TINJAUAN PUSTAKA
B. Indikasi
1. Mengambil bahan pemeriksaan CSF untuk diagnostic dan persiapan
pemeriksaan pasien yang dicurigasi mengalami meningitis,
encepahilitis atau tumor malignan.
2. Untuk mengidentifikasi adanya darah dalam CSF akibat trauma atau
dicurigai adanya perdarahan subarachnoid.
3. Untuk memasukan cairan opaq ke dalam ruang subarakhnoid.
4. Untuk mengidentifikasi adanya tekanan intrakarnial/intraspinal,untuk
memasukan obat intratekal seperti terapi antibiotik atau obat sitotoksik.
C. Kontraindikasi
1. Infeksi dekat tempat penusukan. Kontaminasi dari infeksi akan
menyebabkan meningitis.
2. Pasien dengan peningkatan tekanan intra cranial. Herniasi serebral atau
herniasi serebral
3. Pasien yang mengalami penyakit sendi-sendi vertebra degeneratif. Hal
ini akan sulit untuk penusukan jarum ke ruang interspinal.
4. Bleeding diathesis, seperti Coagulopathy dan Penurunan platelet.
5. Pola pernafasan abnormal.
D. Persiapan alat
1. Troley
2. Kassa steril
3. Kapas steril
4. Sarung tangan steril
5. Baju steril
6. Jarum punksi ukuran 19, 20, 22,23 G.
7. Manometer spinal
8. Masker dan pelindung mata
9. Alcohol dalam lauran antiseptic untuk membersihkan kulit.
10. Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local
11. Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin.
12. Tempat penampung csf steril x 3 (untuk bakteriologi, sitologi dan
biokimia).
13. Plester
14. Depper
15. Jam yang ada penunjuk detiknya
16. Tempat sampah.
E. Persiapan pasien
1. Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut
ditarik ke abdomen. Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil
posisi duduk di atas kursi, dengan kursi dibalikan dan kepala
disandarkan pada tempat sandarannya.
2. Jelaskan prosedur pemeriksaan pada klien.
3. Memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang lumbal pungsi
meliputi tujuan, prosedur, posisi, lama tindakan, sensasi-sensasi yang
akan dialami dan hal-hal yang mungkin terjadi berikut upaya yang
diperlukan untuk mengurangi hal-hal tersebut
4. Meminta izin dari pasien/keluarga dengan menadatangani formulir
kesediaan dilakukan tindakan lumbal pungsi.
5. Meyakinkan klien tentang tindakan yang akan dilakukan
F. Prosedur
a. Preinteraksi
1.Kaji catatan medis dan catatan keperawatan klien
2.Kesiapan perawat melakukan tindakan
3.Jelaskan tujuan tindakan
4.Persiapkan dan kumpulkan alat-alat
5.Cuci tangan.
b. Interaksi
c. Terminasi
1. Anjurkan pasien berbaring terlentang selama 2 – 3 jam
untuk memisahkan kelurusan bekas jarum puncture dural
dan arakhnoid di lapisan otak, untuk mengurangi kebocoran
CSF.
2. Monitor pasien untuk komplikasi lumbar puncture.
Memberi tahu dokter bila terjadi komplikasi.
3. Anjurkan meningkatktan intake cairan untuk mengurangi
risiko headache post-prosedur.
4. Bila timbul sakit kepala, lakukan kompres es pada kepala,
anjurkan tekhnik relaksasi, bila perlu pemberian analgetik
dan tidur sampai sakit kepala hilang.
d. Rapikan alat-alat
e. Cuci tangan
f. Dokumentasi
1. Herniasi Tonsiler
2. Meningitis dan empiema epidural atau sub dural
3. Sakit pinggang
4. Infeksi
5. Kista epidermoid intraspinal
6. Kerusakan diskus intervertebralis
Cairan Serebro Spinal (CSS) ditemukan di ventrikel otak dan sisterna dan
ruang subarachnoid yang mengelilingi otak dan medula spinalis. Seluruh ruangan
berhubungan satu sama lain, dan tekanan cairan diatur pada suatu tingkat yang
konstan.
Fungsi utamanya adalah untuk melindungi sistem saraf pusat (SSP) terhadap
trauma. Otak dan cairan serebrospinal memiliki gaya berat spesifik yang kurang
lebih sama (hanya berbeda sekitar 4%), sehingga otak terapung dalam cairan ini.
Oleh karena itu, benturan pada kepala akan menggerakkan seluruh otak dan
tengkorak secara serentak, menyebabkan tidak satu bagian pun dari otak yang
berubah bentuk akibat adanya benturan tadi.
Blok aliran LCS pada subarakhnoid spinalis pada masa sebelumnya dapat
dikonfirmasi dengan kompresi vena jugularis (tes quecken-stedt, yang merupakan
tes untuk peningkatan tekanan yang cepat jika vena jugularis dikompresi). Namun
tes ini harus dilakukan secara hati-hati karena dapat memperberat blok spinal, dan
meningkatkan TIK.
Pada proses LP yang berdarah, dimana darah dari pleksus vena epidural
bercampur dengan cairan LCS, akan meragukan dalam menegakkan diagnosis,
karena jika tidak hati-hati bisa salah interpretasi dengan SAH subklinis. Untuk
membedakannya, diambil dua sampai tiga sampel secara serial pada waktu yang
sama. Pada keadaan LP yang berdarah, akan terdapat penurunan jumlah eritrosit
pada sampel kedua dan ketiga. Biasanya pada LP yang berdarah, tekanan LCS
biasanya normal dan jika jumlah darah yang bercampur cukup banyak maka akan
terbentuk bekuan dan benang fibrin. Hal ini tidak akan tampak pada campuran
darah yang berasal dari SAH subklinis, dimana darah sudah bercampur dengan
LCS secara merata dan mengalami defibrinasi. Pada SAH, eritrosit akan
mengalami hemolisis dalam beberapa jam sehingga memberikan warna merah
muda (eritrokromia) pada cairan supernatan, kemudian dalam beberapa hari akan
berubah warna menjadi kuning kecoklatan (xantokorm). LP yang berdarah akan
memberikan warna bening jika disentifugasi dan hanya jika jumlah eritrosit lebih
dari 100.000/mm3 yang akan memberikan warna xantokorm apabila
disentrifugasi, hal ini terjadi karena terdapat kontaminasi dari bilirubin serum dan
lipokrom.
Selularitas
Protein
Bertolak belakang dengan jumlah protein yang tinggi dalam darah (5.500-
8000 mg/dL), pada orang dewasa jumlahnya dalam LCS berkisar 45-50mg/dL
atau kurang. Kadar protein pada sisterna basal 10-25mg/dL dan pada ventrikel 5-
15 mg/dL. Hal ini menggambarkan bahwa protein LCS memang berasal dari
cairan plasma melalui sawar darah otak. LCS berasal dari ultrafiltrasi darah di
pleksus khoroideus pada ventrikel lateral dan ventrikel IV yang analog dengan
filtrasi urin di glomerulus. Jumlah protein dalam LCS sebanding dengan lamanya
kontak dengan sawar darah otak. Setelah memasuki ventrikel jumlah protein
biasanya menurun. Makin ke arah kaudal di daerah sisterna, kadar protein makin
tinggi dan kadar protein tertinggi terdapat pada daerah lumbal. Pada anak,
konsenterasi protein LCS rata-rata lebih rendah pada setiap level (<20mg/dL pada
daerah lumbal). Peningkatan jumlah yang melebihi normal mengindikasikan suatu
proses patologis pada daerah sekitar ependim dan meningen, otak, medulla
spinalis ataupun serabut syaraf, meskipun penyebab peningkatan sedikit kadar
protein (dalam kisaran 75mg/dL) kadang-kadang membingungkan.
Pada perdarahan ruang ventrikel dan subarachnoid, tidak hanya terjadi
perembesan eritrosit tapi juga protein serum. Jika konsentrasi protein serum
normal, peningkatan konsentrasi protein LCS kira-kira 1mg per 1.000 eritrosit
dimana tabung LCS yang sama dapat digunakan untuk menghitung jumlah sel dan
kadar protein. (hal yang sama juga berlaku pada LP berdarah). Pada SAH kadar
protein bisa meningkat beberapa kali lipat karena efek iritasi dari eritrosit yang
mengalami hemodialisis pada leptomeningen.
Ada beberapa perbedaan lainnya yang bisa diamati antara fraksi protein
LCS dan plasma. LCS selalu mengandung fraksi prealbumin sedangkan plasma
tidak. Walaupun LCS berasal dari plasma, namun karena suatu penyebab yang
belum dapat dijelaskan, fraksi ini justru terkonsentrasi dalam cairan LCS dan
kadarnya lebih tinggi di ventrikel dibandingkan lumbal. Selain itu, fraksi Tau
(beta2-transferin) hanya terdapat pada cairan LCS dengan konsentrasi yang lebih
tinggi juga pada ventrikel. Konsentrasi protein Tau dibandingkan dengan beta-
amiloid telah diketahui dapat digunakan dalam diagnosis alzheimer. Konsentrasi
gamaglobulin dalam LCS adalah 70% dari konsentrasi serum.
Fraksi albumin LCS meningkat secara umum pada penyakit susunan saraf
pusat dan gangguan medulla spinalis yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas sawar darah otak, namun tidak ada korelasi klinis yang jelas.
Enzim-enzim tertentu yang terdapat dalam otak, terutama kreatinin kinase (CK-
BB), enolase dan neopterin, dapat ditemukan di LCS pada keadaan pasca stroke,
hipoksia iskemik global, trauma dan sudah menjadi penanda kerusakan otak pada
studi eksperimental. Marker spesifik lain seperti protein 14-3-3 yang berguna
dalam diagnostik penyakit Prion, mungkin berguna dalam keadaan khusus
lainnya.
Glukosa
Konsentrasi glukosa LCS normal adalah 45-80 mg/dL, kira-kira dua
pertiga dari konsentrasi serum (0,6-0,7). Peningkatan konsentrasi di serum pararel
dengan konsentrasi di LCS, namun pada kasus hiperglikemia hal ini justru
berbanding terbalik dengan konsentrasinya pada LCS (0,5-0,6). Pada kadar
glukosa serum yang sangat rendah, kadar dalam LCS justru meningkat mencapai
85%. Secara umum kadar glukosa yang menurun di bawah 35 mg/dL. Setelah
injeksi glukosa intravena, konsentrasinya dengan LCS baru seimbang setelah 2
sampai 4 jam, hal serupa juga terjadi dalam penurunan kadar glukosa darah.
Dikarenakan oleh alasan ini, maka sebaiknya dilakukan secara serentak
pemeriksaan kadar glukosa LCS dan darah pada saat puasa, atau diambil sampel
serum beberapa jam sebelum dilakukan LP. Jumlah glukosa yang rendah
(hipoglikorasia) dengan munculnya pleositosis biasanya menandakan meningitis
piogenik, tuberkulosis atau jamur, meskipun juga terdapat pada infiltrasi tumor
yan g luas ke meningen dan sarkoidosis serta SAH (biasanya terjadi pada minggu
pertama).
Peningkatan jumlah laktat pada meningitis purulenta menandakan suatu
proses glikolisis anaerob. Sudah sejak lama diketahui bahwa meningitis bakteri
menurunkan kadar glukosa LCS karena proses metabolisme aktifnya, namun
kadar glukosa yang masih subnormal setelah 1-2 minggu terapi dianjurkan untuk
operasi. Secara teori, kondisi penurunan kadar glukosa dalam LCS juga dapat
disebabkan oleh gangguan entry glukosa ke LCS karena rusaknya sistem transfer
membran. Di sisi lain, meningitis virus tidak menurunkan kadar glukosa LCS
meskipun kadar glukosa yang rendah juga dilaporkan pada beberapa kasus
meningoencepalitis mumps dan herpes simplek serta herpes zoster.
pemeriksaan ini memiliki nilai diagnostik lebih tinggi dari pada pemeriksaan
dengan tinta india. Tes darah antibodi nontreponema-VDRL dan RPR-juga dapat
diperiksa pada LCS. Hasil positif terdapat pada neurosifilis, tapi nilai positif palsu
juga dapat terjadi pada penyakit kolagen, malaria, frambusia dan kontaminasi
LCS dengan darah yang seropositif. Tes yang dilakukan tergantung dari antigen
mana yang digunakan, termasuk tes imobilisasi treponema palidum dan tes
antibodi floresen treponema lebih spesifik untuk menyingkirkan nilai positif
palsu. Pemeriksaan dan diagnosis neurosifilis akan didiskusikan pada bab 32. Tes
serologis spirokaeta dilakukan pada keadaan yang diduga disebabkan oleh agen
ini.
Tes serologis untuk virus akan memakan waktu, namun tes ini berguna
dalam menentukan secara restrofektif sumber meningitis atau encepalitis. Rapid
tes yang menggunakan PCR mulai digunakan secara luas terutama untuk herpes
dan sitomegalovirus. Tes ini sangat berguna dalam minggu-minggu pertama
infeksi dimana virus mulai bereproduksi dan material virus mulai menyebar,
namun setelah 1 minggu pemeriksaan secara serologis lebih bermanfaat. Rapid tes
dengan menggunakan PCR juga berguna dalam mendiagnosa tuberkel secara
cepat dan diikuti dengan kultur yang memakan waktu beberapa minggu. Tes ini
juga dapat digunakan dalam mendeteksi protein prion pada LCS pada
encepalopati spongiform namun hasilnya kadang-kadang membingungkan.
Sejumlah enzim dapat meningkat pada beberapa kasus dan biasanya terkait
dengan meningkatnya kadar protein LCS. Tidak ada satupun peningkatan enzim
yang dapat menjadi indikator spesifik penyakit neurologis, kecuali laktat
dehidrogenase, khususnya isoenzim 4 dan 5 yang dihasilkan dari sel granulosit.
Enzim ini meningkat pada meningitis bakteri namun tidak pada meningitis virus
dan aseptik. Laktat dehidrogenase juga meningkat pada metastase meningeal dan
begitu juga antigen kranioembrionik, namun antigen kranioembrionik tidak
meningkat pada meningitis bakteri, virus dan fungi. Profil lipid LCS sukar untuk
dihitung dan jumlahnya dalam LCS sedikit.
Katabolit dari katekolamin LCS dapat ditentukan. Homovanilic acid
(HVA), katabolit mayor dari katekolamin, dan 5-hydroxyindoleacetic acid (5-
HIAA), katabolit mayor dari serotonin terdapat secara normal pada LCS dengan
kadar 5-6 kali lebih tinggi dilumbal dibanding ventrikel. Jumlah katabolit ini
menurun pada penderita Parkinson.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lumbal pungsi adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan
memasukan jarum kedalam ruang subarakhnoid. Lumbal pungsi dapat
digunakan sebagai alat diagnostik serta sebagai terapi. Pengambilan lumbal
pungsi pada dewasa dilakukan pada L4-L5 atau L5-S1 dengan posisi lateral
recumbent dan posisi knee chest. Setelah didapatkan cairan serebrospinal akan
dilakukan beberapa pemeriksaan antara lain : (1) jumlah dan jenis sel serta
jenis kuman (2) kadar protein dan glukosa (3) sitologi sel tumor (4) kadar
gamaglobulin, fraksi protein lainnya, keberadaan pita oligoklonal dan tes
serologis (5) pigmen laktat, ammonia, pH, CO2, enzim dan substansi yang
dihasilkan tumor (contohnya β2 mikroglobulin) dan (6) bakteri dan jamur
(melalui kultur), antigen kriptokokus dan organism lainnya, DNA virus
herpes, citomegalovirus dan kuman lainnya (menggunakan PCR) dan isolasi
virus. Komplikasi yang terjadi setelah pemeriksaan LP adalah Herniasi
tonsiler, meningitis dan empiema epidural atau sub dural, sakit pinggang,
Infeksi, serta kerusakan diskus intervertebralis.
DAFTAR PUSTAKA