Oleh :
Abdul Jabbar Rahim
Ahmad farid Al-Fikri Hidayatullah
Mohammad Zalfaa Zidan Djafar
Muhammad
Muhammad Sendi
Rendi Setiawan Al Sholihin
Salviro Yordan Surya Dika
Sami Fathi Fathoni
Umbu Ahmad Rifki
MA JAKARTA PUSAT
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Untuk mengungkapkan asal usul Tangerang sebagai Kota Benteng, diperlukan catatan
yang menyangkut perjuangan. Menurut tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC,
resolusi tanggal 1 Juni 1660 melaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri
besar yang terletak di sebelah barat Sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri
baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5.000 sampai 6.000 penduduk.
Dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten
telah mengangkat Raden Sena Pati dan Kyai Demang sebagai penguasa di daerah
baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai
Demang dipecat oleh Sultan.
Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut, Ki
Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten
dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.
Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1680
menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah Kyai Dipati Soera
Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan VOC dengan
diikuti 143 pengiring dan tentaranya. Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di
sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar VOC.
Ketika bertempur dengan Banten, Soeradilaga beserta ahli perangnya berhasil
memukul mundur pasukan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi
gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi
gelar Kyai Dipati Soetadilaga.
Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan
wilayah meliputi antara Sungai Angke dan Sungai Cisadane. Gelar yang digunakannya
adalah Aria Soetidilaga I.
Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684,
Tangerang menjadi daerah kekuasaan VOC. Banten tidak mempunyai hak untuk
campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang.
Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: Dan harus diketahui dengan pasti
sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi
maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh Tangerang dari Pantai Laut
Jawa hingga pegunungan-pegunungan sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah
disepanjang Tangerang akan menjadi milik atau ditempati VOC.
Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai
sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu
menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena
orang-orang Banten selalu melakukan penyerangan secara tiba-tiba.
Menurut peta yang dibuat pada tahun 1692, pos yang paling tua terletak di muara
Sungai Cisadane, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika
didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di
muara Sungai Tangerang.
Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia, tanggal 3 April 1705 ada
rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu.
Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur
Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersebut, bahkan diinstruksikan untuk
membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan.
Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng
baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20
kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan
seorang Vandrig dan 28 orang Makassar yang akan tinggal di luar benteng. Bahan
dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga
I.
Setelah benteng selesai dibangun personelnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang
hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makassar yang direkrut sebagai
serdadu VOC. Benteng ini kemudian menjadi basis VOC dalam menghadapi
pemberontakan dari Banten.
Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau
garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 meter agak ke tenggara, tepatnya terletak
disebelah timur Jalan Besar PAL 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih
mengenal bangunan ini dengan sebutan "Benteng".
Sejak saat itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun
1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut "Superintendant of Publik Building and
Work" tanggal 6 Maret 1816 menyatakan:
... Benteng dan Barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau
melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk
kepentingannya
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik (tingkat, kecenderungan arah, tipe
dan faktor) pemekaran kota yang terjadi di Kota Bogor Tahun 2005-2014? 2.
Bagaimana kesesuaian penggunaan lahan Tahun 2014 terhadap pola ruang?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan dari
penelitian ini berupa :
1. Mengetahui karakteristik (tingkat, kecenderungan arah, dan tipe) pemekaran yang
terjadi di Kota Tanggerang Tahun 2005-2013.
2. Mengetahui kesesuaian penggunaan lahan terhadap pola ruang Tahun 2014. Tujuan
dalam penyusunan laporan mengenai Analisis Interaksi Keruangan Kota Bogor dengan
Kota Jakarta ialah untuk mengetahui interakasi keruangan antara Kota Jakarta dengan
Kota Tanggerang
Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan laporan ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan halhal yang menjadi awal atau dasar dalam penyusunan l
aporan, yang meliputi latar belakang, tujuan dan sasaran, serta sistematika
penulisan.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini, mencakup kesimpulan dari hasil analisis interaksi keruangan
antara Kota Tanggerang dan Jakarta
BAB II
KAJIAN TEORI
BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kota Tangerang terletak di wilayah barat laut
Provinsi Banten dan berada di sisi utara Pulau
Jawa. Secara astronomis, kota ini terletak
106°33'–106°44' BT dan 6°05'–6°15 LS. Kota
Tangerang mempunyai luas sebesar
±153,9 km².[5]
Kota ini berbatasan dengan Kabupaten
Tangerang di sebelah Barat dan Utara,
dengan Kota Tangerang Selatan di sisi Selatan, dan dengan DKI Jakarta di sebelah
Timur.
Kota Tangerang dilintasi oleh salah satu sungai terbesar di barat Pulau Jawa
yaaitu Sungai Cisadane. Sungai ini merupakan bagian dari identitas Kota Tangerang
yang tak dapat dipisahkan. Hulu sungai ini terletak di lereng Gunung Salak dan Gunung
Pangrango, Bogor
BAB VI
ANALISIS INTERAKSI KERUANGAN
3 1. Complementarity
Secara topografi, Kota Tangerang sebagian besar berada pada ketinggian 10-30 mdpl,
alias secara keseluruhan wilayahnya berada di dataran rendah. Bagian utara kota ini
(meliputi sebagian besar Kecamatan Benda) memiliki ketinggian rata-rata 10 mdpl,
sedangkan bagian selatan Kota Tangerang mempunyai ketinggian 30 mdpl.
Selanjutnya, Kota Tangerang mempunyai tingkat kemiringan tanah 0-3% dan sebagian
kecil (yaitu di bagian selatan kota) kemiringan tanahnya antara 3%–8% berada
di Parung Serab, Paninggilan dan Cipadu Jaya
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada interaksi keruangan antara Kota
Tanggerang dengan Jakarta dapat disimpulkan bahwa; • Interaksi antara wilayah ini
didasari oleh permintaan dan penawaran dimana tiap daerah memiliki suatu surplus
yang dapat memenuhi kebutuhan daerah sekitarnya. • Terdapat suatu interaksi transfer
keruangan dengan menggunakan moda transportasi yang efisien seperti KRL
Tanggerang -Jakarta dan penggunaan jalan bebas hambatan yaitu jalan tol jagorawi. •
Kota Tanggerang dengan Jakarta memiliki interaksi keruangan yang tinggi dengan
jangkauan antarwilayah yang dekat