Ujung Hulu
Ujung Hulu
Selaras dengan tarian nyiur perlahan namun pasti Mentari menggelincirkan diri,
perlahan Kembali ke dipan dan membiarkan rembulan dan gemintang mengambil
alih panggung hamparan.
bagi para jiwa yang Lelah saat inilah waktu yang tepat untuk mengayuh dan
pulang kerumah, baik itu rumah dimana anak istrinya telah menunggu dan telah
menyiapkan santap malam, maupun rumah tempat dimana insan merendah di
hadapan sang penguasa alam.
Diantara lalu Lalang sampan itu terdapat seorang pengayuh yang selalu
mendapat perhatian, dimana pengayuh sampan itu selalu mendapat senyum ramah
dan tegur sapa siapapun yang berjumpa dan melewatinya.
dialah Tuan Muda Qadhi Abdurrahman Bin Haji Syamsyudin, seorang pengadil
kerajaan Banjar.
dia adalah singa yang tidak maruk harta dan kekuasan, ditengah semua titah
perintah dia adalah cerminan dari arti sederhana dan seadanya, yang ia miliki
hanya selembar baju di badan, sebuah sampan butut nan berlobang dan rumah
panggung yang telah miring kekanan.
itulah Tuan Muda Qadhi Abdurrahman Bin Haji Syamsyudin, sehingga tidak
salah kiranya, dengan semua sifat-sifatnya itu dia dijadikan oleh sultan sebagai
tangan kanan dan kepercayaan.
Nan sampan dikayuh nan puan semakin mendekat, keringat mulai bercucuran di
kening Tuan Qadhi Muda, dari utusan bidan diketahui bahwa sore ini bunting di
perut istri Tuan Qadhi Muda akan menapakan diri di alam fana.
cemas dan senang membuncah sehingga kayuhan yang biasanya berirama kini
Nampak seperti riak tak bernada, Tuan Qadhi Muda menyeka keringat, dzikir
terus membasahi bibirnya, setelah sekian lama akhirnya ia dianugerahi buayan,
memang tidak bisa dipungkiri disetiap sujud sepertiga malam selalu ia sematkan
rayuan kepada tuhan untuk sudi menitipkan dirinya momongan, pula sudah
menjadi rahasia umum memang, Tuan Qadhi Muda selalu mendanbambakan
buah hati.
wantar sudah di bumi Banjar bagaimana gambaran Tuan Qadhi Muda kala ia
diberi opsi oleh sultan untuk menikahi putrinya, dimana dari pernikahan itu
diharapkan hajat Tuan Qadhi Muda dapat terpenuhi segera, juga dengannya Tuan
Qadhi Muda dapat duduk bersanding dengan para bangsawan yang secara tak
langsung menguatkan posisi politiknya di hadapan para pemuka.
Dari jauh rumah panggungya Mulai terlihat, sayup-sayup dia melihat banyak
orang di pekarangan, sayup-sayup pula dia mendengar penduduk memanggil
Namanya, Langkah Tuan Qadhi Muda bertambah cepat, hatinya membuncah,
memuji kuasa tuhan yang dengan rahmat-nya memberikan dia buah hati belahan
jiwa, serta meminta ampunan atas segala kesalahan kepada Tuhan semesta alam
yang mana dengan sifat Rauf dan Rahimnya semoga istrinya tercinta dapat
melalui ini semua.
“tunggu ada yang salah….” Pikir Tuan Qadhi Muda, expresi yang dia dapat dari
penduduk bukanlah semburat Bahagia namun layu dan nestapa.
Di ruang tamu Tuan Qadhi Muda melihat Pa’acilan nya berkumpul membentuk
lingkaran, ditengah terlihat istri tercintanya terdiam kaku, Langkah Tuan Qadhi
Muda membeku, sejenak rasanya segala warna di mata Tuan Qadhi Muda
berubah kelabu, bersamaan indra pendengarnya yang menangkap suara tangis
Bayi dia melihat wajah sang istri ditutup kain oleh Julak tuha, Ketika ingin
mendekat, matanya bertatapan dengan abah mertua, terlihat jelas mata laki-laki
tua itu sembab, bibirnya terkantup, tidak ada sepatah kata antara mereka, sirat
mata mereka berdualah yang berbicara.
Malam semakin menanjak, para jangkrik mulai bermain orchestra, semilir angin
menerpa ilalang di sepinggir sungai Barito.