Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN INDIVIDU KERJA SOSIAL

PERANAN BENDESA ADAT DALAM MENGATASI


KONFLIK BERMUATAN PIDANA ANTAR WARGA
MASYARAKAT DI DESA MARGA

OLEH:

I WAYAN SUNARTA
19.0123.0.02.135

PROGRAM STUDI ILMU HUKUMFAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MAHENDRADATTA
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kerja Sosial Desa : Desa Marga Kecamatan Marga Kabupaten


Tabanan
Judul : PERANAN BENDESA ADAT DALAM
MENGATASI KONFLIK
PERSELISIHAN ANTARA WARGA DI
DESA MARGA
Penyusun : I Wayan Sunarta
Disetujui pada tanggal :
Oleh :

Dekan Fakultas Hukum Dosen Pembimbing

( I Nyoman Suandika, SH.,MH) (Deli Bunga Saravistha, SH.MH.)


NIDN. 0807029101 NIDN. 0828108702
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Kerja Sosial (Kersos) ini
dengan judul “Peranan Bendesa Adat Dalam Mengatasi Konflik Bermuatan
Pidana Antar Warga Masyarakat di Desa Marga“ tepat waktu dan penuh
pertanggungjawaban sehingga penulis dapat mengajukan untuk memenuhi syarat
menyelesaikan Kerja Sosial yang diselenggarakan oleh Universitas Mahendradatta
Bali, di Taman Pujaan Bangsa Margarana, Kecamatan Marga, Desa Marga. Melalui
kesempatan ini, Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dewan Pembina Universitas Mahendradatta Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya
Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, S.E,(M.Tru) M.Si.
2. Ketua Yayasan Universitas Mahendradatta, Bapak Shri I Gusti Ngurah Wira
Wedawitri WS., SOS.,SH., MH.
3. Rektor Universitas Mahendradatta, Dr. Ni Ketut Wiratni, SH., MH.
4. Deli Bunga Saravistha,SH.MH. Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dan mengarahkan Saya dalam menyelesaikan laporan kerja
sosial ini.
5. Perbekel dan perangkat Desa Marga Induk, Perbekel dan perangkat Desa
Marga Dauh Puri, Perbekel dan perangkat Desa Marga Dajan Puri.
6. Bapak dan Ibu dosen pengajar Universitas Mahendradatta.
7. Seluruh Staf Tendik maupun pegawai di lingkungan Universitas
Mahendradatta.
Mengingat berbagai proses dari penyusunan laporan kerja sosial ini, Penulis
menyadari bahwa naskah ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak mengenai
penyusunan tulisan ini, sehingga di lain kesempatan dapat lebih baik lagi khususnya
dalam substansi materi dan penggunaan tata bahasa.
Denpasar, 03 September 2022
Penyusun,

I Wayan Sunarta
i
ABSTRAK
Pemerintahan desa merupakan bagian dari pemerintah daerah yang berada
di bawah kepemimpinan Bupati. Pada tingkatan desa adat, pimpinan tertinggi
berada pada Bendesa adat. Hal ini mendapat legitimasi melalui Peraturan Desa
Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat (selanjutnya disebut Perda Desa Adat).
Keberadaan hukum adat sendiri diakui dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam
UUD 1945 Pasal 18 B Ayat 2 sebagai payung hukum adat di Indoensia. Bendesa
adat memiliki kewenangan menetapkan kebijakan publik di tingkat desa. Salah
satunya melakukan mediasi bagi warganya yang terlibat perselisihan atau konflik,
yang melihat pada pandangan Jeremy Bentham bahwa sejatinya hukum haruslah
juga mampu memberikan manfaat bagi manusia dan menciptakan kebahagiaan
yang sebesar-besarnya.

Maka, tidaklah diperbolehkan dalam penegakan suatu aturan hukum terlalu


kaku tanpa mengindahkan hakekat dari keberadaannya untuk umat manusia. Isu
hukum yang berusaha diangkat dalam penelitian ini adalah bahwa keberadaan Asas
Restoratif Justice bukan hanya diterapkan sebagai upaya penyelesaian di luar
pengadilan, namun kini telah terintegrasi ke dalam sistem penegakan hukum di
Indonesia baik di kepolisian, kejaksaan bahkan di pengadilan. Sehingga, menarik
untuk diteliti lebih lanjut mengenai penerapannya di tataran desa sebagai wilayah
terkecil lingkungan masyarakat khususnya di Desa Marga Kabupaten Tabanan,
sudah selayaknya menerapkan penyelesaian konflik dengan mempertimbangkan
keberadaan Asas Restoratif Justice, melalui dua rumusan permasalahan yaitu
Bagaimana pengaturan yang digunakan sebagai dasar pijakan hukum bagi bendesa
adat dalam mengambil peranan untuk menyelesaikan konflik antar warga
masyarakat yang bermuatan pidana di Desa Marga? Dan Bagaimana kendala yang
dihadapi Bendesa Adat dalam melakukan diskresi terkait penanganan konflik
bermuatan pidana di Desa Marga.

Kata kunci: Bendesa Adat Marga, Kebijakan Hukum Adat, Konflik Pidana

ii
ABSTRACT

The village government is part of the local government under the leadership of the
Regent. At the customary village level, the highest leadership is in the customary village
head. This is legitimized through Village Regulation Number 4 of 2019 concerning
Traditional Villages (hereinafter referred to as the Customary Village Regulation). The
existence of customary law itself is recognized in positive Indonesian law, namely in the
1945 Constitution Article 18 B Paragraph 2 as the umbrella for customary law in
Indonesia. Bendesa adat has the authority to determine public policies at the village level.
One of them is to mediate for citizens who are involved in disputes or conflicts, who look
at Jeremy Bentham's view that the law must also be able to provide benefits to humans and
create the greatest happiness.

Thus, it is not permissible to enforce a rule of law too rigidly without heeding the
nature of its existence for mankind. The legal issue that is attempted to be raised in this
research is that the existence of the Restorative Justice Principle is not only applied as an
out-of-court settlement effort, but has now been integrated into the law enforcement system
in Indonesia both in the police, prosecutors and even in court. Thus, it is interesting to
investigate further regarding its application at the village level as the smallest area of the
community environment, especially in Marga Village, Tabanan Regency, it is appropriate
to implement conflict resolution by considering the existence of the Restorative Justice
Principle, through two problem formulations, namely How the arrangements are used as
the legal basis for the traditional village chief in taking the role of resolving conflicts
between criminally charged community members in Marga Village? And how are the
obstacles faced by the Indigenous Bendesa in exercising discretion regarding the handling
of criminally charged conflicts in Marga Village..

Keywords: Bendesa Adat Marga, Customary Law Policy, Criminal Conflict

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................................

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i

ABSTRAK .................................................................................................................................. ii

Kata kunci: Bendesa Adat Marga, Kebijakan Hukum Adat, Konflik Pidana ......................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................. 4

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................................. 5


1.4.1 Manfaat Secara Teoritis ...................................................................................................................... 5
1.4.2 Manfaat Secara Praktis ....................................................................................................................... 5

b. Bagi Universitas ................................................................................................................ 5

c. Bagi Lembaga Tekait........................................................................................................... 5

d. Bagi Penulis Selanjutnya ..................................................................................................... 6

BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................................................. 7

2.1 Teori Penegakan Hukum. .................................................................................................. 8

2.2 Teori Kewenangan........................................................................................................... 10

2.3 Kajian Restorative Justice ............................................................................................... 12

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................................ 14

iv
3.1 RancanganPenelitian ....................................................................................................... 14

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................................................... 15


3.2.1 Waktu Penelitian............................................................................................................................... 15
3.2.2 TempatPenelitian .............................................................................................................................. 15
3.2.3 ObjekPenelitian ................................................................................................................................ 15

3.3 MetodePengumpulan Data .............................................................................................. 15


3.3.1Metode Pendekatan ............................................................................................................................ 15
3.3.2 Jenis Penelitian ................................................................................................................................. 15
3.3.3 Sumber Data ..................................................................................................................................... 17

3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................................. 17

1. Wawancara ...................................................................................................................... 17

2. Dokumentasi.................................................................................................................... 17

3.5 Metode Analisis Data ...................................................................................................... 18

BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................................................ 19

4.1 Hasil Penelitian................................................................................................................ 19


4.1.1 Pengertian Desa ................................................................................................................................ 19
4.1.2 Desa Bendesa dalam Hukum Adat.................................................................................................... 19

4.2 Pembahasan ..................................................................................................................... 20


4.2.1 Pengaturan Yang Digunakan Sebagai Dasar Pijakan Hukum BagiBendesa Adat Dalam Mengambil
Peranan Untuk Menyelesaikan Konflik Antar Warga Masyarakat Yang Bermuatan Pidana Di Desa
Marga. ....................................................................................................................................................... 20
4.2.2 Kendala Yang Dihadapi Bendesa Adat Dalam Melakukan DiskresiTerkait Penanganan Konflik
Bermuatan Pidana Di Desa Marga ............................................................................................................. 27

BAB V PENUTUP.................................................................................................................... 29

5.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 29

5.2 Saran ................................................................................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 32

Jurnal ..................................................................................................................................... 32

Internet................................................................................................................................... 33

Peraturan Perundang-Undangan ............................................................................................ 33

Lainnya .................................................................................................................................. 33

v
LAMPIRAN .............................................................................................................................. 34

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Wawancara Dengan Sekretaris Desa Marga Induk


Lampiran 2 : Wawancara Dengan Sekretaris Desa Marga Dauh Puri
Lampiran 4 : Struktur Desa Marga
Lampiran 7 : Pelaksaan Bimbingan
Lampiran 8 : Peta Desa Marga
Lampiran 9 : Letak Geografis Desa Marga
Lampiran 10 : Tabel Wawancara

vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pemerintahan desa merupakan bagian dari pemerintah daerah yang berada
di bawah kepemimpinan Bupati. Hal ini diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut dengan UU Desa) bahwa
Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa. Untuk membantu
penyelenggaraan Pemerintahan Desa agar berjalan lebih efektif maka Pemerintah
Desa dapat memberdayakan Lembaga Adat Desa. Dengan adanya perkembangan
ilmu pengetahuan yang pesat telah memberikan peranan yang sangat besar terhadap
lahirnya kriminologi, sebagai himpunan pengetahuan yang terstruktur dari berbagai
kajian permasalahan mengenai kejahatan. Dalam perkembangannya ini,
kriminologi tidak hanya meninjau tentang kejahatan namun juga memperluas ruang
lingkupnya mengenai norma tingkah laku di dalam masyarakat. Suatu negara dalam
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegaranya tentu memerlukan adanya
hukum yang mengatur norma tingkah laku untuk mencapai ketertiban, sama halnya
dengan Indonesia yang merupakan negara hukum.

Pada tingkatan desa adat, pimpinan tertinggi berada pada Bendesa adat. Hal
ini mendapat legitimasi melalui Peraturan Desa Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa
Adat (selanjutnya disebut Perda Desa Adat), pada Pasal 1 Angka (16). Keberadaan
hukum adat sendiri diakui dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945/UUD 1945 Pasal 18 B Ayat 2 menjelaskan
tentang pengakuan serta penghormatan Negara kepada kesatuan masyarakat hukum
adat beserta dengan hak tradisionalnya berdasarkan perkembangan masyarakat
serta prinsip Negara yang ditentukan di undang-undang. Bendesa adat memiliki
kewenangan menetapkan kebijakan publik di tingkat desa. Salah satunya
melakukan mediasi bagi warganya yang terlibat perselisihan atau konflik, yang
dalam penelitian ini pembahasannya akan dibatasi pada konflik bermuatan pidana
seperti perkelahian, pencurian, konflik rumah tangga yang mengandung kekerasan,
dan masih banyak lagi.

1
2

Sistem pemidanaan di Indonesia, telah mulai mengubah cara pandang


mengenai penalisasi warganya. Terutama untuk konflik-konflik yang termasuk
kedalam kluster Tindak Pidana Ringan. Hal ini sesuai dengan keberadaan Asas
Restoratif Justice yang telah mulai diimplementasikan, baik di level penegak
hukum kepolisian, kejaksaan maupun di lingkup pengadilan.

Pandangan Mazhab Positivisme yang awalnya mewarnai sistem


pemidanaan di Indonesia, kini mulai melihat penalisasi dalam sudut pandang yang
berbeda. Pemidanaan klasik kini mulai dihindari dengan alasan bahwa motif-motif
ekonomi yang mendasari seseorang melakukan kejahatan ternyata juga
menempatkan negara sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
sebagai tujuan negara Republik Indonesia.1

Dalam tatanan Hukum Pidana, berkembang konsep Restorative Justice.


Pemidanaan bukanlah penyelesaian satu-satunya dan bukan pula menjadi solusi
untuk memberikan kepastian menekan angka kejahatan. Pemidanaan lebih sering
membuat si pelakunya masih saja terjebak dalam lingkaran kejahatan. Hal ini
disebabkan karena mens rea, yang menjadi alasan suatu perbuatan jahat dilakukan
justru terabaikan oleh aparat penehak hukum. Sehingga menarik untuk diteliti dan
dianalisis lebih lanjut mulai dari tataran desa adat. Hukum adat adalah hukum
positif kendatipun tidak merupakan hukum tertulis, hukum ini tetap memiliki
eksistensinya di masyarakat Bali.2

Kembali ke tatanan hukum nasional, Tujuan hukum merupakan hal yang


seyogyanya ingin dicapai dalam keseluruhan alasan dari ditetapkannya suatu sistem
hukum dalam sebuah negara. The Liang Gie menyatakan bahwa tujuan hukum
3
Timur adalah Kedamaian sebagai suatu keharmonisan. Hal tersebut tentunya
berbeda dengan teori tujuan hukum yang banyak disuguhkan oleh literatur hukum.

1
Saravistha, D.B., Sukadana, I Ketut, Suryana Dedy, I. M.D, 2022, Optimalisas iPenerapan Sanksi Adat Dalam
Upaya Pengejawantahan Asas Restoratif Justice Di Desa Adat (Studi Kasus Di Desa Adat Penyaringan, Kabupaten
Jembrana). Jurnal Impresi Indonesia (JII), Vol.1 No.3, https://doi.org/10.36418/jii.v1i3.32
2
Ibid
3
The Liang Gie, 2002, Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta, Sumber Sukses, h. 22
3

Salah satu diantaranya yang populer adalah pernyataan dari Gustav Radbruch
bahwa tujuan hukum mencakup kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.4

Munculnya Asas Restoratif Justice merupakan salah satu upaya menuju


pada pembaharuan hukum khususnya dalam tulisan skripsi ini adalah pembaharuan
dalam paradigma pemidanaan. Pandangan asas ini sangat mengedepankan suatu
upaya penyelesaian konflik secara non judicial atau diluar pengadilan yang metode
penyelesaiannya menitikberatkan pada pengembalian kepada keadaan semula
dengan memperbaiki keadaan ataupun menggantikan kerugian dan menghindari
penyelesaian konflik pada jalur litigasi atau pengadilan.5

Keberadaan asas ini tidak lain bukan bermaksud menentang keadilan bagi
pihak yang dirugikan atau korban dalam kasus pidana. Namun, agar permasalahan
antara pelaku dan korban dapat diselesaiakan secara damai. Apalagi kasus pidana
yang terjadi masih tergolong tindak pidana ringan. Sehingga jalur penyelesaian
damai antara para pihak nantinya dapat dituangkan dalam suatu kesepakatam
damai. Maka muncullah pandangan mengenai keadilan restoratif yaitu keadilan
yang dqalam suatu penyelesaian kasus pidana para pihaknya bersama-sama duduk
memecahkan masalah dan memikirkan akibat-akibat yang mampu dihin dari
bahkan dihilangkan di masa mendatang. Sehingga bukan hanya berorientasi pada
pelaku melainkan juga pada korban.6

4
Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui
Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum, Jurnal Crepido: Jurnal Mengenai Dasar Pemikiran Hukum Filsafat dan Ilmu
Hukum, Vol 01, Nomor 01 Juli 2019, h. 14

5
https://heylawedu.id/blog/penerapan-restorative-justice-sebagai-upaya-
pembaharuanhttps://heylawedu.id/blog/penerapan-restorative-justice-sebagai-upaya- pembaharuan-paradigma-pemidanaan-
di-indonesia-pada-masa-pandemi-covid- 19paradigma-pemidanaan-di-indonesia-pada-masa-pandemi-covid-19, Diakses
Tanggal
27 April 2022, Pukul 22.06 wita lihat juga Hanafi Arief dan Ningrum Ambarsari, Penerapan Prinsip Restorative Justice
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jurnal Hukum Al-Adl , Vol 10, No 2, Juli 2018, h. 174
6
Apong Herlina etc., 2004, Perlindungan Terhadap Anak Yang BerhadapanDengan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 44
4

Penegakan hukum Pidana di Indonesia mengacu pada Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang sejatinya merupakan
pelaksanan dari hukum formil dengan wujud nyatanya berupa penjatuhan pidana
atau sanksi hukum pada pelaku kejahatan. Pandangan dalam hukum formil sangat
mengedepankan pada penegakan undang-undang, artinya setiap penegakan hukum
harus dilandasi peraturan hukum. Namun, jika melihat pada pandangan Jeremy
Bentham bahwa sejatinya hukum haruslah juga mampu memberikan manfaat bagi
manusia dan menciptakan kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Maka, tidaklah
diperbolehkan dalam penegakan suatu aturan hukum terlalu kaku tanpa
mengindahkan hakekat dari keberadaannya untuk umat manusia.7

Isu hukum yang berusaha diangkat dalam penelitian ini adalah bahwa
keberadaan Asas Restoratif Justice bukan hanya diterapkan sebagai upaya
penyelesaian di luar pengadilan, namun kini telah terintegrasi ke dalam sistem
penegakan hukum di Indonesia baik di kepolisian, kejaksaan bahkan di pengadilan.
Sehingga, menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai penerapannya di dalam
tataran desa sebagai wilayah terkecil lingkungan masyarakat khususnya di Desa
Marga Kabupaten Tabanan, sudah selayaknya menerapkan penyelesaian konflik
bermuatan pidana di wilayahnya dengan mempertimbangkan keberadaan Asas
Restoratif Justice.
1.2 Rumusan Masalah
Dari hasil uraian di atas, rumusan masalah yang akan diangkat yaitu mengenai

1. Bagaimana pengaturan yang digunakan sebagai dasar pijakan hukum bagi


bendesa adat dalam mengambil peranan untuk menyelesaikan konflik antar
warga masyarakat yang bermuatan pidana di Desa Marga?
2. Bagaimana kendala yang dihadapi Bendesa Adat dalam melakukan diskresi
terkait penanganan konflik bermuatan pidana di Desa Marga?

7
Rudi Rizky (ed), 2008, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalamDekade Terakhir), Jakarta,
Perum Percetakan Negara Indonesia, h 4
5

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun yang menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah :
1 Agar mahasiswa membiasakan diri untuk menganalisa, memahami, mencari
solusi dari sebuah permasalahan hukum yang terjadi di dunia nyata
diselaraskan dengan teori yang dipelajari didalam kelas,
2 Agar mahasiswa mendapat bayangan mengenai permasalahan hukum yang
beredar dilingkungan masyarakat,
3 Agar pemikiran mahasiswa lebih terbuka akan isu hukum yang ada
dilapangan,
4 Agar mahasiswa dan masyarakat mengetahui bagaimana peran dan
pentingnya masyarakat dalam mencegah peristiwa kejahatan,
5 Agar mahasiswa dan masyarakat mengetahui pentingnya penyelesaian
secara kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun yang menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah :

1.4.1 Manfaat Secara Teoritis


Secara teoritis, memberikan gambaran tentang Peran Bendesa Adat
Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Kriminalisasi bagi warga
masyarakatnya yang terlibat konflik bermuatan pidana.

1.4.2 Manfaat Secara Praktis


a. Bagi Penulis
Sebagai sarana dalam menambah ilmu di bidang hukum adat
khususnya dalam mengatasi konflik bermuatan pidana dalam
kehidupan bermasyarakat di Desa Marga.
b. Bagi Universitas
Sebagai sumbangsih terhadap masyarakat di bidang akademik
khususnya dalam bidang hukum adat di Desa Marga.
c. Bagi Lembaga Tekait
Dengan adanya penelitian ini di harapkan akan dapat memberikan
sumbangan pikiran kepada lembaga yang terkait serta dapat
dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan selanjutnya.
6

d. Bagi Penulis Selanjutnya


Untuk mendapatkan referensi bagi mahasiswa yang berkeinginan
untuk melakukan penelitian dalam bidang yang sama, dalam
menerapkan teori dan konsep hukum ke dalam praktik hukum yang
nyata.
BAB II
KAJIAN TEORI

Sejak Abad-19 pembahasan topik mengenai kejahatan baru menjadi


perhatian para ilmuan di masanya. Perkembangan ilmu pengetahuan yang
seiring dengan perkkembangan manusia dala masyarakat telah mampu
memberikan perananya pada lahirnya ilmu kriminologi sebagai suatu
himpunan pengetahuan yang terstruktur dari berbagai kajian permasalahan
khususnya dalam mengkaji kejahatan. Seiring dengan perkembangan jaman
maka kriminologipun tidak lagi mengkaji mengenai kejahatan saja namun juga
berkembang pada mengkaji dan memberikan indikator penilaian bagi tingkah
laku masyarakat. Hukum diperlakukan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara untuk menciptakan suatu ketertiban, sekaligus mengingat bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan
negara yang menandakan keberagaman adat budaya dalam wilayah Indonesia8.
Keberadaan rumusan pasal dalam hukum psotif menyebabkan
semakin kuatnya hukum adat yang tidak dipingkiri memiliki keunikannya masing-
masing. Keunikan antara adat satu dengan lainnya tentu akan membuat hukum
nasional diterapkan dengan cara-cara yang agak berbeda untuk dapat mencapai
tujuannya.Untuk beberapa hal, pemerintah menyerahkan beberapa permasalahan
agar diselesaikan melalui penyelesaian sesuai adat-istiadat masing-masing.
Kumpulan aturan adat yang dijadikan pedoman dalam menciptakan suatu
masyarakat hukum adat yang harmonis, khususnya di dalam masyarakat adat Bali
disebut sebagai Awig-Awig. Secara etimologi kata ini berasal dari suku kata “wig”
yang bermakna rusak, lalu diberi awalan “a” yangberarti tidak. Sehingga
menjadilan bermakna tidak rusakatau suatu yang baik. Makna lainnya mengenai
pedoman aturan adat ini adalah sebagai suatu ketentuan yang dijadikan
pedoman etika pergaulan hidup di masyarakat untuk menciptakan suatu
masyarakat yang bersifat ajeg. Dalam ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 diatur bahwa Hukum adat yang terdiri dari

8
Ibid 9

7
8

awig-awigmaupunpararemadalah hukum yang hidup dalam masyarkat adat Bali


yang bersumber dari apa yang disebut sebagai Catur Dresta sekaligus dijiwai
oleh ajaran Agama Hindu di Bali. Catur Dresta yakni ajaran-ajaran agama, Kuna
Dresta yakni nilai-nilai budaya, Loka Dresta yakni pandangan hidup dan Desa
Dresta yakni adat-istiadat setempat.

2.1 Teori Penegakan Hukum.


Prof. Dr. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penegakan hukum terdapat
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga penegakan
hukum dapat berdampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.
Terjadinya gangguan terhadap penegakan hukum terjadi apabila ada
ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku (“tritunggal”). Dalam hal
terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan dan menjelma dalam
kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang akan
dapat mengganggu kedamaian pergaulan hidup, maka penegakan hukum menjadi
tidaklah dapat diwujudkan. Artinya, penegakan hukum akan menjadi tidaklah
berjalan sebagaimana mestinya atau akan terganggu dalam perjalanan dan
penegakan hukumnya. Masalah pokok penegakan hukum terletak kepada faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut yaitu: Pertama, faktor
hukumnya; Kedua, faktor penegak hukum; Ketiga, faktor sarana atau
fasilitas, keempat faktor masyarakat dan kelima faktor kebudayaan.9
Penegakan hukum di lingkungan desa adat melalu iawig-awig. Didalam
isinya awig-awig tidak hanya membedakan antara apa yang menjadi suatu
kewajiban adat dan manapula yang merupakan hak adat melainkan juga
memberikan sanksi adat yang terdiri dari sanksi denda atau danda, sanksi fisik
dan juga sanksi moril atau psikologis bagi si pelanggarnya. Keunikannya
adalah dalam penetapan sanksi adat adapula yang disebut sebagai sanksi
spiritual dimana yang dihukum dibebankan kewajiban untuk melaksanakan
suatu upacara ritual untuk memulihkan energi semesta yang menjadi tidak

9
SoerjonoSoekanto (1983), Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PenegakanHukum, Rajawali Press,
Jakarta.
9

stabil karena perbuatan salah yang dilakukan seorang oknum masyarakat adat.
Sama juga seperti penegakan hukum dalam hukum nasional, bahwa keberadaan
asas restoratifjusticejuga wajib diutamakandemi masa depan hukum dan asas
kemanfaatan. Jadi, bukan hanya kepastian hukum semata. Dalam masyarakat
hukum adat kendatipun telah ada pengaturan mengenai hukuman tertentu bagi
kesalahan tertentu tetap wajib mengutamakan asas kepatutan dan kerukunan
dalam masyarakat sehingga mampu diciptakannya suatu kerukunan yang dalam
hukum adat disebut dengan “Asas Paras Paros Salulung Sebayantaka”atau jika
dinasionalkan maka maknanya adalah asas kekeluargaan. Apalagi dalam
penetapan suatu hukum adat atau aturan adat wajib juga memperhatikan ajaran-
ajaran dalamAgama seperti misalnya keberadaan ajaran tentang Konsep Tri Hita
Karana yang dijadikan sebagai landasan filosofis bagi masyarakat hukum adat di
Bali dalam melakukan dan menjalin hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan
Alam semesta dan hubungan antar sesama manusia.Penelitian terhadap
masyarakat hukum adat difokuskan pada masyarakat di Kawasan Kabupaten
Jembrana khususnya Desa Penyaringan. Bagi masyarakat desa ini sangatpenting
untuk selalu mengingat dan menerapkan pedoman filosofis dalam menjalin tiga
hubungan tadi baik itu Parhyangan (hubungan dengan Tuhan),
Pawongan(hubungan dengan sesama manusia) dan palemahan(hubungan dengan
alam) yang dirasa dan dipercaya dapat diwujudkan melalui penegakan hukum adat
sebagaimana tertera dalam awig-awigdanpararem.Sudah banyak penelitian yang
manganalisis mengenai hukum adat. Namun, belum banyak yangmengungkap
bahwa sejatinya Asas Restoratif Justice dan adanya penyelesaian dengan win-win
solution melalui musyawarah mufakat telah hidup dan tumbuh dalam masyarakat
hukum adat di Indonesia, khususnya pada masayarakat hukum adat di Desa
Marga dimana tempat penelitian ini dilaksanakan.Terjadinya kejahatan
dipandangakan menimbulkan terciptanya suatu ketidakseimbangan baik dalam
alam materiil maupun alam spiritual atau dikenal dengan sebutan sekala- niskala.
Ketidakseimbangan tentunya diakibatkan karena tidak ada sarana yang
10

tepat untuk mengatur perilaku manusia sebagai objek pengaturan sebuah


norma10

2.2 Teori Kewenangan


Konsep kewenangan dikemukakan oleh Ateng Syarifudin bahwa harus
mengandung dua unsur, yaitu:

a. Adanya kekuasaan formal;


b. Kekuasaan tersebut diberikan oleh undang-undang.
Beliau mengemukakan adanya perbedaan pengertian kewenangan
(authority, gezag) dan wewenang (competence). Kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang
11
merupakan bagian dari kewenangan. Dalam literature ilmu politik, ilmu
pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan,
dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan dan
kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula
sebaliknya. Bahkan, kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang
memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).²

Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan


dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)
dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang
diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang (rechtshevoegdheden). Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum public, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya
meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi

10
Saravistha, D.B., Sukadana, I Ketut, Suryana Dedy, I. M.D, 2022, Optimalisasi Penerapan Sanksi Adat Dalam
Upaya Pengejawantahan Asas Restoratif Justice Di Desa Adat (Studi Kasus Di Desa Adat Penyaringan, Kabupaten
Jembrana). Jurnal Impresi Indonesia (JII), Vol.1 No.3, https://doi.org/10.36418/jii.v1i3.32
11
H. HS, Salim dan Nurbani, Erlies Septiana, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Disertasi dan Tesis (Buku
Kesatu), Depok, Rajawali Pers, h. 184
11

wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta


distrubi wewenang utamanyaditetapkandalamperaturan perundang-undangan.³
Secarayuridis, pengertianwewenangadalahkemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk menimbulkanakibat-akibat hukum.

Dalam konstruksi ini kewenangan tidak hanya dimakanai sebagai hak dalam
menjalankan kekuasaan, namun juga mengandung unsur sebagai berikut:12

1. Untuk menerapkan dan menegakkan hukum;

2. Ketaatan yang pasti;

3. Perintah;

4. Memutuskan;

5. Pengawasan;

6. Yurisdiksi;

7. Kekuasaan.

Maka, kesimpulan dalam Teori Kewenangan adalah harus memenuhi 3


unsur, yaitu :13

1. Adanya kekuasaan;

2. Adanya organ pemerintah; dan

3. Sifat hubungan hukumnya.

Indroharto, mengklasifikasikan kewenangan dalam 3 bentuk, yaitu:14

1. Atribusi adalah kewenangan yang bersumber langsung dari


undang-undang;

12
Ibid, h. 185
13
Ibid, h. 186
14
Ibid, h. 193-196
12

2. Delegasi adalah penyerahan kewenangan dari satu organ ke


organ lain dalam sistem pemerintahan dan sekaligus
pertanggung jawabannyapun akan berpindah pada yang
menerima kewenangan;

3. Mandat adalah penyerahan kewenangan dalam suatu organ


pemerintahan dari yang kedudukannya lebih tinggi ke
rendah/dibawahnya, dalam hal ini tidak terjadi pelimpahan
tanggung jawab.
2.3 Kajian Restorative Justice
Restorative justice atau keadilan restoratif adalah suatu proses penyelesaian
yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku / korban, dan pihak lain yang
terkait dalam suatu tindakan pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian
terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan,
kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.15

Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir


yang baru dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak
hukum dan pekerja hukum. Beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi
terselenggaranya restorative justice antara lain adalah:16

1. Identifikasi korban.

2. Kesukarelaan korban untuk berpartisipasi.

3. Adanya pelaku yang berkeinginan untuk bertanggungjawab atas tindak


pidana yang dilakukannya.

4. Tidak ada paksaan pada pelaku Terkait dengan hal tersebut, Maka
merumuskan sejumlah prinsip yang harus ditaati dalam
penyelenggaraan program yang meliputi prinsip yang melekat padapara

15
Nursariani Simatupang dan Faisal, 2018, Hukum Perlindungan Anak, Medan,Pustaka Prima, h. 166.

16
Ibid
13

pihak yang berkepentingan, masyarakat lokal, aparat, sistem peradilan,


serta lembaga yang menjalankan konsep keadilan restoratif.

Ada 5 (lima) prinsip dalam pelaksanaan restorative justice, yaitu: 17

1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus.


Dalam hal ini korban dan pelaku harus dilibatkan secara aktif dalam
perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif.
Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini
merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut
duduk bersama memecah persoalan ini.

2. Restorative justice mencari solusi untuk mengembalikan dan


menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau
pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpanya.

3. Restorative justice memberikan rasa tanggungjawab yang utuh bagi


pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya. Pelaku harus
menunjukkan rasa penyesalannya dan mengakui semua kesalahannya
serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian
bagi orang lain.

17
Ibid, h. 171
BAB III
METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dan penelitian yuridis


normatif impiris dengan pendekatan peraturan perundang-undangan.
3.1 RancanganPenelitian

Metode penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting dalam sebuah
penelitian, baik dalam penelitian yang bersifat yuridis atau empiris maupun yang
bersifat normatif. Tanpa menggunakan metode (cara) dalam meneliti, peneliti tidak
akan mendapatkan hasil atau tujuan yang ia inginkan. Sebab, metode penelitian
merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin ilmu yang dibangun
oleh peneliti. Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan memilih
metode yang tepat agar tujuan penelitian tercapai secara maksimal.
Pendekatan yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
Yuridis Empiris. Pendekatan Yuridis Empiris adalah menekankan penelitian yang
bertujuan memperoleh pengetahuan hukum secara empiris dengan jalan terjun
langsung ke objeknya. Penelitian Yuridis Empiris adalah penelitian hukum
menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan
dengan data primer dilapangan atau terhadap masyarakat, meneliti efektivitas suatu
peraturan dan penelitian yang ingin mencari hubungan (korelasi) antara berbagai
gejala atau variabel, sebagai alat pengumpulan datanya terdiri dari studi dokumen
atau bahan pustaka dan wawancara (kuisoner).7
Pendekatan Yuridis Empiris ditujukan terhadap kenyataan dengan cara
melihat penerapan hukum (Das Sein), dalam hal ini adalah kewenangan dan
wewenang perbekel Desa Marga dalam pengelolaan keuangan. Peneliti memilih
jenis penelitian hukum ini karena penliti ingin melihat bagaimana keterkaitan antara
hukum yang dikehendaki (Das Sollen) dengan realita yang terjadi (Das Sein) di
Desa Marga.
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, peneliti akan
melakukan beberapa tahap penelitian sebagai berikut:
1. Melakukan wawancara terhadap Sekretaris Desa Marga.

14
15

2. Penelitian dan pengamatan terhadap kasus yang pernah terjadi yang dikaitkan
dengan kewenangan dan wewenang perbekel Desa Marga dalam peranan
bendesa adat dalam mengatasi konplik perselisihan warga di desa marga

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian


Waktu yang digunakan peneliti untuk penelitian ini
dilaksanakan sejaktanggal 25 Agustus 2022 – 27 Agustus 2022 waktu
pengumpulan data dan tanggal
30 Agustus 2022 – 2 September 2022 waktu pengolahan data
yang meliputi penyajian dalam bentuk laporan dan proses bimbingan
berlangsung.

3.2.2 TempatPenelitian

Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di Desa Marga, Desa


Marga DajanPuri, dan Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan.

3.2.3 ObjekPenelitian

Yang dimaksud obyek penelitian, adalah hal yang menjadi sasaran


penelitian. Adapun Obyek penelitian dalam tulisan ini meliputi: Perbekel
Desa Marga dan masyarakat setempat.

3.3 MetodePengumpulan Data

3.3.1Metode Pendekatan
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris.
Jenis penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dan penelitian yuridis
normatif impirisdenganpendekatan peraturan perundang-undangan.

3.3.2 Jenis Penelitian


Dalam penulisan laporan Kerja Sosial (Kersos) ini, Penulis
menggunakan jenis penelitian yuridis empiris. Yuridis empiris atau disebut
dengan penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan ini
16

bertitik tolak dari data primer. Penelitian


17

ini direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas hukum


yang sedangberlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum.16

Maka berdasarkan hal tersebut, maka penulis menetapkan


narasumber yangdiangap lebih tahu mengenai hal tersebut sebagai berikut
:

1. Kepala Desa Marga


2. Perangkat Desa Marga

3.3.3 Sumber Data

Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan penulis adalah
pengumpulan data yang diperoleh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya
melalui informasi dari Sekretaris Desa. Pengumpulan data yang
digunakan dalam mengkaji laporan Kerja Sosial (Kersos) ini adalah
dengan menggunakan teknik wawancara.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang
terdiri dari Peraturan Perundang-undangan terbaru yang berkaitan
dengan kewenangan dan wewenang perbekel desa dalam pengelolaan
keuangan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Dalam mengumpulkan data untuk penulisan laporan kerja sosial (Kersos)
ini, penulis menggunakan Wawancara dan Dokumentasi:
1. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dan informasi. Data dan
informasi diajukan oleh peneliti berupa pertanyaan-pertanyaan yang
dilakukan secara terstruktur. Berikut nama-nama narasumber: Wayan
Sudiarta (Sekretaris Desa Marga);
2. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan mengambil foto, rekaman video dan
rekaman suara di lokasi penelitian.
18

3.5 Metode Analisis Data


Setelah data tersebut terkumpul, maka akan di inventarisasi dan kemudian
diseleksi yang sesuai untuk digunakan menjawab pokok permasalahan penelitian
ini. Selanjutnya di analisa secara yuridis untuk mencapai kejelasan masalah yang
akan di bahas. Dalam menganalisis data penelitian ini dipergunakan metode analisis
empiris yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu
apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga prilakunya
yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

Kerangka Berpikir

PERANAN BENDESA ADAT


DALAM MENGATASI
KONFLIK BERMUATAN
PIDANA ANTAR WARGA
MASYARAKAT DI DESA
MARGA

MASYARAKAT / KRAMA DESA PERKARA ADAT/ MASALAH

KERTA DESA

MEDIASI/ PERSIDANGAN

KEPUTUSAN / SANKSI
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Pengertian Desa
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena
kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan
desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan
Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Dengan
demikian desa merupakan suatu lokasi yang terdapat batas-batas yang
membedakan antara desa satu dengan desa lainnya, kemudian dalam
aktivitasnya melakukan pelayanan dan mempunyai hak untuk mengatur
wilayah desa tersebut. Dalam UU Desa disebutkan dalam pasal 6 tentang
Jenis Desa dan Desa Adat. Penetapan Desa Adat itu sendiri diatur dalam
pasal 96 yang kemudian di jabarkan dalam pasal 97.

4.1.2 Desa Bendesa dalam Hukum Adat


DalamDesa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali
yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional,
harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat
secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau
kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam Peraturan Normor 4 Tahun
2019 Tentang Desa Adat disebutkan untuk menyelenggarakan
Pemerintahan Desa Adat diangkat Prajuru Adat atau pengurus desa adat
diantaranya ;

a. BendesaAdat
Bandesa Adat atau Kubayan atau dengan sebutan lain adalah Pucuk
Pengurus Desa Adat.
b. Sabha Desa Adat adalah lembaga mitra kerja Prajuru Desa Adat yang
melaksanakan fungsi pertimbangan dalam pengelolaan Desa Adat.
19
20

c. Kerta Desa Adat adalah lembaga mitra kerja Prajuru Desa Adat yang
melaksanakan fungsi penyelesaian perkara adat/wicara berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat setempat.
d. Pacalang Desa Adat atau Jaga Bhaya Desa Adat atau sebutan lain
yang selanjutnya disebut Pacalang, adalah satuan tugas keamanan
tradisional Bali yang dibentuk oleh Desa Adat yang mempunyai
tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah di
wewidangan Desa Adat.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaturan Yang Digunakan Sebagai Dasar Pijakan Hukum
Bagi Bendesa Adat Dalam Mengambil Peranan Untuk Menyelesaikan
Konflik Antar Warga Masyarakat Yang Bermuatan Pidana Di Desa
Marga.
Sama halnya dengan hukum positif yang terbagi sesuai
bidangnya, hukum adatpun demikian. Dalam Hukim adat salah satu
klusternya yaitu disebut sebagai delichtentrecht atau hukum pidana adat.
Definisi mengenai hal ini diberikan oleh Hilman Hadikusuma, sebagai
hukum yang membuktikan sebuah peristiwa dan suatu perbuatan yang
perlu diselesaiakan karena dipandang telah mengganggu keseimbangan
dan kesejahteraan dalam masyarakat. Berikutnya pendapat yang
diberikan oleh Van Vollenhoven, yaitu suatu tindakan yang
sesungguhnya tidak diperkenankan atau dilarang untuk dilakukan
kendatipun pada kenyataannya perbuatan tersebut masih terbilang suatu
kecelakaan kecil.

Pidana adat satu dengan lainnya sangat heterogen, artinya memiliki


perbedaan antara masyarakat adat satu dengan lainnya sebagaimana
semboyan negara telah menggambarkan hal tersebut. Dalam hukum
nasional, landasan yuridis pelaksanaan pidana adat diatur dalam Undang-
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Diatur dalam Pasal 5 bahwa
“Pidana adat yang tidak ada bandingannya di dalam KUHP, pidana adat
yang ada bandingannya di dalam KUHP, dan sanksi adat”. Hakim di
pengadilan dapat mempertimbangkan penerapan sanksi pidana adat
dalam suatu putusan daripada klausul yang diatur dalam KUHP.
21

Dewasa ini mulai berkembang keadilan restoratif justice, dimana


menurut asas ini pemidanaan adalah langkah yang sifatnya ultimum
remedium, dan asas ini telah diterapkan dalam Hukum Pidana Adat yang
lebih mengutamakan kesimbangan yang terganggu untuk dipulihkan
kembali seperti semula tanpa pemenjaraan. Apalagi kasus yang terjadi
masih tergolong sebagai tindak pidana ringan. Penegakan Hukum Pidana
Adat berorientasi pada “keseimbangan yang terganggu”. Maka, pemulihan
atas ketidakseimbangan dilakukan dengan menetapkan sanksi adat bagi
pelaku. Beberapa masyarakat hukum adat telah mulai berupaya
melakukan kodifikasi terhadap hukum adat.Hal ini dilakukan melalui
dokumentasi peraturan-peratutan adat seperti Awig-awig, Kitab Suci
Agama yang mengandung peraturan bagi tingkah laku manusia (Catur
Agama), berupaya menyalin kitab-kitab Kuno demi menjaga
eksistensinya. Maka, apapun perbuatan yang tidak sesuai dengan pedoman
tingkah laku manusia yang diatur dalam hukum adat akan dipandang
sebagai perbuatan yang melanggar hukumdan wajib dikenakan sanksi.

Eksistensi hukum yang hidupa dan masih diakui hingga kini


terbukti lebih efektif mengatasi angka kejahatan.Penyelesaian dilakukan
tertutup diantara para pohak yang berkepentingan disaksikan oleh para
perangkat desa adat untuk menghindari tekanan psikis yang kemungkinan
akan diterima apabila penyelesaiannya terbuka untuk umum. Bali
merupakan salah satu kelompok masyarakat huku adat yang eksitensinya
masih ajeg hingga kini, walaupun tidak dapat dipungkiri hukum ini juga
mengalami proses perubahan baik melalui proses asimilasi budaya
mapun karena pengaruh teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Bali menjadi daerah potensial yang menarik dikunjungi oleh wisatawan
justru karena budaya dan tradisi yang masih terjaga melalui kerjasama
dan sinergitas dalam masyarakat hukum adatnya.

Biasanya kumpulan masyarakat hukum adat ini akan berdiam


disuatu wilayah yang disebut dengan Desa Pekraman, yang merupakan
susunan asli warga masyarakat Bali yang mengorganisir anggotanya secara
bulat dan menyeluruh. Mengenai Desa Pekraman ini diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 yang memberikan definisis
22

bahwa yang dimaksud dengan desa


23

pekaraman adalah “suatu kesatuan masyarakat hukum adat di


Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan masyarakat umat Hindu yang diwariskan secara turun menurun,
memiliki wilayah serta harta kekayaan sendiri, dan memiliki hak untuk
mengelola keperluannya sendiri”. Melalui perda tersebut desa yang dahulu
disebut desa adat kini berubah menjadi desa pekraman. Dalam perda
tersebut juga dijelaskan bahwa, “awig- awig ialah aturan yang dibuat
oleh krama (warga) desa pakraman dan/atau krama banjar pakraman
sebagai pedoman dalam melaksanakan Tri Hita Karana, sesuai dengan
desa mawacara dan dharma agama desa pakraman atau banjar pakraman”.

Diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) bahwa suatu awig-awig tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia sebagaimana
merupakan isu global yang berlaku universal dan telah diatur dalam UU
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Maka, dapat disimpulkan
bahwa hukum nasional memiliki kedudukan yang lebih diutamakan
apabila ada pengaturan dalam hukum adat yang dalam pelaksanaannya
bertentangan dengan hukum positif ciptaan negara. Karakteristik Awig-
Awig Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-
tembang, sesonggan dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-
awig harus menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang
akan membuatnya, hal ini dimaksudkan agar awig-awig itu memiliki
kharisma dan jiwa/taksu.

Awig-awig yang ada di desa pakraman tidak saja mengatur masalah


bhuwana alit (kehidupan sosial) tapi juga mengatur bhuwana agung
(kehidupan alam semesta). Hal inilah yang mendorong masyarakat
Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak
saja menimbulkan sanksi sekala (lahi) juga sanksi niskala (batin). Kedua,
Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip
yang serba konkret, nyata, jelas dan bersifat luwes. kaedah-kaedah hukum
adat dibangun berdasarkan asas-asas pokok saja, sedangkan pengaturan
yang bersifat detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu
dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan
muncul peraturan adat lain
24

seperti pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk


pelaksana, aturan tambahan dan juga bisa saja sanksi tambahan yang
belum ada, sudah tidak efektif atau belum jelas pengaturannya dalam
awig-awig.18 Ketiga, bersifat dinamis, hukum adat tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Ketika masyarakat berubah karena
perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang agar mampu
mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum dengan
sesamanya. Keempat, Bersifat kebersamaan atau komunal. Dalam hukum
adat Bali tidak mengenal yang namanya Hakim menang kalah, namun
yang ada adalah hakim perdamaian. Karena Hukum Adat Bali lebih
mementeingkan rasa persauadaraan dan kekeluargaan). Sanksi dalam
Awig-Awig antara lain:

a. Mengaksama (minta maaf)


b. Dedosaan (denda uang)
c. Kerampang (disita harta bendanya)
d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu.Kaselong
(diusirdari desanya)
e. Upacara Prayascita (upacara bersih desa)

Karakteristik Dan Nilai-Nilai Hukum Pidana Adat Di Desa


Marga dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat
kosmis, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya
suatu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan
manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman
masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil
tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan
hukum realitas bahwa hukum pidana adat merupakan sarana
penyeimbang atas kegoncangan dalam masyarakat akibat pelanggaran
delik, berfungsi untuk menjaga harmoni, penyelesaian

18
Saravistha, D.B., Sukadana, I Ketut, Suryana Dedy, I. M.D, 2022, Optimalisasi Penerapan Sanksi Adat
Dalam Upaya Pengejawantahan Asas Restoratif Justice Di Desa Adat (Studi Kasus Di Desa Adat Penyaringan, Kabupaten
Jembrana). Jurnal Impresi Indonesia (JII), Vol.1 No.3, https://doi.org/10.36418/jii.v1i3.32
25

konflik, menjaga solidaritas masyarakat, sebagai refleksi cita moral,


agama dan susila masyarakat dan sifatnya yang tidak "praeexistence".

Masyarakat tradisional mempercayai bahwa manusia adalah bagian


dari makro kosmos (alam semesta), tidak terpisah dengan Tuhan Yang
Maha Esa sebagai pencipta-Nya, dan bersatu dengan lingkungan alam dan
lingkungannya. Keberadaannya dalam posisi saling berhubungan dan
saling mempengaruhi dan berada dalam keadaan harmoni atau seimbang,
oleh karena itu pelanggaran terhadap keseimbangan tersebut senantiasa
harus dikembalikan dalam posisi keseimbangan. 19

Menurut pandangan Ter Haar, terjadi pelanggaran delik apabila


terdapat gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap
penubrukan segi satu pada barang-barang kehidupan materil orang
seorang, atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu
kesatuan (segerombolan), tindakan demikian menimbulkan reaksi yang
sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat ialah reaksi adat,
karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali
(kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran berupa barang-barang
atau uang). Jadi menurut pengertian Ter Haar, untuk disebut delik
perbuatan tersebut harus mengakibatkan keguncangan dalam neraca
keseimbangan masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat
apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar,
melainkan juga apabila norma-norma kesusilaan, kesopanan, dan
keagamaan dalam suatu masyarakat dilanggar. Contoh yang terjadi di
Bali, sebelum tahun 1951 dikenal delik adat "manak salah", yaitu
bilamana seorang ibu dari golongan sudra/golongan bawah melahirkan
bayi kembar perempuan harus dikenakan sanksi adat.

Setelah tahun 1951 ketentuan tersebut dianggap tidak patut maka


ditinggalkan. Hukum pidana adat mempunyai ciri atau karakteristik
sebagai berikut:

19
Fadli, Moh., Jazim Hamidi, Mustafa Lutfi, Pembentukan Peraturan DesaPartisipatif (Head to A Good
Village Governance), _,_, h. 56
26

a. Menyeluruh dan menyatukan. Karena dijiwai oleh sifat kosmis, yang


mana satu sama lain saling berhubungan. Hukum Pidana Adat tidak
membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan pelanggaran yang
bersifat perdata.

b. Ketentuan yang terbuka. Hal ini didasarkan atas ketidakmampuan


meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti, sehingga
ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang
mungkin terjadi.

c. Membeda-bedakan permasalahan. Apabila terjadi peristiwa


pelanggaran, maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan
akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi masalah.

Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi,


sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan
korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya,
pada model restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik. Gagasan
Restorative Justice ini pun sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu
diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial
dan hukuman pengawasan. Sehingga pada akhirnya Restorative Justice
memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku
kejahatan dan masyarakat.

Mediasi Penal merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa


di luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) yang lebih populer di
lingkungan kasus-kasus perdata, namun bukan berarti tidak dapat
diterapkan di lingkungan hukum pidana. Adapun Dasar Hukum
Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia adalah:

1. Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol :


B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal
Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Surat
ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-
perkara Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373,
27

379, 384, 407, 482, surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih
dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan;
2. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau
”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus
penuntutan;
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang memberi
kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Keppres
Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran
HAM.

4.2.2 Kendala Yang Dihadapi Bendesa Adat Dalam Melakukan


DiskresiTerkait Penanganan Konflik Bermuatan Pidana Di Desa
Marga
Mengacu pada prinsip ultimum remedium, perlu direalisasikan
dalam tujuan pemidanaan yang semakin menarik untuk dikaji saat ini yakni
restorative (keadilan restoratif/restorative juctice). Restorative juctice
menjadi tujuan pemidanaan yang bukan bersifat pembalasan yang dianut
dalam tujuan pemidanaanyang sifatnya retributifnamun berorientasi pada
“pemulihan/perbaikan”. Paradigma tujuan pemidanaan yang masih bersifat
pembalasan atau retributif harusnya bergeser pada paradigma keadilan
restoratif yang memberi kemanfaatan bagi semua pihak.
Secara subyektif, Bendesa Adat dan masyarakat memiliki paradigma yang
berbeda-beda namun untuk mencapai keadilan bagi semua pihak
hendaknya para pihak menerapkan keadilan restoratif dalam setiap
putusannya dengan berpegang pada Pancasila, UUD 1945 dan norma-
norma yang berlaku, tumbuh dan berkembang hidup di tengah masyarakat.
Putusan perdamaian di tingkat desa ataupun adat harus mengarah pada
hukum yang progresif dan responsif dengan mengedepankan nilai keadilan
yang telah disebutkan diatas. Tidak hanya melihat aspek yuridisnya (asas
legalitasnya saja) namun juga mengkajinya secara sosiologisdan filosofis.
Dalam mengukur sebuah keadilan, menurut Fence M. Wantu
mengatakan, “adil pada hakikatnya menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan
28

kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada
suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum
(equality before the law).” 20
Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang
mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan
masyarakat. Karena kalau kita berbicara tentang hukum kita cenderung
hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang terkadang aturan
itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan
masyarakat. Sesuai dengan prinsip tersebut di atas, saya sangat tertarik
membaca pernyataan Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa :
keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang
lainlain, seperti kemanfaatan. Jadi dalam penegakan hukum, perbandingan
antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.

20
Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim di
Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12Nomor 3, September 2012, h. 484
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kebijakan alternatif Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa
mengenai masalah pemerintahan desa mendapatkan pengaruh dari
lingkungan berupa peraturan dan kebijakan sumberdaya dan teknologi
lokal. Masukan untuk pelaksanaan pemerintahan desa berupa program
pembangunan dan pendanaan. Proses pelayanan urusan pemerintah di
tingkat desa dilaksanakan oleh aparatur Pemerintah desa dan lembaga
lokal atau dengan pendampingan dari pihak luar desa tersebut
dilaksanakan menurut norma yang dikenalkan dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hasil yang diharapkan jasa dan
kawasan yang jelas hasil sarana dan prasarana pemenuhan kebutuhan
primer atau dasar, hasil-hasil usaha ekonomi aliran dana bantuan sosial dan
hibah untuk orang miskin, pelayanan pemerintahan desa, berbagai
kegiatan masyarakat yang meningkatkan pengetahuan sikap dan
keterampilan masyarakat. yang bisa diambil dari hasil tersebut berupa
peningkatan efektivitas Pemerintah desa untuk mempercepat dan
meningkatkan akses maupun kualitas pelayanan pemerintahan desa
kepada masyarakat dan percepatan pembangunan pemberdayaan
masyarakat, pembinaan kelembagaan masyarakat serta kestabilan
keamanan dan ketertiban. Manfaat yang berkelanjutan yang berupa
peningkatan kualitas hidup, kehidupan dan kesejahteraan masyarakat,
serta pengurangan kemiskinan, juga tercapainya kemandirian, pendapatan
desa dan daya saing desa. Bahwa kebijakan afirmatif Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa berpengaruh positif terhadap efektivitas
pemerintahan desa. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan efektivitas
organisasi pemerintah Desa efektivitas deliberasi musyawarah desa.
Tingkat kemandirian dan administratif/ekonomi desa yang pertama
diamati oleh proporsi Pendapatan asli desa dibanding dengan pendapatan
Desa secara keseluruhan. Kontribusi pendapatan asli desa terhadap seluruh
pendapatan Desa pada umumnya masih minim dan terbatas;

29
30

2. Keadilan restoratif adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang


untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi
dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan
dari konflik tersebut. Prinsip restorative justice adalah salah satu prinsip
penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan
instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan. Prinsip keadilan restoratif
atau restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak
pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana
diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Secara umum, tujuan
penyelesaian hukum tersebut guna menciptakan kesepakatan atas
penyelesaian perkara pidana. Selain itu, tujuan lain dari restorative justice
adalah untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi
pihak korban maupun pelaku. Prinsip utama dalam keadilan restorative
adalah penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali
pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam
masyarakat. Penerapan keadilan restoratif bermula dari pelaksanaan
sebuah program penyelesaian di luar peradilan yang dilakukan
masyarakat, yang disebut dengan victim offender mediation (VOM).
5.2 Saran
Dari penjelasan di atas dapat diberikan saran bahwa sumber pendapatan
desa sejak dahulu hingga sekarang relatif tidak memberikan pendapatan bagi desa
secara signifikan. Ketidakmampuan untuk meningkatkan pendapatan desa tersebut
dikarenakan potensi komponen sumbe rpendapatan desa relatif kurus atau dengan
kata lain tidak memberikan hasil optimal. Sedangkan kemandirian politik di desa
sangat dipengaruhi karakteristik pemerintah desa dan BPD dari sisi kuantitas
maupun kualitas realitas kondisi aparatur Pemerintah amat terbatas struktur
pemerintah desa yang lemah secara kuantitas maupun kualitas menjadi hambatan
pelayanan bagi warga masyarakat dan peningkatan kinerja organisasi. Semakin
tidak mampu pemerintah desa menyelesaikan tugasnya maka dorongan terhadap
keberhasilan kemarin desa semakin melemah. Pemerintah desa juga akan
cenderung semakin tergantung kepada pemerintah tingkat atasannya. Untuk
memperkuat kemandirian desa hendaknya kemandirian ekonomi mendapatkan
31

perhatian. Semoga Kepala Desa Marga berani berinovasi yang juga harus mendapat
dukungan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Tabanan, Kelembagaan Desa dan juga
partisipasi masyarakat guna meningkatkan PAD. Dalam hal kemandirian ekonomi
upaya penguatan kapasitas pembiayaan desa terlihat dari semakin diperluasnya
akses terhadap sumberdaya pendanaan. Peluang memberdayakan desa bisa lebih
dimungkinkan melalui pemberdayaan badan usaha milik desa dan kerjasama desa
dengan desa lain dan atau kerjasama dengan pihak ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Apong Herlina etc., 2004, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Fadli, Moh., Jazim Hamidi, Mustafa Lutfi, Pembentukan Peraturan Desa


Partisipatif (Head to A Good Village Governance).

H. HS, Salim dan Nurbani, Erlies Septiana, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Disertasi dan Tesis (Buku Kesatu), Depok, Rajawali Pers

Nursariani Simatupang dan Faisal, 2018, Hukum Perlindungan Anak, Medan,


Pustaka Prima

Riyadi dan Bratakusumah, Perencanaan Pembangunan Daerah, Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta, 2004.

Rudi Rizky (ed), 2008, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam
Dekade Terakhir), Jakarta, Perum Percetakan Negara Indonesia

Soerjono Soekanto (1983), Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Rajawali Press, Jakarta

Soleh, Chabib, dan Heru Rochmansjah, Pengelolaan Keuangan Desa, Fokus Media,
Bandung, 2014.

Samodra Wibawa, Dr. Reformasi Administrasi, Bunga Rampai Pemikiran


Administrasi Negara/Publik, Penerbit Gava Media, Klitren Lor GK
III/15 Yogyakarta.

Widjaja, HAW., Otonomi Desa, Raja Grafindo Indonesia, Jakarta, 2012. Lain-lain

Putu Rumawan Salain, Prof. Dr. Ir. Pendidikan Kritis dan Analisis Kebijakan
Publik, Kajian Budaya Universitas Udayana. PPt 2022.

The Liang Gie, 2002, Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta, Sumber Sukses

Jurnal

Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan


Dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum,
(Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3, September 2012

Hanafi Arief dan Ningrum Ambarsari, Penerapan Prinsip Restorative Justice


Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jurnal Hukum Al-Adl ,
Vol 10, No 2, Juli 2018, h. 174

32
33

Saravistha, D.B., Sukadana, I Ketut, Suryana Dedy, I. M.D, 2022, Optimalisasi


Penerapan Sanksi Adat Dalam Upaya Pengejawantahan Asas Restoratif
Justice Di Desa Adat (Studi Kasus Di Desa Adat Penyaringan,
Kabupaten Jembrana). Jurnal Impresi Indonesia (JII), Vol.1 No.3,
https://doi.org/10.36418/jii.v1i3.32

Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, Pemahaman Terhadap Asas


Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,
Jurnal Crepido: Jurnal Mengenai Dasar Pemikiran Hukum Filsafat dan
Ilmu Hukum, Vol 01, Nomor 01 Juli 2019

Internet

https://heylawedu.id/blog/penerapan-restorative-justice-sebagai-upaya-
pembaharuanhttps://heylawedu.id/blog/penerapan-restorative-justice-
sebagai-upaya-pembaharuan-paradigma-pemidanaan-di-indonesia-
pada-masa-pandemi-covid-19paradigma-pemidanaan-di-indonesia-
pada-masa-pandemi-covid-19, Diakses Tanggal 27 April 2022, Pukul
22.06 wita

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia/HAM;

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 tahun 2018 tentang Pengelolaan


Keuangan Desa;

Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS,


Tertanggal 14 Desember 2009 Perihal Penanganan Kasus Melalui
Alternative Dispute Resolution (ADR);

Lainnya

Data Lapangan berupa Catatan Kesepakatan Damai Antar Warga di Desa Marga
LAMPIRAN
Narasumber Pertanyaan Jawaban
Sekretaris Desa Marga Bagaiman penanganan Sudah ditangani dengan
Induk mengatasi konflik kesepakatan bersama
perselisihan antar warga dengan mediasi dan
di Desa Marga? berdiskusi antara warga
yang berselisih

Anda mungkin juga menyukai