: 33-36)
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ialah wawancara,
observasi dan pengumpulan data-data kepustakaan. Wawancara yang dilakukan
bisa terarah dan tidak terarah. Pada tahap pertama, wawancara dilakukan tidak
terarah, dilakukan secara santai dengan memberikan kesempatan kepada
informan sebesar-besarnya untuk memberikan keterangan yang ditanyakan.
Wawancara ini penting pada tahap pertama penelitian karena dengan
memberikan keterangan umum sering kali para informan keterangan-
keterangan yang tidak terduga, yang tidak akan dapat diketahui jika dilakukan
dengan cara wawancara terarah.
Setelah mendapatkan gambaran umum tentang bentuk ritual/upacara
keagamaan yang akan diteliti, barulah dipergunakan wawancara bentuk kedua,
yakni wawancara terarah. Dalam penyusunan daftar wawancara terarah ini,
diserahkan kepada masing-masing peneliti di lapangan dengan
mempertimbangkan bentuk tradisi ritual yang akan diteliti. Adapun aspek yang
ditanyakan diantaranya adalah alasan penggunaan tempat, alasan pemilihan
waktu pelaksanaan upacara, alasan dan fungsi penggunaan benda-benda serta
peralatan upacara, siapa yang yang memimpin jalannya upacara, dan siapa saja
orang-orang yang mengikuti ritual keagamaan tersebut. Terakhir dapat ditanya
kan apa saja nilai-nilai moderasi beragama yang terdapat pada praktik
sinkretisme ritual keagamaan.
Cara kedua adalah dengan observasi atau pengamatan. Pengamatan ini
digunakan untuk melihat tradisi upacara keagamaan, dari luar sampai ke dalam
dan melukiskan secara tepat seperti apa yang dilihat. Hal-hal yang diamati
adalah (1) lingkungan fisik suatu bentuk upacara keagamaan dilakukan; (2)

6
7

lingkungan sosial suatu bentuk upacara keagamaan; (3) interaksi para peserta
suatu bentuk upacara keagamaan; (4) pertunjukkan bentuk upacara keagamaan
itu sendiri; dan (5) masa atau waktu bentuk upacara keagamaan itu.
Setelah data semua terkumpul dan dianalisis, lalu selanjutnya
disampaikan dalam sebuah laporan penelitian. Laporan ini terdiri dari
pendahuluan, deskripsi latar belakang sosial-budaya wilayah penelitian di mana
upacara keagamaan menjadi fokus penelitian, deskripsi tradisi ritual itu sendiri,
dan selanjutnya analisis tentang praktik sinkretisme khususnya Islam di dalam
tradisi ritual tersebut serta nilai-nilai moderasi beragama yang terdapat pada
upacara keagamaan tersebut. Pada bagian deskripsi upacara keagamaan, tentu
saja ada sebagian atau keseluruhan upacara keagamaan tersebut, yang
sebaiknya ditranskripsi. Transkripsi ini dapat menjadi bukti dalam analisis-
analisis dan pembuktian dalam bagian nilai-nilai budaya dan agama di dalam
upacara keagamaan tersebut.
Untuk mendapatkan data penelitian, maka peneliti menggunakan
wawancara mendalam, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan perpanjangan keikutsertaan, ketekunan
pengamatan dan triangulasi teori dan wawancara untuk menentukan keabsahan
penelitian yaitu dengan menggunakan beberapa perspektif yang berbeda untuk
mengintepretasikan data yang sama. Konsep yang digunakan tidak hanya
menggunakan konsep komunikasi dengan fokus pada komunikasi kelompok
dan upacara keagamaan sebagai kajian utama penelitian ini dan digunakan
konsep-konsep tentang komunitas adat, upacara keagamaan dan sinkretisme.
HASIL TEMUAN
Ada 6 (enam) tradisi ritual keagamaan dari 6 (enam) lokasi penelitian yang
menjadi obyek kajian seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Pertama,
kajian yang dilakukan Novita Siswayanti tentang tradisi maulid dan Rebo
Wekasan di Karadenan, Bogor. Karadenan Kaum adalah kampung yang
masyarakatnya homogen beragama Islam. Secara silsilah mereka keturunan
Kerajaan Padjajaran yang mana nama mereka di depannya memakai trah
„raden‟. Masyarakat Karadenan Kaum berpegang teguh pada ajaran Islam
dan tetap menjaga melestarikan warisan leluhur baik itu tradisi maupun benda
pusaka. Bagi Masyarakat Karadenan Islam bersinkretis dengan Sunda, agama
dengan budaya satu sama lain terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan. Namun
tetap memisahkan dan membedakan antara agama dengan budaya. Agama
sebagai sumber moral dan mempengaruhi nilai dan budaya manusia.
Sinkretisme Islam Sunda ditengahi dalam ruang ketiga yaitu moderasi
beragama. Memaknai ekspresi tradisi keagamaan Maulid Nabi Muhammad
sebagai sikap moderat penuh toleran.
Dalam rangkaian upacara keagamaan Maulid Nabi terdapat kegiatan
panjemasan keris/memandikan keris. Keris benda pusaka peninggalan leluhur
masyarakat Karadenan yang patut dijaga keberadaannya dari kerusakan. Secara
rutin setiap malam Maulid Nabi Muhammad masyarakat Karadenan
menyelenggarakan ritual pembersihan keris yang diiringi dengan bacaan
shalawat Nabi Muhammad. Selain itu dalam upacara Maulid Nabi terdapat
asyraqal menggunting rambut bagi dalam ajaran Islam sebagai aqiqah yang
diadakan saat bayi usia 7 hari, namun asyraqal di Karadenan mengakomodasi
budaya Karadenan. Maulid Nabi juga sebagai perwujudan rasa syukur

7
8

Karadenan atas karunia Allah serta bersedekah bagi kepada sesama dengan
menyajikan makanan yang dihias dengan dondang khas Sunda.
Peringatan Maulid Nabi di Karadenan tidak hanya sebagai tradisi leluhur
yang tetap dilestarikan, tetapi juga sebagai objek wisata religi yang secara besar-
besaran diikuti oleh pengunjung dari berbagai wilayah. Peringatan Maulid Nabi
melibatkan partisipasi seluruh masyarakat Karadenan dalam menyukseskan
acara tersebut. Dalam perilaku beragama masyarakat Karadenan bersikap
moderat; bertoleransi dalam beragama dan memelihara nilai-nilai kearifan
leluhur kebersamaan, kebangsaan, kemanusiaan dan gotong royong. Ritual
keagamaan Maulid Nabi ada kegiatan dondang menyediakan beragam makanan.
Dondang tradisi khas Sunda menyajikan makanan pada satu tempat yang
dibagikan dan dimakan bersama-sama.
Kedua, tradisi nadran di kota Cirebon yang dikaji oleh Nurrahmah sebagai
sebuah tradisi yang mengkolaborasikan antara agama dan budaya dan
melahirkan tradisi baru. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk syukur para
masyarakat terutama para Nelayan terhadap berkah rezeki yang diberikan dari
laut berupa mata pencaharian dan hasil laut, seraya berharap agar pada tahun-
tahun mendatang rezeki mereka semakin berlimpah dan dijauhakan dari segala
musibah dan bahaya. Inti dari tradisi ini adalah dengan melarung sesaji yang
dipersembahkan untuk penguasa laut. Bagi sebagian masyarakat yang disebut
penguasa laut adalah Nabi Khaidir, sebagian lagi menyebutnya sebagai Sang
Hyang Baruna, dan sebagian lagi menyebutnya sebagai Allah Tuhan Yang Maha
Kuasa. Sebelum dan sesudah melarung sesaji, ada beberapa ritual yang
dilakukan, diantaranya adalah ritual tahlilan, slametan, pagelaran wayang,
ruwatan dan lainnya. Diantara bentuk sesajinya adalah kepala kerbau,
kemenyan, kembang setaman, jajanan pasar, bubur merah dan putih serta hasil
bumi dan laut.
Dalam sesajen yang disajikan terdapat makna yang sangat mendalam yang
mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat yang damai,
harmonis, moderat dan toleran. Misalnya dalam unsur bubur merah dan putih,
terdapat pesan keseimbangan hidup, bahwa hidup harus seimbang antara
jasmani dan rohani, antara kepentingan individual dan komunal, antara zahir
dan batin. Demikian juga dalam symbol kepala kerbau terdapat pesan toleransi,
yakni jangan merusak symbol-simbol agama lain. Sebagaimana diketahui
bahwa masyarakat memilih kepala kerbau bukan kepala sapi karena sapi adalah
hewan suci yang sangat dihormati oleh penganut ajaran Hindu. Demikian juga
dengan symbol jajanan pasar terdapat pesan perekat persaudaraan, bahwa
dalam bermasyarakat kita harus saling mengikat tali persaudaraan dan
persahabatan agar kehidupan bermasyarakat semakin harmonis. Sedangkan
symbol kembang mengandung pesan bahwa kita harus mengharumkan nama
baik seseorang dengan cara menjunjung tinggi kebaikannya dan memaafkan
segala kesalahannya. Inilah modal social yang dibutuhkan agar tercipta
kehidupan masyarakat yang lebih damai, harmonis, moderat dan toleran.
Ketiga, Mahmudah Nur mengkaji tentang tradisi ritual ngareremokeun di
Kasepuhan Cisungsang. Rangkaian upacara Seren Taun di Kasepuhan
Cisungsang memainkan peranan yang sangat penting sebagai salah satu sarana
yang mampu mengintegrasikan berbagai perbedaan pandangan yang semakin
kompleks di tengah-tengah masyarakat modern. Ritual ngareremokeun sebagai
salah satu tahapan rangkaian acara seren taun menjadi bukti sumber

8
9

pengetahuan dan ekspresi budaya masyarakat Kasepuhan Cisungsang dalam


rangka menjaga keberlangsungan tradisi mereka. Hal tersebut dapat terlihat
dalam tahapan-tahapan persiapan ritual ngareremokeun yang masih kental
dengan adat istiadat dan budaya nenek moyang mereka, yang tersirat dalam
pandangan para pelaku bahwa keterlibatan mereka di dalam ritual sebagai
bentuk berbakti dan ketaatannya kepada pemimpin adat (Abah Usep) dan
terutama kepada leluhur.
Latar belakang ideologis dan geomorfologis juga mempengaruhi tradisi
yang berkembang di masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang. Ritual
ngareremokeun menurut masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang bukanlah
sebagai ritual semata, akan tetapi menjadi alat praktis yang mempunyai faedah
bagi kehidupan masyarakat. Ritual tersebut merupakan gambaran nyata
mengenai kosmologis mereka terhadap keselarasan hidup dengan lingkungan
alam, lingkungan sosial dan lingkungan kebudayaan. hal tersebut dibuktikan
dengan dimaknai bahwa ritual ngareremokeun adalah simbol keharmonisan
dalam sebuah keluarga. Keharmonisan dalam hal ini diartikan sebagai sebuah
kenyamanan dalam hidup. Hal ini menguatkan bahwa moderasi beragama
sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di
tingkat lokal, nasional, maupun global.
Moderasi beragama ini direpresentasikan dari persiapan yang dilakukan
sebelum ritual ngareremokeun seperti tersedianya sesajen dan kemenyan. Hal
tersebut menandakan bahwa sistem religi/kepercayaan yang dianut masyarakat
kasepuhan Cisungsang dari kepercayaan lama yaitu Hindu-Budha menjadi
Islam. Adanya persiapan gotong royong dalam menyiapkan ritual
ngareremokeun menandakan adanya sistem organisasi dan kemasyarakatan.
Adanya sawean yang terdiri dari dedaunan sebagai tolak bala (pengusir hama
padi) menandakan bahwa ritual ngareremokeun mempunyai nilai
kebermanfaatan yang tinggi. Dari pemaknaan simbol-simbol terkait nilai
moderasi dalam ritual ngareremokeun juga senada dengan empat indikator
moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan
akomodatif terhadap kebudayaan lokal yang dapat ditemui dalam sikap dan
perilaku para pelaku ngararemokeun pare dan masyarakat adat Kasepuhan
Cisungsang.
Keempat, kajian tentang tradisi Suroan sebagai upacara keagamaan yang
secara rutin dilaksanakan oleh masyarakat adat Cireundeu oleh Novita
Siswayanti. Tradisi Suroan merupakan upacara keagamaan tutup tahun dan
memulai tahun baru. Pada tahun 2020 ini masyarakat adat Cireundeu
mengadakan acara upacara keagamaan Suroan dengan motto: Tutup Taun
1953 Ngemban Taun 1 Suro 1954 Saka Sunda Mugia Akur Rukun Repeh Rapih
Sareng Sasama Hirup. Tulisan ini mengandung makna bahwa manusia
semestinya memahami bahwa hidup di dunia ini tidak hanya sendirian namun
berdampingan dengan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, manusia
hendaknya mampu menempatkan diri sebagai makhluk yang hidup ber
dampingan dengan makhluk lainnya, menghargai alam dan lingkungan
bukannya merusak alam dan lingkungan. (Emen, wawancara 22 Agustus 2020)
Tradisi Suroan merupakan wujud rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta
atas segala rupa keberkahan terutama limpahan makanan, khususnya bagi
masyarakat adat Cireundeu. Dalam upacara 1 Suro seluruh masyarakat
Cireundeu memanjatkan doa dan harapan agar diberi kesehatan dan

9
1

keselamatan, diberi berkah melimpah, termasuk hubungan yang harmonis


dengan alam baik binatang maupun tumbuhan.
Tradisi Suroan dilaksanakan selama satu bulan penuh di Bulan Suro atau
Bulan Muharram dalam tahun Islam tahun Hijriah. Tradisi Suroan dibuka
tanggal 1 Suro sebagai hari besar hari lebaran masyarakat adat Cireundeu. Pada
1 Suro seluruh masyarakat adat Cireundeu berkumpul di Bale Sarasehan.
Mereka berpakaian adat khas Sunda; bagi laki-laki memakai pakaian hitam-
hitam dan perempuan baju toro. Mereka saling sungkeman dan bersalaman
satu sama lain menjalin kekerabatan dan ungkapan bermaafan. selama satu
bulan mereka masak-memasak secara bergiliran di satu rumah ke rumah yang
lain. Mereka saling berkunjung dan berkirim makanan ke keluarga atau
tetangga mereka yang muslim maupun Sunda Wiwitan. Pertengahan bulan
masyarakat adat Cireundeu mengadakan pentas musik karawitan sebagai
persembahan kepada leluhur. (Yana, wawancara, 22 Agustus 2020)
Puncak acara Suroan yang biasanya dilaksanakan di pertengahan bulan
Sura atau tanggal likuran. Saat akan nutup bulan Sura ini sesepuh adat
Cireundeu berdiskusi memutuskan waktu yang tepat untuk melaksanakan
upacara keagamaan seren taun sepakat dilaksanakan pada 3 hari terakhir di
Bulan Sura. Tanggal tersebut dipilih dengan kesepakatan bersama warga
kampung adat (dimusyawarahkan) dengan pertimbangan dengan sesepuh.
Rapat untuk menentukan tanggal dibuat terpisah dan tertutup. Menurut
pemaparan Abah Iyu, penanggalan tidak dapat dibuat asal-asalan, namun
banyak hal yang harus diperhatikan dan juga jangan sampai mengganggu warga
lain di lingkungan luar Kampung Adat, karena hidup adalah berdampingan,
selaras, baik dengan masyarakat sekitar, alam, dan semua isi di dunia. Ini
merupakan pandangan hidup masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban sangat menekankan pada ketenteraman
batin
Seren taun ada yang sifatnya terbuka untuk umum dan ada yang hanya
dilakukan oleh masyarakat adat Cireundeu saja. Pada hari pertama
dilaksanakan acara damar sewu atau seribu damar; hari kedua pencak silat.
Puncaknya pada hari ketiga, dimana acara diawali dengan memecahkan kendi
yang berisi air dan daun hanjuang oleh bapak wali kota Cimahi. Kemudian
dilaksanakan proses ngajayat atau arak-arakan dari mulai gerbang masuk
mereka berarak-arakan membawa gunungan rasi nasi singkong, hasil bumi, ada
yang berpakaian adat, ada yang memainkan alat mudik tradisional dan ada
yang berpakian pencak silat. Kampung Cireundeu sampai ke tengah-tengah
kampung. Acara seren taun masyarakat adat Cireundeu ditutup dengan pentas
seni diantaranya tarawangsa, wayang golek dan kreasi anak-anak. (Kang Jajat,
wawancara, 22 Agustus 2020)
Nilai Moderasi Beragama dalam Tradisi Ritual Keagamaan
Moderasi beragama adalah sebuah strategi merawat keharmonisan bangsa
Indonesia. Founding father bangsa berhasil mewariskan empat pilar sebagai
bentuk konsensus dalam berbangsa dan bernegara. Empat pilar tersebut adalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka
Tunggal Ika, yang telah berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis,
bahasa, dan budaya. Selain itu, moderasi beragama dapat dijadikan sebagai
strategi kebudayaan yang merawat jati diri bangsa. Sejak awal Indonesia
bukanlah

1
1

sebuah negara agama, tetapi tidak juga memisahkan agama dari kehidupan
sehari-hari warganya. Indonesia, negeri yang sangat agamis meski bukan
negara agama. Bangsa Indonesia adalah beragama dan mengajarkan agama
yang ramah, toleran dan menghargai keragaman. Pancasila adalah cermin asli
Indonesia.
Indonesia dengan kemajemukan dan keberagamaanya, baik agama, suku
dan bahasa memiliki akar kultural yang cukup kuat dan juga memiliki modal
sosial sebagai landasan moderasi beragama. Indikator nilai moderasi yang
digunakan dalam kajian ini merujuk indikator yang telah disusun oleh
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Kementerian Agama.
Indikator moderasi beragama yaitu; komitmen kebangsaan, toleransi, anti-
kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. (Badan Litbang dan
Diklat, 2019; 43)
Pertama, Komitmen kebangsaan dalam tradisi ritual kegamaan yang
dikaji terlihat dari sikap dan perilaku para pelaku tradisi. Di Karadenan, Bogor
peringatan Maulid Nabi Muhammad sebagai salah satu cerminan jati diri
bangsa sebagai bangsa yang agamis mesti bukan negara agama. Dalam
peringatan Maulid Nabi menumbuhkan rasa cinta kepada tanah air dengan
merawat jejak tinggalan leluhur dalam hal ini benda pusaka, menampilkan
atribut Kerajaan Padjajaran sebagai bagian dari sejarah bangsa,
mempertunjukkan kesenian khas Nusantara dalam alunan musik rebana dan
shalawat, menyajikan berbagai makanan khas Sunda dalam bingkisan bongsang
dan dondang, menyelenggarakan Maulid Nabi dengan penuh kebersamaan dan
kekeluargaan, menggunting rambut bayi sebagai tradisi asyraqal yang diiringi
dengan pembacaan shalawat dan tradisi saweran khas Nusantara.
Peringatan Maulid Nabi sebagai pengaplikasian terhadap keteladanan
Rasulullah menjadi sumber nilai dan moral yang secara substansi mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai kepribadian Rasulullah yang
dilantunkan dalam rawi barzanji mengajarkan nilai kebaikan yang mewarnai
dan watak budaya bangsa yang ramah, rukun dan cinta damai. Sedangkan
dalam tradisi nadran dan sedekah bumi di Depok, komitmen kebangsaaan
terlihat dari keyakinan mereka menjalankan tradisi tersebut. Kecintaan pada
budaya bangsa yang diwariskan oleh para nenek moyang terdahulu menjadi
faktor utama dalam pelestarian tradisi nadran di Cirebon.
Tradisi keagamaan suroan sebagai salah satu cerminan jati diri bangsa
sebagai bangsa yang agamis mesti bukan negara agama. Jati diri bangsa yang
berkebhinnekaan dan berpegang teguh dari tali paranti leluhur yaitu bangga
akan identitas kebangsaan atau kesundaan yang sepatutnya dimiliki oleh
seluruh orang Sunda. Pada tradisi suroan masyarakat adat Cireundeu
berkumpul di Bale adat Bale Sarasehan, mereka memakai pakaian adat khas
Sunda bagi laki-laki memakai pakaian pangsi dan perempuan baju toro. Mereka
tetap berkomitmen mengonsumsi rasi nasi singkong warisan leluhur. Mereka
melaksanakan tradisi damar wulan membakar obor dengan didahului
pembakaran dupa sebahai wujud persaudaraan dan persatuan kebhinnekaan
diantara mereka. Mereka melakukan ngajayat berkeliling kampung sebagai
perwujudan kebersamaan dan kegotongroyongan diantara mereka. secara
berarak-arak mereka berkeliling kampung; ada yang membawa gunungan nasi
rasi, hasil bumi, ada yang berpakaian adat sambal memainkan alat musik

1
1

tradisional. Mereka memecahkan kendi yang berisi air dengan daun hanjuang
sebagai lambang cinta tanah air.
Komitmen kebangsaan dalam ritual ngareremokeun dan nyiramkeun
pusaka terlihat dari para pelakunya. Di Kasepuhan Cisungsang, masyarakat
adatnya menganggap bahwa keterlibatan mereka di dalam sebagai bentuk
berbakti dan ketaatannya kepada pemimpin adat (Abah Usep) dan terutama
kepada leluhur. Seperti dikemukakan Nenek Nar, paraji yang membawa
sawean mengelilingi leuit, “tugas ini Nenek (Nar) jalanin dengan ikhlas karena
Allah, (bakti) ke Abah. Itu kewajiban Nenek, keikhlasan Nenek. Kita bisa seperti
ini ya karena kepercayaan dari Kasepuhan”. (wawancara, 20 Agustus 2020)
Masyarakat Kasepuhan Cisungsang kerap memaknai filosofi ini dalam
konteks kehidupan modern berbangsa dan bernegara saat ini dengan
pernyataan, bahwa baik aturan adat, ajaran dan praktik agama, harus dalam
bingkai kehidupan bernegara Indonesia, yang memiliki aturan hukum yang
harus diikuti dan ditaati. Artinya, bahwa sejak dalam filosofi merekapun,
komitmen untuk menjunjung keberadaan Negara Republik Indonesia dengan
berbagai perangkat hukumnya sudah terpatri. Hampir sama dengan perangkat
yayasan Talaga Manggung bahwa mereka berkeyakinan walaupun mereka
adalah keturunan kerajaan Talaga Manggung yang pernah berdiri di
Majalengka pada masa lalu, tapi mereka tetap mematuhi semua peraturan
negara yang ditetapkan. Contohnya pelaksanaan ritual nyiramkeun pusaka
pada masa pandemi ini, mereka harus meminta izin ke pihak terkait. Jika
diizinkan, maka mereka akan melakukannya, tapi jika tidak, mereka juga akan
tetap melakukannya, dengan orang-orang tertentu saja tanpa membuat
kerumunan.
Kedua, akomodatif dengan budaya lokal. Muslim Indonesia selalu hidup
dinamis dan terus berkembang terlebih lagi bersentuhan dengan berbagai
tradisi dan budaya setempat. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara
Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia
hidup. Perbedaan keberagamaan muslim Sunda sesungguhnya bukan pada
otentisitas, tapi lebih pada cara pandang pemeluk muslim terhadap teks kitab
suci agamanya. Bagaimana kitab suci itu dibaca dan berdialog dengan kasus
aktual dan tradisi setempat. Saling menyapa ini membentuk sikap akomodatif
dan arif terhadap budaya lokal yang karena kreatifitas terbangun berbagai
budaya yang terkspresikan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat
Sunda.
Demikian halnya prinsip dakwah yang dilakukan oleh Raden Syafii leluhur
Karadenan. Raden Syafii salah seorang murid Sunan Gunung Djati yang
mengakomodasi budaya lokal Karadenan. Masyarakat Karadenan masih
percaya terhadap perhitungan hari baik atau hari buruk. Raden Syafii
menyikapinya dengan berdoa kepada Allah agar dijaga dan dilindungi dari hari
buruk yang dapat mendatangkan malapetaka. Demikian halnya dengan tradisi
keagamaan di Karadenan setiap rebo Wekasan bahkan setiap hari Kamis di
Bulan Safar sebelum Rebo Wekasan diadakan bebaritan. Bebaritan berziarah
kubur hadiah puji kepada leluhur disertai dengan selamaten makan bersama
untuk menolak bala. Pada Rebo Wekasan mereka berdoa ke delapan penjuru
arah mata angin mohon keselamatan dari segala penyakit dan musibah.
Sedangkan masyarakat adat Kampung Cireundeu hidup dinamis dan terus
berkembang terlebih lagi bersentuhan dengan berbagai tradisi dan budaya

1
1

setempat. Mereka menganut ajaran Sunda Wiwitan yang dibawa oleh Pangeran
Madrais Cigugur namun hakikatnya mereka menerapkan nilai-nilai keagamaan
yang bernilai Islam. Pangeran Madrais dalam kisahnya adalah penyebar Islam
kemudian melahirkan ajaran baru yang dinamai Sunda Wiwitan.
Tidak bisa dijelaskan tahun berapa Islam masuk di Cisungsang, hanya saja
menurut keterangan Aki Abas doa-doa bernuansa Islam dalam ritual adat di
cisungsang (menyebut Syech Abdul Khadir Jailani sudah ada sejak lama), sejak
generasi pertama dari kasepuhan Cisungsang. Pada masa itulah diperkirakan
terjadinya perpaduan antara sentuhan Hindu Budha dan Islam yang
berkembang di Cisungsang. Islam menggeser pengaruh Hindu Buddha
(kepercayaan kepada ruh dan batu) secara perlahan, kemudian
memperpadukannya dalam doa-doa bernuansa Islam pada praktik keagamaan
serta penyebutan kepada Kanjeng Nabi (Muhammad) dan Gusti Allah (Allah
Swt) dibarengi dengan lafadz berbahasa Sunda yang doanya tidak dituliskan,
namun diwariskan secara lisan dan turun-temurun. Dalam hal doa, adanya
pengaruh Hindu Budha (kepercayaan kepada Ruh) dan kepercayaan kepada
Ulama Islam seperti Syech Abdul Khadir Jailani, penyebutan Nabi Muhammad
dan Gusti Allah Swt memperlihatkan perpaduan agama dan pergeseran
kepercayaan tanpa terjadinya bentrokan atau perpecahan.
Sama halnya dengan perangkat yayasan Talaga Manggung, walaupun
mereka beragama Islam, tetapi tetap saja mereka melakukan tradisi
nyiramkeun pusaka. Menurut bapak Apun sebagai ketua yayasan Talaga
Manggung tidak mengetahui sejak kapan tradisi nyiramkeun pusaka
memasukkan unsur-unsur agama Islam seperti tawasulan sebagai bentuk
mencari keberkahan dalam ritual tersebut. Doa-doa yang diucapkan juga
menggunakan bahasa Arab yang dicampur dengan bahasa Sunda sebagai
bahasa yang digunakan sehari-hari. Tawasulan menjadi bukti bahwa tradisi
nyiramkeun pusaka adalah tradisi yang dilakukan sebelum Islam datang dan
beradaptasi secara damai tanpa menghilangkan unsur-unsur agama
sebelumnya.
Ketiga, toleransi beragama dimaknai sebagai sebuah sikap saling
menghargai dan menghormati pandangan hidup orang lain. Mereka toleran
membolehkan atau membiarkan orang lain menjadi diri mereka sendiri dan
bukan keinginan untuk mempengaruhi orang lain menjadi diri mereka atau
mengikuti ide mereka. Sikap toleran tumbuh dengan dialog saling
mengomunikasikan dan menjelaskan perbedaan serta ada saling pengakuan.
(Yayasan Literasi Kita Indonesia, 2019: 80) Keempat, Toleransi dalam
Moderasi Beragama. Masyarakat Kampung Cireundeu bervariasi 30%
masyarakatnya masih berpegang pada adat leluhur karuhun dan menganut
ajaran Sunda Wiwitan, sedangkan 70% masyarakatnya muslim. Walau mereka
berbeda keyakinan mereka bersaudara satu keturunan hidup dan tinggal di
Kampung Cireundeu. Mereka tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan
dalam berinteraksi maupun berkomunikasi antarsesama. Dalam kehidupan
beragama mereka toleran saling menghargai dan menghormati keyakinan dan
kepercayaan masing-masing. Mereka bebas menjalankan ritual keagamaan
sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Dalam tradisi keagamaan Suroan sikap toleransi dalam beragama diantara
mereka terlihat dalam berbagai kegiatan. Tradisi Suroan sebagai tradisi leluhur
Cireundeu dihadiri oleh seluruh masyarakat Cireundeu baik adat maupun

1
1

muslim. Mereka ber musyawarah untuk mufakat dan terlibat langsung dalam
menyukseskan tradisi Suroan. mereka mengikuti rangkaian acara Suroan sesuai
dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing; masyarakat adat berdoa
sesuai adat karuhun dan masyarakat non adat atau muslim berdoa sesuai
dengan tatacara Islam. Muslim Cireundeu ikut makan nasi singkong
menghargai makanan pokok masyarakat adat. Muslim Cireundeu juga
memahami jika masyarakat adat pantang makan nasi beras. Masyarakat adat
Cireundeu membakar dupa mengundang karuhun hadir dalam upacara Suroan,
muslim Cireundeu menghormati keyakinan mereka.
Salah satu contoh terlihat di masyarakat Karadenan dalam menghargai
keputusan setiap individu menyikapi warisan leluhurnya. Pada saat panjemasan
keris di perayaan Maulid Nabi tidak ada paksaan untuk masyarakat Karadenan
mengikuti ritual tersebut; diantara mereka ada yang turut serta dalam upacara
penyucian keris dan ada yang hanya hadir pada acara pembacaan shalawat Nabi.
Ritual panjemasan keris dilaksanakan mulai jam 22 malam, sebelumnya setelah
shalat Isya dilakukan pembacaan rawi barzanji shalawat Nabi saw. Walaupun
demikian masyarakat Karadenan tetap toleran menerima segala perbedaan
yang ada, menghargai sikap mereka yang tidak ikut serta dalam panjemasan
keris.
Pemilihan kepala kerbau dalam tradisi nadran di Cirebon ketimbang
kepala sapi adalah untuk menghormati tradisi agama Hindu yang menganggap
sapi adalah hewan yang suci, sehingga demi menjaga kehormatan dan tradisi
agama lain, masyarakat Cirebon pada masa lalu memilih kepala kerbau untuk
dilarung di laut. Hal ini menunjukkan bahwa dari sejak awal, masyarakat
Cirebon sangat toleran terhadap agama lain dan sangat menghormati simbol-
simbol agama lain. Sedangkan dalam tradisi nyiramkeun pusaka bahwa
keikutsertaan kuncen dan perangkat yayasan Talaga Manggung dalam prosesi
nyiramkeun pusaka adalah bentuk berbakti dan ketaatan kepada leluhurnya.
Tanggapannya seperti ini;
”Jadi begini, kalau untuk itu kembali kepada keyakinan masing-
masing. Kami sendiri tidak pernah meminta dia untuk mengambil air
dan digunakan untuk mencuci wajah dan lain-lain, kembali kepada
keyakinan masing-masing. Kebanyakan (juga) memang orang dari
luar daerah yang kunjungan ke sini. Nah itu kembali lagi ke
keyakinannya, kalau orang sini memang tidak. Kalau kami hanya
menjalankan tradisi yang sudah dilakukan oleh para leluhur, sebagai
bakti dan ketaatan kepada mereka.”
Masyarakat Kasepuhan Cisungsang juga sangat menjunjung tinggi
toleransi kepada siapapun masyarakat adat untuk memeluk agama dan
mengamalkan ajaran agamanya dengan taat. Tak pernah mereka mengklaim
bahwa aturan adat lebih tinggi dari ajaran agama atau aturan adat bid‟ah karena
tidak sejalan dengan ajaran agama. Pada saat mereka harus melaksanakan
ibadah sesuai ajaran agama, mereka melaksanakannya dengan tata cara yang
diajarkan sesuai syariat agama. Pada saatnya mereka melakukan upacara adat,
mereka melaksanakannya dengan penuh khidmat dan tidak meninggalkan
kewajiban sebagai pemeluk agama.
Ketiga, Anti kekerasan. Masyarakat Cireundeu terdiri dari masyarakat
adat dan muslin yang hidup saling rukun damai dan tentram. Dalam tradisi

1
1

keagamaan suroan seluruh masyarakat Cireundeu ikut serta dan berpartisipasi


dalam menyukseskan acara Suroan. Mereka satu sama lain saling membantu
dan menolong, saling berbagi, bermusyawarah untuk mufakat, berkumpul
bersama saling bermaaf-maafan dan menghindari sifat kekerasan atau
pertengkaran satu sama lain. Sikap ini ditandai dengan rangkaian acara
sungkeman saling bermaaf-maafan satu sama lain, saling berbagi hantar
makanan, berkumpul bersama dalam acara damar obor sebagai wujud rasa
persaudaraan silaturahmu antara mereka, berkreasi dalam pentas seni dan
permainan dan arak-arakan keliling kampung dengan saling beriringan-
berbaris tidak saling mendahului atau berebutan.
Nilai anti kekerasan dalam ritual ngareremokeun terlihat dari perilaku dan
sikap para pelaku dan masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang.
Harmonisasi/keseimbangan ini juga disimbolkan dalam ritual ngareremokeun
pare. Seperti dijelaskan Aki Rais, bahwa “(ngareremokeun pare) ini dimaknai
sebagai sebuah simbol keharmonisan dalam sebuah keluarga. Keharmonisan
dalam hal ini diartikan sebagai sebuah kenyamanan dalam hidup. Artinya
adanya padi laki-laki dan padi perempuan dalam ritual ngararemokeun yang
dikawinkan, menjadi pengingat bahwa keluarga terbentuk dari Ibu, Bapak, dan
anak yang di dalamnya harus rukun untuk mendapat keberkahan dalam hidup,
keridhaan dari Allah Swt serta karuhun (nenek moyang)”. (wawancara, 20
Agustus 2020)
Rurujakan yang disajikan dalam ritual ngareremokeun juga mempunyai
makna keharmonisan. Isi rurujakan seperti jeruk, gula, kopi manis, kopi pahit,
pisang, kelapa, kembang, roti dan asem disajikan dalam sebuah gelas dan
dicampur dengan air. Rurujakan adalah persembahan yang mencerminkan
kesukaan dari Nyi Pohaci. Seperti yang diungkapkan oleh Nek Nar bahwa
“masyarakat khususnya di Kasepuhan Cisungsang harus rujuk dan rukun dalam
menjalani kehidupan di dunia baik sesama manusia maupun dengan mahluk
lainnya.” (wawancara, 20 Agustus 2020) Simbol paling menonjol adalah iket
yang digunakan di kepala masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang. Iket berarti
juga totopong yang berasal dari kata tepung (bertemu) yang mengalami
pengulangan dan perubahan kata dasar te menjadi toto. Tepung diartikan
sebagai simbol bertemunya ujung kain karena bentuk simpul sebagai lambang
silaturahim.
Nilai anti kekerasan juga terlihat dalam tradisi nadrand dari simbol bubur
merah dan bubur putih. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa
bubur merah dan bubur putih adalah salah satu sesajen yang wajib disediakan
pada saat Nadran. Bubur putih adalah simbol laki-laki, sedangkan bubur merah
adalah symbol perempuan. Kedua unsur inilah yang menjadi sebab musabab
lahirnya seorang manusia. (Sujarno, 2012: 270) Bubur merah juga memiliki
makna jasmaniyah, sedangkan bubur putih memiliki makna batiniah. Jadi
penyajian sesajen berupa bubur merah dan bubur putih dimaksudkan agar
memperoleh keselamatan lahir dan batin bagi hidup dan kehidupan. Selain itu,
bubur merah putih sebagai simbol jasmani dan ruhani juga diharapkan dapat
memperoleh keberkahan lahiriah berupa rezeki yang berlimpah, dan
keberkahan batiniah berupa tuntunan yang baik yang sesuai dengan agama.
(Dahuri, 2004: 35) Dengan pemaknaan seperti itu, kita dapat memahami
bahwa dalam unsur bubur merah dan bubur putih ada nilai-nilai keseimbangan,
antara jasmani dan rohani. Manusia dalam meniti kehidupannya harus

1
1

seimbang antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat. Dalam sikap


beragama juga harus seimbang, tidak ekstrim, juga tidak liberal. Dalam
hubungan sosial juga harus seimbang antara kepentingan individual dengan
kepentingan komunal. Inilah nilai-nilai moderasi yang diusung masyarakat
Cirebon.
Simbol jajanan pasar atau biasa disebut dengan Tukon Pasar juga
mengandung nilai toleransi. Yaitu sejenis aneka makanan yang dijadikan
sebagai sesajen pada saat pelaksanaan tradisi Nadran. Makanan tersebut antara
lain berupa apem, ketan, kolak, wajik, lemper dan jadah. Fungsi sesajen ini
adalah sebagai bentuk permintaan maaf penyelenggara kepada semua yang ada
di ritual agar dapat memaafkan kesalahan para almarhum dan almarhumah
atas segala kesalahannya. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa dalam hubungan
sosial, kita harus mudah saling memaafkan sebab terjadinya keretakan
hubungan sosial disebabkan sikap mental yang tidak mau memaafkan.
Jenis-jenis jajanan pasar dalam tradisi Nadran adalah Jadah wajik dan
lemper. Makanan ini adalah makanan kecil yang biasanya disuguhkan untuk
acara hajatan masyarakat. Makna simbolis makanan ini adalah gawe raket
(Nurhayati, 2014: 137-138) atau merekatkan tali persaudaraan. Dengan adanya
simbol jajanan masyarakat dalam tradisi Nadran diharapkan masyarakat dapat
menjalin tali persahabatan dan persaudaraan karena unsur tersebut merupakan
modal sosial agar masyarakat dapat hidup harmonis, damai dan toleran. Simbol
kembang atau bunga. Bagi pelaku tradisi, kembang memiliki makna yang
sangat dalam. Dalam tradisi Nadran, kembang termasuk bagian sesajen yang
dilarung ke tengah laut. Kembang setaman dimaksudkan adalah jenis-jenis
kembang yang biasa dijual di pasaran, seperti Mawar, Melati dan Cempaka.
Adapun makna simboliknya adalah njungjung dhuwur, mendhem jero.
Njungjung dhuwur artinya adalah mengangkat tinggi-tinggi, yakni menjunjung
tinggi-tinggi kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan para leluhur. Sedangkan
mendhem jero adalah menanam dalam-dalam, yakni melupakan dan
memaafkan kesalahan-kesalahan para leluhur. Dengan memahami kembang
sebagai cara menjunjung tinggi kebaikan seseorang dan memaafkan segala
kesalahannya adalah ikhtiar membangun hubungan sosial yang lebih harmoni,
damai dan membahagiakan.
Opsi Kebijakan
1. Kementerian Agama Kota/Kabupaten sesuai dengan wilayah penelitian
masing-masing. Sinkretisme Islam Sunda pada tradisi keagamaan
mengandung nilai-nilai moderasi beragama yang dapat menjadi medium
modal sosial pembangunan agama.
2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/ Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota/ Kabupaten. Tradisi keagamaan merupakan kebudayaan
dan peradaban bangsa yang mengandung nilai-nilai karakter bagi bangsa.
Oleh karena itu pentingnya tradisi keagamaan yang bersinkretisme Islam
dengan Sunda dimasukkan dalam mata pelajaran muatan lokal di madrasah.
3. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Praktis. Tradisi keagamaan
mengandung nilai-nilai religi dan karakter bangsa wujud identitas bangsa
sebagai budaya bangsa yang memajukan. Tradisi keagamaan sebagai salah
satu warisan budaya bangsa intangible yang patut dilestarikan sebagai
destinasi pariwisata. Demikian juga lokasi tempat keberadaan tradisi

1
1

keagamaan yang unik sebagai tinggalan warisan budaya yang patut dijadikan
sebagai wisata religi dan pelestarian cagar budaya.
4. Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama agar membuat 1) buku
pengayaan tetang penguatan moderasi beragama yang ada dalam tradisi
ritual keagamaan bagi mahasiswa/I atau siswa/I di perguruan tinggi maupun
di Madrasah sebagai bentuk pengemasan ulang agar lebih bisa difahami oleh
masyarakat pada umumnya. 2) Pembuatan video dokumenter tentang tradisi
ritual keagamaan sebagai media bahan ajar di perguruan tinggi/ madrasah.
PENUTUP
Berdasarkan hasil temuan di enam (6) wilayah yang menjadi locus penelitian
menunjukkan nilai-nilai moderasi beragama yang mengacu kepada empat (4)
indikator, yaitu komitmen kebangsaan, akomodatif, anti kekerasan dan
toleransi.
Selain itu, tradisi ritual keagamaan yang menjadi obyek kajian juga memainkan
peranan yang sangat penting sebagai salah satu sarana yang mampu
mengintegrasikan berbagai perbedaan pandangan yang semakin kompleks di
tengah-tengah masyarakat modern. Oleh karena itu, tradisi ritual keagamaan
yang menjadi obyek kajian dapat menjadi medium penguatan modal sosial
pembangunan agama di Indonesia. Selain nilai-nilai moderasi, tradisi ritual
keagamaan di enam (6) wilayah juga mengandung nilai-nilai karakter bangsa
yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran baik di sekolah tingkat dasar,
menengah, menengah atas dan perguruan tinggi.
Moderasi beragama juga terepresentasikan dari tahapan persiapan,
pelaksanaan dan penutup tradisi ritual keagamaan yang ada di enam (6)
wilayah lokasi penelitian. Salah satu contoh sesajen yang disajikan dalam rituan
nadran di Cirebon terdapat makna yang sangat mendalam yang mampu
memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat yang damai, harmonis,
moderat dan toleran. Tersedianya bubur merah dan putih dalam ritual tersebut
mempunyai makna pesan keseimbangan hidup, bahwa hidup harus seimbang
antara jasmani dan rohani, antara kepentingan individual dan komunal, antara
zahir dan batin. Demikian juga dalam simbol kepala kerbau terdapat pesan
toleransi, yakni jangan merusak simbol-simbol agama lain. Sebagaimana
diketahui bahwa masyarakat memilih kepala kerbau bukan kepala sapi karena
sapi adalah hewan suci yang sangat dihormati oleh penganut ajaran Hindu.
Demikian juga dengan simbol jajanan pasar terdapat pesan perekat
persaudaraan, bahwa dalam bermasyarakat kita harus saling mengikat tali
persaudaraan dan persahabatan agar kehidupan bermasyarakat semakin
harmonis. Sedangkan simbol kembang mengandung pesan bahwa kita harus
mengharumkan nama baik seseorang dengan cara menjunjung tinggi
kebaikannya dan memaafkan segala kesalahannya. Inilah modal social yang
dibutuhkan agar tercipta kehidupan masyarakat yang lebih damai, harmonis,
moderat dan toleran.

1
1

DAFTAR PUSTAKA

Faiqah, Nurul dan Toni Pransiska. 2018. “Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam:
Upaya Membangun Wajah Islam Indonesia Yang Damai. Al-Fikra: Jurnal
Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari – Juni, 2018.
Mashadi. 2013. “Konteks dan Corak Mistisisme Islam dalam Tradisi Keagamaan
Masyarakat Gorontalo.” Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Volume 17
Nomor 2, Desember.
Hasbullah, Toyo, dan Awang Azman Awang Pawi. 2017. “Ritual Tolak Bala pada
Masyarakat Melayu: Kajian pada Masyarakat Petalangan Kecamatan
Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan).” Jurnal Ushuluddin, Vol. 25, No.
1, Januari-Juni 2017.
Miharja, Deni. 2013. “Tradisi Wuku Taun sebagai Bentuk Integrasi Agama
Islam dengan Budaya Sunda pada Masyarakat Adat Cikondang.” El
Harakah Vol. 15, No. 1 tahun 2013.
Hafil, Ach. Shodiqil. 2016. “Komunikasi Agama dan Budaya: Studi atas Budaya
Kompolan Sabellesen Berdhikir Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di
Bluto Sumenep Madura.” Al-Balagh, Vol. 1, No. 2, Juli-Desemeber 2016.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Agama. 2019.
Moderasi Beragama. Jakarta: Kementerian Agama.
Sila, Muhammad Adlin. 2015. Maudu’: A Way of Union with God Islam.
Australia: ANU Press.
Bhaba, Homi. K. 1994. The Location of Culture. Unites Kingdom: Routledge.
Abdullah, Irwan, dkk. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan
Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

1
1

Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosda Karya
Mariasusai, Dhavamony. 1995. Fenomenologi Agama. Edisi Terjemah Tim
Studi Agama Drikarya Yogyakarta: Kanisius
Berger Peter L, Thomas Lukhman. 2013. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Jakarta:
LP3ES.
Yayasan Literasi Kita Indonesia. 2019. Sindang Jati Multikultural Dalam
Bingkai Moderasi. Bengkulu: Penerbit Buku Literasiologi
Sujarno. 2012. “Upacara Sedekah Laut Satu Suro di Srandil.” Patrawidya, Vol.
13, No. 2 tahun 2012.
Nurhayati, Endang, dkk. 2014. “Inventarisasi Makanan Tradisional Jawa di
Kabupaten Bantul.” Humaniora, Vol. 19, No. 2, Oktober 2014.
Dahuri, Rokhmin, dkk. 2004. “Budaya Bahari sebuah Apresiasi di Cirebon.”
Jakarta: Perum Percetakan Negara.
Internet
Kementerian PPN/ Bapenas. 2020. Rancangan Teknokratik: Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Diunduh dari
https://www.bappenas.go.id/files/rpjmn/Narasi%20RPJMN%20IV%202
020-2024_Revisi%2028%20Juni%202019.pdf pada tanggal 22 Nopember
2020.
Siswayanti, Novita. Menguatkan NKRI dengan Moderasi Beragama. Diunduh
dari https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/menguatkan-nkri-
dengan-moderasi-beragama, pada tanggal 22 Nopember 2020.

Anda mungkin juga menyukai