Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab suci Al Qur`an sebagai penjelas,
petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman. Didalamnya terkandung berbagai ilmu pengetahuan,
cahaya dan obat penyakit hati. Tiada yang mampu mendalami dan mengungkap isinya selain
para ulama yang mumpuni (ar Rasyikhun). Shalawat dan salam semoga dilimpahkan Allah
SWT kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Yang diutus dengan penuh toleransi, kasih
sayang dan berpandangan luas,
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada Al Mukarrom KH. Asep Miftahul
Janan selaku Dewan Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Al Mashduqiyah dan Abah KH.
As’ad Yafe’i selaku Dewan Penasihat Yayasan Pondok Pesantren Al Mashduqiyah Cibalok,
para Dewan Asatidz dan Asatidzah serta Keluarga Besar Pondok Pesantren Cibalok juga para
Muhibbin semoga Alloh Swt. Senantiasa melimpahkan rahmat, maghfirah serta berkahnya
kepada kita semua. Aamiin.
Penyusun.
1|P age
Orang yang memiliki ilmu mempunyai derajat yang sangat tinggi di sisi Allah SWT.
Dalam satu ayat Al Quran bahwa orang yang memiliki ilmu maka akan Allah sejajarkan atau
Allah samakan dengan malaikat dalam persaksiannya, Ayat yang di maksud di atas adalah
وقال صلى هللا عليه وسلم أكرموا لعلماء فانهم عند هللا كرماء مكرمون
“Muliakanlah ulama (orang-orang yang mengerti ilmu syariat dan mengamalkannya), karena
mereka itu orang-orang mulia (orang-orang pilihan Allah) dan yang dimuliakan pula (di
kalangan malaikat).”
“Aku mencintai orang-orang sholeh meskipun aku bukan termasuk di antara mereka. Semoga
bersama mereka aku bisa mendapatkan syafa’at kelak. Aku membenci para pelaku maksiat,
meskipun aku tak berbeda dengan mereka. Aku membenci orang yang membuang-buang
usianya dalam kesia-siaan walaupun aku sendiri adalah orang yang banyak menyia-nyiakan
usia”.
2|P age
BIOGRAFI SINGKAT MAMA KH. MASHDUQI DAN MAMA KH. SHODIQUL
MASHDUQI SERTA PROFIL PONDOK PESANTREN AL MASHDUQIYAH
CIBALOK
Mama KH. Mashduqi pertama kali menuntut ilmu di daerah Cijambu kepada Mama
Buntarsari, kemudian kepada Mama KH. Ilyas Cibitung, kepada Mama KH. Zarkasih Cihapit
(Cibaduyut), dan mondok selama belasan tahun di Surabaya (belum diketahui tepatnya
dimana dan kepada siapa) kemudian beliau mukim dan mendirikan Pondok Pesantren pada
tahun 1895 M di Tanah kelahirannya, Cibalok.
Tidak lama setelah mendirikan Pondok Pesantren, beliau menikah dengan Hj.
Masithoh dan dikaruniai enam orang anak, diantanya yaitu Mama KH. Zainuddin
(Cilutung/Singajaya, Cihampelas), Ibu Hj. Siti Zainab (Cibalok), merupakan Istri dari Mama
KH. Shodiqul Mashduqi, Bapak H. Harja Permana (Caringin, Bandung), Bapak H. Nurdin
(Cililin), Bapak Ahmad Qustholani (Cilutung/Singajaya, Cihampelas), dan Bapak H.
Abdurrohim (Buah Batu, Bandung).
3|P age
Dilain waktu, para kolonial Belanda itu bisa menemukan pesantren, namun tetap tidak
bisa menghancurkannya karena pada saat mereka datang tiba-tiba hujan deras mengguyur
Kawasan pesantren dan sekitarnya. Dan masih banyak kejadian-kejadian lainnya. Menurut
Riwayat yang terhimpun, Alhamdulillah, hingga menjelang kemerdekaan Republik Indonesia
tahun 1945 M, Pesantren Cibalok tetap utuh dan tidak ada suatu hal yang menghambat
berjalannya kegiatan belajar dan mengajar di Pondok Pesantren.
Masa kanak-kanak dan remaja beliau di habiskan untuk menuntut ilmu, baik formal
maupun non formal. Pertama kali beliau berguru adalah kepada Mama KH. Mashduqi yang
tak lain adalah Mertuanya sendiri.
Setelah lulus dari SR (Sekolah Rakyat), Mama KH. Shodiqul Mashduqi mengikuti
sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Banjaran. Kemudian pada tahun 1918
M beliau menuntut ilmu di Sempur (Purwakarta) kepada Mama KH. Tubagus Ahmad Bakrie
(Mama Sempur) selama kurang lebih 18 tahun.
Mama KH. Shodiqul Mashduqi bin Ayah H. Enur adalah Angkatan ke-2 lulusan
Pesantren Sempur. Adapun urutan angkatan Pesantren Sempur di antaranya;
1. Angkatan Pertama, Abuya KH. Ceng Qodir (Gentur) dll.
2. Angkatan ke-2 yaitu, Mama KH. Shodiqul Mashduqi, Mama KH. Raden Ma’mun Nawawi
(Cibarusah), Mama KH. Raden Mukhtar (Wanayasa), Mama KH. Syathibi (Karawang), Mama
KH. Idris (Benul/Sukatani), dll.
3. Angkatan ke-3 yaitu, Mama KH. Cep Hanafi (Sela Awi), dll.
4|P age
Selama nyantri di Sempur, Mama KH. Shodiqul Mashduqi selain waktunya banyak
digunakan untuk mengaji juga banyak digunakan untuk berkhidmah. Beliau adalah
merupakan salah satu santri terdekat Mama Sempur, sehingga Mama Sempur mempunyai
panggilan khusus terhadap beliau, yaitu Acud.
Begitu khidmah dan taatnya kepada guru, selama 18 tahun nyantri di Sempur, Mama
KH. Shodiqul Mashduqi satukali pun tidak pernah keluar komplek pesantren kecuali atas
perintah Sang Guru. Selain itu, beliau juga sering diemban tanggung jawab dalam belajar
mengajar Santri apabila Mama Sempur ada halangan.
Pernah, pada suatu ketika tiba-tiba para tentara Belanda mendatangi Mama KH.
Shodiqul Mashduqi. Entah apa sebabnya mereka menyuruh dengan paksa agar beliau turun
dan masuk ke dalam kolam yang berada di area Pesantren. Tidak disangka, beberapa dari
tentara itu mengarahkan senjata ke arah Mama kemudian menembaknya beberapa
kali. Namun atas kuasa dan pertolongan Allah swt. Bukan beliau yang terluka, melainkan ikan-
ikan yang berada di dekat Mama.
Pada sekitar tahun 1953 M, salah satu pimpinan DI/TII mendatangi Pesantren,
meminta dan membujuk Mama KH. Shodiqul Mashduqi untuk bergabung dengan mereka
maksud dan tujuan intinya adalah ingin menjadikan beliau sebagai hakim bagi kelompoknya.
Namun Mama KH. Shodiqul Mashduqi menolak, karena baginya membangun Negara di dala
Negara adalah termasuk Bughot (membangkang pemerintah) dan itu haram hukumnya. Tentu
saja keputusan itu membuat mereka geram, hingga pada kedua kalinya mereka datang
langsung menggeledah Pesantren dan mengambil alih Pesantren hingga satu minggu
lamanya.
Keberadaan para anggota DI/TII di Pesantren pun tercium oleh TRI (Tentara Republik
Indonesia). Namun ternyata mereka mengira bahwa Mama KH. Shodiqul Mashduqi beserta
para santri telah berkomplot dengan DI/TII. Kemudian Pesantren pun dikepung oleh TRI.
Perang meletus. Tiga orang Santri harus kehilangan nyawanya karena ditembak anggota TRI.
5|P age
Hingga akhirnya, Mama KH. Shodiqul Mashduqi beserta keempat anaknya (yakni KH.
Bahrussalam, H. Aan, Abah H. As’ad Yafe’i, dan Ibu Hj. Sa’adah) pergi mengungsi ke
Pesantren Sempur atas saran Mama Sempur. Sementara itu, Pesantren cibalok dan keluarga
lainnya, beliau titipkan kepada lurah santri yang saat itu dipegang oleh Ajengan Syahidin
(Sumatra) dan Ajengan Sanusi (Cilutung). Baru setelah keadaan mulai membaik, yakni pada
tahun 1957 M, Mama KH. Shodiqul Mashduqi dan keempat anaknya Kembali pulang ke
Cibalok dengan dijemput Camat dan Kepolisian Sindangkerta.
Mama KH. Shodiqul Mashduqi wafat pada Ahad, 23 Juni 1991 M (di Usia 91 tahun)
bertepatan dengan lebaran idul Adha hari Ahad, 10 Dzulhijjah 1411 H. dengan meninggalkan
satu istri dan tujuh orang anak, diantaranya adalah KH. Bahrussalam, H. Aan, Abah H. As’ad
Yafe’i, Hj. Sa’adah, Yuyun Yuhainah, KH. Asep Miftahul Janan, dan Imas Ani Ma’daniyah.
Dikarenakan tempat semula tidak cukup strategis untuk kebutuhan air, terutama pada
musim kemarau. Maka, pada awal tahun 1900 M, atas gagasan Mama KH. Mashduqi dan
dukungan masyarakat setempat, akhirnya Pondok Pesantren dipindahkan. Dahulu, tempat
Pesantren yang sekarang berdiri ini merupakan belantara hutan dan rawa yang terkenal
dengan keangkerannya. Sangat jarang sekali ada penduduk yang berani masuk ke dalamnya.
Namun ternyata hal itu tidak membuat Mama KH. Mashduqi mengurungkan niatnya. Dengan
beberapa bantuan masyarakat, Sebagian hutan berhasil dibersihkan. Sebelum membangun
rumah, masjid ataupun pondok, yang pertama kali beliau bangun adalah sebuah sumur yang
sekarang biasa dipakai oleh para santri dan masyarakat sekitar.
6|P age
Konon, di tengah menggali / membangun sumur itu, beliau sempat tertidur karena
kelelahan dan terbangun saat hari sudah gelap. Itupun karena ada seekor ular besar melintasi
tubuhnya. Saking besar dan panjangnya ular tersebut, Mama KH. Mashduqi sampai
mengalami sesak nafas yang berkepanjangan akibat menahan nafas dan beban sang ular.
Sumur yang beliau bangun sampai saat ini tidak pernah mengalami kekeringan. Ketinggian
airnya tidak pernah lebih atau berkurang, sekalipun pada musim kemarau atau musim
penghujan.
Adapun program pengajian yang berjalan di Pesantren ini tidak jauh berbeda dengan
program Pesantren Salafiyah lainnya, yang memfokuskan diri pada Pembelajaran Kitab
Kuning dengan mengutamakan metode Sorogan dan Bandungan / Balagan. Baru-baru ini
dalam penyelenggaraannya mencoba menerapkan Sistem Modern dengan 3 tingkatan kelas
yaitu, Kelas Ula, Wustho, dan ‘Ulya.
7|P age
Keterangan silsilah Mama KH. Shodiqul Mashduqi dari H. Muhammad Nur,
H. Muhammad Nur pertama kali menikah dengan Ibu Arnah dan mempunyai lima orang anak,
di antaranya;
1. Martawi
2. H. Tajuddin (Enjon/Mama Lurah)
3. Hj. Khodijah (Eno)
4. H. Syamsudi (Unus/Pura)
5. H. Usman Damiri (Adinata)
Kemudian setelah Ibu Arnah meninggal, H. Muhammad Nur menikah dengan Ibu
Emeh dan hanya mempunyai satu orang anak yaitu Wira Sukarta. Kemudian Ibu Emeh
meninggal dan H. Muhammad Nur menikah dengan Ibu Hj. Ma’ah, putri dari KH. Abdurrahman
Pasirpogor, dan dikaruniai 9 orang anak, di antaranya:
1. Ibu Toto
2. Karim
3. Juhi Nata Wirija
4. Uci (Keta)
5. Surwa (Wahapi)
6. Juhro Atma Winata
7. Empok (meninggal saat masih anak-anak)
8. Erum Rumja (Mama Shodiqul Mashduqi)
9. Anak perempuan (meninggal saat masih bayi)
Selanjutnya, kami menyadari bahwa naskah ini masih banyak kekurangan disana sini.
Oleh karenanya, saran, masukan dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan naskah ini di masa depan. Demikian biografi (riwayat) singkat Almarhumain
ini. Semoga bermanfaat bisa menjadi suri tauladan dan motivasi bagi kita semua, khususnya
bagi para Santri dan generasi penerusnya. Aamiin.
8|P age