setelah terbang melintasi tanah jaluran kuburan yang resah berhari-hari menyulam kain lusuh disengat matahari terpercik gerimis tipis yang menderas menjadi badai tipis
Ia lahir dari jaman serba bingung
bapak ibunya jawa generasi terkini kakek buyutnya korban kuli kontrak kompeni diperas keringatnya menanam tembakau deli sampai bercucu-cicit di tanah ini
Sepetak kolam kangkung di tepi desa Tembung
harapan keluarga agar asap dapur terus membubung walau hasilnya cekak ditilep harga yang terus melambung sedang bapaknya cuma kenek kuli bangunan bersepeda pancal kota yang tak nyaman
Selepas SMP Marni memberontak, saat ia ingin membeli bedak
ingin berpatut-patut di depan cermin yang telah retak merias diri, merawat raga, sebab si Sarmin anak tetangga perjaka muda sering mencuri wajahnya, dari balik rimbunan pisang di suatu siang, ketika angin mulai semilir mengalir
Jika berladang tak lagi memberi harapan
tanah-tanah kebun jadi rebutan dan hunian kebutuhan hidup makin merenggut Marni bingung tentukan tujuan
Bersama Jirah teman kecilnya
yang telah gemilang meraih bintang ia terpikat langsung berangkat, jadi TKW ke negeri seberang gadis lugu nan ayu yang masih segar
Ketika tiba-tiba di negeri singa, Marni terjebak hitamnya lumpur
ia tertipu sindikat gelap dipaksa jadi gadis penghibur hatinya pedih tersayat-sayat, impiannya seketika hancur pada saat yang mendebarkan, ketika tangan-tangan kuat dan kekar mulai gerayangan di sekujur molek tubuhnya yang terkapar
Marni berontak mulut terkatup batin gemeretak
ia jadi gelap mata untuk mempertahankan mahkota sucinya dipecahkannya sebuah botol minuman beralkohol ditikamnya perut buncit toke asing berduit darah segar muncrat menggenang di lantai kamar
Kini ia hidup heboh dalam cerita berita duka-lara
namanya menghias menyita media massa dua negara bertetangga orang-orang saling lempar tentang kebenarannya kerabat dan bapak-ibunya di Tembung berpayung langit murung anak gadisnya terancam hukuman gantung