Anda di halaman 1dari 9

RESUME MENEJEMEN PEMERINTAHAN

Oleh:
Yusi Afriani HTN 6B
NIM. 1911150054

Dosen Pengampu:
A.MAJID ALI,M.Si

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA/SIYASAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU
TAHUN 2022 M/1444 H

RESUME PERTEMUAN KE 12
BAB 6
Reformasi Manajemen
A. Reformasi Birokrasi
Istilah Reformasi sering di labelkan pada setiap usaha yang dimaksudkan untuk melakukan
perbaikan secara gradual, bertahap dan berlangsung di sistem yang ada. Reformasi itu juga
dipersamakan dengan sebuah perubahan dan perbaikan atau sesuatu yang berkonotasi positif,
meskipun pada kenyataannya ia hanya jargon politis atau suatu yang hanya lip service. Sejak
tahun 1999, istilah Reformasi seperti menjadi sebuah mentera atau Kredo yang di gunakan
sejumlah kalangan untuk menjustifikasi upaya atau kegiatan yang di lakukan.

Reformasi atau pun namanya jika ia merujuk pada sebuah perubahan ke arah perbaikan,
maka ia sesungguhnya bukan sesuatu yang hanya dilakukan untuk saat atau oleh kondisi tertentu.
Mengacu pada istilah Michel Beer (2000:452) yang menyatakan berubah itu adalah memiliki
tindakan yang berbeda dari sebelumnya, perbedaan itulah yang mengahasilkan suatu perubahan.
Jika perubahan itu dilakukan pada sebuah organisasi itu merupakan proses atau tindakan
beralihnya sesuatu Organisasi dari kondisi yang ada menuju ke kondisi yang diinginkan.
Sejumlah kajian teoretis mengenal reformasi birokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa proses
reformasi atau perubahan dan perbaikan Organisasi Birokrasi itu belum cukup menggembirakan.

Menurut Mustopadidjaja, jika proses reformasi birokrasi bisa dijalankan dengan baik, maka
akan terwujudlah good government didalam birokrasi di Indonesia yang selanjutnya bisa
dijadikan alat untuk melakukan pembangunan masyarakat Madani. Soebhan (2000) menyatakan
bahwa agar proses reformasi birokrasi di Indonesia bisa berjalan secara optimal, makan model
keterkaitan birokrasi dengan politik harus dipisahkan dengan jelas dan tegas.

Dari asumsi teoretik itu menggambarkan betapa luasnya cakupan reformasi birokrasi itu
paralel dengan luasnya dampak atau pengaruh yang di timbulkannya terhadap perbaikan tata
kelola sebuah pemerintahan (good government). Hanya saja dalam sejumlah pengertian
reformasi administrasi itu diartikan secara luas sebagaimana konsep atau pengertian teoretiknya,
sehingga mencangkup di dalamnya pengertian atau setidaknya sama dan sebangun dengan
konsep reformasi birokrasi itu sendiri.Hal ini perlu dilakukan karena korupsi birokrasi
merupakan hambatan paling serius dan memalukan dalam pembangunan, nasional di semua
negara berkembang.
Yehezkel Dror menyatakan bahwa:

“Reformasi administrasi negara adalah perubahan yang terancam terhadap aspek utama
Organisasi”.

Jose Veloso, menyatakan bahwa:

“Reformasi administrasi negara adalah penekanan perubahan pada aspek kelembagaan di an


perilaku”.

Sementara itu, Soesilo Zauhar (1996) yang berusaha merangkum berbagai definisi itu kemudian
menyatakan reformasi administrasi negara adalah “ suatu usaha sadar dan terencana untuk
mengubah”:

struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional/kelembagaan).

Sikap dan perilaku birokras (aspek perilaku), guna meningkatkan efektivitas organisasi
atau mencapainya adminitrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan
nasional.

Selain itu, fenomena reformasi birokrasi bukan hanya merupakan tuntutan masyarakat,
melainkan juga merupakan bagian fenomena sosial di masyarakat yang tidak terlepas dari
perhatian pada akademisi, yaitu merupakan bagian riset di bidang perubahan organisasional. Di
Indonesia reformasi di bidang menajemen keuangan itu sangat penting dan sekaligus krusial.
Sejumlah usaha telah dilakukan ke arah itu, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Padahal
persoalan keuangan ini bisa diibaratkan sebagai darah dalam sebuah organisasi yang hidup.

B. Reformasi Administrasi Publik

Jika mencermati kondisi di Indonesia hingga saat ini maka seperti tidak ada pilihan lain
kecuali terus melakukan reformasi organisasi dan administrasi publik. Tidak ada kata terlambat
untuk melakukan perbaikan, meskipun mementum puncak reformasi di segala bidang itu telah
lewat sejak di mulai tahun 1998 yang lalu ini. Kini saatnya organisasi birokrasi menunjukkan jati
dirinya yang berbeda dengan sebelumnya, dengan pola manajemen pemerintahan yang baru dan
didukung oleh sistem sosial politik yang lebih baik, lebih demokratis dari pada sebelumnya.
Fakta itu bisa diartikan bahwa reformasi administrasi publik merupakan sesuatu yang tidak
finnal atau sekali jadi, tetapi merupakan gerak lurus atau sesuatu yang sifatnya kontinum dan
tidak mengenal kata berhenti. Reformasi ini mencangkup di dalamnya reformasi manajemen dan
perilaku birokrasi pemerintahan. Tanpa reformasi kedua hal tersebut, maka reformasi
administrasi publik dalam skala yang lebih luas tidak akan berhasil mencapai tujuannya dalam
memberikan pelayanan publik yang berkualitas.

Reformasi administrasi sebagai terminologi, berarti sebuah proses dalam pelayanan publik
untuk membuat perubahan-perubahan di dalam struktur dan prosedur administrasi yang telah
menjadi sejalan dengan harapan, nilai, keinginan dari lingkungan sosial dan politik. Ini adalah
sebuah proses membuat perubahan-perubahan di dalam organisasi atau prosedur administrasi
publik. Menurut Kasim, reformasi administrasi adalah upaya perubahan melalui pendekatan dari
atas ke bawah dengan program reorganisasi, pelangsingan, program penghematan biaya, dan
program reengineering. Adapun elemen yang umum di dalam berbagai definisi itu antara lain.
Pertama, reformasi administrasi merupakan rencana yang hati-hati untuk mengubah birokrasi
publik. Kedua, reformasi administrasi bersinonim dengan inovasi. Ketiga, efisien dan efektivitas
dari pelayanan publik adalah hasil dari proses reformasi. Keempat, mendesaknya reformasi
dijustifikasi Sebagai kebutuhan untuk memecahkan ketidak pastian dan perubahan yang cepat
dalam sebuah lingkungan organisasi.

Sementara itu Abueva dalam Zauhar, memandang bahwa reformasi administrasi sebagai
usaha-usaha yang secara Esensi menggunakan kekuasaan, otoritas, dan pengaruh untuk
mengubah tujuan-tujuan, struktur dan prosedur birokrasi. Menurut Nasucha, reformasi
administrasi mempunyai dua konsekuensi penting, yaitu (1) meningkatkan apa yang sudah ada,
keberhasilan ini Diatur dari perbaikan yang nyata di dalam organisasi, administrasi dan
manajemen, (2) melakukan koreksi terhadap kelemahan administrasi itu sendiri, dan pelaksanaan
administrasi seperti maladministrasi.

C. Perubahan Manajemen

Pemerintahan adalah sebuah organisasi yang hidup (living organism). Yang berkembang
dan bisa berubah oleh pengaruh dinamika internal atau eksternalnya. Bahkan tujuan organisasi
tujuan organisasi pemerintahan. Terutama rinciannya juga bisa berubah secara mendasar jika
perubahan itu memang sesuatu yang diperlukan untuk menjaga relevansi dan eksistensi sebuah
organisasi. Perubahan itu bisa dilakukan secara evolusioner atau sebaliknya revolusione,
termasuk dengan membubarkan organisasi yang bersangkutan dengan sesuatu yang lain (baru).
Perubahan itu bisa berlangsung sangat lamban atau sebalinya sangat cepat dengan cara gradual
atau radikal. Intinya perubahan-perubahan adalah sesuatu yang senantiasa akan terjadi atau harus
dihadapi oleh oragnisasi.

Salah satu motor penggerak perubahan itu adalah pihak manajemen, meskipun seemua
komponen dalam organisasi mempunyai andil penting dalam proses perubahan. Seperti
dinyatakan sejumlah ahli, seperti Peter Hers, bahwa perubahan merupkan tanggungjawab
pemimpin, ia merupakan zasebuah tantangan untuk menggerakkan orang-orang pada seebuah
tantangan bawha perubahan itu bukan sebagai anacaman atau sebuah keseempatan. Pada
dasarrnya semua organisasi adalah melakukan perubahan, perbedaanya lebih terletak pada sejauh
mana respinsifitas organisasi dalam menerima peruaban. Khususnya jika ia terkait dengan
perilaku organisasi dan individu (aparatur) yang ada dalamnya, perubahan itu terasa sangat
lambat dan sulit dilkukan daripada jika perubahan itu bersifat kelembagaan atau struktural
oragnisasional.

Ketika perubahan yang diperlukan organisasi itu lebih lamban dibandingkan dengan
kebutuhan atau dinamika yang berkembang dimasyarakat, maka terjadinya kesenjangan (slack)
kualitas atau produk yang dihasilkan oleh lembaga pihak itu dengan apa yang diharapkan
konsumen (masyarakat). Di indonesia ada sejumlah fakta ynag bisa diamati dalam kehidupan
sehari-hari dari perilaku birokrasi yang tidak responsif terhadap perubahan dan kebutuhan yang
diharapkan masyarakat. Birokrasi juga harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan
publik daripada sebagai agen pembaharu pembangunan.

Mustopadidjaja menganjurkan perubahan perilaku birokrasi dan sikap dasar untuk


“dilayani” menjadi “melayani”. Aparatur negra bukanlah “tuan” yang menuntut hormat-bakti
“upeti” minta dilayani, tetap melayani , meringankan, dan melancarkan kepentingan umum
(rakyat). Rendahnya mutu manajemen serta kurangnya keterbukaan dalam organisasi telah
menyebabkan kegagalan dalam melakukan perubahan yang diinginkan. Dengan bahwa
sederhana bahwa kegagalan organisasi dalam melakukan perubahan perilaku itu lebih banyak
disebabkan oleh aspek manajemen yang kurang baik. Meskipun peruabahn itu sebuah
keniscayaan, namun tidak berarti hal itu mudah atau begitu saja bisa dilkukan.

Reformasi yang sifatnta majerial ini sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk
melkukan reformasi perilaku. Langkah pertama dalam reformasi majerial adalah melakukan
sejumlah perubahan terhadap sesuatu yang dianggapnya telbih mudah dilakukan dan memiliki
ongkos atau resiko yanag lebih kecil. Berikutnya adalah melakukan reformasi terhadap sesuatu
yang dianggap sukit dilakukan seperti reformasi yang diarahkan untuk mengubah pola pikir dan
perilaku aparatur birokrasi. Reformasi perilaku ini bukan sesuatu yang berdiri sendri tetapi
merupakan rangkaian dari semua proses reformasi yang secara langsung atau tidak langsung
akan memengaruhi perilaku aparatur.

D. Perubahan Perilaku Birokrasi

Tidak diragukan lagi bahwa sejak awal pembentukannya, keberadaan organisasi publik
itu dimaksudkan agar semua tujuan pemerintahan lebih mudah diraih dengan cara yang lebih
baik , cepat, efifisien, dan efektif. Bahkan oleh sejulah ahli ahli sejumlah negara berkembang ada
yang digolongkan sebagai negara gegal dalam melakukan perubahan atau perbaikan manajemen
pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan perilkau birokrasi. Oleh berbagai sebab, seperti
sistem politik yang otoritarium, membuat birokrasi dinegara yang bersangkutan kinerjanya
sangat lamban dan semakin birokratik. Namun sebaliknya bagi negara berkembang yang rlatif
demokratis, indonesia adalah salah satu contohnya. Ketika sistem politiknya semakin
demokratis, tetapi tata kelola pemerintahannya tidak otomatis berjalan pararel mengikutinya.
Kinerja birokratik tdak otomatis lebih baik dari sebelumnya dalam melayani publik.

Karena birokrasi masih menampakkan sisi lain dari sosoknya yang dianggap buruk itu,
maka image atau gambaran pengertian birokrasi juga mencakup pengertian yang buruk,
meskipun sesungguhnya ia secara teoritik bersifat positif atau setidaknya netral (objektif)
padahal secara konsepsional birokrasi itu memiliki pengertian yang positif di dalam masyarakat,
karena begitu pentingya peranan birokrasi dalam mewujudkan harapan publik. Meenurut Heady
(dalam kartasasmita;1997), birokrasi pemerintahan dinegara-negara berkembang ditandai dengan
beberapa kelemahan yang juga merupakan ciri utamanya. Heady menyebutkannya ada lima ciri,
yaitu:
Pola dasar sistem birokrasi merupakan tiruan atau jiplakan dari sistem administrasi
kolonial
Birokrasi pemerinatahan kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas baik dari
segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan, dan keterampilan teknis yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan, sebalinya, kondisi yang sering dijumpai adalah
banyaknya sumber daya manusia yang kurang berkualitas dengan pembagian tugas yang
tidak jelas.
Birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi pada kepentingan pribadi atau
kelompok daripada kepentingan masyarakat atau pencapaian sasaran yang bermanfaat
bagi masyarakat banyak
Apa yang dinyarakan baik secara tertulis maupun lisan oleh birokrasi seiring tidak sesuai
dengan kenyataan
Birokrasi cenderung bersifat otonom dalam proses politik dan pengawasan masyarakat
Indoneisa adalah salah satu contohnya, sejak zaman kolonial hingga sekarang perilaku
birokrasu masih menempatkan dirinya sebagai tuan yang harus dilayani daripada sebalinya
sebgai pelayan publik (masyarkat). Meskipun sejumlah perbaikan telah dilkukan, tetapi
perilaku demikian masih eksis hingga sekarang berikut yang mengikutinya. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak mudah untuk melakukan perubahan perilaku birokrasi sesuai
dengan kerangka normatif atau teoritisnya . singkatv kata perilaku birokrasi tampak masih
jauh dari ketentuan normatifnya (das sollen) dan kenyataan empiritiknya (das seein).
Apa yang dilakukan Indonesia sejak 1999 bisa digolongkan cukup radikal dari sisi
kelembagaan, tetapi tidak demikian dari sisi yang lain, khususnya jika indikator peruabhan
itu dikaitkan dengan peribahan perilaku birokrasi. Secara substantif atau dari sisi kualitasnya,
tidak terjadi perubahan yang signifikan, meskipun kecendrngan perubahan itu telah terjadi,
tetapi terlihat masih sangat lambat atau sangat rendah jika dibandingkan dengan tingginya
harapan atau eskpetasi publik. Fenomena itu dari sisi manajemen merupakan persoalan yang
serius, sekalipun diakui bahwa tidak mudah melakukan perubahn perilku, tetapi dalam
konstalasi sosial politik reformasi birokrasi, ternyata momentum itu seperti angin lalu
terlewat begitu saja.
E. Efisiensi dan efektivitas Pemerintah
Salah satu tujuan reformasi organisasi publik yang utama adalah untuk menciptakan
efisiensi dan efektivitas pemerintahan agae menjadi lebuh baik dari sebelumnya. Contoh
kasus perubahan kewenangan pemrintah dalam hubungan antarstrata pemerintahan dengan
memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah. Dengan perubahan itu
diharapkan proses pelayanan publik akan lebih baik kualitasnya. Dalam kondisi ligkungan
yang berubah itu organisasi pemerintah juga harus berubah kinerjanya tetap dapat dipelihara
atau ditingkatkan. Ini merupakan tugas pihak manajemen atau pengambil kebijakan di
organisasi yang bersangkutan.

Secara konseptual efisiensi merupakan kemampuan menyelesaikan suatu pekerjaan


dengan benar, dicapai dengan menghitung tingkat rasio dari keluaran (output) dan masukan
(input). Sementara efektivitas merupakan kemampuan guna memilih berbagai aternatif yang
ada guna mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain manajer yang efisien yaitu
seorang manajer yang mempunyai kemampuan atau dapat mencapai input yang lebih besar
daripada outputnya. Secara sederhana yang disebut efektivitas itu merupakan perbandingan
antara outcome dengan output (target/result). Sementara itu efisiensi, bagi Mardiasmo,
berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public mony) tersebut dapat menghasilkan
output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berari bahwa penggunaan anggaran harus
mencapai target –target atau tujuan kepentingan publik.

Menurut Gibson kajian efektivitas organisasi harus dimulai dari yang paling mendasar
terletak pada:

Efektivitas individu yaitu tingkat pencapaian hasil pada kerja individu organisasi
Efektivitas kelompok yaitu tingkat pencapaian hasil kerja yang dilkukan oleh sekelompok
anggota organisasi
Efektivitas organisasi yaitu merupakan kontribusi hasil kerja dari tiap-tiap efektivitas
individu dan efektivitas kelompok atau tim yang saling sinergis.
Sementara itu pendekatan yang digunakan dalam melakukan pengukuran terhadap
konsep eketifitas dalam ruang lingkup organisasi setidaknya ada dua pendekatan. Menurut
Rhicard M. Steers, yaitu: (1) pendekatan ukuran efektivitas yang univariasi yaitu efektivitas
diukur melalui surdut pandang terpenuhnya beberapa kriteria akhir jadi kerangka acuannya
berdimensi tunggal dengan memusatkan perhatian kepada salah satu dimensi atau kriteria
yang bersifat evaluatf. (2) pendekatan ukuran efektivitas yang multivariasi, yaitu konsep
efektivitas melalui sudut pandang terpenuhinya ukuran-ukuran yang berdimensi ganda dan
memakai kriteria tersebut secara serempak.

Dari sisi administratif pemerintahan , efisiensi dan efektivitas adalah acuan atau tolak
ukur terpenting untuk menilai kinerja pemerintahan. Ukuran efisiensi dan efektivitas menjadi
sangat oenting dalam peleksanaan otonomi daerah mengingat semakin besar dan luasnya
kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola dana masyarakat (public money).

Anda mungkin juga menyukai