Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. KONSEP DASAR MEDIS

A. Pengertian

Mioma uteri adalah tumor jinak otot rahim disertai jaringan ikatnya,

sehingga dapat dalam bentuk padat karena jaringan ikatnya dominan dan

lunak serta otot rahimnya dominan (Manuaba I.G, 2010 : 87).

Mioma uteri adalah penyakit yang berjenis tumor. Berbeda dengan

penyakit kanker, mioma tidak mempunyai kemampuan menyebar

keseluruh tubuh (Setiati E, 2009 : 82).

Mioma uteri adalah tumor jinak otot rahim dengan berbagai komposisi

jaringan ikat (Manuaba.I.G, 2001 : 600).

Mioma uteri atau yang dikenal dengan leiomioma uteri atau

fibromioma uteri fibroid adalah tumor jinak rahim yang paling sering di

dapatkan pada wanita. Mioma uteri merupaka tumor paling umum pada

traktus genitalis. Leiomioma berasal dari sel otot polos rahim dan pada

beberapa kasus berasal dari otot polos pembuluh darah rahim (Derek,

2002).

B. Etiologi

Penyebab terjadinya mioma adalah adanya rangsangan hormon

estrogen terhadap sel-sel yang ada di otot rahim. Mioma uteri ini

merupakan akibat pengaruh estrogen. Oleh karena itu, mioma ini sangat

jarang ditemukan pada anak-anak usia pubertas, bahkan nyaris tidak

8
pernah. Anak usia pubertas belum memiliki rangsangan estrogen.

Sementara itu, pada wanita menopouse, mioma biasanya mengecil kerena

estrogen sudah berkurang (Setiati, E, 2009 : 84).

Menurut Manuaba (2007), faktor-faktor penyebab mioma uteri belum

diketahui, namun ada 2 teori yang menjelaskan faktor penyebab mioma

uteri, yaitu:

1. Teori stimulasi

Berpendapat bahwa estrogen sebagai faktor etiologi dengan alasan:

a. Mioma uteri sering kali tumbuh lebih cepat pada masa hamil.

b. Neoplasma ini tidak pernah ditemukan sebelum menarche.

c. Mioma uteri biasanya mengalami atrofi sesudah menopause.

d. Hiperplasia endometrium sering ditemukan bersama dengan

mioma uteri.

2. Teori cellnest atau genitoblas

Tejadinya mioma uteri tergantung pada sel-sel otot imatur yang

terdapat pada cellnest yang selanjutnya dapat dirangsang terus menerus

oleh estrogen.

Di samping itu menurut Setiati E, 2009, ada beberapa faktor yang

diduga kuat merupakan faktor predisposisi terjadinya mioma uteri

yaitu:

9
1. Umur

Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan

sekitar 10% pada usia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering

memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.

2. Paritas

Lebih sering pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil, tetapi

sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas menyebabkan

mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri menyebabkan infertilitas,

atau apakah kedua keadaan ini saling mempengaruhi.

3. Faktor ras dan genetik

Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka

kejadian mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor

ini tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita

mioma.

4. Fungsi ovarium

Diperkirakan ada kolerasi antara hormon estrogen dengan

pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarche,

berkembang setelah kehamilan dan mengalami regenerasi setelah

menopause.

C. Patofisiologi

Leiomioma adalah tumor jinak uterus yang berbatas tegas. Nama

lainnya untuk tumor ini adalah fibroid, mioma, fibroma, dan fibromioma.

10
Kira-kira 20-25% dari perempuan diatas usia 35 tahun mempunyai

leiomioma uteri.

Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit kecil yang dalam miometrium

dan lambat laun membesar karena pertumbuhan itu miometrium terdesak

menyusus semacam pseudekapsula atau simpai semu mengelilingi tumor

di dalam uterus mungkin terdapat satu mioma, akan tetapi mioma biasanya

banyak. Jika ada satu mioma yang tumbuh imatural dalam korpus uteri

maka korpus ini tampak bundar dan konsistensi padat. Bila terletak pada

dinding depan uterus, mioma dapat menonjol ke depan sehingga menekan

dan mendorong kandung kemih ke atas sehingga sering menimbulkan

keluhan miksi.

Umumnya tumor ini terdiri dari otot polos dan sebagian jaringan

fibrosa. Ukuran leiomioma sangat bervariasi, dan dapat begitu besar

sehingga memenuhi rongga panggul dan abdomen. Tumor ini dapat

beregenerasi karena perubahan dalam aliran darah yang menuju tumor

akibat pertumbuhan, kehamilan, atau atrofi uterus pada menopause. Torsi

atau terputarnya tumor mioma uteri bertangkai dapat juga terjadi.

Mioma uteri kadang-kadang dapat dipalpasi pada abdomen; tumor ini

paling sering terdiagnosis jika teraba massa pada pemeriksaan panggul

bimanual. Kebanyakan mioma uteri tidak menimbulkan gejala, sehingga

tidak memerlukan penanganan. Tetapi, masalah dapat timbul jika terjadi

perdarahan abnormal uterus yang berlebihan sehingga mengakibatkan

anemia yang dapat mengakibatkan kelemahan fisik, kondisi tubuh lemah,

11
sehingga kebutuhan perawatan diri tidak terpenuhi. Selain itu dengan

perdarahan yang banyak bisa mengakibatkan seseorang mengalami

kekurangan volume cairan (Sastrawinata S : 151).

Penekanan pada kandung kemih yang menyebabkan sering berkemih

dan urgensi, serta potensial untuk terjadinya sistitis; penekanan pada

rektum menyebabkan konstipasi; dan nyeri jika tumor beregenerasi atau

jika terjadi torsi dari mioma uteri bertangkai.

Pada perempuan yang asimtomatik atau mendekati usia menopause,

atau yang memiliki tumor ukuran kecil, tidak diperlukan tindakan khusus.

Pemeriksaan teratur harus dilakukan untuk memantau perubahan. Selama

masa usia reproduksi, dapat dilakukan miomektomi jika timbul gejala-

gejala bermakna yang mengakibatkan infertilitas akibat mioma uteri. Pada

beberapa kasus, mungkin perlu dilakukan histerektomi, contohnya, jika

terjadi perdarahan uterus abnormal yang nyata, khususnya pada

perempuan perimenopause (Price, S.A, 2005 : 1293).

D. Klasifikasi

Klasifikasi mioma uteri menurut lokasinya yaitu:

1. Intramural, terletak di dalam dinding otot uterus dan dapat merusak

bentuk rongga uterus, atau dapat pula menonjol pada permukaan luar.

2. Subserosa, terletak tepat di bawah lapisan serosa dan menonjol keluar

dari permukaan uterus. Tumor ini dapat bertangkai dan meluas dalam

rongga panggul atau rongga abdomen.

12
3. Submukosa, terletak tepat di bawah lapisan endometrium. Tumor ini

juga dapat bertangkai dan dapat menonjol ke dalam rongga uterus,

melalui ostium serviks ke dalam vagina, atau keluar melalui lubang

vagina. Pada kasus yang terakhir, dapat terjadi komplikasi infeksi,

(Price, S.A, 2005 : 1293).

E. Manifestasi Klinis

Menurut Manuaba (2001), gejala klinik mioma uteri adalah:

1. Perdarahan tidak normal

a. Hipermenorea, perdarahan banyak saat menstruasi.

b. Meluasnya permukaan endometrium dalam proses mentruasi.

c. Gangguan kontraksi otot rahim.

d. Perdarahan berkepanjangan, akibatnya penderita mengeluh anemis

karena kekurangan darah, pusing, lelah, dan mudah terjadi infeksi.

2. Penekanan rahim

Penekanan rahim karena pembesaran mioma uteri dapat:

a. Terasa berat di abdomen bagian bawah.

b. Sukar miksi atau defekasi.

c. Terasa nyeri karena tekanan pada saraf.

3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan

Kehamilan dengan disertai mioma uteri menimbulkan proses saling

mempengaruhi:

a. Kehamilan dapat mengalami keguguran.

b. Persalinan prematuritas.

13
c. Gangguan saat proses persalinan.

d. Tertutupnya saluran indung telur menimbulkan infertilitas.

e. Kala tiga terjadi gangguan pelepasan plasenta dan perdarahan.

F. Komplikasi

Komplikasi mioma uteri menurut Wiknjosastro (2007), yaitu:

1. Degenerasi ganas

Keganasan umumnya terjadi ditemukan pada pemeriksaan histologi

uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila

mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang

mioma dalam menopause.

2. Torsi (putaran tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul

gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis, sehingga terjadi

sindrom abdomen akut. Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan

infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi pada darahnya.

3. Nekrosis dan infeksi

Pada mioma sub mukosum yang terjadi polip, ujungnya kadang dapat

melalui kanalis servikalis dan dialirkan ke vagina. Dalam hal ini

kemungkinan terjadi nekrosis dan infeksi sekunder, penderita

mengeluh tentang pendarahan yang bersifat menorgia atau metrogania

dan leukea.

4. Perdarahan sampai terjadi anemia.

5. Pengaruh timbal balik mioma dan kehamilan.


6. Pengaruh mioma terhadap kehaliman.

14
G. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Mansjoer (2002), pemeriksaan yang dilakukan pada kasus mioma

uteri untuk menegaskan diagnosisnya adalah:

1. Pemeriksaan darah lengkap

Hb turun, albumin turun, leukosit turun/meningkat, eritrosit turun.

2. USG (Ultrasonografi)

Terlihat massa pada daerah uterus.

3. Vaginal toucher

Didapatkan perdarahan pervaginam, teraba massa, konsistensi dan

ukurannya.

4. Sitologi

Menemukan tingkat keganasan dari sel-sel neoplasma tersebut.

5. Rontgen

Untuk mengetahui kelainan yang mungkin ada yang dapat

menghambat tindakan operasi.

6. ECG

Mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi, yang dapat memengaruhi

tindakan operasi.

7. Histeroskopi

Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa,

jika tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat

diangkat.

8. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

15
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi

mioma, tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai

massa gelap terbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium yang

normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3mm yang dapat

dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma submukosa. MRI dapat

menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-kasus yang tidak dapat

disimpulkan.

H. Penatalaksanaan

Penanganan bergantung pada intensitas gejala, ukuran, lokasi, usia

pasien, paritas, status kehamilan, keinginan mempunyai anak, serta kondisi

kesehatan secara umum. Pilihan terapi meliputi tindakan nonbedah dan

tindakan bedah. Terapi farmakologis umumnya tidak efektif dalam jangka

waktu yang lama bagi tumor fiboid (Kowalak, 2001).

Terapi nonfarmologis antara lain:

1. Observasi

Bila uterus lebih kecil dari ukuran normal uterus untuk kehamilan 12

minggu, tanpa disertai penyakit lain.

2. Ekstirpasi

Pengangkatan seluruh massa tumor beserta kapsulnya untuk mioma

submukosa bertangkai atau mioma lahir, umumnya dilanjutkan dengan

tindakan D/K.

16
3. Laparatomi dan miomektomi

Hal ini dilakukan bila fungsi reproduksi masih dibutuhkan dan secara

teknis masih memungkinkan untuk dilakukan tindakan tersebut.

Biasanya tindakan ini dilakukan untuk mioma intramural, subserosa,

dan subserosa bertangkai.

4. Laparatomi dan histerektomi

Tindakan ini dilakukan bila:

a. Fungsi reproduksi tidak diperlukan lagi.

b. Pertumbuhan tumor sangat cepat.

c. Sebagai tindakan homeostatis, dimana terjadi perdarahan yang

terus menerus dan tidak membaik dengan pengobatan.

Histerektomi yang dilakukan adalah histerektomi totalis tanpa

ovariektomi, namun bila mengalami kesulitan dapat dilakukan

histeretktomi subtotalis.

5. Ovariektomi bilateral

Tindakan ini dilakukan untuk penderita dengan usia di atas 50 tahun.

Setelah dilakukan tindakan ini penderita mendapatkan substitusi

hormonal (Achdiat, 2004).

Terapi farmakologis meliputi:

1. Preparat agonis GnRH

2. NSAID

17
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Aktivitas/Istirahat

Gejala : Kelemahan dan/atau keletihan.

Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada

malam hari; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur

mis., nyeri, ansietas, berkeringat malam.

Keterbatasan partisipasi dalam hobi, latihan.

Pekerjaan atau profesi dengan pemajanan karsinogen

lingkungan, tingkat stres tinggi.

Sirkulasi

Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.

Kebiasaan : Perubahan pada TD.

Integritas ego

Gejala : Faktor stres (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan

cara mengatasi stres (mis., merokok, minum alkohol,

menunda mencari pengobatan, keyakinan religius/spiritual).

Masalah tentang perubahan dalam penampilan mis.,

alopesia, lesi catat, pembedahan.

Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa,

tidak mampu, tidak berdaya, rasa bersalah, kehilangan

kontrol, depresi.

18
Tanda : Menyangkal, menarik diri, marah.

Eliminasi

Gejala : Perubahan pada pola defekasi mis., darah pada feses, nyeri

pada defekasi.

Perubahan pola urinasius mis., nyeri atau rasa terbakar pada

saat berkemih, hematuria, sering berkemih.

Tanda : Perubahan pada bising usus.

Makanan/cairan

Gejala : Kebiasaan diet buruk (mis., rendah serat, tinggi lemak,

aditif, bahan pengawet).

Anoreksia, mual/muntah.

Intoleransi makanan.

Perubahan pada berat badan; penurunan berat badan hebat,

kakeksia, berkurangnya massa otot.

Tanda : Perubahan pada kelembaban/turgor kulit; edema.

Neurosensori

Gejala : Pusing, sinkope.

Nyeri/kenyamanan

Gejala : Tidak ada nyeri, atau derajat bervariasi mis.,

ketidaknyamanan ringan sampai nyeri berat (dihubungkan

dengan proses penyakit).

19
Pernapasan

Gejala : Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang

yang merokok).

Pemajanan asbes.

Keamanan

Gejala : Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen.

Pemajanan matahari lama/berlebihan.

Tanda : Demam.

Ruam kulit, ulserasi.

Seksualitas

Gejala : Masalah seksual mis., dampak pada hubungan, perubahan

pada tingkat kepuasan.

Nuligravida lebih besar dari usia 30 tahun.

Multigravida, pasangan seks multipel, aktivitas seksual

dini. Herpes genital.

Interaksi sosial

Gejala : Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung.

Riwayat perkawinan (berkenaan dengan kepuasan di

rumah, dukungan atau bantuan).

Masalah tentang fungsi/tanggung jawab peran.

Penyuluhan/pembelajaran

Pertimbangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 5,4 hari.


Rencana pemulangan: Memerlukan bantuan sementara untuk transportasi,

pemeliharaan rumah.

20
B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu

atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi

dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,

menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Carpenito, 2002).

Setelah dilakukan pengkajian maka diagnosa yang muncul menurut

Wilkinson, J,M, 2016 yaitu:

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas, faktor yang berhubungan:

Lingkungan: merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif,

obstruksi jalan napas: spasme jalan napas, retensi sekret, mukus

berlebih, adanya jalan napas buatan, terdapat benda asing di jalan

napas, sekret di bronkhi, dan eksudat di alveoli.

2. Gangguan citra tubuh, faktor yang berhubungan: Pembedahan (mis.,

ostomi), krisis situasi, efek samping penanganan, faktor budaya atau

spiritual.

3. Ketidakefektifan pola napas, faktor yang berhubungan: Nyeri,

imobilitas, dan kondisi pasca-anestesi.

4. Konstipasi, faktor yang berhubungan: Penurunan aktivitas, penurunan

asupan cairan dan serat, kurang privasi, perubahan rutinitas harian,

penurunan peristalsis sekunder akibat anestesi dan analgesik narkotik.

21
5. Resiko infeksi, faktor risiko: Statis cairan tubuh, perubahan peristalsis,

depresi respon inflamasi, prosedur invasif dan jalur vena, insisi

pembedahan, kateter urine.

6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, faktor yang

berhubungan: Kehilangan nafsu makan, mual dan muntah, pembatasan

diet, peningkatan kebutuhan protein dan vitamin untuk penyembuhan.

7. Nyeri, faktor yang berhubungan: Insisi, distensi abdomen, dan

imobilitas.

8. Kekurangan volume cairan, faktor yang berhubungan: Kehilangan

darah yang tidak normal, kehilangan cairan yang tidak normal (mis.,

muntah), dan kegagalan mekanisme regulator.

9. Ansietas, faktor yang berhubungan: Prosedur pembedahan, prosedur

praoperasi (mis., insersi intravena, kateter foley, dan pembatasan

cairan), prosedur pascaoperasi (mis., batuk dan napas dalam, status

puasa).

10. Disfungsi seksual atau ketidakefektifan pola seksualitas, faktor yang

berhubungan: Nyeri, transisi yang berkaitan dengan kesehatan,

gangguan citra tubuh, perubahan fungsi atau struktur tubuh, reaksi

pasangan (mis., terhadap ostomi atau histerektomi), impotensi

fisiologis atau ketidakadekuatan lubrikasi vagina sekunder akibat

pembedahan.

22
C. Intervensi Keperawatan

Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah,

mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada

diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa

keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Nursalam, 2001).

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Menunjukkan bersihan jalan napas yang

efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan aspirasi; status pernapasan:

kepatenan jalan napas; dan status pernapasan: ventilasi tidak

terganggu.

Intervensi keperawatan:

Pengkajian

a. Kaji dan dokumentasikan hal-hal berikut ini:

Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain.

Keefektifan obat yang diprogramkan.

Hasil oksimetri nadi.

Kecenderungan pada gas darah arteri, jika bersedia.

Frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan.

Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif, mukus

kental, dan keletihan.

Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui

penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas

tambahan.

23
b. Pengisapan jalan napas (NIC):

Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakea.

Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO2 dan SvO2) dan status

hemodinamik (tingkat MAP [mean arterial pressure] dan irama

jantung) segera, sebelum, selama, dan setelah pengisapan.

Catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (mis.,

oksigen, mesin pengisap, spirometer, inhaler, dan intermitten

positive pressure breathing [IPPB]).

b. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan

merokok dalam ruang perawatan; beri penyuluhan tentang

pentingnya berhenti merokok.

c. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam

untuk memudahkan pengeluaran sekret.

d. Ajarkan pasien untuk membebat/mengganjal luka insisi pada saat

batuk.

e. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada

sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau.

f. Pengisapan jalan napas (NIC): Instruksikan kepada pasien

dan/atau keluarga tentang cara pengisapan jalan napas, jika perlu.

Aktivitas Kolaboratif

a. Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu.

24
b. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau

peralatan pendukung.

c. Berikan udara/oksigen yang telah dihumidifikasi (dilembapkan)

sesuai dengan kebijakan institusi.

d. Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonik, dan

perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol

institusi.

e. Beri tahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal.

Aktivitas Lain

a. Anjurkan aktivitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran sekret.

b. Anjurkan penggunaan spirometer insentif (Smith Sims, 2010).

c. Jika pasien tidak mampu ambulasi, pindahkan pasien dari satu sisi

tempat tidur ke sisi tempat tidur yang lain sekurangnya setiap dua

jam sekali.

d. Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk

menurunkan kecemasan dan meningkatkan kontrol diri.

e. Berikan pasien dukungan emosi (mis., meyakinkan pasien bahwa

batuk tidak akan menyebabkan robekan atau “kerusakan” jahitan).

f. Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan

maksimal rongga dada (mis., bagian kepala tempat tidur

ditinggikan 45° kecuali ada kontraindikasi [Collard et al., 2003;

Drakulovic et al., 1999]).

25
g. Pengisapan nasofaring atau orofaring untuk mengeluarkan sekret

setiap….(sebutkan frekuensinya).

h. Lakukan pengisapan endotrakea atau nasotrakea, jika perlu.

(Hiperoksigenasi dengan ambu bag sebelum dan setelah

pengisapan slang endotrakea atau trakeostomi).

i. Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan sekret.

j. Singkirkan atau tangani faktor penyebab, seperti nyeri, keletihan,

dan sekret yang kental.

2. Gangguan citra tubuh, faktor yang berhubungan: Pembedahan (mis.,

ostomi), krisis situasi, efek samping penanganan, faktor budaya atau

spiritual.

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Gangguan citra tubuh berkurang yang

dibuktikan oleh selalu menunjukkan adaptasi dengan ketunadayaan

fisik, citra tubuh positif, tidak mengalami keterlambatan dalam

perkembangan anak, dan harga diri positif.

Intervensi:

Pengkajian

a. Kaji dan dokumentasikan respons verbal dan nonverbal pasien

terhadap tubuh pasien.

b. Identifikasi mekanisme koping yang biasa digunakan pasien.

c. Peningkatan citra tubuh (NIC):

Tentukan harapan pasien tentang citra tubuh berdasarkan tahap

perkembangan.

26
Tentukan apakah persepsi ketidaksukaan terhadap karakteristik

tertentu membuat disfungsi paralisis sosial bagi remaja dan pada

kelompok risiko tinggi lainnya.

Tentukan apakah perubahan fisik saat ini telah dikaitkan ke dalam

citra tubuh pasien

Identifikasi pengaruh budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan usia

pasien menyangkut citra tubuh.

Pantau frekuensi pernyataan kritik diri.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Ajarkan tentang cara merawat dan perawatan diri, termasuk

komplikasi kodisi medis.

Aktivitas Kolaboratif

a. Rujuk ke layanan sosial untuk merencanakan perawatan dengan

pasien dan keluarga.

b. Rujuk pasien untuk mendapat terapi fisik untuk latihan kekuatan

dan fleksibilitas, membantu dalam berpindah tempat dan ambulasi,

atau penggunaan protesis.

c. Tawarkan untuk menghubungi sumber-sumber komunitas yang

tersedia untuk pasien/keluarga.

d. Rujuk ke tim interdisipliner untuk klien yang memiliki kebutuhan

kompleks (mis., komplikasi pembedahan).

27
Aktivitas Lain

a. Dengarkan pasien secara aktif dan akui realita kekhawatiran

terhadap perawatan, kemajuan, dan prognosis.

b. Beri dorongan kepada pasien dan keluarga untuk mengungkapkan

perasaan dan untuk berduka, jika perlu.

c. Dukung mekanisme koping yang bisa digunakan pasien; sebagai

contoh, tidak meminta pasien untuk mengeksplorasi perasaanya

jika pasien tampak enggan melakukannya.

d. Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kekuatan dan

mengenali keterbatasan mereka.

e. Beri perawatan dengan cara tidak menghakimi, jaga privasi dan

martabat pasien.

f. Hati-hati dengan ekspresi wajah anda ketika merawat pasien

dengan cacat tubuh; pertahankan ekspresi netral.

g. Bantu pasien dan keluarga untuk secara bertahap menjadi terbiasa

dengan perubahan pada tubuhnya, mungkin menyentuh area

terganggu sebelum melihatnya.

h. Beri dorongan kepada pasien untuk:

Mempertahankan kebiasaan berhias sehari-hari yang rutin

dilakukan.

Berpartisipasi dalam mengambil keputusan.

28
Mengungkapkan secara verbal kekhawatiran tentang hubungan

personal yang dekat dan respons orang lain terhadap perubahan

tubuhnya.

Mengungkapkan secara verbal konsekuensi perubahan fisik dan

emosi yang memengaruhi konsep diri.

i. Peningkatan citra tubuh (NIC:

Identifikasi cara mengurangi dampak “kecacatan” penampilan

melalui pakaian, rambut palsu, atau kosmetik, jika perlu.

Fasilitasi kontak dengan individu yang mengalami perubahan citra

tubuh yang mirip dengan pasien.

Gunakan latihan pengungkapan diri dengan kelompok remaja atau

pengungkapan lain keputusasaan atas karakteristik fisik normal

lain.

3. Ketidakefektifan pola napas, faktor yang berhubungan: Nyeri,

imobilitas, dan kondisi pasca-anestesi.

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Menunjukkan pola napas efektif, yang

dibuktikan oleh status pernapasan tidak terganggu: ventilasi dan status

pernapasan: kepatenan jalan napas; dan tidak ada penyimpangan tanda-

tanda vital dari rentang normal.

Intervensi:

Pengkajian

a. Pantau adanya pucat dan sianosis

b. Pantau efek obat pada status pernapasan

29
c. Tentukan lokasi dan luasnya krepitasi di sangkar iga

d. Kaji kebutuhan insersi jalan napas

e. Observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada pasien

yang terpasang ventilator.

f. Pemantauan pernapasan (NIC):

Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan.

Perhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot-

otot aksesoris, serta retraksi otot supraklavikular dan interkosta.

Pantau pernapasan yang berbunyi, seperti melengking atau

mendengkur.

Pantau pola pernapasan: bradipnea; takipnea; hiperventilasi;

pernapasan kussmaul; pernapasan chyne-stokes; dan pernapasan

apneastik, pernapasan biot, dan pola ataksik.

Perhatikan lokasi trakea.

Auskultasi suara napas, perhatikan area penurunan/tidak adanya

ventilasi dan adanya suara napas tambahan.

Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas, dan lapar udara.

Catat perubahan pada SaO2, SvO2, CO2, akhir-tidal, dan nilai gas

darah arteri (GDA), jika diperlukan.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi

untuk memperbaiki pola pernapasan; uraikan teknik

30
b. Diskusikan perencanaan untuk perawatan di rumah meliputi

pengobatan, peralatan pendukung, tanda dan gejala komplikasi

yang dapat dilaporkan, sumber-sumber komunitas.

c. Diskusikan cara menghindari alergen, sebagai contoh:

Memeriksa rumah untuk adanya jamur di dinding rumah.

Tidak menggunakan karpet dilantai.

Menggunakan filter elektronik pada alat perapian dan AC.

d. Ajarkan teknik batuk efektif.

e. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tidak boleh

merokok dalam ruangan.

f. Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus

memberitahu perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola

pernapasan.

Aktivitas Kolaboratif

a. Konsultasi dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan

keadekuatan fungsi ventilator mekanis.

b. Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, pola pernapasan, nilai

GDA, sputum, dan sebagainya, jika perlu atau sesuai protokol.

c. Berikan obat (mis., bronkodilator) sesuai dengan program atau

protokol.

d. Berikan terapi nebulizer ultrasonik dan udara atau oksigen yang

dilembapkan sesuai program atau protokol institusi.

31
e. Berikan obat nyeri untuk mengoptimalkan pola pernapasan,

uraikan jadwal.

Akvtivitas Lain

a. Hubungkan dan dokumentasikan semua data hasil pengkajian

(mis., sensori, suara napas, pola pernapasan, nilai GDA, sputum

dan efek obat pada pasien).

b. Bantu pasien untuk menggunakan spirometer insentif, jika perlu.

c. Tenangkan pasien selama periode gawat napas.

d. Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode gawat

napas.

e. Untuk membantu memperlambat frekuensi pernapasan, bimbing

pasien menggunakan teknik pernapasan bibir mencucu dan

pernapasan terkontrol.

f. Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan untuk

membersihkan sekret.

g. Minta pasien untuk mengubah posisi, batuk dan napas dalam

setiap..

h. Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk

menurunkan ansietas dan meningkatkan perasaan kendali.

i. Pertahankan oksigen aliran rendah dengan kanula nasal, masker

atau sungkup. Uraikan kecepatan aliran.

j. Atur posisi pasien untuk mengoptimalkan pernapasan, uraikan

posisi.

32
k. Sinkronisasikan antara pola pernapasan pasien dan kecepatan

ventilasi.

4. Konstipasi, faktor yang berhubungan: Penurunan aktivitas, penurunan

asupan cairan dan serat, kurang privasi, perubahan rutinitas harian,

penurunan peristalsis sekunder akibat anestesi dan analgesik narkotik.

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh

defekasi (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau

tidak mengalami gangguan):

Pola eliminasi, feses lunak dan berbentuk, mengeluarkan feses tanpa

bantuan.

Intervensi:

Pengkajian

a. Dapatkan data dasar mengenai program defekasi, aktivitas,

medikasi, dan pola kebiasaan pasien.

b. Kaji dan dokumentasikan:

Warna dan kosistensi feses pertama pascaoperasi

Frekuensi, warna dan konsistensi feses.

Keluarnya flatus.

Adanya impaksi.

Ada atau tidak adanya bising usus dan distensi abdomen pada

keempat kaudran abdomen.

c. Manajemen konstipasi/impaksi (NIC):

Pantau tanda dan gejala ruptur usus atau peritonitis.

33
Identifikasi faktor (mis., pengobatan, tirah baring, dan diet) yang

dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap konstipasi.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Informasikan kepada pasien kemungkinan konstipasi akibat obat.

b. Instruksikan pasien mengenai bantuan eliminasi defekasi yang

dapat meningkatkan pola defekasi yang optimal di rumah.

c. Ajarkan kepada pasien tentang efek diet (mis., cairan dan serat)

pada eliminasi.

d. Instruksikan pasien tentang penggunaan laksatif jangka panjang.

e. Tekankan pentingnya menghindari mengejan selama defekasi

untuk mencegah perubahan pada tanda vital, limbung atau

perdarahan.

f. Manajemen konstipasi/impaksi (NIC): Jelaskan etiologi masalah

dan rasional tindakan kepada pasien.

Aktivitas Kolaboratif

a. Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat dan cairan

dalam diet.

b. Minta program dari dokter untuk memberikan bantuan eliminasi,

seperti diet tinggi serat, pelunak feses, enema, laksatif.

c. Penatalaksanaan konstipasi/impaksi (NIC):

Konsultasi dengan dokter tentang penurunan atau peningkatan

frekuensi bising usus.

34
Sarankan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter jika konstipasi

atau impaksi terjadi.

Aktivitas Lain:

a. Anjurkan pasien untuk meminta obat nyeri sebelum defekasi untuk

memfasilitasi pengeluaran feses tanpa nyeri.

b. Anjurkan aktivitas optimal untuk merangsang eliminasi defekasi

pasien.

c. Berikan privasi dan kenyamanan untuk pasien selama eliminasi

defekasi.

d. Berikan perawatan dalam sikap yang menerima, tidak menghakimi.

e. Sediakan cairan sesuai dengan pilihan pasien, sebutkan.

5. Resiko infeksi, faktor risiko: Statis cairan tubuh, perubahan peristalsis,

depresi respon inflamasi, prosedur invasif dan jalur vena, insisi

pembedahan, kateter urine.

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan

oleh pengendalian risiko komunitas: penyakit menular; status imun;

pengendalian risiko: proses infeksius; pengendalian risiko: penyakit

menular seksual; dan penyembuhan luka: primer dan sekunder.

Intervensi:

Pengkajian

a. Pantau tanda dan gejala infeksi (mis., suhu tubuh, denyut jantung,

drainase, penampilan luka, sekresi, penampilan urine, suhu kulit,

lesi kulit, keletihan, dan malaise).

35
b. Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

(mis., usia lanjut, usia kurang dari 1 tahun, luluh imun dan

malnutrisi).

c. Pantau hasil laboratorium (mis., hitung darah lengkap, hitung

granulosit absolut, hitung jenis, protein serum, dan albumin).

d. Amati penampilan praktik higiene personal untuk perlindungan

terhadap infeksi.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Jelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa sakit atau terapi

meningkatkan risiko terhadap infeksi.

b. Instruksikan untuk menjaga higiene personal untuk melindungi

tubuh terhadap infeksi (mis., mencuci tangan).

c. Jelaskan rasional dan manfaat serta efek samping imunisasi.

d. Berikan pasien dan keluarga metode untuk mencatat imunisasi

(mis., formulir imunisasi, buku catatan harian).

e. Pengendalian infeksi (NIC):

Ajarkan pasien teknik mencuci tangan yang benar.

Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk

dan meninggalkan ruangan pasien.

Aktivitas Kolaboratif

a. Ikuti protokol institusi untuk melaporkan infeksi yang dicurigai

atau kultur positif.

36
b. Pengendalian infeksi (NIC): Berikan terapi antibiotik bila

diperlukan.

Aktivitas Lain

a. Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang denga tidak

menugaskan perawat yang sama untuk pasien lain yang mengalami

infeksi dan memisahkan ruang perawatan pasien dengan pasien

yang terinfeksi.

b. Pengendalian infeksi (NIC):

Bersihkan lingkungan dengan benar setelah dipergunakan masing-

masing pasien.

Pertahankan teknik isolasi, bila diperlukan.

Terapkan kewaspadaan universal.

Batasi jumlah pengunjung, bila perlu.

6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, faktor yang

berhubungan: Kehilangan nafsu makan, mual dan muntah, pembatasan

diet, peningkatan kebutuhan protein dan vitamin untuk penyembuhan.

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Memperlihatkan status nutrisi, yang

dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan

ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan penyimpangan

dari rentang normal): asupan gizi, asupan makanan, asupan cairan,

energi.

Intervensi:

Aktivitas umum untuk semua ketidakseimbangan nutrisi:

37
Pengkajian

a. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan.

b. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

c. Pantau nilai laboratorium, khususnya trasnferin, albumin, dan

elektrolit.

d. Manejemen nutrisi (NIC):

Ketahui makanan kesukaan pasien.

Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.

Timbang pasien pada interval yang tepat.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Ajarkan metode untuk perencanaan makan.

b. Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak

mahal.

c. Manajemen nutrisi (NIC): Berikan informasi yang tepat tentang

kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.

Aktivitas Kolaboratif

a. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein

pasien yang mengalami ketidakadekuatan asupan protein atau

kehilangan protein (mis., pasien anoreksia nervosa, penyakit

glomerular atau dialisis peritoneal).

b. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan,

makanan pelengkap, pemberian makanan melalui selang, atau

38
nutrisi parenteral total agar asupan kalori yang adekuat dapat

dipertahankan.

c. Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi.

d. Rujuk ke program gizi di komunitas yang tepat, jika pasien tidak

dapat membeli atau menyiapkan makanan yang adekuat.

e. Manajemen nutrisi (NIC): Tentukan, dengan melakukan kolaborasi

bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori dan zat gizi yang

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi [khususnya untuk

pasien dengan kebutuhan energi tinggi, seperti pasien pascabedah

dan luka bakar, trauma, demam, dan luka].

Aktivitas Lain

a. Buat perencanaan makan dengan pasien yang masuk dalam jadwal

makan, lingkungan makan, kesukaan dan ketidaksukaan pasien,

serta suhu makanan.

b. Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan

pasien dari rumah.

c. Bantu pasien menulis tujuan mingguan yang realistis untuk latihan

fisik dan asupan makanan.

d. Anjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makan dan latihan

fisik di lokasi yang terlihat jelas dan kaji ulang setiap hari.

e. Tawarkan makanan porsi besar di siang hari ketika nafsu makan

tinggi.

39
f. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (mis.,

pindahkan barang-barang dan cairan yang tidak sedap dipandang).

g. Hindari prosedur invasif sebelum makan.

h. Suapi pasien, jika perlu.

i. Manejemen nutrisi (NIC):

Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein,

tinggi kalori yang siap dikonsumsi, bila memungkinkan.

Ajarkan pasien tentang cara membuat catatan harian makanan, jika

diperlukan.

Kesulitan mengunyah dan menelan

a. Kaji dan dokumenasikan derajat kesulitan mengunyah dan

menelan.

b. Konsultasikan dengan ahli terapi okupasi.

c. Yakinkan pasien dan berikan lingkungan yang tenang selama

makan.

d. Siapkan kateter pengisap di samping tempat tidur dan alat pengisap

selama makan, bila diperlukan.

e. Ubah posisi pasien semi-fowler atau fowler tinggi untuk

memudahkan menelan; biarkan pasien pada posisi ini selama 30

menit setelah makan untuk mencegah aspirasi.

f. Letakkan makan pada bagian mulut yang tidak bermasalah untuk

memudahkan menelan.

40
g. Ketika memberi makan pasien, gunakan spuit jika perlu, untuk

memudahkan menelan.

h. Menejemen nutrisi (NIC): Anjurkan pasien untuk menggunakan

gigi palsu yang sesuai atau melakukan perawatan gigi.

Mual/muntah

a. Identifikasi faktor pencetus mual dan muntah.

b. Catat warna, jumlah, dan frekuensi muntah.

c. Instruksikan pasien agar menarik napas dalam, perlahan, dan

menelan secara sadar untuk mengurangi mual dan muntah.

d. Berikan obat antiemetik dan/atau analgesik sebelum makan atau

sesuai dengan jadwal yang dianjurkan.

e. Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.

Sebutkan faktornya.

f. Tawarkan kain basah, dingin untuk diletakkan di atas dahi atau

belakang leher.

g. Tawarkan higiene mulut sebelum makan.

h. Batasi diet terhadap es batu dan air putih jika gejala parah;

tingkatkan diet, bila perlu.

Kehilangan selera makan

a. Indentifikasi faktor yang memengaruhi kehilangan selera makan

pasien (seperti, obat dan masalah emosi).

b. Berikan umpan balik positif kepada pasien yang menunjukkan

peningkatan selera makan.

41
c. Berikan makanan sesuai dengan pilihan pribadi, budaya, dan

agama pasien.

d. Manajemen nutrisi (NIC): Tawarkan kudapan (misalnya, minuman

dan buah-buahan segar atau jus buah segar), bila perlu.

e. Berikan makanan yang bergizi, tinggi kalori, dan bervariasi yang

dapat dipilih oleh pasien.

Gangguan menelan

a. Pantau perilaku pasien yang berhubungan dengan penurunan berat

badan.

b. Konsultasikan pada ahli gizi untuk menentukan asupan kalori

harian yang dibutuhkan untuk mencapai berat badan target.

c. Laporkan kepada dokter jika pasien menolak makan.

d. Bekerja sama dengan dokter, ahli gizi, dan pasien untuk

merencanakan tujuan asupan dan berat badan.

e. Rujuk untuk memperoleh perawatan kesehatan jiwa.

f. Bina hubungan saling percaya dan mendukung dengan pasien.

g. Komunikasikan harapan terhadap kesesuaian asupan makanan dan

cairan serta jumlah latihan fisik.

h. Pertahankan makanan pasien sesuai jadwal makan dan kudapan.

i. Temani pasien ke kamar mandi setelah makan/mengudap untuk

mengobservasi adanya muntah yang disengaja.

j. Kembangkan program modifikasi perilaku yang spesifik terhadap

kebutuhan pasien.

42
k. Berikan penguatan positif untuk pencapaian berat badan dan

perilaku makan yang tepat, tetapi jangan memfokuskan interaksi

pada makan atau makanan.

l. Gali bersama pasien dan orang terdekat isu pribadi (mis., citra

tubuh) yang memengaruhi perilaku makan.

m. Komunikasikan bahwa pasien bertanggungjawab terhadap pilihan

aktivitas fisik dan makanan.

n. Diskusikan keuntungan perilaku makan yang sehat dan dampak

ketidakpatuhan.

7. Nyeri, faktor yang berhubungan: Insisi, distensi abdomen, dan

imobilitas.

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang

dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: sangat berat,

berat, sedang, ringan, atau tidak ada): mengenali awitan nyeri,

menggunakan tindakan pencegahan, melaporkan nyeri dapat

dikendalikan. Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh

indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: sangat berat, berat, sedang,

ringan atau tidak ada): ekspresi nyeri pada wajah, gelisah atau

ketegangan otot, durasi episode nyeri, merintih dan menangis, gelisah.

Intervensi:

Pengkajian

a. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pillihan pertama untuk

mengumpulkan informasi pengkajian.

43
b. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala

0 sampai 10 (0=tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10=nyeri

hebat).

c. Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh

analgesik dan kemungkinan efek sampingnya.

d. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan

terhadap nyeri dan respons nyeri.

e. Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai dan

tingkat perkembangan pasien.

f. Manajemen nyeri (NIC):

Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,

karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau

keparahan nyeri, dan faktor presipitasi.

Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada

mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang

harus diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping,

kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat

mengkonsumsi obat tersebut (mis., pembatasan aktivitas fisik,

pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila

mengalami nyeri membandel.

44
b. Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika

peredaan nyeri tidak dapat dicapai.

c. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat

meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.

d. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opioid

(mis., risiko ketergantungan atau overdosis).

e. Manajemen nyeri (NIC): Berikan informasi tentang nyeri, seperti

penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi

ketidaknyamanan akibat prosedur.

f. Manajemen nyeri (NIC): Ajarkan teknik nonfarmakologis (mis.,

umpan-balik biologis, transcutaneous electrical nerve stimulation

[TENS], hipnosis, relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi musik,

distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres

hangat atau dingin, dan masase) sebelum, setelah, dan jika

memungkinkan, selama aktivitas yang menimbulkan nyeri;

sebelum nyeri terjadi atau meningkat; dan bersama penggunaan

tindakan peredaan nyeri yang lain.

Aktivitas Kolaboratif

a. Kelola nyeri pascabedah awal dengan pemberian opiat yang

terjadwal (mis., setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA.

b. Manajemen nyeri (NIC):

Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih

berat.

45
Laporkan kepada dokter jika tindakan berhasil atau jika keluhan

saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman

nyeri pasien di masa lalu.

Aktivitas Lain

a. Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri

dan efek samping.

b. Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif

di masa lalu, seperti, distraksi, relaksasi, atau kompres

hangat/dingin.

c. Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman dan

aktivitas lain untuk membantu relaksasi, meliputi tindakan sebagai

berikut:

Lakukan perubahan posisi, massase punggung, dan relaksasi.

Ganti linen tempat tidur, bila perlu.

Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru, dengan sikap yang

mendukung.

Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkut

aktivitas perawatan.

d. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri

dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui

televisi, radio, tape, dan interaksi dengan pengunjung.

46
e. Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respon

pasien terhadap analgesik (mis., “Obat ini akan mengurangi nyeri

Anda”).

f. Eksplorasi perasaan takut ketagihan. Untuk meyakinkan pasien,

tanyakan “Jika tidak mengalami nyeri, apakah Anda akan tetap

membutuhkan obat ini?”.

g. Manajemen nyeri (NIC):

Libatkan keluarga dalam modalitas peredaan nyeri, jika

memungkinkan.

Kendalikan faktor lingkungan yang dapat memengaruhi respons

pasien terhadap ketidaknyamanan (mis., suhu ruangan,

pencahayaan, dan kegaduhan).

8. Kekurangan volume cairan, faktor yang berhubungan: Kehilangan

darah yang tidak normal, kehilangan cairan yang tidak normal (mis.,

muntah), dan kegagalan mekanisme regulator.

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Kekurangan volume cairan akan teratasi,

dibuktikan oleh keseimbangan cairan, hidrasi yang adekuat, dan status

nutrisi: asupan makanan dan cairan yang adekuat. Keseimbangan

cairan akan dicapai, dibuktikan oleh indikator gangguan berikut

(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada

gangguan): tekanan darah, denyut nadi radial, nadi perifer, elektrolit

serum, berat badan stabil.

Intervensi:

47
Pengkajian

a. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan.

b. Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi

elektrolit (mis., diare, drainase luka, pengisapan nasogastrik,

diaforesis, dan drainasi ileostomi).

c. Pantau perdarahan (mis., periksa semua sekret dari adanya darah

nyata atau darah samar).

d. Identifikasi faktor pengaruh terhadap bertambah buruknya

dehidrasi (mis., obat-obatan, demam, stres, dan program

pengobatan).

e. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan

cairan (mis., kadar hematokrit, BUN, albumin, protein total,

osmolalitas serum, dan berat jenis urine).

f. Kaji adanya vertigo atau hipotensi postural.

g. Kaji orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu.

h. Cek arahan lanjut klien untuk menentukan apakah penggantian

cairan pada pasien sakit terminal tepat dilakukan.

i. Manajemen cairan (NIC):

Pantau status hidrasi (mis., kelembapan membran mukosa,

keadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik).

Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecenderungannya.

Pertahankan keakuratan catatan asupan dan haluaran.

48
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Anjurkan pasien untuk menginformasikan perawat bila haus.

Aktivitas Kolaboratif

a. Laporkan dan catat haluaran kurang dari mL.

b. Laporkan dan catat haluaran lebih dari mL.

c. Laporkan abnormalitas elektrolit.

d. Manajemen cairan (NIC):

Atur ketersediaan produk darah untuk transfusi, bila perlu.

Berikan ketentuan penggantian nasogastrik berdasarkan haluaran,

sesuia dengan kebutuhan.

Berikan terapi IV, sesuai program.

Aktivitas Lain

a. Lakukan higiene oral secara sering.

b. Tentukan jumlah cairan yang masuk dalam 24 jam, hitung asupan

yang diinginkan sepanjang sif siang, sore, dan malam.

c. Pastikan bahwa pasien terhidrasi dengan baik sebelum

pembedahan.

d. Ubah posisi pasien trendelenburg atau tinggikan tungkai pasien

bila hipotensi, kecuali kontraindikasi.

e. Manajemen cairan (NIC):

Tingkatkan asupan oral, (mis., sediakan sedotan, beri cairan

diantara waktu makan, ganti air es secara rutin, buat es mambo dari

49
jus kesukaan anak, cetak agar-agar dalam bentuk lucu-lucu,

gunakan cangkir obat kecil), jika perlu.

Pasang kateter urine, bila perlu.

Berikan cairan, sesuai dengan kebutuhan.

9. Ansietas, faktor yang berhubungan: Prosedur pembedahan, prosedur

praoperasi (mis., insersi intravena, kateter foley, dan pembatasan

cairan), prosedur pascaoperasi (mis., batuk dan napas dalam, status

puasa).

Tujuan/Kriteria Evaluasi: Ansietas berkurang, dibuktikan oleh tingkat

ansietas hanya ringan sampai sedang, dan selalu menunjukkan

pengendalian diri terhadap ansietas, konsentrasi, koping, dan tingkat

hipeaktivitas.

Intervensi:

Pengkajian

a. Kaji dan dokumentasikan tingkat ansietas pasien, termasuk reaksi

fisik, setiap

b. Kaji untuk faktor budaya (mis., konflik nilai) yang menjadi

penyebab ansietas.

c. Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil

menurunkan ansietas di masa lalu.

d. Reduksi ansietas (NIC): Menentukan kemampuan pengambilan

keputusan pasien.

50
Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Buat rencana penyuluhan dengan tujuan yang realistis, termasuk

kebutuhan untuk pemulangan, dukungan, dan pujian terhadap

tugas-tugasnya yang telah dipelajari.

b. Berikan informasi mengenai sumber komunitas yang tersedia,

seperti teman, tetangga, kelompok swabantu, tempat ibadah,

lembaga sukarelawan, dan pusat rekreasi.

c. Informasikan tentang gejala ansietas.

d. Ajarkan anggota keluarga bagaimana membedakan antara serangan

panik dan gejala penyakit fisik.

e. Penurunan ansietas (NIC):

Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi, dan

prognosis.

Instruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi.

Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya dialami

selama prosedur.

Aktivitas Kolaboratif

a. Penurunan ansietas (NIC): Berikan obat untuk menurunkan

ansietas, jika perlu.

Aktivitas Lain

a. Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara tenang, dan

berikan ketenangan serta rasa nyaman.

51
b. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal

pikiran dan perasaan untuk mengekstrenalisasikan ansietas.

c. Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai

cara untuk mengidentifikasi mekanisme.

d. Sediakan pengalihan melalui televisi, radio, permainan, serta terapi

okupasi untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus.

e. Coba teknik, seperti imajinasi terbimbing (Antall & Kreservic,

2004) dan relaksasi progresif.

f. Berikan penguatan positif ketika pasien mampu meneruskan

aktivitas sehari-hari dan aktivitas lainnya meskipun mengalami

ansietas.

g. Yakinkan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik

secara verbal dan nonverbal secara bergantian.

h. Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi, serta

izinkan pasien untuk menangis.

i. Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan

lingkungan yang tenang, kontak yang terbatas dengan orang lain

jika dibutuhkan, serta pembatasan penggunaan kafein dan stimulan

lain.

j. Sarankan terapi alternatif untuk mengurangi ansietas yang dapat

diterima oleh pasien.

k. Singkirkan sumber-sumber ansietas jika memungkinkan.

52
l. Penurunan ansietas (NIC):

Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.

Nyatakan dengan jelas tentang harapan terhadap perilaku pasien.

Dampingi pasien [mis., selama prosedur] untuk meningkatkan

keamanan dan mengurangi rasa takut.

Berikan pijatan punggung/pijatan leher, jika perlu.

Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan.

Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang mencetuskan

ansietas.

10. Disfungsi seksual atau ketidakefektifan pola seksualitas, faktor yang

berhubungan: nyeri, transisi yang berkaitan dengan kesehatan,

gangguan citra tubuh, perubahan fungsi atau struktur tubuh, reaksi

pasangan (mis., terhadap ostomi atau histerektomi), impotensi

fisiologis atau ketidakadekuatan lubrikasi vagina sekunder akibat

pembedahan.

Tujuan/Kriteria Evaluasi:

a. Menunjukkan Pemulihan dari penganiayaan: Seksual, yang

dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5: tidak ada, terbatas,

sedang, banyak, atau sangat banyak): adanya bukti hubungan

sesama jenis yang sesuai, adanya bukti hubungan lawan jenis yang

sesuai, pengungkapan rasa nyaman dengan identitas gender dan

orientasi seksual.

53
b. Menunjukkan fungsi seksual, yang dibuktikan oleh indikator

berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering,

atau selalu): mencapai rangsangan seksual, mencapai rangsangan

seksual melalui orgasme, mengekspresikan kemampuan untuk

berhubungan intim, mengekspresikan penerimaan terhadap

pasangan, mengungkapkan keinginan untuk menjadi seksual.

Intervensi:

Pengkajian

a. Pantau adanya indikator resolusi disfungsi seksual (mis.,

peningkatan kapasitas keintiman).

b. Konseling seksual (NIC):

Awali pertanyaan tentang seksualitas dengan suatu pernyataan

pada pasien bahwa banyak orang mengalami masalah seksual.

Tentukan seberapa besar rasa bersalah seksual yang berhubungan

dengan persepsi pasien tentang faktor penyebab penyakit tersebut.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

a. Beri informasi yang diperlukan untuk meningkatkan fungsi seksual

(mis., bimbingan antisipasi, materi pendidikan kesehatan, latihan

pereda stres, latihan meningkatkan sensasi, prostetik, implan, dan

koseling terfokus).

b. Konseling seksual (NIC):

Diskusikan dampak penyakit, situasi kesehatan, dan obat pada

seksualitas, jika diperlukan [mis., efek samping obat; aspek normal

54
penuaan; penyesuaian pascabedah, terutama setelah pembedahan

organ-organ seksual atau ostomi; pascainfark miokard].

Diskusikan pentingnya modifikasi dalam aktivitas seksual, jika

diperlukan.

Informasikan secara dini kepada pasien bahwa seksualitas

merupakan bagian penting dari kehidupan dan bahwa penyakit,

obat, dan stres (atau masalah lain yang dialami pasien) sering kali

mengubah fungsi seksual.

Berikan informasi faktual tentang mitos seksual dan kesalahan

informasi yang pasien kemukakan.

Ajarkan kepada pasien hanya teknik yang sesuai dengan

nilai/keyakinan [pasien].

Aktivitas Kolaboratif

a. Dukung kelanjutan konseling setelah pemulangan.

b. Konseling seksual (NIC):

Lakukan perujukan atau konsultasikan dengan anggota tim layanan

kesehatan lain, jika perlu.

Rujuk pasien kepada ahli terapi seks, jika diperlukan.

Aktivitas Lain

a. Anjurkan pengungkapan keluhan seksual melalui pemberi asuhan

yang telah membin hubungan saling percaya dengan pasien dan

merasa nyaman mendiskusikan keluhan seksual. Sebutkan siapa

pemberi asuhan tersebut.

55
b. Beri waktu dan privasi untuk membahas permasalahan seksual

pasien.

c. Ingatkan pasien dan pasangan kemungkinan ketidaktertarikan

terhadap, penurunan kapasitas, atau ketidaknyamanan dalam

melakukan aktivitas seksual.

d. Konseling seksual (NIC):

Anjurkan pasien untuk mengungkapkan ketakutan dan mengajukan

pertanyaan.

Bantu pasien mengungkapkan kesedihan dan kemarahan terhadap

perubahan fungsi dan penampilan tubuh, jika perlu.

Libatkan pasangan atau pasangan seksual dalam konseling

seoptimal mungkin, jika diperlukan.

Kenalkan pasien pada model peran positif yang telah berhasil

mengatasi masalah yang sama, jika diperlukan.

Beri jaminan dan izinkan pasien mencoba bentuk alternatif

pengungkapan seksual, jika diperlukan.

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari

rencana keperawatan. Untuk memperoleh pelaksanaan yang efektif,

dituntut pengetahuan dan keterampilan yang luas dari tenaga perawat

untuk memberikan pelayanan perawatan yang baik dan bermutu yang telah

ditentukan dan direncanakan.

56
E. Evaluasi

Merupakan proses yang kontinue untuk menjamin kualitas dan

ketepatan perawatan yang di berikan, dilakukan dengan meninjau respon

pasien untuk menentukan keefektifan rencana keperawatan dalam

memenuhi kebutuhan pasien.

57

Anda mungkin juga menyukai