Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH AIK IV

KHUTBAH JUM’AT

Nama Mahasiswa : Natasya Viana


Permata S
NIM : 702018066

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2019/2020
1. Pengertian Khutbah Jumat
Setiap Jumat kaum muslimin (laki-laki) melaksanakan salat Jumat. Pada
rangkaian acara salat Jumat terdapat khatib yang menyampaikan beberapa pesan
keagamaan.Tindakan yang dilakukan orang tersebut disebut khotbah. Berikut
pengertian dan ketentuan khotbah.
Khotbah secara bahasa berarti pidato atau ceramah. Khotbah adalah
kegiatan berdakwah mengajak atau menyeru orang lain untuk meningkatkan
ketakwaan, keimanan, dan pesan keagamaan lainnya dengan rukun dan syarat
tertentu. Di antara macam-macam khotbah, yaitu khotbah Jumat, khotbah dua hari
raya, khotbah pada salat dua gerhana, khotbah nikah, khotbah pada salat istisqa,
dan khotbah pada ibadah haji. Pada subbab ini akan dibahas khotbah pada salat
Jumat.

Khotbah Jumat dilaksanakan pada hari Jumat tepatnya pada saat


pelaksanaan salat Jumat. Khotbah Jumat termasuk rukun salat Jumat. Seseorang
yang menyampaikan khotbah disebut khatib. Khotbah Jumat disampaikan secara
monolog, yaitu komunikasi satu arah. Khatib dalam menyampaikan khotbah tidak
memiliki kesempatan untuk melakukan tanya jawab atau diskusi, sedangkan
jamaah hanya mendengarkan dengan khidmat. Salah satu dasar pelaksanaan salat
Jumat, yaitu firman Allah Swt. berikut.

2. Hukum Khutbah Jumat

Sungguh telah diriwayatkan dalam riwayat yang shahih bahwa Nab


Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan khutbah Jum’at sesuai
dengan yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangkaian
shalat Jum’at. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan di dalam Kitab-
Nya yang mulia untuk bersegera di dalam mengingat-Nya, sedangkan khutbah
termasuk dari mengingat Allah dan jika khutbah tersebut tidak sesuai dengan
maksud untuk mengingat Allah, maka menjadi sunnah hukumnya dan bukan
wajib.
Adapun jika khutbah dikatakan sebagai syarat shalat Jum’at, maka tidak
demikian pengertiannya, karena kami belum pernah mendapatkan satu huruf pun
di dalam as-Sunnah al-Muthahharah atau sebuah ungkapan yang mengandung arti
wajibnya khutbah, apalagi syarat. Yang ada hanyalah perbuatan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan bahwa beliau pernah berkhutbah, dan di
dalam khutbahnya itu beliau mengatakan ini dan itu, juga membaca surat ini dan
itu. Maksimal semua riwayat itu menunjukkan bahwa khutbah sebelum shalat
Jum’at hukumnya sunnah muakkadah, bukan wajib apalagi jika dikatakan sebagai
syarat bagi shalat Jum’at. Untuk lebih jelas lagi bahwa prilaku Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilaksanakan secara terus-menerus tidak berarti
wajib akan tetapi sunnah yang diperkuat ditekankan (dianjurkan). Kesimpulannya
bahwa khutbah sebelum shalat Jum’at hukumnya adalah sunnah yang ditekankan
(mu-akkadah) dan merupakan syi’ar Islam yang tidak pernah ditinggalkan
semenjak shalat tersebut disyari’atkan sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat.”

3. Rukun dan Syarat Khutbah Jumat

Syarat khutbah Jum’at ada 6 (enam) perkara, yaitu:

 duduk dengan tumaninah antara dua khutbah;


 berturut-turut antar rukun dua khutbah dan antara dua khutbah dan shalat;
 bersuci dari najis dan hadats;
 menutup aurat;
 berdiri jika mampu ketika berkhutbah; dan
 rukun khutbah terdengar oleh 40 (empat puluh) orang ahli Jum’at.

Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun
tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib
(berurutan) serta berkesinambungan (muwâlah). Berikut ini lima rukun khutbah
Jumat beserta penjelasannya :

1. Pertama, memuji kepada Allah di kedua khutbah


Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun”
dan lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”,
“ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam kata “Allah” tertentu
menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang
lain.

Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh”, “nahmadu


lillâh”, “lillahi al-hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”.
Contoh pelafalan yang salah misalkan “asy-syukru lillâhi” (karena
tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân (karena
tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”).

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “ Disyaratkan adanya


pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau
lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah,
ahmadu-Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi,
tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya,
maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-
Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011,
juz.4, hal. 246)

2. Kedua, membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di kedua khutbah


;Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan
lafadh yang satu akar kata dengannya. Sementara untuk asma Nabi
Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama “Muhammad”, seperti
“al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-
lain. Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak
boleh menggunakan isim dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang
kuat, meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya. Sementara menurut
pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir. Contoh membaca
shalawat yang benar “ash-shalâtu ‘alan-Nabi”, “ana mushallin ‘alâ
Muhammad”, “ana ushalli ‘ala Rasulillah”.  Contoh membaca shalawat
yang salah “sallama-Llâhu ‘ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu
Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu),
“shalla-Llâhu ‘alaihi” (karena menggunakan isim dlamir).
Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:
‫ويتعين صيغتها اي مادة الصالة مع اسم ظاهر من أسماء النبي صلى هللا عليه وسلم‬
“Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata
yang berupa as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi
Muhammad shallahu ‘alaihi wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi,
Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).
Ikhtilaf ulama mengenai keabsahan membaca shalawat Nabi dengan
kata ganti (isim dlamir)
dijelaskan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi sebagai berikut:
“Mengecualikan sallama-Llâhu ‘alâ Muhammad, rahima-Llâhu
Muhammadan dan shallâhu ‘alaihi, maka yang terakhir ini tidak
mencukupi menurut pendapat al-mu’tamad (kuat), berbeda dari ulama
yang menilai cukup, meskipun didahului marji’nya dlamir. Pendapat
al-mu’tamad tersebut senada dengan pendapatnya Syaikhul Islam
Zakariyya al-Anshari, Syekh al-Khathib, Syekh al-Ramli dan lain
sebagainya. Sedangkan pendapat lemah yang mencukupkan
penyebutan dlamir adalah pendapat sekelompok ulama Yaman, di
antaranya Syekh Ahmad bin Muhammad al-Nasyiri dan Syekh Husain
bin Abdurrahman al-Ahdal.” (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah
al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011 M, juz IV, hal. 249).
3. Ketiga, berwasiat dengan ketakwaan di kedua khutbah
Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten.
Prinsipnya adalah setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau
menjauhi kemaksiatan. Seperti “Athi’ullaha, taatlah kalian kepada
Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”, “inzajiru ‘anil
makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari
tipu daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi
kemakshiatan. Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:
‫ثم الوصية بالتقوى وال يتعين لفظها على الصحيح (قوله ثم الوصية بالتقوى) ظاهره أنه ال بد‬
‫اب‬vv‫ر واجتن‬vv‫ال األوام‬vv‫من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية ألن التقوى امتث‬
‫رد‬vv‫ وال يكفي مج‬...‫ال‬v‫الى ان ق‬... ‫ر‬v‫دهما على كالم ابن حج‬vv‫ل يكفي أح‬vv‫ذلك ب‬vv‫النواهي وليس ك‬
‫التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا‬
“Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam
redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim
ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan
himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi
perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian
kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari
keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas
menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut
kesepakatan ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala
Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-
219)
4. Keempat, membaca ayat suci al-Quran di salah satu dua khutbah.
Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat
al-Qur'an yang dapat memberikan pemahaman makna yang dimaksud
secara sempurna. Baik berkaitan dengan janji-janji, ancaman,
mauizhah, cerita dan lain sebagainya.
Seperti contoh:
“Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
bersamalah orang-orang yang jujur”. (QS. at-Taubah: 119).
Tidak mencukupi membaca potongan ayat yang tidak dapat dipahami
maksudnya secara sempurna, tanpa dirangkai dengan ayat lainnya.
Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan: “Rukun keempat adalah
membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang dapat
dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah
atau cerita. Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau
“abasa” karena tidak memberikan kepahaman makna secara sempurna.
Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah pertama dari pada
ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding
keberadaan doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua.” (Syekh Abu
Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz.2, hal.66, cetakan al-Haramain-
Surabaya, tanpa tahun).
5. Kelima, berdoa untuk kaum mukmin di khutbah
terakhir Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat
disyaratkan isi kandungannya mengarah kepada nuansa akhirat. Seperti
“allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau menyelematkan
kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya
Allah ampunilah kaum muslimin dan muslimat”. Tidak mencukupi doa
yang mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allâhumma
a’thinâ mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta
yang banyak”.
Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan: “Rukun kelima adalah
berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski
tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-
Adzhra’i, meski dengan kata, semoga Allah merahmati kalian,
demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau menyelamatkan
kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin,
doa tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf
dan khalaf.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy
I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).
Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha
menambahkan “Ucapan Syekh Zainuddin, berdoa yang bersifat
ukhrawi, maka tidak cukup urusan duniawi, meski khatib tidak hafal
doa ukhrawi. Imam al-Ithfihi mengatakan, sesungguhnya doa duniawi
mencukupi ketika tidak hafal doa ukhrawi karena disamakan dengan
persoalan yang lalu terkait kondisi tidak mampu membaca surat al-
fatihah, bahkan dalam persoalan ini lebih utama”. (Syekh Zainuddin
al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-
Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66). Demikian penjelesan mengenai
rukun-rukun khutbah. Semoga dapat dipahami dengan baik. Kami
sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran.
4. Waktu dan Persiapan Shalat Jum’at

Khotbah Jumat dilakukan dalam ibadah salat Jumat yang bersifat khidmat. Khatib
menyampaikan khotbah di depan para jamaah dengan jumlah yang cukup banyak.
Oleh karena itu, khatib sebaiknya mempersiapkan diri agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan selama khotbah. Khatib dapat melakukan berbagai
persiapan sebagai berikut.

Persiapan Jasmaniah

Kondisi khatib yang sedang tidak sehat dapat memengaruhi penampilan dan
penyampaian khotbah. Khatib hendaknya mempersiapkan dengan baik kondisi
jasmaninya. Khatib memastikan diri dalam keadaan sehat sebelum menyampaikan
khotbah. Kondisi tubuh yang prima dapat mendukung penyampaian khotbah.

Persiapan Rohaniah

Kondisi rohaniah juga memengaruhi penyampaian khotbah. Seorang khatib harus


mempersiapkan mental sebelum khotbah. Khatib harus dapat mengondisikan diri
dalam keadaan tenang, tidak mudah marah, dan gelisah. Kondisi rohaniah khatib
sangat memengaruhi kesempurnaan penyampaian khotbah.

Persiapan Materi Khotbah

Kondisi fisik dan rohaniah yang prima tidak berarti jika tidak didukung dengan
materi yang menarik. Khatib hendaknya mempersiapkan materi sebelum khotbah.
Khatib meneliti kelengkapan materi yang akan disampaikan sesuai dengan syarat
dan rukun khotbah. Khatib dapat menyusun teks khotbah untuk mendukung
penyampaian khotbah yang baik dan sistematis.
5. Praktek Berkhutbah Jum’at

Praktik Berkhotbah

Khotbah Jumat memiliki ketentuan yang memengaruhi tata cara pelaksanaannya.


Bagaimana cara berkhotbah Jumat? Apakah semua sunah khotbah termasuk dalam
tata cara khotbah Jumat? Berikut tata cara pelaksanaan khotbah Jumat.

1. Khatib berdiri dan mengucapkan salam.


2. Ketika azan berkumandang, khatib duduk sambil mendengarkan.
3. Khotbah dimulai dengan mengucapkan hamdalah.
4. Membaca dua kalimat syahadat.
5. Membaca salawat Nabi.
6. Menyampaikan wasiattakwa.
7. Membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Setelah mengajak bertakwa kepada
Allah Swt., khatib membaca beberapa ayat Al-Qur’an yang berisi perintah
untuk bertakwa kepada-Nya. Contoh ayat Al-Qur’an yang dapat dibaca
khatib sebagai berikut.

Artinya: Wahai orang-orangyang beriman! Bertakwalah kepada Allah


sebenar-benartakwa kepada- Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan muslim. (Q.S. AM ‘Imran [3]: 102)
8. Menguraikan materi khotbah dengan membaca ayat Al-Qur’an dan hadis
sesuai dengan tema.
9. Mengakhiri khotbah dengan kesimpulan dan mengajak para jamaah untuk
meningkatkan ketakwaan.

Setelah khotbah pertama ditutup, khatib duduk sejenak. Pada saat duduk khatib
disunahkan membaca Surah al-lkhlas [112], Selanjutnya, khatib berdiri kembali
untuk menyampaikan khotbah kedua. Urutan khotbah kedua sebagai berikut.

1. Jika dalam khotbah pertama khatib sudah membaca ayat Al-Qur’an,


hukum membaca ayat Al-Qur’an dalam khotbah kedua adalah sunah.
2. Mendoakan kaum muslimin.
3. Menutup khotbah
4. Khatib mengucap salam kemudian turun dari mimbar. Selanjutnya, muazin
mengumandangkan iqamah.

Anda mungkin juga menyukai