OLEH:
I WAYAN SUNARTA
19.0123.0.02.135
Om Swastyastu,
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Kerja Sosial (Kersos) ini
dengan judul “Peranan Bendesa Adat Dalam Mengatasi Konflik Bermuatan
Pidana Antar Warga Masyarakat di Desa Marga“ tepat waktu dan penuh
pertanggungjawaban sehingga penulis dapat mengajukan untuk memenuhi syarat
menyelesaikan Kerja Sosial yang diselenggarakan oleh Universitas Mahendradatta
Bali, di Taman Pujaan Bangsa Margarana, Kecamatan Marga, Desa Marga. Melalui
kesempatan ini, Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dewan Pembina Universitas Mahendradatta Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya
Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, S.E,(M.Tru) M.Si.
2. Ketua Yayasan Universitas Mahendradatta, Bapak Shri I Gusti Ngurah Wira
Wedawitri WS., SOS.,SH., MH.
3. Rektor Universitas Mahendradatta, Dr. Ni Ketut Wiratni, SH., MH.
4. Deli Bunga Saravistha,SH.MH. Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dan mengarahkan Saya dalam menyelesaikan laporan kerja
sosial ini.
5. Perbekel dan perangkat Desa Marga Induk, Perbekel dan perangkat Desa
Marga Dauh Puri, Perbekel dan perangkat Desa Marga Dajan Puri.
6. Bapak dan Ibu dosen pengajar Universitas Mahendradatta.
7. Seluruh Staf Tendik maupun pegawai di lingkungan Universitas
Mahendradatta.
Mengingat berbagai proses dari penyusunan laporan kerja sosial ini, Penulis
menyadari bahwa naskah ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak mengenai
penyusunan tulisan ini, sehingga di lain kesempatan dapat lebih baik lagi khususnya
dalam substansi materi dan penggunaan tata bahasa.
Denpasar, 03 September 2022
Penyusun,
I Wayan Sunarta
i
ABSTRAK
Pemerintahan desa merupakan bagian dari pemerintah daerah yang berada
di bawah kepemimpinan Bupati. Pada tingkatan desa adat, pimpinan tertinggi
berada pada Bendesa adat. Hal ini mendapat legitimasi melalui Peraturan Desa
Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat (selanjutnya disebut Perda Desa Adat).
Keberadaan hukum adat sendiri diakui dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam
UUD 1945 Pasal 18 B Ayat 2 sebagai payung hukum adat di Indoensia. Bendesa
adat memiliki kewenangan menetapkan kebijakan publik di tingkat desa. Salah
satunya melakukan mediasi bagi warganya yang terlibat perselisihan atau konflik,
yang melihat pada pandangan Jeremy Bentham bahwa sejatinya hukum haruslah
juga mampu memberikan manfaat bagi manusia dan menciptakan kebahagiaan
yang sebesar-besarnya.
Kata kunci: Bendesa Adat Marga, Kebijakan Hukum Adat, Konflik Pidana
ii
ABSTRACT
The village government is part of the local government under the leadership of the
Regent. At the customary village level, the highest leadership is in the customary village
head. This is legitimized through Village Regulation Number 4 of 2019 concerning
Traditional Villages (hereinafter referred to as the Customary Village Regulation). The
existence of customary law itself is recognized in positive Indonesian law, namely in the
1945 Constitution Article 18 B Paragraph 2 as the umbrella for customary law in
Indonesia. Bendesa adat has the authority to determine public policies at the village level.
One of them is to mediate for citizens who are involved in disputes or conflicts, who look
at Jeremy Bentham's view that the law must also be able to provide benefits to humans and
create the greatest happiness.
Thus, it is not permissible to enforce a rule of law too rigidly without heeding the
nature of its existence for mankind. The legal issue that is attempted to be raised in this
research is that the existence of the Restorative Justice Principle is not only applied as an
out-of-court settlement effort, but has now been integrated into the law enforcement system
in Indonesia both in the police, prosecutors and even in court. Thus, it is interesting to
investigate further regarding its application at the village level as the smallest area of the
community environment, especially in Marga Village, Tabanan Regency, it is appropriate
to implement conflict resolution by considering the existence of the Restorative Justice
Principle, through two problem formulations, namely How the arrangements are used as
the legal basis for the traditional village chief in taking the role of resolving conflicts
between criminally charged community members in Marga Village? And how are the
obstacles faced by the Indigenous Bendesa in exercising discretion regarding the handling
of criminally charged conflicts in Marga Village..
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................................
ABSTRAK .................................................................................................................................. ii
Kata kunci: Bendesa Adat Marga, Kebijakan Hukum Adat, Konflik Pidana ......................... ii
iv
3.1 RancanganPenelitian ....................................................................................................... 14
1. Wawancara ...................................................................................................................... 17
2. Dokumentasi.................................................................................................................... 17
BAB V PENUTUP.................................................................................................................... 29
Jurnal ..................................................................................................................................... 32
Internet................................................................................................................................... 33
Lainnya .................................................................................................................................. 33
v
LAMPIRAN .............................................................................................................................. 34
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pemerintahan desa merupakan bagian dari pemerintah daerah yang berada
di bawah kepemimpinan Bupati. Hal ini diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut dengan UU Desa) bahwa
Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa. Untuk membantu
penyelenggaraan Pemerintahan Desa agar berjalan lebih efektif maka Pemerintah
Desa dapat memberdayakan Lembaga Adat Desa. Dengan adanya perkembangan
ilmu pengetahuan yang pesat telah memberikan peranan yang sangat besar terhadap
lahirnya kriminologi, sebagai himpunan pengetahuan yang terstruktur dari berbagai
kajian permasalahan mengenai kejahatan. Dalam perkembangannya ini,
kriminologi tidak hanya meninjau tentang kejahatan namun juga memperluas ruang
lingkupnya mengenai norma tingkah laku di dalam masyarakat. Suatu negara dalam
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegaranya tentu memerlukan adanya
hukum yang mengatur norma tingkah laku untuk mencapai ketertiban, sama halnya
dengan Indonesia yang merupakan negara hukum.
Pada tingkatan desa adat, pimpinan tertinggi berada pada Bendesa adat. Hal
ini mendapat legitimasi melalui Peraturan Desa Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa
Adat (selanjutnya disebut Perda Desa Adat), pada Pasal 1 Angka (16). Keberadaan
hukum adat sendiri diakui dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945/UUD 1945 Pasal 18 B Ayat 2 menjelaskan
tentang pengakuan serta penghormatan Negara kepada kesatuan masyarakat hukum
adat beserta dengan hak tradisionalnya berdasarkan perkembangan masyarakat
serta prinsip Negara yang ditentukan di undang-undang. Bendesa adat memiliki
kewenangan menetapkan kebijakan publik di tingkat desa. Salah satunya
melakukan mediasi bagi warganya yang terlibat perselisihan atau konflik, yang
dalam penelitian ini pembahasannya akan dibatasi pada konflik bermuatan pidana
seperti perkelahian, pencurian, konflik rumah tangga yang mengandung kekerasan,
dan masih banyak lagi.
1
2
1
Saravistha, D.B., Sukadana, I Ketut, Suryana Dedy, I. M.D, 2022, Optimalisas iPenerapan Sanksi Adat Dalam
Upaya Pengejawantahan Asas Restoratif Justice Di Desa Adat (Studi Kasus Di Desa Adat Penyaringan, Kabupaten
Jembrana). Jurnal Impresi Indonesia (JII), Vol.1 No.3, https://doi.org/10.36418/jii.v1i3.32
2
Ibid
3
The Liang Gie, 2002, Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta, Sumber Sukses, h. 22
3
Salah satu diantaranya yang populer adalah pernyataan dari Gustav Radbruch
bahwa tujuan hukum mencakup kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.4
Keberadaan asas ini tidak lain bukan bermaksud menentang keadilan bagi
pihak yang dirugikan atau korban dalam kasus pidana. Namun, agar permasalahan
antara pelaku dan korban dapat diselesaiakan secara damai. Apalagi kasus pidana
yang terjadi masih tergolong tindak pidana ringan. Sehingga jalur penyelesaian
damai antara para pihak nantinya dapat dituangkan dalam suatu kesepakatam
damai. Maka muncullah pandangan mengenai keadilan restoratif yaitu keadilan
yang dqalam suatu penyelesaian kasus pidana para pihaknya bersama-sama duduk
memecahkan masalah dan memikirkan akibat-akibat yang mampu dihin dari
bahkan dihilangkan di masa mendatang. Sehingga bukan hanya berorientasi pada
pelaku melainkan juga pada korban.6
4
Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui
Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum, Jurnal Crepido: Jurnal Mengenai Dasar Pemikiran Hukum Filsafat dan Ilmu
Hukum, Vol 01, Nomor 01 Juli 2019, h. 14
5
https://heylawedu.id/blog/penerapan-restorative-justice-sebagai-upaya-
pembaharuanhttps://heylawedu.id/blog/penerapan-restorative-justice-sebagai-upaya- pembaharuan-paradigma-pemidanaan-
di-indonesia-pada-masa-pandemi-covid- 19paradigma-pemidanaan-di-indonesia-pada-masa-pandemi-covid-19, Diakses
Tanggal
27 April 2022, Pukul 22.06 wita lihat juga Hanafi Arief dan Ningrum Ambarsari, Penerapan Prinsip Restorative Justice
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Jurnal Hukum Al-Adl , Vol 10, No 2, Juli 2018, h. 174
6
Apong Herlina etc., 2004, Perlindungan Terhadap Anak Yang BerhadapanDengan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 44
4
Isu hukum yang berusaha diangkat dalam penelitian ini adalah bahwa
keberadaan Asas Restoratif Justice bukan hanya diterapkan sebagai upaya
penyelesaian di luar pengadilan, namun kini telah terintegrasi ke dalam sistem
penegakan hukum di Indonesia baik di kepolisian, kejaksaan bahkan di pengadilan.
Sehingga, menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai penerapannya di dalam
tataran desa sebagai wilayah terkecil lingkungan masyarakat khususnya di Desa
Marga Kabupaten Tabanan, sudah selayaknya menerapkan penyelesaian konflik
bermuatan pidana di wilayahnya dengan mempertimbangkan keberadaan Asas
Restoratif Justice.
1.2 Rumusan Masalah
Dari hasil uraian di atas, rumusan masalah yang akan diangkat yaitu mengenai
7
Rudi Rizky (ed), 2008, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalamDekade Terakhir), Jakarta,
Perum Percetakan Negara Indonesia, h 4
5
8
Ibid 9
7
8
9
SoerjonoSoekanto (1983), Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PenegakanHukum, Rajawali Press,
Jakarta.
9
stabil karena perbuatan salah yang dilakukan seorang oknum masyarakat adat.
Sama juga seperti penegakan hukum dalam hukum nasional, bahwa keberadaan
asas restoratifjusticejuga wajib diutamakandemi masa depan hukum dan asas
kemanfaatan. Jadi, bukan hanya kepastian hukum semata. Dalam masyarakat
hukum adat kendatipun telah ada pengaturan mengenai hukuman tertentu bagi
kesalahan tertentu tetap wajib mengutamakan asas kepatutan dan kerukunan
dalam masyarakat sehingga mampu diciptakannya suatu kerukunan yang dalam
hukum adat disebut dengan “Asas Paras Paros Salulung Sebayantaka”atau jika
dinasionalkan maka maknanya adalah asas kekeluargaan. Apalagi dalam
penetapan suatu hukum adat atau aturan adat wajib juga memperhatikan ajaran-
ajaran dalamAgama seperti misalnya keberadaan ajaran tentang Konsep Tri Hita
Karana yang dijadikan sebagai landasan filosofis bagi masyarakat hukum adat di
Bali dalam melakukan dan menjalin hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan
Alam semesta dan hubungan antar sesama manusia.Penelitian terhadap
masyarakat hukum adat difokuskan pada masyarakat di Kawasan Kabupaten
Jembrana khususnya Desa Penyaringan. Bagi masyarakat desa ini sangatpenting
untuk selalu mengingat dan menerapkan pedoman filosofis dalam menjalin tiga
hubungan tadi baik itu Parhyangan (hubungan dengan Tuhan),
Pawongan(hubungan dengan sesama manusia) dan palemahan(hubungan dengan
alam) yang dirasa dan dipercaya dapat diwujudkan melalui penegakan hukum adat
sebagaimana tertera dalam awig-awigdanpararem.Sudah banyak penelitian yang
manganalisis mengenai hukum adat. Namun, belum banyak yangmengungkap
bahwa sejatinya Asas Restoratif Justice dan adanya penyelesaian dengan win-win
solution melalui musyawarah mufakat telah hidup dan tumbuh dalam masyarakat
hukum adat di Indonesia, khususnya pada masayarakat hukum adat di Desa
Marga dimana tempat penelitian ini dilaksanakan.Terjadinya kejahatan
dipandangakan menimbulkan terciptanya suatu ketidakseimbangan baik dalam
alam materiil maupun alam spiritual atau dikenal dengan sebutan sekala- niskala.
Ketidakseimbangan tentunya diakibatkan karena tidak ada sarana yang
10
10
Saravistha, D.B., Sukadana, I Ketut, Suryana Dedy, I. M.D, 2022, Optimalisasi Penerapan Sanksi Adat Dalam
Upaya Pengejawantahan Asas Restoratif Justice Di Desa Adat (Studi Kasus Di Desa Adat Penyaringan, Kabupaten
Jembrana). Jurnal Impresi Indonesia (JII), Vol.1 No.3, https://doi.org/10.36418/jii.v1i3.32
11
H. HS, Salim dan Nurbani, Erlies Septiana, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Disertasi dan Tesis (Buku
Kesatu), Depok, Rajawali Pers, h. 184
11
Dalam konstruksi ini kewenangan tidak hanya dimakanai sebagai hak dalam
menjalankan kekuasaan, namun juga mengandung unsur sebagai berikut:12
3. Perintah;
4. Memutuskan;
5. Pengawasan;
6. Yurisdiksi;
7. Kekuasaan.
1. Adanya kekuasaan;
12
Ibid, h. 185
13
Ibid, h. 186
14
Ibid, h. 193-196
12
1. Identifikasi korban.
4. Tidak ada paksaan pada pelaku Terkait dengan hal tersebut, Maka
merumuskan sejumlah prinsip yang harus ditaati dalam
penyelenggaraan program yang meliputi prinsip yang melekat padapara
15
Nursariani Simatupang dan Faisal, 2018, Hukum Perlindungan Anak, Medan,Pustaka Prima, h. 166.
16
Ibid
13
17
Ibid, h. 171
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting dalam sebuah
penelitian, baik dalam penelitian yang bersifat yuridis atau empiris maupun yang
bersifat normatif. Tanpa menggunakan metode (cara) dalam meneliti, peneliti tidak
akan mendapatkan hasil atau tujuan yang ia inginkan. Sebab, metode penelitian
merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin ilmu yang dibangun
oleh peneliti. Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan memilih
metode yang tepat agar tujuan penelitian tercapai secara maksimal.
Pendekatan yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
Yuridis Empiris. Pendekatan Yuridis Empiris adalah menekankan penelitian yang
bertujuan memperoleh pengetahuan hukum secara empiris dengan jalan terjun
langsung ke objeknya. Penelitian Yuridis Empiris adalah penelitian hukum
menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan
dengan data primer dilapangan atau terhadap masyarakat, meneliti efektivitas suatu
peraturan dan penelitian yang ingin mencari hubungan (korelasi) antara berbagai
gejala atau variabel, sebagai alat pengumpulan datanya terdiri dari studi dokumen
atau bahan pustaka dan wawancara (kuisoner).7
Pendekatan Yuridis Empiris ditujukan terhadap kenyataan dengan cara
melihat penerapan hukum (Das Sein), dalam hal ini adalah kewenangan dan
wewenang perbekel Desa Marga dalam pengelolaan keuangan. Peneliti memilih
jenis penelitian hukum ini karena penliti ingin melihat bagaimana keterkaitan antara
hukum yang dikehendaki (Das Sollen) dengan realita yang terjadi (Das Sein) di
Desa Marga.
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, peneliti akan
melakukan beberapa tahap penelitian sebagai berikut:
1. Melakukan wawancara terhadap Sekretaris Desa Marga.
14
15
2. Penelitian dan pengamatan terhadap kasus yang pernah terjadi yang dikaitkan
dengan kewenangan dan wewenang perbekel Desa Marga dalam peranan
bendesa adat dalam mengatasi konplik perselisihan warga di desa marga
3.2.2 TempatPenelitian
3.2.3 ObjekPenelitian
3.3.1Metode Pendekatan
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris.
Jenis penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dan penelitian yuridis
normatif impirisdenganpendekatan peraturan perundang-undangan.
Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan penulis adalah
pengumpulan data yang diperoleh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya
melalui informasi dari Sekretaris Desa. Pengumpulan data yang
digunakan dalam mengkaji laporan Kerja Sosial (Kersos) ini adalah
dengan menggunakan teknik wawancara.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang
terdiri dari Peraturan Perundang-undangan terbaru yang berkaitan
dengan kewenangan dan wewenang perbekel desa dalam pengelolaan
keuangan.
Kerangka Berpikir
KERTA DESA
MEDIASI/ PERSIDANGAN
KEPUTUSAN / SANKSI
BAB IV
PEMBAHASAN
a. BendesaAdat
Bandesa Adat atau Kubayan atau dengan sebutan lain adalah Pucuk
Pengurus Desa Adat.
b. Sabha Desa Adat adalah lembaga mitra kerja Prajuru Desa Adat yang
melaksanakan fungsi pertimbangan dalam pengelolaan Desa Adat.
19
20
c. Kerta Desa Adat adalah lembaga mitra kerja Prajuru Desa Adat yang
melaksanakan fungsi penyelesaian perkara adat/wicara berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat setempat.
d. Pacalang Desa Adat atau Jaga Bhaya Desa Adat atau sebutan lain
yang selanjutnya disebut Pacalang, adalah satuan tugas keamanan
tradisional Bali yang dibentuk oleh Desa Adat yang mempunyai
tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah di
wewidangan Desa Adat.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaturan Yang Digunakan Sebagai Dasar Pijakan Hukum
Bagi Bendesa Adat Dalam Mengambil Peranan Untuk Menyelesaikan
Konflik Antar Warga Masyarakat Yang Bermuatan Pidana Di Desa
Marga.
Sama halnya dengan hukum positif yang terbagi sesuai
bidangnya, hukum adatpun demikian. Dalam Hukim adat salah satu
klusternya yaitu disebut sebagai delichtentrecht atau hukum pidana adat.
Definisi mengenai hal ini diberikan oleh Hilman Hadikusuma, sebagai
hukum yang membuktikan sebuah peristiwa dan suatu perbuatan yang
perlu diselesaiakan karena dipandang telah mengganggu keseimbangan
dan kesejahteraan dalam masyarakat. Berikutnya pendapat yang
diberikan oleh Van Vollenhoven, yaitu suatu tindakan yang
sesungguhnya tidak diperkenankan atau dilarang untuk dilakukan
kendatipun pada kenyataannya perbuatan tersebut masih terbilang suatu
kecelakaan kecil.
Diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) bahwa suatu awig-awig tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia sebagaimana
merupakan isu global yang berlaku universal dan telah diatur dalam UU
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Maka, dapat disimpulkan
bahwa hukum nasional memiliki kedudukan yang lebih diutamakan
apabila ada pengaturan dalam hukum adat yang dalam pelaksanaannya
bertentangan dengan hukum positif ciptaan negara. Karakteristik Awig-
Awig Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-
tembang, sesonggan dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-
awig harus menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang
akan membuatnya, hal ini dimaksudkan agar awig-awig itu memiliki
kharisma dan jiwa/taksu.
18
Saravistha, D.B., Sukadana, I Ketut, Suryana Dedy, I. M.D, 2022, Optimalisasi Penerapan Sanksi Adat
Dalam Upaya Pengejawantahan Asas Restoratif Justice Di Desa Adat (Studi Kasus Di Desa Adat Penyaringan, Kabupaten
Jembrana). Jurnal Impresi Indonesia (JII), Vol.1 No.3, https://doi.org/10.36418/jii.v1i3.32
25
19
Fadli, Moh., Jazim Hamidi, Mustafa Lutfi, Pembentukan Peraturan DesaPartisipatif (Head to A Good
Village Governance), _,_, h. 56
26
379, 384, 407, 482, surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih
dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan;
2. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau
”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus
penuntutan;
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang memberi
kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Keppres
Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran
HAM.
kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada
suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum
(equality before the law).” 20
Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang
mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan
masyarakat. Karena kalau kita berbicara tentang hukum kita cenderung
hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang terkadang aturan
itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan
masyarakat. Sesuai dengan prinsip tersebut di atas, saya sangat tertarik
membaca pernyataan Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa :
keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang
lainlain, seperti kemanfaatan. Jadi dalam penegakan hukum, perbandingan
antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.
20
Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim di
Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12Nomor 3, September 2012, h. 484
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kebijakan alternatif Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa
mengenai masalah pemerintahan desa mendapatkan pengaruh dari
lingkungan berupa peraturan dan kebijakan sumberdaya dan teknologi
lokal. Masukan untuk pelaksanaan pemerintahan desa berupa program
pembangunan dan pendanaan. Proses pelayanan urusan pemerintah di
tingkat desa dilaksanakan oleh aparatur Pemerintah desa dan lembaga
lokal atau dengan pendampingan dari pihak luar desa tersebut
dilaksanakan menurut norma yang dikenalkan dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hasil yang diharapkan jasa dan
kawasan yang jelas hasil sarana dan prasarana pemenuhan kebutuhan
primer atau dasar, hasil-hasil usaha ekonomi aliran dana bantuan sosial dan
hibah untuk orang miskin, pelayanan pemerintahan desa, berbagai
kegiatan masyarakat yang meningkatkan pengetahuan sikap dan
keterampilan masyarakat. yang bisa diambil dari hasil tersebut berupa
peningkatan efektivitas Pemerintah desa untuk mempercepat dan
meningkatkan akses maupun kualitas pelayanan pemerintahan desa
kepada masyarakat dan percepatan pembangunan pemberdayaan
masyarakat, pembinaan kelembagaan masyarakat serta kestabilan
keamanan dan ketertiban. Manfaat yang berkelanjutan yang berupa
peningkatan kualitas hidup, kehidupan dan kesejahteraan masyarakat,
serta pengurangan kemiskinan, juga tercapainya kemandirian, pendapatan
desa dan daya saing desa. Bahwa kebijakan afirmatif Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa berpengaruh positif terhadap efektivitas
pemerintahan desa. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan efektivitas
organisasi pemerintah Desa efektivitas deliberasi musyawarah desa.
Tingkat kemandirian dan administratif/ekonomi desa yang pertama
diamati oleh proporsi Pendapatan asli desa dibanding dengan pendapatan
Desa secara keseluruhan. Kontribusi pendapatan asli desa terhadap seluruh
pendapatan Desa pada umumnya masih minim dan terbatas;
29
30
perhatian. Semoga Kepala Desa Marga berani berinovasi yang juga harus mendapat
dukungan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Tabanan, Kelembagaan Desa dan juga
partisipasi masyarakat guna meningkatkan PAD. Dalam hal kemandirian ekonomi
upaya penguatan kapasitas pembiayaan desa terlihat dari semakin diperluasnya
akses terhadap sumberdaya pendanaan. Peluang memberdayakan desa bisa lebih
dimungkinkan melalui pemberdayaan badan usaha milik desa dan kerjasama desa
dengan desa lain dan atau kerjasama dengan pihak ketiga.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Apong Herlina etc., 2004, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
H. HS, Salim dan Nurbani, Erlies Septiana, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Disertasi dan Tesis (Buku Kesatu), Depok, Rajawali Pers
Rudi Rizky (ed), 2008, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam
Dekade Terakhir), Jakarta, Perum Percetakan Negara Indonesia
Soleh, Chabib, dan Heru Rochmansjah, Pengelolaan Keuangan Desa, Fokus Media,
Bandung, 2014.
Widjaja, HAW., Otonomi Desa, Raja Grafindo Indonesia, Jakarta, 2012. Lain-lain
Putu Rumawan Salain, Prof. Dr. Ir. Pendidikan Kritis dan Analisis Kebijakan
Publik, Kajian Budaya Universitas Udayana. PPt 2022.
Jurnal
32
33
Internet
https://heylawedu.id/blog/penerapan-restorative-justice-sebagai-upaya-
pembaharuanhttps://heylawedu.id/blog/penerapan-restorative-justice-
sebagai-upaya-pembaharuan-paradigma-pemidanaan-di-indonesia-
pada-masa-pandemi-covid-19paradigma-pemidanaan-di-indonesia-
pada-masa-pandemi-covid-19, Diakses Tanggal 27 April 2022, Pukul
22.06 wita
Peraturan Perundang-Undangan
Lainnya
Data Lapangan berupa Catatan Kesepakatan Damai Antar Warga di Desa Marga
LAMPIRAN
Narasumber Pertanyaan Jawaban
Sekretaris Desa Marga Bagaiman penanganan Sudah ditangani dengan
Induk mengatasi konflik kesepakatan bersama
perselisihan antar warga dengan mediasi dan
di Desa Marga? berdiskusi antara warga
yang berselisih