Anda di halaman 1dari 6

Judul: Darurat Moralitas Benteng Keadilan

Pengenalan isu:

Reformasi di tubuh lembaga peradilan rupanya omong kosong belaka. Janji pimpinan
Mahkamah Agung membersihkan ruang-ruang pengadilan dari suap dan korupsi pun ternyata
palsu. Semua sebatas omongan yang tak pernah mampu direalisasikan.

Lembaga kekuasaan kehakiman yang semestinya menjadi benteng terakhir penegakan hukum
dan keadilan itu nyatanya tak sekuat yang kita idamkan.

Ia rapuh karena pilar-pilarnya sudah teracuni oleh korupsi. Lembaga itu kian melemah karena
praktik jual beli hukum terus merajelela bahkan sampai di puncak pengadilan.

Argumentasi:

Kini, Mahkamah Agung sepertinya sedang dalam situasi darurat integritas, kredibilitas, dan
moralitas. Dalam kasus terakhir, integritas dan moralitas aparat di lembaga itu bahkan
semakin dipertanyakan. Kemarin, KPK menetapkan 10 orang sebagai tersangka dalam kasus
dugaan suap pengurusan perkara di MA.

Kita tahu salah satunya ialah hakim agung Sudrajad Dimyati. Inilah kali pertama seorang
hakim agung ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.

Selain hakim agung, KPK menangkap sejumlah pejabat dan ASN di Mahkamah Agung serta
pengacara dan pihak swasta yang diduga menyuap.

Penegasan ulang:

Fakta bahwa ada hakim agung menjadi tersangka kasus korupsi jelas membuat publik
prihatin, marah, sekaligus semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga peradilan.

Bagaimana tidak bikin marah kalau mereka yang seharusnya menegakkan hukum malah
bergentayangan mentransaksikan perkara untuk menangguk untung?

Bagaimana kita tidak kehilangan rasa percaya jika praktik korupsi di persidangan terus-
terusan terjadi dan kali ini bahkan digawangi aparat berlevel hakim agung?

Tidak adakah kemauan yang kuat dari pimpinan MA untuk membenahi secara menyeluruh
lembaga peradilan, dari hulu sampai hilir?

Sejauh ini MA sudah benar dengan segera memberhentikan sementara Sudrajad Dimyati dari
posisi hakim agung sampai status hukumnya inkrah. Langkah itu tentu saja penting untuk
mendukung penyidikan yang dilakukan KPK.

Namun, sejatinya tak cukup di situ jika MA memang betul-betul ingin membuktikan
komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi sekaligus meneguhkan visi MA dengan
membersihkan aparatur di lingkungan peradilan.

Kita tahu MA hanyalah satu bagian dari sistem peradilan di negeri ini yang dalam praktiknya
memang kerap menyebar bau busuk.

Disebut busuk karena sering kali yang dicari dari proses itu bukanlah keadilan, melainkan
duit. Hukum diperjualbelikan, keadilan ditransaksikan.

Karena itu, pertama-tama mesti muncul kejujuran dari MA bahwa ada bagian yang bobrok di
lembaga itu sehingga kasus yang hampir sama terus berulang.

Kejujuran itu akan menjadi landasan kuat dalam mereformasi lembaga tersebut.

Dalam konteks ini, menarik apa yang dikatakan Yosep Parera, pengacara yang juga menjadi
tersangka pada kasus yang sama dengan Sudrajad.

Ia menyebut setiap aspek penegakan hukum di negara kita, dari tingkat bawah sampai atas,
semua ditentukan uang. Atas dasar itu, sebagai penegak hukum, Yosep merasa moralitasnya
sangat rendah dan karena itu, bersedia dihukum seberat-beratnya.

MA semestinya juga berani menyatakan mereka sedang dilanda ‘wabah’ moralitas rendah
sehingga banyak aparatur mereka gemar memperjualbelikan hukum dan keadilan.

Setelah itu, tidak ada jalan lain, lembaga itu harus mengambil jalan tegas untuk
membersihkan aparat-aparat yang sudah tercemar.

Keberanian itu tentu akan lebih cepat menuntun MA menuju perubahan yang lebih baik.

Segeralah lakukan agar reformasi lembaga peradilan tak sekadar omong kosong, supaya
kepercayaan rakyat terhadap lembaga peradilan tidak terjun ke titik nadir.

Sumber: mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2770-darurat-moralitas-benteng-
keadilan

Contoh 2
Judul: Lukas Enembe Uji Nyali KPK

Pengenalan isu:

Gubernur Papua Lukas Enembe sedang menjadi sorotan terkait dengan dugaan korupsi
berskala jumbo. Dia pun menjadi uji nyali buat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
tugas mereka menegakkan hukum bagi semua.

Lukas ditetapkan sebagai tersangka pada 5 September. Dia diduga terlibat dalam penerimaan
suap dan gratifikasi Rp1 miliar.

Dia juga sudah dipanggil untuk menjalani pemeriksaan, tetapi mangkir. Alasannya pun klise,
seklise alasan banyak tersangka korupsi lain, yakni sakit.

Dari sisi nominal, angka Rp1 miliar mungkin kecil buat seorang gubernur. Hal itu pula yang
dijadikan dalih Lukas untuk mempersoalkan penetapan tersangka terhadap dirinya.
Dia menuding KPK tidak murni menegakkan hukum. Dia menuduh KPK melakukan
kriminalisasi.

Lukas boleh punya alasan apa pun, mengeklaim apa saja. Boleh-boleh saja dia gencar
menarasikan kepada publik soal uang suap yang dituduhkan KPK cuma Rp1 miliar. Namun,
KPK punya versi lain, versi yang berkebalikan dengan cerita Lukas.

Argumentasi:

Soal uang Rp1 miliar, misalnya, KPK menyebutkan jumlah itu hanya merupakan hasil
penyelidikan awal. Dalam pengembangan perkara, dugaan korupsi yang dilakukan Lukas bisa
mencapai ratusan miliar.

Itulah yang disuarakan Menko Polhukam Mahfud MD. Dalam jumpa pers, dua hari lalu,
dijabarkan ada 12 laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal
dugaan transaksi tidak wajar yang melibatkan Lukas.

Satu yang mencengangkan, Lukas melakukan setoran tunai di kasino judi senilai US$55 juta,
atau sekitar Rp560 miliar. PPATK juga telah memblokir sejumlah rekening bank dan
asuransi yang jumlahnya mencapai Rp71 miliar.

KPK juga sedang mendalami sejumlah kasus korupsi lain yang menyeret Lukas. Sebut saja
ratusan miliar rupiah dana operasional pimpinan dana pengelolaan PON.

Jelas, kasus yang menjerat Lukas bukan kaleng-kaleng. Ia serius, sangat serius sehingga
harus ditangani dengan sangat serius.

Penegasan ulang:

Sejauh ini, KPK terus mengimbau Lukas untuk kooperatif. Mangkir dari panggilan penyidik
bukanlah sikap yang bijak, juga tak akan menyelesaikan persoalan.

Kalau memang tidak bersalah, kalau memang merasa dikriminalisasi, buktikan saja semuanya
di depan penyidik.

KPK saat ini sudah berbeda. Sejak UU No 19 Tahun 2019 diberlakukan, penetapan tersangka
oleh mereka bukan lagi harga mati.

Status tersangka bisa dibatalkan, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dapat
diterbitkan. Jadi, buat apa takut kalau memang tidak bersalah?

Bersembunyi untuk menghindari pemeriksaan hanya akan membuat masalah berlarut-larut.


Mengandalkan ratusan orang untuk menjaga rumah persembunyian cuma memperpanjang
persoalan.

Kita memaklumi, menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat Papua tidak sesederhana
di daerah lain. Dampak politik dan keamanan mengharuskan penegakan hukum di sana
dilakukan dengan hati-hati.
Karena itu, apa yang dilakukan KPK yang secara persuasif meminta Lukas kooperatif bisa
kita pahami.

Kita berharap Lukas segera menjadi warga negara yang baik dengan mematuhi hukum.

Namun, harapan itu ada batasnya. Langkah tegas harus dilakukan jika tersangka terus-terusan
menghambat penyidikan. Di sinilah profesionalisme dan keberanian KPK diuji.

Kita mendukung sepenuhnya upaya KPK memberantas korupsi di seluruh negeri, termasuk di
Papua. Tidak cuma Lukas Enembe, Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak, dan
Bupati Mimika Eltinus Omaleng yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, pejabat lancung
lainnya juga mesti ditindak.

Bukankah pemerintah pernah mengatakan ada 10 kasus korupsi besar di ‘Bumi


Cenderawasih’?

Kepada masyarakat Papua, kita ingin mengatakan penegakan hukum terhadap para pejabat
korup bukan berarti negara memusuhi Papua.

Justru sebaliknya, karena benar-benar menyayangi Papua, negara hendak membersihkan


Papua dari para parasit agar setiap rupiah duit rakyat dinikmati rakyat.

Sumber: mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2767-lukas-enembe-uji-nyali-kpk

Baca Juga :

Editorial atau Tajuk Rencana Ditulis Berdasarkan Sudut Pandang?

Contoh 3
Judul: Memanjakan Koruptor

Pengenalan isu:

Hukuman yang ringan ditambah dengan fasileitas rmisi semakin memanjakan koruptor di
negeri ini. Dimanjakan karena Mahkamah Agung mengabulkan permohonan judicial review
untuk membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan
pemberian remisi.

MA mencabut dan membatalkan PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP tersebut, koruptor bisa mendapatkan remisi
dengan syarat lebih ketat jika dibandingkan dengan narapidana lainnya.

Syarat yang dimaksud ialah terpidana korupsi harus bersedia bekerja sama dengan penegak
hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice
collaborator).

Selain itu, remisi diberikan setelah terpidana korupsi telah membayar lunas denda dan uang
pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Pertimbangan utama pemerintah membatasi pemberian remisi untuk koruptor karena korupsi
merupakan kejahatan luar biasa.

Korupsi menimbulkan kerusakan dalam skala yang sangat luas sehingga korupsi juga
dianggap sebagai kejahatan hak asasi manusia dan kejahatan kemanusiaan. 

Argumentasi:

Menurut MA, keberadaan PP 99/2012 itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12


Tahun 1996 tentang Pemasyarakatan. MA menegaskan, persyaratan memperoleh remisi tidak
boleh bersifat membeda-bedakan. Remisi harus diberikan kepada semua napi, kecuali dicabut
oleh putusan pengadilan.

Penegasan MA itu memperlihatkan adanya perubahan sikap yang sangat ekstrem di lembaga
benteng terakhir pencari keadilan itu.

Sebab, sebelumnya, MA menyatakan pengetatan pemberian remisi kepada terpidana dengan


kategori kejahatan khusus, salah satunya korupsi, ialah konstitusional seperti tertuang dalam
putusan MA Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015.

Dalam dua putusan itu, MA menegaskan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi
merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat
berbahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan seorang terpidana.

Perubahan sikap yang sangat ekstrem dari MA itu, sepertinya, mengikuti pandangan
Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 yang dibacakan pada
30 September 2021.

Meski menolak seluruh permohonan yang diajukan OC Kaligis, MK berpandangan tentang


model pemberian remisi harus melalui putusan peradilan. Pandangan MK itu sejalan dengan
pandangan MA bahwa remisi harus diberikan kepada semua napi, kecuali dicabut putusan
pengadilan.

Penegasan Ulang:

Harapan publik untuk tidak memberikan keistimewaan kepada koruptor kini berada di
pundak hakim. Akan tetapi, sebaiknya publik tidak memberikan ekspektasi terlampau tinggi
agar tidak mengalami kekecewan amat mendalam dalam melihat realitasnya.

Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) atas putusan hakim pada semester pertama
2020 menemukan fakta bahwa rata-rata vonis yang diberikan kepada para koruptor hanya tiga
tahun. Rinciannya, rata-rata vonis di Pengadilan Tipikor ialah 2 tahun 11 bulan.

Di tingkat banding, yakni Pengadilan Tinggi, rata-rata vonisnya ialah 3 tahun 6 bulan,
sedangkan baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali di MA, rata-rata vonis 4 tahun
8 bulan.

Jangan terkecoh dengan rata-rata vonis yang diputus di MA yang terlihat tinggi sebab vonis
itu sesungguhnya masih jauh lebih rendah daripada ancaman hukum maksimal 20 tahun
penjara atau seumur hidup.

Apalagi, muncul fenomena diskon hukuman koruptor. Berdasarkan data yang dimiliki KPK,
pada 2020, tercatat ada 20 perkara korupsi yang hukumannya dikurangi MA.

Masih ada secercah harapan. Ada dua jenis pemidanaan, yaitu pidana pokok dan pidana
tambahan. Yang dimaksudkan dengan pidana tambahan antara lain pencabutan hakhak
tertentu.

Sejauh ini, dalam praktik, jaksa menuntut pencabutan hak politik koruptor dan sering pula
dikabulkan hakim.

Eloknya, jaksa juga menuntut pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat koruptor
sebagai hukuman tambahan. Jaksa KPK pernah menuntut Muhtar Ependy dihukum pidana
tambahan, yakni pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat.

Namun, hakim menolak dengan alasan hak remisi dan pembebasan bersyarat diatur dalam
UU dan menjadi kewenangan pemerintah untuk memberikan atau tidak memberikan kepada
seorang terpidana.

Kini tergantung pemerintah, apakah masih berpihak kepada koruptor atau berpihak kepada
rasa keadilan masyarakat. Apakah korupsi masih dipandang sebagai kejahatan luar biasa atau
biasa-biasa saja. Mestinya pemerintah tidak royal memberikan remisi.

Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Menghukum koruptor secara
maksimal ditambah memperketat syarat remisi sesungguhnya sebuah pesan yang kuat untuk
banyak orang di luar tembok penjara agar mereka mengurungkan niat merampok uang
negara. Pesan itulah yang dihapus MA dan kini korupsi sebagai kejahatan yang biasa-biasa
saja.

Sumber: mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2473-memanjakan-koruptor

Anda mungkin juga menyukai