Anda di halaman 1dari 12

Rukun-rukun Khutbah dan Penjelasannya

Salah satu syarat sah pelaksanaan shalat Jumat adalah didahului dua khutbah. Ritual khutbah
dilakukan sebelum shalat Jumat dikerjakan. Khutbah Jumat dilakukan dua kali, di antara
khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.

Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan
menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta
berkesinambungan (muwâlah). Berikut ini lima rukun khutbah Jumat beserta penjelasannya.

Pertama, memuji kepada Allah di kedua khutbah

Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang
satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam
kata “Allah” tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang
lain. Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh”, “nahmadu lillâh”, “lillahi al-
hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”. Contoh pelafalan yang salah misalkan
“asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân
(karena tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”).

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

‫ هلل اٌ ذّذ‬ٚ‫ هللا أدّذ أ‬ٚ‫ أدّذ هللا أ‬ٚ‫ِا ا ش تك ِ ٕٗ و اٌ ذّذ هلل أ‬ٚ ‫ٌ فع دّذ‬ٚ ‫ٔ ٗ ت ٍ فع هللا‬ٛ ‫ ش تشط و‬٠ٚ
ٟ‫ ى ف‬٠ ‫ّ٘ا ف ال‬ٛ‫ٔ ذ‬ٚ ‫اٌ ش ىش هلل‬ٚ ّٓ‫ أٔ ا داِذ هلل ف خشد اٌ ذّذ ٌ ٍشد‬ٚ‫أ‬

“Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau
lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha
ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru
lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-
Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 246)

Kedua, membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di kedua khutbah


Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan lafadh yang satu akar kata
dengannya. Sementara untuk asma Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama
“Muhammad”, seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-
lain. Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak boleh menggunakan
isim dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan
marji‟nya. Sementara menurut pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir.

Contoh membaca shalawat yang benar “ash-shalâtu „alan-Nabi”, “ana mushallin „alâ
Muhammad”, “ana ushalli „ala Rasulillah”.

Contoh membaca shalawat yang salah “sallama-Llâhu „ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu


Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu „alaihi”
(karena menggunakan isim dlamir).

Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:

‫ملسو هيلع هللا ىلص‬ ٟ‫ ِادج اٌ ظ الج ِغ ا عُ ظا٘ش ِٓ أ عّاء اٌ ٕ ث‬ٞ‫ا ا‬ٙ‫ غ ت‬١ ‫ٓ ط‬١ ‫ ت ؼ‬٠ٚ

“Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa as-shalâtu
beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu „alaihi wasallama”. (Syekh
Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).

Ikhtilaf ulama mengenai keabsahan membaca shalawat Nabi dengan kata ganti (isim dlamir)
dijelaskan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi sebagai berikut:

ّٓ ٌ ‫ اٌ ّ ؼ تّذ خ الف ا‬ٍٝ ‫ ػ‬ٟ‫ ى ف‬٠ ‫ٗ ف ال‬١ ٍ ‫ هللا ػ‬ٍٝ ‫ ط‬ٚ ‫سدُ هللا دمحما‬ٚ ‫ دمحم‬ٍٝ ‫ف خشد ع ٍُ هللا ػ‬
‫ش‬١ ّ‫ٗ اٌ ض‬١ ٌ‫ شج غ ئ‬٠ ‫ئْ ت مذَ ٌ ٗ رو ش‬ٚ ٗ١ ‫ُ٘ ف‬ٚ

(‫ق‬ٚ‫ ايف ٖي‬ٞ‫فن‬ٞ ‫يع‬ٜ ‫أ )دَخعَيا‬ٞ ٚ‫ػي اقاف‬ٞ‫ َايطئيا ر‬ٚ‫طريا‬ٞ‫ ب‬ٚ‫يَسيا‬ٞ ‫ٌ ٗ خ الف ا‬ٛ ‫شُ٘ )ل‬١ ‫غ‬ٚ
‫اب أدّذ ت ٓ دمحم‬ٙ‫ُ اٌ ش‬ٕٙ ِ ّٓ١ ٌ‫ ػ ٍّاء ا‬ٞ‫ُ٘ جّاػح ِٓ ِ تأخش‬ٚ ‫ا ت اجضاء رٌ ه‬ٛ ٌ‫ ف ما‬ٞ‫ٗ( أ‬١ ‫ُ٘ ف‬ٚ ّٓ ٌ
‫ٓ ت ٓ ػ ثذ اٌ شدّٓ األ٘ذي‬١ ‫اٌ ذ غ‬ٚ ٞ‫اٌ ٕا شش‬
“Mengecualikan sallama-Llâhu „alâ Muhammad, rahima-Llâhu Muhammadan dan shallâhu
„alaihi, maka yang terakhir ini tidak mencukupi menurut pendapat al-mu‟tamad (kuat),
berbeda dari ulama yang menilai cukup, meskipun didahului marji‟nya dlamir. Pendapat al-
mu‟tamad tersebut senada dengan pendapatnya Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, Syekh
al-Khathib, Syekh al-Ramli dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat lemah yang
mencukupkan penyebutan dlamir adalah pendapat sekelompok ulama Yaman, di antaranya
Syekh Ahmad bin Muhammad al-Nasyiri dan Syekh Husain bin Abdurrahman al-Ahdal.”
(Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011 M, juz IV,
hal. 249).

Ketiga, berwasiat dengan ketakwaan di kedua khutbah

Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah
setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti
“Athi‟ullaha, taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”,
“inzajiru „anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu
daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan.

Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:

‫خ‬١ ‫ اٌ ظذ‬ٍٝ ‫ا ػ‬ٙ‫ٓ ٌ فظ‬١ ‫ ت ؼ‬٠ ‫ال‬ٚ ٜٛ‫ح ت اٌ ت م‬١ ‫ ط‬ٛ ٌ‫ح ُ ا‬

(‫ق‬ٚ‫يا َث ٖي‬ٚ‫ص‬ٞ‫قخياب ج‬ٜٚ) ‫ب عَديا َْ دب اي ْٖأ ٖسٖاظ‬ْٞ ‫يع ثحيا‬ٜ ‫ جعاطيا‬ٚ‫صعَيا ْع سدصيا‬ٞ‫ج‬
ٞ ً ‫ظ و زٌ ه ت‬١ ٌٚ ٟ٘‫ا‬ٕٛ ٌ‫اج ت ٕاب ا‬ٚ ‫اِ ش‬ٚ‫ اِ ت خاي األ‬ٜٛ‫ و الَ ات ٓ دجش ألْ اٌ ت م‬ٍٝ ‫ أدذّ٘ا ػ‬ٟ‫و ف‬
...‫يا‬ٜ ‫ياق ْا‬... ٚ‫ اي‬ٞ‫فن‬ٞ َ‫رحخيا دسد‬ٞ‫ْديا َْ س‬ٞ‫ ا‬ٚ‫سؽ‬ٚ‫اقافخا اٖس‬

“Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut
pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul
antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi
perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan
tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar.
Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan
ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri „ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul
Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219)

Keempat, membaca ayat suci al-Quran di salah satu dua khutbah.


Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat al-Qur'an yang dapat
memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan
janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya.

Seperti contoh:

َّ ٌ‫اْ َِ َغ ا‬ُٛٔٛ‫ ُو‬َٚ َ‫اْ هللا‬ُٛ‫اْ اتَّم‬َُِٕٛ ‫َٓ آ‬٠ِ‫ا اٌَّز‬َٙ ُّ٠َ‫َا أ‬٠
َٓ١ِ‫ظا ِدل‬

“Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-orang yang
jujur”. (QS. at-Taubah: 119).

Tidak mencukupi membaca potongan ayat yang tidak dapat dipahami maksudnya secara
sempurna, tanpa dirangkai dengan ayat lainnya. Seperti:

َ َٔ َُّ ُ ‫ح‬
‫ظ َش‬

“Kemudian dia memikirkan” (QS. Al-Muddatsir ayat 21).

Membaca ayat al-quran lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama.

Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

(‫ق‬ٚ‫ ٖي‬ٚ‫أ )اٖعباس‬ٞ ‫خبطريا ْانسأ‬ْٞ (‫ق‬ٚ‫آ جءاسق ٖي‬ٞ‫أ )ج‬ٞ ‫ط‬ٚ‫ خْان ءا‬ٚ‫ َأ ادع‬ٚ‫ع‬ٞ‫)جصق َأ اَنح َأ اد‬
‫ذ‬١ ‫ػ‬ٛ ٌ‫ا‬ٚ ‫ػذ‬ٛ ٌ‫دا و ا‬ٛ‫ ِ م ظ‬ٕٝ ‫ ِؼ‬ٞ‫ّح( أ‬ٙ‫ٌ ٗ ِ ف‬ٛ ‫ل‬ٚ ٗ ٌٛ ‫اَ )ل‬ٙ ‫ ح ُ ػ ثظ ٌ ؼذَ اإلف‬ٚ‫خشد ت ٗ ح ُ ٔ ظش أ‬ٚ
(ٝ ٌٚ‫ أ‬ٝ ٌٚ‫ األ‬ٟ ‫ف‬ٚ ٟ ‫ا ف‬ٙ ٔٛ ‫ ِٓ و‬ٝ ٌٚ‫ا أ‬ٙ‫ ت ؼذ ف شاغ‬ٞ‫ أ‬ٝ ٌٚ‫ اٌ خط ثح األ‬ٟ ‫ ح ف‬٠٢‫ْ ل شاءج ا‬ٛ ‫و‬ٚ ٞ‫أ‬
‫ح‬١ ٔ‫ اٌ خا‬ٟ ‫ٓ ف‬١ ٕ ِ‫ ِ مات ٍح اٌ ذػاء ٌ ٍّإ‬ٟ ‫ْ ف‬ٛ‫ح ٌ ت ى‬١ ٔ‫اٌ خط ثح اٌ خا‬

“Rukun keempat adalah membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang dapat
dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita.
Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau “abasa” karena tidak memberikan
kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah
pertama dari pada ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding keberadaan
doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I‟anatut
Thalibin, juz.2, hal.66, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).

Kelima, berdoa untuk kaum mukmin di khutbah terakhir

Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat disyaratkan isi kandungannya mengarah
kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau
menyelematkan kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah
ampunilah kaum muslimin dan muslimat”. Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada
urusan duniawi, seperti “allâhumma a‟thinâ mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau
memberi kami harta yang banyak”.

Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

(ٚ) ‫سرأ )ءاعد( اٖطَار‬ٚٞ ‫َْؤَيي‬ْٞ ٚ‫ َي ْئ‬ٞ‫ٌ ٗ )سدّ ىُ ي عسعخ‬ٛ‫( ت م‬ٛ ٌٚ) ٟ‫ٌ ّإِ ٕاخ خ الف ا ٌ ألرسػ‬
‫( خط ثح )ح أ ح( الت ثاع‬ٟ ‫ ٓ )ف‬٠‫ض اٌ ذا ضش‬١ ‫ُ أجشٔ ا ِٓ اٌ ٕاس ئْ ل ظذ ت خ ظ‬ٍٙ ٌ‫ ا‬ٛ‫و زا ت ٕذ‬ٚ (‫هللا‬
‫اٌ خ ٍف‬ٚ ‫اٌ غ ٍف‬

“Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski
tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra‟i, meski dengan
kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau
menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa
tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh
Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu‟in Hamisy I‟anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa
tahun, juz.2, hal.66).

Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha menambahkan:

(‫ق‬ٚ‫ ٖي‬ٞٛ١ ٔ‫ ئْ اٌ ذ‬ٟ‫ذ‬١ ‫ل اي األط ف‬ٚ ٞٚ‫ ذ فع األخ ش‬٠ ُ ٌ ٛ ٌٚ ٞٛ١ ٔ‫ اٌ ذ‬ٟ‫ ى ف‬٠ ‫( ف ال‬ٞٚ‫دػاء أخش‬
ٝ ٌٚ‫ اٌ ؼجض ػٓ اٌ فات ذح ت ً ِا ٘ ٕا أ‬ٟ ‫ ِا ت مذَ ف‬ٍٝ ‫ا عا ػ‬١ ‫ ل‬ٞٚ‫ ذ فع األخ ش‬٠ ُ ٌ ‫ج‬١ ‫ د‬ٟ‫ ى ف‬٠

“Ucapan Syekh Zainuddin, berdoa yang bersifat ukhrawi, maka tidak cukup urusan duniawi,
meski khatib tidak hafal doa ukhrawi. Imam al-Ithfihi mengatakan, sesungguhnya doa
duniawi mencukupi ketika tidak hafal doa ukhrawi karena disamakan dengan persoalan yang
lalu terkait kondisi tidak mampu membaca surat al-fatihah, bahkan dalam persoalan ini lebih
utama”.

(Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu‟in Hamisy I‟anatut Thalibin, Surabaya, al-
Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).

Demikian penjelesan mengenai rukun-rukun khutbah. Semoga dapat dipahami dengan baik.
Kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran. Wallahu a‟lam. (M. Mubasysyarum
Bih)

Rukun-rukun Khutbah dan Penjelasannya

Salah satu syarat sah pelaksanaan shalat Jumat adalah didahului dua khutbah. Ritual khutbah
dilakukan sebelum shalat Jumat dikerjakan. Khutbah Jumat dilakukan dua kali, di antara
khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.

Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan
menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta
berkesinambungan (muwâlah). Berikut ini lima rukun khutbah Jumat beserta penjelasannya.

Pertama, memuji kepada Allah di kedua khutbah

Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang
satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam
kata “Allah” tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang
lain. Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh”, “nahmadu lillâh”, “lillahi al-
hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”. Contoh pelafalan yang salah misalkan
“asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân
(karena tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”).

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:


‫ هلل اٌ ذّذ‬ٚ‫ هللا أدّذ أ‬ٚ‫ أدّذ هللا أ‬ٚ‫ِا ا ش تك ِ ٕٗ و اٌ ذّذ هلل أ‬ٚ ‫ٌ فع دّذ‬ٚ ‫ٔ ٗ ت ٍ فع هللا‬ٛ ‫ ش تشط و‬٠ٚ
ٟ‫ ى ف‬٠ ‫ّ٘ا ف ال‬ٛ‫ٔ ذ‬ٚ ‫اٌ ش ىش هلل‬ٚ ّٓ‫ أٔ ا داِذ هلل ف خشد اٌ ذّذ ٌ ٍشد‬ٚ‫أ‬

“Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau
lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha
ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru
lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-
Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 246)

Kedua, membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di kedua khutbah

Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan lafadh yang satu akar kata
dengannya. Sementara untuk asma Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama
“Muhammad”, seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-
lain. Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak boleh menggunakan
isim dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan
marji‟nya. Sementara menurut pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir.

Contoh membaca shalawat yang benar “ash-shalâtu „alan-Nabi”, “ana mushallin „alâ
Muhammad”, “ana ushalli „ala Rasulillah”.

Contoh membaca shalawat yang salah “sallama-Llâhu „ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu


Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu „alaihi”
(karena menggunakan isim dlamir).

Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:

‫ملسو هيلع هللا ىلص‬ ٟ‫ ِادج اٌ ظ الج ِغ ا عُ ظا٘ش ِٓ أ عّاء اٌ ٕ ث‬ٞ‫ا ا‬ٙ‫ غ ت‬١ ‫ٓ ط‬١ ‫ ت ؼ‬٠ٚ

“Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa as-shalâtu
beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu „alaihi wasallama”. (Syekh
Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).
Ikhtilaf ulama mengenai keabsahan membaca shalawat Nabi dengan kata ganti (isim dlamir)
dijelaskan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi sebagai berikut:

ّٓ ٌ ‫ اٌ ّ ؼ تّذ خ الف ا‬ٍٝ ‫ ػ‬ٟ‫ ى ف‬٠ ‫ٗ ف ال‬١ ٍ ‫ هللا ػ‬ٍٝ ‫ ط‬ٚ ‫سدُ هللا دمحما‬ٚ ‫ دمحم‬ٍٝ ‫ف خشد ع ٍُ هللا ػ‬
‫ش‬١ ّ‫ٗ اٌ ض‬١ ٌ‫ شج غ ئ‬٠ ‫ئْ ت مذَ ٌ ٗ رو ش‬ٚ ٗ١ ‫ُ٘ ف‬ٚ

(‫ق‬ٚ‫ ايف ٖي‬ٞ‫فن‬ٞ ‫يع‬ٜ ‫أ )دَخعَيا‬ٞ ٚ‫ػي اقاف‬ٞ‫ َايطئيا ر‬ٚ‫ٌ ٗ خ الف ا ا‬ٛ ‫شُ٘ )ل‬١ ‫غ‬ٚ ٍٟ ِ‫اٌ ش‬ٚ ‫ة‬١ ‫ٌ خط‬
‫اب أدّذ ت ٓ دمحم‬ٙ‫ُ اٌ ش‬ٕٙ ِ ّٓ١ ٌ‫ ػ ٍّاء ا‬ٞ‫ُ٘ جّاػح ِٓ ِ تأخش‬ٚ ‫ا ت اجضاء رٌ ه‬ٛ ٌ‫ ف ما‬ٞ‫ٗ( أ‬١ ‫ُ٘ ف‬ٚ ّٓ ٌ
‫ٓ ت ٓ ػ ثذ اٌ شدّٓ األ٘ذي‬١ ‫اٌ ذ غ‬ٚ ٞ‫اٌ ٕا شش‬

“Mengecualikan sallama-Llâhu „alâ Muhammad, rahima-Llâhu Muhammadan dan shallâhu


„alaihi, maka yang terakhir ini tidak mencukupi menurut pendapat al-mu‟tamad (kuat),
berbeda dari ulama yang menilai cukup, meskipun didahului marji‟nya dlamir. Pendapat al-
mu‟tamad tersebut senada dengan pendapatnya Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, Syekh
al-Khathib, Syekh al-Ramli dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat lemah yang
mencukupkan penyebutan dlamir adalah pendapat sekelompok ulama Yaman, di antaranya
Syekh Ahmad bin Muhammad al-Nasyiri dan Syekh Husain bin Abdurrahman al-Ahdal.”
(Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011 M, juz IV,
hal. 249).

Ketiga, berwasiat dengan ketakwaan di kedua khutbah

Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah
setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti
“Athi‟ullaha, taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”,
“inzajiru „anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu
daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan.

Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:

‫خ‬١ ‫ اٌ ظذ‬ٍٝ ‫ا ػ‬ٙ‫ٓ ٌ فظ‬١ ‫ ت ؼ‬٠ ‫ال‬ٚ ٜٛ‫ح ت اٌ ت م‬١ ‫ ط‬ٛ ٌ‫ح ُ ا‬

(‫ق‬ٚ‫يا َث ٖي‬ٚ‫ص‬ٞ‫قخياب ج‬ٜٚ) ‫ب عَديا َْ دب اي ْٖأ ٖسٖاظ‬ْٞ ‫يع ثحيا‬ٜ ‫ جعاطيا‬ٚ‫صعَيا ْع سدصيا‬ٞ‫ج‬
ٚ ٟ٘‫ا‬ٕٛ ٌ‫اج ت ٕاب ا‬ٚ ‫اِ ش‬ٚ‫ اِ ت خاي األ‬ٜٛ‫ و الَ ات ٓ دجش ألْ اٌ ت م‬ٍٝ ‫ أدذّ٘ا ػ‬ٟ‫ ى ف‬٠ ً ‫ظ و زٌ ه ت‬١ ٌ
...‫يا‬ٜ ‫ياق ْا‬... ٚ‫ اي‬ٞ‫فن‬ٞ َ‫رحخيا دسد‬ٞ‫ْديا َْ س‬ٞ‫ ا‬ٚ‫سؽ‬ٚ‫اقافخا اٖس‬
“Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut
pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul
antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi
perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan
tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar.
Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan
ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri „ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul
Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219)

Keempat, membaca ayat suci al-Quran di salah satu dua khutbah.

Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat al-Qur'an yang dapat
memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan
janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya.

Seperti contoh:

َّ ٌ‫اْ َِ َغ ا‬ُٛٔٛ‫ ُو‬َٚ َ‫اْ هللا‬ُٛ‫اْ اتَّم‬َُِٕٛ ‫َٓ آ‬٠ِ‫ا اٌَّز‬َٙ ُّ٠َ‫َا أ‬٠
َٓ١ِ‫ظا ِدل‬

“Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-orang yang
jujur”. (QS. at-Taubah: 119).

Tidak mencukupi membaca potongan ayat yang tidak dapat dipahami maksudnya secara
sempurna, tanpa dirangkai dengan ayat lainnya. Seperti:

َ َٔ َُّ ُ ‫ح‬
‫ظ َش‬

“Kemudian dia memikirkan” (QS. Al-Muddatsir ayat 21).

Membaca ayat al-quran lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama.


Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

(‫ق‬ٚ‫ ٖي‬ٚ‫أ )اٖعباس‬ٞ ‫خبطريا ْانسأ‬ْٞ (‫ق‬ٚ‫آ جءاسق ٖي‬ٞ‫أ )ج‬ٞ ‫ط‬ٚ‫ خْان ءا‬ٚ‫ َأ ادع‬ٚ‫ع‬ٞ‫)جصق َأ اَنح َأ اد‬
‫ذ‬١ ‫ػ‬ٛ ٌ‫ا‬ٚ ‫ػذ‬ٛ ٌ‫دا و ا‬ٛ‫ ِ م ظ‬ٕٝ ‫ ِؼ‬ٞ‫ّح( أ‬ٙ‫ٌ ٗ ِ ف‬ٛ ‫ل‬ٚ ٗ ٌٛ ‫اَ )ل‬ٙ ‫ ح ُ ػ ثظ ٌ ؼذَ اإلف‬ٚ‫خشد ت ٗ ح ُ ٔ ظش أ‬ٚ
(ٝ ٌٚ‫ أ‬ٝ ٌٚ‫ األ‬ٟ ‫ف‬ٚ ٟ ‫ا ف‬ٙ ٔٛ ‫ ِٓ و‬ٝ ٌٚ‫ا أ‬ٙ‫ ت ؼذ ف شاغ‬ٞ‫ أ‬ٝ ٌٚ‫ اٌ خط ثح األ‬ٟ ‫ ح ف‬٠٢‫ْ ل شاءج ا‬ٛ ‫و‬ٚ ٞ‫أ‬
‫ح‬١ ٔ‫ اٌ خا‬ٟ ‫ٓ ف‬١ ٕ ِ‫ ِ مات ٍح اٌ ذػاء ٌ ٍّإ‬ٟ ‫ْ ف‬ٛ‫ح ٌ ت ى‬١ ٔ‫اٌ خط ثح اٌ خا‬

“Rukun keempat adalah membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang dapat
dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita.
Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau “abasa” karena tidak memberikan
kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah
pertama dari pada ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding keberadaan
doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I‟anatut
Thalibin, juz.2, hal.66, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).

Kelima, berdoa untuk kaum mukmin di khutbah terakhir

Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat disyaratkan isi kandungannya mengarah
kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau
menyelematkan kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah
ampunilah kaum muslimin dan muslimat”. Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada
urusan duniawi, seperti “allâhumma a‟thinâ mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau
memberi kami harta yang banyak”.

Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

(ٚ) ‫سرأ )ءاعد( اٖطَار‬ٚٞ ‫َْؤَيي‬ْٞ ٚ‫ َي ْئ‬ٞ‫ٌ ٗ )سدّ ىُ ي عسعخ‬ٛ‫( ت م‬ٛ ٌٚ) ٟ‫ٌ ّإِ ٕاخ خ الف ا ٌ ألرسػ‬
‫( خط ثح )ح أ ح( الت ثاع‬ٟ ‫ ٓ )ف‬٠‫ض اٌ ذا ضش‬١ ‫ُ أجشٔ ا ِٓ اٌ ٕاس ئْ ل ظذ ت خ ظ‬ٍٙ ٌ‫ ا‬ٛ‫و زا ت ٕذ‬ٚ (‫هللا‬
‫اٌ خ ٍف‬ٚ ‫اٌ غ ٍف‬

“Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski
tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra‟i, meski dengan
kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau
menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa
tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh
Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu‟in Hamisy I‟anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa
tahun, juz.2, hal.66).
Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha menambahkan:

(‫ق‬ٚ‫ ٖي‬ٞٛ١ ٔ‫ ئْ اٌ ذ‬ٟ‫ذ‬١ ‫ل اي األط ف‬ٚ ٞٚ‫ ذ فع األخ ش‬٠ ُ ٌ ٛ ٌٚ ٞٛ١ ٔ‫ اٌ ذ‬ٟ‫ ى ف‬٠ ‫( ف ال‬ٞٚ‫دػاء أخش‬
ٝ ٌٚ‫ اٌ ؼجض ػٓ اٌ فات ذح ت ً ِا ٘ ٕا أ‬ٟ ‫ ِا ت مذَ ف‬ٍٝ ‫ا عا ػ‬١ ‫ ل‬ٞٚ‫ ذ فع األخ ش‬٠ ُ ٌ ‫ج‬١ ‫ د‬ٟ‫ ى ف‬٠

“Ucapan Syekh Zainuddin, berdoa yang bersifat ukhrawi, maka tidak cukup urusan duniawi,
meski khatib tidak hafal doa ukhrawi. Imam al-Ithfihi mengatakan, sesungguhnya doa
duniawi mencukupi ketika tidak hafal doa ukhrawi karena disamakan dengan persoalan yang
lalu terkait kondisi tidak mampu membaca surat al-fatihah, bahkan dalam persoalan ini lebih
utama”.

(Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu‟in Hamisy I‟anatut Thalibin, Surabaya, al-
Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).

Demikian penjelesan mengenai rukun-rukun khutbah. Semoga dapat dipahami dengan baik.
Kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran. Wallahu a‟lam. (M. Mubasysyarum
Bih)

Apa saja yang termasuk dalam rukun khutbah Jum‟at?

Disebutkan sebelumnya bahwa rukun khutbah hendaklah diucapkan dengan bahasa Arab.
Lihat Syarat Khutbah Jumat.

Adapun rukun khutbah tersebut ada lima sebagai berikut:

1- Mengucapkan Alhamdulillah, dengan bentuk ucapan apa pun yang mengandung pujian
pada Allah.

2- Bershalawat pada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam dengan ucapan apa pun yang
menunjukkan shalawat.
Di sini dipersyaratkan nama Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam disebut secara
jelas, seperti menyebut dengan Nabi, Rasul atau Muhammad. Tidak cukup dengan dhomir
(kata ganti) saja.

3- Wasiat takwa dengan bentuk lafazh apa pun.

Ketiga rukun di atas adalah rukun dari dua khutbah. Kedua barulah sah jika ada ketiga hal di
atas.

4- Membaca salah satu ayat dari Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.

Ayat yang dibaca haruslah jelas, tidak cukup dengan hanya membaca ayat yang terdapat
huruf muqotho‟ah (seperti alif laa mim) yang terdapat dalam awal surat.

5- Berdoa kepada kaum mukminin pada khutbah kedua dengan doa-doa yang sudah ma‟ruf.

Demikian semoga dipahami apa yang menjadi pemahaman dalam madzhab Syafi‟i mengenai
rukun khutbah.

Anda mungkin juga menyukai