Anda di halaman 1dari 10

Oleh Sunu Prabu

“Loe tahu, Than? Presiden Soekarno itu jatuh karena dikudeta oleh Soeharto. Dia bekerja sama dengan
CIA Amerika melakukan Kudeta Merangkak untuk menggulingkan Soekarno. Di buku ini jelas sekali
diceritakan …” kata Dipo kepada Nathan sambil menunjukkan sebuah buku berlambang palu dan arit.

“Iya, soalnya Amerika juga berkepentingan menumbangkan kekuasaan Soekarno, lalu mereka
menjadikan PKI sebagai kambing hitamnya. Kita harus meminta maaf kepada anak cucu PKI.” tambah
Nathan.

“Loe berdua salah!!” kata Ahsan.

Dipo dan Nathan terkejut, serempak keduanya memandang Ahsan. Mereka bertiga tengah duduk
lesehan, beristirahat sejenak di atas panggung utama Festival Kemerdekaan Khatulistiwa sore itu setelah
rangkaian acara selesai. Sementara, panitia lain sedang merapikan berbagai peralatan dan stand booth
masing-masing.

“Lho, dimana salahnya?” kata Dipo, sang Ketua OSIS, tidak terima.

“Pertama, loe berdua terlalu mengecilkan kekuatan PKI, seakan PKI itu partai lemah yang perlu
dikasihani. Padahal, dia saat itu partai yang berkuasa dan ada dalam ring satunya Soekarno. Di masa itu,
posisi PKI di atas angin sehingga mereka bisa dan berani membantai lawan-lawannya dengan cara keji,
seperti aksi pembantaian aktivis pemuda Islam dan ratusan jama’ah shalat Shubuh dalam Peristiwa
Kanigoro pada Januari 1965, tepat ketika bulan puasa.’ kata Ahsan merinding. “Bahkan, melalui manuver
politiknya, mereka pun sanggup membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang
tidak sejalan dengan ide komunis mereka melalui tangan Pemerintah Soekarno, sehingga otomatis PKI
dan PNI-nya Soekarno saat itu menjadi partai tanpa pesaing. Dan di situlah lahir kediktatoraan Soekarno;
mentahbiskan diri menjadi Presiden Seumur Hidup, memberlakukan Demokrasi Terpimpin, menuhankan
Nasakom dan menghabisi siapa pun yang Anti Nasakom, memenjarakan para ulama Anti Komunis
seperti Buya Hamka, menebarkan jaring stigma subversif kepada lawan politik, dan lain-lain.”

“Itu aja?” kata Nathan sinis.

“Yang kedua, loe juga terlalu membesarkan Soeharto, seakan dia yang memiliki kekuatan di militer dan
menjadi _master mind_ keruntuhan Soekarno. Padahal, Mayjend Soeharto saat itu bukanlah siapa-siapa
dan tidak punya kekuatan dibandingkan jenderal yang yang lain. Dia tidak termasuk jenderal yang
dijadikan target penculikan PKI, itu artinya pengaruh dia di militer tidak besar sehingga PKI tidak perlu
memperhitungkannya. Jabatannya sebagai Panglima Kostrad, masih kalah dibandingkan dengan Menteri
Panglima Angkatan Darat (yang dijabat oleh Letjend Ahmad Yani) maupun Menko Hankam/Kepala
Angkatan Bersenjata (Jenderal AH. Nasution). Jadi, ketika itu Soeharto hanyalah operator saja dan
mendapatkan keuntungan kekuasaan, tapi bukan dia sebagai _master mind_ yang menumbangkan
kediktatoran Soekarno dari tampuk kekuasaannya.”

“Jadi, siapa master mind-nya?”

“Abdul Haris Nasution.”

“Jenderal Nasution? Kok bisa?”

“Ya, beliaulah master mind yang menghentikan langkah PKI dan Soekarno. Sebagai Menko
Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, dialah orang nomor satu di jajaran militer, yang atasan
langsungnya adalah Presiden. Dalam posisi itu, Jenderal Nasution memiliki akses dan wewenang ke
seluruh angkatan, baik darat, laut maupun udara.” tegas Ahsan. “Dan jika kita melihat fakta sejarah,
berdasarkan kronologis kejadian yang terjadi pada tahun 1965 hingga 1967, adalah salah kaprah jika kita
menganggap bahwa Soeharto-lah yang menggulingkan Soekarno. Fakta sejarah di masa itu justru
mengkonfirmasi, Jenderal Abdul Haris Nasution adalah orang yang paling berperan penting (master
mind) dalam keruntuhan Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Seumur Hidup.”

“Bagaimana jalan ceritanya, kok loe bisa berkesimpulan seperti itu?” tanya Dipo.

“Ketika G30S/PKI terjadi, Jenderal Nasution dikenal sebagai jenderal Anti Komunis dengan jabatan
tertinggi di militer, maka dia adalah target utama yang harus dihilangkan. Kegagalan pasukan
Cakrabirawa untuk membunuhnya adalah awal serangan balik yang maha dahsyat untuk Soekarno dan
PKI.” terang Ahsan. “Dalam tubuh militer atau ABRI sendiri, saat itu terpecah dalam 2 kutub; kubu yang
pro PKI dan Nasakom berhadapan dengan kubu yang Anti PKI dan Anti Nasakom.”

“Dari dua kubu militer itu, kubu mana yang melancarkan G30S?” tanya Dipo lagi.

“G30S adalah gerakan kolaborasi antara militer pro PKI dan Nasakom yaitu Letkol Untung dan Kolonel
Latief (Divisi Diponegoro), Supardjo (Divisi Siliwangi), dan Mayor Udara Sujono; dengan PKI (Sjam
Kamaruzaman, Pono dan DN Aidit di latar belakang).” jelas Ahsan. “Orang-orang Komunis menyebut
mereka itu, para perwira berpikiran progresif revolusioner. Merekalah para tentara yang berhasil
direkrut oleh PKI untuk mendukung Gerakan 30 September. Adalah Ketua Biro Khusus PKI Sjam
Kamaruzaman yang memiliki tanggung jawab untuk itu. Sjam mengaku kekuatan tentara yang dibina PKI
sudah cukup kuat untuk mengadakan gerakan di Jakarta, sedangkan di daerah akan ikut begitu di Jakarta
meletup.”

“Lalu yang mereka hadapi siapa?”

“Mereka berkolaborasi untuk menghadapi para jenderal terkemuka Angkatan Darat (AD) yang mereka
anggap menjadi ancaman bagi mereka.’ jawab Ahsan. “Pengkondisian awal sebelum penculikan dan
pembantaian para jenderal AD itu adalah mereka melemparkan isu kudeta kepada para jenderal Anti
PKI, terutama 8 perwira yang mereka sebut sebagai Dewan Jenderal, yaitu AH Nasution, Ahmad Yani,
Suprapto, Ahmad Sukendro, S. Parman, MT Haryono, Sutojo, dan DI Pandjaitan. Dapat kita lihat,
Soeharto tidak termasuk di dalamnya. Dan dalam perjalanannya, aksi G30S/PKI itu menewaskan enam
jenderal, karena Ahmad Sukendro sedang berada di luar negeri dan AH. Nasution berhasil lolos.”

“Dan lolosnya Nasution, itu menjadi titik balik perlawanan terhadap G30S?”

“Betul, di sanalah skenario Tuhan berkehendak. PKI punya rencana, Tuhan juga punya rencana, dan
akhirnya rencana Tuhan yang terbaik dan itu yang terjadi.” jawab Ahsan tajam. “Satu kegagalan
menghabisi seorang Nasution, menjadi pukulan balik yang menghancurkan PKI.”

“Gak usah bawa-bawa Tuhan. Ini urusan politik!” kata Nathan sewot.

Ahsan tidak menanggapi, tetapi melanjutkan, “Abdul Haris Nasution adalah salah satu Jenderal TNI AD
yang oleh dokumen CIA disebut sebagai Brain Trust, yaitu sekelompok jenderal pemikir di AD. Para
Jenderal ini sering berseberangan dengan pemikiran Soekarno. Dalam masalah Komunis misalnya, para
Jenderal ini memiliki pertanyaan besar, apakah AD bisa memberantas Komunis dengan Soekarno yang
merasa keberatan? Demikian pula terkait aksi Ganyang Malaysia, sebagian jenderal terpaksa setuju pada
perintah Soekarno untuk menyerang Malaysia. Namun, sebagian besar Jenderal TNI AD menolaknya.
Mereka tak mau nyawa prajurit TNI AD digadaikan hanya untuk ambisi pribadi Soekarno. Apalagi dalam
perang tersebut, ada upaya penyebaran faham komunisme oleh PKI dan menyokong Partai Komunis
Malaysia. Para relawan yang disusupkan dalam perang itu, juga dipersenjatai dengan senjata kiriman
dari negara komunis China, yang nantinya bakal diusulkan oleh DN Aidit untuk menjadi Angkatan
Kelima.”
“Udah gak usah muter-muter. Trus, gimana caranya Nasution bisa memukul balik PKI? Itu yang kami
mau tahu.” kata Nathan masih sewot.

“Nasution berhasil lolos dengan luka di kakinya, dari tempat persembunyiannya, dia meraba-raba
mengenai korps pasukan yang masih setia kepadanya. Berdasarkan pengalaman di masa perang
kemerdekaan dan secara naluri militer, Nasution akhirnya memilih Mayjen Soeharto sebagai tempat
perlindungannya. Apalagi informasi yang diperolehnya dari orang kepercayaannya, Soeharto merupakan
jenderal yang masih teguh menunggu kepastian tentang keadaan dirinya. Akhirnya Jenderal Nasution
memutuskan untuk menemui Soeharto di Markas Kostrad dengan segala resiko yang siap untuk
dihadapinya.” terang Ahsan. “Di masa itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan
Darat (Kostrad) tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang. Namun, Soeharto dengan cerdik
memanggil komandan RPKAD (Kopassus) Sarwo Edhie, dan meminta kesetiaannya dan pasukannya. Baru
setelah memiliki pasukan dan kelengkapannya, Soeharto meminta Jenderal Nasution untuk datang ke
Markas Kostrad. Di sinilah Jenderal Nasution kali pertama mendapat perawatan atas luka-lukanya, dan
mulai melancarkan serangan balik. Sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, Nasution memberi
perintah kepada Soeharto untuk mengambil alih komando TNI AD dan menjaga kesiagaan pasukan
Angkatan Darat sembari menyusun serangan balasan. Sementara dari Halim, atas nama Dewan Revolusi,
Soekarno menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat,
menggantikan posisi Letjen Ahmad Yani. Mengetahui hal ini, Nasution segera mengamankan Pranoto di
Markas Kostrad dan mem-briefingnya agar tidak menerima jabatan tersebut.”

Ahsan mengambil nafas sejenak. Dipo dan Nathan menunggu kelanjutan cerita Ahsan.

“Menyadari bahwa kekuatan AD yang dimilikinya saat itu hanya prajurit RPKAD dan sejumlah prajurit
Kostrad sendiri, maka itu tidak cukup memadai. Nasution pun meminta bantuan Menteri Panglima
Angkatan Laut, RE Martadinata, saat menjenguknya pada tanggal 2 Oktober 1965. Setelah mendengar
penuturan Nasution, akhirnya RE Martadinata menyatakan bahwa TNI AL siap mendukung sepenuhnya
langkah TNI AD untuk melawan Gerakan 30 Septenber.” kisah Ahsan. “Gabungan prajurit RPKAD dan TNI
AL serta pasukan Kostrad yang seadanya, sukses memukul balik Gerakan 30 September dan memaksa
Presiden Soekarno untuk pulang ke Istana dan membubarkan Dewan Revolusi. Saat itulah nama
Jenderal Nasution berkibar di hati rakyat Indonesia. Namun sayang, di saat yang bersamaan, Nasution
juga berduka atas kematian putrinya, Ade Irma Suryani yang meninggal pada tanggal 6 Oktober 1965 di
RSPAD setelah menjalani operasi pengangkatan sisa peluru yang terakhir.”

“Lalu, setelah peristiwa G30S, Soeharto naik jabatan, khan?” ulas Dipo.

“Ya, dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution terus menerus meloby Soekarno untuk
menunjuk Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani.
Soekarno yang setelah 1 Oktober menginginkan Pranoto sebagai pimpinan Angkatan Darat dan ingin
menunjuk Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, akhirnya luluh menuruti keinginan Nasution.” jelas
Ahsan. “Pada tanggal 14 Oktober 1965, Soeharto ditunjuk sebagai pimpinan Angkatan Darat dan secara
resmi menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat pada 21 Februari 1966 saat pembentukan Kabinet
Dwikora II atau yang dikenal sebagai Kabinet 100 Menteri.”

“Lalu posisi Nasution sendiri bagaimana?” tanya Dipo.

“Soekarno sebenarnya memahami karakter dan sepak terjang Nasution dan berencana untuk
mengkebiri langkah Nasution dengan menawarkan posisi Wakil Presiden. Namun, Nasution cukup pintar
dan cerdik. Melalui Soeharto, pada awal tahun 1966, Nasution mengeluarkan pernyataan bila Indonesia
saat ini tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi Wakil Presiden yang kosong.” kata Ahsan. “Nasution
dengan cerdik membidik posisi kursi Ketua MPRS. Tujuannya hanya satu, agar bisa menumbangkan
Soekarno sehingga penderitaan rakyat Indonesia segera berakhir. Nasution melihat bahwa Soekarno
telah diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup oleh MPRS, maka hanya MPRS saja yang dapat mencabut
keputusan tersebut sekaligus melengserkannya. Dan pada Maret 1966, Nasution berhasil menjadi Ketua
MPRS.”

“Maret 1966 itu bukannya ada Supersemar? Dan itu yang bikin Soeharto berkuasa.” tanya Dipo lagi.

“Ya, setelah Soeharto menerima Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) dari Soekarno, Nasution melihat
dan menyadari bahwa Supersemar bukan hanya sekedar memberikan kekuasaan darurat kepada
Soeharto tetapi juga memberinya sebagian kontrol eksekutif.” jelas Ahsan. “Nasution menyarankan
kepada Soeharto bahwa ia berhak membentuk kabinet darurat untuk menggantikan kabinet yang pro
kepada PKI. Soeharto sendiri berusaha berhati-hati dalam hal ini tentang apa yang dia bisa atau yang
tidak bisa dia lakukan dengan kekuatan Supersemar, karena wewenang pembentukan kabinet adalah
tanggung jawab presiden sepenuhnya. Disini Nasution mendorong Soeharto dan berjanji untuk
memberikan dukungan penuh.”

“Soeharto mendengar arahan senior dan atasannya itu?” kejar Dipo.

“Dengan arahan dan dukungan Nasution itu, Soeharto semakin mantap. Dia mulai melakukan
pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI.” tegas Ahsan. “Bahkan pada tanggal 18 Maret 1966,
Soeharto menangkap Chaerul Saleh yang merupakan Ketua MPRS dan beberapa anggota MPRS yang pro
PKI. Sebagai gantinya dibentuklah MPRS pengganti. Dari sinilah Nasution masuk menjadi anggota MPRS
bersama Sukarni dan kawan kawan. MPRS yang baru pun segera bersidang dan secara aklamasi memilih
Nasution sebagai Ketua MPRS yang baru. Namun, dengan dibubarkannya PKI dan underbow-nya, rakyat
sudah merasa menang dan euforia. Rakyat kembali beraktivitas seperti biasa. Situasi negara sudah
kembali kondusif. Nasution yang sudah menduduki kursi Ketua MPRS bagai sia-sia.”
“Iya dong, kalau memang situasi sudah kondusif, artinya Soekarno tidak akan jatuh khan?” ujar Nathan.

“Keadaan kondusif ini berjalan selama 2 bulan hingga akhir Mei 1966. Situasi kembali memanas saat
tersebar kabar Soekarno akan mengawini gadis belia asal Kalimantan yang bernama Heldy DJafar. Gadis
ini adalah isteri ke sembilan Soekarno, dan saat itu Soekarno berusia 65 tahun, sementara Heldy Djafar
berusia 19 tahun.” terang Ahsan. “Perkawinan Soekarno dengan Heldy Djafar pada 11 Juni 1966 itu,
seolah menyadarkan rakyat bila ternyata Soekarno memang tidak pernah memikirkan kepentingan dan
kebutuhan rakyat, selain memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Rakyat kembali turun ke jalan. Kali ini
tuntutan rakyat mengarah langsung kepada Soekarno. Tututan “Adili Soekarno”, “Mahmilubkan
Soekarno”, “Turunkan Soekarno”, “Soekarno Gestapu Agung” dll tertulis dalam spanduk-spanduk yang
digelar rakyat. Situasi negara kembali memanas. Situasi ini bagai menjadi amunisi bagi Nasution untuk
menuntaskan cita-citanya.”

“Hmmm gitu ya … jadi salah satu alasan Soekarno jatuh, karena perkawinannya.” Dipo berkata pelan
sambil merenung.

“Pasca dilantik sebagai Ketua MPRS pada bulan Maret 1966, sebenarnya Nasution seperti kehilangan
arah karena situasi yang sudah kondusif saat itu. Rakyat yang sudah merasa puas karena PKI sudah
dibubarkan, sudah kembali beraktivitas dengan normal. Justru perkawinan Soekarno pada Juni 1966 dan
gejolak yang timbul akibat perkawinan tersebut menjadi momen bagi Nasution untuk mempreteli
kewenangan Presiden Soekarno melalui Sidang Umum MPRS yang kemudian digelar pada 21 Juni sampai
5 Juli 1966.” jelas Ahsan. “Sebagai mandataris rakyat, Nasution menampung aspirasi rakyat di MPRS.
Dan di sinilah kecerdikan seorang Nasution, pada 21 Juni 1966, MPRS meratifikasi Supersemar. Dengan
keputusan ini berarti Soekarno tidak dapat dan dilarang menarik kembali SP 11 Maret. Pada 22 Juni
1966, Soekarno mencoba melawan dengan menyampaikan pidato yang berjudul Nawaksara (Sembilan
Butir Suara). Namun Nasution seolah bergeming bahwa Supersemar tidak boleh lagi dicabut atau ditarik
kembali karena sudah diambil alih oleh MPRS sebagai pemegang mandat tertinggi.”

“Berarti pertarungan jatuh atau tidaknya Soekarno itu, di SU MPRS IV tahun 1966 itu ya, San? Dan
pemegang kendalinya Nasution, bukan Soeharto.” ujar Dipo mulai menangkap.

“Ya, selama dua minggu itu, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Di bawah
kepemimpinannya, MPRS mengambil beberapa langkah penting melalui 24 Ketetapannya seperti
mencabut pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, mengeluarkan TAP MPRS nomor 25
tahun 1966 tentang pelarangan faham Marxisme-Leninisme, pembubaran PKI, dan juga memerintahkan
pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968.” lugas Ahsan menyampaikan.
“Apakah ada ketetapan MPRS yang juga terkait dengan Soeharto?” tanya Nathan.

“Sidang MPRS IV itu juga meningkatkan kekuasaan Soeharto dan secara resmi memerintahkan Soeharto
untuk merumuskan kabinet baru.” kata Ahsan. “Sebuah keputusan juga disahkan, yang menyatakan
bahwa bila presiden berhalangan dan tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka presiden akan
digantikan oleh pemegang mandat Supersemar, bukan Wakil Presiden karena jabatan Wakil Presiden
kosong. Inilah kenapa Nasution dulu menolak ditawari kursi Wakil Presiden. Dengan menjadi ketua
MPRS, Nasution bisa menumbangkan Soekarno secara konstitusional.”

“Tapi, Soekarno sebagai politisi ulung, tentu tidak tinggal diam dan pasti melakukan perlawanan khan,
San?” sambung Dipo.

“Soekarno, merasa bila Supersemar telah dijadikan alat untuk melawannya, maka dia pun berusaha
melawan. Pada HUT RI ke-21 tahun 1966, dalam pidatonya yang diberi judul Jasmerah, Soekarno
berusaha menarik simpatik rakyat dengan menyebut bila SP 11 Maret sebagai sebuah surat perintah
biasa, yang dapat diberikan kepada siapa saja. Soekarno juga berusaha mendikte (melecehkan) langkah-
langkah yang telah dilakukan MPRS.” jawab Ahsan. “Pada kesempatan itu, Soekarno mengucapkan
terima kasih kepada Soeharto yang telah menjalankan perintah yang diamanatkan SP 11 Maret.
Beberapa kalangan menilai, pidato Soekarno ini seolah ingin membenturkan Soeharto dengan Nasution
yang merupakan Ketua MPRS. Di satu sisi Soekarno menilai negatif langkah-langkah yang dilakukan
Nasution lewat MPRS, dan di sisi lain memuji Soeharto yang telah menjalankan perintahnya.”

“Waahh pasti alot dan panas pertarungannya saat itu ya.” kata Dipo membayangkan.

“Soeharto sendiri sikapnya bagaimana, San? Dia gak ikut SU MPRS, khan?” tanya Nathan.

“Sikap Soeharto sendiri masih berbelas kasih kepada Soekarno, seperti membelanya di hadapan
demostran rakyat. Tapi, tidak demikian dengan Nasution. Bagi Nasution, Soekarno harus segera
dilengserkan dan diganti. Pada sidang MPRS tersebut, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus
bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan rakyat Indonesia saat itu.
Nasution juga menyerukan agar Soekarno segera dibawa ke pengadilan.” jawab Ahsan. “Soekarno
sendiri semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia semakin menurun. Kemudian,
pada 10 Januari 1967 Soekarno memenuhi permintaan MPRS untuk melengkapi pidato
pertanggungjawabannya yang dia beri judul Pelengkap Nawaksara.”

“Isinya apa?” tanya Nathan.


“Walau dalam keadaan terpojok dengan dukungan yang kian melemah, namun kelicikan Soekarno
seolah tidak pernah pudar. Pada salah satu poin “Pelengkap Nawaksara”, Soekarno menyatakan, jika
dirinya (Soekarno) disalahkan atas peristiwa G30S, maka Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat
itu (Nasution) juga harus dipersalahkan karena tidak mampu melihat dan mendeteksi akan terjadinya
peristiwa G30S dan menghentikannya sebelum itu terjadi.” jelas Ahsan. “Poin ini jelas seperti ingin
menjebak dan menjerat Nasution menjadi orang yang patut dipersalahkan juga. Tentu saja laporan
pertanggung jawaban ini kembali ditolak mentah-mentah oleh MPRS yang dibawah kendali Nasution.
Bahkan pada tanggal 13 Februari 1967. Nasution menyerang balik dengan mempertanyakan maksud
ucapan Soekarno tentang “Dalam Sebuah Revolusi, Kadang Seorang Bapak Harus Memakan Anaknya
Sendiri”. Pertanyaan ini tidak pernah mampu dijawab Soekarno hingga akhir hayatnya.”

“Dan akhirnya Soekarno tumbang oleh MPRS?” simpul Dipo.

“Ya, DPR-GR melalui resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai
“Nawaksara” beserta Pelengkapnya, berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara
konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”. Dalam
kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan
Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS.” kata Ahsan. “Maka, pada tanggal 12 Maret
1967, secara resmi MPRS mencabut mandat kekuasaan dari Soekarno dan mengangkat pemegang
mandat Supersemar (Soeharto) sebagai Plt Presiden sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966.”

“Soekarno menyerah?”

“Soekarno tampaknya sudah pasrah dengan nasibnya. Nasution kemudian mengambil sumpah Soeharto
dan melantiknya sebagai Pejabat Presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution kembali
memimpin Sidang MPRS dan melakukan pemilihan presiden. Secara aklamasi anggota MPRS memilih
dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, yang kemudian dia berkuasa hingga 21
Mei 1998 sebelum dipaksa mundur oleh Gerakan Reformasi.” pungkas Ahsan. “Jadi, dengan kronologi
seperti itu, siapakah master mind kejatuhan Soekarno? Nasution atau Soeharto?”

Dipo dan Nathan tidak berminat menjawab, justru bertanya, “Setelah berhasil menumbangkan Soekarno
dari tampuk kekuasaannya, apa yang kemudian dilakukan Nasution?”

“Setelah kemenangannya menumbangkan Kediktatoran Soekarno, Nasution secara perlahan menarik


diri dari urusan politik di era Presiden Soeharto. Baginya, perjuanganna telah usai. Perjuangannya untuk
membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kediktatoran Soekarno telah tercapai. Namun sayang,
perjuangannya untuk menuntut balas kematian putri bungsunya seolah mendapat jalan buntu. Soeharto
yang diyakini dan dipercayainya untuk segera mengadili Soekarno ternyata tidak pernah menjalankan
perintah TAP MPRS nomor 33 tahun 1967.” jelas Ahsan. “Sampai Soekarno meninggal dunia, Soeharto
tidak pernah sekalipun berusaha menyeretnya ke depan sidang pengadilan untuk diadili. Bahkan sebagai
bentuk penghormatan, pada tahun 1986 Soeharto memberi gelar Pahlawan Proklamasi kepada
Soekarno-Hatta, mendirikan Tugu Proklamasi untuk menghormatinya, menyematkan nama Soekarno-
Hatta pada nama Bandara Internasional Indonesia, dan terakhir, Soeharto menyematkan foto Soekarno-
Hatta pada lembaran uang kertas Rp.100.000,-. Sementara, Nasution sendiri, bersama Soedirman dan
Soeharto, menerima pangkat kehormatan sebagai Jenderal Besar (Bintang Lima). Pangkat tertinggi
dalam kemiliteran, dan beliau meninggal dunia pada 6 September 2000 pada umur 82 tahun.”

“Berarti memang master mind penumpasan gerakan PKI dan penggulingan Soekarno itu, Abdul Haris
Nasution, ya.” simpul Dipo. “Tapi kemudian, Soeharto yang memetik keuntungannya.”

“Gue masih mengganjal nich, San.” kata Nathan. “Kalo memang PKI itu udah berkuasa dan Soekarno ada
di pihaknya, kenapa dia harus melakukan kudeta?”

“Dia bukan mengkudeta Soekarno, tapi dia mengkudeta Pimpinan Tinggi Angkatan Darat. Kenapa?”
tanya Ahsan retoris. “Karena, hanya tinggal TNI AD yang menjadi ganjalan PKI mewujudkan cita-citanya.
Seluruh kekuatan bangsa sudah ditaklukkannya. Partai Masyumi dan PSI sudah dibubarkannya, ulama
dan tokoh politik sudah dipenjarakannya, koran dan media propaganda sudah dikuasainya, Buruh Tani
Nelayan melalui BTI sudah dalam genggamannya, aktivis kebudayaan sudah didominasi Lekra, kaum
wanita tidak ada yang berani melawan Gerwani, mahasiswa diprovokasi dan diintimidasi oleh CGMI
menuntut pembubaran HMI, bahkan Angkatan Kelima di luar AD, AL, AU dan Polri, minta dibentuk dan
dipersenjatai yang akan menjadi kekuatan sayap militer mereka. Jadi, tinggal selangkah lagi gerak
mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Komunis, bagian dari komunis global. Dan seperti
yang kita ketahui, PKI, Partai Komunis Indonesia. adalah partai komunis terbesar di dunia saat itu, di luar
Uni Soviet dan China. Tapi, syukurlah Tuhan melindungi bangsa Indonesia. Di titik akhir, Tuhan
selamatkan Nasution dari penculikan dan pembantaian mereka, lalu Nasution memukul balik dan
menghancurkan PKI dan Komunisme di Indonesia.”

“Bagaimana dengan campur tangan asing? Dalam hal ini keterlibatan CIA Amerika, pasti ada khan?”
tanya Nathan lagi.

“Pasti ada, dan bukan hanya CIA.“ jawab Ahsan. “Masa itu adalah puncak dari Perang Dingin antar dua
negara adidaya, Amerika dan Uni Soviet beserta sekutu-sekutunya. Otomatis tak ada satu pun negara di
dunia ini yang lepas dari pengaruh mereka. Dua negara pengusung ideologi Kapitalis dan Komunis itu,
akan selalu ikut campur dan mendukung tokoh lokal yang sesuai dengan ideologi mereka. Mereka hanya
mendukung, tapi _master mind_ pertarungan tetap tokoh lokal, dalam hal ini, Nasution.”

“Dan faktor Soekarnonya sendiri yang terlalu percaya diri dan tidak sensitif dengan perasaan rakyat
Indonesia. Di saat bangsa sedang kalut dan berduka, tapi justru dia sebagai presiden malah mengawini
gadis muda belia.” kata Dipo menambahkan.

“Kalau sekarang ini, Komunis berkuasa lagi seperti dulu, kira-kira siapa yang akan menjadi Nasution-nya
ya, San?” tanya Dipo

“KITA lah….WAJIB itu….bukan kaleng kaleng” jawab Ahsan

Anda mungkin juga menyukai