Anda di halaman 1dari 16

IMPLEMENTASI PENYEDERHANAAN BIROKRASI TERHADAP PENGHAPUSAN

ESELON DI INDONESIA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Birokrasi Indonesia


Dosen Pengampu : Rizza Arge Winanta, S.A.P.,M.Si

Disusun oleh :
KELOMPOK 4

Nama Anggota :
1. Anisa Noviliyani (1910201014)
2. Yofa Aldila Dellas M (1910201015)
3. Putri Nur Azizah (1910201027)
4. Ghora Yossy P (1910201074)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TIDAR
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah guna memenuhi Tugas Kelompok mata kuliah Birokrasi Indonesia yang diampu oleh bapak
Rizza Arge Winanta, S.A.P.,M.Si.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyederhanaan birokrasi bukanlah isu baru dalam administrasi publik. Penyederhanaan birokrasi
merupakan bagian dari reformasi tata kelola sector publik yang lebih luas yang secara global
mengacu pada empat bidang tematik yaitu : reformasi peran negara, reformasi fungsi sentral
pemerintahan, reformasi terhadap akuntabilitas dan mekanisme pengawasan, serta reformasi birokrasi
dan manajemen organisasi layanan public (Turner, 2013). Di Indonesia, reformasi birokrasi
merupakan bagian dari pembaharuan menyeluruh di bidang ekonomi, politik, hukum, serta agama
dan sosial budaya. Reformasi tersebut ditujukan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis,
dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia
masih mengalami beberapa kelemahan. Studi oleh Turner, et. al.(2019) menyatakan bahwa program
reformasi memang menunjukkan kemajuan dan mencatatkan beberapa pencapaian kinerja, namun
perubahannya relatif kecil dan bersifat inkremental. Reformasi yang telah berhasil diimplementasikan
sejauh ini tidak menghadirkan perubahan signifikan terhadap model dominan Old Public
Administration. Kelemahan mendasar dari reformasi birokrasi di Indonesia, menurut Turner, et. al.
(2019), adalah kegagalan dalam merombak manajemen SDM secara radikal, untuk menciptakan
sistem berbasis merit dengan pegawai yang sangat berkualifikasi, berorientasi pada hasil, dan inovatif,
dalam hubungan kerja yang lebih fleksibel, dan mendorong penggunaan kemampuan organisasi
secara optimal (Turner. Et al.,2019).
Pelaksanaan grand design reformasi birokrasi, sampai dengan roadmap kedua, memang telah
mencapai banyak hal. Namun demikian, tidak tercapainya indikator yang mencerminkan kapabilitas
birokrasi, menunjukkan masih ada yang kurang dari pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia.
Masih terdapat permasalahan kelembagaan, budaya organisasi, profesionalisme SDM aparatur, tata
laksana dan etika dalam pelayanan publik. Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan pembaharuan dan perubahan struktur birokrasi
atau pembaharuan dan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan,selain itu reformasi birokrasi
merupakan upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Pembaharuan dan perubahan yang
dilakukan terutama menyangkut aspek-aspek organisasi (kelembagaan), ketatalaksanaan dan sumber
daya aparatur pemerintahan yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN). Upaya yang dilakukan pemerintah
Indonesia untuk mewujudkan pemerintahan yang baik tidak hanya dengan melakukan reformasi
birokrasi,upaya lain yaitu dengan melakukan reformasi administrasi publik. Seperti halnya reformasi
birokrasi terkait penyederhanaan birokrasi dengan menghapus eselon III dan IV yang dilaksanakan
oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) berdasarkan
arahan dari Presiden Joko Widodo.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, dapat disusun beberapa rumusan masalah
yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi reformasi birokrasi tentang penghapusan eselon III dan IV apabila
ditinjau dari perspektif empiris?
2. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari adanya penyederhanaan birokrasi terhadap
penghapusan eselon III dan IV?
3. Apa tujuan dari adanya reformasi birokrasi terhadap penyederhanaan birokrasi dengan
menghapus eselon III dan IV?
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya maka tujuan yang ingin dicapai dalam
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui implementasi reformasi birokrasi tentang penghapusan eselon III dan IV
apabila ditinjau dari perspektif empiris.
2. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari adanya penyederhanaan birokrasi terhadap
penghapusan eselon III dan IV.
3. Untuk mengetahui tujuan dari adanya reformasi birokrasi terhadap penyederhanaan birokrasi
dengan menghapus eselon III dan IV.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Reformasi Birokrasi
Berkaitan dengan usaha pemerintah dalam memperbaiki birokrasi, yang akhirnya dapat
disebut sebagai reformasi birokrasi. Maka terdapat berbagai definisi tentang reformasi
birokrasi , dengan pengertian yang berbeda-beda mengenai reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi ditinjau dari segi bahasa, dalam bahasa Prancis, birokrasi
disamakan dengan kata bureau yang berarti kantor. Biro sendiri secara leksikal (bureau) dalam
kamus mempunyai arti sebagai biro, kantor atau departemen pemerintah. Lebih jauh, kata
krasi juga berasal dari bahasa Yunani, kretein yang berarti mengatur. Dan birokrasi disini
memiliki arti pemerintahan dengan pejabat-pejabat yang ditunjuk. Pada mulanya, istilah ini
digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah
oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep bahasa Inggris secara
umum, birokrasi disebut dengan civil service. Selain itu juga sering disebut dengan public
sector, public service atau public administration.
Menurut MenPan, reformasi birokrasi merupakan upaya untuk melakukan
pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
terutama menyangkut aspek-aspek pada penerapan pelayanan prima. Menurut Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, mengatakan bahwa reformasi birokrasi adalah upaya
perubahan, dimana perubahan yang dilakukan terkait reformasi birokrasi yaitu :
1. Perubahan cara berfikir
2. Penataan peraturan perundang-undangan,
3. Penguatan organisasi
4. Penataan tata laksana
5. Manajemen SDM aparatur
6. Penguatan pengawasan
7. Penguatan akuntabilitas kinerja
8. dan Peningkatan kualitas pelayanan publik.
Sedangkan menurut Sedarmayanti (2009:72), mengatakan bahwa reformasi birokrasi
merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerja melalui berbagai cara dengan
tujuan efektifitas, efisien, dan akuntabilitas. Dimana reformasi biokrasi itu mencakup beberapa
perubahan yaitu:
a. Perubahan cara berfikir (pola pikir, pola sikap, dan pola tindak), perubahan yang dimaksud
yaitu birokrasi harus merubah pola berfikir yang terdahulu (buruk), birokrasi harus
memliki pola pikir yang sadar bahwa mereka sebagai pelayan masyarakat, mereka harus
memiliki sikap dan pola tindak yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam artian tidak menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan.
b. Perubahan penguasa menjadi pelayan, perubahan yang dimaksud yaitu birokrasi harus
merubah sikap mereka, karena dapat kita ketahui bahwa selama ini birokrasi selalu
menganggap bahwa mereka adalah penguasa karena memiliki jabatan yang tinggi
dibanding masyarakat sehingga mereka membuat beranggapan bahwa mereka adalah
penguasa yang harus selalu dihormati. Oleh karenanya hal seperti itu harus dihilangkan
dari birokrasi.
c. Mendahulukan peranan dari wewenang, perubahan yang dimaksud yaitu birokrasi harus
selalu mendahulukan perananannya yaitu sebagai pelayan masyarakat harus dapat
melayani masyarakat dengan baik, dengan cara menyampingkan wewenang mereka
sebagai pejabat atau pegawai pemerintah.
d. Tidak berfikir hasil produksi tapi hasil akhir, perubahan yang dimaksud yaitu birokrasi
harus selalu mengutamakan hasil akhir dari pelayanan yang mereka berikan kepada
masyarakat seperti menciptakan kepuasan pada masyarakat.
e. Perubahan manajemen kinerja, perubahan yang dimaksud yaitu merubah manajemen
kinerja birokrasi agar dapat menjadi lebih efektif dibandingkan sebelumnya.
Penjelasan diatas menunujukan bahwa untuk mereformasi birokrasi ada beberapa hal
yang dirubah dari birokrasi itu sendiri. Setelah melihat berbagai penjelasan tentang reformasi
birokrasi diatas, pada hakekatnya Reformasi Birokrasi merupakan bagian dari Reformasi
Administrasi, dapat dikatakan dalam hubungannya tindakan atau langkah-langkah yang
dilakukan dalam reformasi administrasi salah satu tujuannya yaitu untuk mereformasi
birokrasi.

B. Eselon
Eselon adalah tingkat jabatan struktural, yaitu Eselon tertinggi sampai dengan eselon
terendah dan jenjang pangkat untuk setiap eselon sebagaimana tersebut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002. Pengertian eselon yang lain adalah kedudukan yang dapat
menunjukkan tingkatan jabatan berdasarkan tingkat kesulitan, tanggung jawab, dampak, dan
persyaratan kualifikasi pekerjaan yang digunakan sebagai dasar dan tolak ukur penggajian.
Jenis-jenis eselon terbagi menjadi empat bagian, tingkatan eselon sendiri berdasarkan
kesulitan, tanggung jawab, dampak dan persyaratan kualifikasi dalam tolak ukur pemberian
gaji. Jenis eselon adalah sebagai berikut.
1. ESELON I
Eselon I merupakan hirarki jabatan struktural yang tertinggi, terdiri dari 2 jenjang:
Eselon IA dan Eselon IB. Jenjang pangkat bagi Eselon I adalah terendah Golongan IV/c dan
tertinggi Golongan IV/e. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya sudah berpangkat
pembina yang makna kepangkatannya adalah membina dan mengembangkan. Di tingkat
provinsi, maka Eselon I dapat dianggap sebagai pucuk pimpinan wilayah (Provinsi) yang
berfungsi sebagai penanggungjawab efektivitas provinsi yang dipimpinnya. Hal itu dilakukan
melalui keahliannya dalam menetapkan kebijakan-kebijakan pokok yang akan membawa
provinsi mencapai sasaran-sasaran jangka pendek maupun jangka panjang.
2. ESELON II
Eselon II merupakan hirarki jabatan struktural lapis kedua, terdiri dari 2 jenjang:
Eselon IIA dan Eselon IIB. Jenjang pangkat bagi Eselon II adalah terendah Golongan IV/c dan
tertinggi Golongan IV/d. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya juga sudah berpangkat
pembina yang makna kepangkatannya adalah membina dan mengembangkan. Di tingkat
provinsi, maka Eselon II dapat dianggap sebagai manajer puncak satuan kerja (Intansi).
Mereka berperan sebagai penanggungjawab efektivitas instansi yang dipimpinnya melalui
keahliannya dalam perancangan dan implementasi strategi guna merealisasikan implementasi
kebijakan-kebijakan pokok provinsi.
3. ESELON III
Eselon III merupakan hirarki jabatan struktural lapis ketiga, terdiri dari 2 jenjang:
Eselon IIIA dan Eselon IIIB. Jenjang pangkat bagi Eselon III adalah terendah Golongan III/d
dan tertinggi Golongan IV/d. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya juga berpangkat
pembina atau penata yang sudah mumpuni (Penata Tingkat I) sehingga tanggungjawabnya
adalah membina dan mengembangkan. Di tingkat provinsi, Eselon III dapat dianggap sebagai
manajer madya satuan kerja (Intansi) yang berfungsi sebagai penanggungjawab penyusunan
dan realisasi program-program yang diturunkan dari strategi instansi yang ditetapkan oleh
Eselon II.
4. ESELON IV
Eselon IV merupakan hirarki jabatan struktural lapis keempat, terdiri dari 2 jenjang:
Eselon IVA dan Eselon IVB. Jenjang pangkat bagi Eselon IV adalah terendah Golongan III/b
dan tertinggi Golongan III/d. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya berpangkat penata
yang sudah cukup berpengalaman. makna kepangkatannya adalah menjamin mutu. Oleh
karenanya di tingkat provinsi, Eselon IV dapat dianggap sebagai manajer lini satuan kerja
(Instansi) yang berfungsi sebagai penanggungjawab kegiatan yang dioperasionalisasikan dari
program yang disusun di tingkatan Eselon III.
Secara operasional ada beberapa fungsi dan tugas dari eselon. Berikut ini fungsi dan
tugas eselon I, II, III, dan Eselon IV adalah sebagai berikut:
1. Tugas Eselon I
Fungsi Eselon I adalah merumuskan kebijakan, menetapkan, mengembangkan serta
menyelenggarakan.
2. Tugas Eselon II
Fungsi Eselon II adalah menyelenggarakan dan Menetapkan
3. Tugas Eselon III
Fungsi Eselon III adalah merumuskan, melaksanakan, mengembangkan serta
mensosialisasikan
4. Tugas Eselon IV
Fungsi Eselon IV adalah memproses, merancang, menyusun, melakukan dan mengerjakan.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Penghapusan Eselon III dan IV dalam Perspektif Empiris

Penghapusan unit eselon III dan eselon IV, pada unsur pelaksana tertentu, dengan
mengoptimalkan para pegawai yang menduduki jabatan tersebut ke dalam jabatan fungsional, juga
merupakan salah satu kebijakan mendasar Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) di bidang kelembagaan (Komarudin, 2012). Namun demikian,
hingga akhir periode kedua roadmap reformasi birokrasi, penghapusan struktur tersebut tidak
terwujud.
Oleh karenanya, ketika upaya untuk mengurangi size birokrasi Indonesia hanya membuat
sedikit kemajuan, dengan hanya ada sedikit stabilisasi angka melalui pembatasan rekrutmen (Turner
et al., 2019). Selain itu, juga relatif sulit untuk menentukan ukuran tentang berapa jumlah ASN yang
ideal dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan (Bappenas, 2013).
Upaya right-sizing dapat dilakukan pada struktur hierarki menjadi piramida yang lebih datar. Hal ini
perlu karena perubahan struktur formal memiliki dampak yang jauh lebih kuat pada reformasi gaya
manajerial (Gualmini, 2008; Park, 2019). Selain itu, Diefenbach and Sillince (2011) menyimpulkan
bahwa struktur hierarki formal berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan dan alokasi
sumber daya, yang apabila dipadukan dengan aturan formal seperti rekrutmen berdasarkan sistem
merit, dapat menunjang profesionalisme. Faktor profesionalisme inilah yang menjadi pertimbangan
empiris mengapa hierarki birokrasi perlu disederhanakan.
Hierarki birokrasi perlu disederhanakan, karena secara empiris menghambat peningkatan
profesionalitas aparatur. Reformasi birokrasi Indonesia ditujukan untuk meningkatkan
profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
Untuk meningkatkan profesionalisme, aspek ke empat dari sembilan aspek percepatan
reformasi birokrasi dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014, adalah profesionalisasi ASN,
yang salah satu rencana aksinya adalah Penguatan Jabatan Fungsional. Penguatan jabatan fungsional
tersebut dilakukan melalui penambahan jumlah jabatan fungsional, penetapan pola karier,
peningkatan kompetensi, dan peningkatan kesejahteraan (KemenPAN-RB, 2012a).
Sejak moratorium penerimaan Calon ASN Tahun 2011, penyusunan kebutuhan formasi dan
pengadaan Calon ASN diarahkan secara selektif, yang salah satunya untuk memenuhi JFT. Namun
demikian, karena struktur hierarki yang tinggi, sebagian besar instansi pemerintah, terutama di daerah,
tidak memberdayakan JFT secara maksimal, sehingga jabatan struktural masih menjadi jabatan favorit
(Bappenas, 2013).
Pengangkatan ke dalam JFT cenderung hanya sebagai penampungan bagi ASN yang tidak
mendapatkan posisi dalam jabatan struktural, atau untuk memperpanjang batas usia pension. Sebagai
akibatnya, seperti sebuah zero sum game, meskipun menjadi salah satu rencana aksi untuk
profesionalisasi ASN, JFT menjadi tidak berkembang.
Untuk menghasilkan ASN yang profesional, kebijakan dan manajemen ASN diselenggarakan
berdasarkan sistem merit. Dengan sistem merit, maka pengembangan karier, pengembangan
kompetensi, pola karier, mutasi, dan promosi dilakukan berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan
kinerja ASN secara adil dan wajar. Apabila pada JFT standar kualitas dan profesionalitas dijamin oleh
instansi pembina dengan kompetensi yang terstandarisasi, maka pada jabatan struktural, terutama
eselon III, IV dan V di daerah, sistem merit belum sepenuhnya diterapkan. Terlepas dari adanya
champions di beberapa daerah yang telah menerapkan sistem merit karena faktor leadership (Prasojo
& Holidin, 2018), promosi, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural,
terutama eselon III, IV, dan V. Penerapan sistem merit di daerah, cenderung tidak obyektif dan tidak
melalui seleksi atau evaluasi yang obyektif dan rasional.

Sistem merit lebih didominasi oleh adanya “politisasi birokrasi” (BKN, 2018; Nurprojo, 2014;
Rewansyah, 2011), sekalipun terdapat amanat kepada seluruh K/L dan pemerintah daerah untuk
menerapkan pengisian lowongan jabatan struktural dengan sistem merit dan terbuka (KemenPAN-RB,
2012b, 2014). Dengan politisasi birokrasi, terbentuk jaringan patronase yang kuat yang lebih menilai
loyalitas dibandingkan kinerja (Turner, 2013). Sebagai akibatnya, terjadi missmatch antara
kompetensi dengan kualifikasi jabatan.

Kesenjangan kompetensi dengan kualifikasi jabatan mengakibatkan kesenjangan kemampuan


untuk melakukan tugas dan tanggung jawab jabatan. Pemetaan kompetensi dan potensi terhadap 2.670
Administrator (eselon III) dari 396 instansi Pemerintah Daerah, yang berasal dari 26 Pemerintah
Provinsi, 75 Pemerintah Kota, dan 295 Kabupaten, menemukan bahwa hanya 7,04% yang memiliki
potensi dan kompetensi tinggi (BKN, 2017).
Dua kompetensi terendah pada administrator adalah Perencanaan-Pengorganisasian (Planning-
Organizing) dan Orientasi pada Hasil (Driving for Results), di samping Team Leadership, dan
Conflict Management (BKN, 2017). Rendahnya kompetensi planning-organizing dan driving for
results, yang justru berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya.
Hal ini mengindikasikan rendahnya kompetensi manajerial yang lain seperti fleksibilitas berpikir,
inovasi, berpikir analitis, berpikir konseptual, serta kepemimpinan tim (KemenPAN-RB, 2017).
Rendahnya kompetensi planning-organizing dan driving for results juga mencerminkan rendahnya
kompetensi spesifik yang berkaitan dengan bidang teknis jabatan sehingga terjadi gejala bluffocracy
dan consultocracy yang mengakibatkan birokrasi biaya tinggi.
Bluffocracy dan consultocracy merupakan gejala yang mengindikasikan masalah inexpertise di
birokrasi. Bluffocracy adalah penyelenggaraan birokrasi oleh para “bluffer”, orang-orang yang
pengetahuannya melebar satu mil, tetapi kedalamannya hanya satu inci; yang memahami topik secara
umum, tetapi tidak mau tahu dengan hal-hal spesifik (Ball & Greenway, 2018). Rendahnya
kompetensi manajerial inti dan kompetensi spesifik yang berkaitan dengan bidang teknis jabatan,
berdasarkan hasil pemetaan kompetensi dan potensi terhadap administrator, membuktikan gejala
bluffocracy.
Sementara itu, consultocracy merupakan kecenderungan peningkatan peran konsultan
manajemen swasta dalam perumusan kebijakan sektor publik (Hood & Jackson, 1991). Terminologi
consultocracy menjadi popular ketika Saint-Martin (1998) menemukan peningkatan belanja publik
untuk jasa konsultansi eksternal yang sangat signifikan dalam satu dekade, 300% di Inggris dan 400%
di Kanada. Bluffocracy dan belanja jasa konsultansi dalam jumlah yang signifikan juga terjadi di
Indonesia, terutama di Pemerintah Daerah.
Walaupun terdapat alasan yang sah untuk menggunakan jasa konsultan eksternal guna
memberikan kompetensi dan keahlian yang tidak dapat diproduksi sendiri, namun terdapat dampak
problematis dari meningkatnya peran konsultan terhadap administrasi publik. Salah satu konsekuensi
yang paling mendasar adalah melemahnya akuntabilitas.
Ketika birokrasi mengontrak jasa konsultansi, maka setidaknya sebagian dari tanggung jawab
mengenai hasilnya diserahkan kepada pihak konsultan. Pihak pemberi kontrak dapat menyalahkan
konsultan untuk hasil atau kelalaian yang tidak diinginkan kepada atasan mereka atau pihak lain yang
berkepentingan (Ylönen & Kuusela, 2019). Hal ini mendistorsi konsep akuntabilitas, karena
melampaui peran keahlian dan teknokrasi yang lebih besar dalam politik, sehingga “cenderung
menghilangkan administrasi publik dari politik, dan dari pengawasan publik” (Saint-Martin, 1998).
Padahal, semestinya birokasi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan dan program,
consultocracy mendistorsi konsep tersebut.
Selain mendistorsi konsep akuntabilitas, consultocracy juga tidak sesuai dengan asas
akuntabilitas berorientasi pada hasil dalam pengelolaan keuangan negara. Ketika keuangan negara
wajib dikelola secara efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan maka consultocracy merupakan double burden dan
birokrasi biaya tinggi.
Berdasarkan studi (Angkasah, Adolf, & Wibowo, 2017; Harun, Mir, Carter, & An, 2019;
Rewansyah, 2011; Turner et al., 2019), keuangan negara, terutama di daerah, sudah harus
menanggung beban belanja pegawai dalam proporsi yang signifikan.
Mengenai consultocracy, Ylönen dan Kuusela (2019) menyimpulkan, apabila organisasi
sektor publik dapat mengembangkan alternatif yang lebih baik, yang berangkat dari karakteristik
demokrasi dan etos publik, meminta solusi sektor publik dari konsultan eksternal akan menjadi
kurang dibutuhkan. Menghapus struktur managerial birokrasi yang tinggi dan memperbanyak JFT
dapat menjadi solusi, karena mendorong ASN untuk bekerja dengan keahlian dan/atau ketrampilan
spesifik tertentu sehingga dapat lebih profesional, dan mengurangi bluffocracy serta consultocracy.
3.2 Dampak yang ditimbulkan dari adanya penyederhanaan birokrasi terhadap
penghapusan eselon III dan IV

Rencana penghapusan eselon akan segera dilakukan. Presiden Joko Widodo


memastikan akan menyederhanakan birokrasi di kementerian pada tahun depan. Presiden
Joko Widodo ingin struktur eselonisasi ini disederhanakan menjadi dua tingkat dengan
menghapus eselon III dan IV. Sebagai penggantinya,yaitu dengan jabatan fungsional yang
menghargai keahlian dan kompetensi. Dengan dilakukannya penyederhanaan birokrasi ini,
presiden Joko Widodo dapat menilai dengan memangkas birokrasi agar bisa melakukan
perubahan di tengah cepatnya perkembangan global. Jika dikatakan efektif atau tidak cara
yang dilakukan oleh presiden Joko Widodo, menurut dosen kebijakan public Universitas
Gadjah Mada, Gabriel Lele langkah yang di ambil cukup positif. Menurut Gabriel selain
berdampak pada efisiensi anggaran, penghapusan eselon ini juga berdampak pada
pengambilan keputusan yang semakin cepat. Dengan penghapusan eselon ini mimpi untuk
menghasilkan birokrasi yang lebih sederhana berpeluang terwujud. Bagi Gabriel, meskipun
penghapusan eselon III dan IV juga memiliki dampak sisi negatif,baik dari sisi personal
maupun secara kelembagaan. Dalam sisi personal, dampak dari penyederhanaan birokrasi
terhadap penghapusan eselon III dan IV pada kondisi psikologis orang-orang yang tergusur.
Dan dalam sisi kelembagaan, penghapusan itu tidak bisa di samaratakan di semua lembaga
kementerian, meskipun dengan tujuan untuk mempercepat, akan tetapi penghapusan eselon
bias menjadi tidak tepat dan akan memperlambat proses pemerintahan. Dampak positif dari
penyederhanaan birokrasi terhadap penghapusan eselon III dan IV , memiliki birokrasi yang
lebih efisien, adanya penghapusan jabatan eselon memungkinkan dapat lebih cepat dalam
pelayanan public kepada masyarakat, melihat proses birokrasi sebelumnya terlalu panjang
sehingga dapat memakan waktu yang banyak, sehingga dengan panjangnya proses jalur
birokrasi dan tidak efektif maka dibuat kebijakan baru yang lebih efektif dan dengan durasi
yang cepat. Tak hanya birokrasi yang lebih efisien, dengan diadakannya penghapusan eselon
III dan IV ini anggaran bisa lebih hemat pengeluaran Negara Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Dapat dilihat dengan panjangnya birokrasi memungkinkan untuk munculnya
perilaku-perilaku korupsi, semakin lambat birokrasi masyarakat akan semakin meminta untuk
lebih di percepat dengan berbagai cara, salah satunya dengan menyogok atau memberi uang.
Dampak dari sisi negatif yaitu, dengan penghapusan esalon III dan IV akan membutuhkan
waktu yang cukup lama dalam menjalankan kebijakan ini, dikarenakan banyaknya
kemneterian dan lembaga Negara yang memiliki jabatan esalon III dan IV. Negatif dari
penghapusan eselon ini pastinya sumber daya manusia yang belum merata, masih adanya
masalah menumpuknya sumber daya manusia di berbagai kementerian, sedangkan di
kementerian lainnya masih terlihat kurang.

3.3 Tujuan dari adanya reformasi birokrasi terhadap penyederhanaan dengan


mengubah penghapusan esalon III dan IV

Yang telah di serukan Kementerian pendayagunaan aparatur Negara dan Reformasi


Birokrasi (Kemen PAN-RB, yang telah dikatakan oleh wakil PAN-RB, Eko Prasojo, program
penghapusan eselon III dan IV ini mulai dijalankan sejak tahun 2012,dengan tujuan untuk
memindahkan orientasi pegawai dari jabatan struktural ke jabatan fungsional. Penghapusan
ini diharapkan mampu mengurangi biaya yang tidak diperlukan untuk memberikan fasilitas
dinas dan jabatan kepada pejabat eselon III dan IV (jawa pos online,3 juni 2012). Selain itu
penghapusan eselon ini juga dikarenakan banyak tugas lingkup kementerian,lembaga atau
pemerintah daerah yang seharusnya di kerjakan oleh satu orang, namun kenyataannya di
kerjakan bersama oleh 10 orang. Bukan hanya pemborosan uang Negara akan tetapi kinerja
PNS pun menjadi tidak efektif. Di sisi lain, penghapusan eselon III dan IV bertujuan untuk
mengubah pola pikir Pegawai Negeri Sipil yang selama ini cenderung mengejar jabatan tanpa
melaksanakan tugasnya secara maksimal.pejabat yang memiliki sikap seperti itu tentu
merugikan pemerintah dan masyarakat.
BAB IV
PENUTUP

a. Keimpulan
Penghapusan unit eselon III dan eselon IV, pada unsur pelaksana tertentu,
dengan mengoptimalkan para pegawai yang menduduki jabatan tersebut ke dalam
jabatan fungsional untuk mengurangi size birokrasi Indonesia hanya membuat sedikit
kemajuan, dengan hanya ada sedikit stabilisasi angka melalui pembatasan rekrutmen.
Untuk meningkatkan profesionalisme, aspek ke empat dari sembilan aspek
percepatan reformasi birokrasi dalam Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014,
adalah profesionalisasi ASN, yang salah satu rencana aksinya adalah Penguatan
Jabatan Fungsional.
Untuk menghasilkan ASN yang profesional, kebijakan dan manajemen ASN
diselenggarakan berdasarkan sistem merit. Dengan sistem merit, maka pengembangan
karier, pengembangan kompetensi, pola karier, mutasi, dan promosi dilakukan
berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja ASN secara adil dan wajar.
Dengan penghapusan eselon ini mimpi untuk menghasilkan birokrasi yang
lebih sederhana berpeluang terwujud. Bagi Gabriel, meskipun penghapusan eselon III
dan IV juga memiliki dampak sisi negatif,baik dari sisi personal maupun secara
kelembagaan. Dalam sisi personal, dampak dari penyederhanaan birokrasi terhadap
penghapusan eselon III dan IV pada kondisi psikologis orang-orang yang tergusur.
Dan dalam sisi kelembagaan, penghapusan itu tidak bisa di samaratakan di semua
lembaga kementerian, meskipun dengan tujuan untuk mempercepat, akan tetapi
penghapusan eselon bisa menjadi tidak tepat dan akan memperlambat proses
pemerintahan. Dampak positif dari penyederhanaan birokrasi terhadap penghapusan
eselon III dan IV , memiliki birokrasi yang lebih efisien, adanya penghapusan jabatan
eselon memungkinkan dapat lebih cepat dalam pelayanan publik kepada masyarakat,
melihat proses birokrasi sebelumnya terlalu panjang sehingga dapat memakan waktu
yang banyak, sehingga dengan panjangnya proses jalur birokrasi dan tidak efektif
maka dibuat kebijakan baru yang lebih efektif dan dengan durasi yang cepat. Tak
hanya birokrasi yang lebih efisien, dengan diadakannya penghapusan eselon III dan
IV ini anggaran bisa lebih hemat pengeluaran negara anggaran pendapatan dan
belanja negara.
b. Saran
Pejabat struktural eselon III dan IV di Sekretariat Negara RI mempunyai
kedudukan yang strategis dan menentukan dalam pencapaian sasaran organisasi
Sekretariat Negara, karena pada dasarnya keputusan atau kebijakan yang akan diambil
oleh pimpinan Sekretariat Negara bahkan oleh Presiden sekalipun pada awalnya
diolah, disiapkan dan dirumuskan oleh para pejabat tersebut. Kedudukan yang sangat
strategis tersebut di atas, maka para pejabat struktural di Sekretariat Negara RI
dituntut untuk selalu menampilkan kinerja yang tinggi dalam melaksanakan tugas dan
fungsi jabatannya, sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap
kinerja pimpinan Sekretariat Negara RI.
DAFTAR PUSTAKA

Muhlis Irfan. 2013. Pengalihan jabatan strukktural ke jabatan fungsional: suatu telaahan
penghapusan jabatan eselon III dan IV di badan kepegawaian Negara. Jurnal
Kebijakan dan manajemen PNS VOL. 7, No.1, juni 2013.

Mochamad Nurhestitunggal, Muhlisin. 2020. Penyederhanaan Struktural Birokrasi: sebuah


tinjauan perspektif teoritis dan empiris pada kebijakan penghapusan eselon III dan
IV. Universitas Banten Jaya. Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah. Vo. 4, No. 1,
juni 2020.

Internet:

Unila. Reformasi birokrasi. diakses pada tanggal 11 november 2020 pukul 17.28
http://digilib.unila.ac.id/10253/13/BAB%20II.pdf

Yang dimaksud dengan eselon I,II,III,IV dalam jabatan structural PNS diakses pada tanggal
11 November 2020 pukul 19.19 https://gajimu.com/gaji/gaji-pejabat-negara-ri/gaji-
pns#:~:text=Eselon%20I%20merupakan%20hirarki%20jabatan,Eselon%20IA%20dan
%20Eselon%20IB.&text=Eselon%20II%20merupakan%20hirarki%20jabatan,dan%2
0tertinggi%20Golongan%20IV%2Fd

https://penaindo.com/eselon-adalah/ (diakses pada tanggal 11 November 2020 pukul 19.26)

https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/29/155327665/penghapusan-eselon-iii-dan-iv-
apa-plus-minusnya?page=all (diakses pada tanggal 12 November 2020 pukul 16.05)

Anda mungkin juga menyukai