Anda di halaman 1dari 3

Basmalah dalam Al-Fatihah

Oleh: Yusuf, S.Ag.

Suatu ketika penulis mengikuti jamaah shalat Maghrib di sebuah masjid di daerah

pinggiran Jakarta. Rupanya, sang imam tidak membaca basmalah dengan jelas (jahr).

Padahal, pemahaman yang lumrah di kampung, sebagaimana penulis pahami dalam kitab-

kitab fiqih dasar mazhab Syafii di pesantren, membaca basmalah Surat al-Fatihah mesti

secara jelas.    Setelah dicermati di papan pengumuman masjid, rupanya masjid tempat

penulis ikut shalat ini didirikan salah satu organisasi Islam selain NU. Tentu tidak bisa

digeneralisasi apakah seluruh imam masjid di sini melakukan hal serupa. Melihat

beragamnya masyarakat Muslim di sekitar kita, agaknya ragam pemahaman, lebih-lebih

dalam masalah fiqih, menjadi niscaya.

Salah satu hal yang dibicarakan adalah persoalan membaca basmalah Surat al-Fatihah

dalam shalat-shalat yang Fatihahnya dibaca keras, sebagaimana disebutkan di atas. Tulisan

ini bermaksud memberi sedikit ulasan tentang perbedaan ulama terkait basmalah Surat al-

Fatihah.   Baca juga: Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama   Perbedaan pendapat ini

disebutkan dalam kitab Bidâyatul Mujtahid karya Muhammad Ibnu Rusyd, seorang ulama

dari mazhab Maliki. Sebagai informasi, Ibnu Rusyd pengarang kitab Bidâyatul Mujtahid ini

juga ahli filsafat yang menulis kitab Tahâfut at-Tahafut (bantahan atas kitab karya Imam al-

Ghazali yang berjudul Tahâfutul Falâsifah [Kerancuan para Filsuf], red). Di Eropa Ibnu

Rusyd dikenal sebagai ‘Averroes’.

Kembali ke diskusi terkait bacaan basmalah Surat al-Fatihah tadi. Selain

dalam Bidâyatul Mujtahid, syarahnya yang berjudul Subulus Salâm karya Imam ash-

Shan’ani, atau kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, salah satu ulama mazhab Ahmad bin

Hanbal, bisa dirujuk.   


Mengenal Kitab-kitab Fiqih Perbandingan Mazhab   Perbedaan ini dikategorikan Ibnu

Rusyd dalam dua sebab: apakah basmalah harus dibaca secara keras (jahr) dalam shalat, dan

apakah basmalah merupakan bagian dari Surat al-Fatihah?   Kalangan ulama mazhab ada

yang menyebutkan bahwa basmalah tak perlu dibaca dalam al-Fatihah seperti kalangan

mazhab Maliki, kemudian ada yang menyebutkan bahwa basmalah tetap dibaca namun secara

pelan (sirr) seperti mazhab Ahmad bin Hanbal, dan sebagaimana banyak diamalkan di

Indonesia dalam mazhab Syafii, basmalah dibaca dalam Surat al-Fatihah sesuai shalat yang

dilakukan: pelan untuk shalat yang bacaannya pelan (sirr), dan mengeraskannya di shalat

yang jahr.

Menurut Ibnu Rusyd, perbedaan yang paling menonjol adalah dalam penilaian dan

pemahaman hadits. Hadits tentang bacaan basmalah Rasulullah secara jahr beberapa di

antaranya diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya beliau menyebutkan Nabi

membaca basmalah dalam shalat secara jahr. Hadits dengan maksud serupa juga diriwayatkan

َّ ‫ قَ َرَأ فِي ال‬- ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


oleh Ummu Salamah sebagai berikut:   ،‫ بِس ِْم هَّللا ِ الرَّحْ َم ِن الر َِّح ِيم‬:‫صاَل ِة‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
َ -‫ي‬

‫ َو ْال َح ْم]]]]]]] ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َع]]]]]]]الَ ِمينَ ْاثنَ ْي ِن‬،ً‫ َوعَ]]]]]]] َّدهَا آيَ]]]]]]]ة‬    Artinya: “Sesungguhnya Nabi membaca

‘bismillahirrahmanirrahim’, dan menganggapnya sebagai satu ayat, dan ‘alhamdu lillahi

rabbil ‘alamin’ sebagai yang kedua.” (HR. Abu Dawud)   Kalangan mazhab Maliki,

sebagaimana disebutkan Ibnu Rusyd, salah satunya merujuk hadits yang diriwayatkan dari

Anas bin Malik dan Ibnu Abdullah bin Mughaffal, bahwa Nabi dan beberapa sahabat tidak

membaca basmalah Surat al-Fatihah saat shalat.   …،‫ َو َم َع َأبِي بَ ْك ٍر‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ُ ‫صلَّي‬
َ ‫ْت َم َع النَّبِ ِّي‬ َ ‫َوقَ ْد‬

َ َ‫ ِإ َذا َأ ْنت‬،‫ فَالَ تَقُ ْلهَ]ا‬،‫ فَلَ ْم َأ ْس َم ْع َأ َحدًا ِم ْنهُ ْم يَقُولُهَ]ا‬، َ‫ َو َم َع ع ُْث َمان‬،‫" َو َم َع ُع َم َر‬.   Artinya: "…
َ‫ "ال َح ْم] ُد هَّلِل ِ َربِّ ال َع]الَ ِمين‬: ْ‫ص]لَّيْتَ فَقُ]ل‬

Aku pernah shalat bersama Nabi, Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun aku belum pernah

mendengar mereka membacanya (basmalah). Maka jangan ucapkan itu, dan jika

melaksanakan shalat maka baca, ‘alhamdulillahirabbil ‘alamin’ (maksudnya Surat al-Fatihah,

tanpa basmalah).” (HR. Tirmidzi)  


Beberapa kalangan yang menganggap wajib membaca basmalah menilai hadits

tersebut kurang kuat sebagai hujjah karena melihat adanya ragam variasi riwayat yang

tampak bertentangan dalam sanad yang sama.   Selanjutnya yang kedua adalah perbedaan

hujjah terkait kedudukan basmalah dalam Surat al-Fatihah.

Ulama yang menyebutkan bahwa basmalah merupakan bagian dari Surat al-Fatihah,

maka menjadikan membaca basmalah dalam shalat menjadi wajib, seperti Imam asy-Syafi’i.

Ulama mazhab lain yang menilai bahwa basmalah bukan bagian dari Surat al-Fatihah,

menilai bahwa membacanya tidak wajib dalam shalat.  

Diskusi ini menunjukkan bahwa penetapan hukum basmalah dalam Surat al-Fatihah

ini terletak pada pemahaman dan penilaian atas hadits. Masing-masing mujtahid dan ulama

memiliki metodenya masing-masing, yang kesemuanya bersandar pada hadits-hadits yang

dinilai shahih.   Tentu diskusi basmalah ini cukup rumit untuk kalangan yang tidak banyak

mengkaji hal tersebut. Kiranya menyesuaikan diri dengan ajaran yang diamalkan sehari-hari

di tiap masyarakat adalah pilihan yang lebih bijak. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai