Anda di halaman 1dari 5

MATA KULIAH

ADVOKASI KEBIJAKAN
Dosen Pembimbing : Dr. Fajar Iswahyudi

ADVOCACY COALITION FRAMEWORK (ACF)


Kerangka Kerja Koalisi Advokasi

DANY FACHRIZA
NIM. 2102018022

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK


KONSENTRASI KEBIJAKAN PUBLIK PASCASARJANA
FAKUTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA
2022
Advocacy Coalition Framework (ACF)

Advocacy Coalition Framework (ACF) atau Kerangka Kerja Koalisi Advokasi adalah
konsep/rancangan perubahan kebijakan dalam subsistem kebijakan yang dilakukan oleh aktor
atau stakeholder yang terlibat (Sabatier, 1987, 1988, 1991; Jenkins-Smith dan Sabatier, 1994;
Sabatier, 1998; Weible, 2007; Elgin dan Weible, 2013). ACF merupakan garis besar konsep
dalam menganalisis koalisi yang dibentuk para aktor-aktor yang terkait kebijakan guna
melakukan advokasi untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Bagi pemangku
kebijakan, ACF sangat tepat digunakan dengan mengutamakan kerjasama antar kepentingan
untuk penyelesaian permasalahan yang muncul.
ACF muncul pada awal 1980-an dalam karya Paul Sabatier dan Hank Jenkins-Smith untuk
memberikan alternatif dalam memahami proses kebijakan sebagai siklus kebijakan. Pada
waktu itu penggunaan teori ACF berkaitan dengan kebijakan energi dan lingkungan di Amerika
Serikat, Kanada, dan Eropa untuk membahas isu polusi, udara, kebijakan kelautan, kebijakan
air dan mineral serta perubahan iklim. Sampai saat ini penerapan ACF berkembang pada area
diluar kebijakan tersebut seperti kekerasan dalam rumah tangga, kebijakan narkoba, dan
Kesehatan publik diikuti meningkatnya jumlah peneliti pada Negara Asia dan Afrika.
ACF bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam kebijakan publik,
termasuk pembentukan dan pemeliharaan koalisi, kecenderungan untuk belajar dan peran
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses kebijakan, dan faktor-faktor yang terkait
dengan perubahan kebijakan. Sejak kemunculannya, kerangka kerja tersebut berkembang
menjadi program penelitian dengan berbagai sarjana yang menerapkannya, menguji dan
mengembangkan hipotesisnya, dan mengeksplorasi metode pengumpulan dan analisis data
baru dalam konteks politik yang menjangkau dunia.
ACF menerangkan perubahan kebijakan publik dan proses implementasi serta mengutamakan
subsistem kebijakan menjadi unit analisis utamanya. Perubahan kebijakan dalam koalisi
advokasi disebabkan terjadinya beberapa perubahan yang bersumber dari luar sehingga
kekuasaan membentuk sistem kepercayaan seseorang atas lainnya. Pemahaman atas
perubahan kebijakan dengan pendekatan menyeluruh mulai proses, implementasi hingga
perubahan kebijakan (Sabatier dalam Aslinda, 2017:630). Dapat dijelaskan lebih lanjut
mengenai model formulasi kebijakan yang dipakai Sabatier, yaitu ACF mempunyai bagian yang
saling berinteraksi agar dapat mempengaruhi keyakinan dan perubahan kebijakan.
Menurut Sabatier dan Weible (2007), berbagai masalah yang terjadi secara intens bisa
dikembangkan dengan ACF. ACF dianggap model yang dapat memahami serta menjelaskan
perubahan kebijakan disaat aktor kepentingan terjadi ketidaksepakatan untuk tujuan
tertentu. Teori ACF menghasilkan win-win solution terhadap kebijakan karena demi
kepentingan kedua belah pihak untuk diterapkan.
ACF didasarkan pada tujuh asumsi dasar yaitu:
1. Subsistem Kebijakan, yaitu unit analisis utama untuk memahami proses kebijakan.
Subsistem ini dicirikan oleh wilayah geografis, isu, dan aktor kebijakan.
2. Aktor subsistem, yaitu pejabat pemerintah, organisasi swasta atau non-swasta, pakar,
cendekiawan, perusahaan konsultan, dan media, termasuk peserta yang mencoba untuk
mempengaruhi kebijakan yang terhubung atas dasar pencapaian tujuan bersama.
3. ACF mengasumsikan bahwa aktor kebijakan sangat rasional, dan memiliki kemampuan
kognitif yang terbatas untuk memproses informasi.
4. Subsistem mengumpulkan aktor ke dalam satu atau lebih koalisi. ACF dapat membuat kita
melihat aktor kebijakan sebagai anggota koalisi. Koalisi ini dibentuk berdasarkan
persamaan dan perbedaan keyakinan inti kebijakan.
5. Kebijakan sering mencerminkan dan menerjemahkan keyakinan dari satu atau lebih
koalisi.
6. Informasi ilmiah dan teknis penting untuk memahami urusan subsistem. Informasi ilmiah
dan teknis, di samping pengalaman sehari-hari para pelaku kebijakan, menginformasikan
pola sebab akibat yang diadopsi oleh sistem Keyakinan.
7. Untuk memahami proses kebijakan atau perubahan kebijakan, peneliti harus mengadopsi
perspektif jangka panjang (10 tahun atau lebih). Butuh waktu lama untuk memahami
proses kebijakan karena pemenang hari ini bisa jadi pecundang hari esok. Seringkali,
perdebatan di antara koalisi berlangsung lebih dari beberapa dekade, dan untuk
memahami Koalisi, Pembelajaran, dan Perubahan Kebijakan, seseorang harus memahami
semua peristiwa masa lalu.
ACF menentukan pusat masalah yang menyebabkan munculnya suatu kebijakan karena
permasalahan lingkungan dan perubahan kebijakan. Tujuannya adalah:
1. memakai dan mengembangkan informasi dari model alternatif kebijakan yang mendapat
dukungan koalisi
2. ACF mencurangi/memalsukan forum keputusan
3. Menjadikan birokrasi sebagai anggota koalisinya untuk mendapat dukungan
Kepercayaan koalisi ada diawali dari kerjasama sampai mendapatkan tujuan yang diharapkan.
Agar proses perubahan kebijakan dapat dicapai dibutuhkan untuk memetakan para aktor yang
terlibat.
Policy Change dalam koalisi advokasi dikarenakan perubahan faktor luar (eksternal) yang
menyebabkan berubahnya kepercayaan seseorang. Mulai proses kebijakan, hingga
implementasi, dan dalam memahami perubahan membutuhkan waktu yang lama.
Karakteristik perubahan kebijakan seperti Pembelajaran berorientasi Kebijakan, maksudnya
penyempurnaan kebijakan dengan melibatkan aktor kepentingan yang berpengaruh pada
gagasan/ide sehingga pada proses kebijakan memberikan hasil yang nyata dan pengaruh
terhadap hubungan koalisi.
ACF mencoba untuk memahami dan menjelaskan terutama tiga hal yaitu Advocacy Coalition,
Learning, dan Policy Change. Penelitian tentang hipotesis yang terkait dengan ketiga hal
tersebut menghasilkan hasil yang beragam.
1. Advocacy Coalition (Koalisi Advokasi)
Koalisi advokasi adalah semua yang didefinisikan oleh aktor politik yang berbagi ide-ide
tertentu dan yang berkoordinasi diantara mereka sendiri secara fungsional untuk
menyarankan isu-isu spesifik kepada pemerintah dan mempengaruhi dalam proses
pengambilan keputusan. Namun, bahkan ketika ada bukti yang menunjukkan adanya
koalisi dan keyakinan bersama di dalam koalisi, tidak ada kejelasan apakah keyakinan inti
yang sama harus dimiliki saat membentuk koalisi atau hanya keyakinan sekunder. Temuan
yang beragam ini mencerminkan pendekatan yang berbeda ketika mempelajari dinamika
ini. Selain itu, beberapa sarjana mengingat bahwa faktor-faktor lain, seperti kepentingan
bersama, kepercayaan, dan sumber daya juga penting dalam pembentukan koalisi, bukan
hanya keyakinan bersama.
Aktor kebijakan yang menjadi bagian dari koalisi advokasi adalah mereka yang penting bagi
“anggota koalisi”, dan mereka yang memainkan peran tertentu dalam koalisi: pialang,
yang bekerja untuk mencapai kesepakatan di antara lawan; dan pengusaha, yang berperan
dalam memimpin koalisi, memfasilitasi pembelajaran, dan menghasilkan perubahan
kebijakan.
2. Learning (Pembelajaran)
Ini mengacu pada cara dimana individu memutuskan untuk mengubah tindakan dan cara
berpikir mereka setelah mengalami pengalaman tertentu dan yang berkaitan dengan
pencapaian atau revisi pedoman sistem kepercayaan setiap individu atau kolektif.
Penelitian telah menunjukkan bahwa proses belajar memang terjadi di dalam dan di
antara koalisi yang berbeda. Walau tidak jelas apakah proses pembelajaran ini mencakup
perubahan keyakinan kebijakan inti dan sekunder dalam koalisi, atau apakah perubahan
keyakinan sekunder dapat mulai menghasilkan pembelajaran ini. Banyak peneliti telah
menekankan bahwa faktor-faktor lain, seperti ilmu pengetahuan dan jaringan, telah
terbukti memfasilitasi pembelajaran kebijakan di dalam dan diantara berbagai koalisi.
3. Policy Change (Perubahan kebijakan)
Policy Change mengacu pada perubahan yang terjadi dalam kebijakan, analisis, dan studi
apa yang menghasilkan perubahan saat ini dan selanjutnya. Ada beberapa perubahan
keyakinan inti koalisi, yang disebut perubahan kebijakan Mayor, dan ada perubahan kecil,
yang terjadi pada aspek sekunder dari subsistem kebijakan. Penelitian telah menunjukkan
bahwa memang ada perubahan kebijakan dan ada faktor-faktor tertentu yang
menyebabkan perubahan kebijakan. Namun, proses pemahamannya rumit karena
perubahan kebijakan bukanlah hasil dari satu peristiwa saja, melainkan kombinasi dari
beragam dinamika yang terjadi dalam satu proses dari waktu ke waktu.
Subsistem kebijakan terdiri dari seluruh aktor yang terlibat dalam penciptaan, diseminasi dan
evaluasi ide kebijakan (Parsons, 2003). Berdasarkan teori ACF dapat dinyatakan bahwa
kebijakan disusun dengan didasari advokasi koalisi yang dilakukan oleh para aktor atau
stakeholder yang memiliki kesamaan keyakinan. Keyakinan tersebut menjadi acuan bagi
setiap koalisi dalam mempertahankan dan memperjuangkan gagasannya atau merubah
kebijakan yang dibuat aktor lainnya.
Menurut konseptualisasi tahapan kebijakan dalam rancangan subsistem kebijakan
diungkapkan tentang proses perubahan kebijakan publik terbagi antara subsistem internal
dan eksternal (Sabatier 1988; 1991).
1. Subsistem internal terdiri atas; aturan dasar, nilai-nilai dasar dan struktur sosial,
penyaluran sumberdaya, dan kelengkapan dasar masalah kebijakan.
2. Subsistem eksternal terdiri atas; koalisi pemerintah, kondisi sosio-ekonomi, dan dampak
dari berbagai kebijakan lain. Tapi masing-masing aktor kekurangan sumberdaya, seperti
kurangnya informasi, kurangnya sumberdaya manusia yang cakap dan kurangnya dana.
Karena itu para broker dan aktor kebijakan melakukan koalisi agar output dan impact
kebijakan agar bisa memenuhi masing-masing kepentingannya.
Penetapan model individu dan rasional oleh ACF bagi mereka yang berkemampuan terbatas
sehingga dapat membangkitkan proses kebijakan publik. Model ini mendorong aktor
kebijakan membentuk koalisi advokasi dengan mendapatkan “aktor saingan” yang sejalan.
Model individu harus mempunyai sistem kepercayaan yang bertingkat-tingkat. Pada tingkat
tertinggi adalah kepercayaan mendasar meliputi subsistem kebijakan serta tidak terpengaruh
terhadap kebijakan lain. Dan pada tingkat menengah ditujukan pada kebijakan utama yang
empiris meliputi semua subsistem kebijakan. ACF menentukan kategori-kategori kepercayaan
terhadap inti kebijakan, termasuk perkiraan tingkat keparahan dan akar masalah di seluruh
subsistem, peninjauan utama nilai dasar yang terkait langsung pada subsistem kebijakan,
keberhasilan instrumen kebijakan, dan penyaluran kewenangan yang cocok antara pasar dan
pemerintah (Fischer dkk, 2007).
Kebijakan dapat berubah karena terjadinya konflik sosial pada masyarakat (Bennett dan
Howlett, 1992). Terjadinya perselisihan akibat masing-masing koalisi gagal meraih stabilitas
kebijakan. Sehingga konsep kebijakan menjadi berubah dari rancangan awal kebijakan yang
dinyatakan oleh pembuat kebijakan.
Terlalu banyaknya pihak yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan mengakibatkan
kurang efektifnya hasil yang akan dicapai, juga akan timbul berbagai macam kepentingan yang
dirasa kurang perlu untuk diperjuangkan. Termasuk sisi efisiensi waktu akan memakan waktu
yang lama untuk menyudahi pertikaian antara pembuat kebijakan dan pihak yang ingin
melakukan advokasi. Termasuk juga potensi konflik yang akan terjadi jika antara pembuat
kebijakan dan pihak penuntut advokasi tidak menemukan penyelesaian yang tepat dan benar.
Formulasi ACF mengharuskan yang berkepentingan saling bekerjasama (koalisi), tapi muncul
persaingan yang kompetitif karena subsistem kebijakan. Antar koalisi advokasi sering terjadi
keributan kebijakan dan meningkat menjadi pertengkaran politik yang intens. Konflik antar
koalisi advokasi tersebut dibantu penyelesaiannya oleh “broker kebijakan”. Kesepakatan yang
masuk akal diusahakan oleh Broker kebijakan diantara koalisi advokasi yang bertikai. Peran
broker kebijakan ini juga banyak dimainkan aktor yang berbeda. Kebijakan yang dibuat broker
selalu dipercaya kedua koalisi advokasi sehingga memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan. Keadaan tersebut dapat diselesaikan dengan adanya penengah/mediator antara
kedua koalisi dan penengah dapat memberikan solusi terbaik terhadap kebijakan yang
diambil.

Anda mungkin juga menyukai