Khutbah ialah salah satu metode dakwah, yang serupa dengan ceramah-ceramah yang biasa
digelar dalam tabligh akbar dan semacamnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa khutbah memiliki ciri khas dalam hal ini dari segi
rukun dan syarat khutbah.
Identik khutbah dengan ritual keagamaan misalnya pada saat shalat jum’at, shalat ied atau
shalat istisqo, yang pelaksanaan digelar khutbah, baik sebelum atau sesudah shalat.
Dan khutbah mempunyai rukun dan syarat yang perlu dipenuhi dalam pelaksanaannya. Agar
dapat dikatakan sebagai khutbah yang sah,
Maka ada yang dikenal dengan khatib dimana bertugas untuk memenuhi rukun-rukun
khutbah. Bila tidak terpenuhi maka khutbah tersebut tidak sah.
Di Negara kita yakni di Indonesia, terkadang masih terdapat beberapa khatib yang tidak
melengkapi rukun saat menyampaikan khutbah. Ketika dibiarkan dapat menyebabkan
khutbah menjadi tidak sah. idak hanya itu, khutbah juga memiliki tiga pengertian atau
definisi yang dibedakan atas beberapa segi.
Misalnya dalam pengertian khutbah yang pertama, dimana yang dimaksud dengan khutbah
dari segi bentuknya adalah berbentuk prosa dan bersajak,
Akan tetapi pengertian ini terlalu sempit, sebabnya hanya orang arab yang mengartikannya
seperti itu.
Sedangkan realitanya, khususnya yang dapat disaksikan di negarar kita, Indoneia dimana
khutbah sudah tidak ada lagi yang bersajak seperti puisi.
Tetapi pengertian ini telah menggambarkan bentuk khutbah yang seharusnya, sebabnya
khutbah berasal dari bahasa arab.
Sedangkan pengertian khutbah dari segi isinya, dimana definisi khutbah adalah tersusun dari
beberapa bagian, secara umum ada bagian pembukaan, isi, dan penutup.
Dan dalam pengertian ini dikatakan bahwa esensi dari sebuah khutbah adalah mengandung
nasehat bertujuan untuk mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat
baik serta untuk mencegah berbuat mungkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
B. Pokok-Pokok Isi Khutbah
Adapun pokok isi dari khutbah ialah:
Menurut al Bajuri dari Madzhab Syafi’i, bahwa terdapat lima rukun khutbah
(pokok-pokok) yaitu hamdalan, shalawat Nabi, anjuran bertakwa, bacaan al Qur’an
pada salah satu diantara 2 khutbah serta doa untuk kaum muslimin pada kedua.
Sedangkan untuk Madzhab Hanbali menyampaikan bahwa terdapat 4 empat, yaitu
lima hal di atas kecuali doa untuk kaum muslimin.
Beda halnya dengan Madzhab Maliki, yang menyampaikan bahwa untuk isi pokok
khutbah hanya satu saja, yaitu anjuran meningkatkan kesadaran beragama.
Madzhab Hanafi juga hanya satu saja, ialah asal khutbah itu mengandung dzikir
yaitu menyebut asma Allah.
Selain itu, menurut pendapat yang disampaikan oleh Tata Sukayat, secara umum struktur dari
teks khutbah yang ideal sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah:
Dengan mengucapkan hamdalah serta puji-pujian kepada Allah SWT
Terdapat permintaan pertolongan kepada-Nya
Berisi suatu permohonan ampunan kepada-Nya
Memohon perlindungan kepada-Nya
Membaca 2 kalimat syahadat
Membaca shalawat kepada Nabi SAW
Wasiat takwa
Memberikan peringatan, mengabarkan kabar gembira kepada ummatnya yang taat
dan memberi ancaman bagi mereka yang sesat.
Selain itu memberikan nasehat keagamaan dan kemasyarakatan; serta lainnya.
C. Syarat Khutbah
Dalam khutbah misalnya khutbah jumat dilaksanakan, diawali dengan diadakan khutbah.
Untuk orang yang berkhutbah disebut dengan khatib.
Untuk menjadi seorang khatib atau yang berkhutbah itu tidaklah mudah, sebab terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuh. Adapun syarat-syarat dari untuk menjadi khatib ialah:
Paham dengan benar ajaran agama Islam
Paham seluk beluk khutbah, baik mengenai syarat, rukun dan sunat-sunatnya
Dapat menyampaikan dan berbicara di public dengan jelas, santun dan gampang
dipahami pendengar
Dewasa/baligh dan dapat menjauhkan diri dari berbagai macam dosa baik yang
sifatnya kecil apalagi yang besar
Mempunyai ilmu keislaman yang mumpuni dan shaleh
Seorang khatib harus mengerti dan paham syarat-syarat dua khutbah Jum’at yaitu:
Memenuhi syarat dimana khatib harus suci dari hadas dan najis serta menutup
aurat
Khutbahnya dimulai pada waktu setelah matahari tergelincir atau sudah masuk
waktu dzuhur
Khotib berdiri ketika kuasa pada waktu berkhutbah
Khotib harus melakukan duduk diantara kedua khutbah
Khutbahnya disampaikan dengan suara lantang, bahasa yang baik dan halus, kata-
katanya yang fasih, lancar, teratur, ungkapannya mudah dimengerti sehingga dapat
menyentuh jiwa dan perasaan.
Tertib yaitu berturut-turut dalam rukun-rukunnya maupun antara khutbah
pertamadan khutbah ke dua.
Apabila menjadi khatib, juga harus memahami tentang sunat khutbah jum’at. Sunat khutbah
jum’at antara lain:
Khutbah dilakukan saat di atas mimbar atau di tempat yang ditinggikan dan
tempatnya di sebelah kanan tempat imam (pengimaman).
Khatib mengawali dengan mengucapkan salam, setelah itu selanjutnya duduk dan
mendengarkan adzan dari muadzin.
Khatib dalam berkhutbah harus jelas, gampang dipahami, dan khutbahnya sedang
ialah tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.
Khatib menghadap ke jamaah dan tidak berputar-putar.
Menertibkan 3 rukun dengan memanjatkan puji-pujian, shalawat dan nasihat
taqwa.
D.Rukun Khutbah
Salah satu syarat sah pelaksanaan shalat Jumat adalah didahului dua khutbah. Ritual khutbah
dilakukan sebelum shalat Jumat dikerjakan.
Khutbah Jumat dilakukan 2 kali, di antara khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.
Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan
menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta
berkesinambungan (muwâlah). Berikut ini lima rukun khutbah Jumat beserta penjelasannya.
1. Memuji Kepada Allah di kedua khutbah
Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang
satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam
kata “Allah” tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang
lain. Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh” “nahmadu lillâh”, “lillahi al-
hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”. Contoh pelafalan yang salah misalkan
“asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân
(karena tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”).
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
Artinya: “Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh
hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-
Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu
lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-
Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011,
juz.4, hal. 246)
Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan lafadh yang satu akar kata
dengannya. Sementara untuk asma Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama
“Muhammad”, seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-
lain.
Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak boleh menggunakan isim
dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya.
Sementara menurut pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir.
Contoh membaca shalawat yang benar “ash-shalâtu ‘alan-Nabi”, “ana mushallin ‘alâ
Muhammad”, “ana ushalli ‘ala Rasulillah”.
Contoh membaca shalawat yang salah “sallama-Llâhu ‘ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu
Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu ‘alaihi”
(karena menggunakan isim dlamir).
Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:
Artinya: “Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa
as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi
wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011,
juz.4, hal. 248).
Ikhtilaf ulama mengenai keabsahan membaca shalawat Nabi dengan kata ganti (isim dlamir)
dijelaskan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi sebagai berikut:
Artinya: “Mengecualikan sallama-Llâhu ‘alâ Muhammad, rahima-Llâhu Muhammadan dan
shallâhu ‘alaihi, maka yang terakhir ini tidak mencukupi menurut pendapat al-mu’tamad
(kuat), berbeda dari ulama yang menilai cukup, meskipun didahului marji’nya dlamir.
Pendapat al-mu’tamad tersebut senada dengan pendapatnya Syaikhul Islam Zakariyya al-
Anshari, Syekh al-Khathib, Syekh al-Ramli dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat lemah
yang mencukupkan penyebutan dlamir adalah pendapat sekelompok ulama Yaman, di
antaranya Syekh Ahmad bin Muhammad al-Nasyiri dan Syekh Husain bin Abdurrahman al-
Ahdal.” (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011 M,
juz IV, hal. 249).
Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah
setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti
“Athi’ullaha, taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”,
“inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu
daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan.
Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:
Artinya: “Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya
menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan
berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah
mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian
kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai
pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala
tipu dayanya menurut kesepakatan ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala
Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219)
Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat al-Qur’an yang dapat
memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan
janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya.
Seperti contoh:
Artinya: “Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-
orang yang jujur”. (QS. at-Taubah: 119).
Tidak mencukupi membaca potongan ayat yang tidak dapat dipahami maksudnya secara
sempurna, tanpa dirangkai dengan ayat lainnya. Seperti:
Artinya: “Kemudian dia memikirkan” (QS. Al-Muddatsir ayat 21).
Membaca ayat al-quran lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama.
Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
Artinya: “Rukun keempat adalah membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang
dapat dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita.
Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau “abasa” karena tidak memberikan
kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah
pertama dari pada ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding
keberadaan doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha,
I’anatut Thalibin, juz.2, hal.66, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).
Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat disyaratkan isi kandungannya mengarah
kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau
menyelematkan kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah
ampunilah kaum muslimin dan muslimat”.
Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allâhumma a’thinâ
mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”.
Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
Artinya: “Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin,
meski tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra’i, meski
dengan kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga
engkau menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin,
doa tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh
Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa
tahun, juz.2, hal.66).
Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha menambahkan:
Artinya: “Ucapan Syekh Zainuddin, berdoa yang bersifat ukhrawi, maka tidak cukup urusan
duniawi, meski khatib tidak hafal doa ukhrawi. Imam al-Ithfihi mengatakan, sesungguhnya
doa duniawi mencukupi ketika tidak hafal doa ukhrawi karena disamakan dengan persoalan
yang lalu terkait kondisi tidak mampu membaca surat al-fatihah, bahkan dalam persoalan
ini lebih utama”. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin,
Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).