Suatu ketika penulis mengikuti jamaah shalat Maghrib di sebuah masjid di daerah
pinggiran Jakarta. Rupanya, sang imam tidak membaca basmalah dengan jelas (jahr).
Padahal, pemahaman yang lumrah di kampung, sebagaimana penulis pahami dalam kitab-
kitab fiqih dasar mazhab Syafii di pesantren, membaca basmalah Surat al-Fatihah mesti
secara jelas. Setelah dicermati di papan pengumuman masjid, rupanya masjid tempat
penulis ikut shalat ini didirikan salah satu organisasi Islam selain NU. Tentu tidak bisa
digeneralisasi apakah seluruh imam masjid di sini melakukan hal serupa. Melihat
Salah satu hal yang dibicarakan adalah persoalan membaca basmalah Surat al-Fatihah
dalam shalat-shalat yang Fatihahnya dibaca keras, sebagaimana disebutkan di atas. Tulisan
ini bermaksud memberi sedikit ulasan tentang perbedaan ulama terkait basmalah Surat al-
Fatihah. Baca juga: Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama Perbedaan pendapat ini
dari mazhab Maliki. Sebagai informasi, Ibnu Rusyd pengarang kitab Bidâyatul Mujtahid ini
juga ahli filsafat yang menulis kitab Tahâfut at-Tahafut (bantahan atas kitab karya Imam al-
Shan’ani, atau kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, salah satu ulama mazhab Ahmad bin
Rusyd dalam dua sebab: apakah basmalah harus dibaca secara keras (jahr) dalam shalat, dan
apakah basmalah merupakan bagian dari Surat al-Fatihah? Kalangan ulama mazhab ada
yang menyebutkan bahwa basmalah tak perlu dibaca dalam al-Fatihah seperti kalangan
mazhab Maliki, kemudian ada yang menyebutkan bahwa basmalah tetap dibaca namun secara
pelan (sirr) seperti mazhab Ahmad bin Hanbal, dan sebagaimana banyak diamalkan di
Indonesia dalam mazhab Syafii, basmalah dibaca dalam Surat al-Fatihah sesuai shalat yang
dilakukan: pelan untuk shalat yang bacaannya pelan (sirr), dan mengeraskannya di shalat
yang jahr.
Menurut Ibnu Rusyd, perbedaan yang paling menonjol adalah dalam penilaian dan
antaranya diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya beliau menyebutkan Nabi
membaca basmalah dalam shalat secara jahr. Hadits dengan maksud serupa juga diriwayatkan
َو ْال َح ْم]]]]]]] ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َع]]]]]]]الَ ِمينَ ْاثنَ ْي ِن،ً َوعَ]]]]]]] َّدهَا آيَ]]]]]]]ة Artinya: “Sesungguhnya Nabi membaca
rabbil ‘alamin’ sebagai yang kedua.” (HR. Abu Dawud) Kalangan mazhab Maliki,
sebagaimana disebutkan Ibnu Rusyd, salah satunya merujuk hadits yang diriwayatkan dari
Anas bin Malik dan Ibnu Abdullah bin Mughaffal, bahwa Nabi dan beberapa sahabat tidak
membaca basmalah Surat al-Fatihah saat shalat. …، َو َم َع َأبِي بَ ْك ٍر،صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُ صلَّي
َ ْت َم َع النَّبِ ِّي َ َوقَ ْد
َ َ ِإ َذا َأ ْنت، فَالَ تَقُ ْلهَ]ا، فَلَ ْم َأ ْس َم ْع َأ َحدًا ِم ْنهُ ْم يَقُولُهَ]ا، َ َو َم َع ع ُْث َمان،" َو َم َع ُع َم َر. Artinya: "…
َ "ال َح ْم] ُد هَّلِل ِ َربِّ ال َع]الَ ِمين: ْص]لَّيْتَ فَقُ]ل
Aku pernah shalat bersama Nabi, Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun aku belum pernah
mendengar mereka membacanya (basmalah). Maka jangan ucapkan itu, dan jika
tersebut kurang kuat sebagai hujjah karena melihat adanya ragam variasi riwayat yang
tampak bertentangan dalam sanad yang sama. Selanjutnya yang kedua adalah perbedaan
Ulama yang menyebutkan bahwa basmalah merupakan bagian dari Surat al-Fatihah,
maka menjadikan membaca basmalah dalam shalat menjadi wajib, seperti Imam asy-Syafi’i.
Ulama mazhab lain yang menilai bahwa basmalah bukan bagian dari Surat al-Fatihah,
Diskusi ini menunjukkan bahwa penetapan hukum basmalah dalam Surat al-Fatihah
ini terletak pada pemahaman dan penilaian atas hadits. Masing-masing mujtahid dan ulama
dinilai shahih. Tentu diskusi basmalah ini cukup rumit untuk kalangan yang tidak banyak
mengkaji hal tersebut. Kiranya menyesuaikan diri dengan ajaran yang diamalkan sehari-hari