Tugas Kelompok Moderasi Beragama
Tugas Kelompok Moderasi Beragama
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penguatan moderasi beragama menjadi salah satu indikator utama sebagai
upaya membangun kebudayaan dan karakter bangsa. Moderasi beragama juga
menjadi salah satu prioritas di Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 Kementerian Agama. Dalam konteks
keIndonesiaan, moderasi beragama dapat dijadikan sebagai strategi
kebudayaan untuk merawat Indonesia yang damai, toleran dan menghargai
keragamaan. Moderasi Beragama adalah cara hidup untuk rukun, saling
menghormati, menjaga dan bertoleransi tanpa harus menimbulkan konflik
karena perbedaan yang ada. Dengan penguatan moderasi beragama diharapkan
agar umat beragama dapat memposisikan diri secara tepat dalam masyarakat
multireligius, sehingga terjadi harmonisasi sosial dan keseimbangan kehidupan
sosial. (Bappenas, 2020, h. 120)
Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh adanya
perbedaan-perbedaan dalam pemelukan agama, yang selanjutnya membangun
pengelompokan masyarakat berdasarkan pemeluk agama itu. Kondisi
kehidupan keagamaan di Indonesia juga ditandai oleh berbagai faktor sosial
dan budaya, seperti perbedaan tingkat pendidikan para pemeluk agama,
perbedaan tingkat sosial ekonomi para pemeluk agama, perbedaan latar
belakang budaya, serta perbedaan suku dan daerah asal. Oleh karena itu,
moderasi beragama dapat dijadikan jalan tengah di tengah keberagaman
beragama.
Wajah moderasi beragama nampak dalam hubungan harmoni antara
agama (Islam, Hindu, Budha dan Kristen) dan kearifan lokal (local value) di
Indonesia. Kearifan lokal ini sebagai warisan budaya Nusantara, mampu
disandingkan secara sejajar sehingga antara spirit agama dan kearifan budaya
berjalan seiring, tidak saling menegasikan. (Faiqoh, 2018: 33-60) Menurut Zain
selaku Kepala Pusat Penelitian Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen
Organisasi bahwa agama dan budaya memperkuat kebangsaan dan
kebhinekaan Indonesia. Ulama dan tokoh agama pun turut serta dalam
memprakarsai berdirinya Indonesia dalam kepaduan dan harmonisasi agama
dan budaya. Berbagai persoalan fikih ataupun tafsir kehidupan dijawab dan
disatukan dengan budaya. Agama datang memahkotai budaya lokal bukan
menggerus ataupun mempertentangkannya. (Siswayanti, 2018)
Upaya penguatan moderasi beragama dapat menjadikan tradisi ritual
keagamaan sebagai penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan budaya
masyarakat setempat. Tradisi ritual keagamaan merupakan dimensi ekspresif
dari agama yang tertanam secara turun temurun. Tradisi ritual keagamaan
dapat dikelola menjadi medium kultural yang dapat menjadi sarana
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
lingkungan sosial suatu bentuk upacara keagamaan; (3) interaksi para peserta
suatu bentuk upacara keagamaan; (4) pertunjukkan bentuk upacara keagamaan
itu sendiri; dan (5) masa atau waktu bentuk upacara keagamaan itu.
Setelah data semua terkumpul dan dianalisis, lalu selanjutnya
disampaikan dalam sebuah laporan penelitian. Laporan ini terdiri dari
pendahuluan, deskripsi latar belakang sosial-budaya wilayah penelitian di mana
upacara keagamaan menjadi fokus penelitian, deskripsi tradisi ritual itu sendiri,
dan selanjutnya analisis tentang praktik sinkretisme khususnya Islam di dalam
tradisi ritual tersebut serta nilai-nilai moderasi beragama yang terdapat pada
upacara keagamaan tersebut. Pada bagian deskripsi upacara keagamaan, tentu
saja ada sebagian atau keseluruhan upacara keagamaan tersebut, yang
sebaiknya ditranskripsi. Transkripsi ini dapat menjadi bukti dalam analisis-
analisis dan pembuktian dalam bagian nilai-nilai budaya dan agama di dalam
upacara keagamaan tersebut.
Untuk mendapatkan data penelitian, maka peneliti menggunakan
wawancara mendalam, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan perpanjangan keikutsertaan, ketekunan
pengamatan dan triangulasi teori dan wawancara untuk menentukan keabsahan
penelitian yaitu dengan menggunakan beberapa perspektif yang berbeda untuk
mengintepretasikan data yang sama. Konsep yang digunakan tidak hanya
menggunakan konsep komunikasi dengan fokus pada komunikasi kelompok
dan upacara keagamaan sebagai kajian utama penelitian ini dan digunakan
konsep-konsep tentang komunitas adat, upacara keagamaan dan sinkretisme.
HASIL TEMUAN
Ada 6 (enam) tradisi ritual keagamaan dari 6 (enam) lokasi penelitian yang
menjadi obyek kajian seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Pertama,
kajian yang dilakukan Novita Siswayanti tentang tradisi maulid dan Rebo
Wekasan di Karadenan, Bogor. Karadenan Kaum adalah kampung yang
masyarakatnya homogen beragama Islam. Secara silsilah mereka keturunan
Kerajaan Padjajaran yang mana nama mereka di depannya memakai trah
„raden‟. Masyarakat Karadenan Kaum berpegang teguh pada ajaran Islam
dan tetap menjaga melestarikan warisan leluhur baik itu tradisi maupun benda
pusaka. Bagi Masyarakat Karadenan Islam bersinkretis dengan Sunda, agama
dengan budaya satu sama lain terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan. Namun
tetap memisahkan dan membedakan antara agama dengan budaya. Agama
sebagai sumber moral dan mempengaruhi nilai dan budaya manusia.
Sinkretisme Islam Sunda ditengahi dalam ruang ketiga yaitu moderasi
beragama. Memaknai ekspresi tradisi keagamaan Maulid Nabi Muhammad
sebagai sikap moderat penuh toleran.
Dalam rangkaian upacara keagamaan Maulid Nabi terdapat kegiatan
panjemasan keris/memandikan keris. Keris benda pusaka peninggalan leluhur
masyarakat Karadenan yang patut dijaga keberadaannya dari kerusakan. Secara
rutin setiap malam Maulid Nabi Muhammad masyarakat Karadenan
menyelenggarakan ritual pembersihan keris yang diiringi dengan bacaan
shalawat Nabi Muhammad. Selain itu dalam upacara Maulid Nabi terdapat
asyraqal menggunting rambut bagi dalam ajaran Islam sebagai aqiqah yang
diadakan saat bayi usia 7 hari, namun asyraqal di Karadenan mengakomodasi
budaya Karadenan. Maulid Nabi juga sebagai perwujudan rasa syukur
7
8
Karadenan atas karunia Allah serta bersedekah bagi kepada sesama dengan
menyajikan makanan yang dihias dengan dondang khas Sunda.
Peringatan Maulid Nabi di Karadenan tidak hanya sebagai tradisi leluhur
yang tetap dilestarikan, tetapi juga sebagai objek wisata religi yang secara besar-
besaran diikuti oleh pengunjung dari berbagai wilayah. Peringatan Maulid Nabi
melibatkan partisipasi seluruh masyarakat Karadenan dalam menyukseskan
acara tersebut. Dalam perilaku beragama masyarakat Karadenan bersikap
moderat; bertoleransi dalam beragama dan memelihara nilai-nilai kearifan
leluhur kebersamaan, kebangsaan, kemanusiaan dan gotong royong. Ritual
keagamaan Maulid Nabi ada kegiatan dondang menyediakan beragam makanan.
Dondang tradisi khas Sunda menyajikan makanan pada satu tempat yang
dibagikan dan dimakan bersama-sama.
Kedua, tradisi nadran di kota Cirebon yang dikaji oleh Nurrahmah sebagai
sebuah tradisi yang mengkolaborasikan antara agama dan budaya dan
melahirkan tradisi baru. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk syukur para
masyarakat terutama para Nelayan terhadap berkah rezeki yang diberikan dari
laut berupa mata pencaharian dan hasil laut, seraya berharap agar pada tahun-
tahun mendatang rezeki mereka semakin berlimpah dan dijauhakan dari segala
musibah dan bahaya. Inti dari tradisi ini adalah dengan melarung sesaji yang
dipersembahkan untuk penguasa laut. Bagi sebagian masyarakat yang disebut
penguasa laut adalah Nabi Khaidir, sebagian lagi menyebutnya sebagai Sang
Hyang Baruna, dan sebagian lagi menyebutnya sebagai Allah Tuhan Yang Maha
Kuasa. Sebelum dan sesudah melarung sesaji, ada beberapa ritual yang
dilakukan, diantaranya adalah ritual tahlilan, slametan, pagelaran wayang,
ruwatan dan lainnya. Diantara bentuk sesajinya adalah kepala kerbau,
kemenyan, kembang setaman, jajanan pasar, bubur merah dan putih serta hasil
bumi dan laut.
Dalam sesajen yang disajikan terdapat makna yang sangat mendalam yang
mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat yang damai,
harmonis, moderat dan toleran. Misalnya dalam unsur bubur merah dan putih,
terdapat pesan keseimbangan hidup, bahwa hidup harus seimbang antara
jasmani dan rohani, antara kepentingan individual dan komunal, antara zahir
dan batin. Demikian juga dalam symbol kepala kerbau terdapat pesan toleransi,
yakni jangan merusak symbol-simbol agama lain. Sebagaimana diketahui
bahwa masyarakat memilih kepala kerbau bukan kepala sapi karena sapi adalah
hewan suci yang sangat dihormati oleh penganut ajaran Hindu. Demikian juga
dengan symbol jajanan pasar terdapat pesan perekat persaudaraan, bahwa
dalam bermasyarakat kita harus saling mengikat tali persaudaraan dan
persahabatan agar kehidupan bermasyarakat semakin harmonis. Sedangkan
symbol kembang mengandung pesan bahwa kita harus mengharumkan nama
baik seseorang dengan cara menjunjung tinggi kebaikannya dan memaafkan
segala kesalahannya. Inilah modal social yang dibutuhkan agar tercipta
kehidupan masyarakat yang lebih damai, harmonis, moderat dan toleran.
Ketiga, Mahmudah Nur mengkaji tentang tradisi ritual ngareremokeun di
Kasepuhan Cisungsang. Rangkaian upacara Seren Taun di Kasepuhan
Cisungsang memainkan peranan yang sangat penting sebagai salah satu sarana
yang mampu mengintegrasikan berbagai perbedaan pandangan yang semakin
kompleks di tengah-tengah masyarakat modern. Ritual ngareremokeun sebagai
salah satu tahapan rangkaian acara seren taun menjadi bukti sumber
8
9
9
1
1
1
sebuah negara agama, tetapi tidak juga memisahkan agama dari kehidupan
sehari-hari warganya. Indonesia, negeri yang sangat agamis meski bukan
negara agama. Bangsa Indonesia adalah beragama dan mengajarkan agama
yang ramah, toleran dan menghargai keragaman. Pancasila adalah cermin asli
Indonesia.
Indonesia dengan kemajemukan dan keberagamaanya, baik agama, suku
dan bahasa memiliki akar kultural yang cukup kuat dan juga memiliki modal
sosial sebagai landasan moderasi beragama. Indikator nilai moderasi yang
digunakan dalam kajian ini merujuk indikator yang telah disusun oleh
Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Kementerian Agama.
Indikator moderasi beragama yaitu; komitmen kebangsaan, toleransi, anti-
kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. (Badan Litbang dan
Diklat, 2019; 43)
Pertama, Komitmen kebangsaan dalam tradisi ritual kegamaan yang
dikaji terlihat dari sikap dan perilaku para pelaku tradisi. Di Karadenan, Bogor
peringatan Maulid Nabi Muhammad sebagai salah satu cerminan jati diri
bangsa sebagai bangsa yang agamis mesti bukan negara agama. Dalam
peringatan Maulid Nabi menumbuhkan rasa cinta kepada tanah air dengan
merawat jejak tinggalan leluhur dalam hal ini benda pusaka, menampilkan
atribut Kerajaan Padjajaran sebagai bagian dari sejarah bangsa,
mempertunjukkan kesenian khas Nusantara dalam alunan musik rebana dan
shalawat, menyajikan berbagai makanan khas Sunda dalam bingkisan bongsang
dan dondang, menyelenggarakan Maulid Nabi dengan penuh kebersamaan dan
kekeluargaan, menggunting rambut bayi sebagai tradisi asyraqal yang diiringi
dengan pembacaan shalawat dan tradisi saweran khas Nusantara.
Peringatan Maulid Nabi sebagai pengaplikasian terhadap keteladanan
Rasulullah menjadi sumber nilai dan moral yang secara substansi mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai kepribadian Rasulullah yang
dilantunkan dalam rawi barzanji mengajarkan nilai kebaikan yang mewarnai
dan watak budaya bangsa yang ramah, rukun dan cinta damai. Sedangkan
dalam tradisi nadran dan sedekah bumi di Depok, komitmen kebangsaaan
terlihat dari keyakinan mereka menjalankan tradisi tersebut. Kecintaan pada
budaya bangsa yang diwariskan oleh para nenek moyang terdahulu menjadi
faktor utama dalam pelestarian tradisi nadran di Cirebon.
Tradisi keagamaan suroan sebagai salah satu cerminan jati diri bangsa
sebagai bangsa yang agamis mesti bukan negara agama. Jati diri bangsa yang
berkebhinnekaan dan berpegang teguh dari tali paranti leluhur yaitu bangga
akan identitas kebangsaan atau kesundaan yang sepatutnya dimiliki oleh
seluruh orang Sunda. Pada tradisi suroan masyarakat adat Cireundeu
berkumpul di Bale adat Bale Sarasehan, mereka memakai pakaian adat khas
Sunda bagi laki-laki memakai pakaian pangsi dan perempuan baju toro. Mereka
tetap berkomitmen mengonsumsi rasi nasi singkong warisan leluhur. Mereka
melaksanakan tradisi damar wulan membakar obor dengan didahului
pembakaran dupa sebahai wujud persaudaraan dan persatuan kebhinnekaan
diantara mereka. Mereka melakukan ngajayat berkeliling kampung sebagai
perwujudan kebersamaan dan kegotongroyongan diantara mereka. secara
berarak-arak mereka berkeliling kampung; ada yang membawa gunungan nasi
rasi, hasil bumi, ada yang berpakaian adat sambal memainkan alat musik
1
1
tradisional. Mereka memecahkan kendi yang berisi air dengan daun hanjuang
sebagai lambang cinta tanah air.
Komitmen kebangsaan dalam ritual ngareremokeun dan nyiramkeun
pusaka terlihat dari para pelakunya. Di Kasepuhan Cisungsang, masyarakat
adatnya menganggap bahwa keterlibatan mereka di dalam sebagai bentuk
berbakti dan ketaatannya kepada pemimpin adat (Abah Usep) dan terutama
kepada leluhur. Seperti dikemukakan Nenek Nar, paraji yang membawa
sawean mengelilingi leuit, “tugas ini Nenek (Nar) jalanin dengan ikhlas karena
Allah, (bakti) ke Abah. Itu kewajiban Nenek, keikhlasan Nenek. Kita bisa seperti
ini ya karena kepercayaan dari Kasepuhan”. (wawancara, 20 Agustus 2020)
Masyarakat Kasepuhan Cisungsang kerap memaknai filosofi ini dalam
konteks kehidupan modern berbangsa dan bernegara saat ini dengan
pernyataan, bahwa baik aturan adat, ajaran dan praktik agama, harus dalam
bingkai kehidupan bernegara Indonesia, yang memiliki aturan hukum yang
harus diikuti dan ditaati. Artinya, bahwa sejak dalam filosofi merekapun,
komitmen untuk menjunjung keberadaan Negara Republik Indonesia dengan
berbagai perangkat hukumnya sudah terpatri. Hampir sama dengan perangkat
yayasan Talaga Manggung bahwa mereka berkeyakinan walaupun mereka
adalah keturunan kerajaan Talaga Manggung yang pernah berdiri di
Majalengka pada masa lalu, tapi mereka tetap mematuhi semua peraturan
negara yang ditetapkan. Contohnya pelaksanaan ritual nyiramkeun pusaka
pada masa pandemi ini, mereka harus meminta izin ke pihak terkait. Jika
diizinkan, maka mereka akan melakukannya, tapi jika tidak, mereka juga akan
tetap melakukannya, dengan orang-orang tertentu saja tanpa membuat
kerumunan.
Kedua, akomodatif dengan budaya lokal. Muslim Indonesia selalu hidup
dinamis dan terus berkembang terlebih lagi bersentuhan dengan berbagai
tradisi dan budaya setempat. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara
Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia
hidup. Perbedaan keberagamaan muslim Sunda sesungguhnya bukan pada
otentisitas, tapi lebih pada cara pandang pemeluk muslim terhadap teks kitab
suci agamanya. Bagaimana kitab suci itu dibaca dan berdialog dengan kasus
aktual dan tradisi setempat. Saling menyapa ini membentuk sikap akomodatif
dan arif terhadap budaya lokal yang karena kreatifitas terbangun berbagai
budaya yang terkspresikan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat
Sunda.
Demikian halnya prinsip dakwah yang dilakukan oleh Raden Syafii leluhur
Karadenan. Raden Syafii salah seorang murid Sunan Gunung Djati yang
mengakomodasi budaya lokal Karadenan. Masyarakat Karadenan masih
percaya terhadap perhitungan hari baik atau hari buruk. Raden Syafii
menyikapinya dengan berdoa kepada Allah agar dijaga dan dilindungi dari hari
buruk yang dapat mendatangkan malapetaka. Demikian halnya dengan tradisi
keagamaan di Karadenan setiap rebo Wekasan bahkan setiap hari Kamis di
Bulan Safar sebelum Rebo Wekasan diadakan bebaritan. Bebaritan berziarah
kubur hadiah puji kepada leluhur disertai dengan selamaten makan bersama
untuk menolak bala. Pada Rebo Wekasan mereka berdoa ke delapan penjuru
arah mata angin mohon keselamatan dari segala penyakit dan musibah.
Sedangkan masyarakat adat Kampung Cireundeu hidup dinamis dan terus
berkembang terlebih lagi bersentuhan dengan berbagai tradisi dan budaya
1
1
setempat. Mereka menganut ajaran Sunda Wiwitan yang dibawa oleh Pangeran
Madrais Cigugur namun hakikatnya mereka menerapkan nilai-nilai keagamaan
yang bernilai Islam. Pangeran Madrais dalam kisahnya adalah penyebar Islam
kemudian melahirkan ajaran baru yang dinamai Sunda Wiwitan.
Tidak bisa dijelaskan tahun berapa Islam masuk di Cisungsang, hanya saja
menurut keterangan Aki Abas doa-doa bernuansa Islam dalam ritual adat di
cisungsang (menyebut Syech Abdul Khadir Jailani sudah ada sejak lama), sejak
generasi pertama dari kasepuhan Cisungsang. Pada masa itulah diperkirakan
terjadinya perpaduan antara sentuhan Hindu Budha dan Islam yang
berkembang di Cisungsang. Islam menggeser pengaruh Hindu Buddha
(kepercayaan kepada ruh dan batu) secara perlahan, kemudian
memperpadukannya dalam doa-doa bernuansa Islam pada praktik keagamaan
serta penyebutan kepada Kanjeng Nabi (Muhammad) dan Gusti Allah (Allah
Swt) dibarengi dengan lafadz berbahasa Sunda yang doanya tidak dituliskan,
namun diwariskan secara lisan dan turun-temurun. Dalam hal doa, adanya
pengaruh Hindu Budha (kepercayaan kepada Ruh) dan kepercayaan kepada
Ulama Islam seperti Syech Abdul Khadir Jailani, penyebutan Nabi Muhammad
dan Gusti Allah Swt memperlihatkan perpaduan agama dan pergeseran
kepercayaan tanpa terjadinya bentrokan atau perpecahan.
Sama halnya dengan perangkat yayasan Talaga Manggung, walaupun
mereka beragama Islam, tetapi tetap saja mereka melakukan tradisi
nyiramkeun pusaka. Menurut bapak Apun sebagai ketua yayasan Talaga
Manggung tidak mengetahui sejak kapan tradisi nyiramkeun pusaka
memasukkan unsur-unsur agama Islam seperti tawasulan sebagai bentuk
mencari keberkahan dalam ritual tersebut. Doa-doa yang diucapkan juga
menggunakan bahasa Arab yang dicampur dengan bahasa Sunda sebagai
bahasa yang digunakan sehari-hari. Tawasulan menjadi bukti bahwa tradisi
nyiramkeun pusaka adalah tradisi yang dilakukan sebelum Islam datang dan
beradaptasi secara damai tanpa menghilangkan unsur-unsur agama
sebelumnya.
Ketiga, toleransi beragama dimaknai sebagai sebuah sikap saling
menghargai dan menghormati pandangan hidup orang lain. Mereka toleran
membolehkan atau membiarkan orang lain menjadi diri mereka sendiri dan
bukan keinginan untuk mempengaruhi orang lain menjadi diri mereka atau
mengikuti ide mereka. Sikap toleran tumbuh dengan dialog saling
mengomunikasikan dan menjelaskan perbedaan serta ada saling pengakuan.
(Yayasan Literasi Kita Indonesia, 2019: 80) Keempat, Toleransi dalam
Moderasi Beragama. Masyarakat Kampung Cireundeu bervariasi 30%
masyarakatnya masih berpegang pada adat leluhur karuhun dan menganut
ajaran Sunda Wiwitan, sedangkan 70% masyarakatnya muslim. Walau mereka
berbeda keyakinan mereka bersaudara satu keturunan hidup dan tinggal di
Kampung Cireundeu. Mereka tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan
dalam berinteraksi maupun berkomunikasi antarsesama. Dalam kehidupan
beragama mereka toleran saling menghargai dan menghormati keyakinan dan
kepercayaan masing-masing. Mereka bebas menjalankan ritual keagamaan
sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Dalam tradisi keagamaan Suroan sikap toleransi dalam beragama diantara
mereka terlihat dalam berbagai kegiatan. Tradisi Suroan sebagai tradisi leluhur
Cireundeu dihadiri oleh seluruh masyarakat Cireundeu baik adat maupun
1
1
muslim. Mereka ber musyawarah untuk mufakat dan terlibat langsung dalam
menyukseskan tradisi Suroan. mereka mengikuti rangkaian acara Suroan sesuai
dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing; masyarakat adat berdoa
sesuai adat karuhun dan masyarakat non adat atau muslim berdoa sesuai
dengan tatacara Islam. Muslim Cireundeu ikut makan nasi singkong
menghargai makanan pokok masyarakat adat. Muslim Cireundeu juga
memahami jika masyarakat adat pantang makan nasi beras. Masyarakat adat
Cireundeu membakar dupa mengundang karuhun hadir dalam upacara Suroan,
muslim Cireundeu menghormati keyakinan mereka.
Salah satu contoh terlihat di masyarakat Karadenan dalam menghargai
keputusan setiap individu menyikapi warisan leluhurnya. Pada saat panjemasan
keris di perayaan Maulid Nabi tidak ada paksaan untuk masyarakat Karadenan
mengikuti ritual tersebut; diantara mereka ada yang turut serta dalam upacara
penyucian keris dan ada yang hanya hadir pada acara pembacaan shalawat Nabi.
Ritual panjemasan keris dilaksanakan mulai jam 22 malam, sebelumnya setelah
shalat Isya dilakukan pembacaan rawi barzanji shalawat Nabi saw. Walaupun
demikian masyarakat Karadenan tetap toleran menerima segala perbedaan
yang ada, menghargai sikap mereka yang tidak ikut serta dalam panjemasan
keris.
Pemilihan kepala kerbau dalam tradisi nadran di Cirebon ketimbang
kepala sapi adalah untuk menghormati tradisi agama Hindu yang menganggap
sapi adalah hewan yang suci, sehingga demi menjaga kehormatan dan tradisi
agama lain, masyarakat Cirebon pada masa lalu memilih kepala kerbau untuk
dilarung di laut. Hal ini menunjukkan bahwa dari sejak awal, masyarakat
Cirebon sangat toleran terhadap agama lain dan sangat menghormati simbol-
simbol agama lain. Sedangkan dalam tradisi nyiramkeun pusaka bahwa
keikutsertaan kuncen dan perangkat yayasan Talaga Manggung dalam prosesi
nyiramkeun pusaka adalah bentuk berbakti dan ketaatan kepada leluhurnya.
Tanggapannya seperti ini;
”Jadi begini, kalau untuk itu kembali kepada keyakinan masing-
masing. Kami sendiri tidak pernah meminta dia untuk mengambil air
dan digunakan untuk mencuci wajah dan lain-lain, kembali kepada
keyakinan masing-masing. Kebanyakan (juga) memang orang dari
luar daerah yang kunjungan ke sini. Nah itu kembali lagi ke
keyakinannya, kalau orang sini memang tidak. Kalau kami hanya
menjalankan tradisi yang sudah dilakukan oleh para leluhur, sebagai
bakti dan ketaatan kepada mereka.”
Masyarakat Kasepuhan Cisungsang juga sangat menjunjung tinggi
toleransi kepada siapapun masyarakat adat untuk memeluk agama dan
mengamalkan ajaran agamanya dengan taat. Tak pernah mereka mengklaim
bahwa aturan adat lebih tinggi dari ajaran agama atau aturan adat bid‟ah karena
tidak sejalan dengan ajaran agama. Pada saat mereka harus melaksanakan
ibadah sesuai ajaran agama, mereka melaksanakannya dengan tata cara yang
diajarkan sesuai syariat agama. Pada saatnya mereka melakukan upacara adat,
mereka melaksanakannya dengan penuh khidmat dan tidak meninggalkan
kewajiban sebagai pemeluk agama.
Ketiga, Anti kekerasan. Masyarakat Cireundeu terdiri dari masyarakat
adat dan muslin yang hidup saling rukun damai dan tentram. Dalam tradisi
1
1
1
1
1
1
keagamaan yang unik sebagai tinggalan warisan budaya yang patut dijadikan
sebagai wisata religi dan pelestarian cagar budaya.
4. Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama agar membuat 1) buku
pengayaan tetang penguatan moderasi beragama yang ada dalam tradisi
ritual keagamaan bagi mahasiswa/I atau siswa/I di perguruan tinggi maupun
di Madrasah sebagai bentuk pengemasan ulang agar lebih bisa difahami oleh
masyarakat pada umumnya. 2) Pembuatan video dokumenter tentang tradisi
ritual keagamaan sebagai media bahan ajar di perguruan tinggi/ madrasah.
PENUTUP
Berdasarkan hasil temuan di enam (6) wilayah yang menjadi locus penelitian
menunjukkan nilai-nilai moderasi beragama yang mengacu kepada empat (4)
indikator, yaitu komitmen kebangsaan, akomodatif, anti kekerasan dan
toleransi.
Selain itu, tradisi ritual keagamaan yang menjadi obyek kajian juga memainkan
peranan yang sangat penting sebagai salah satu sarana yang mampu
mengintegrasikan berbagai perbedaan pandangan yang semakin kompleks di
tengah-tengah masyarakat modern. Oleh karena itu, tradisi ritual keagamaan
yang menjadi obyek kajian dapat menjadi medium penguatan modal sosial
pembangunan agama di Indonesia. Selain nilai-nilai moderasi, tradisi ritual
keagamaan di enam (6) wilayah juga mengandung nilai-nilai karakter bangsa
yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran baik di sekolah tingkat dasar,
menengah, menengah atas dan perguruan tinggi.
Moderasi beragama juga terepresentasikan dari tahapan persiapan,
pelaksanaan dan penutup tradisi ritual keagamaan yang ada di enam (6)
wilayah lokasi penelitian. Salah satu contoh sesajen yang disajikan dalam rituan
nadran di Cirebon terdapat makna yang sangat mendalam yang mampu
memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat yang damai, harmonis,
moderat dan toleran. Tersedianya bubur merah dan putih dalam ritual tersebut
mempunyai makna pesan keseimbangan hidup, bahwa hidup harus seimbang
antara jasmani dan rohani, antara kepentingan individual dan komunal, antara
zahir dan batin. Demikian juga dalam simbol kepala kerbau terdapat pesan
toleransi, yakni jangan merusak simbol-simbol agama lain. Sebagaimana
diketahui bahwa masyarakat memilih kepala kerbau bukan kepala sapi karena
sapi adalah hewan suci yang sangat dihormati oleh penganut ajaran Hindu.
Demikian juga dengan simbol jajanan pasar terdapat pesan perekat
persaudaraan, bahwa dalam bermasyarakat kita harus saling mengikat tali
persaudaraan dan persahabatan agar kehidupan bermasyarakat semakin
harmonis. Sedangkan simbol kembang mengandung pesan bahwa kita harus
mengharumkan nama baik seseorang dengan cara menjunjung tinggi
kebaikannya dan memaafkan segala kesalahannya. Inilah modal social yang
dibutuhkan agar tercipta kehidupan masyarakat yang lebih damai, harmonis,
moderat dan toleran.
1
1
DAFTAR PUSTAKA
Faiqah, Nurul dan Toni Pransiska. 2018. “Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam:
Upaya Membangun Wajah Islam Indonesia Yang Damai. Al-Fikra: Jurnal
Ilmiah Keislaman, Vol. 17, No. 1, Januari – Juni, 2018.
Mashadi. 2013. “Konteks dan Corak Mistisisme Islam dalam Tradisi Keagamaan
Masyarakat Gorontalo.” Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Volume 17
Nomor 2, Desember.
Hasbullah, Toyo, dan Awang Azman Awang Pawi. 2017. “Ritual Tolak Bala pada
Masyarakat Melayu: Kajian pada Masyarakat Petalangan Kecamatan
Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan).” Jurnal Ushuluddin, Vol. 25, No.
1, Januari-Juni 2017.
Miharja, Deni. 2013. “Tradisi Wuku Taun sebagai Bentuk Integrasi Agama
Islam dengan Budaya Sunda pada Masyarakat Adat Cikondang.” El
Harakah Vol. 15, No. 1 tahun 2013.
Hafil, Ach. Shodiqil. 2016. “Komunikasi Agama dan Budaya: Studi atas Budaya
Kompolan Sabellesen Berdhikir Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di
Bluto Sumenep Madura.” Al-Balagh, Vol. 1, No. 2, Juli-Desemeber 2016.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Agama. 2019.
Moderasi Beragama. Jakarta: Kementerian Agama.
Sila, Muhammad Adlin. 2015. Maudu’: A Way of Union with God Islam.
Australia: ANU Press.
Bhaba, Homi. K. 1994. The Location of Culture. Unites Kingdom: Routledge.
Abdullah, Irwan, dkk. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan
Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
1
1