Anda di halaman 1dari 7

BIOGRAFI KH.

SOLEH DARAT

KELAHIRAN

Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani  atau


yang lebih akrab disapa dengan panggilan
KH. Sholeh Darat lahir pada sekitar tahun 1820
/1235 H di Dukuh Kedung Jumbleng, Desa
Ngroto Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
Nama Darat yang dipakai oleh KH. Sholeh
berawal dari kehidupannya yang tinggal di
kawasan dekat pantai utara Semarang yakni,
tempat berlabuhnya (mendarat) orang-orang dari
luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan
dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat
dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk
dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan
Semarang Utara.

WAFAT
KH. Saleh Darat wafat di Semarang pada hari Jum’at Wage 28 Ramadan 1321 H
atau pada 18 Desember 1903 dalam usia 83 tahun. Beliau dimakamkan di
pemakaman umum Bergota Semarang.
Setelah beliau meninggal dunia, setiap tanggal 10 Syawal, masyarakat dari berbagai
penjuru kota berziarah untuk menghadiri haul beliau.

KELUARGA
Selama hayatnya, KH. Sholeh Darat pernah menikah tiga kali. Pernikahannya yang
pertama adalah ketika ia masih berada di Makkah. Tidak jelas siapa nama istrinya.
Dari pernikahannya yang pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang diberi nama
Ibrahim. Tatkala KH. Sholeh Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia
dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk
mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Shalih Darat menggunakan
nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh al-Rahman.
Pernikahannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri KH. Murtadha teman karib
bapaknya, Kiai Umar, setelah ia kembali di Semarang. Dari pernikahannya ini,
mereka dikarunia dua orang putra, Yahya dan Khalil. Dari kedua putranya ini, telah
melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini. Sedangkan
pernikahannya yang ketiga dengan Aminah, putri Bupati Bulus, Purworejo,
keturunan Arab.
Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai anak. Salah satu keturunannya adalah Siti
Zahrah. Siti Zahrah dijodohkan dengan KH. Dahlan santri KH. Sholeh Darat dari
Tremas, Pacitan. Dari pernikahannya ini melahirkan dua orang anak, masing masing
Rahmad dan Aisyah. KH. Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahrah
dijodohkan dengan KH. Amir, juga santri sendiri asal Pekalongan. Pernikahannya
yang kedua Siti Zahrah tidak melahirkan keturunan.
PENDIDIKAN
Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja KH. Sholeh
Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum meninggalkan
tanah airnya, ada beberapa guru yang dikunjunginya guna menimba ilmu agama,
diantaranya:
1. KH. M. Syahid.
Untuk pertama kalinya KH. Sholeh Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid,
seorang ulama yang memiliki Pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati.
Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. KH. M. Syahid adalah cucu KH.
Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). kepada KH. M.
Syahid ini, KH. Sholeh Darat belajar beberapa kitab fiqih. Di antaranya adalah kiab
Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawwim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab
dan lain-lain.
2. KH. Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus.
Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti.
3. KH. Ishak Damaran, Semarang.
Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar Nahwu dan Sharaf.
4. KH. Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang.
Kepadanya KH. Sholeh Darat ilmu falak.
5. KH. Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang.
Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-
Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali.
6. Syekh Abdul Ghani Bima, Semarang.
Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad
al-Mishri. Yaitu sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat
populer di Jawa pada abad ke-19 M.
7. Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Bulus Gebang Purworejo
Kepadanya KH. Sholeh Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf
dan tafsir al-Qur’an. Oleh Mbah Ahmad (Muhammad) Alim ini, Kiai Shaleh
Darat diperbantukan kepada Zain al-Alim (putra Mbah Ahmad Alim), untuk
mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiyang, Desa Maron, Kecamatan Loano,
Purworejo
Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh KH. Sholeh Darat dari beberapa
gurunya, menunjukkan betapa kemampuan dan keahlian KH. Sholeh Darat di bidang
ilmu agama.

MURID-MURID
Berkat kedalaman ilmu yang dimiliki oleh KH. Sholeh Darat, beliau telah berhasil
mencetak murid-muridnya menjadi tokoh, ulama, kiai, dan para pendiri pondok
pesantren. Murid-murid beliau diantaranya:
1. KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU)
2. KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah),
3. KH. R. Ahmad Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H)
4. KH. Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat
5. KH. Idris (nama aslinya Slamet) Solo
6. KH. Sya’ban bin Hasan Semarang yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an
Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu dari
salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat.
7. KH. Abdul Hamid Kendal
8. KH. Tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang
9. KH. Sahli kauman Semarang
10. KH. Dimyati Tremas
11. KH. Chalil Rembang
12. KH. Munawir Krapyak Yogyakarta
13. KH. Dalhar Watucongol Muntilan Magelang
14. KH. Yasin Rembang
15. KH. Ridwan Ibnu Mujahid Semarang
16. KH. Abdus Shamad Surakarta
17. KH. Yasir Areng Rembang
18. RA Kartini Jepara.

PEMIKIRAN
KH. Sholeh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah
pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap
paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauhar at-
Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulullah
SAW mengenai terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan sepeninggal beliau,
dan hanya satu golongan yang selamat.
Menurut KH. Sholeh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan
golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah
Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
KH. Sholeh Darat juga selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat
menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari al-Qur’an adalah dorongan kepada umat
manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia
dan akhirat”.
Dalam Kitab tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, KH. Sholeh
Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama
sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat.
Misalnya, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta
’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham manunggaling kawulo
Gusti-nya Syekh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang
taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya. Lebih jauh
diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan orang yang
mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya,
seperti sholat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap
saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau.
Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan
kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia
sangat sedih jika ada orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala
nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori
kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala
perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus
dikembangkan hingga akhir hayatnya.

DICULIK PULANG OLEH MBAH HADI GIRIKUSUMO


Ketinggian ilmu KH. Sholeh Darat tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya
monumental dan keberhasilan para santrinya menjadi para kiai besar tetapi juga bisa
dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat KH. Sholeh Darat Darat bermukim di
Mekkah. Ia dipilih menjadi salah seorang pengajar di Mekkah. Di sinilah
KH. Sholeh Darat bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo pendiri pondok pesantren
Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Ia merupakan figur yang
sangat berperan dalam menghadirkan KH. Sholeh Darat ke bumi Semarang.
Melihat kehebatan KH. Sholeh Darat, Mbah Hadi Girikusumo merasa terpanggil
untuk mengajaknya pulang bersama-sama ke tanah air untuk mengembangkan islam
dan mengajar umat Islam di Jawa yang masih awam. 
Namun karena KH. Sholeh Darat sudah diikat oleh penguasa Mekkah untuk menjadi
pengajar di Mekkah, sehingga ajakan pulang itu ditolak. Namun Mbah Hadi nekat,
KH. Sholeh Darat diculik, di ajak pulang. Agar tidak ketahuan, saat mau naik kapal
untuk pulang ke Jawa, KH. Sholeh Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang
bawaannya. Namun di tengah jalan ketahuan, jika Mbah Hadi menculik salah
seorang ulama di Masjid Mekkah. Akhirnya pada saat kapal merapat di pelabuhan
Singapura, Mbah Hadi ditangkap.
Jika ingin bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda. Para
murid Mbah Hadi yang berada di Singapura mengetahui bila gurunya sedang
menghadapi masalah besar, akhirnya membantu menyelesaikan masalah tersebut
dengan mengumpulkan dana iuran untuk menebus kesalahan Mbah Hadi dan
menebus uang ganti kepada penguasa Mekkah atas kepergian KH. Sholeh Darat.
Akhirnya, Mbah Hadi dan KH. Sholeh Darat berhasil melanjutkan perjalanan dan
berhasil mendarat ke Jawa.
Mbah Hadi langsung kembali ke Girikusumo, sedangkan KH. Sholeh Darat menetap
di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan
Islam.

MENDIRIKAN PESANTREN
Karir KH. Sholeh Darat diawali sebagai guru yang diperbantukan di pesantren
Salatiyang yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo. Pesantren ini
didirikan sekitar abad 18 oleh tiga orang sufi, masing-masing KH. Ahmad
(Muhammad) Alim, KH. Muhammad Alim (putra Mbah KH. Ahmad Alim), dan
KH. Zain al Alim (Muhammad Zein, juga putra Mbah Kiai Ahmad Alim).
Dalam perkembangan selanjutnya pesanten ini dipercayakan kepada KH. Zain al
Alim. Sementara Mbah KH. Ahmad (Muhammad) Alim mengasuh sebuah
pesantren, belakangan bernama al-Iman, di desa Bulus, Kecamatan Gebang.
Adapun KH. Muhamad Alim (putra Mbah Kiai Ahmad Alim) mengembangkan
pesantrennya juga di Desa Maron, yang kini dikenal dengan pesantren al-Anwar.
Jadi kedudukan KH. Sholeh Darat adalah sebagai pengajar yang membantu Kiai
Zain al Alim (Muhammad Zein).
Pesantren Salatiyang sendiri lebih menfokuskan pada bidang penghafalan al-Qur’an,
di samping mengajar kitab kuning. Di sinilah besar kemungkinannya, KH. Sholeh
Darat diperbantukan untuk mengajar kitab kuning, seperti fiqh, tafsir dan nahwu
Sharaf, kepada para santri yang sedang menghafal al-Qur’an.
Di antara santri jebolan Salatiyang adalah Kiai Baihaqi (Magelang). Kiai Ma’aif,
Wonosobo, Kiai Muttaqin, Lampung Tengah, Kiai Hidayat (Ciamis), KH. Fathulah
(Indramayu), dan lain sebagainya.
Tidak jelas, berapa lama KH. Sholeh Darat mengajar di pesantren Salatiyang.
Sejarah hanya mencatat, bahwa pada sekitar 1870-an KH. Sholeh Darat mendirikan
sebuah pesantren baru di Darat, Semarang.
Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya, al-Hikam, Yang ditulis rampung
dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M. Pesantren
Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarang setelah pesantren Dondong,
Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua
mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula KH. Sholeh Darat pernah
menimba ilmu sebelum pergi ke Mekkah.
Selama mengasuh pesanten, KH. Sholeh Darat dikenal kurang begitu memperhatikan
kelembagaan pesantren. Karena faktor inilah, pesantren Darat hilang tanpa bekas
sepeninggalan KH. Sholeh Darat, pada 1903 M. konon bersamaan meninggalnya
KH. Sholeh Darat, salah seorang santri seniornya, KH. Idris dari Solo, telah
memboyong sejumlah santri dari Pesantren Darat ini ke Solo. KH. Idris inilah yang
kemudian menghidupkan kembali pondok pesantren Jamsaren, yang pernah
didirikan oleh KH. Jamsari.
Ada versi lain yang menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh KH. Sholeh
Darat bukanlah pesantren dalam arti sebenarnya, di mana ada bangunan fisik yang
mendukung. Pesantren Darat hanyalah majelis pengajian dengan kajian bermutu
yang diikuti oleh parasantri kalong. Ini mungkin terjadi, mengingat kedekatan
pesantren Darat dengan pesantren Mangkang, dimana KH. Sholeh Darat pernah
belajar di sana, bisa mempengaruhi tingkat ketawadlu’an kiai senior.

KAROMAH
KH. Shaleh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam
penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang. Ayahnya yaitu KH
Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang
Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.
Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shaleh kecil mulai mengembara,
belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab
fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-
Khatib).Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Balawi demi mengkritisi kajian Jauharah
at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin ka rya Al-
Ghazali.
Masih di kota lumpia, Semarang, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad
al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke-
19 dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani.
Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri
kepada Kiai Syada’ dan Kiai Murtadla pun dijalaninya yang kemudian
menjadikannya sebagai menantu. Setelah menikah, Shaleh Darat merantau ke
Makkah, di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syekh
Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid
Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi.
Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden
Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi pelopor
penerjemahan Alquran ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kiai Shaleh Darat,
RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam.
Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Alquran.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA
Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh
Darat.
Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat
tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta
agar Alquran diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab
suci yang tidak diketahui artinya.
Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang
menerjemahkan Alquran. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini. Beliau
menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga
tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman, tafsir
pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Kitab ini pula yang
dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M.
Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang.
Sebagai Wali Allah Mbah Shaleh Darat juga dikenal memiliki karamah. Makamnya
pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal yang suka
mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (Hamim Jazuli).
Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Shaleh Darat sedang berjalan kaki menuju
Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil. Begitu mobil
mereka menyalip Mbah Shaleh, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan lagi
setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shaleh Darat.
Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah Shaleh Darat yang besar,
pemerintah Belanda mencoba menyogok Mbah Shaleh Darat. Maka diutuslah
seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah Shaleh, dengan
harapan Mbah Shaleh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda.
Mengetahui hal ini Mbah Shaleh Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah
bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu. Namun kemudian
Mbah Shaleh Darat menyesal telah memperlihatkan karomahnya di depan orang.
Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir
hayatnya.

TEMAN-TEMAN SEPERGURUAN
Semasa belajar di Makkah, KH. Sholeh Darat banyak bersentuhan dengan ulama-
ulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya
adalah:
1. Syekh Nawawi al-Bantani
2. Syekh Ahmad Khatib
Ia seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei
1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam
sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah KH. Hasyim
As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murid Ahmad Khatib. Tercatat
ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kiitab Al-Nafahat dan
Al-Jawahir fi A’mal a-Jaibiyyat.
3. KH. Mahfuzh a-Tirmasi
Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada
Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun 1338 H (1918 M).
4. KH. Khalil Bangkalan, Madura
Ia adalah salah seorang teman dekat Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup
terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. ia
belajar di Mekkah sekitar pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1923.

KARYA-KARYA
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang
menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang ditulis
dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak (1786-1875 M) yang
banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya KH. Sholeh Darat adalah
satu-satunya kiai akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaanya berbahasa Jawa.
Adapun karya-karya KH. Sholeh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan,
berjumlah tidak kuang dari 13 buah, yaitu:
1. Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam. Kitab ini khusus membahas
persoalan fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.
2. Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali. Sebuah kitab yang
merupakan petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 3 dan 4.
3. Al-Hikam karya Ahmad bin Athailah. Kitab ini merupakan terjemahan dalam
bahasa Jawa.
4. Lathaif al-Thaharah. Kitab ini berisi tentang hakikat dan
rahasia shalat, puasa dan keutamaan bulan muharram, Rajab dan Sya’ban.
Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.
5. Manasik al-Haj. Kitab ini berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.
6. Pasolatan. Kitab ini berisi hal-hal yang berhubungan
dengan shalat (tuntunan shalat) ima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa
Jawa dengan Huruf Arab pegon.
7. Sabillu ‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani. Kitab ini
merupakan terjemahan berbahasa Jawa.
8. Minhaj al-Atkiya’. Kitab ini berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa
atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
9. Al-Mursyid al-Wajiz. Kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu
Tajwid.
10. Hadits al-Mi’raj
11. Syarh Maulid al-Burdah
12. Faidh al-Rahman. Kitab ini ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. kitab ini
diterbitkan di Singapura.
13. Asnar al-Shalah
Hampir semua karya KH. Sholeh Darat ditulis dalam bahasa Jawa dan menggunakan
huruf Arab (Pegon atau Jawi); hanya sebahagian kecil yang ditulis dalam bahasa
Arab. Dari 13 kitab karya KH. Sholeh Darat berhasil dikumpulkan. Sebagian kitab
tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura. Hingga kini, keturunan
KH. Sholeh Darat terus melakukan pencarian dan penelusuran kitab-kitab tersebut ke
masing-masing keluarga keturunan KH. Sholeh Darat di Jepara, Kendal, bahkan
sampai ke negara-negara Timur Tengah.

Anda mungkin juga menyukai