Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2020), penatalaksanaan gagal jantung terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Penatalaksanaan Non-Farmakologi a. Manajemen perawatan mandiri Tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. b. Ketaatan pasien berobat Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. c. Pemantauan berat badan mandiri Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter. d. Asupan cairan Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. e. Pengurangan berat badan Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. f. Kehilangan berat badan tanpa rencana Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka mortalitas. Jika selama 6 bulan terakhir terjadi kehilangan berat badan >6% dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dinilai dengan hati-hati. g. Latihan fisik Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah. h. Aktivitas seksual Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat. 2. Penatalaksanaan Farmakologi a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I) ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% kecuali ada kontraindikasi. ACE-I memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACE-I hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal. Indikasi pemberian ACE-I: a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dengan atau tanpa gejala b) Fraksi ejeksi ventrikel kiri >40 % dengan tanda dan gejala gagal jantung Kontraindikasi pemberian ACE-I: a) Riwayat angioedema b) Stenosis renal bilateral c) Stenosis aorta berat d) Kadar kalium serum >5,5 mmol/L e) Serum kreatinin >2,5 mg/dL (relatif) Pemberian ACE-I direkomendasikan, bagi semua pasien dengan EF ≤40%, untuk menurunkan risiko masuk rumah sakit akibat gagal jantung dan kematian dini. b. Penyekat reseptor β Kecuali terdapat kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan menurunkan mortalitas. Indikasi pemberian penyekat β: a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dengan atau tanpa gejala b) Fraksi ejeksi ventrikel kiri >40 % dengan tanda dan gejala gagal jantung c) Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) d) ACE-I/ARB/ARNI (dengan atau tanpa antagonis aldosteron) sudah diberikan e) Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat) Kontraindikasi pemberian penyekat β: a) Asma berat b) Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindrom sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <50x/menit) Pemberian penyekat β, setelah pemberian ACE-I atau ARB atau ARNI pada semua pasien dengan EF ≤40% untuk menurunkan risiko masuk rumah sakit akibat gagal jantung dan kematian dini. c. Antagonis aldosterone Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ≤35% dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional IIIIV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron dapat mengurangi frekuensi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. Indikasi pemberian antagonis aldosterone: a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% b) Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III - IV NYHA) Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone: a) Konsentrasi serum kalium >5,5 mmol/L b) Serum kreatinin >2,5 mg/dL (relatif) c) Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium d) Kombinasi ACE-I dan ARB atau ARNI MRA direkomendasikan bagi semua pasien dengan gejala gagal yang persisten dan EF≤35%, walaupun sudah diberikan dengan ACE-I dan penyekat β. d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB) ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACE-I dan penyekat β dosis optimal, kecuali terdapat kontraindikasi, dan juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien yang intoleran terhadap ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB: a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% b) Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran pada ACE-I c) ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB sedikit menyebabkan batuk Kontraindikasi pemberian ARB: a) Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema b) Pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan c) Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial bila ARB digunakan bersama ACE-I Direkomendasikan untuk menurunkan risiko hosiptalisasi akibat gagal jantung dan kematian dini pada pasien dengan EF ≤40% dan pada pasien yang intoleran terhadap ACE-I (pasien tetap harus mendapat penyekat β dan MRA). e. Angiotensin Receptor–Neprilysin Inhibitor (ARNI) = Sacubitril/valsartan Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis pengobatan ACE-I/ARB, penyekat β, dan MRA, dapat juga diberikan terapi baru sebagai pengganti ACE-I/ARB yaitu Angiotensin Receptor–Neprilysin Inhibitor (ARNI) yang merupakan kombinasi molekuler valsartansacubitril. Sacubitril merupakan penghambat enzim nefrilisin yang akan menyebabkan memperbaiki remodeling miokard, diuresis dan natriuresis serta mengurangi vasokontriksi, retensi cairan dan garam. Dosis yang dianjurkan adalah 50 mg (2 kali per hari) dan dapat ditingkatkan hingga 200 mg (2 kali per hari). Bila pasien sebelumnya mendapatkan ACE-I maka harus ditunda selama minimal 36 jam terbih dahulu sebelum memulai sacubitril/valsartan. Tetapi bila pasien sebelumnya mendapatkan ARB, maka sacubitril/valsartan dapat langsung diberikan sebagai pengganti ARB. Sacubitril/valsartan direkomendasikan sebagai terapi pengganti ACE-I (ARB) pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah, yang masih simtomatik walaupun sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACE-I/ARB, penyekat β dan MRA, untuk menurunkan risiko rawat ulang dan kematian. f. Ivabradine Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan kanal If di nodus sinus, dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama sinus. Ivabradine menurunkan mortalitas dan perawatan rumah sakit akibat gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (LVEF ≤35%, irama sinus, dan denyut nadi ≥70x/menit) yang pernah mengalami rawat inap dalam 12 bulan terakhir berdasarkan hasil studi SHIFT. Pemberiannya harus dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi pada pasien dengan EF ≤35%, irama sinus dengan laju nadi ≥70x/menit, dan dengan gejala yang persisten (NYHA II-IV), walaupun sudah mendapat terapi optimal penyakat β, ACE-I,/ARB, ARNI, dan MRA. Adapun pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi pada pasien dengan irama sinus, EF ≤35% dan laju nadi ≥70x/menit, yyang intoleran terhadap penyekat β, tetapi pasien sudah harus mendapat ACE-I/ARB/ARNI dan MRA. g. Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN) Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤35%, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACE-I/ARB/ ARNI. Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN: a) Pengganti ACE-I/ARB/ARNI jika tidak dapat ditoleransi b) Sebagai terapi tambahan ACE-I jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi c) Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACE-I/ARB, penyekat β dan atau antaonis aldosterone Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN: a) Hipotensi simtomatik b) Sindrom lupus c) Gagal ginjal berat Pemberiannya dapat dipertimbangkan sebagai pengganti ACE-I ARB/ARNI dan MRA, bila intoleran, untuk menurunkan risiko hospitalisasi dan kematian dini pada pasien dengan EF ≤45% dengan dilatasi ventrikel kiri (atau EF ≤35%). Pasien juga mendapat penyekat β dan MRA. Adapun pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi dan kematian prematur pada EF ≤45% dengan dilatasi ventrikel kiri (EF ≤35%) dan gejala yang persisten (NYHAA II-IV) dengan terapi optimal ACE-I/ARB/ARNI, penyekat β dan MRA. BAB III PATHWAY
Sumber : Standar Diganosa Keperawatan Indonesia dalam (PPNI, 2017)
Referensi: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2020). Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Edisi Kedua. PP PERKI. PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: DPP PPNI.