Anda di halaman 1dari 21

PROTEIN

Kimia Pangan

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kimia Pangan

Oleh :

Stella Wirasto Dwiputra


P17331112054

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
JURUSAN GIZI
2013
I. Protein

Istilah protein berasal dari kata Yunani proteos, yang berarti yang
utama atau yang didahulukan. Kata ini diperkenalkan oleh seorang ahli kimia
Belanda, Gerardus Mulder (1802-1880), karena ia berpendapat bahwa
protein adalah zat yang paling penting dalam setiaporganisme. (Almatsier,
2004)
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian
terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein,
separuhnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan,
sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan
tubuh. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat
gizi lain yaitu membangun dan memelihara sel-sel dan jaringan tubuh.
(Almatsier, 2004)

II. Asam Amino

Asam Amino terdiri atas atom karbon yang terikat pada satu gugus
karboksil (-COOH), satu gugus asam amino (-NH2), satu atom hidrogen (-H)
dan satu gugus radika (-R) atau rantai cabang. (Almatsier, 2004)

Struktur asam amino bentuk alfa secara umum

Pada umumnya asam amino yang diisolasi dari protein hidroksilat


merupakan alfa-asam amino, yaitu gugus karboksil dan amino terikat pada
atom karbon yang sama. Yang membedakan asam amino satu sama lain
adalah rantai cabang atau gugus R-nya. R berkisar dari satu atom hidrogen
(H) sebagaimana terdapat pada asam amino paling sederhana glisin ke rantai
karbon lebih panjang, yaitu hingga tujuh atom karbon. (Almatsier, 2004)
a. Struktur Asam Amino

Struktur asam amino secara umum adalah satu atom C yang mengikat
empat gugus: gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen
(H), dan satu gugus sisa (R, dari residue) atau disebut juga gugus atau rantai
samping yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya.

b. Klasifikasi Asam Amino


1. Klasifikasi Asam Amino menurut Gugus Asam dan Basa
Klasifikasi asam amino menurutjumlah gugus asam (karboksil) dan basa
(amino) yang dimiliki adalah :
(a) Asam Amino netral yaitu asam amino yang mengandung satu gugus
asam dan satu gugus amino.
(b) Asam Amino asam (rantai cabang asam) yaitu asam amino yang
mempunyai kelebihan gugus asam dibandingkan dengan gugus basa.
(c) Asam Amino basa (rantai cabang basa) yaitu asam amino yang
mempunyai kelebihan gugus basa
(d) Asam Amino yang mengandung nitrogen imino pengganti gugus amino
primer dinamakan asam imino.
(Almatsier, 2004)
Sumber : www.personal.psu.edu
2. Klasifikasi Asam Amino menurut Essensial dan Non-Essensial.
Asam Amino
Esensial Tidak Esensial Tidak Essensial
Bersyarat
Leusin Prolin Glutamat
Isoleusin
Serin Alanin
Valin
Triptofan Arginin Aspartat
Fenilalanin
Tirosin Glutamin
Metionin
Treonin Sistein
Lisin
Trionin
Histidin
Glisin

Asam amino yang betul-betul tidak esensial adalah asam amino


yang dapat disintesis melalui aminase reduktif asam keton atau melalui
transaminase.
Asam Amino tidak essensial bersyarat adalah asam amino yang
disintesis dari asam amino lain atau metabolit mengandung nitrogen
kompleks lain. Sintesis asam amino tidak dilakukan melalui transaminase
sederhana. (Almatsier, 2004)

III. Peptida

Dua molekul asam amino dapat saling berikatan membentuk


ikatan kovalen melalui suatu ikatan amida yang disebut dengan ikatan
peptida. Ikatan kovalen ini terjadi antara gugus karboksilat dari satu asam
a i o de ga gugus α a i o dari olekul asa a i o lai ya de ga
melepas molekul air. Secara sederhana mekanisme reaksi pembentukan
ikatan kovalen.

Mekanisme pembentukan ikatan peptida sebagai rantai protein

Tiga molekul asam amino dapat bergabung membentuk dua


ikatan peptida, begitu seterusnya sehingga dapat membentuk rantai
polipeptida.
Peptida memberikan reaksi kimia yang khas, dua tipe reaksi yang
terpenting yaitu hidrolisis ikatan peptida dengan pemanasan polipeptida
dalam suasana asam atau basa kuat (konsentrasi tinggi). Sehingga
dihasilkan asam amino dalam bentuk bebas.
Hidrolisa ikatan peptida dengan cara ini merupakan langkah
penting untuk menentukan komposisi asam amino dalam sebuah protein
dan sekaligus dapat menetapkan urutan asam amino pembentuk protein
tersebut.
Peptida atau polipeptida bebas juga merupakan molekul aktif
penyusun hormon yang memiliki aktifitas biologis dalam tubuh manusia,
seperti pada hormon insulin, glukagon dan kortikotropin.
Insulin mengandung dua rantai polipeptida, satu polipeptida
mengandung 30 residu asam amino dan yang lain mengandung 21 residu
asam amino. Kortikotropin mengandung 39 residu asam amino dan
hormon oksitosin hanya mengandung 9 residu asam amino.

IV. Protein
a. Klasifikasi

i. Berdasarkan bentuknya protein dikelompokkan sebagai berikut :

1. Protein Fibriler (skleroprotein) adalah protein yang berbentuk


serabut. Protein ini tidak larut dalam pelarut-pelarut encer, baik
larutan garam, asam basa ataupun alkohol. Berat molekulnya yang
besar belumdapat ditentukan dengan pasti dan sukar dimurnikan.
Susunan molekulnya terdiri dari rantai molekul yang panjang sejajar
dengan rantai utama, tidak membentuk kristal dan bila rantai ditarik
memanjang, dapat kembali pada keadaan semula. Contoh protein
fibrilier adalah kolagen yang terdapat pada tulang rawan, miosin
pada otot, keratin pada rambut dan fibrin pada gumpalan darah.
2. Protein globuler atau steroprotein yaitu protein yang berbentuk bola.
Protein ini banyak terdapat pada bahan pangan seperti susu, telur,
dan daging. Protein ini larut dalam larutan garamdan asam encer,
juga lebih mudah berubah di bawah pengaruh suhu, konsentrasi
garam, pelarut asam dan basa dibandingkan protein fibriler. Protein
ini mudah terdenaturasi, yaitu susunan molekulnya berubah diikuti
dengan perubahan fisik dan fisiologiknya seperti yang dialami oleh
enzim dan hormon.
(Agus, 2009)

ii. Menurut kelarutannya, protein globuler dapat dibagi ke dalam beberapa


group, yaitu :

1. Albumin : larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas. Contohnya


albumin telur, albumin serum, dan laktalbumin dalam susu.
2. Globulin : tidak larut dalam air, terkoagulasi oleh panas, larut dalam
larutan garam encer mengendap dalam larutan garam konsentrasi
tinggi. Contohnya adalah miosinogen dalam otot, ovoglobulin dalam
kuning telur, amandin dari buah almonds dan legumin dalam kacang-
kacangan.
3. Glutelin : tidak larut dalam pelarut netral tetapi larut dalam asam
atau basa encer. Contohnya adalah glutelin gandum dan orizenin
dalam beras.
4. Prolamin atau gliadin : larut dalam alkohol 70-80% dan tak larut
dalam air maupun alkohol absolut. Contohnya adalah prolamin dalam
gandum, hordain dalam barley, dan zero dalam jagung.
5. Histon : larut dalam air dan tidak larut dalam amonia encer.
Contohnya adalah Histon dalam hemoglobin.
6. Protamin : Protein paling sederhana dibandingkan dengan protein-
protein lain, tetapi lebih kompleks dari pada protein dan peptida,
larut dalam air dan tidak terkoagulasi oleh panas. Contoh : salmin
dalam ikan salmon, klupein pada ikan berring, skombrin pada ikan
mackerel dan sipirinin pada ikan karper.
(Agus, 2009)
iii. Berdasarkan senyawa pembentuknya protein dikelompokkan menjadi
berikut ini yaitu :
1. Protein sederhana (protein saja) contohnya adalah hemoglobin.
2. Protein Konyugasi dan senyawa non protein.
Protein yang mengandung senyawa lain non protein disebut protein
konyugasi, sedangkan protein yang tidak mengandung senyawa non-
protein disebut protein sederhana. Ada bermacam-macam protein
konyugasi, yang perbedaannya terletak pada senyawa non-protein
yang bergabung dengan molekul proteinnya. Contohnya adalah
Glikoprotein terdapat pada hati, lipoprotein terdapat pada kuning
telur, dan kasein terdapat pada susu.
(Agus, 2009)

Tabel Beberapa Jenis Protein Konyugasi


Nama Tersusun oleh Terdapat pada
Nukleoprotein Protein + asam nukleat Intisel, kecambah biji-bijian
Glikoprotein Protein + karbohidrat Musin pada kelenjar ludah,
tendomusin pada tendon, hati
Fosfoprotein Protein + fosfat yang Kasein susu dan vitelin /kuning
mengandung lesitin telur
Kromoprotein Protein + pigmen (ion Hemoglobin
(metaloprotein) logam)
Lipoprotein Protein + lemak Serum darah, kuning telur,
susu, darah
Sumber : Harrow dan Mazur (1962)
b. Struktur

i. Primer
Susunan Linier asam amino dalam protein merupakan struktur
primer. Susunan tersebut merupakan suatu rangkaian unik dari asam
amino yang menentukan sifat dasar dari berbagai protein, dan secara
umum menentukan bentuk struktur sekunder dan tersier. (Winarno,
2008)
Bila protein mengandung banyak asam amino dengan gugus
hidrofobik, kelarutannya dalam air kurang baik dibandingkan dengan
protein banyak mengandung asam amino dengan gugus hidrofil.
(Winarno, 2008)

ii. Sekunder
Bila hanya struktur primer yang ada dalam protein, maka molekul
protein tersebut akan merupakan bentuk yang sangat panjang dan tipis.
Struktur tersebut memungkinkan terjadinya banyak sekali reaksi dengan
senyawa lain, yang kenyataannya hal tersebut tidak terjadi di alam.
(Winarno, 2008)
Dalam kenyataannya struktur protein biasanya polipeptida yang
terlipat-lipat, merupakan bentuk tiga dimensi dengan cabang-cabang
rantai polipeptidanya tersusun saling berdekatan. Struktur yang demikian
disebut struktur sekunder. (Winarno, 2008)
Contoh bahan yang memiliki struktur ini adalah bentuk α-heliks
pada wol, bentuk lipatan-lipatan (wiru) pada molekul-molekul sutera,
serta bentuk heliks pada kolagen. Dalam bentuk lipatan-lipatan, kerangka
peptida protein mempunyai pola zig-zag dengan gugus R mencuat ke atas
dan ke bawah. Struktur sekunder terdiri dari satu rantai polipeptida.
(Winarno, 2008)
iii. Tersier
Bentuk penyusunan bagian terbesar rantai cabang disebut
struktur tersier, artinya adalah susunan dari struktur sekunder yang satu
dengan sekunder bentuk lain. Contoh : beberapa protein yang
mempunyai bentuk α-heliks dan bagian yang tidak berbentuk α-heliks.
(Winarno, 2008)
Biasanya bentuk-bentuk sekunder ini dihubungkan dengan ikatan
hidrogen, ikatan garam, interaksi hidrofobik, dan ikatan disulfida. Ikatan
merupakan ikatan yang terkuat dalam mempertahankan struktur protein.
(Winarno, 2008)
Ikatan hidrofobik terjadi antara ikatan-ikatan nonpolar molekul-
molekul, sedang ikatan-ikatan garam ternyata tidak begitu penting
peranannya terhadap struktur tersier molekul. Ikatan garam mempunyai
kecenderungan bereaksi dengan ion-ion lain disekitar molekul. (Winarno,
2008)

iv. Kuartener
Struktur primer, sekunder dan tersier umumnya hanya melibatkan
satu rantai polipeptida. Tetapi bila struktur ini melibatkan beberapa
polipeptida dalam membentuk suatu protein,maka disebut struktur
kuartener. (Winarno, 2008)
Pada umumnya ikatan-ikatan yang terjadi sampai terbentuknya
protein sama dengan ikatan-ikatan yang terjadi pada struktur tersier.
(Winarno, 2008)

c. Denaturasi
Bila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekul protein
berubah, maka dikatakan protein ini terdenaturasi, sebagian besar protein
globuler mudah mengalami denaturasi. Jika ikatan-ikatan yang membentuk
konfigurasi molekul tersebut rusak, molekul akan mengembang. Kadang-
kadang perubahan ini memang dikehendaki dalam pengolahan makanan,
tetapi sering pula dianggap merugikan sehingga perlu dipecah. (Winarno,
2008)
Ada dua macam denaturasi, yaitu pengembangan rantai peptida dan
pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai
pengembangan molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini tergantung
pada keadaan molekul. Yang pertama terjadi pada rantai polipeptida,
sedangkan yang kedua terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung
dalam ikatan sekunder. Ikatan-ikatan yang dipengaruhi oleh proses
denaturasi ini adalah :
a. Ikatan hidrogen;
b. Ikatan hidrofobik misalnya pada leusin, valin, fenilalanin, triptofan yang
saling berlekatan membentuk suatu miscelle dan tidak larut dalam air;
c. Ikatan ionik antara gugus bermuatan positif dan negatif;
d. Ikatan intramolekuler seperti yang terdapat pada gugus disulfida dalam
sistin;
(Winarno, 2008)
Denaturasi dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap
struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa
terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Karena itu denaturasi dapat pula
diartikan suatu proses terpecahnya hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam
dan terbukanya lipatan atau wiru molekul. (Winarno, 2008)

d. Sifat-sifat

Sifat fisikokimia setiap protein tidak sama, tergantung pada


jumlah dan jenis asam aminonya. Berat molekul protein sangat besar
sehingga bila protein dilarutkan dalam air akan membentuk suatu dispersi
koloidal. Molekul protein tidak dapat melalui membran semipermiabel,
tetapi masih dapat menimbulkan tegangan pada membran tersebut.
(Agus, 2009)
Ada protein yang larut dalam air, ada pula yang tidak larut dalam
air, tetapi semua protein tidak larut dalam pelarut lemak seperti misalnya
etil eter. Bila dalam suatu larutan protein ditambahkan garam, daya larut
protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai
endapan. Peristiwa pemisahan protein ini disebut salting out. Bila gram
netral yang ditambahkan berkonsentrasi tinggi, maka protein akan
mengendap. (Agus, 2009)
Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai
molekul protein, menyebabkan protein mempunyai banyak muatan
(polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam
maupun dengan basa). Daya reaksi berbagai hems protein terhadap asam
dan basa tidak sama, tergantung dari jumlah dan letak gugus amino dan
karboksil dalam molekul. Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino
bereaksi dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi
ini dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda.
Sebaliknya dalam larutan basa (pH tinggi) molekul protein akan bereaksi
sebagai asam arse bermuatan negatif, sehingga molekul protein akan
bergerak menuju anoda. Pada pH tertentu yang disebut titik isolistrik (pl),
muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan
sehingga molekul bermuatan nol. Tiap jenis protein mempunyai titik
isolistrik yang berlainan. Pengendapan paling cepat terjadi pada titik
isolistrik ini dan prinsip ini digunakan dalam proses-proses pemisahan
serta pemurnian protein. (Agus, 2009)
V. Aplikasi

Pengaruh Penambahan Isolat Protein Koro Pedang (Canavalia ensiformis


L.) Terhadap Karakteristik Cake

Penambahan isolat protein koro pedang mempengaruhi karakteristik


cake yang dihasilkan. Pada konsentrasi rendah, penambahan isolat protein
menyebabkan penambahan volume, pengurangan berat jenis, dan
melunakkan tekstur cake yang dihasilkan. Namun penambahan yang
berlebihan dapat menurunkan volume, meningkatkan berat jenis, dan
mengeraskan tekstur cake yang dihasilkan. Penambahan isolat protein koro
pedang hanya berpengaruh kecil terhadap baking loss dari cake yang
dihasilkan. Lebih lanjut, semakin besar penambahan isolat protein, semakin
rendah kecepatan staling dari cake. Disarankan bahwa karakteristik cake
dapat diperbaiki dengan penambahan isolat protein sebesar 1% dari jumlah
tepung terigu. Namun demikian, karena isolat ini masih mengandung protein
yang rendah maka diperlukan usaha untuk memperbaiki proses isolasi hingga
dihasilkan isolat protein yang baik. Dengan demikian jumlah penambahan
isolat protein pada cake pun dapat dikurangi.

Pengaruh Penambahan Kacang Tunggak (Vigna Unguiculata) dan


Konsentrasi Bahan Penggumpal (CaSO4) Pada Sifat-sifat Tahu Sutera Yang
Dihasilkan

Pembuatan tahu sutera dari kedelai yang disubstitusi kacang tunggak


dengan berbagai konsentrasi bahan penggumpal. Tahu sutera bisa dibuat
dari kedelai yang disubstitusi dengan kacang tunggak, dan pada konsentrasi
bahan penggumpal dihasilkan tahu sutera yang bertekstur halus, dan
kompak.
Semakin banyak substitusi kacang tunggak akan menghasilkan tahu
yang semakin lunak, kadar air semakin besar dan semakin tidak disukai
panelis. Kadar bahan penggumpal (CaSO4) semakin besar tekstur semakin
kompak dan kadar protein semakin besar.
Tahu sutera yang masih disukai yaitu yang terbuat dari kedelai 80%
dan kacang tunggak 20% dengan bahan penggumpal 12 g/kg kedelai dengan
kriteria : kadar air 78,41% (bb), kadar protein 56,19% (bk), rendemen 229%
dan tekstur 2,86 N.

Pengaruh Substitusi Tepung Kedelai Terhadap Kadar Protein Dan Daya


Terima Tepung Gaplek Serta Hasil Olahannya

Rata-rata kadar protein pada kelompok kontrol (tanpa substitusi


tepung kedelai) relatif rendah, yaitu kurang dari 2,00 gram %; dan nilai
protein akan semakin tinggi apabila semakin banyak substitusi tepung kedelai
yang ditambahkan. Namun demikian tingginya kadar protein belum cukup
memberikan daya terima yang baik dari masyarakat
Penilaian secara keseluruhan menunjukkan ada kecenderungan
penurunan skor pada aspek rasa, aroma dan tekstur seiring dengan substitusi
konsentrasi tepung kedelai yang semakin tinggi. Konsentrasi yang dianjurkan
adalah substitusi tepung kedelai 10 %, karena dengan konsentrasi tersebut
memberikan daya terima yang paling baik serta sumbangan kadar protein
cukup tinggi (mencapai 4,6931 gram %).

VI. Analisis Protein

a. Kualitatif
Uji kualitatif dapat dilakukan berdasarkan uji warna atau pengendapan.
Berikut adalah uji protein, seperti :

Uji Ninhidrin :uji paling umum untuk menentukan adanya protein dari
suatu baha . Se ua asa a i o da peptida yag e ga du g gugus α-
amino bebeas memberikan reaksi ninhidrin positif dengan menunjukkan
reaksi terbentuknya warna biru sampai ungu.
Uji Biuret : Uji ini didasarkan pada reaksi pembentukan kompleks Cu2+
dengan gugus -CO dan -NH dari rantai peptida dalam suasana basa.Hasil
positifnya akan membentuk warna ungu. Uji Biuret adalah uji umum
untuk protein(ikatan peptida), tetapi tidak dapat menunjukkan asam
amino bebas. Zat yang akan diselidiki mula-mula ditetesi larutan NaOH,
kemudian ditetesi larutan tembaga(II)sulfat yang encer. Jika terbentuk
warna ungu berarti zat itu mengandung protein.

Uji reduksi Sulfur : untuk mengetahui suatu protein yang mengandung


asam amino dengan atom S, misalnya cystein dan methionin. Pada uji ni
dalam suasanan basa,Pb asetat aka bereaksi dengan S dari asam amino
membentuk garam PbS berwarna hitam.
Uji Xantoprotein : uji umum untuk mengetahui protein dengan asma
amino dengan cincin benzena, misalnya Tyrosin, Fenilanin dan Tritopfan.
Apabila dipanaskan dehan HNO3 pekat akan dihasilkan endapan putih
yang segera berubah mejadi kuning tua. Penambahan alkali atau amonia
pekat mengubah warna zat menjadi jingga.
Uji Millon Nasse: untuk mengetahui adanya asam amino Tyrosin. Tetapi
tidak terlalau spesifik karena fenoljuga memberikan uji positif. Pereaksi
Millon Nasse berisi merkuri dan ion merkuri dalam asam nitrat dan asam
nitrit. Warna merah yang terbentuk adalah garam merkuri dan Tyrosin
yang ternitrasi.
Uji Pengendapan oleh Logam : garam logam seperti Ag, Pb dan Hg akan
membentuk endapan logam proteinat. Ikatan amat kuat dan akan
memutuskan jembatan garam, sehingga protein mengalami denaturasi.
Proses deanturasi tersebut akan menimbulkan endapan.(Elisabeth, 2010)

b. Kuantitatif

Kjedahl

Metode Kjedahl merupakan metode yang sederhana untuk


penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang
mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis
dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan amonium sulfat.
Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang terbentuk disuling uap
secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan ditetapkan secara titrasi.
Metode ini telah banyak mengalami modifikasi. Metode ini cocok digunakan
secara semimikro, sebab hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi
yang sedikit dan waktu analisa yang pendek. Metode ini kurang akurat bila
diperlukan pada senyawa yang mengandung atom nitrogen yang terikat
secara langsung ke oksigen atau nitrogen. Tetapi untuk zat-zat seperti
amina,protein,dan lain – lain hasilnya lumayan.
Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar
dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan
cara ini adalah kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis tersebut
dengan angka konversi 6,25, diperoleh nilai protein dalam bahan makanan
itu. Untuk beras, kedelai, dan gandum angka konversi berturut-turut sebagai
berikut: 5,95; 5,71 dan 5,83. Angka 6,25 berasal dari angka konversi serum
albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen.
Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah sebagai berikut: mula-mula bahan
didestruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium
oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi
dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan
atas dua cara, yaitu cara makro dan semimakro.
1. Cara makro Kjeldahl digunakan untuk contoh yang sukar
dihomogenisasi dan besar contoh 1-3 g
2. Cara semimikro Kjeldahl dirancang untuk contoh ukuran kecil
yaitu kurang dari 300 mg dari bahan yang homogen.
Cara analisis tersebut akan berhasil baik dengan asumsi nitrogen
dalam bentuk ikatan N-N dan N-O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah
yang besar. Kekurangan cara analisis ini ialah bahwa purina, pirimidina,
vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina, dan kreatinina ikut teranalisis
dan terukur sebagai nitrogen protein. Walaupun demikian, cara ini kini masih
digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar protein dalam
bahan makanan.
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga
tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi.
1.Tahap destruksi
Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat
sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen
teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O. Sedangkan nitrogennya (N) akan
berubah menjadi (NH4)2SO4. Untuk mempercepat proses destruksi sering
ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO (20:1). Gunning
menganjurkan menggunakan K2SO4 atau CuSO4. Dengan penambahan
katalisator tersebut titk didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi
berjalan lebih cepat. Selain katalisator yang telah disebutkan tadi, kadang-
kadang juga diberikan Selenium. Selenium dapat mempercepat proses
oksidasi karena zat tersebut selain menaikkan titik didih juga mudah
mengadakan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah atau sebaliknya.

Reaksi yang terjadi pada tahap ini adalah:


H destruksi
R-C-COOH → NH3 + CO2 + H2O
NH2 H2SO4
Asam amino CuSO4
(protein) Na2SO4
NH3 + H2SO4 → (NH4)2SO4
Hasil Destruksi

2.Tahap destilasi
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia
(NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Agar supaya
selama destilasi tidak terjadi superheating ataupun pemercikan cairan atau
timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat ditambahkan logam zink
(Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh asam
khlorida atau asam borat 4 % dalam jumlah yang berlebihan. Agar supaya
kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung
destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam
dalam keadaan berlebihan maka diberi indikator misalnya BCG + MR atau PP.

Reaksi yang terjadi pada tahap ini adalah:


(NH4)2SO4 + NaOH NH3 + H2O + Na2SO4
NH3 + HCl 0,1 N NH4Cl
Berlebihan

3.Tahap titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam khlorida maka sisa asam
khorida yang bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar (0,1
N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan menjadi
merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator PP.

Reaksi yang terjadi pada tahap ini adalah:


HCl 0,1 N + NaOH 0,1 N → NaCl + H2O
Kelebihan

Kandungan nitrogen kemudian dapat dihitung sebagai berikut:


%N = ml NaOH blanko – ml NaOH sampel × N. NaOH × 14,008 × 100%
Gram bahan x 1000

Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya


asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi
menggunakan asam khlorida 0,1 N dengan indikator (BCG + MR). Akhir titrasi
ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda.
Kandungan nitrogen kemudian dapat dihitung sebagai berikut:
%N = ml NaOH blanko – ml NaOH sampel × N. HCl × 14,008 × 100%
Gram bahan x 1000

Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan


mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini
tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan.
Kadar protein (%) = % N x faktor konversi
Nilai faktor konversi berbeda tergantung sampel:

1. Sereal 5,7
2. Roti 5,7
3. Sirup 6,25
4. Biji-bijian 6,25
5. Buah 6,25
6. Beras 5,95
7. Susu 6,38
8. Kelapa 5,20
9. Kacang Tanah 5,46

Apabila faktor konversi tidak diketahui, faktor 6,25 dapat digunakan .


Faktor ini diperoleh dari fakta rata-rata nitrogen dalam protein adalah 16 %.
Kadar Protein (%) = N x 100/16
= N x 6,25
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita.2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia: Jakarta.


Krisno Budianto, M.Kes, Agus.2009. Dasar-dasar Ilmu Gizi. UMM Press:
Malang.
Winarno, F.G.2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi Terbaru. M-Brio Press :
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai