Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA FISIKA
“(KOEFISIEN DISTRIBUSI)”

Disusun oleh :
Nama Mahasiswa : Rahmat Aldi Irawan
NIM : 201420033
Program Studi : Teknik Pengolahan Migas
Bidang Minat : Refinery
Tingkat : II (Dua)

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


POLITEKNIK ENERGI DAN MINERAL AKAMIGAS
(PEM AKAMIGAS)

Cepu, 23 Januari 2022


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Suatu zat terlarut dapat larut dengan komposisi tertentu di dalam campuran dua
jenis pelarut yang tidak larut maupun di dalam campuran dua jenis pelarut yang hanya
larut sebagian. Prinsip inilah yang digunakan dalam proses ekstraksi, dimana ekstraksi
adalah suatu proses pemisahan suatu senyawa dari senyawa lain dengan menggunakan
solvent tertentu. Proses ini ditempuh apabila prose pemisahan dengan distilasi tidak
mungkin, yakni apabila kedua komponen tersebut mempunyai titik didih yang
berdekatan. Jadi ekstraksi adalah pemisahan suatu komponen (zat terlarut), yang pada
prosesnya zat terlarut tersebut terdistribusi diantara dua buah solvent yang tidak dapat
bercampur (immicible solvent) oleh karena itu dilakukan penelitian untuk menentukan
koefisien distribusi dengan cara ekstraksi.

1.2. Tujuan Praktikum


Setelah melaksanakan percobaan ini diharapkan mahasiswa dapat menentukan
koefisien distribusi dari asam asetat di dalam benzene dan air.

1.3. Manfaat Praktikum


Manfaat penelitian untuk mengetahui suatu zat terlarut dapat larut dengan
komposisi tertentu di dalam campuran dua jenis pelarut yang tidak larut maupun di
dalam campuran dua jenis pelarut yang hanya larut sebagian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Distribusi
Distribusi adalah metode yang digunakan untuk menentukanaktivitas zat
pelarut dalam suatu pelarut jika aktivitas dalam zatpelarut lain diketahui, asalkan
kedua pelarut tidak tercampur satu sama lain (SK Dogra dan S Dogra, 1990).

2.2. Zat cair dan zat padat


Zat cair dan zat padat berbeda dengan gas, dimana perbedaannya adalah pada
molekul-molekul zat cair atau zat padat terjadi ikatan yang sangat kuatantar
molekulnya. Untuk memperoleh larutan, suatu solven harus mengalahkan ikatan yang
kuat pada solut sehingga molekul-molekul solven mendapatkan tempat. Sebaliknya
pada saat yang bersamaan molekul-molekul solven itusendiri harus dapat dipisahkan
satu dengan lainnya oleh molekul-molekul solut. Fenomena ini terjadi kalau gaya tarik
menarik antara molekul keduakomponen tersebut adalah sama. Jika gaya tarik menarik
cukup berbeda, makamolekul-molekul yang gaya tarik menariknya lebih kuat akan
terikat bersamadan memisahkan diri dari molekul-molekul yang gaya tarik
menariknya lebihlemah, di mana hasilnya adalah cairan yang tidak dapat tercampur
homogeny (immiscibleliquids). Minyak dan air tidak dapat bercampur sebab gaya
tarik menarik antar molekul-molekul air lebih kuat dibanding gaya tarik menarik
molekul-molekul minyak sendiri, sehingga tidak ada kesempatan bagi molekul-
molekul minyak berada diantara molekul-molekul air. Gaya-gaya ikat antar molekul-
molekul tersebut disebut gaya vander Waals yang sesungguhnya disebabkan adanya
interaksi elektromagnetik (interaksi polar) antar molekul yaitu : (Mega, 2010)
1. gaya polar (polar forces).
2. gaya dispersi (dispersion force).
3. gaya ikatan hidrogen (hydrogenbonding forces).

2.3. Ekstraksi
Ekstraksi cair-cair atau Liquid-Liquid Extraction (LLE), adalah merupakan
sistem pemisahan secara kimia-fisika dimana zat yang akandiekstraksi akan larut
dalam fasa air, dipisahkan dari fasa airnya denganmenggunakan pelarut organik, yang
tidak larut dalam fasa air, secarakontak langsung baik kontinyu maupun diskontinyu
(Putranto, 2012).
2.4. Pengembangan metode
Pengembangan metode pemisahan dan analisis unsur tanah jarang (UTJ)
telah menarik perhatian banyak peneliti karena unsur-unsur ini merupakan bahan
yang menunjang perkembangan ilmu dan teknologi. Penggunaan UTJ ini antara
lain untuk superkonduktor, laser, magnet permanen, alat-alat elektronik dan
keramik (Christie et al., 1998).
Sejauh ini mineral-mineral yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan
tambang belum diproses untuk menghasilkan fraksi tanah jarangnya, melainkan
langsung diekspor dalam bentuk mineralnya. Hal tersebut disebabkan karena kita
belum mempunyai teknologi untuk menghasilkan UTJ yang lebih murni. Oleh karena
itu, kita perlu berinovasi mengembangkan metode-metode isolasi, pemisahan dan
pemurnian untuk memproduksi UTJ dari mineralnya, atau memodifikasi metode-
metode yang telah ada untuk memproduksi unsur-unsur tersebut dalam skala yang
lebih besar. UTJ dapat ditemukan dalam beberapa jenis mineral seperti basnasit,
monasit, dan senotim (Morais & Ciminelli, 2007).

2.5. Pemanfaatan mineral monasit


Pemanfaatan mineral monasit ini sangat tinggi dibanding mineral UTJ
lainnya diantara kandungannya yaitu unsur gadolinium (Gd) dan samarium (Sm).
Dikarenakan sifat paramagnetiknya Gd digunakan sebagai bahan contrast agent
untuk keperluan pencitraan medis Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Gupta &
Krishnamurthy, 2005).
Sedangkan salah satu kegunaan Sm yaitu sebagai bahan pembuat magnet dan
laser (Christie et al., 1998).
Kesulitan untuk memperoleh UTJ murni adalah dalam memisahkan antara
UTJ yang satu dengan unsur yang lainnya, akibat dari sifatnya yang mirip,
sehingga cara kimia seperti kristalisasi, fraksionasi, pertukaran ion dan teknik
ekstraksi pelarut sulit dilakukan (Gupta & Krishnamurthy, 2005).
Namun, diantara semua metode pemisahan, ekstraksi pelarut merupakan
metode yang paling sukses digunakan. Untuk mengekstraksi UTJ, sejumlah
kajian telah dilakukan dengan menggunakan pelarut organik yang mengandung
ligan-ligan pembentuk kompleks. Dalam studi mengenai kromatografi logam-
logam transisi, Bahti et al. (1990) telah menggunakan ligan dialkilditiofosfat sebagai
ligan pengompleks dalam tahap ekstraksi logam tersebut. Unsur-unsur lantanida
dapat membentuk senyawa khelat yang baik dengan senyawa asam fosfat, asam fosfit
dan tributilfosfat, oleh karena itu senyawa-senyawa ligan tersebut dapat digunakan
untuk mengekstraksi unsur-unsur lantanida (Ozturk et al., 2010).
Dalam penelitian ini dipelajari penggunaan ligan dibutilditiofosfat dengan
beberapa pelarut organik untuk mengekstraksi Gd dan Sm. (Ozturk et al., 2010).

2.6. Air
Air adalah pelarut yang baik untuk garam, gula dan senyawa sejenis, sedang
minyak mineral dan benzene biasanya merupakan pelarut untuk zat yang biasanya
hanya sedikit larut dalam air. Penemuan empiris ini disimpulkan dalam pernyataan
like dissolve like. Kelarutan bergantung pada pengaruh kimia, listrik, struktur yang
menyebabkan interaksi timbal balik zat pelarut dan zat terlarut (Martin, 1993).

Suatu zat dapat larut dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling
bercampur. Jika ada kelebihan cairan atau suatu zat padat ditambahkan ke dalam
campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusikan diri di antara
dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam
pelarut tidak bercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan,
maka zat tersebut akan didistribusikan di antara kedua lapisan dengan konsentrasi
tertentu (Mirawati, 2014).

2.7. Kelarutan
Kelarutan suatu senyawa bergantung pada siat fisika dan kimia zat terlarut dan
pelarut, juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan, pH, larutan dan untuk
jumlah yang lebih kecil, bergantung pada hal terbaginya zat terlarut (Martin, 1993).

2.8. Koefisien partisi (P)


Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat ke dalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih
mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan air,
sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut
merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Untuk memproduksi suatu respon biologis, molekul obat pertama-tama harus
menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu pembatas lemak untuk
kebanyakan obat-obat dan mengizinkan absorbsi zat-zat yang larut dalam lemak
dengan difusi pasif sedangkan zat-zat yang tidak larut dalam lemak dapat mendifusi
menyeberangi pembatasan hanya dengan kesulitan yang besar, jika tidak sama sekali.
Hubungan antara konstanta disolusi, kelarutan dalam lemak, dan pH pada tempat
absorbsi serta karakteristik absorbsi dari berbagai obat merupakan dasar dari teori pH-
partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa dari zat obat merupakan suatu
karakteristik fisika-kimia yang relatif penting terhadap evaluasi dari efek-efek yang
mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat pemberian (Ansel, 2005).
Pengetahuan tentang koefisien partisi atau koefisien distribusi sangat penting
diketahui oleh seorang farmasis. Prinsip dari koefisien ini sangat banyak berhubungan
dengan ilmu farmasetik, termasuk disini adalah pengawetan system minyak-air, kerja
obat di tempat yang tidak spesifik, absorbsi dan distribusi obat ke seluruh tubuh
(Martin, 1993).
Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase tersebut.
Hukum distribusi digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya pada kedua fase,
yaitu monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut (Martin, 1993).

2.9. Koefisien partisi minyak-air


Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi
dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan
koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1993).

2.10. Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi


Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh sifat
kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa senyawa
yang larut baik dalam bentuk lemak terkonsentrasi dalam jaringan yang mengandung
banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak diambil oleh jaringan
lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel (Ernest, 1999).
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa bahan obat
terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik kita mengharapkan
distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada tempat kerja lebih besar dari pada
konsentrasi di tempat lain pada organisme, walaupun demikian kemungkinan untuk
mempengaruhi pada distribusi dalam bentuk hal kecil, pada kemoterapi tumor ganas
sebagian dicoba melalui penyuntikan atau infus sitostatika ke dalam arteri memasok
tumor untuk memperoleh kerja yang terarah (Ernest, 1999).
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pada pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan lebih mudah
larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan
praktis tidak larut. Dengan demikian pengaruh pH sangat besar terhadap kecepatan
absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah (Sardjoko, 1987).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
1. Erlenmeyer 250 mL 3 buah
2. Erlenmeyer 150 mL 6 buah
3. Beaker glass 100 mL 1 buah
4. Beaker glass 200 mL 1 buah
5. Buret, kap. 50 mL 1 buah
6. Corong pemisah, kapasitas 500 mL 3 buah
7. Vol Pipet, 25 mL 1 buah
8. Vol Pipet, 50 mL 1 buah
9. Pipet ukur, 5 mL 1 buah
10. Corong kecil 1buah
11. Bulb (Pipet Filter) 1 buah
12. Spatula kecil 1buah
13. Spatula besar 1 buah

3.1.2. Bahan
1. Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
2. Asam benzoate (C6H5COOH)
3. Benzena (C6H6)
4. Larutan NaOH 0,2 N
5. Indikator Phenol Phtalein (PP)

3.2. Prosedur Kerja


3.2.1. Langkah Pertama

Isi buret dengan larutan


Larutkan 15 gram asam Siapkan 3 buah corong
NaOH 0,2 N dengan
benzoate ke dalam 200 pemisah pada
bantuan beaker glass
ml benzene tempatnya
100 mL
Isi masing – masing dengan : Corong Pisah ke Volume Larutan asam benzoate
dalam Benzena Volume Benzena Murni Volume Akuade 1 50 0 50 2 40 10 50 3 30
20 50

Kocok dengan hati – hati masing – masing 15 menit dengan sesekali membuang uap
dengan membalikkan corong pemisah dan membuka kran yang di atas (tanya kepada
instruktur)

Diamkan selama beberapa menit sampai kedua lapisan terpisah sempurna

Buka tutup masing – masing dan pisahkan lapisan bawah dari ketiga corong
pemisah tampung masing – masing menggunakan 3 buah erlenmeyer (jangan
dibuang)

Lapisan atas dari masing – masing corong pemisah juga ditampung dalam 3 buah
erlenmeyer yang lain.

Dari ke tiga lapisan atas dan lapisan bawah tersebut, masing-masing diambil
sebanyak 5 ml kemudian masing – masing ditambahkan 3 tetes indikator PP.

Titrasi masing-masing 3 lapisan atas dan 3 lapisan bawah (masingmasing 5 ml)


tersebut dengan larutan NaOH 0,2 N dari buret yang sudah disiapkan hingga
terjadi perubahan warna dari tak berwarna menjadi pink (merah muda) dan tidak
hilang selama minimal 20 detik.

Catat masing – masing berapa mL banyaknya NaOH 0,2 N yang diperlukan. Ulangi
titrasi sebanyak dua kali.
3.2.2. Langkah Kedua

Tambahkan ke dalam
Kembalikan ke masing – masing
Ulangi pekerjaan
tiga lapisan atas corong pemisah 50 mL
dari langkah e
pada corong akuade (Jangan
sampai k.
pemisah ditambah asam asetat
lagi).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Praktikum


4.1.1 Percobaan 1
Volume NaOH yang
digunakan Konsentrasi
Corong Larutan (m) Kd = C2/C1
1 2 Average
(mL) (mL) (mL)

Bawah 0,9 1 0,95 0,038


1
Atas 20 24,5 22,25 0,89 23,4211

Bawah 1 1 1 0,04
2
Atas 12,5 15 13,75 0,55 13,7500

Bawah 0,9 1 0,95 0,038


3
12,1053
Atas 11 12 11,5 0,46

4.1.2 Percobaan 2 (Lapisan Atas + Aquades)


Volume NaOH yang
digunakan Konsentrasi
Corong Larutan (m) Kd = C2/C1
1 2 Average
(mL) (mL) (mL)

Bawah 1,1 1,2 1,15 0,046


1
Atas 16 17 16,5 0,66 14,3478

Bawah 0,8 0,9 0,85 0,034


2
Atas 14,5 13 13,75 0,55 16,1765

Bawah 0,8 0,8 0,8 0,032


3
13,4375
Atas 10,5 11 10,75 0,43

4.2. Hasil Perhitungan


4.2.1 Cara Mencari Konsentrasi Larutan
M 1 ×V 1=M 2× V 2
M1 = Normalitas larutan NaOH
V1 = Average Volume NaOH yang digunakan untuk titrasi
M2 = Konsentrasi larutan
V2 = Volume titrasi yang digunakan
 Percobaan 1
1. Lapisan Bawah Corong 1
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 0,95 = M2 × 5
0,19 = M2 × 5
0,038 = M2
2. Lapisan Atas Corong 1
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 22,25 = M2 × 5
4,45 = M2 × 5
0,89 = M2
3. Lapisan Bawah Corong 2
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 1 = M2 × 5
0,2 = M2 × 5
0,04 = M2
4. Lapisan Atas Corong 2
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 13,75 = M2 × 5
2,75 = M2 × 5
0,55 = M2
5. Lapisan Bawah Corong 3
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 0,95 = M2 × 5
0,19 = M2 × 5
0,038 = M2
6. Lapisan Atas Corong 3
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 11,5 = M2 × 5
2,3 = M2 × 5
0,46 = M2
 Percobaan 2
1. Lapisan Bawah Corong 1
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 1,15 = M2 × 5
0,23 = M2 × 5
0,046 = M2
2. Lapisan Atas Corong 1
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 16,5 = M2 × 5
3,3 = M2 × 5
0,66 = M2
3. Lapisan Bawah Corong 2
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 0,85 = M2 × 5
0,17 = M2 × 5
0,034 = M2
4. Lapisan Atas Corong 2
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 13,75 = M2 × 5
2,75 = M2 × 5
0,55 = M2
5. Lapisan Bawah Corong 3
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 0,8 = M2 × 5
0,16 = M2 × 5
0,032 = M2
6. Lapisan Atas Corong 3
M1 × V1 = M2 ×V2
0,2 × 11,5 = M2 × 5
2,3 = M2 × 5
0,43 = M2

4.2.2 Cara Mencari Koefisien Distribusi (Kd)


C2
Kd=
C1
Kd = Koefisien Distribusi
C2 = Konsentrasi larutan atas
C1 = Konsentrasi Larutan Bawah
 Percobaan 1
1. Corong ke 1
C2
Kd =
C1
0,89
Kd=
0,038
Kd=23,4211
2. Corong ke 2
C2
Kd=
C1
0,55
Kd=
0,04
Kd =13,7500
3. Corong ke 3
C2
Kd=
C1
0,46
Kd=
0,038
Kd=12,1053
 Percobaan 2
1. Corong ke 1
C2
Kd =
C1
0,66
Kd=
0,046
Kd=14,3478
2. Corong ke 2
C2
Kd=
C1
0,55
Kd=
0,034
Kd =16,1765
3. Corong ke 3
C2
Kd=
C1
0,43
Kd=
0,032
Kd ¿ 13,4375
4.3. Pembahasan
Pada Praktikum ini dilakukan untuk mencari koefisien distribusi asam benzoate
dalam pelarut air dan benzene murni. Selain itu juga mencari eror atau kesalahan yang
dapat menyebabkan eror dalam praktikum. Pada corong 1 terdapat eror -3,26% ini
dikarenakan saat titrasi cairan titran lebih dari titik equivalen sehingga diperoleh hasil
eror yang minus. Pada corong 2 terdapat eror 14,33% ini dikarenakan saat titrasi cairan
lebih dari titik equivalen sehingga diperoleh eror 14,33%. Pada corong 3 terdapat eror
29,32% ini dikarenakan saat titrasi cairan lebih dari titik equivalen sehingga diperoleh
eror 29,32%. Dari data nilai eror dapat dinyatakan bahwa nilai eror akan positif jika
kelebihan larutan titran pada titrasi, nilai eror akan negatif jika kekuranga larutan titran
pada titrasi, dan nilai eror akan nol jika larutan titran tepat pada titrasi. Pada praktikum
ini didapatkan nilai koefisien distribusi pada corong 1, 2, dan 3 percobaan 1 berurutan
adalah 20,133; 14,471; dan 14,5. Pada percobaan 2 didapatkan nilai koefisien distribusi.
Pada corong 1, 2, dan 3 secara berurutan adalah 12,36; 25; dan 20. Dari data nilai
koefisien distribusi dapat dinyatakan bahwa koefisien distribusi sebanding lurus dengan
konsentrasi asam benzoate.
BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan

Setelah melakukan praktikum ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Semakin tinggi konsentrasi asam benzoate maka semakin tinggi juga koefisien
distribusinya.
2. Kelebihan larutan titran pada titrasi menyebabkan %eror < 0.

3. Kekurangan larutan titran pada titrasi menyebabkan %eror > 0

5.2. Saran
1. Hati-hati dalam melakukan titrasi agar larutan titran tidak kurang atau melebihi
titik equivalen.
2. Saat melakukan titrasi usahakan cahaya ruangan memadai.
3. Hati-hati saat melakukan pengocokan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Dogra, SK dan Dogra S.1990. Kimia Fisik dan Soal-Soal. Jakarta: UI Press.
Milama, Burhanudin. 2014. Panduan Praktikum Kimia Fisika II. Jakarta: FITKPress.
Mega, Kasmiyatun. 2010. http://eprints.undip.ac.id/27990/1/C-08.pdf. (diakses pada 17 Mei
2022, pukul 22.00 WIB)
Putranto. 2012. http://fmipa.unlam.ac.id/Flux/wp-content/uploads/2012/12/7.
Agus M. H. Putranto.pdf. (diakses pada 17 Mei 2014, pukul 22.00 WIB)
Bahti, H.H., Mulyasih, Y. & Anggraeni, A. 2011. Extraction and chromatographic studies
on rare earth elements (REEs) from their minerals, Proceedings of the 2nd
International Seminar on Chemistry. 421-430.
Christie, T., Braithwaite, B. & Tulloch, A. 1998. Rare Earth and Related Elements. Mineral
Commodity Report, 17.
Gupta, C.K. & Krishnamurthy, N. 2005. Extractive metallurgyof rare-earths, CRC
Press.London.
Hou, X. & Jones, B. T. 2000. Inductively Coupled Plasma/Optical Emission Spectrometry.
Encyclopedia of Analytical Chemistry, pp.9468-9485.
Morais, C.A. & Ciminelli, V.S.T. 2007. Selection of solvent extraction reagent for the
separation of europium (III) and gadolinium (III), Minerals Engineering, 20: 747-
752.
Ozturk, T., Ertas, E., & Mert, O. 2010. A Berzelius Reagent, Phosphorus Decasulfide
(P4S10), in Organic Syntheses, Chemical Reviews, 110(6): 3419–3478
Ansel, H. C. 2005. Pengantar bentuk sediaan farmasi. edisi keempat. Jakarta. UI PRESS
Ernest, Mutscler. 1999. Dinamika Obat .Edisi V .Cetakan ketiga. Bandung. Penerbit ITB.
Ansel. H. C. 1989. Pengantar bentuk sediaan farmasi. Edisi 4. UI press. Jakarta.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai