1. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ? Jika ada
obstruksi maka lakukan :
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
• Suction / hisap (jika alat tersedia)
• Guedel airway / nasopharyngeal airway
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas. Jika pernafasan
tidak memadai maka lakukan :
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernafasan buatan
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan
pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
• Hentikan perdarahan eksternal
• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
• Berikan infus cairan
2. RJP atau CPR adalah kombinasi tindakan kompresi dada dan bantuan napas. Ketika jantung
tidak bisa berdetak, kompresi dada diperlukan untuk sirkulasi darah yang membawa oksigen.
Agar kompresi dada efektif, maka korban harus dalam posisi terlentang pada permukaan rata
dan keras
"Perhatikan apakah kondisi sekitar aman bagi korban, si penolong, dan orang lain yang berada di
sekitar. Hal ini penting agar si penolong tidak terkena bahaya seperti sisa arus listrik dan
lainnya," ucap Vani dalam pelatihan tersebut.
Cek respon atau kesadaran dilakukan saat penolong memastikan bahwa kondisi sekitar aman.
Penilaian tingkat kesadaran korban dapat dilakukan dalam empat tahap. Pertama, cek apakah
korban sadar? Apakah korban merespon dengan panggilan suara? Apakah korban merespon
apabila ada pemberian rasa sakit, seperti ditepuk pundaknya.
Jika tidak memberikan respon, mintalah seseorang untuk menghubungi ambulan, mengambil P3k
dan Defibrilator Eksternal Otomatis (AED), jika ada.
Selain itu, cek apakah korban bernapas atau tidak. Jika tidak, korban baru bisa mendapatkan
penanganan CPR. Pengecekan napas bisa dilakukan dengan melihat pergerakan dada
RJP atau CPR adalah kombinasi tindakan kompresi dada dan bantuan napas. Ketika jantung
tidak bisa berdetak, kompresi dada diperlukan untuk sirkulasi darah yang membawa oksigen.
Agar kompresi dada efektif, maka korban harus dalam posisi terlentang pada permukaan rata dan
keras.
Langkah melakukan kompresi dada dewasa yaitu dengan memberikan penekanan pada dada
sebanyak 30 kali penekanan dengan kedalaman 5 sampai 6 cm. Lokasi penekanan berada pada
pertengahan dada yaitu di bawah tulang sternum.
Setelah memberikan 30 kali kompresi dada, buka jalan napas dengan menggunakan cara
meletakkan satu tangan di dahi korban dan tengadahkan kepala korban.
Kemudian letakkan ujung jari di bawah dagu korban, kemudian angkat dagunya. Posisi ini akan
mempertahankan jalan napas tetap terbuka.
3. Triase IGD adalah proses penentuan atau seleksi pasien yang diprioritaskan untuk mendapat
penanganan terlebih dahulu di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit
1. Prioritas I (Tertinggi)
Merupakan golongan cedera atau penyakit yang mengancam nyawa namun masih
bisa diatasi. Yaitu korban (penderita) yang berada dalam kondisi kritis seperti
gangguan pernafasan, perdarahan yang belum terkendali ataupun perdarahan besar
dan penurunan status mental (respon).
2. Prioritas II (Sedang)
Merupakan golongan yang perlu pertolongan. Yaitu korban (penderita) luka bakar
tanpa gangguan pernafasan, nyeri hebat setempat, nyeri pada beberapa lokasi alat
gerak termasuk bengkak ataupun perubahan bentuk lainnya, cedera punggung, dsj.
Golongan cedera mematikan atau korban (penderita) yang telah meninggal. Misal :
cedera kepala yang terpisah dari badan atauupun cedera lain yang secara manusia
tidak dapat ditolong.
2. Pemeriksaan Pernafasan.
Penolong mendatangi para korban (penderita) yang tidak mampu berjalan dan
lakukan penilaian pernafasan secara cepat dan sistematis (tidak terlalu
menghabiskan banyak waktu pada proses penilaian). Apabila korban (penderita)
tidak bernafas, maka bersihkan dan buka jalan nafas. Apabila korban (penderita)
masih tidak bernafas, maka beri label warna HITAM. Apabila korban (penderita)
mampu bernafas kembali, maka lakukan penilaian pernafasan dimana jika korban
dalam waktu 5 (lima) detik mampu bernafas 3 (tiga) kali hembusan secara konstan
maka beri label warna MERAH dan apabila kurang dari itu lanjutkan ke langkah
nomor 3 (tiga) di bawah. Beritahukan kepada penolong lain untuk memindahkan
korban (penderita) yang sudah diberi label ke pos pertolongan sesuai label masing-
masing.
3. Penilaian Sirkulasi.
Penolong memeriksa nadi karotis (nadi di dekat urat leher) pada korban (penderita).
Jika tidak ada nadi, maka beri label warna MERAH dan jika ada maka lanjutkan ke
langkah nomor 4 (empat) di bawah. Beritahukan kepada penolong lain untuk
memindahkan korban (penderita) yang sudah diberi label ke pos pertolongan sesuai
label masing-masing.
4. Penilaian Mental.
Dalam langkah ini, korban (penderita) berarti masih memiliki nafas yang cukup dan
sirkulasi yang baik. Penolong memeriksa status mental korban (penderita) dengan
cara meminta korban (penderita) untuk mengikuti perintah sederhana seperti
menggerakkan jari atau mengarahkan pandangan mata ke arah tertertu, dsj. Jika
korban (penderita) mampu mengikuti perintah sederhana, maka berikan label
warna KUNING dan apabila korban (penderita) tidak mampu mengikuti perintah
sederhana, maka berikan label warna MERAH. Beritahukan kepada penolong lain
untuk memindahkan korban (penderita) yang sudah diberi label ke pos pertolongan
sesuai label masing-masing
5. Dampak emosional jangka pendek yang masih dapat dilihat dengan jelas meliputi rasa takut
dan cemas yang akut, rasa sedih dan bersalah yang kronis, serta munculnya perasaan hampa.
Pada sebagian orang perasaan-perasaan ini akan pulih seiring berjalannya waktu. Namun pada
sebagian yang lain dampak emosional bencana dapat berlangsung lebih lama berupa trauma dan
problem penyesuaian pada kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca
bencana.
Gejala- gejala gangguan emosi yang terjadi merupakan sumber distress dan dapat mempengaruhi
kemampuan penyintas bencana untuk menata kehidupannya kembali. Apabila tidak segera
direspons akan menyebabkan penyintas, keluarga, dan masyarakat tidak dapat berfungsi dalam
kehidupan dengan baik (Retnowati, 2012).