Anda di halaman 1dari 9

2.

7 Penatalaksanaan Gagal Jantung


Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2020),
penatalaksanaan gagal jantung terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Penatalaksanaan Non-Farmakologi
a. Manajemen perawatan mandiri
Tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung.
b. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas
dan kualitas hidup pasien.
c. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
d. Asupan cairan
Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan)
dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai
hiponatremia.
e. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
f. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan
angka mortalitas. Jika selama 6 bulan terakhir terjadi kehilangan berat
badan >6% dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi
cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus
dinilai dengan hati-hati.
g. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan
di rumah sakit atau di rumah.
h. Aktivitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan
tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat.
2. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I)
ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% kecuali ada kontraindikasi. ACE-I
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup. ACE-I hanya diberikan pada pasien dengan fungsi
ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACE-I:
a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dengan atau tanpa gejala
b) Fraksi ejeksi ventrikel kiri >40 % dengan tanda dan gejala gagal
jantung
Kontraindikasi pemberian ACE-I:
a) Riwayat angioedema
b) Stenosis renal bilateral
c) Stenosis aorta berat
d) Kadar kalium serum >5,5 mmol/L
e) Serum kreatinin >2,5 mg/dL (relatif)
Pemberian ACE-I direkomendasikan, bagi semua pasien dengan EF
≤40%, untuk menurunkan risiko masuk rumah sakit akibat gagal jantung
dan kematian dini.
b. Penyekat reseptor β
Kecuali terdapat kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%.
Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan menurunkan
mortalitas.
Indikasi pemberian penyekat β:
a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dengan atau tanpa gejala
b) Fraksi ejeksi ventrikel kiri >40 % dengan tanda dan gejala gagal
jantung
c) Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
d) ACE-I/ARB/ARNI (dengan atau tanpa antagonis aldosteron) sudah
diberikan
e) Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak
ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β:
a) Asma berat
b) Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindrom sinus sakit (tanpa
pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <50x/menit)
Pemberian penyekat β, setelah pemberian ACE-I atau ARB atau ARNI
pada semua pasien dengan EF ≤40% untuk menurunkan risiko masuk
rumah sakit akibat gagal jantung dan kematian dini.
c. Antagonis aldosterone
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron
dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ≤35%
dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional IIIIV NYHA) tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
dapat mengurangi frekuensi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung dan meningkatkan angka kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosterone:
a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
b) Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III - IV NYHA)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone:
a) Konsentrasi serum kalium >5,5 mmol/L
b) Serum kreatinin >2,5 mg/dL (relatif)
c) Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
d) Kombinasi ACE-I dan ARB atau ARNI
MRA direkomendasikan bagi semua pasien dengan gejala gagal yang
persisten dan EF≤35%, walaupun sudah diberikan dengan ACE-I dan
penyekat β.
d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40% yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACE-I dan penyekat β dosis optimal, kecuali terdapat kontraindikasi, dan
juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB dapat
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien yang intoleran terhadap
ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB:
a) Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
b) Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai
berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran pada ACE-I
c) ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB sedikit
menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB:
a) Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema
b) Pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan
c) Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial bila ARB digunakan
bersama ACE-I
Direkomendasikan untuk menurunkan risiko hosiptalisasi akibat gagal
jantung dan kematian dini pada pasien dengan EF ≤40% dan pada pasien
yang intoleran terhadap ACE-I (pasien tetap harus mendapat penyekat β
dan MRA).
e. Angiotensin Receptor–Neprilysin Inhibitor (ARNI) = Sacubitril/valsartan
Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis pengobatan
ACE-I/ARB, penyekat β, dan MRA, dapat juga diberikan terapi baru
sebagai pengganti ACE-I/ARB yaitu Angiotensin Receptor–Neprilysin
Inhibitor (ARNI) yang merupakan kombinasi molekuler
valsartansacubitril. Sacubitril merupakan penghambat enzim nefrilisin
yang akan menyebabkan memperbaiki remodeling miokard, diuresis dan
natriuresis serta mengurangi vasokontriksi, retensi cairan dan garam.
Dosis yang dianjurkan adalah 50 mg (2 kali per hari) dan dapat
ditingkatkan hingga 200 mg (2 kali per hari). Bila pasien sebelumnya
mendapatkan ACE-I maka harus ditunda selama minimal 36 jam terbih
dahulu sebelum memulai sacubitril/valsartan. Tetapi bila pasien
sebelumnya mendapatkan ARB, maka sacubitril/valsartan dapat langsung
diberikan sebagai pengganti ARB.
Sacubitril/valsartan direkomendasikan sebagai terapi pengganti ACE-I
(ARB) pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah, yang masih
simtomatik walaupun sudah mendapatkan terapi optimal dengan
ACE-I/ARB, penyekat β dan MRA, untuk menurunkan risiko rawat ulang
dan kematian.
f. Ivabradine
Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan
kanal If di nodus sinus, dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama
sinus. Ivabradine menurunkan mortalitas dan perawatan rumah sakit
akibat gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (LVEF ≤35%,
irama sinus, dan denyut nadi ≥70x/menit) yang pernah mengalami rawat
inap dalam 12 bulan terakhir berdasarkan hasil studi SHIFT.
Pemberiannya harus dipertimbangkan untuk menurunkan risiko
hospitalisasi pada pasien dengan EF ≤35%, irama sinus dengan laju nadi
≥70x/menit, dan dengan gejala yang persisten (NYHA II-IV), walaupun
sudah mendapat terapi optimal penyakat β, ACE-I,/ARB, ARNI, dan
MRA. Adapun pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk menurunkan
risiko hospitalisasi pada pasien dengan irama sinus, EF ≤35% dan laju
nadi ≥70x/menit, yyang intoleran terhadap penyekat β, tetapi pasien sudah
harus mendapat ACE-I/ARB/ARNI dan MRA.
g. Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤35%,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACE-I/ARB/ ARNI.
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN:
a) Pengganti ACE-I/ARB/ARNI jika tidak dapat ditoleransi
b) Sebagai terapi tambahan ACE-I jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi
c) Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan
ACE-I/ARB, penyekat β dan atau antaonis aldosterone
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN:
a) Hipotensi simtomatik
b) Sindrom lupus
c) Gagal ginjal berat
Pemberiannya dapat dipertimbangkan sebagai pengganti ACE-I
ARB/ARNI dan MRA, bila intoleran, untuk menurunkan risiko
hospitalisasi dan kematian dini pada pasien dengan EF ≤45% dengan
dilatasi ventrikel kiri (atau EF ≤35%). Pasien juga mendapat penyekat β
dan MRA. Adapun pemberiannya dapat dipertimbangkan untuk
menurunkan risiko hospitalisasi dan kematian prematur pada EF ≤45%
dengan dilatasi ventrikel kiri (EF ≤35%) dan gejala yang persisten
(NYHAA II-IV) dengan terapi optimal ACE-I/ARB/ARNI, penyekat β
dan MRA.
BAB III
PATHWAY

Sumber : Standar Diganosa Keperawatan Indonesia dalam (PPNI, 2017)


Referensi:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2020). Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung Edisi Kedua. PP PERKI.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai