Anda di halaman 1dari 9

KELOMPOK 3

Naufal Aditya Prayoga


162020042
KHUTBAH
A.Pengertian khutbah

Khutbah ialah salah satu metode dakwah, yang serupa dengan ceramah-ceramah yang biasa
digelar dalam tabligh akbar dan semacamnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa khutbah memiliki ciri khas dalam hal ini dari segi
rukun dan syarat khutbah.
Identik khutbah dengan ritual keagamaan misalnya pada saat shalat jum’at, shalat ied atau
shalat istisqo, yang pelaksanaan digelar khutbah, baik sebelum atau sesudah shalat.
Dan khutbah mempunyai rukun dan syarat yang perlu dipenuhi dalam pelaksanaannya. Agar
dapat dikatakan sebagai khutbah yang sah,
Maka ada yang dikenal dengan khatib dimana bertugas untuk memenuhi rukun-rukun
khutbah. Bila tidak terpenuhi maka khutbah tersebut tidak sah.
Di  Negara kita yakni di Indonesia, terkadang masih terdapat beberapa khatib yang tidak
melengkapi rukun saat menyampaikan khutbah. Ketika dibiarkan dapat menyebabkan
khutbah menjadi tidak sah. idak hanya itu, khutbah juga memiliki tiga pengertian atau
definisi yang dibedakan atas beberapa segi.
Misalnya dalam pengertian khutbah yang pertama, dimana yang dimaksud dengan khutbah
dari segi bentuknya adalah berbentuk prosa dan bersajak,
Akan tetapi pengertian ini terlalu sempit, sebabnya hanya orang arab yang mengartikannya
seperti itu.
Sedangkan realitanya, khususnya yang dapat disaksikan di negarar kita, Indoneia dimana
khutbah sudah tidak ada lagi yang bersajak seperti puisi.
Tetapi pengertian ini telah menggambarkan bentuk khutbah yang seharusnya, sebabnya
khutbah berasal dari bahasa arab.
Sedangkan pengertian khutbah dari segi isinya, dimana definisi khutbah adalah tersusun dari
beberapa bagian, secara umum ada bagian pembukaan, isi, dan penutup.
Dan dalam pengertian ini dikatakan bahwa esensi dari sebuah khutbah adalah mengandung
nasehat bertujuan untuk mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat
baik serta untuk mencegah berbuat mungkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
B. Pokok-Pokok Isi Khutbah
Adapun pokok isi dari khutbah ialah:
 Menurut al Bajuri dari Madzhab Syafi’i, bahwa terdapat lima rukun khutbah
(pokok-pokok) yaitu hamdalan, shalawat Nabi, anjuran bertakwa, bacaan al Qur’an
pada salah satu diantara 2 khutbah serta doa untuk kaum muslimin pada kedua.
 Sedangkan untuk Madzhab Hanbali menyampaikan bahwa terdapat 4 empat, yaitu
lima hal di atas kecuali doa untuk kaum muslimin.
 Beda halnya dengan Madzhab Maliki, yang menyampaikan bahwa untuk isi pokok
khutbah hanya satu saja, yaitu anjuran meningkatkan kesadaran beragama.
 Madzhab Hanafi juga hanya satu saja, ialah asal khutbah itu mengandung dzikir
yaitu menyebut asma Allah.
Selain itu, menurut pendapat yang disampaikan oleh Tata Sukayat, secara umum struktur dari
teks khutbah yang ideal sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah:
 Dengan mengucapkan hamdalah serta puji-pujian kepada Allah SWT
 Terdapat permintaan pertolongan kepada-Nya
 Berisi suatu permohonan ampunan kepada-Nya
 Memohon perlindungan kepada-Nya
 Membaca 2 kalimat syahadat
 Membaca shalawat kepada Nabi SAW
 Wasiat takwa
 Memberikan peringatan, mengabarkan kabar gembira kepada ummatnya yang taat
dan memberi ancaman bagi mereka yang sesat.
 Selain itu memberikan nasehat keagamaan dan kemasyarakatan; serta lainnya.

C. Syarat Khutbah
Dalam khutbah misalnya khutbah jumat dilaksanakan, diawali dengan diadakan khutbah.
Untuk orang yang berkhutbah disebut dengan khatib.
Untuk menjadi seorang khatib atau yang berkhutbah itu tidaklah mudah, sebab terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuh. Adapun syarat-syarat dari untuk menjadi khatib ialah:
 Paham dengan benar ajaran agama Islam
 Paham seluk beluk khutbah, baik mengenai syarat, rukun dan sunat-sunatnya
 Dapat menyampaikan dan berbicara di public dengan jelas, santun dan gampang
dipahami pendengar
 Dewasa/baligh dan dapat menjauhkan diri dari berbagai macam dosa baik yang
sifatnya kecil apalagi yang besar
 Mempunyai ilmu keislaman yang mumpuni dan shaleh
Seorang khatib harus mengerti dan paham syarat-syarat dua khutbah Jum’at yaitu:
 Memenuhi syarat dimana khatib harus suci dari hadas dan najis serta menutup
aurat
 Khutbahnya dimulai pada waktu setelah matahari tergelincir atau sudah masuk
waktu dzuhur
 Khotib berdiri ketika kuasa pada waktu berkhutbah
 Khotib harus melakukan duduk diantara kedua khutbah
 Khutbahnya disampaikan dengan suara lantang, bahasa yang baik dan halus, kata-
katanya yang fasih, lancar, teratur, ungkapannya mudah dimengerti sehingga dapat
menyentuh jiwa dan perasaan.
 Tertib yaitu berturut-turut dalam rukun-rukunnya maupun antara khutbah
pertamadan khutbah ke dua.
Apabila menjadi khatib, juga harus memahami tentang sunat khutbah jum’at. Sunat khutbah
jum’at antara lain:
 Khutbah dilakukan saat di atas mimbar atau di tempat yang ditinggikan dan
tempatnya di sebelah kanan tempat imam (pengimaman).
 Khatib mengawali dengan mengucapkan salam, setelah itu selanjutnya duduk dan
mendengarkan adzan dari muadzin.
 Khatib dalam berkhutbah harus jelas, gampang dipahami, dan khutbahnya sedang
ialah tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.
 Khatib menghadap ke jamaah dan tidak berputar-putar.
 Menertibkan 3 rukun dengan memanjatkan puji-pujian, shalawat dan nasihat
taqwa.

D.Rukun Khutbah
Salah satu syarat sah pelaksanaan shalat Jumat adalah didahului dua khutbah. Ritual khutbah
dilakukan sebelum shalat Jumat dikerjakan.
Khutbah Jumat dilakukan 2 kali, di antara khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.
Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan
menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta
berkesinambungan (muwâlah). Berikut ini lima rukun khutbah Jumat beserta penjelasannya.
1. Memuji Kepada Allah di kedua khutbah

Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang
satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam
kata “Allah” tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang
lain. Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh” “nahmadu lillâh”, “lillahi al-
hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”. Contoh pelafalan yang salah misalkan
“asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân
(karena tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”).
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
Artinya: “Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh
hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-
Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu
lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-
Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011,
juz.4, hal. 246)

2. Bershalawat Kepada Nabi Muhammad di kedua khutbah

Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan lafadh yang satu akar kata
dengannya. Sementara untuk asma Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama
“Muhammad”, seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-
lain.
Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak boleh menggunakan isim
dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya.
Sementara menurut pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir.
Contoh membaca shalawat yang benar “ash-shalâtu ‘alan-Nabi”, “ana mushallin ‘alâ
Muhammad”, “ana ushalli ‘ala Rasulillah”.
Contoh membaca shalawat yang salah “sallama-Llâhu ‘ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu
Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu ‘alaihi”
(karena menggunakan isim dlamir).
Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:
Artinya: “Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa
as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi
wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011,
juz.4, hal. 248).
Ikhtilaf ulama mengenai keabsahan membaca shalawat Nabi dengan kata ganti (isim dlamir)
dijelaskan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi sebagai berikut:
Artinya: “Mengecualikan sallama-Llâhu ‘alâ Muhammad, rahima-Llâhu Muhammadan dan
shallâhu ‘alaihi, maka yang terakhir ini tidak mencukupi menurut pendapat al-mu’tamad
(kuat), berbeda dari ulama yang menilai cukup, meskipun didahului marji’nya dlamir.
Pendapat al-mu’tamad tersebut senada dengan pendapatnya Syaikhul Islam Zakariyya al-
Anshari, Syekh al-Khathib, Syekh al-Ramli dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat lemah
yang mencukupkan penyebutan dlamir adalah pendapat sekelompok ulama Yaman, di
antaranya Syekh Ahmad bin Muhammad al-Nasyiri dan Syekh Husain bin Abdurrahman al-
Ahdal.” (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011 M,
juz IV, hal. 249).

3. Berwasiat Dengan Ketakwaan di Kedua Khutbah

Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah
setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti
“Athi’ullaha, taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”,
“inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu
daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan.
Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:
Artinya: “Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya
menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan
berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah
mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian
kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai
pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala
tipu dayanya menurut kesepakatan ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala
Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219)

4. Membaca Ayat Suci Al-Quran Disalah Satu Dua Khutbah

Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat al-Qur’an yang dapat
memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan
janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya.
Seperti contoh:
Artinya: “Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-
orang yang jujur”. (QS. at-Taubah: 119).
Tidak mencukupi membaca potongan ayat yang tidak dapat dipahami maksudnya secara
sempurna, tanpa dirangkai dengan ayat lainnya. Seperti:
Artinya: “Kemudian dia memikirkan” (QS. Al-Muddatsir ayat 21).
Membaca ayat al-quran lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama.
Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
Artinya: “Rukun keempat adalah membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang
dapat dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita.
Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau “abasa” karena tidak memberikan
kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah
pertama dari pada ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding
keberadaan doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha,
I’anatut Thalibin, juz.2, hal.66, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).

5. Berdoa Untuk Kaum Mukmin di Khutbah Terakhir

Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat disyaratkan isi kandungannya mengarah
kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau
menyelematkan kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah
ampunilah kaum muslimin dan muslimat”.
Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allâhumma a’thinâ
mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”.
Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
Artinya:  “Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin,
meski tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra’i, meski
dengan kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga
engkau menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin,
doa tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh
Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa
tahun, juz.2, hal.66).
Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha menambahkan:
Artinya: “Ucapan Syekh Zainuddin, berdoa yang bersifat ukhrawi, maka tidak cukup urusan
duniawi, meski khatib tidak hafal doa ukhrawi. Imam al-Ithfihi mengatakan, sesungguhnya
doa duniawi mencukupi ketika tidak hafal doa ukhrawi karena disamakan dengan persoalan
yang lalu terkait kondisi tidak mampu membaca surat al-fatihah, bahkan dalam persoalan
ini lebih utama”. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin,
Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).

E. Teknik Teknik Khutbah


Selain dari isis pokok khutbah, terdapat teknik-tenik atau langkah-langkah dalam melakukan
khutbah. Untuk hal itu demikian itu dapat dikutip dari yang disampaikan oleh Larry King.
Menurut pendapat Larry King bahwa terdapat 8 ciri-ciri pembicara terbaik ialah:
 Memandang suatu hal dari paradigma yang baru
 Mempunyai cakrawala luas
 Antusias
 Tidak pernah membicarakan mereka sendiri
 Sangat ingin tahu
 Menunjukkan empati
 Memiliki selera humor
 Mempunyai gaya bicara sendiri.
Sedangkan menurut Dale Carnegie, jika menjadi seorang pembicara yang baik, jadilah
pendengar yang penuh perhatian. Untuk menjadi menarik, tertariklah kepada orang lain.
Ajukanlah pertanyaan- pertanyaan yang orang lain akan senang menjawabnya. Beri semangat
mereka agar berbicara tentang diri mereka dan hasil sukses mereka. Berikut ini empat teknik
dalam khutbah, diantaranya:
a. Teknik Persiapan Khutbah
Khutbah haruslah diawali dengan persiapan yang cukup. Hanya orang yang tidak bijaksana
yang berkhutbah tanpa persiapan.
Semakin pandai orang berkhutbah, semakin segan dan tidak ingin berkhutbah tanpa
persiapan. Bagaimanapun pandainya seseorang dalam dalam beberapa masalah, ia sama
sekali tidak dibenarkan mencoba berkhutbah di khalayak umum tanpa persiapan.
Dua persiapan pokok sebelum pelaksanaan pidato adalah persiapan mental kejiwaan untuk
berdiri dan berbicara di hadapan audiens serta persiapan yang menyangkut isi pidato yang
akan disampaikan.
Jika persiapan mental masih kurang dan belum mantap sehingga pembicara dihinggapi rasa
cemas, kurang percaya diri, maka hal ini akan berakibat kacaunya sikap dan kelancaran
penyampaian isi pidato.
Sebaliknya, pidato akan kacau jika yang disiapkan hanya mental semata, sedang persiapan isi
masih kurang.
Teknik persiapan khutbah ada empat macam, yaitu impromtu, manuskrip, memoriter dan
ekstempore. Pertama, pidato impromtu. Yaitu pidato yang disampaikan tanpa persiapan dan
hanya mengandalkan pengetahuan dan pengalaman. Pidato ini biasa dilakukan dalam
keadaan darurat, mendadak dan tidak terduga.
Persiapan pidato harus dilakukan, namun kondisi yang memaksa seseorang untuk berpidato
tanpa adanya persiapan waktu yang cukup.
Inilah yang terjadi pada pidato impromtu. Pidato ini sebisa mungkin harus dihindari, akan
tetapi jika keadaan tetap memaksa, maka jika masih ada waktu walaupun sangat sedikit
digunakan untuk membuat garis besar atau rencana pidato dalam pikiran atau kertas-kertas
kecil yang ada pada pembicara.
Bagi pembicara yang berpengalaman, impromtu memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1)
Lebih dapat mengungkapkan perasaaan pembicara sebenarnya, karena ia tidak memikirkan
lebih dulu pendapat yang disampaikan; 2) Ide dan opininya datang secara spontan, sehingga
tampak segar dan hidup; dan 3) Impromtu memungkinkan pembicara terus berpikir.
Sedangkan kerugiannya dapat menghilangkan keuntungan- keuntungan di atas, terutama bagi
pembicara yang masih pemula, yaitu: 1) Impromtu dapat mengakibatkan konklusi yang
mentah; 2) Impromtu menimbulkan penyampaian yang tersendat-sendat dan tidak lancar; 3)
Inisiatif yang disampaikan bisa “acak-acakan” dan ngawur; dan 4) Sebab tiadanya persiapan,
kemungkinan “demam panggung” besar.
Kedua, pidato manuskrip (membaca atau naskah) adalah pidato dengan menggunakan naskah
yang telah dibuat sebelumnya dan biasnya dipakai pada acara-acara resmi yang dibacakan
secara langsung.
Cara demikian dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan, karena setiap kata yang disampaikan
dalam situasi dan kondisi resmi akan disebarluaskan dan dijadikan panutan oleh masyarakat
serta dikutip oleh media massa.
Karena pembicara membacakan naskah pidato dari awal hingga akhir, maka lebih tepat
menyebutnya “membacakan pidato” dan bukan “menyampaikan pidato”.
Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki keuntungan-
keuntungan sebagai berikut: 1) Kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya sehingga dapat
menyampaikan makna yang tepat; 2) Pernyataan dapat hemat, karena dapat disusun kembali;
3) Kefasihan bicara dapat dicapai, karena kata-kata sudah disiapkan; 4) Hal-hal yang ngawur
atau yang menyimpang dapat dihindari; dan 5) Manuskrip dapat diterbitkan dan diperbanyak.
Jika ditinjau menurut proses komunikasi, kekurangannya cukup berat: 1) Komunikasi
pendengar akan berkurang, karena pembicara tidak berbicara langsung kepada mereka; 2)
Pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik, sehingga akan kehilangan gerak dan
bersifat kaku; 3) Umpan-balik dari pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek dan
memperpanjang pesan; dan 4) Pembuatannya lebih lama dan sekadar menyiapkan outline-
nya saja.
Ketiga, pidato memoriter (menghafal) adalah pidato yang dilakukan dengan membuat
rencana pidato lalu menghafalkannya kata per kata. Naskah yang dibuat sebelumnya bukan
untuk dibaca.
Keuntungan pidato ini ialah komunikasi pendengar dengan pembicara lebih baik, karena
pembicara berbicara langsung kepadanya; pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan
kebutuhan dan penyajiannya lebih spontan.
Bagi pembicara yang belum ahli, kerugian-kerugian berikut ini bisa terjadi: persiapan kurang
baik bila dibuat terburu-buru; pemilihan bahasa yang jelek; kefasihan terhambat karena
kesukaran memilih kata dengan segera; kemungkinan menyimpang dari out-line; dan tentu
saja tidak dapat dijadikan sebagai bahan penerbitan. Beberapa kekurangan pidato ini yang
disebut terakhir, sebenarnya dengan mudah diatasi melalui latihan-latihan yang intensif.
Jika khatib sudah siap dalam hal mental dan isi khutbah, ada baiknya jika disertai dengan doa
sebagai penguatan spritual. Hal ini dilakukan agar menambah kepercayaan diri dalam
menyampaikan pesan-pesan khutbah.
b. Teknik Pembukaan Khutbah
Menurut Jalaluddin Rakhmat, ada beberapa teknik membuka pidato, yaitu: 1) Langsung
menyebutkan topik pidato; 2) Melukiskan latar belakang masalah; 3) Menghubungkan
dengan peristiwa mutakhir; 4) Menghubungan dengan peristiwa yang sedang diperingati; 5)
Menghubungkan dengan tempat atau lokasi pidato; 6) Menghubungkan dengan emosi
audiens; 7) Menghubungkan dengan kejadian sejarah; 8) Menghubungkan dengan
kepentingan vital audiens; 9) Memberikan apresiasi pada audiens; 10) Memulai dengan
pernyataan yang mengejutkan; 11) Mengajukan pertanyaan provokatif; 12) Menyatakan
kutipan baik dari kitab suci maupun perkataan tokoh; 13) Menceritakan pengalaman pribadi;
14) Mengisahkan cerita faktual atau fiktif; 15) Menyatakan teori; serta 16) Membuat humor.
Menurut Dale Carnegie Ada beberapa teknik untuk membuka ceramah dan pidato, yaitu: 1)
Membangkitkan rasa ingin tahu; 2) Menceritakan pengalaman menarik; 3) Memulai dengan
contoh yang jitu; 4) Mengajukan pertanyaan; 5) Mengutip perkataan orang-orang terkenal; 6)
Menjalin pokok pidato kita dengan hal-hal yang dianggap paling penting bagi pendengar; dan
7) Menyebut peristiwa- peristiwa yang menggoncangkan.
Sedangkan menurut Syahroni Ahmad Jaswadi, ada 6 untuk membuka ceramah, yaitu: 1)
Membuka pidato dengan humor; 2) Membuka dengan setengah humor dan setengah serius; 3)
Memperkenal diri pribadi; 4) Memberikan pendahuluan secara umum; 5) Memberikan
ilustrasi; dan 6) Menyebutkan fakta dari audiens.
Menurut Dori Wuwur Hendrikus, teknik membuka pidato yang baik memiliki beberapa
karakteristik, yaitu: 1) Tidak terlalu panjang; 2) Jelas dan menyenangkan; dan 3) Jangan
memulai pidato dengan “kalau” “andaikan”. Ia juga memberikan beberapa petunjuk untuk
memulai pidato, yaitu 1) Mulailah setenang mungkin; 2) Pikirkan sesuatu yang positif untuk
menghilangkan rasa takut; 3) Jangan memulai pidato dengan membaca dan terikat pada teks
namun bicaralah dengan bebas; 4) Jangan memulai dengan meminta maaf; 5) Sebaiknya
memulai dengan nada positif; 6) Berusahalah untuk menarik perhatian audiens dan
menciptakan kontak dengan mereka; 7) Mulailah pidato dengan cara lain, tetapi menarik.
Artinya tak selalu memulai dengan rumusan – rumusan umum yang selalu sama; 8)
Bernafaslah dengan tenang sebelum berpidato; dan 9) Mulailah berpidato jika seuruh ruangan
sudah tenang.
c. Teknik Penutupan Khutbah
Pembukaan dan penutupan ceramah adalah bagian yang sangat menetukan. Jika pembukaan
ceramah harus dapat mengantarkan pikiran dan menambahkan perhatian kepada pokok
pembicaraan, maka penutupan harus memfokuskan pikiran dan gagasan pendengar kepada
gagasan utamanya.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, ada beberapa teknik menutup pidato, yaitu: 1) Mengemukakan
ringkasan pidato; 2) Menyatakan kembali gagasan dengan kalimat yang singkat dan berbeda;
3) Mendorong audiens untuk bertindak; 4) Mengakhiri dengan klimaks; 5) Menyatakan
kutipan kitab suci, sajak, peribahasa dan ucapan para ahli; 6) Menceritakan contoh yang
berupa ilustrasi dari tema pembicaraan; 7) Menjelaskan maksud sebenarnya pribadi
pembicara; 8) Memuji dan menghargai audiens; 9) Membuat pernyataan yang humoris.
d. Teknik Pemilihan Bahasa Khutbah
Begitu pentingnya bahasa, sehingga dalam Al-Quran ditemukan prinsip-prinsip bahasa, yaitu
qaulan ma’rufan (bahasa yang penuh nilai kebaikan), qaulan sadidan (bahasa yang tegas),
qaulan balighan (bahasa yang penuh makna), qaulan kariman (bahasa yang penuh
penghargaan), qaulan maisuran (bahasa yang mudah) dan qaulan layyinan (bahasa yang
lemah lembut).
Di lain sisi, seorang pembicara sering menyatakan terdapat “masalah bahasa” yang dihadapi.
Dengan demikian, ketika tampil pembicara harus membuat pilihan saat menyandi gagasan
dan perasaan ke dalam kata-kata.
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pilihan yang dibuat itu menuntut perhatian yang
cermat. Pertama, bahasa digunakan untuk menyatakan diri sebagai seorang pembicara.
Kedua, bahasa digunakan untuk mengkomunikasikan makna atau maksud pesan-pesan
pembicara. Ketiga, bahasa digunakan untuk mengomunikasikan perasaaan dan nilai-nilai
pembicara.
e. Efektivitas Khutbah
Kelebihan metode khutbah antara lain: a) Pesan khutbah dapat disampaikan dalam waktu
singkat sebanyak-banyaknya; b) Khatib dapat menggunakan pengalaman, keistimewaan dan
kebijaksanaan yang dimiliki, sehingga audiens mudah tertarik dan menerima ajarannya; c)
Khatib lebih mudah menguasai seluruh audiens; d) Jika disampaikan dengan baik, dapat
memotivasi audiens untuk mempelajari pesan khutbah yang disampaikan; e) Khutbah yang
baik adalah khutbah yang memberikan kesan positif bagi orang-orang yang mendengar
khutbah tersebut.
Khutbah yang baik yaitu: khutbah yang saklik, khutbah yang jelas, khutbah yang hidup,
khutbah yang memiliki tujuan, khutbah yang memiliki klimaks, khutbah yang memiliki
pengulangan, khutbah yang berisi hal-hal yang mengejutkan, khutbah yang dibatasi serta
khutbah yang singkat.
Demikianlah informasi mengenai Pengertian Khutbah, Syarat, Rukun Khutbah & Tata
Cara Khutbah. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian
dan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai