Anda di halaman 1dari 40

Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 1

Kyai Ageng Pandhan Arang

Soewignja

Alih bahasa oleh:

Bambang khusen Al Marie


Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 2

Kyai Agêng Pandhanarang


Oleh: SOEWIGNJA

Balai Pustaka Batavia-C 1938

Diterjemahkan oleh: Bambang Khusen Al Marie


Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 3

BAB I
PEMAKAMAN TEMBAYAT

Di wilayah desa Tembayat, yang letaknya di sebelah selatan kota


Klaten, kira-kira 12 kilometer ada pemakaman yang sampai sekarang
masih ramai dikunjungi peziarah. Menurut cerita makam tadi adalah
kuburan seorang wali mukmin yang disebut dengan nama Sunan
Tembayat. Kalau dilihat dari tata letaknya, memang pantas kalau
makam tadi adalah makam orang mulia dari zaman dahulu. Letaknya
berada di bukit yang merupakan sempalan dari pegunungan selatan
atau disebut Gunung Kidul. Dari desa asli Tembayat letak makam
kira-kira setengah jam jika ditempuh dengan jalan kaki. Di kaki bukit
tadi ada masjid dan pasar.

Jalan untuk naik ke kompleks makam melalui pasar tadi. Diawali


melalui gapura batu yang bernama gapura Segara Muncar. Pada sisi
gapura sebelah kanan1 ada sebuah tulisan yang sebagian aksaranya
sudah hilang karena cuil. Menurut juru kunci tulisan tersebut
berbunyi: murti sarira .... jleking ratu. Kalau melihat bunyi tulisan
tersebut mesthi kalimat itu berupa candra sengkala atau kronogram
yang dipakai untuk menandai berdirinya gapura tersebut. Jika dibaca
angka tahunnya adalah 1448 J.

1
Menurut arah mata angin letaknya di sebelah barat.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 4

Setelah melewati gapura Segara Muncar, jalan ke makam harus


naik melewati anak-anak tangga sampai di sebuah bangsal yang
disebut bangsal jawi2, yakni bangsal yang diperuntukkan untuk
istirahat bagi peziarah laki-laki. Di dekat bangsal jawi ada lagi gapura
yang disebut gapura Pangrantunan. Di sebelah luar gapura
Pangrantunan ada sebuah padasan3 bagi para peziarah yang akan
masuk ke kompleks pemakaman. Kalau sudah bersuci baru masuk
melewati gapura Pangrantunan. Di sebelah dalam gapura
Prangrantunan ada pelataran yang juga didirikan bangsal, namanya
bangsal lebet4. Bangsal lebet diperuntukkan sebagai tempat istirahat
bagi peziarah wanita.
Setelah melewati bangsal Pangrantunan, untuk sampai ke malam
masih harus melewati tiga gapura lagi. Gapura Panemut, gapura
Pamencar dan gapura Balekencur. Dari gapura Balekencur jalan
mengarah ke sebuah bangunan yang mirip pendapa. Namun luasnya
hanya beberapa meter persegi. Inilah yang disebut Prabayeksa5. Di
situ ada padasan dengan gentong berbentuk aneh yang disebut
gentong Kyai Naga. Dari Prabayeksa ada anak tangga menuju makam
berpagar bata keliling. Kalau sudah melewati gapura pagar tersebut
dan memasuki dua pintu, maka sampailah ke makam Sunan
Tembayat.

Letak makam Sunan Tembayat berada di tengah. Di sebelah timur


laut ada dua makam, yakni makam istri Sunan Tembayat: Nyai Ageng
Kaliwungu dan Nyai Ageng Krakitan. Di sebelah selatan ada makam
lagi. Menurut cerita yang menyebar makam itu adalah makam dari
Nyai Ageng Madalem, Pangeran Jiwa dan para sahabat seperti; Syekh
Sabuk Janur, Kali Datuk, Pangeran Winang, Kyai Malang Gati, Kyai
Banyu Biru, Panembahan Kabul, Kyai Panembahan Masjid Wetan
dan Kyai Panembahan Sumigit Wetan.

2
Bangsal jawi artinya bangsal luar.
3
Tempat berwudlu dari gentong.
4
Bangsal lebet artinya bangsal yang letaknya di dalam.
5
Prabayeksa, bangsal naga.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 5

Adanya banyak hiasan dan bangunan di kompleks pemakaman,


juga banyaknya ziarah yang datang sampai hari ini membuktikan
bahwa bagi orang banyak para leluhur yang dimakamkan di situ
dianggap sebagai orang mulia. Hal ini cocok dengan cerita yang
beredar mengenai kisah perjalanan hidup Sunan Bayat yang akan
diuraikan dalam bab berikut ini.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 6

BAB II
KYAI AGENG PANDHANARANG MENINGGALKAN HIDUP
BERKECUKUPAN

Menurut cerita yang tersebar di lingkungan Tembayat, perjalanan


hidup Sunan Tembayat adalah sebagai berikut. Sebelum berdiam di
Tembayat sampai kemudian menjadi wali mukmin, Sunan Tembayat
adalah seorang bupati yang berkuasa di Semarang. Namanya Kyai
Ageng Pandhanarang. Ketika masih menjabat sebagai bupati, menurut
cerita Kyai Ageng Pandhanarang sangat mementingkan kehidupan
duniawi. Selalu mengupayakan bertambahnya harta benda yang
menjadi miliknya. Dalam mencari harta benda sampai dibela-bela
hidup menderita dengan bekerja keras. Maka tak aneh kalau mendapat
kekayaan yang banyak sehingga menjadi bupati yang kaya raya.
Walau demikian keinginannya untuk selalu mendapat tambahan harta
tak pernah pudar.

Alkisah, di negeri Demak para wali sedang berkumpul di masjid.


Para wali mendesak kepada Sunan Kalijaga agar mengangkat satu
orang wali lagi supaya jumlahnya menjadi sembilan. Sunan Kalijaga
menyatakan kalau sudah mendapat calon wali yang dimaksud. Namun
masih harus menunggu waktu yang tepat. Sunan Kalijaga berkata
demikian karena mengetahui bahwa Kyai Ageng Pandhanarang
sangat berpotensi menjadi wali kelak untuk menggantikan posisi yang
ditinggalkan oleh Syekh Siti Jenar. Namun sekarang hatinya belum
terbuka untuk mengajarkan agama Islam. Hatinya masih tertutup
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 7

keinginan mencari harta benda duniawi. Maka Sunan Kalijaga


berkehendak untuk memberinya isyarat agar Kyai Ageng
Pandhanarang tersadar dari perilakunya selama ini. Agar bangkit
kesadarannya untuk memperdalam agama dan mengajarkannya
kepada orang banyak.

Sepulang dari perkumpulan itu, Sunan Kalijaga lalu menyamar


sebagai orang kecil yang berdagang rumput alang-alang. Rumput
ditawarkan kepada Ki Ageng Pandhanarang. Kyai Ageng pun setuju
untuk membeli, tapi hanya mau membeli dengan harga murah, yakni
hanya satu sukuteng (46 sen). Rumput alang-alang pun diberikan
kepada Kyai Ageng. Ketika tukang rumput sudah pergi dan ikatan
rumput alang-alang dibuka, Kyai Ageng kaget karena di dalamnya
terdapat kandelan atau lempengan emas. Lempengan emas lalu
diambil oleh Kyai Ageng dan dianggap sebagai miliknya. Karena
hasrat yang menggebu untuk mengumpulkan harta Kyai Ageng
sampai alpa bahwa lempengan emas itu adalah sebuah isyarat. Makna
dari isyarat itu adalah agar Kyai Ageng ngandel atau percaya kepada
si penjual rumput6. Namun ternyata isyarat yang disampaikan
Kangjeng Sunan Kalijaga tidak terbaca oleh Kyai Ageng
Pandhanarang.

Beberapa hari kemudian Kyai Ageng mengundang para bupati


pesisir untuk menghadiri peresmian rumahnya yang baru. Para bupati
diminta untuk mencari cacat apapun yang masih kurang di dalam
pembuatan rumah megah tersebut. Ketika itu Sunan Kalijaga juga ikut
menghadiri peresmian rumah baru sang bupati, tetapi tidak cara
menyamar memakai pakaian orang kebanyakan. Oleh karena itu tidak
ada sambutan khusus untuk Kangjeng Sunan karena mereka tidak
mengetahui kalau yang datang adalah Sunan Kalijaga. Ketika Sunan
ikut nimbrung makan jamuan, tidak ada perlakuan khusus kepada
beliau. Sunan Kalijaga lalu keluar dari tempat perjamuan dan berganti
dengan baju yang bagus. Sunan lalu masuk kembali ke tempat
perjamuan. Perlakuan berbeda kali ini beliau terima. Para penyambut
tamu tampak bergegas mempersilakan Sunan ke tempat duduk
khusus. Mereka pun melapor kepada tuannya. Kyai Ageng lalu turun

6
Kata ngandel di sini diambil dari kata kandelan.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 8

sendiri untuk menyambut. Sunan dibawa ke tempat khusus bersama


tamu-tamu terhormat lainnya.

Dalam perjamuan itu yang menjadi perbincangan adalah adakah


cacat dalam bangunan tersebut. Para tamu kesulitan mencari cacat
bangunan tersebut karena dikerjakan dengan sempurna. Pada
kesempatan itu Kangjeng Sunan berbicara, bahwa meskipun
bangunan tersebut secara fisik sempurna tetap ada kekurangannya.
Kurangnya adalah bangunan tersebut membuat penghuninya
terjerumus ke dalam perbuatan kurang pantas. Yang dimaksud adalah
si penghuni menjadi membeda-bedakan tamu yang datang. Tamu
yang berpakaian bagus dimuliakan, tamu yang berpakaian jelek
kurang ditanggapi. Namun sindiran Kangjeng Sunan masih belum
membuka mata hati Kyai Ageng Pandhanarang. Kangjeng Sunan lalu
meramalkan bahwa meski rumah ini bagus, Kyai Ageng
Pandhanarang tidak akan langgeng menempati rumah ini. Setelah
berkata demikian Kangjeng Sunan lalu mencopot pakaian bagus yang
dikenakannya dan berganti dengan pakaian orang kebanyakan.
Kangjeng Sunan lalu keluar dan pergi. Kyai Ageng pun tetap tidak
mengerti isyarat yang disampaikan oleh Kangjeng Sunan.

Sunan Kalijaga kecewa, tetapi tak henti-henti mencari cara agar


Kyai Ageng terbuka hatinya. Lain hari Sunan Kalijaga menyamar lagi
sebagai seorang peminta-minta. Datang ke kabupaten ketika Kyai
Ageng sedang menghitung uang di pendapa. Kyai Ageng duduk
menghadap ke utara. Ketika melihat pengemis datang Kyai Ageng
melemparkan satu koin uang senilai satu benggol. Kyai Ageng lalu
bergeser menghadap ke timur. Si pengemis beralih, datang lagi dari
arah timur. Kyai Ageng memberinya dua sen, lalu beralih menghadap
ke selatan. Dari arah selatan si pengemis datang lagi. Oleh Kyai
Ageng lalu dilempar koin senilai satu setengah sen. Kyai Ageng lalu
menghadap ke barat. Lagi-lagi si pengemis datang dari arah barat.
Kyai Ageng melemparkan satu sen sambil bersungut-sungut. Si
pengemis lalu menjelaskan mengapa masih terus mengemis padahal
sudah diberi beberapa kali. Karena yang dia minta sebenarnya bukan
harta benda atau uang. Kalau hanya uang dan harta dirinya sudah
memiliki. Adapun yang hendak dimintanya adalah suara bedhug
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 9

masjid Semarang. Kyai Ageng menyatakan takkan memberi


permintaan yang seperti itu.

Si pengemis berkata, “Jangan begitu Kyai. Di dunia ini Kyai


takkan hidup lama. Kelak pasti akan berpindah ke alam keabadian.
Kalau sibuk menghitung uang, kurang bagus karena itu menjadi tanda
Kyai telah menuhankan harta. Harta benda menjadi berhala yang
menghalangi kemurnian beribadah. Maka harta tersebut justru akan
menjauhkan dari surga. Kalau saya sendiri sungguh tak ingin menjadi
orang kaya. Karena kebanyakan harta justru akan membuat gelap
jalan menuju keutamaan. Harta juga tidak akan dibawa ke surga.
Maka harta hampir tidak ada gunanya. Kalaupun bisa dibawa, juga
untuk apa. Karena di surga semua sudah serba ada dan tidak perlu
uang untuk membeli apapun. Semua yang dipikirkan sudah menjadi
nyata tanpa harus keluar uang. Ibarat orang mencangkul pun keluar
bongkahan emas.”
Kyai Pandhanarang mencep, lalu berkata, “Lagakmu besar mulut,
seperti sudah pernah melihat surga. Mana ada orang mencangkul
keluar emas bongkahan.”

Si pengemis berkata, “Kalau Kyai memang suka yang seperti itu,


di sini pun bisa saya adakan.”

Sunan Kalijaga lalu mengambil cangkul dan mencangkul tanah tiga


kali. Apa yang diperoleh Sunan Kalijaga kemudian dilempar ke
pendapa, tepat di bawah kaki Kyai Ageng Pandhanarang. Terlihat tiga
bongkahan emas yang bersinar gemerlap. Kyai Ageng tertegun tak
mampu berkata-kata. Dia melihat sendiri pengemis itu mencangkul
tanah, tetapi bongkahan emas yang didapat. Seketika Kyai Ageng
sadar bahwa si pengemis bukan orang sembarangan. Kyai Ageng
kemudian bermaksud untuk berguru kepada si pengemis.

Sunan Kalijaga mengetahui bahwa Kyai Ageng telah terbuka


hatinya. Tiga bongkah emas diambil dan dikembalikan ke lubang
bekas cangkul. Seketika menjadi tanah kembali. Kyai Ageng lalu
menunduk hormat dan mempersilakan si pengemis untuk duduk di
pendapa.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 10

Kyai Ageng berkata, “Maafkan diriku tuan. Sangat besar


kesalahanmu kepadamu. Saya telah menghina dan meremehkan Anda.
Hal itu akibat hatiku telah tertutup keinginan untuk mencari harta
benda. Sampai-sampai diriku alpa terhadap isyarat yang tuan berikan.
Sekarang saya ingin berguru kepada Anda tuan. Saya pasrah hidup
mati, akan mengikuti ajaran Anda. Walau harus menempuh derita dan
berkesusahan, saya takkan mundur. Sayang kalau terlambat, keburu
ajal datang.”

Sunan Kalijaga berkata, “Kalau engkau sungguh-sungguh ingin


berguru kepadaku, aku akan mengabulkan. Namun sebagai murid
engkau harus patuh kepada segala perintahku. Aku minta tiga hal
sebagai syarat agar engkau bisa kuterima menjadi murid. Yang
pertama, mulai hari ini engkau harus tekun beribadah, mendirikan
shalat di masjid dan mushala. Juga ajarkan agama kepada beberapa
murid agar membantu memakmurkan masjidmu. Yang kedua, engkau
keluarkan zakat sesuai nisabnya dari hartamu yang banyak ini. Karena
zakat adalah kewajiban bagi orang muslim. Yang ketiga, selayaknya
seorang murid engkau harus mengunjungi rumah gurumu. Engkau
harus tinggal di rumah guru dan melakukan bakti. Membuat pelita di
rumah gurumu. Oleh karena itu kalau engkau sudah mantap, engkau
harus menyusulku ke rumahku yang berada di Jabalkat.”

Kyai Agêng Pandhanarang berkata: "Jabalkat itu letaknya di mana


dan Anda ini siapa?".

Sunan Kalijaga menjawab, “Jabalkat itu berada ing wilayah


Têmbayat. Adapun kalau engkau ingin tahu namaku, aku ini Syekh
Malaya. Sudah, sekarang laksanakan segera tiga hal itu.”

Setelah berkata demikian Kangjeng Sunan Kalijaga beranjak pergi.


Kyai Ageng Pandhanarang terbengong-bengong oleh kedatangan wali
agung sehingga tanpa sadar Sunan Kalijaga sudah tak terlihat lagi.
Hati Kyai Ageng begitu tak sabar ingin segera menyusul sang guru ke
Jabalkat. Namun sebelumnya hendak melaksanakan syarat-syarat
yang lain dulu, yakni mendirikan shalat dan membayar zakat.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 11

BAB III
PERJALANAN KYAI AGENG PANDHANARANG
DARI SEMARANG

Kyai AgEng Pandhanarang lalu masuk ke rumah dan berembug


dengan para kerabatnya. Empat istri Kyai Ageng adalah putri-putri
para pembesar setingkat tumenggung. Anak cucunya pun telah
menjabat sebaga punggawa negeri Demak. Kepada mereka Kyai
Ageng mengutarakan kehendaknya untuk berguru kepada Syekh
Malaya atau Sunan Kalijaga. Kyai Ageng ingin pergi sendiri. Semua
istri disuruh tetap tinggal di Semarang untuk membimbing anak-cucu.
Adapun harta benda milik Kyai Ageng dan berbagai barang berharga
lain akan dibagi-bagi kepada istri dan anak-cucu secara merata setelah
disisihkan zakatnya untuk para fakir miskin. Setelah selesai menata
pembagian harta benda Kyai Ageng lalu menyerahkan urusan
pemerintahan negeri Semarang kepada para punggawa Semarang.
Semua sudah diberi pesan. Kyai Ageng lalu minta pamit kepada
semua punggawa dan kerabat di Semarang.

Ada seorang istri Kyai Ageng yang tidak mau ditinggalkan, yakni
Nyai Ageng Kaliwungu. Nyai Ageng Kaliwungu memaksa ikut ke
Jabalkat. Nyai Ageng setuju meninggalkan hidup berkecukupan di
Semarang dan berguru kepada Kangjeng Sunan. Kyai Ageng
membujuk agar sang istri tetap tinggal. Namun Nyai Ageng tak juga
surut kehendaknya.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 12

Nyai Ageng berkata, “Kyai, boleh atau tidak saya tetap ikut.
Sebagai istri saya harus turut ke manapun suami pergi.walau harus
menempuh jalan susah dan penuh derita. Saya hanya ingin sampai
mati kelak dapat melayani Kyai.”

Kyai Ageng tidak dapat mencegah lagi. Apalagi setelah sang istri
menyatakan sanggup mengikuti cara hidup Kyai Ageng yang baru.

Kyai Ageng berkata, “Baiklah Nyai, kalau memang engkau


bersungguh-sungguh dalam tekadmu. Aku izinkan engkau menyertai
sebagai pendamping kepergianku. Namun, kalau engkau ingin ikut
jangan sampai membawa harta benda. Karena itu sudah menjadi
larangan guruku. Harta yang kaubawa akan menjadi sumber
kerepotan dan menghalangi jalan ke surga. Juga engkau bergantilah
pakaian yang serba putih.”
Nyai Ageng sanggup menjalani syarat yang diperintahkan sang
suami. Nyai Ageng lalu berganti pakaian serba putih. Kyai Ageng pun
juga memakai pakaian serba putih dan berkalung dan bertongkat cis.
Tongkat yang ujungnya ada besi tajam yang biasa dibawa dalam
perjalanan. Adapun Nyai Ageng juga membawa alat bantu jalan
berupa tongkat dari bambu gading. Sebelum berangkat kedua suami
istri itu berpesan kepada anak cucu yang akan ditinggal di Semarang.
Kepada mereka dipesan agar selalu hidup rukun dan menjauhi
perselisihan. Kyai Ageng dan Nyai Ageng lalu berangkat. Kyai
Ageng berjalan di depan. Di belakang Nyai Ageng mengikuti sambil
menggendong anak kecil. Yakni anak Nyai Ageng yang bungsu, yang
kelak dipanggil dengan nama Pangeran Jiwa.

Meski sudah menyatakan patuh kepada perintah suami agar tidak


membawa harta benda, tetapi rupanya hati Nyai Ageng tidak cukup
tenang jika menempuh perjalanan tanpa bekal. Nyai Ageng mencoba
mencari cara agar dapat membawa harta tanpa diketahu sang suami.
Sejumlah perhiasan emas dan uang dinar kemudian dimasukkan ke
dalam tongkat bambu gading yang dibawa Nyai Ageng. Kyai Ageng
pun sebenarnya mengetahui kalau Nyai Ageng menyembunyikan
sesuatu dalam tongkatnya. Namun Kyai Ageng pura-pura tidak tahu.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 13

Perjalanan kedua suami istri itu sudah meninggalkan negeri


Semarang dan masuk ke wilayah hutan yang tak bertuan. Kyai Ageng
karena semangatnya untuk segera sampai di Jabalkat berjalan cepat-
cepat. Adapun Nyai Ageng karena kerepotan membawa anak dan juga
kerepotannya sebagai perempuan selalu saja tertinggal di belakang.
Pada beberapa kesempatan bahkan sampai tertinggal agak jauh. Suatu
ketika perjalanan mereka masuk ke sebuah hutan belantara. Hanya
ada jalan setapak yang membelah hutan tersebut. Tiba-tiba di tengah
hutan Kyai Ageng dihadang oleh dua orang yang ditengarai sebagai
begal.

Seorang dari kedua begal menghentikan Kyai Ageng dan berkata,


“Hai Paman, berhentilah dulu. Aku minta oleh-oleh darimu.”

Kyai Ageng menjawab, “Aku sendiri tidak membawa apapun yang


berharga. Kalau engkau memang butuh, itu di belakang istriku
membawa tongkat bambu gading. Isinya perhiasan emas dan koin
dinar. Tongkat itu ambillah. Isinya cukup untuk kalian bersuka-suka
seumur hidup. Namun aku minta istri dan anakku jangan engkau
ganggu.”

Kyai Ageng berlalu, dua begal segera bertindak. Tongkat Nyai


Ageng direbut dan dibelah. Benar isinya perhiasan emas dan dinar.
Dua begal berjingkrak-jingkrak kegirangan. Namun mereka tak puas
begitu saja. Pikir mereka, kalau tongkatnya saja isinya demikian
banyak pasti di balik pakaian masih menyimpan harta yang lain. Nyai
Ageng lalu dikejar hendak dilucuti pakaiannya. Namun kuasa Tuhan,
kedua begal mendadak merasa lemas tak berdaya. Mereka jatuh
teronggok di tanah laksana daging tak punya tulang.

Nyai Ageng yang baru saja lolos dari marabahaya kaget dan
berteriak, “Sungguh terlalu, Kyai. Ada orang salah mengapa tega.”
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 14

Perkataan salah tega itulah yang kemudian dilestarikan menjadi


nama Salatiga7. Anak Nyai Ageng lalu menangis ketakutan. Tangisan
si anak terdengar oleh Kyai Ageng yang berjalan di depan.

Kyai Ageng menoleh dan berkata, “Tadi sudah aku pesan agar
hanya merebut tongkatnya saja, tidak boleh mengganggu orangnya.
Kalian banyak tingkah dan rakus, rupamu seperti kambing.”

Perkataan Kyai Ageng sungguh ampuh. Seketika seorang begal


kepalanya berubah menjadi kepala kambing. Seorang lagi yang
menggelosoh di tanah dikatakan oleh Kyai Ageng seperti ular.
Seketika wajahnya menjadi wajah ular. Kedua begal lalu bertobat dan
pasrah hidup-mati kepada Kyai Ageng. Kyai Ageng sendiri merasa
menyesal karena perkataannya menjadi kenyataan. Dua begal lalu
disuruh untuk pasrah dan bertobat. Keduanya lalu menjadi sahabat
Kyai Ageng selama melanjutkan perjalanan ke Jabalkat. Seorang yang
berkepala kambing lalu diberi nama Syekh Domba. Dan seorang lagi
yang berwajah ular diberi nama Syekh Kewel.

Mereka berempat kemudian melanjutkan perjalanan. Kyai Ageng


yang sudah tak sabar bertemu sang guru selalu berjalan cepat. Lagi-
lagi Nyai Ageng kepontal-pontal mengikuti. Sampai pada suatu
wilayah Nyai Ageng merasa sangat lelah. Namun Kyai Ageng terus
saja berjalan dan meninggalkan Nyai Ageng jauh di belakang.

Nyai Ageng berkata sendirian, “Oh, apakah Kyai sudah lupa


denganku?”

Dalam bahasa Jawa perkataan Nyai Ageng tadi berbunyi, “Oh,


Kyai baya lali marang aku?”

Kata “baya lali” kemudian dilestarikan menjadi nama daerah itu,


yakni Boyolali.

7
Ada versi lain cerita ini. Begal yang menghadang dan mengganggu Kyai dan
Nyai Ageng ada tiga orang. Nama Salatiga berasal dari orang salah juml ahnya
tiga, atau salahtiga.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 15

BAB IV
BERADA DI DESA WEDHI

Dengan susah payah Nyai Ageng berhasil menyusul Kyai Ageng.


Rombongan Kyai Ageng pun sampai di wilayah yang sekarang
letaknya di antara Tembayat dan Klaten. Di desa tersebut Kyai Ageng
berhenti untuk istirahat. Tembayat sudah dekat. Syekh Domba dan
Syekh Kewel diminta untuk bertapa di dekat gunung Jabalkat.
Sementara itu Kyai Ageng bermalam di rumah seorang pedagang
nasi, namanya Mbok Tasik. Selama tinggal di rumah Mbok Tasik,
Kyai Ageng ikut membantu pekerjaan rumah. Kyai Ageng juga
merangkap menjadi marbot sebuah masji di desa itu. Namanya diganti
menjadi Gus Slamet.

Selama beberapa hari disinggahi Gus Slamet, dagangan Mbok


Tasik lancar dan selalu mendapat untung. Sangat jauh berbeda
sebelum Gus Slamet ikut numpang di rumah Mbok Tasik. Gus Slamet
menjadi semakin sibuk membantu pekerjaan dapur Mbok Tasik.
Suatu ketika karena Mbok Tasik membuat dagangan yang banyak,
Gus Slamet pun membantu pekerjaan dapur. Pekerjaan sebagai
marbot di masjid menjadi keteteran. Ketika orang-orang sudah bersiap
mengambil air wudlu ternyata air gentong masih kosong. Orang-orang
menjadi mengomel-ngomel kepada Gus Slamet. Gus Slamet lalu
bergegas ke masjid. Ketika mendapati gentong masih kosong Gus
Slamet langsung meraih alat untuk mengambil air. Karena gugup
tanpa dilihat ternyata Gus Slamet meraih keranjang. Ajaibnya, dengan
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 16

keranjang itu Gus Slamet dapat mengambil air wudlu. Dalam waktu
tak lama air dalam gentong sudah penuh. Orang-orang menjadi
takjub. Mereka pun sedikit takut dengan kesaktian Gus Slamet.

Ada kejadian lagi. Suatu ketika Gus Slamet disuruh menghadang


pedagang beras yang akan berangkat ke pasar. Tidak lama kemudian
terlihat orang memikul karung. Gus Slamet bertanya apakah orang
tersebut hendak menjual beras. Kalau dia bermaksud menjual beras
Gus Slamet akan membelinya. Karena satu alasan si orang tadi tidak
ingin menjual berasnya kepada Gus Slamet. Mungkin dia pikir kalau
sampai di pasar harga akan lebih mahal. Namun kalau hendak
menolak penawaran Gus Slamet dia merasa tidak enak hati.

Si orang tadi kemudian menjawab, “Saya tidak membawa beras.


Yang aku pikul di dalam karung ini pasir.”
Pasir dalam bahasa Jawa adalah wedhi. Jadi dia mengatakan, “Iki
dudu beras, iki wedhi.”

Ketika sampai di pasar orang tadi membuka karungnya. Betapa


kagetnya karena dia mendapati yang berada di dalam karung benar-
benar pasir. Kejadian ini membuat hebot orang sedesa. Maka desa itu
kemudian disebut Wedhi. Atau dalam ejaan bahasa Indonesia ditulis
Wedi. Sampai sekarang nama Wedi masih dilestarikan sebagai nama
salah satu kecamatan di Klaten.

Selain kejadian aneh di atas, masih ada lagi keanehan pada diri Gus
Slamet. Pada suatu ketika persediaan kayu bakar di rumah Mbok
Tasik habis. Mbok Tasik memarahi Gus Slamet karena lalai mencari
kayu bakar.

Berkata Mbok Tasik, “Kamu ini sembrono Slamet. Sudah tahu


kayu bakar habis, mengapa hanya duduk-duduk. Apa nanti engkau
akan menyalakan api dengan tanganmu?”

Mendapat marah Gus Slamet hanya diam. Dalam hati pasrah


karena ini memang laku yang harus ditempuh untuk menjumpai sang
guru. Gus Slamet lalu menyalakan api. Kedua tangannya kemudian
dimasukkan ke dalam perapian. Seketika dari kedua tangannya
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 17

memancar api yang besar. Nasi pun bisa masak dengan segera. Mbok
Tasik yang mencium bau nasi masak kemudian mengintip apa yang
dilakukan Gus Slamet. Dari celah-celah dinding dia melihat Gus
Slamet menanak nasi dengan api yang keluar dari kedua tangannya.
Mulai saat itu Mbok Tasik tak berani lagi berbuat sembarangan
kepada Gus Slamet. Mbok Tasik berpikir pasti Gus Slamet bukan
orang sembarangan. Dalam hati Mbok Tasik menyesal karena selama
ini sering membentak dan memarahi Gus Slamet. Mbok Tasik
kemudian meminta maaf.

Karena cerita-cerita aneh yang tersebar nama Gus Slamet


kemudian kian dikenal oleh orang-orang dari desa Wedi. Hal itu
membuat Gus Slamet tidak kerasan. Dia kemudian pergi dari desa
Wedi untuk melanjutkan perjalanan. Syekh Domba dan Syekh Kewel
kemudian dijemput untuk segera menuju Jabalkat.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 18

BAB V
DI TEMBAYAT SAMPAI MENJADI WALI

Alkisah ketika perjalanan Kyai Ageng dan rombongan sampai di


gunung Kucur anak Ki Ageng menangis karena lama tidak mendapat
air minum. Tangisnya si anak disertai polah mencakar-cakar tanah.

Kyai Ageng berkata, “Nak, mengapa engkau menangis minta air?


Itu tanganmu sedang menggaruk air.”
Seketika dari tanah yang digaruk-garuk si anak keluar airnya.
Tempat itu kemudian menjadi mata air. Si anak pun minum dari air
tersebut. Dari gunung Kucur rombongan Kyai Ageng melanjutkan
perjalanan ke Jabalkat. Setelah sampai Kyai Ageng mendirikan
sebuah rumah dan masjid. Sambil menunggu kedatangan sang guru
Kangjeng Sunan Kalijaga, Kyai Ageng mengajarkan agama Islam
kepada penduduk sekitar Tembayat. Tempat tersebut sangat jauh dari
kotaraja Demak. Semula wilayah itu masih dibawah kekuasaan
Majapahit. Maka masih banyak orang memeluk agama lama. Kyai
Ageng lalu berdakwah kepada penduduk Tembayat.

Karena sudah dikenal sejak berada di Wedi, banyak orang mulai


berdatangan ke Tembayat. Orang-orang kemudian berguru kepada
Kyai Ageng. Para santri pun semakin hari semakin banyak. Selain itu
Kyai Ageng juga berhasil mengislamkan para ajar di sekitar wilayah
Tembayat. Ada cerita bila keberhasilan Kyai Ageng mengislamkan
para ajar tak lain berkah dari rumah tangganya dengan wanita di
Tembayat yang bernama Ni Endhang. Semula Ni Endhang menjadi
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 19

incaran para ajar untuk diperistri. Ni Endhang yang tidak mau lalu
mengungsi ke tempat Kyai Ageng Pandhanarang. Oleh Kyai Ageng
malah Ni Endhang diambil sebagai istri. Ni Endhang lalu terkenal
dengan sebutan Nyai Ageng Krakitan. Setelah mengambil istri Ni
Endhang para ajar secara beruntun dapat diislamkan. Antara lain, Ajar
Menak Bawa, Bandar Alim, Malangati dan lain-lain. Namun masih
banyak ajar yang belum mau memeluk Islam. Ada pula yang baru
mau masuk Islam setelah menantang adu kesaktian dengan Kyai
Ageng Pandhanarang.

Ada seorang ajar bernama Prawirasakti yang berdiam di gunung


gambar. Kyai Ageng berkali-kali mengirim santri untuk mengajak
agar Ajar Prawirasakti masuk Islam. Namun utusan Kyai Ageng
selalu ditolak kedatangannya. Tak satupun berhasil naik ke gunung
Gambar karena kesaktian Ki Ajar Prawirasakti. Ada seorang utusan
yang ketika baru naik gunung Gambar lalu diterjang badai dan jatuh
di hadapan Kyai Ageng Pandhanarang. Menurut desas-desusu badai
tadi adalah hasil perbuatan Ajar Prawirasakti.

Kyai Ageng Pandhanarang lalu turun tangan sendiri. Kyai Ageng


berangkat naik ke gunung Gambar. Sesampai di lereng Ajar
Prawirasakti menyambut dengan gelontoran batu-batu besar. Oleh
Kyai Pandhanarang batu-batu ditahan dengan sandal. Batu-batu malah
tertata seperti anak tangga. Sampai kini batu-batu tersebut masih ada
bekasnya dan disebut watu andha (batu tangga). Kyai Ageng berhasil
naik ke puncak gunung Gambar.

Sesampai di atas Ajar Prawirasakti menyambut kedatangan Kyai


Ageng. Kyai Ageng mengajak Ki Ajar untuk memeluk agama Islam.

Dengan congkak Ki Ajar berkata kasar, “Aku mau ikut agama baru
ini, kalau kamu bisa mengalahkan kesaktianku!”

Kyai Ageng berkata, “Apa kesaktian yang kau minta?”

Ki Ajar berkata, “Lihat, aku punya burung dara. Burung ini akan
aku lepaskan. Kalau engkau bisa mengejarnya maka aku menyerah
padamu.”
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 20

Kyai Ageng berkata, “Segera lepaskan. Aku akan menyusul burung


itu.”

Ajar Prawirasakti lalu melepas burung dara. Seketika si burung


terbang ke angkasa. Kyai Ageng lalu meraih sandalnya dan melempar
mengikuti arah terbang burung dara tadi. Tidak lama kemudian
burung dara dan sandal Ki Ageng jatuh. Si burung sudah dalam
keadaan mati. Walau sudah nyata kesaktiannya kalah Ki Ajar masih
belum puas. Sekali lagi ingin menantang adu kesaktian.

Ki Ajar berkata, “Sekarang topiku ini, aku lempar ke atas. Nanti


susullah.”

Ki Ajar lalu melempar topinya ke atas sampai tak terlihat. Kyai


Ageng lagi-lagi mengambil sandalnya dan melemparnya ke atas.
Tidak lama kemudian topi dan sandal jatuh dalam posisi sandal Kyai
Ageng menimpa topi Ki Ajar.

Ajar Prawirasakti masih belum mau tunduk. Sekali lagi menantang


Kyai Ageng dengan berkata, “Aku tak mau menyerah. Sekarang aku
akan bersembunyi, coba carilah.”

Ki Ajar lalu menghilang. Namun tak lama kemudian Kyai Ageng


berhasil menemukan Ki Ajar yang bersembunyi di bawah batu besar.
Batu lalu diangkat dan Ki Ajar keluar dari lobang bekas batu tersebut.
Sampai kini petilasan batu yang berlubang itu masih terlihat seperti
mulut gua.

Ki Ajar lagi-lagi tak mau menyerah. Sekali lagi Ki Ajar menantang


adu kesaktian. Kali ini Kyai Ageng yang diminta gantian
bersembunyi.
Kyai Ageng berkata, “Sekali lagi aku layani, tetapi ini yang
terakhir. Kalau engkau masih ingkar aku akan membinasakanmu.
Sekarang aku bersembunyi. Carilah jika bisa.”

Kyai Ageng lalu menghilang. Sampai lama Ki Ajar tak berhasil


menemukan. Ki Ajar lalu menyerah dan mau masuk Islam. Kyai
Ageng lalu menampakkan diri.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 21

Kyai Ageng berkata, “Sungguh engkau berlagak, tapi aku


sembunyi di tempat dekat pun kau tak sanggup menemukanku. Aku
tadi berada di antara alismu.”

Ki Ajar Prawirasakti lalu masuk Islam. Selanjutnya Kyai Ageng


mendatangi para ajar lain yang masih membangkang. Satu persatu
akhirnya mereka pun mau masuk Islam, antara lain Kyai Ageng
Majasta yang berdiam di desa Majasta, sebelah timur laut desa
Tembayat. Sebelum masuk Islam Ki Ajar Majasta dikenal sebagai
seorang yang temperamental dan pemberani. Kalau ada orang yang
mau mengganggunya dia tak segan untu membunuh.

Ceritanya, pada suatu hari Ki Majasta melihat seorang yang


melewati pematang sawahnya yang masih basah. Orang tadi tak lain
adalah Kyai Ageng Pandhanarang yang akan mengunjungi Ki Ajar
Majasta. Melihat ada orang asing berani melewati pematang
sawahnya Ki Majasta marah. Ki Majasta lalu mengambil tombak dan
mendekati Kyai Ageng. Tanpa berkata sepatah kata pun Ki Majasta
melancarkan tombak.

Kyai Ageng mencegah dan berkata, “Nanti dulu Kisanak. Sabar


jangan grusah-grusuh. Apa salahku sampai engkau mengarahkan
tombak?”

Ki Majasta berkata, “Jangan berlagak bodoh. Engkau baru saja


menginjak-injak pematang sawahku yang baru saja aku selesaikan.”

Kyai Ageng berkata, “Oh biguru rupanya. Tapi lihatlah dulu. Kalau
memang aku merusak pematang sawahmu, boleh engkau
menombakku.”

Ki Ajar Majasta lalu melihat pematang yang bekas dilewati Kyai


Ageng. Ternyata pematang masih utuh tanpa rusak sedikitpun.
Bahkan pada pematang basah itu tidak ada bekas-bekas tapak
manusia. Seketika Ki Ajar Majasta merasa segan dan tidak lama
kemudian Ki Ajar Majasta masuk Islam.

Semakin hari makin banyak penduduk sekitar Tembayat yang


berhasil diislamkan Kyai Ageng Pandhanaran. Makin hari makin
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 22

tekun Kyai Ageng Pandhanarang mengajarkan agama Islam. Sampai


pada suatu ketika Kyai Ageng mendapat anugrah derajat tertinggi
sebagai wali. Hal itu terjadi pada hari Jum’at Kliwon, tanggal 27
Ruwah. Kyai Ageng Pandhanarang lalu dikenal dengan nama Sunan
Tembayat atau Sunan Bayat.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 23

BAB VI
SESUDAH MENJADI WALI SAMPAI WAFAT

Waktu sudah menunjukkan saat maghrib. Sunan Bayat masuk ke


masjid lalu mengumandangkan azan Magrib. Ketika itu suara azan
Sunan Bayat terdengar sampai ke negeri Demak.

Sunan Demak lalu berkata, “Ini orang baru saja menjadi wali sudah
besar omong. Membuat masjid di puncak bukit suara azannya keras
sekali. Juga lampunya menyilaukan. Semua ini harus diakhiri.”

Sunan Bayat setelah mendengar kritik dari Sunan Demak pun


segera sadar kesalahannya. Masjid lalu dipindahkan ke bawah. Empat
orang sahabat kepercayaannya, yakni; Kyai Gagakdhoka, Kyai
Dakawana8, Syekh Domba dan Syekh Kewel menyeret masjid dan
memindahkannya ke bawah. Masjid itu tetap utuh seperti semula.
Keempat sahabatnya itulah para pemeluk Islam awal mula. Dulu
sebelum kaum muslimin banyak jumlahnya Kyai Ageng
Pandhanarang mendirikan shalat Jum’at hanya dengan keempat orang
itu. Itulah sebab mengapa masjid Kyai Ageng Pandhanarang boleh
melakukan shalat Jum’at hanya dengan jamaat empat orang. Semua
karena melestarikan sejarah para leluhur. Masjid itu sampai sekarang
masih berdiri dan diberi nama Masjid Gala.

8
Catatan dari buku aslinya: Gagakdhoka dan Dakawana dulu adalah abdi
Prabu Brawijaya yang bernama Sabdopalon dan Nayagenggong.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 24

Melanjutkan cerita Sunan Bayat. Kehidupan Sunan Bayat dan para


sahabat serta murid-muridnya di Tembayat berjalan dengan tenteram
jauh dari permusuhan dan berebut kuasa. Pada suatu hari Sunan
Kalijaga mengunjungi Tembayat. Ketika itu Syekh Domba dan Syekh
Kewel sedang bekerja mengisi gentong padasan. Namun mereka lupa
menutup ujung padasan sehingga air terus mengucur. Sampai
beberapa kali membawa air padasan tak kunjung penuh. Padahal
sumber air berasal dari tempat yang agak jauh. Sunan Kalijaga
mengetahui kejadian tersebut. Kepada kedua orang itu Sunan Kalijaga
mengingatkan bahwa ujung padasan belum disumbat. Setelah
disumbah tak lama kemudian padasan segera penuh. Bahkan sampai
luber airnya. Kejadian ini kemudian menjadi kepercayaan dalam
masyarakat sekitar Tembayat. Bila padasan diisi air sampai luber
maka akan segera turun hujan. Orang-orang juga sering mengambil
air padasan agar mendapat berkah dari para leluhur. Mereka
membawa air bukan dari wadah modern, tetapi dari dedaunan dari
alam.

Sunan Kalijaga lalu menemui Sunan Bayat. Pada kesempatan


tersebut Sunan Kalijaga bertanya kepada Sunan Bayat tentang kedua
sahabatnya tadi.

Berkata Sunan Kalijaga, “Dua sahabatmu itu apakah semula


manusia atau memang berasak dari domba dan ular?”

Sunan Bayat menjawab, “Sesungguhnya mereka juga manusia


biasa.”

Seketika Syekh Domba dan Syekh Kewel berubah kembali


menjadi manusia yang normal. Kedua orang tadi semakin mantap
menjadi sahabat Sunan Bayat sampai akhir hayatnya.

Alkisah, di sebelah timur laut gunung Jabalkat ada sebuah gunung


yang bernama gunung Malang. Gunung ini lebih tinggi dari gunung
Jabalkat dan juga lebih lebar. Bagi orang-orang yang datang dari
timur posisi gunung merepotkan jika hendak ke Jabalkat. Maka Sunan
Bayat bermaksud memotong gunung tersebut. Pucuk gunung ditebas
dan guguran tanahnya kemudian diisikan ke celah antara gunung
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 25

Malang dan gunung Jabalkat. Setelah selesai gunung Malang menjadi


rata di puncak dan lebih rendah dari Jabalkat.

Sunan Bayat menjadi wali selama 25 tahun. Pada hari Jum’at


Kliwon tanggal 27 bulan Ruwah Sunan Bayat wafat. Jenazah lalu
dimakamkan di gunung Malang, yang sekarang letaknya di bawah
puncak Jabalkat. Di kompleks pemakaman tersebut juga ada makam
lain. Tokoh yang dimakamkan di situ antara lain Pangeran Ragil, cucu
Sunan Bayat.

Ada seorang murid Sunan Bayat yang mendahului wafat, namanya


Japrusa. Namung kematiannya tidak sempurna. Dia kemudian
mrayang dan menjadi makhluk halus. Karena mati mrayang kemudian
arwah Japrusa menemui Sunan Bayat meminta tolong agar
kematiannya bisa sempurna. Sunan Bayat mengatakan bahwa apa
yang dialami Japrusa sudah menjadi kehendak Tuhan. Sunan berpesan
agar Japrusa sabar. Sunan Bayat lalu mengusahakan agar para orang
yang mengalami nasib yang sama dapat berkumpul bersama Japrusa.
Tercapai Japrusa mendapat teman dari sesama orang yang mati
mrayang. Mereka adalah Syekh Sabukjanur, Kyai Malangati serta
Kyai dan Nyai Gadhungmlati. Mereka kemudian ditempatkan di
kediaman masing-masing. Syekh Sabukjanur berada di Jabalkat. Kyai
Malangati berada di kuburan Japrusa di Ngadan. Adapun Kyai dan
Nyai Gadhungmlati berada di mata air Taman.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 26

BAB VII
ASAL-USUL SUNAN BAYAT

Dalam bab terdahulu telah diuraikan perjalanan hidup Sunan Bayat


sejak menjadi bupati Semarang sampai meninggal sebagai wali di
Tembayat. Adapun asal-usul sampai menjadi bupati belum
diceritakan. Sekarang akan kita lihat riwayat-riwayat mengenai asal-
usul Ki Ageng Pandhanarang yang ternyata ada banyak versi. Antara
satu versi dengan versi lain tidak sama. Untuk melengkapi uraian kita
beberapa versi akan kita kutip seperlunya.

Sebuah riwayat menceritakan bahwa setelah kerajaan Majapahit


runtuh Prabu Brawijaya secara diam-diam meninggalkan istana.
Hanya dua orang abdi yang mengiringi, namanya Sabdapalon dan Pak
Melik atau Nayagenggong. Prabu Brawijaya berjalan ke arah selatan.
Sesampai di desa Sawer Prabu Brawijaya bertemu dengan Sunan
Kalijaga. Prabu Brawijaya ditanya Sunan Kalijaga hendak pergi ke
mana. Prabu Brawijaya mengatakan akan pergi ke kahyangan
menyatu bersama para leluhurnya, yakni Ratu Kidul yang ketika itu
bergelar Dewi Wilutama. Kedua pembesar kemudian saling
berbincang tentang banyak hal, namun keduanya belum mencapai
titik temu.

Melihat tuannya berbincang tanpa kesudahan Sabdapalon dan


Nayagenggong menyela. Mereka mengatakan bahwa apa yang
dikatakan dua pembesar tersebut benar adanya, tetapi karena bertolak
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 27

dari paham masing-masing maka menjadi tidak ketemu. Prabu


Brawijaya kemudian mengalah dan meminta saran kepada Sunan
Kalijaga. Kangjeng Sunan lalu menyarankan agar sang mantan raja
menjadi bupati di Semarang saja dan bergelar Kyai Ageng
Pandhanarang.

Sabdapalon bertanya kepada Sunan Kalijaga mengapa


menyarankan hal itu. Apakah kelak akan menjadi jalan bagi mantan
raja tersebut menjadi raja kembali. Sunan Kalijaga menjawab bahwa
dirinya berharap kelak Prabu Brawijaya akan menjadi wali penutup
untuk menggantikan posisi Syekh Siti Jenar.

Sang Prabu Brawijaya lalu menuruti saran Sunan Kalijaga


berangkat ke Semarang. Sesampai di Semarang lalu mendirikan
kabupaten dan memakai nama Kyai Ageng Pandhanarang. Jadi
menurut cerita ini Kyai Ageng Pandhanarang sebenarnya adalah
mantan raja Majapahit Prabu Brawijaya yang terakhir.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 28

BAB VIII
ASAL-USUL SUNAN BAYAT MENURUT SERAT KANDHA

Ada versi lain cerita asal-usul Kyai Ageng Pandhanarang yang


perlu juga diketahui, yakni versi Serat Kandha (handschrift Djawi
Bataviaasch Genootschap nomêr 7). Menurut Serat Kandha yang
menjadi bupati di Semarang dengan nama Kyai Pandhanarang Raden
Made Pandhan, putra Raden Sabrangwetan, cucu Sultan Bintara.

Di dalam Serat Kandha dikatakan; Raden Made Pandhan menerima


perintah dari Sunan Bonang untuk membuka tanah di Tirangampar
dan mengislamkan para ajar di sekitarnya yang masih belum mau
memeluk Islam. Raden Made Pandhan menyanggupi. Setelah
berdiam di pulau Tirangamper Raden Maden Pandhan bergelar Ki
Pandhanarang. Di pulau itu Ki Pandhanarang mengajarkan agama
kepada para murid-murid yang berguru kepadanya.

Ada seorang ajar di Sejanila yang mempunyai pembantu wanita


yang masih gadis dan cantik rupawan. Si Ajar bermaksud mengambil
pembantunya tadi sebagai istri, tetapi si gadis menolak. Karena takut
si gadis kemudian meminta perlindungan kepada ajar yang lain di
sekitar wilayah itu. Namun para ajar yang diminta perlindungan
semuanya menolak karena segan dengan Ajar Citragati. Mereka
menganggat Ajar Citragati sebagai tetua dan pemimpin mereka. Para
ajar pun takut memberi pertolongan kepada si gadis. Akhirnya si
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 29

gadis sampai pada pondok Ajar Pragota. Ki Ajar Pragota pun tak
dapat menolong.

Ki Ajar Pragota berkata, “Jangan kecewa karena aku tak dapat


menolong. Cobalah pergi ke pulai Tirangamper di sebelah timur itu.
Ada guru agama baru bernama Ki Pandhanarang. Orangnya masih
muda dan tampan, juga masih keturunan raja. Perkiraanku dia yang
bisa memberimu perlindungan. Hanya saja nanti engkau pun harus
mau masuk ke agama baru itu.”

Si gadis pun pergi ke pulau Tirangamper sambil membawa sebuah


lumpang. Si gadis tadi mempunyai kepercayaan kalau lumpang yang
dia bawa terasa berat, maka itu menjadi tanda kalau di tempat itu para
ajar akan berbalik masuk agama baru. Benar, ketika masuk
Tirangamper lumpang menjadi berat. Si gadis tak lagi kuat
mengangkat. Didongkel-dongkel pun tak bergerak. Bagi si gadis ini
adalah isyarat bahwa si empunya Tirangamper mempunyai karomah
yang besar. Pantas jika dimintai pertolongan.

Ketika si gadis datang, Ki Pandhanarang sedang duduk dihadapan


para murid. Begitu melihat ada tamu Ki Pandhanarang menyambut
dengan ramah dan bertanya apa keperluan sang tamu.

Si gadis menjawab, “Kedatangan saya ke sini untuk meminta


pertolongan dari Anda tuan.”

Si gadis lalu menceritakan kisah hidupnya dari awal sampai akhir.


Tetang dirinya yang dikejar-kejar oleh Ajar Citragati.

Ki Pandhanarang berkata, “Kalau engkau benar-benar minta


perlindungan, engkau harus mau masuk agamaku, yakni agama
Islam.”

Si gadis tak keberatan. Apalagi sudah mendapat isyarat dari


lumpang yang dibawanya terasa berat.

Ki Pandhanarang lalu membimbing si gadis mengucapkan


syahadat. Setelah si gadis masuk Islam Ki Pandhanarang memberinya
petunjuk.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 30

Berkata Ki Pandhanarang, “Sekarang engkau aku beri tugas


mengislamkan para ajar. Agar itu bisa tercapai engkau harus
berkeliling dari Jurangsuru dan Lebuapi. Engkau berjalan menurut
sepanjang pegunungan itu melalu pinggir laut. Tongkatku ini
bawalah. Mulailah dari sini.”

Si gadis pun menyanggupi. Walau sampai harus bertaruh nyawa


sekalipun si gadis takkan menolak tugas dari sang guru. Si gadis lalu
berangkat dari pulau Tirangamper. Ketika melewati laut si gadis
memakai tongkat pemberian Ki Pandhanarang. Seketika laut yang
dirambah menjadi dangkal. Setiap air laut yang kejatuhan tongkat
langsung menjadi tanah. Maka si gadis pun makin mantap dalam
berjalan.

Ketika sampai di Derana banyak ajar melihat ada orang seolah


berjalan di tengah laut. Mereka kemudian mendapati bahwa laut di
belakang si gadis telah berubah menjadi tanah. Mereka pun penasaran
dan mengikuti. Mereka ingin tahu siapa guru si gadis itu. Si gadis
telah melewati Jurangsuru, Lebuapi, Wotgalih, Guwasaleh, Brintik,
Pragota, Tinjamaya dan Gajahmungkur. Setiap melewati wilayah-
wilayah itu orang yang mengikuti menjadi semakin banyak. Tak lama
kemudian si gadis akan masuk ke Sejanila, tempat Ajar Citragati.

Ketika melewati Sejanila, Ki Ajar Citragati melihat gebetannya


berjalan di atas air dan diikuti orang banyak. Ajar Citragati kaget
bukan kepalang. Ajar Citragati lalu bertanya mereka kepada orang
banyak, mereka akan ke mana. Orang-orang menuturkan bahwa
mereka melihat keanehan pada diri si gadis yang setiap menjatuhkan
tongkat di laut seketika laut menjadi daratan. Mereka ingin tahu
kepada siapa si gadis itu berguru. Ajar Citragati pun penasaran dan
ingin tahu siapa guru si gadis yang diincarnya itu. Ki Ajar Citragati
ingin mengukur kemampuan si guru.

Setelah mengikuti perjalanan si gadis orang-orang pun sampai di


kediaman Ki Pandhanarang di Tirangamper. Mereka kemudian
diterima Ki Pandhanarang dan diajak untuk masuk agama Islam. Para
ajar pun tertarik dengan agama baru yang diajarkan Ki Pandhanarang.
Hanya Ajar Citragati yang belum mau masuk Islam. Dia masih
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 31

penasaran dan ingin beradu kesaktian. Ki Pandhanarang pun tak


keberatan.

Ajar Citragati lalu mengambil kudi dan berkata, “Kudi ini akan
saya lemparkan ke atas. Kalau engkau bisa mengejarnya, aku
menyerah.”

Ki Pandhanarang menjawab, “Kalau memang sudah kehendak


Allah, pasti kudimu akan bisa aku tangkap. Segera lemparkan.”
Kudi lalu dilempar oleh Ajar Citragati. Seketika kudi melesat
seperti burung. Ki Pandhanarang lalu mengambil sabit dan
melemparkan ke atas. Sabit pun melesat mengikuti arah kudi. Tak
lama kemudian terjadi pertarungan antara kudi dan sabit di angkasa.
Orang-orang yang melihat sangat heran dan khawatir. Lama-lama
kudi patah menjadi dua dan jatuh. Sedangkan sabit Ki Pandhanarang
masih utuh. Ini menjadi tanda bahwa Ajar Citragati telah kalah. Ajar
Citragati belum puas.

Ki Ajar berkata, “Sekali lagi. Tandingilah kemahiranku.”

Ki Ajar lalu mengambil kendi yang berisi air. Kendi lalu dilembar
ke atas. Kendi melayang-layang di angkasa tanpa setetes pun airnya
tumpah. Ki Pandhanarang lalu mengambil tongkatnya dan dilempar
ke arah kendi yang berputar-putar. Ketika tongkat mengenai
sasarannya si kendi pecah. Namun air di dalam kendi tidak tumpah,
masih berujud seperti kendi. Orang-orang bersorak melihat
pertunjukkan yang menakjubkan itu.

Ki Ajar Citragati lalu mengakui kekalahannya. Bersama para ajar


yang lain Ki Ajar Citragati pun disyahadatkan. Setelah kejadian
tersebut Ki Pandhanarang lestari membuat pondok di pinggir
samudera. Di tanah dangkal yang bekas dilewati si gadis tadi.
Sedangkan si gadis kemudian menetap di Tirang. Setiap hari si gadis
mengirim makanan kepada Ki Pandhanarang dan murid-muridnya.

Semakin hari pondok Ki Pandhanarang semakin ramai oleh para


murid-murid yang datang. Setiap tahun daratan tempat tinggal Ki
Pandhanarang semakin luas oleh sedimentasi yang terjadi. Lama-lama
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 32

pondok Ki Pandhanarang menjadi pemukiman yang padat. Mereka


semua belajar ilmu agama kepada Ki Pandhanarang.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 33

BAB IX
KYAI AGENG PANDHANARANG DIAMBIL
MENANTU BATHARA KATONG

Alkisah, yang menjadi bupati di Ponorogo adalah putra raja


Majapahit yang bernama Bathara Katong. Sang Adipati belum
bersedia masuk Islam. Ketika sang kakak Raden Patah di Demak
mengajak masuk Islam dulu, Bathara Katong meminta tempo. Kalau
sang ayah Prabu Brawijaya telang mangkat maka dia bersedia masuk
Islam. Kini sang ayah telah tiada, tetapi janji Bathara Katong tak
kunjung diwujudkan. Bathara Katong malah kemudian menyingkir
dan bertapa di pegunungan Pencor.

Ketika Sultan Demak mendengar ulah sang adik, maka dia menjadi
sangat marah. Sultan Demak lalu menyerahkan urusan ini kepada
Prabu Wadat atau Sunan Bonang. Sunan Bonang lalu mengirim
utusan dari seorang pembesar keturunan Arab yang bernama Syekh
Walilanang untuk mengislamkan Bathara Katong.
Bathara Katong mempunyai dua orang anak yang semuanya
perempuan. Anak sulung sudah menginjak dewasa, yang bungsu
masih berumur kira-kira sepuluh tahun. Selama bertapa di
pegunungan Bathara Katong sangat prihatin memikirkan nasib kedua
putrinya. Kalau hanya tinggal di gunung tak urung kedua putrinya
kelak sulit mendapat jodoh yang setimbang.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 34

Bathara Katong lalu berpikir, “Andai aku harus mati pun tak apa,
asal kelak kedua anakku menemui bahagia. Kalaupun harus ikut
agama baru juga tak menjadi soal, asalkan dua anakku kelak
mendapat kehidupan yang baik. Hanya sekarang di mana tempat yang
baik bagiku untuk berganti agama.”

Pada suatu malam Bathara Katong melihat ada cahaya yang


memancar dari arah barat laut.

Bathara Katong berkata dalam hati, “Apakah cahaya yang


memancar itu merupakan petunjuk akan kehidupan yang lebih baik?
Kalau begitu aku hendak menuju ke sana.”

Bathara Katong lalu berangkat dengan membawa kedua putrinya.


Tidak lama kemudian Syekh Walilanang datang di Pencor. Namun
dia tidak menemukan Bathara Katong. Syekh Walilanang lalu
mengejar kepergian Bathara Katong.

Bathara Katong sampai di Jurangsuru. Di tempat itu dia bertemu


dengan seorang ajar yang telah masuk Islam dan menjadi sahabat Ki
Pandhanarang. Namanya Ki Nayagati. Setelah saling berkenalan Ki
Katong menceritakan maksud kedatangannya. Ketika berada di
Pencor dia melihat cahaya memancar dari arah wilayah ini. Dia
bermaksud mencari asal dari cahaya tadi. Ketika mendekati pinggir
laut cahaya tadi mendadak hilang. Bathara Katong bertanya apakah
Ki Nayagati mengenal seseorang tokoh yang tinggal di sekitar tempat
ini.

Ki Nayagati berkata, “Ada guru saya yang tinggal di sekitar sini,


namanya Ki Pandhanarang. Masih muda dan banyak kemampuannya.
Dulu asalnya dari Demak, masih cucu Panembahan Demak. Dia
berada di sini atas perintah Sunan Bonang untuk mengislamkan para
ajar.”

Bathara Katong lalu meminta Ki Nayagati untuk mengantarnya


menemui sang guru. Setelah bertemu Ki Pandhanarang Bathara
Katong menyatakan maksud kedatangannya. Dia mau masuk Islam
asal jangan diislamkan oleh Syekh Walilanang. Putri sulung Kyai
Katong lalu diserahkan sebagai istri Ki Pandhanarang.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 35

Tidak lama dari peristiwa tersebut Syekh Walilanang datang ke


pondok Ki Pandhanarang. Syekh Walilanang mengatakan maksud
kedatangannya untuk menjalankan tugas dari Sunan Bonang. Ki
Pandhanarang kemudian mengatakan bahwa Kyai Katong sudah
diislamkan olehnya. Syekh Walilang merasa lega dan kemudian
mendoakan keselamatan Kyai Katong.

Di pondok Ki Pandhanarang kedatangan Syekh Walilanang


disambut dengan hangat. Oleh Ki Pandhanarang Syekh Walilang
diminta menemaninya mengajarkan agama Islam. Di sebelah timur
pondokan Ki Pandhanarang ada tanah yang bagus untuk membuat
pondok. Maka Syekh Walilanang diminta tinggal di sana. Syekh
Walilanang tidak keberatan. Karena wilayah yang ditempati Ki
Pandhanarang belum punya nama, oleh Syekh Walilang disarankan
agar diberi nama Semarang.

Syekh Walilanang kemudian menempati tanah yang ditunjukkan


Ki Pandhanarang. Untuk membuat lancar aliran air Syekh Walilanang
membuat terusan yang tembus ke samudera. Tanah bekas galian lalu
dipakai sebagai tanah urug agar permukaan tanah lebih tinggi. Tempat
itu kemudian dinamakan Kaligawe. Setelah Syekh Walilanang tinggal
di Kaligawe para penduduk sekitar berdatangan untuk berguru. Lama-
lama Kaligawe menjadi pemukiman yang padat.

Pada suatu hari Ki Pandhanarang sedang berbincang dengan Kyai


Katong. Ki Pandhanarang menyarankan agar Kyai Katong membuka
pondok sendiri untuk ikut mengislamkan penduduk sekitar. Ki
Pandhanarang menyarankan agar Kyai Katong berjalan ke arah barat.
Kalau menemui pohon wungu yang condong ke sungai, di situlah
tempat Kyai Katong harus membuat pondok. Kyai Katong kemudian
berangkat dengan mengajak sang putri bungsu. Ternyata Kyai Katong
benar-benar menemui sebuah pohon wungu yang condong ke sungai.
Kyai Katong lalu membuat pondok dan mulai membuka pengajaran
agama kepada penduduk sekitar. Orang-orang pun mulai datang untuk
berguru. Semakin lama semakin banyak orang yang datang dan
membuat pemukiman. Tempat itu kemudian diberi nama Kaliwungu.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 36

Sementara itu di Demak, Sultan Demak sudah digantikan sang


putra. Sultan baru berkehendak agar Ki Pandhanarang memakai gelar
pangeran. Adapun Kyai Katong diberi gelar Sunan Katong.
Keputusan Sultan sudah diumumkan dan disaksikan para pembesar
kerajaan.

Pangeran Pandhanarang lestari menjadi penguasa Semarang. Sang


Pangeran mempunyai empat putra. Dua laki-laki dan dua perempuan.
Mereka adalah; Raden Kaji, Raden Ketip, Mbak Mas Katijah dan
Mbak Mas Aminah. Setelah dewasa keempatnya pun menikah. Raden
Kaji menikah dengan putri Pangeran Panggung. Raden Ketip menikah
dengan putri Syekh Walilanang. Dua anak perempuan juga menikah
dengan putra-putra Syekh Walilanang. Syekh Walilang ketika itu
sudah berganti nama Maulana Alus Islam dan menjabat sebagai imam
di Semarang. Maulana mempunyai tiga orang putra, dua laki-laki dan
satu perempuan. Semua menjadi menantu Pangeran Pandhanarang.
Tidak lama kemudian Sunan Bonang di Tuban wafat. Pangeran
Pandhanarang berangkat melayat. Sepulang dari melayat Pangeran
Pandhanarang menderita sakit hingga wafat. Raden Kaji dan Raden
Ketip lalu menghadap ke Demak. Sultan Demak lalu mengangkat
Raden Kaji sebagai adipati Semarang dengan sebutan Adipati
Mangkubumi. Adapun Raden Ketip diangkat sebagai patih untuk
membantu sang kakak. Diangkatnya Raden Kaji sebagai bupati
diperingati dengan sengkalan tahun; muktiningrat catur bumi (tahun
1418 J). Sepulang dari Demak Adipati Mangkubumi dan Raden Ketip
mampir di kediaman guru mereka Sunan Kalijaga. Kangjeng Sunan
mengucapkan selamat atas pengangkatan Adipati Mangkubumi.
Sunan berharap keduanya dapat menjalankan tugas dengan adil. Ki
Patih Raden Ketip juga diberi pesan bermacam-macam sesuai dengan
tugasnya yang baru sebagai pembantu sang kakak. Setelah cukup
mendapat petunjuk kedua kakak beradik pulang ke Semarang.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 37

BAB X
ADIPATI MANGKUBUMI DARI SAMARANG MENINGGALKAN
HIDUP BERKECUKUPAN SAMPAI MENJADI WALI DI TEMBAYAT

Telah sekian lama Adipati Mangkubumi menjabat di Semarang.


Pada suatu hari Sang Adipati berkenan mengirim utusan ke Kadilangu
untuk memberi hadiah kepada Sunan Kalijaga yang berupa uang dan
pakaian. Ketika utusan sampai di Kadilangu Sunan Kalijaga sedang
mencangkul di pekarangan. Utusan lalu menghaturkan hadiah dari
Sang Adipati.
Sunan Kalijaga berkata, “Katakan kepada tuanmu kalau hadiah
sudah aku terima. Aku sangat berterima kasih. Sekarang aku berikan
juga oleh-oleh dariku, berikan kepada tuanmu.”

Sunan Kalijaga lalu mencangkul tanah dan mengambil bongkahan


hasil cangkulan. Bongkahan tanah lalu diberikan kepada utusan. Si
utusan heran mengapa hadiah yang mewah dan sangat berharga hanya
diberi ganti berupa bongkahan tanah. Walau demikian karena takut si
utusan tak berani berkata selain menyatakan sanggup. Utusan
kemudian pulang ke Semarang.

Sesampai di Semarang ternyata Sang Adipati tidak berada di


rumah. Adipati Mangkubumi saat itu sedang berada di Demak.
Utusan pun menyusul ke Demak. Sesampai di Demak utusan segera
menceritakan perjalanannya ke Kadilangu. Juga oleh-oleh yang
diberikan oleh Kangjeng Sunan, yang oleh utusan disebut sebagai
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 38

sebongkah tanah. Oleh-oleh itu disimpang dalam bungkusan. Ketika


dibuka ternyata isinya sebongkah emas. Ki Adipati sangat heran.

Kejadian itu membuat Adipati Mangkubumi berpikir. Dia merasa


bahwa Kangjeng Sunan sedang menyindir gaya hidupnya. Sang
Adipati lalu sadar bahwa selama ini terlalu mementingkan kehidupan
duniawi. Ki Adipati lalu berniat untuk bertobat dan menjalani
kehidupan spiritual. Ki Adipati lalu menyerahkan jabatan adipati
kepada sang adik Raden Ketip. Adipati Mangkubumi kemudian
menghadap ke Demak untuk berpamitan kepada Sultan Demak.
Sultan pun mengizinkan. Sepulang dari Demak Adipati Mangkubumi
mampir ke Kadilangi untuk meminta restu Sunan Kalijaga. Sunan
Kalijaga kemudian memberi petunjuk. Sunan Kalijaga merasa
bersyukur karena Adipati Mangkubumi sudah ingat dan sadar serta
akan menempuh jalan keutamaan.

Adipati Mangkubumi lalu berangkat ke selatan dengan diiringi


kedua istrinya. Sesampai di Tembayat Sang Adipati bermukim.
Setelah sekian lama menjalani kehidupan Adipati Mangkubumi
mendapat anugerah dari Tuhan dan menjadi wali. Anak keturunannya
kemudian melanjutkan apa yang telah dirintis Adipati Mangkubumi
sampai sekarang. Demikian riwayat Sunan Bayat menurut Serat
Kandha.

Jadi menurut Serat Kandha yang menjadi bupati Semarang dengan


sebutan Pangeran Pandhanarang adalah Raden Made Pandhan, putra
dari Pangeran Sabrang Wetan atau masih cucu Sultan Demak.
Adapun yang menjadi wali di Tembayat adalah putra Ki
Pandhanarang yang bernama Adipati Mangkubumi.

Selain yang sudah diuraikan di atas perlu disebutkan lagi sebuah


serat yang menyebutkan asal-usul Sunan Bayat, yakni Serat Sajarah
dalem karya Ki Padmasusastra. Di dalam serat itu dinyatakan bahwa
Raja Majapahit terkahir Prabu Brawijaya V mempunyai seratus satu
putra. Dari sekian banyak putra ada lima yang perlu disebut karena
berkaitan dengan cerita di atas, yakni:

1. Putra no 94, bernama Raden Jaka Supana atau Raden Tembayat.


Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 39

2. Putra no 97, bernama Raden Jaka Bodho yang setelah Majapahit


sirna menjadi sahabat Sunan Bayat dan berdiam di Majasta.
Maka juga sering disebut Kyai Ageng Majasta. Ini cocok
dengan riwayat yang telah disebut di atas.
3. Putra no 100, bernama Raden Jaka Bluwo, juga menjadi sahabat
Sunan Bayat dan diberi nama Syekh Sekardalima.

Jadi menurut Serat Sejarah Dalem, yang menjadi Sunan Bayat


adalah putra Raja Majapahit yang bernama Raden Jaka Supana atau
Raden Tembayat. Dengan demikian asal-usul Sunan Bayat ada tiga
versi:
1. Versi yang menyebutkan bahwa Kyai Pandhanarang adalah
Prabu Brawijaya terakhir.
2. Versi yang menyebut bahwa yang menjadi bupati Semarang
dengan nama Pangeran Pandhanarang adalah Raden Made
Pandhan putra Pangeran Sabrang Wetan. Lalu putra Pangeran
Pandhanarang yang bernama Adipati Mangkubumilah yang
menjadi Sunan Bayat.
3. Versi yang menyebut bahwa putra Raja Majapahit terakhir ada
yang bernama Jaka Supana atau Raden Tembayat.
Dari berbagai versi tersebut mana yang benar, kami serahkan
kepada pembaca untuk menilai sendiri.

Sebagai penutup cerita, di sini akan disebut nama atau sebutan dari
anak-cucu Sunan Bayat, sebagai berikut ini:

1. Sunan Bayat berputra Panembahan Jiwa, yang menurut cerita


di atas ikut serta dalam perjalanan dari Semarang.
2. Panêmbahan Jiwa berputra Panembahan Menangkabul.

4. Panêmbahan Mênangkabul berputra Panembahan Masjidwetan


I.
5. Panembahan Masjidwetan I berputra Panêmbahan
Masjidwetan II.
6. Panêmbahan Masjidwetan II berputra Pangeran Sumendhi
Anggakusuma dan Pangeran Sumendhi Sidik.
7. Pangeran Sumêndhi Sidik berputra Pangeran Tabiyani.
Kajian Sastra Klasik Kyai Ageng Pandhanarang 40

8. Pangeran Tabiyani berputra Pangeran Ngabdani, yang diambil


menantu Sultan Hamengkubuwana II Yogyakarta.
9. Pangeran Ngabdani berputra Raden Ayu Tandhanegara.
10. Radèn Ayu Tandhanêgara berputra Raden Mas Masjidwetan
III.
11. Radèn Mas Masjidwetan III berputra Radèn Mas Masjidwetan
IV.

***

Selesai penerjemahan buku Kyai Ageng Pandhanarang karya


Soewignya, terbitan Bale Pustaka 1938M.
Mirenglor, 13 September 2022
Bambang Khusen Al Marie
***

Anda mungkin juga menyukai