Anda di halaman 1dari 21

Khulu’ Menurut KH Sholeh Darat Dalam Tafsir Faidu Rahman

Mumtaz Taqi Nauval Abdullah 1, Rahadi Irfan Wijaya 2

1
mumtaz.97nauval@gmail.com, 2rahadiirfan90@gmail.com
1,2 Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia

Abstrak

Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai macam kasus atau kejadian rumah tangga,
seperti keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai itu
dimiliki oleh laki-laki (suami). Akan tetapi bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi
terhadap wanita, karena hukum Islam telah memberikan solusi bagi wanita yang mengalami
gencatan atau beban rumah tangga untuk melakukan gugatan cerai pada suami, dengan cara
memberikan upah atau iwadh sebagai tebusan dan bentuk membebaskan dirinya dari ikatan
suami istri, yang bisa bisa disebut dengan khulu’. Pada makalah ini penulis akan memaparkan
penafsiran ayat khulu’ menurut KH. Sholeh Darat dalam kitab tafsirnya yang bernama Tafsir
Faidhu Rahman yang mana beliau menggunakan metode tafsir tahlili.

Kata Kunci : Khulu', KH Sholeh Darat , Tafsir Faidurrahman.


A. Pendahuluan

Pada zaman Jahiliyyah suami berhak menceraikan isterinya dengan tidak ada
batasnya meskipun sudah menceraikannya seratus kali, selama si isteri berada pada masa
iddah. Mereka tidak mengenal perikemanusiaan atau keadilan dalam memperlakukan
isteriisterinya. Sampai datangnya Nabi Muhammad SAW yang sama sekali tidak
menyutujui kebiasaan perceraian tersebut. Beliau menghilangkan kebiasaan ini secara
bertahap karena kebiasaan ini telah mendarah daging di zaman jahiliyah. Hukum Islam
memberi jalan kepada isteri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu‟,
sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan isterinya
dengan jalan talak.
Nikah merupakan suatu ibadah yang dianjurkan oleh agama dan sebagai ittiba'
Rasululullah SAW. Tujuan dari nikah itu sendiri adalah membentuk keluarga sakinah,
mawaddah, warahmah dan juga membentuk keturunan yang kuat dalam Bergama.
Namun seiring berjalannya waktu banyak masalah yang timbul ketika dua orang telah
menikah tersebut menemui suatu masalah yang sukar untuk dihadapi. Kadang hal
tersebut membuat isteri mengajukan permintaan cerai terhadap sang suami. Apalagi saat
ini hal tersebut sudah menjadi fenomena yang tak asing lagi. Banyak sosial media yang
menayangkan tentang kasus-kasus perceraian yang didasari permintaan seorang isteri
kepada suaminya untuk bercerai. Berangkat dari banyak hal tersebut penulis mencoba
menjelaskan mengenai permintaan cerai seorang isteri kepada suaminya atau dalam
istilah fiqh disebut : “khulu’” menurut KH Sholeh Darat dalam kitab tafsirnya yang
bernama Faidhu Rahman.

B. Biografi KH Soleh Darat

Nama lengkap K.H. Sholeh Darat adalah Muhammad Shalih ibn Umar al-
Samarani.1 Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, ia kerap menggunakan nama Syeikh Haji
Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani.2 Ada beberapa alasan mengapa ia dipanggil
1
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do‟a (Yogyakarta: KUTUB,
2006),hal8.
2
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hal 73.
dengan panggilan K.H. Sholeh Darat, pertama sesuai dengan akhir surat yang ia kirim
pada penghulu Tafsir Anom, penghulu kraton Surakarta, yaitu al-Faqir Muhammad Shalih
Darat dan ia juga menulis nama Muhammad Shalih bin Umar Darat Semarang ketika
menyebut nama-nama gurunya dalam Kitab Mursyîd al-Wajîz. Kedua, sebutan Darat di
belakang namanya karena ia tinggal di sebuah daerah yang bernama Darat (sebuah
kawasan di pesisir utara Semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar
Jawa).3 Ketiga, nama Darat disematkan pada nama panggilannya karena ia mengabadikan
Pesantren Darat, tepatnya di daerah Darat, Semarang.4

K.H. Sholeh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong,


Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada tahun 1235 H/1820 M, 5 bertepatan dengan detik-
detik ketegangan antara Belanda dan Pangeran Diponegoro. 6 K.H. Sholeh Darat
meninggal dunia pada usianya ke-83 tahun, di Semarang pada hari Jum‟at Legi tanggal
28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.7 Ia dimakamkan di pemakaman umum
Bergota, dan jalan menuju pemakamannya kini diberi nama Jl. K.H. Sholeh.8
Ayahnya bernama K.H. Umar ibn Tasmin yang merupakan seorang ulama yang
disegani di kawasan pantai utara Jawa. K.H. Umar juga termasuk seorang pahlawan
pejuang kemerdekaan Indonesia, ia memiliki peran yang penting di masyarakat dalam
menggerakkan warganya untuk memerangi tentara kolonial Belanda. K.H. Umar beserta
kolega, kawan, dan santri-santrinya masuk dalam barisan medan pertempuran Perang
Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830.9

3
Ghazali Munir, Warisan Intelektual Islam Jawa: Dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih al-Samarani
(Semarang: Walisongo Press, 2008), hal 35.
4
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis Tafsir Faidh al-Rahmân
Karya Kiyai Sholeh Darat”, Jurnal el-Umdah Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2018,hal 52.
5
Mastuki HS, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2004),hal 137.
6
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara (Yogyakarta: Global Press,
2020), hal39.
7
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do‟a, hal 66.
8
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi, Historiografi, dan Kontekstualisasi
Pendidikan Islam di Nusantara,hal 4.
9
Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al-Eahman Karya KH Sholeh Darat al-
Samarani”, Living Islam: Journal of Islam Discourses, Vol. 1, No. 1, Juni 2018, 94
Dilihat dari silsilah keturunannya, K.H. Sholeh Darat masih keturunan Sunan
Kudus, yaitu dari ibunya, Nyai Umar binti K.H. Singapadon (Pangeran Khatib) ibn
Pangeran Qodin ibn Pangeran Palembang ibn Syaikh Ja‟far Shodiq (Sunan Kudus).
Pendapat ini diceritakan oleh Agus Tiyanto yang mendapat keterangan dari Habib Lutfi
Pekalongan.10 Data tersebut dapat dikuatkan dengan hubungan K.H. Sholeh Darat dengan
Raden K.H. Muhammad Sholeh Kudus yang masih keturunan dari Sunan Kudus atau
Syaikh Ja‟far Shodiq.11

Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa K.H. Sholeh Darat merupakan
keturunan dari Pangeran Sambu atau Sayyid Abdurrahman Basyaiban. Pendapat yang
lain juga mengatakan bahwa K.H. Sholeh Darat merupakan keturunan dari Syaikh
Ahmad Mutamakkin al-Hajini. Serta ada lagi sebuah pendapat yang menyatakan bahwa
ia masih keturunan Sunan Bonang ibn Sunan Ampel. Namun, pendapat-pendapat tersebut
menuai ketidakjelasan dari mana jalur nasab mereka bertemu.12

Riwayat Pendidikan dan Guru-Guru KH Sholeh Darat

Semasa kecilnya, K.H. Sholeh Darat harus menyaksikan peliknya perang tepat di
usianya yang ke-5 tahun, sebab ayahnya adalah seorang prajurit Pangeran Diponegoro.
Pada masa itu, ulama dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam yang tidak dapat
dikerjasamakan dengan Belanda, maka akan dihambat lajunya atau dibumihanguskan.
Hingga usia K.H. Sholeh Darat beranjak 10 tahun tepatnya pada tahun 1830 H, perang
Jawa sudah mulai redam. Sejak masa itulah K.H. Umar sudah tidak disibukkan dengan
peperangan dan dapat menggembleng ajaran Islam kepada K.H. Sholeh Darat secara
intensif. Meskipun sebelum itu ayahnya sudah mengenalkannya sendi-sendi akidah dan
syari‟at Islam, namun tidak maksimal sebab kondisi perang yang berkecamuk.13

Selain belajar agama kepada ayahnya sendiri, K.H. Sholeh Darat juga menimba
ilmu agama kepada beberapa ulama di Nusantara. Di antara beberapa gurunya, yakni K.H.
Muhammad Syahid, ulama besar di Maturoyo, Pati, Jawa Tengah.14 Kepadanya K.H.
10
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara 37.
11
Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al-Eahman Karya KH Sholeh Darat
al-Samarani”, 94-95.
12
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara, 38.
13
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara,39.
Sholeh Darat belajar kitab-kitab Fiqih seperti Fath al-Wahhâb, Syarh al-Khâtib, Fath al-
Qarîb, Minhaj al-Qawîm dan beberapa kitab lainnya. Selanjutnya ia pergi ke Kudus dan
mengaji kepada K.H. Muhammad Shalih ibn Asnawi, seorang ulama sufi yang
mengajarkannya beberapa kitab, salah satunya kitab tafsir Jalâlain karya Jalaluddin
Mahalli dan Jalaluddin al-Sayuthi. Sedangkan di Semarang, K.H. Sholeh Darat belajar
berbagai kitab kepada beberapa ulama, di antaranya ia belajar ilmu Nahwu dan Sharaf
kepada K.H. Ishaq Damaran, belajar ilmu Falak kepada K.H. Abu Abdillah Muhammad
Hadi Banguni (Mufti Semarang), belajar kitab Jauharah al-Tauhîd dan Minhâj al-„Âbidîn
kepada K.H. Ahmad Bafaqih Ba‟alawi, dan kitab Masâil al-Sittîn kepada K.H. Abdul
Ghani Bima.14

Selain dibawa menuntut ilmu kepada beberapa guru di Nusantara agar mendapat
pengetahuan, K.H. Umar juga menginginkan K.H. Sholeh Darat belajar melalui
pengalaman. Oleh sebab itu, ayahnya mengajak K.H. Sholeh Darat ke Makkah dan
singgah beberapa saat di Singapura. Sewaktu di Makkah, ia belajar kepada beberapa
ulama masyhur, di antaranya sebagai berikut.

A. Syaikh Muhammad al-Muqrî al-Misrî al-Makkî, kepadanya ia belajar ilmu


„aqa‟id dengan kitab Umm al-Bahrain karya Muhammad al-Sanusi;

B. Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah pengajar di Masjid al-Haram dan


Masjid al-Nabawî, kepadanya ia belajar Syarh al-Khâtib, Fath al-Wahhâb, dan
Alfiyah Ibnu Mâlik beserta Syarh-nya;

C. Sayyid Muhammad ibn Zaini Dahlan seorang Mufti Syaf‟iyyah di Makkah,


kepadanya ia belajar kitab Ihyầ „Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali dan
mendapat ijazah dari pembelajaran tersebut;

D. Al-„Alamah Ahmad al-Nahrawi al-Misri al-Makki, kepadanya ia belajar kitab


al-Hikâm karya Ahmad ibn „Athâ‟illah

E. Sayyid Muhammad Salih al-Zawawi pengajar di Masjid al-Haram, kepadanya


ia belajar kitab hy „Ulûm al-Dîn Juz I dan II, dan lain-lain.15

14
Bagus Irawan, dkk, “Biografi Kiai Sholeh Darat”, dalam Syarah Al-Hikam karya Kiai Sholeh Darat (Depok: Penerbit
Safiha, 2016), 27.
15
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis Tafsir Faidh al-Rahmân Karya
Kiyai Sholeh Darat”, 53.
Beberapa ulama yang hidup sezaman dengan K.H. Sholeh Darat antara lain, yakni
K.H. Nawawi al-Bantani (1813-1897 M), K.H. Ahmad Khalil Bangkalan Madura (1819-
1875 M), K.H. Ahmad Katib Minangkabau (1855-1916), K.H. R. Asnawi Kudus (1861-
1925 M), K.H. Mahfudz al-Tirmisi (1868-1919 M), K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923 M),
K.H. Hasyim Asy‟ari (1871-1947 M), K.H. Ahmad Rifa‟i Kalisasak (1786-1875 M), dan
K.H. Ahmad Khatib Sambas (w. 1875 M).16

Murid – Murid KH Soleh Darat

Setelah beberapa tahun menetap di Makkah untuk belajar dan mengajar, K.H.
Sholeh Darat memutuskan untuk kembali ke Semarang untuk berkhidmat di tanah
kelahirannya dalam menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Setibanya di Semarang, K.H.
Sholeh Darat dinikahkan dengan seorang perempuan bernama Sofiyah, puteri K.H. Murtada
yang merupakan teman seperjuangan ayah K.H. Sholeh Darat sebagai prajurit Pangeran
Diponegoro dalam perang Jawa. Sejak saat itulah K.H. Sholeh Darat menetap dan
melanjutkan menuntut ilmu kepada beberapa ulama serta mendirikan pondok pesantren di
Semarang, sebagaimana tradisi ulama Jawa dan Patani pada masa itu, bahwa sepulang dari
Makkah harus mendirikan pusat belajar mengajar yang berupa pondok pesantren. Pondok
pesantren tersebut semula tidak memiliki nama, namun seiring berjalannya waktu terkenal
dengan nama Pondok Pesantren Darat.17

Dari banyaknya murid yang menuntut ilmu kepada K.H. Sholeh Darat, ada
beberapa murid yang kemudian menjadi kiai karismatik dan terkenal di Nusantara. Di antara
muridnya ialah K.H. Hasyim Asy‟ari (pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadiyah), K.H. Mahfudz (pendiri Pondok Pesantren Tremas, Pacitan), K.H.
Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), K.H. Sya‟ban (ulama ahli falak), K.H.
Dalhar (pendiri Pondok Pesantren Watucongol, Magelang), K.H. Munawwir (pendiri Pondok

16
Abdul Rouf Al Ayubi, “Sejarah Pengaruh Pemikiran KH Sholeh Darat Terhadap Pemikiran R.A. Kartini tentang
Emansipasi Perempuan”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab dan Humaniora, 2019), 38-42.
17
M. Masrur, “Kyai Sholeh Darat, Tafsir Faidh al-Rahmân dan R.A. Kartini”, Jurnal At-Taqaddum, Vol. 4, No. 1, Juli
2012, 33.
Pesantren al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta), Penghulu Tafsir Anom (Keraton Surakarta),
dan R.A. Kartini.18

Tafsir Faidh al-Rahman


Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ulama Indonesia mulai banyak yang
menghasilkan karya tulis besar, salah satunya adalah K.H. Sholeh Darat yang menulis
Tafsir Faidh al-Rahmân fi Tarjumâni Tafsîr Kalâm Malik al-Dayyân.19 Pada bagian ini,
penulis akan memaparkan sekelumit hal yang berkaitan dengan Tafsir Faidh al-Rahmân
karya K.H. Sholeh Darat.

1. Profil dan Latar Belakang Penulisan Tafsir Faidh al-Rahmân

Sejarah penulisan Tafsir Faidh al-Rahmân bermula ketika K.H. Sholeh Darat
menggelar pengajian rutin di pendopo kesultanan Demak. Kebetulan saat itu Raden Ajeng
Kartini berkunjung ke rumah pamannya yang tinggal di Demak, yakni Ario Hadiningrat,
seorang bupati Demak. Kartini pun mengikuti pengajian K.H. Sholeh Darat yang kala itu
sedang membahas penafsiran surat al-Fâtihah.20 Hal tersebut membuat Kartini tertarik
untuk mempelajari makna ayat-ayat Al-Qur‟an kepada K.H. Sholeh Darat, sebab
sebelumnya dia pernah bertanya makna sebuah ayat Al-Qur‟an kepada guru ngajinya
namun tidak mendapat jawaban justru gurunya memarahinya.21

Akibat ketertarikan Kartini dalam mempelajari tafsir Al-Qur‟an, ia pun


memberikan usul kepada K.H. Sholeh Darat agar menerjemahkan Al-Qur‟an kedalam
bahasa Jawa. Usulan tersebut disambut baik oleh K.H. Sholeh Darat, hingga terhimpunlah
terjemah beserta penafsirannya dalam sebuah kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan
huruf arab gundul tanpa harakat (pegon) dan bahasa Jawa. Dari Kitab Tafsir Faidh al-
22

18
Novi Laila Athiyah, “Penafsiran Sufistik tentang Haji dalam Tafsir Faidh al-Rahmân ”, Skripsi (Jakarta: Fakultas
Ushuluddin, 2021), 29.
19
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis Tafsir Faidh al-Rahmân
Karya Kiyai Sholeh Darat”, 48.
20
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi, Historiografi, dan Kontekstualisasi
Pendidikan Islam di Nusantara, 4.
21
Abdul Rouf Al Ayubi, “Sejarah Pengaruh Pemikiran KH Sholeh Darat Terhadap Pemikiran R.A. Kartini Tentang
Emansipasi Perempuan”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab dan Humaniora, 2019), 28-30
22
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi, Historiografi, dan Kontekstualisasi
Pendidikan Islam di Nusantara, 20.
Rahmân karya K.H.. Sholeh Darat itulah Kartini terinspirasi untuk menulis sebuah karya
yang hingga sekarang dikenal dengan judul „Habis Gelap Terbitlah Terang‟. 23 Kitab Tafsir
Faidh al-Rahmân salinan pertama menjadi hadiah dari K.H. Sholeh Darat dalam
pernikahan Raden Ajeng Kartini dengan RM. Joyodiningrat.24
Pada akhir tahun 1800-an, pemerintah kolonial Belanda tidak melarang umat Islam
mempelajari Al-Qur‟an, namun tidak untuk diterjemahkan. Hal ini bertujuan agar
masyarakat Indonesia tidak mengerti makna dan maksud yang terkandung di dalam Al-
Qur‟an. Namun, K.H. Sholeh Darat tidak kehabisan akal. Ia menulis tafsir menggunakan
tulisan Arab-Jawa (Pegon) agar tidak diketahui oleh Belanda.25

2. Karakteristik
Karakteristik Tafsir Faidh al-Rahmân terletak pada bahasa yang digunakan yakni
dengan bahasa al-Jawi al-Mirkiyah atau bahasa Jawa ngoko, yakni bahasa Jawa yang
digunakan oleh masyarakat awam Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Alasan K.H. Sholeh
Darat menggunakan bahasa Jawa ngoko karena ia mengetahui situasi dan kondisi
masyarakat Jawa yang lebih dominan dengan kaum bangsawan, serta alasan berikutnya
adalah agar mudah dipahami oleh siapapun.26
Unggah-ungguh (tingkatan-tingkatan bahasa, aturan pemilihan kata, susunan tata
bahasa) dalam bahasa Jawa terbagi atas dua, yaitu bentuk krama27 dan ngoko.28 Bentuk
krama terbagi dua, yaitu krama alus29 dan krama lugu30.
23
Anita Marwing dan Yunus, Perempuan Islam dalam Berbagai Perspektif, 119.
24
Islah Gusmian, Dinamika Tafsir Al-Qur‟an Bahasa Jawa Abad 19-20 M (Surakarta: Efedu Press, 2015), 49.
25
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai, 76.
26
Badiatul Roziqin, dkk, Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e.Nusantara, 2009), 329
27
Badiatul Roziqin, dkk, Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia, 329

28
Bentuk krama adalah tingkat tutur kata yang mengungkapkan arti penuh sopan santun. Bentuk krama menandakan
adanya perasaan segan pembicara terhadap lawan bicara.

29
Krama alus merupakan bentuk tata bahasa jawa yang semua kosakatanya terdiri dari leksikon krama. Penggunaan
krama alus biasanya digunakan sebagai wujud penghormatan terhadap lawan bicara. Contohnya, “Kala wau dalu
panjenengan siyos mriksani ringgit?”, artinya, tadi malam Anda jadi melihat wayang kulit? Afiks (bentuk terikat
yang apabila ditambahkan pada kata dasar atau bentuk dasar akan mengubah makna gramatikal) yang digunakan
dalam krama alus adalah dipun-, -ipun, -aken, di-, -e, dan –ake

30
Krama lugu adalah bentuk susunan tata bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk krama, begitu juga
dengan awalan dan akhirannya. Contohnya, “Panjenengan nopo empun nate tindak teng Rembang?”, artinya,
Apakah Anda sudah pernah pergi ke Rembang? Afiks yang digunakan dalam bentuk krama lugu adalah di-, e-, -ake,
dipun-, ipun-, -aken, dan mang-.
Metode Penafsiran
Seiring dengan perkembangan ilmu tafsir, terdapat empat macam metode tafsir,
yaitu a) metode ijmali (global), yakni menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an secara ringkas
namun mencakup keseluruhan dengan bahasa yang populer dan mudah di mengerti; b)
metode tahlili (analitis), ialah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur‟an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan
keahlian mufasir yang menafsirkan ayat tersebut; c) metode muqarin (perbandingan),
merupakan penafsiran sekelompok ayat Al-Qur‟an yang membahas suatu masalah dengan
cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis baik dari segi isi
maupun redaksi; dan d) metode tematik, yakni metode yang membahas ayat-ayat Al-
Qur‟an sesuai dengan tema yang telah ditentukan.31

Berpacu pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Tafsir Faidh al-
Rahmân ditulis menggunakan metode tahlîlî atau metode analitis. Dalam menafsirkan Al-
Qur‟an, K.H. Sholeh Darat menjelaskan makna-makna yang terkandung di dalam sebuah
ayat sesuai dengan keahlian dan kecenderungannya, yang disertai corak fikih dan sufistik.
Ciri metode tahlili lainnya yang dapat dilihat dalam penafsiran K.H. Sholeh Darat ialah
disertakannya latar belakang turunnya ayat (asbâb al-nuzûl), pencantuman hadis-hadis
Nabi Muhammad Saw., perkataan sahabat dan pendapat ulama-ulama ahli tafsir lainnya.

Hak Menggugat Cerai bagi Perempuan (Khulu’)

Makna Khulu’

Khulu’ menurut bahasa yang berasal dari kata ‫ َخ َل َع‬yang berarti melepaskan atau
menghilangkan.32 Sedangkan apabila men-dhamahkan huruf kha maka mempunyai arti yaitu
menghilangkan ikatan perkawinan.33 Dan berasal dari kalimat ‫ َخ َلَع اَّلثْو َب‬yang artinya melepaskan

31
Hadi Yasin, “Mengenal Metode Penafsiran Al-Qur‟an”, Jurnal Tadzhib Akhlak, Vol. 3, No. 1, 2020, 41-49.
32
S. Askar, Kamus Arab Indonesia Al -Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2009), h. 159
33
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu,Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani,
2011), h. 418
baju, karena perempuan diibaratkan pakaian laki-laki dan laki-laki sebagai pakaian bagi
perempuan.34 Sebagaimana Allah berfirman:

‫ُهَّن ِلَباٌس َّلُك ْم َو َاْنُتْم ِلَباٌس َّلُهَّن‬

“Mereka (isteri-isteri) merupakan pakaian bagimu dan kamu meru pakan

pakaian mereka”. (Q.S Al-Baqarah: 187)

Khulu’ menurut istilah, adalah menebus isteri akan dirinya kepada suaminya dengan
hartanya, maka tertalaklah dirinya.35Dan maksud khulu’ yang dikehendaki menurut ahli fikih
adalah permintaan isteri kepada suaminya untuk menceraikan dirinya dari ikatan perkawinan
dengan disertai pembayaran ’iwadh, berupa uang atau barang kepada suami dari pihak isteri
sebagai imbalan penjatuhan talaknya.

Penjelasan mengenai khulu‟ atau hak menggugat cerai bagi perempuan, yakni sebagai
berikut.

‫﴿ َالَّطاَل ُق َم َّر ٰت ِن ۖ َفِاْمَس اٌۢك ِبَم ْع ُرْو ٍف َاْو َتْس ِرْيٌۢح ِبِاْح َس اٍن ۗ َو اَل َيِح ُّل َلُك ْم َاْن َتْأُخ ُذ ْو ا ِمَّم ٓا ٰا َتْيُتُم ْو ُهَّن َش ْئًـ ا ِآاَّل َاْن َّيَخ اَف ٓا‬
‫َااَّل ُيِقْيَم ا ُح ُد ْو َد ِهّٰللاۗ َفِاْن ِخ ْفُتْم َااَّل ُيِقْيَم ا ُح ُد ْو َد ِهّٰللاۙ َفاَل ُجَناَح َع َلْيِهَم ا ِفْيَم ا اْفَت َد ْت ِب ٖه ۗ ِتْل َك ُح ُد ْو ُد ِهّٰللا َفاَل َتْعَت ُد ْو َها‬
‫ٰۤل‬
)229 :2/‫ ﴾ ( البقرة‬٢٢٩ ‫َۚو َم ْن َّيَتَع َّد ُح ُد ْو َد ِهّٰللا َفُاو ِٕىَك ُهُم الّٰظ ِلُم ْو َن‬

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk)
dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu (mahar) yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan batas-batas
ketentuan Allah. Jika kamu (wali) khawatir keduanya tidak mampu menjalankan batas-
batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus)
diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah,
janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar batas-batas (ketetuan) Allah,
mereka itulah orang-orang zalim. (Q.S. al-Baqarah/2 : 229)

Ayat ini menjelaskan mengenai rujuk dan larangan laki-laki mengambil kembali mahar
yang telah diberikan saat pernikahan. Namun, di samping itu ayat ini menunjukkan bahwa tidak
34
Ibrahim Muhammad Al -Jamal, fiqh al-Mar’ah Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 329
35
Abu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadist, 2003), III :182
ada halangan bagi seorang istri mengajukan gugat cerai yang di dalam Islam di sebut dengan
khulu‟. Dalam redaksi tekstual ayat tersebut disebutkan bahwa istri yang menggugat cerai harus
mengembalikan sejumlah mahar yang diberikan suaminya saat menikah untuk menebus dirinya
dengan tebusan yang disebut dengan ‘iwadh.

Asbabun Nuzul

Dalam menafsirkan ayat ini, K.H. Sholeh Darat lebih banyak membahas tentang khulu’.
Dalam pembahasan khulu’, terlebih dahulu beliau menjelaskan asbabun nuzul ayat tentang
khulu’ tersebut. K.H. Sholeh Darat menyebutkan sebagai berikut.

“Iki ayat asale nuzule (temurune) setuhune Jamilah binti Abdullah bin Abi iku ora demen
maring lanange, lan iyo iku Tsabit bin Qais. Kerono Jamilah iku ayu rupane, ananggeng
Tsabit iku olo rupane. Mongko dadi ora biso anuwon-nuwon selawase. Mongko nuli
suwiji waktu, tukaran wadon marang lanange mongko nuli muleh wadon marang omahe
bapake Abdullah. Mogko nuli wadul Hamilah ing bapake ing hale bojone, “Setuhune
Tsabit niku misoh-misoh ing kulo lan nyumpah-nympah bapak kulo.” Mongko ngucap
Abdullah, “Muliyo siro. Aku ora demen ing wong wadon ing kang den ajari bojone nuli
wadol-wadol ing bapake.” Baliyo siro, nuli antara dino bali maleh muleh hinggo ambal
kaping telu sertane wadon (lambene) den pukul lanange, mongko nuli ngucap Abdullah,
“Baliyo siro maring bojomu.” Mongko tatkolone wes weroh wadon setuhune bapake iku
ora keno den waduli. Mongko nuli terus wadul Jamilah matur marang kanjeng Nabi sw.
matur madolalen ing hale bojone sertane nuhuhaken wadon ing labete den pukul lakine
mongko uli nimbali Rasulullah saw. ing Tsabit. Mongko nuli, “Danguho, Ya Tsabit, opo
siro aku gawe wirang wadon siro koyok mengkono-kono karo siro anggawe opo?”
Mongko matur Tsabit, “Astone bonten wonte ingkang kawula kasihi liyane ngendiko
Rasulullah, namung bojo kulo puniki.” Mongko ngendiko Kanjeng Nabi, “Ya Jamilah,
koyok opo pengucap siro?” Mongko matur wadon, “Enggeh, leres, Ya Rasulullah.
Tetapine kulo sampun purun pisan-pisan kumpul kalian tiang jaler kulo puniki. Ajreh
kulo ing awak kulo. Mugi tuan wedalaken kulo sangking ningali bojo kulo puniki.
Enggeh leres kiambake demen ing kulo, tetapine kulo mboten demen babar pisan.”
Mongko matur Tsabit, “Kulo sampun nyukani mas kawin kiambake rupi yustani kebon
kurma anggur. Kulo dawoh ngendiko, Ya Rasulullah dumateng puniki istri ingkang
supados purun mangsulaken beta‟an kulo lan nuntut kulo colaken.” Mongko nuli
ngendiko Kanjeng Nabi, “Ya Jamilah, onoto siro gelem balek aken gongonane mengko
dadi biso nguwasani siro ing awak iro.” Mongko matur wadon, “Enggeh, kulo sukaaken
jur ugi den colaken kulo.” Mongko ngendiko Kanjeng Nabi, “Ya Tsabit, terimonen kebon
kurmo iro lan talako siro kelawan talak.” Mongko iki awale khulu‟ bil Islam, mongko
temurun ayat”

“Asal turunnya ayat ini adalah ketika Jamilah binti Abdullah bin Abi tidak suka dengan
suaminya yaitu Tsabit bin Qais. Sebab, Jamilah merupakan perempuan yang cantik,
sedangkan Tsabit seorang yang jelek. Sehingga, ia tidak bisa meneruskan
(pernikahannya) untuk selamanya. Pada suatu waktu ia bertengkar dengan suaminya.
Kemudian ia pulang ke rumah ayahnya, yaitu Abdullah, dan mengadukan perilaku
suaminya kepada ayahnya, “Sesungguhnya Tsabit itu marah dengan berkata kasar
kepadaku dan menyumpahi ayahku.” Abdullah berkata, “Pulanglah kamu. Aku tidak suka
dengan perempuan yang dididik oleh suaminya kemudia mengadu ke ayahnya.” Maka
pulanglah Jamilah dan kembali lagi di lain hari hingga tiga kali dengan menunjukkan
bekas pukulan suaminya. Abdullah berkata, “Pulanglah kamu pada suamimu.” Akhirnya
Jamilah mengerti bahwa ayahnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai tempat mengadu.
Sehingga, ia mengadukan perilaku suaminya kepada Rasulullah saw. dengan
menunjukkan bekas pukulan suaminya. Rasulullah pun memanggil Tsabit dan berkata,
“Wahai Tsabit, mengapa kamu memperlakukan istrimu dengan memalukan?” Lalu Tsabit
menjawab, “Tidak ada yang aku kasihi selain Rasulullah, hanya istriku seorang”
Rasulullah berkata, “Wahai Jamilah bagaimana menurutmu?” Jamilah menjawab, “Ya,
betul, wahai Rasulullah. Namun, aku tidak mau lagi berkumpul dengan suamiku ini.
Memang betul dia suka kepadaku, tetapi aku tidak suka sama sekali dengannya.” Maka
Tsabit berkata, “Aku sudah memberikan mahar berupa kebun kurma dan anggur. Dan aku
berkata kepada istriku ini, wahai Rasulullah, agar ia mau mengembalikan bawaanku dan
aku minta dilepaskan.” Kemudian Rasulullah berkata, “Wahai Jamilah, apakah kamu mau
megembalikan bawaan yang telah diberikan agar kamu bisa memiliki dirimu lagi?”
Jamilah menjawab, “Ya, aku berikan kemudian aku lepaskan.” Kemudian Rasulullah
bersabda, “Wahai Tsabit, terimalah kebun kurmamu, dan talaklah ia.” Maka inilah awal
mula adanya khulu‟ di dalam Islam, yang kemudian turunlah ayat ini.”36

Dari asbâb al-nuzûl di atas dapat dipahami bahwa ayat ini turun memang untuk
menunjukkan kebolehan perempuan menggugat cerai kepada suaminya dengan cara
mengembalikan mahar yang diberikan oleh laki-laki saat menikahi perempuan tersebut jika
diminta. Jamilah (perempuan dalam kisah di atas) menggugat suaminya dengan alasan suaminya
melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan secara fisik dan verbal
selama beberapa kali dan ia melaporkan perlakuan suaminya kepada Nabi Muhammad saw. dan
mengatakan ia ingin bercerai dengan suaminya. Kemudian Nabi saw. membolehkan Jamilah
untuk menggugat cerai suamiya. Namun, Tsabit (suami Jamilah) merasa dirugikan dengan mahar
yang telah diberikannya saat pernikahan, maka ia meminta agar maharnya tersebut dikembalikan
oleh istrinya. Setelah maharnya dikembalikan, maka Tsabit diminta oleh Nabi untuk
menjatuhkan talak kepada Jamilah, maka resmilah mereka bercerai.

Tentang Khulu’

Dalam persoalan mengenai khulu’, K.H. Sholeh Darat menulis dalam Tafsir sebagai
berikut.

36
Lilis Kurniawati “Isu-isu Perempuan dalam Tafsir Faidh al Rahmân Karya K.H. Sholeh Darat”
“Ono pun lamun wedi lan weruh lanang lan wadon setuhune ugi karone iku ora biso
tekani wajibe zaujih, mongko ora duroko ingatase wadon ing dalem tingkahe nusyuze
nalikani wedi wadon marang rusake awake utowo nambahi ing dalem maksiate. Ora
duroko lamun nebusi awake marang lanange kelawan balek aken mas kawin utowo aweh
arto sangking wadon.”37

“Adapun jika laki-laki dan perempuan (suami dan istri) takut dan mengetahui tidak bisa
menunaikan kewajiban suami istri, maka seorang perempuan (istri) tidak durhaka ketika
perempuan tersebut takut nusyuz seperti takut menyakiti dirinya atau menambah
kemaksiatan. Maka tidak durhaka jika ia menebus suaminya dengan mengembalikan
mahar atau pemberian suaminya atau seorang suami mendapat uang dari istrinya.

Dalam penafsirannya tersebut K.H. Sholeh Darat menjelaskan bahwa seorang istri boleh
menggugat cerai suaminya dengan memperhatikan beberapa keadaan, yaitu 1) jika suami istri
takut atau telah mengetahui bahwa keduanya tidak bisa menunaikan kewajiban suami istri. Tidak
bisa menunaikan kewajiban suami istri dapat dilakukan oleh satu pihak atau bahkan kedua belah
pihak. Misalnya, suami tidak menafkahi istri atau istri tidak melayani suami dengan baik; 2) jika
seorang istri takut nusyuz, seperti takut suaminya bertindak kekerasan (baik fisik maupun non-
fisik) yang dapat menyakiti dirinya atau perbuatan suami menyebabkan istri berbuat maksiat.
Keadaan-keadaan tersebut dapat dijadikan sebagai alasan kebolehan seorang istri mengajukan
gugatan cerai kepada suaminya.

K.H. Sholeh Darat juga menyebut bahwa cara seorang istri mengajukan gugat cerai
terhadap suaminya adalah dengan mengembalikan mahar yang diberikan saat pernikahan, baik
itu berupa barang maupun uang. Suami boleh dan halal menerima pemberian istri sebagai
tebusan dari khulu’. Namun, pada keadaan tertentu seorang suami tidak boleh bahkan haram
menerima pemberian atau tebusan istri yang mengajukan khulu’, yakni suami membuat masalah
sehingga istri mengajukan khulu’. Misalnya, suami mempunyai kebiasaan suka mabuk, tidak
menunaikan hak istri, tidak memberi nafkah kepada istri, atau bertujuan menyengsarakan istri,
maka suami yang seperti itu tidak berhak menerima tebusan dari istri.

Syarat Kebolehan Istri Menggugat Cerai

37
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh al-Rahmân fi Tarjumâni Tafsîr Kalâm Malik al-Dayyân , 416.
Mengenai syarat kebolehan istri menggungat cerai, K.H. Sholeh Darat menyebut dalam
tafsirnya bahwa perempuan atau istri boleh mengajukan khulu’ (gugatan cerai) meskipun tanpa
adanya nusyuz atau kesalahan yang dilakukan oleh suami. Beliau menyebut sebagai berikut.

“Lan ngendiko Jumhur Ulama, setuhune iku wenang senajan ora wedi nusyuz lan ora
wedi ghodob lan ora wedi tumibo maksiat. Tetapine makruh kerono khulu’ iku qat’u al-
washilah.”38

“Dan berkata Jumhur Ulama, sesungguhnya khulu’ itu boleh meskipun tidak takut
nusyuz, tidak takut ghadab, dan tidak takut mengerjakan maksiat. Akan tetapi makruh
karena khulu’ itu memutus hubungan.”39

Artinya, di sini K.H. Sholeh Darat sepakat dengan pendapat mayoritas ulama, yaitu
membolehkan khulu’ meskipun tidak disertai alasan takut nusyuz, atau kesalahan dari suami
maupun istri yang takut berbuat maksiat. Alasan dalam bentuk seperti ini dapat disebabkan oleh
ketidaksukaan seorang istri terhadap suami yang didasari oleh penilaian subjektif. Namun,
khulu’ tanpa ada alasan nusyuz, gadhab, dan maksiat hukumnya makruh.

Sejumlah besar ulama salaf dan khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu’ kecuali
terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak isteri.Sedangkan Syafi‟I berpandangan bahwa khulu’
itu boleh dalam kondisi perselisihan dan keharmonisan.40 Namun khulu’ dalam kondisi pertama
adalah lebih utama dan sesuai dengan yang ia pilih.

Hadis Haram Bau Surga

Selanjutnya, K.H. Sholeh Darat menambahkan penafsirannya dengan mengutip hadis


Nabi Muhammad saw. tentang haram bau surga bagi perempuan yang meminta talak kepada
suaminya. Beliau menyebutkan sebagai berikut.

“Wes ngendika aken Kanjeng Nabi saw.: “Endi-endi wong wadon ingkang njaluk talak
ing lanange ora kelawan sebab wajibe, moko haram ingatase iki wadon gandane
suwargo.”

38
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh al-Rahmân fi Tarjumâni Tafsîr Kalâm Malik al-Dayyân, 416.
39
Lilis Kurniawati “Isu-isu Perempuan dalam Tafsir Faidh al Rahmân Karya K.H. Sholeh Darat”
40
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, (Jakarta: P.T RajaGrafindo
Persada, 2002), hlm. 251.
“Nabi Muhammad saw. telah bersabda: “Perempuan yang meminta talak (cerai) kepada
suaminya tidak karena alasan yang wajib, maka haram baginya bau surga.”

Menurut penulis, hadis ini dikutip dari Ibnu Majah kitab Talak dalam bab
dimakruhkannya perempuan mengajukan gugat cerai. Hadis ini oleh K.H. Sholeh Darat
disandingkan dengan hukum makruhnya menggugat cerai (khulu‟) bagi perempuan. Posisi hadis
ini merupakan penguat dari argumentasi kemakruhan khulu‟ yang tanpa alasan kesalahan dari
suami maupun istri.

Hadis tersebut dapat dipahami sebagai peringatan agar perempuan lebih memperhatikan
alasannya menggugat cerai dan tidak gegabah dalam menentukan keputusan atas masalah rumah
tangga yang berujung pada perceraian. Hadis tersebut juga bisa disinyalir sebagai bentuk
peringatan agar perempuan dan laki-laki dapat mempertahankan keutuhan pernikahannya jika
memang tidak ada masalah yang mengharuskan untuk bercerai.

Seorang istri tidak diperbolehkan dan haram hukumnya jika mencari-cari alasan dan cara
agar bisa lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya. 41 Mencari-cari alasan tersebut
maksudnya mencari-cari kesalahan suami padahal suaminya tidak berbuat nusyuz atau gadhab.
Sebab perceraian bukanlah sebuah keputusan yang dapat dipermainkan, bahkan perceraian
merupakan hal yang dibenci oleh Allah Swt.

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu’ boleh diadakan berdasarkan kerelaan suami
isteri, selama hal itu tidak merugikan pihak isteri. 42 Berdasarkan fiman Allah SWT dalam surat
An-Nisa ayat 19 yang berbunyi:

﴿ )19 :4/‫ ﴾ (النسۤا ء‬١٩ ‫َو اَل َتْعُض ُلْو ُهَّن ِلَتْذ َهُبْو ا ِبَبْع ِض َم ٓا ٰا َتْيُتُم ْو ُهَّن ِآاَّل َاْن َّيْأِتْيَن ِبَفاِح َش ٍة ُّم َبِّيَنٍة‬

“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata”

Jumlah Iwadh

41
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan, 217.
42
Darmiko Suhendra, “Khulu’ Dalam Persfektif Hukum Islam”
Selanjutnya, mengenai jumlah ‘iwadh atau tebusan yang diberikan oleh istri kepada
suami saat menggugat cerai, K.H. Sholeh Darat menyebutkan sebagai berikut.

“Faqola ba’dhuhum, ora wenang khulu’ luweh sangking mas kawini. Faqola
ba’dhuhum, wenang khulu’ senajan luweh sangking mahar al-masyal.”

“Sebagian ulama mengatakan, tidak boleh (membayar ‘iwadh) khulu’ melebihi mahar.
Sebagian yang lain mengatakan, boleh (membayar ’iwadh) khulu’ meskipun nilainya
lebih dari mahar.”

Pada dasarnya, kadar harta tebusan yang diberikan kepada suami tidaklah diatur secara
ketat. K.H. Sholeh Darat menyebutkan bahwa nilai tebusan atau „iwadh dalam khulu‟ menurut
pendapat para ulama berbeda-beda, yakni

1) tebusan dalam khulu‟ tidak boleh nilainya melebihi mahar;

2) tebusan dalam khulu’ boleh nilainya lebih besar dari mahar.

Dua pendapat ini berlainan dan berlawanan. Namun, dapat diambil jalan tengah dari kedua
pendapat ini.

Sebagaimana mazhab Maliki, Syafi‟i, dan Hanafi, mereka memberikan pendapat moderat
bahwa jumlah tebusan khulu‟ sebaiknya disesuaikan dengan kesepakatan antara suami dan istri.
Pendapat ketiga imam mazhab tersebut cukup representatif dan aplikatif, karena bisa jadi
keadaaan ekonomi suami istri ketika awal pernikahan berbeda dengan keadaan menjelang
perceraian. Selain itu, jika besaran tebusan didiskusikan terlebih dahulu, maka akan didapatkan
hasil yang saling nyaman tanpa merugikan salah satu pihak. Sehingga meskipun terjadi
perceraian, hubungan silaturahmi tetap terjaga sebab kedua belah pihak merasa pendapat masing-
masing telah diakomodir dalam proses menentukan besaran tebusan. Konsep seperti ini dinilai
lebih adil dibanding menentukan skala besaran tebusan tanpa adanya diskusi atau musyawarah.

Perbedaan Khulu’ dan Fasakh

Ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dan mufasir mengenai posisi khulu’
dalam Islam. Apakah khulu’ merupakan perceraian atau fasakh (pembatalan pernikahan). Maka
dalam hal ini K.H. Sholeh Darat menulis dapat tafsirnya sebagai berikut.
“Podo suloyo poro ulama ingdalem masalah khulu’ hukume opo. Hukume talak lamun
fasakh, moko ora dadi ngurangaken ing wilangane talak. Ngendiko Imamuna Syafi’i Fil
Jadid, setuhune khulu‟ iku hukume talak.”

“Para ulama berbeda pendapat dalam masalah khulu’ itu hukumnya apa. Hukumnya talak,
jika fasakh, maka tidak mengurangi bilangan talak. Imam Syafi’i berkata dalam Qaul
Jadîd, sesungguhnya khulu’ itu hukumnya talak.”

Lebih jelasnya K.H. Sholeh Darat dalam pernyataannya tersebut menjelaskan bahwa
ketika khulu’ dihukumi sama dengan fasakh maka tidak akan mengurangi bilangan talak. Artinya
perceraian melalui khulu‟ tetap sama takarannya dengan talak. Artinya perceraian melalui
khulu‟ tetap sama takarannya dengan talak. Beliau juga memperkuat dengan pendapat Imam
Syafi‟i yang mengatakan khulu‟ itu hukumnya sama dengan talak. Pendapat beliau ini juga
sesuai dengan asbâb al-nuzûl yang disebutkannya pada awal penafsiran Q.S. al-Baqarah/2: 229,
yakni Tsabit bin Qais diminta oleh Nabi Muhammad saw. untuk menjatuhkan talak kepada
istrinya yang telah mengajukan khulu’ dan mengembalikan mahar.

Pada akhir penafsirannya, K.H. Sholeh Darat menyebut makna isyari dalam pembahasan
mengenai perceraian dan khulu‟. Beliau menyebut dengan jelas dengan redaksi kata makna
isyari, agar pembaca tafsir beliau dapat memahami bahwa bagian ini merupakan penafsiran
beliau dengan corak tafsir sufi isyari, setelah bagian-bagian yang lain ditafsirkan sesuai makna
lahiriah ayat. Corak tafsir sufi isyari adalah meafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an tidak sama dengan
makna lahir dari ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang
dilihat oleh mufasir.

“Ma’na al-isyari: setuhune wong kang ahlan lishohabihi iku ora pisan-pisan podo
pegatan lan pisahan kelawan sebab nerjang sepisan iku ora kelawan sebab nerjang
kepindo. Iku ora balik ngalapaken lan ngapuro kaluputan ambal sepisan utowo pindo,
hinggo yen wes kapeng telu moko ngucap " ‫ " َفِاْمَس اٌۢك ِبَم ْع ُرْو ٍف‬. Ono kalane pegat bagus,
utowo shoheh kang bagus.”

“Makna isyari: sesungguhnya orang yang ahlul lishahabihi itu tidak akan melakukan
perceraian dengan sebab melanggar sekali atau dengan sebab melanggar kedua kali. Itu
tidak pernah melakukan dan memaafkan kesalahan yang pertama atau yang kedua,
sehingga jika sudah yang ketiga maka mengucap, “tahanlah dia dengan baik dan lepaskan
dia dengan baik pula”. Ada kalanya bercerai itu bagus, atau mempertahankan yang lebih
bagus.”

Makna isyari yang diungkapkan oleh K.H. Sholeh Darat menunjukkan penafsirannya
yang bercorak sufi. Dalam makna isyari tersebut, K.H. Sholeh Darat menjelaskan bahwa
mempertahankan hubungan pernikahan jauh lebih baik dibandingkan dengan perceraian. Kecuali
jika kesalahan yang dilakukan oleh pihak suami atau pun pihak istri itu sudah sampai tiga kali
dan bercerai dirasa jauh lebih baik daripada bertahan, maka bercerai adalah keputusan yang
bagus. Dalam keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan pernikahan,
perceraian menjadi lebih bagus. Misalnya, ketika suami mempunyai kebiasaan menjadi pemabuk
atau berzina dengan perempuan lain, istri yang tidak bisa menuaikan hak sebagai istri padahal
sudah dinasihati, dan keadaan-keadaan buruk lainnya. Jika keburukan-keburukan atau kesalahan-
kesalahan yang dilakukan suami atau istri masih bisa untuk diubah, maka mempertahankan jauh
lebih baik.

K.H. Sholeh Darat juga mengutip sebuah perkataan, tahanlah dia dengan baik atau
lepaskanlah dia dengan baik. Artinya, jika seorang suami atau istri masih ingin dan sanggup
mempertahankan pernikahannya, maka ditahan dengan baik bukan malah membiarkan dan justru
tidak memenuhi kewajiban sebagai suami atau istri. Namun, ketika salah satu dari suami atau
istri sudah tidak sanggup karena yang berbuat kesalahan tidak mau memperbaiki dirinya, maka
boleh dilepaskan (diceraikan) dengan cara yang baik

Kesimpulan

Dalam menafsirkan ayat ini, K.H. Sholeh Darat memosisikan dirinya secara netral, tidak
memihak pada laki-laki juga tidak memihak pada perempuan. Dalam menyebut posisi khulu’
dalam Islam, beliau berpendapat bahwa khulu’ sama dengan talak karena mengharuskan laki-
laki menjatuhkan talak terlebih dahulu sesudah istri memberikan ‘iwadh. Di satu sisi beliau juga
menyebutkan kebolehan istri menggugat cerai suami tanpa ada alasan apa pun, namun
perempuan yang menggugat cerai suami tanpa ada alasan tersebut tidak baik akhlaknya karena
mencari-cari kesalahan pada orang yang tidak memiliki kesalahan.
Khulu’ adalah bentuk keadilan Allah, bila suami berhak melepas kan diri dari hubungan
dengan isterinya menggunakan cara thalaq, isteri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai
dengan suaminya dengan cara khulu’. Sebagaimana penafsiran K.H. Sholeh Darat bahwa
perceraian adalah hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh seorang isteri, kecuali
dengan cara lain yaitu dengan isteri memberikan ‘iwadh kepada suami sebagai pengganti atas
permintaan cerai seperti yang telah dijelaskan di atas.

Daftar Pusaka

Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do‟a (Yogyakarta:
KUTUB, 2006),hal8.
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hal 73.
Ghazali Munir, Warisan Intelektual Islam Jawa: Dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih al-
Samarani (Semarang: Walisongo Press, 2008), hal 35.
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis Tafsir Faidh al-
Rahmân Karya Kiyai Sholeh Darat”, Jurnal el-Umdah Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Vol. 1, No. 1,
Januari-Juni 2018,hal 52.
Mastuki HS, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2004),hal 137.
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara (Yogyakarta:
Global Press, 2020), hal39.
Aziz Masyhuri, 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara Riwayat, Perjuangan, dan Do‟a, hal 66.
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi, Historiografi, dan
Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara,hal 4.
Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al-Eahman Karya KH
Sholeh Darat al-Samarani”, Living Islam: Journal of Islam Discourses, Vol. 1, No. 1, Juni 2018,
94
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara 37.
Lilik Faiqoh, “Vernakularisasi dalam Tafsir Nusantara: Kajian atas Tafsir Faidh al-Eahman Karya KH
Sholeh Darat al-Samarani”, 94-95.
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara, 38.
Amirul Ulum, KH Muhammad Sholeh Darat Al-Samarani Maha Guru Ulama Nusantara,39.
Bagus Irawan, dkk, “Biografi Kiai Sholeh Darat”, dalam Syarah Al-Hikam karya Kiai Sholeh Darat
(Depok: Penerbit Safiha, 2016), 27.
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis Tafsir Faidh al-
Rahmân Karya Kiyai Sholeh Darat”, 53.
Abdul Rouf Al Ayubi, “Sejarah Pengaruh Pemikiran KH Sholeh Darat Terhadap Pemikiran R.A. Kartini
tentang Emansipasi Perempuan”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab dan Humaniora, 2019), 38-42.
M. Masrur, “Kyai Sholeh Darat, Tafsir Faidh al-Rahmân dan R.A. Kartini”, Jurnal At-Taqaddum, Vol. 4,
No. 1, Juli 2012, 33.
Novi Laila Athiyah, “Penafsiran Sufistik tentang Haji dalam Tafsir Faidh al-Rahmân ”, Skripsi (Jakarta:
Fakultas Ushuluddin, 2021), 29.
Lilik Faiqoh, “Unsur-Unsur Isyary Dalam Sebuah Tafsir Nusantara: Telaah Analitis Tafsir Faidh al-
Rahmân Karya Kiyai Sholeh Darat”, 48.
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi, Historiografi, dan
Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 4.
Abdul Rouf Al Ayubi, “Sejarah Pengaruh Pemikiran KH Sholeh Darat Terhadap Pemikiran R.A. Kartini
Tentang Emansipasi Perempuan”, Skripsi (Surabaya: Fakultas Adab dan Humaniora, 2019), 28-
30
Siti Kusrini, dkk, Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara: Genealogi, Historiografi, dan
Kontekstualisasi Pendidikan Islam di Nusantara, 20.
Anita Marwing dan Yunus, Perempuan Islam dalam Berbagai Perspektif, 119.
Islah Gusmian, Dinamika Tafsir Al-Qur‟an Bahasa Jawa Abad 19-20 M (Surakarta: Efedu Press, 2015),
49.
Aguk Irawan MN, Hasyim Penakluk Badai, 76.
Badiatul Roziqin, dkk, Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e.Nusantara, 2009), 329
Badiatul Roziqin, dkk, Jejak 101 Tokoh Islam Indonesia, 329
Hadi Yasin, “Mengenal Metode Penafsiran Al-Qur‟an”, Jurnal Tadzhib Akhlak, Vol. 3, No. 1, 2020, 41-
49.
S. Askar, Kamus Arab Indonesia Al -Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, 2009), h. 159
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu,Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), h. 418
Ibrahim Muhammad Al -Jamal, fiqh al-Mar’ah Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 329
Abu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadist, 2003), III :182
Lilis Kurniawati “Isu-isu Perempuan dalam Tafsir Faidh al Rahmân Karya K.H. Sholeh Darat”
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh al-Rahmân fi Tarjumâni Tafsîr Kalâm Malik al-Dayyân
, 416.
Muhammad Saleh ibn Umar al-Samarani, Faidh al-Rahmân fi Tarjumâni Tafsîr Kalâm Malik al-Dayyân,
416.
Lilis Kurniawati “Isu-isu Perempuan dalam Tafsir Faidh al Rahmân Karya K.H. Sholeh Darat”
4A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, (Jakarta: P.T RajaGrafindo
Persada, 2002), hlm. 251.
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan, 217.
Darmiko Suhendra, “Khulu’ Dalam Persfektif Hukum Islam”

Anda mungkin juga menyukai