Anda di halaman 1dari 19

Sebuah model strategi - kinerja yang lebih baik

melalui perbaikan tugas strategi

Ole Friis, Jens Holmgren dan Jacob Kjr Eskildsen


Sekolah Bisnis dan Ilmu Sosial, Universitas Aarhus,
Herning, Denmark

Abstrak

Tujuan - Makalah ini bertujuan untuk mengembangkan model strategi yang menjelaskan
organisasi apa yang harus fokus pada tugas strateginya baik dari segi lingkungan dan
penerapan strateginya. Selain itu, tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana model
strategi ini dapat mempengaruhi dan memperbaiki kinerja organisasi.
Desain / metodologi / pendekatan - Studi ini menggunakan pendekatan strategi state-of-the-
art untuk menciptakan dan memvalidasi model strategi yang solid dan kausal, yang divalidasi
dengan memanfaatkan kuesioner.
Temuan - Sifat strategi sangat kompleks dan organisasi memang menghadapi tugas begitu
kompleks yang mengharuskan sumber daya internal yang ada memenuhi tuntutan lingkungan,
mengembangkan strategi efektif untuk hari ini dan besok, menerapkan strategi dan
melaksanakan rencana tindakan. Model yang terdiri dari lima wilayah yang terbagi dalam
konten strategi (produktivitas, fleksibilitas dan inovasi) dan proses strategi (eksekusi dan
budaya) ini telah divalidasi dan hasil empiris menunjukkan bahwa pelaksanaan dan inovasi
merupakan wilayah dimana organisasi menghadapi tantangan terbesarnya.
Orisinalitas / nilai - Menyarankan sebuah model strategi baru yang dirancang untuk
mengevaluasi tugas strategi perusahaan.

Kata Kunci Kinerja, Inovasi, Fleksibilitas, Keunggulan Kompetitif, Strategi, Produktifitas,


Proses Strategi, Konten strategi, Eksekusi, Budaya Organisasi
Tipe Makalah Makalah Penelitian

Pendahuluan

Banyak organisasi mengalami bahwa mengembangkan strategi itu memakan waktu;


dengan cepat strategi menjadi ketinggalan jaman atau strategi itu tidak akan dilaksanakan
sama sekali (Poulfelt dan Mnsted, 2007). Dengan kata lain, strategi itu tertinggal di rak dan
kita hanya membicarakannya sesekali daripada menggunakannya sebagai alat hidup untuk
membimbing kita dalam waktu yang penuh gejolak dan berubah itu. Mungkin ada beberapa
alasan untuk ini: satu alasan, mungkin strategi itu tidak mengandung unsur yang benar atau
mungkin terlalu umum dan tidak spesifik. Alasan lain, mungkin strategi itu fakta bahwa
proses perumusan strategi hanya melibatkan beberapa orang dan orang-orang tersebut gagal
mengkomunikasikannya secara efektif. Akhirnya, alasan ketiga adalah penerapan strategi
tersebut tidak memiliki keterlibatan dan komitmen organisasi, sehingga tidak ada yang
memperhatikan strategi tersebut. Organisasi terus-menerus dihadapkan pada persaingan,
turbulensi dan perubahan yang intensif yang semuanya menimbulkan tantangan kompleks,
termasuk tekanan inovasi, tingkat ketidakpastian yang tinggi, difusi geografis, jaringan,
karyawan yang mandiri, digitalisasi, siklus hidup strategis yang lebih pendek dan biaya
komunikasi. (Poulfelt dan Mnsted, 2007; Hamel, 2007). Memang, hal ini menjadikan
1
penting bagi organisasi memiliki kesadaran lebih besar pada strategi mereka dan bagaimana
penerapannya.
Secara garis besar, konsep strategi mencakup dua tugas yang berbeda, perumusan
strategi dan implementasi strategi. Perumusan strategi terutama terkait dengan tindakan
pembuatan strategi dan tugas ini secara tradisional dilakukan oleh manajemen puncak.
Bekerja dalam pembuatan strategi merupakan masalah yang kompleks dan membutuhkan
upaya cukup besar supaya memenuhi kepraktisan seperti pengumpulan data, analisis data dan
penyiapan dokumen, laporan dan presentasi. Selanjutnya, pembuatan strategi melibatkan
rapat proyek, rapat dewan, konferensi, lokakarya dan terkadang berhari-hari. Ini merupakan
pekerjaan mahal yang sering melibatkan manajer, perencana strategis, konsultan manajemen,
spesialis komunikasi, pengacara, spesialis keuangan dan lain-lain. (Whittington, 2003).
Implementasi strategi berhubungan dengan pelaksanaan strategi yang mempengaruhi
keseluruhan organisasi dan menerapkannya itu bukanlah tugas mudah; diperlukan
perencanaan, komunikasi, alokasi sumber daya, manajemen perubahan, dll. (Hrebiniak,
2006). Hrebiniak mengidentifikasi sejumlah hambatan dalam implementasi strategi. Dari
delapan hambatan yang paling penting, satu hambatan berkaitan dengan perumusan strategi,
sedangkan tujuh lainnya mengenai pelaksanaannya. Apa yang harus ada dalam strategi
menjadi relevan dan berguna sebagai panduan bagi organisasi dan bagaimana penerapannya
yang menjadikan perbedaan dalam pekerjaan sehari-hari dalam organisasi sehingga
kesemuanya itu mengarah pada peningkatan kinerja? Kita akan menjelaskan berbagai
perspektif strategi dan menyarankan sebuah model strategi guna mendapatkan pemahaman
yang lebih baik mengenai apa saja isinya dan fokus apa yang penting pada saat menerapkan
strategi.
Penelitian kami terinspirasi oleh anggapan bahwa sifat strategi itu rumit (Mintzberg
dan Waters, 1985), dan organisasi memang menghadapi tugas begitu kompleks yang
mengharuskan sumber daya internal dalam organisasi mampu memenuhi tuntutan
lingkungan, mengembangkan strategi yang efektif untuk hari ini dan besok, menerapkan
strategi dan melaksanakan rencana aksi. Tujuan utama kita adalah untuk menggabungkan
pendekatan tersebut pada strategi guna menciptakan dan memvalidasi sebuah model strategi
yang solid dan kausal (berkelanjutan) dengan tujuan untuk menjelaskan organisasi apa yang
(atau harus) berfokus pada strategi kerjanya dan bagaimana hal ini terkait dengan strategi
kinerjanya.
Pada bagian berikut, kami akan menjelaskan perkembangan dan asumsi di strategi
dari tahun 1950 sampai sekarang, menyajikan cara berpikir yang secara historis dominan dan
pemikiran teoretis tentang tugas strategi dan praktkonten strategi. Penjelasan ini akan
diteruskan dengan bagian yang menguraikan isi dan proses perspektif strategi, yang
mengusulkan pendekatan gabungan terhadap strategi. Selanjutnya, model kita ini
dikembangkan secara teoritis setelah diberikan pertimbangan metodologisnya dan
penjelasannya. Bagian berikutnya menyajikan analisis dan hasilnya dan kemudian membahas
model dan hasilnya serta menutupnya dengan ucapan terima kasih.

Perspektif dan asumsi dalam strategi

Selama bertahun-tahun ada banyak perspektif strategi yang berbeda dan saat itu
memang terkenal perbedaan-perbedaannya (Chaffee, 1985; Mintzberg dan Waters, 1985;
Drejer dan Printz, 2004; Whittington, 2001). Perspektif yang berbeda-beda tersebut
berkontribusi pada pemahaman strategi. Banyak posisi berlawanan muncul berdasarkan
temuan vs perspektif atau hanya sebagai kritik terhadap teori dan sudut pandang yang ada,
misalnya strategi disengaja vs. strategi darurat, konten strategi vs proses strategi (Mintzberg
and Waters, 1985; Chakravarthy and Doz, 1992). Setiap perspektif strategi yang berbeda
2
berkontribusi menjelaskan fenomena strategi yang kompleks, dan sebagian besar perspektif
mencakup praktik strategi yang dapat diidentifikasi (Porter, 1980) dan pandangan terhadap
praktkonten strategi (Whittington, 2001). Asumsi yang berbeda ini penting untuk dipahami
dalam pembuatan strategi dan asumsi-asumsi tersebut akan memfasilitasi pemahaman tentang
latar belakang teori dan praktik yang dikembangkan. Dalam prakteknya, sebuah proses
strategi memanfaatkan lebih dari satu praktik strategi, dan kebanyakan praktik yang berbeda
ini (Johnson et al., 2014; Clegg et al., 2011) berasal dari perspektif strategi yang berbeda
pula.

Dari rasionalitas hingga rasionalitas terbatas

Cara berfikir rasional membentuk fondasi bagi literatur strategi di tahun 1950-an dan
khususnya di tahun 1960an. Pandangan rasionalitas menyiratkan bahwa pengambil keputusan
memperhitungkan semua pilihan yang ada, mengidentifikasi dan mengevaluasi semua
konsekuensi yang terkait dengan pilihan-pilihan tersebut lalu memilih yang optimal. Manusia
rasional pada penelitian ekonomi diadopsi ke dalam penelitian strategi, yang menyiratkan
analisis sistematis tentang lingkungan dan kekuatan serta kelemahan internal (Porter, 1980),
kompetensi inti (Prahalad dan Hamel, 1990) atau kemampuan dinamis (Teece et al., 1997). ;
Regnr, 2008). Dengan demikian, pembuatan strategi (dan pemikiran) adalah proses rasional
dari analisis hingga penetapan sasaran eksplisit hingga evaluasi pilihan yang dihasilkan dan
pengembangan rencana komprehensif untuk mencapai tujuan ketika telah dibuat suatu pilihan
(Andrews, 1971; Ansoff, 1965, Porter, 1980).
Keyakinan dalam pandangan ini bergantung pada kemampuan manajer puncak untuk
menganalisis dan menerapkan strategi; Dengan demikian, strategi dipandang sebagai isu
manajemen puncak yang memaksimisasi keuntungan dan / atau penggunaan sumber daya
yang tersedia dengan efisien berdasarkan keyakinan bahwa semua individu mengejar solusi
yang paling menguntungkan. Konsep dan teknik dasar yang berpengaruh dan berkontribusi
pada bidang strategi adalah konsep biaya transaksi Williamson (1985) dan analisis struktural
industri Porter (1980). Asumsi rasionalitas ditantang oleh teori perilaku. Manusia ekonomi
rasional adalah filosofi teoretis, dan pandangan rasional bahwa pengambil keputusan
memperhitungkan semua alternatif adalah ilusi; Dalam praktiknya, orang hanya "dibatasi
rasional" (Cyert dan Maret, 1963). Ini berarti bahwa kita sebagai orang hanya bisa
mempertimbangkan beberapa faktor sekaligus. Kita dibiaskan dalam interpretasi data, dan
kita cenderung memilih pilihan memuaskan daripada bersikeras pada yang terbaik. Dengan
menyadari bahwa segudang kepentingan individu terwakili dalam sebuah organisasi, para
aktor mulai menawar satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan dan solusi yang dapat
diterima. Pandangan ini mempertanyakan asumsi bahwa hanya manajemen puncak yang
memiliki kekuasaan dan pendapat dalam strategi. Organisasi secara keseluruhan mengambil
bagian dalam strategi, menunjukkan bahwa anggota organisasi dapat memainkan peran
penting dalam konten strategi dan khususnya dalam prosesnya (Mintzberg, 1978).
Menyadari keterbatasan individu, Quinn (1978) mengemukakan inkrementalisme
logis sebagai norma ideal untuk membuat strategi, dengan alasan bahwa arah yang luas dapat
diprediksi oleh manajemen puncak dan bahwa sifat strategi yang tepat akan muncul seiring
berjalannya waktu. Oleh karena itu, fokus manajemen puncak beralih dari strategi
perencanaan ke pembuatan arah strategis yang jelas dalam bentuk visi dan nilai perusahaan
yang kuat (Kotter, 1988), sehingga menciptakan rasa tujuan dan sasaran yang akan memandu
tindakan yang diambil oleh anggota organisasi. Pandangan ini dikembangkan lebih lanjut
untuk memasukkan keterlibatan sebagai unsur penting dalam strategi (Mintzberg, 1990;
Wooldridge dan Floyd, 1990). Alasan utama keterlibatan tersebut adalah kesulitan dengan
penerapan strategi (Galbraith dan Kazanjian, 1986; Hrebiniak, 2006) dan meningkatnya
3
turbulensi lingkungan (Ansoff, 1979), seperti tekanan inovasi, ketidakpastian tinggi, tekanan
perubahan, difusi geografis, jaringan, karyawan yang mandiri, digitalisasi, siklus hidup
strategis yang lebih pendek dan biaya komunikasi (Poulfelt and Mnsted, 2007; Hamel,
2007).

Dari industri ke sumber daya

Selanjutnya, strategi telah dilihat sebagai posisi eksternal di pasar (Porter, 1980) dan
sebagai tandingan terhadap pendekatan ini, strategi telah dilihat sebagai kumpulan sumber
daya (Wernerfelt, 1984). Fokus dalam penelitian manajemen strategis telah beralih dari
tingkat industri (Porter, 1980) ke tingkat organisasi (Wernerfelt, 1984) dalam penjelasan
keunggulan kompetitif. Pendekatan tradisional terhadap strategi adalah strategi merupakan
sesuatu yang dimiliki organisasi, dan pada dasarnya strategi dan tugas strategi ditentukan
oleh manajemen puncak (Andrews, 1971). Tugas strategi secara tradisional dianggap sebagai
perencanaan yang diikuti oleh perencanaan strategis (Ansoff, 1965) guna menetapkan posisi
organisasi di pasar, misalnya mengikuti tiga strategi generik (Porter, 1980). Asumsi dasar
dalam pendekatan ini adalah strategi ditentukan oleh pengemudi yang terkait dengan posisi
eksternal di pasar, misalnya terkait dengan lima kekuatan Porter (Porter, 1980).
Pandangan berbasis sumber daya (RBV) (Wernerfelt, 1984) dikembangkan sebagai
penghalang pada pandangan posisi (Ansoff, 1965; Porter, 1980), dengan alasan bahwa
organisasi memiliki akses yang berbeda terhadap sumber daya yang mempengaruhi
kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan kompetitif. RBV dikembangkan dengan
menggunakan teori ekonomi dan metodologi yang sama diterapkan dalam pendekatan strategi
tradisional yang berfokus pada industri tingkat. RBV melengkapi penjelasan tentang
keunggulan kompetitif, dimana pendekatan tradisional berfokus pada struktur dan posisi
industri sebagai faktor penentu keunggulan kompetitif sebuah organisasi. Untuk melengkapi
pandangan ini, RBV mengkonseptualisasikan organisasi sebagai kumpulan sumber daya yang
didistribusikan secara heterogen di antara sumber daya tersebut, dan akses dan perbedaan di
antara sumber daya tersebut persistensi ada dari waktu ke waktu (Wernerfelt, 1984).
Menariknya bagaimana sumber daya (dinamis) atau kemampuan dinamis tersebut (Teece et
al., 1997; Eisenhardt dan Martin, 2000) terhubung dengan perubahan kemampuan operasional
dan dengan demikian memodifikasi aset organisasi. Dinamika ini berdampak pada kinerja,
namun tetap fokus pada konten strategi. Selanjutnya, temuan tersebut menjelaskan bagaimana
mencapai keunggulan kompetitif pada tingkat abstrak dan mengabaikan proses dan aktivitas
terperinci yang menjelaskan kemampuan dinamis itu (Regnr, 2008). Dua perspektif tersebut
mewakili perspektif konten dan perspektif proses. Namun, keduanya telah menggunakan
kacamata teoretis yang sama untuk menjelaskan posisi berlawanan dari apa yang
menciptakan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Kacamata teoritis ini dibangun di atas
teori mikroekonomi tradisional. Sejalan dengan teori ekonomi, penelitian empiris juga
berkontribusi besar menawarkan beberapa pemahaman strategi yang berguna, yang berasal
dari RBV dengan fokus pada proses strategi (Mintzberg dan Waters, 1985; Burgelman, 1983;
Pettigrew and Whipp, 1991).

Perspektif strategi dan perspektif proses

Konten strategi dan proses strategi dipandang sebagai dua sub cabang strategi yang
berbeda. Perspektif konten secara eksklusif fokus pada poskonten strategis mana yang
menghasilkan kinerja optimal dalam konteks lingkungan yang berbeda, dan perspektif proses
fokus pada bagaimana sistem administrasi organisasi dan proses pengambilan keputusan
mempengaruhi poskonten strategis. Kedua perspektif tersebut dapat memperbaiki kinerja
4
organisasi, namun masalah strategis manajer umum ditekankan secara berbeda. Proses
strategi dan konten strategi berbeda dalam tiga aspek utama (Chakravarthy and Doz, 1992).
Pertama, konten strategi terutama terkait dengan ruang lingkup organisasi dan bagaimana
bersaing di pasar individual. Kedua, perspektif ini didasarkan pada rasionalitas terbatas dan
kepercayaan tinggi pada manajemen puncak yang berhubungan dengan tatap muka antara
organisasi dan lingkungan, dimana penelitian proses strategi berkaitan dengan interaksi
perilaku pada tingkat mikro, meso dan makro di dalam atau di antara organisasi. Aspek ketiga
adalah metodologi yang digunakan untuk membangun konten strategi pada data sekunder
yang diterbitkan; Proses strategi ada pada berbagai metode. Terutama, studi longitudinal
digunakan dalam perspektif proses, sedangkan penelitian cross-sectional digunakan dalam
perspektif konten dengan asumsi bahwa organisasi tersebut dalam keadaan mapan.

Konten strategi

Pendekatan klasik terhadap konten strategi adalah strategi itu merupakan posisi di
pasar dan anda perlu mengungguli pesaing agar berhasil. Selain itu, tugas generik secara
historis menyeimbangkan produksi (tugas stabilitas) sementara pada saat bersamaan,
memanfaatkan peluang pasar sebagai tugas yang dinamis. Poin penting dalam perspektif
konten klasik adalah pendekatan kinerja struktur-perilaku-kinerja terhadap strategi yang
mempelajari kekuatan pasar yang dicontohkan oleh Strategi Kompetitif Porter (1980) dengan
penerapan penghalang mobilitas, analisis industri dan strategi generik. Pilihan strategis
menempatkan sebuah organisasi pada dua pilihan; yaitu berusaha menurunkan biaya atau
membedakan dirinya dari pesaingnya (Caves, 1984). Dengan kata lain, sebuah organisasi
harus membuat pilihan strategis untuk bertahan; pilihan tentang produk dan layanan untuk
ditawarkan dan merancang kebijakan untuk menentukan bagaimana organisasi akan
memposisikan dirinya di pasar. Selanjutnya, organisasi harus memilih tingkat cakupan dan
keragaman yang sesuai (Rumelt et al., 1991). Penelitian terbaru membahas tantangan strategis
sebuah organisasi untuk dapat berinovasi dan memperbarui dirinya guna bersaing di pasar
yang ada atau, bahkan lebih baik lagi menciptakan sendiri pasar tanpa persaingan yang
signifikan (Kim dan Mauborgne, 2004).

Proses strategi dan praksis

Banyak ilmuwan berpengaruh telah memberikan kontribusi signifikan terhadap proses


strategi. Mintzberg menyukai pendekatan konfigurasional terhadap manajemen dan teori
organisasi (Miller dan Mintzberg, 1984; Mintzberg, 1990; Mintzberg dkk., 1998). Pettigrew
melihat proses sebagai rangkaian kejadian yang terdiri dari kontinuitas dan perubahan
(Pettigrew, 1985b, 1990, 1992, 1997). Pettigrew (1985a, 1985b, 1990, 1992) bergantung pada
teori seperti struktur dan lebih spesifik lagi pada Giddens (1979) dan Sztompka (1991) untuk
memberikan pola berulang dalam prosesnya. Teori mirip struktur memandang proses sosial
sebagai hasil tindakan yang terikat oleh struktur sosial, namun juga memiliki pengaruh untuk
mereproduksi dan mengubah struktur sosial. Mereka berkonsentrasi pada kontradiksi struktur
agensi yang mendasar dengan teori menyerupai struktur dan menunjukkan bahwa
pemahaman manajemen dan organisasi yang senantiasa mampu mengakomodasi paradoks
dan kontradiksi dalam satu pendekatan teoretis. Perspektif proses berkaitan dengan
bagaimana organisasi mengenali kebutuhan akan perubahan dan kemudian melakukan
perubahan. Perspektif strategi-as-practice (SAP) berasal dari perspektif proses,
memanfaatkan banyak wawasan yang sama ketika memfokuskan kembali ke tingkat
manajerial guna mengeksplorasi bagaimana praktisi strategi "bertindak dan berinteraksi
dalam keseluruhan rangkaian pembuatan strategi" (Whittington, 1996, hal. 732).
5
Dari pendekatan SAP, strategi dilihat sebagai aktifitas bertujuan yang dicapai secara
bersama-sama, sedangkan membuat strategi mencakup tindakan orang dan praktik digariskan
ketika melakukan aktivitas (Jarzabkowski et al., 2007). Ada tiga parameter penting dalam
pendekatan ini: praktisi, praktik dan praksis. Konseptualisasi praktisi mengakui bahwa
proses strategi dipengaruhi oleh tindakan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar
organisasi, misalnya praktik melibatkan konsultan eksternal dan membawa praktik strategi
baru. Gagasan mengenai siapa yang menganggap peran praktisi itu strategis telah dipatahkan
oleh definisi yang lebih luas. Penelitian empiris yang ada berfokus pada manajer puncak,
manajer menengah dan manajer proyek (Jarzabkowski et al., 2007; Jarzabkowski dan Spee,
2009). Konsep "beberapa aktor" memberi landasan untuk menyatakan bahwa semua
karyawan dapat menjadi praktisi. Tentu ini memungkinkan bagi karyawan berpartisipasi lebih
aktif dalam pembuatan strategi; karyawan dapat berkontribusi terhadap konten strategi dan
dilibatkan dalam pelaksanaannya. Hal di atas dapat disimpulkan bahwa strateginya rumit dan
memiliki banyak penjelasan tergantung kacamata yang dipakai. Oleh karena itu, cukup jelas
bahwa pendekatan yang lebih banyak itu penting bagi keberhasilan strategi. Kesuksesan
bergantung pada organisasi yang berfokus pada dua tugas strategis generik:
(1) "Apa" yang terkait dengan konten strategi?
(2) "Bagaimana" proses strategi mempengaruhi konten strategi?
Ini berarti model strategi harus didasarkan pada dua asumsi tersebut. Gambar 1
menjelaskan bahwa untuk melaksanaan strategi dengan sukses, maka organisasi harus
mengambil kedua proses strategi (lingkaran dalam) dan konten strategi (lingkaran luar)
sebagai pertimbangan.
Keterkaitannya jelas; konten strategi bergantung pada proses strategi dan begitu
sebaliknya. Pada bagian berikut, model strategi dikembangkan dan disajikan dengan unsur-
unsur yang relevan dan perlu dalam konten strategi serta wilayah implementasinya.

Figure 1.
Model strategi

Model strategi

Dengan titik tolak pendekatan strategi tradisional (Ansoff, 1965; Porter, 1985),
pendekatan kemampuan dinamis (Teece et al., 1997; Eisenhardt dan Martin, 2000; Helfat dan
Peteraf, 2003), pendekatan proses strategi (Burgelman , 1983; Mintzberg dan Waters, 1985)
6
dan pendekatan SAP (Whittington, 2006); Jarzabkowski dan Spee, 2009), kami membahas
tantangan strategi dalam organisasi. Selanjutnya, Joyce dkk. (2003) dalam "Proyek
Evergreen" mereka yang empiris mengidentifikasikan praktik manajemen yang memberi
kesempatan untuk mengungguli rekan industri. Praktik pengelolaan ini dipisahkan menjadi 4
praktik utama (strategi, pelaksanaan, budaya dan struktur) dan 4 praktik sekunder (bakat,
inovasi, kepemimpinan dan merger dan kemitraan), yang kesemuanya sesuai dengan literatur
strategi yang ada. Temuan mereka dapat ditempatkan dalam perspektif strategi yang disajikan
sebelumnya dan temuan itu menunjukkan bahwa kinerja diciptakan oleh kombinasi antara
proses dan konten. Dengan menggunakan cara berpikir ini, kami telah mengidentifikasi 5
wilayah strategi yang dibutuhkan organisasi untuk fokus ketika melakukan strategi. Wilayah
tersebut terkait dengan dua penelitian strategi: konten strategi yang berfokus pada
produktivitas, fleksibilitas dan inovasi (Drejer dan Printz, 2004), serta perencanaan proses
(Chakravarthy dan Lorange, 1991), dan pelaksanaan strategi, dimana fokusnya adalah pada
eksekusi (Hrebiniak, 2006; Joyce et al., 2003) dan budaya organisasi (Joyce et al., 2003)
dimana prosesnya berlangsung. Singkatnya, secara umum dapat dikatakan bahwa melakukan
strategi adalah menyelaraskan konten strategi dengan sasaran atau beberapa arahan dan
proses di mana strategi diciptakan dan dijalankan.

Konten strategi

Kami berpendapat bahwa ada tiga wilayah strategi (generik) yang terkait dengan
konten strategi yang harus dipertimbangkan oleh sebuah organisasi, yaitu produktivitas,
fleksibilitas dan inovasi. Ketiganya telah menjadi subyek penelitian dan penyelidikan,
misalnya dalam menjelaskan fokus strategis terkait dengan evolusi organisasi (De Wit dan
Meyer, 2010). Mengingat kebutuhan akan penggunaan sumber daya yang lebih efisien,
kompleksitas lingkungan yang lebih tinggi dan kecepatan perubahan teknologi dan preferensi
pelanggan, maka organisasi harus menyadari produktivitas, fleksibilitas dan inovasi pada saat
bersamaan dan menemukan yang terbaik, serta menemukan keseimbangan penciptaan nilai
lebih diantara ketiga subjek tadi (Drejer dan Printz, 2004; Bolwijn dan Kumpe, 1990).
Produktivitas berkaitan dengan fokus organisasi dalam meningkatkan sumber daya
yang ada dan memusatkan energi strategisnya pada perbaikan kualitas dan berkelanjutan.
Beberapa pendekatan untuk mengembangkan produktivitas sudah disajikan. Hayes dan rekan
(Hayes dan Jaikumar, 1988; Hayes dan Pisano, 1994) berpendapat bahwa kemampuan
manufaktur berperan penting pada cara organisasi bersaing di pasar produk. Beberapa
penelitian menetapkan peran untuk proses manufaktur sebagai sumber daya potensial (Roth
and Miller, 1990); yang lain menghubungkan proses manufaktur tertentu dengan kemampuan
untuk mencapai biaya rendah, fleksibilitas, ketergantungan dan kualitas yang tinggi
(Cleveland et al, 1989). Salah satu kaitan penting adalah antara praktik manajemen mutu,
just-in-time, proses strategi manufaktur dan kinerja manufaktur (Bates dan Flynn, 1995).
Wilayah ini secara tradisional terlihat dalam organisasi dengan lingkungan yang stabil dengan
hanya beberapa perubahan teknologi, preferensi pelanggan, penemuan dan inovasi baru.
Namun demikian, banyak organisasi di semua industri memiliki pandangan ini untuk waktu
yang lama (De Wit dan Meyer, 2010) dengan fokus pada mengoptimalkan rantai pasokan
melalui manajemen lean, kaizen atau jenis alat peningkatan produktivitas lainnya
(Christopher, 2011 ). Sumber inspirasi utama di bidang ini adalah model keunggulan
Excellence dari European Foundation for Quality Management (EFQM), yang memiliki
perspektif holistik dalam pengembangan organisasi tapi masih membahas kualitas dan
produktivitas (EFQM, 2013). Kesimpulannya, produktivitas merupakan bidang penting untuk
melakukan strategi berdasarkan aspek internal strategi dan dalam tugas strategi, fokusnya

7
adalah pada produktivitas yang memanfaatkan portofolio produk / layanan yang ada, dan
pendekatan untuk pemecahan masalah yang bersifat sistematis.
Fleksibilitas mengacu pada pasar dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan. Fokus dipindahkan ke perubahan dalam preferensi pelanggan dan bagi banyak
organisasi merupakan isu yang paling penting tentang strategi. Kontak dekat dengan
pelanggan utama dan penanganan keluhan atau penilaian sistematis terhadap produk menjadi
pendorong utama perubahan. Strategi dalam organisasi tersebut adalah berfokus pada
pembangunan sistem yang dapat diandalkan untuk menangkap sinyal pelanggan sebelumnya,
sekarang dan masa depan. Dalam istilah strategi, ini juga disebut sebagai pemasaran
relasional atau lebih tepatnya praktik pengelolaan hubungan pelanggan (Clegg et al., 2011).
Pendapat ini adalah perspektif luar (De Wit dan Meyer, 2010) yang berusaha menyesuaikan
preferensi pelanggan yang berubah. Perspektif dari luar dimulai dengan pasar, yang berarti
bahwa langkah-langkah manajemen berada di luar batasan dan batasan organisasi dan
pertanyaan yang muncul seperti:
Bagaimana dan mengapa pelanggan berubah? Bagaimana kebutuhan mereka berubah,
dan kebutuhan baru apa yang dimiliki mereka? Apa yang bisa kita lakukan untuk
membantu pelanggan memecahkan masalah dan membantu mereka menghasilkan l
ebih banyak uang? Apakah ada pesaing baru di pasar mereka? (Hari, 2014).
Strategi didasarkan pada posisi di pasar (Porter, 1980). Penelitian tentang hambatan
masuk dan penghindaran masuk telah menciptakan banyak model untuk memprediksi
perilaku strategis di antara organisasi-organisasi di industri yang sama dalam mencapai
keunggulan kompetitif. Model yang berbeda ini menawarkan implikasi bagaimana sebuah
organisasi dapat menilai keuntungannya dalam mengejar peluang-peluang dan sejauh mana
mampu memenangkan kompetisi (Caves, 1984). Banyak peneliti yang berorientasi pasar
tradisional menyoroti pentingnya mendengarkan kebutuhan dan harapan pelanggan, dengan
alasan bahwa satu-satunya cara menuju kesuksesan adalah mengikuti pasar dan pelanggan
(Porter, 1980; De Wit dan Meyer, 2010). Kemudian, pandangan ini telah dimodifikasi dan
dikembangkan lebih lanjut; pelanggan sekarang menjadi bagian dari semua masalah
pembangunan yang dihadapi organisasi. Fleksibilitas merupakan wilayah penting dalam
strategi dan dalam tugas strategi. Fokusnya adalah pada beradaptasi dengan pasar,
mengeksploitasi dan mengeksplorasi peluang di pasar dan pendekatan untuk pemecahan
masalahnya bersifat interaktif.
Inovasi di sini didefinisikan sebagai (lebih) perubahan radikal yang secara drastis
mempengaruhi proses penciptaan nilai. Industri yang cepat berubah dan preferensi pelanggan
atau persaingan ketat antar pesaing, serta banyak penemuan teknologi baru, merupakan faktor
yang mendorong kebutuhan untuk fokus pada inovasi (Abell, 1999). Ini adalah fakta bahwa
inovasi penting untuk menjaga agar organisasi tetap kompetitif dan mampu mengatasi
pesaing yang tangguh; inovasi dapat secara positif dihubungkan dengan keberhasilan dan
kegagalan dalam organisasi (Cyert dan Maret, 1963; Zaltman et al., 1973). Hubungan antara
inovasi dan kinerja telah diteliti dalam banyak penelitian (Calantone et al., 2002; Hult et al.,
2004; Wheelwright dan Clark, 1992). Namun, kebanyakan penelitian berfokus pada
peningkatan kemampuan organisasi untuk lebih inovatif dan membangun serta
mengemukakan konsep seperti Blue Ocean Strategy (Kim dan Mauborgne, 2004). Bagi
organisasi sangat penting untuk dapat memperbarui portofolio produk mereka, tidak hanya
sekali tapi terus-menerus menyadari kemungkinan inovasi yang ada di pasaran, teknologi dan
/ atau pesaing. Untuk menghindari penurunan dan terus melakukan pengembangan, bekerja
dengan strategi harus mencakup evaluasi kematangan produk dan risiko menjadi usang
sambil fokus pada kemampuan mengubah budaya organisasi setiap saat.
Banyak aspek yang sudah diungkapkan di sini guna membantu organisasi tetap
inovatif dan memastikan bahwa organisasi dapat memperbarui diri berulang kali guna
8
memenuhi harapan pelanggan (Tidd et al., 2001; Christensen, 2003). Inovasi harus menjadi
bagian dari strategi yang membantu mengarahkan inovasi. Keseluruhan proses pembuatan ide
harus kreatif, melibatkan banyak pihak namun pada saat yang sama disusun dan dipandu
sesuai dengan strategi. Penting juga untuk melacak kemajuan dalam proses inovasi dan
mengukurnya berdasarkan parameter yang relevan. Yang terakhir namun tidak kalah penting,
sangat penting untuk melibatkan pelanggan saat ini dan masa depan dalam proses inovasi
(Lindholm dan Holmgren, 2004). Singkatnya, inovasi adalah tentang memperbarui portofolio
produk. Dalam tugas strategi, fokusnya adalah pada eksplorasi dan "pemikiran di luar kotak",
dan pendekatan pemecahan masalah bersifat eksperimental. Dalam praktiknya, sebuah
organisasi akan menerapkan campuran tiga wilayah konten strategi, dan konteks lingkungan
dan interpretasi organisasi tentang konteks lingkungan akan menentukan keseimbangan
ketiga wilayah tersebut. Artinya, kadang kala salah satu dari tiga hal tersebut bisa saja lebih
difokuskan, tapi di lain waktu bisa difokuskan pada keseimbangan ketiganya.

Proses strategi

Seperti disebutkan di atas, proses strategi berkaitan dengan aspek-aspek internal


organisasi; Namun, berbagai ilmuwan sudah membahas lebih banyak aspek. Melihat proses
strategi, kami berpendapat bahwa aspek tersebut bisa saja tidak banyak dan terkait dengan
dua bidang: pelaksanaan dan budaya organisasi. Kami menyadari faktanya bahwa lebih
banyak aspek disebutkan dalam penelitian ini, namun kami berpendapat bahwa sebagian
besar aspek di atas terkandung pelaksanaan dan budaya organisasi; Dalam model kami,
kepemimpinan dan bakat termasuk dalam eksekusi.
Eksekusi. Begitu strategi dirumuskan, maka harus dijalankan dan yang penting bukan apa
yang diterapkan tapi bagaimana menerapkannya. Eksekusi terkait dengan kemampuan
organisasi mendiskusikan kemungkinan pertumbuhan dan tren pengembangan. Organisasi
dengan kemampuan eksekusi tinggi juga fokus pada bagaimana melibatkan berbagai pihak
dalam organisasi dalam proses strategi dan dalam memenuhi strategi lewat tingkat
komunikasi tinggi. Selanjutnya, eksekusi adalah tentang memelihara dan mengembangkan
kompetensi yang diperlukan manajemen dan karyawan (Hrebiniak, 2006; Joyce et al., 2003).
Hrebiniak (2006) mengemukakan adanya hambatan dalam penerapan strategi yang efektif,
dan lima hambatan utama adalah:
(1) ketidakmampuan mengelola perubahan secara efektif atau mengatasi hambatan internal
terhadap perubahan;
(2) mencoba menjalankan strategi yang bertentangan dengan struktur kekuasaan yang ada;
(3) pembagian informasi yang buruk atau tidak memadai antara individu atau unit bisnis
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan strategi;
(4) tidak jelasnya komunikasi tanggung jawab; dan / atau
(5) akuntabilitas untuk tindakan eksekusi, strategi yang buruk atau tidak jelas.
Singkatnya, eksekusi adalah tentang memiliki fokus dan ketrampilan organisasi yang
diperlukan untuk melaksanakan strategi yang dipilih.
Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana memastikan komitmen dan
keterlibatan organisasi itu bertekad untuk mendapatkan hasil strategis. Budaya tersebut
mendefinisikan bagaimana aktor kunci dalam organisasi saling berinteraksi satu sama lain
dan bagaimana hal ini berdampak pada pelaksanaan strategi dan selanjutnya pada kinerja
organisasi (Barney, 1986). Hal ini membutuhkan karyawan mampu mengaitkan tuntutan dan
harapan yang ditemuinya dan juga membutuhkan hubungan solid antara tujuan dan strategi
yang dikomunikasikan. Penting juga menyesuaikan tujuan dan strategi terus menerus agar
sesuai dengan perubahan lingkungan dan tantangan strategis baru (Joyce et al., 2003). Budaya
organisasi mempengaruhi persepsi produktivitas, hubungan dengan pelanggan dan
9
kemampuan untuk menjadi inovatif dan mengupayakan kinerja lebih baik (Morgan, 1993;
Flamholz, 2001). Hasil dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif
antara budaya organisasi dan kinerja (Abu-Jarad et al., 2010). Unsur budaya yang penting
antara lain, seberapa baik organisasi mampu terus beradaptasi dengan lingkungan yang terus
berubah, tingkat tanggung jawab dan wewenang karyawan dan seberapa sukses organisasi
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, ketika mengerjakan sebuah
strategi, fokus harus tetap pada konten strategi yang disebutkan dalam produktivitas,
fleksibilitas dan inovasi serta penerapan strategi, aktivitas pelaksanaan dan bagaimana aktor
aktor yang berbeda tersebut terlibat dalam proses. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2 dalam
versi konsep strategi yang dikonseptualisasikan.
Proses strategi adalah tentang budaya organisasi dan pelaksanaan strategi. Kelima
bidang itu penting dalam tugas strategi, walaupun dalam literatur kelimanya sering dipandang
sebagai wilayah yang terpisah atau sebagai tandingan. Di sini, kami berpendapat bahwa
keberhasilan strategi bergantung pada interaksi antara lima wilayah tersebut. Berikut ini,
model yang diusulkan akan diuji berdasarkan sampel 713 tanggapan dari organisasi-
organisasi Denmark melalui kuesioner yang mencakup semua aspek model.

Figure 2.
Correlations di model strategi

Sampling

Biasanya, kuesioner didistribusikan ke responden tertentu dalam organisasi, misalnya


ke manajer puncak atau manajer menengah. Apalagi topik penelitian bersifat strategi maka
cara ini yang biasa dilakukan. Dalam kuesioner, kami juga menyertakan karyawan sebagai
responden, yang berarti bahwa kuesioner diterapkan pada manajer puncak, manajer
menengah dan karyawan. Selain itu, kinerja didefinisikan oleh responden dalam organisasi
dan bukannya dengan terlebih dulu menidentifikasi organisasi dengan kinerja di atas rata-rata
10
dibandingkan dengan industri. Berdasarkan model yang diusulkan, kuesioner dirumuskan dan
diuji coba pada 70 responden, dan penyesuaian kecil dilakukan terkait dengan rumusan
pertanyaan. Secara keseluruhan, 25 pertanyaan (Lampiran) digunakan untuk membentuk
model yang telah dipresentasikan sebelumnya. Pertanyaan dikembangkan berdasarkan aspek
teoretis yang paling penting yang disebutkan dalam tinjauan literatur tentang konten strategi
dan proses strategi. Oleh karena itu, pertanyaan spesifik diajukan untuk setiap aspek dalam
model dan satu pertanyaan yang membahas kinerja organisasi. Kuesioner didistribusikan
secara elektronik kepada responden dan mereka diminta mendistribusikan kuesioner tersebut
ke responden lain di organisasinya. Responden ditemukan melalui jaringan kami, di antara
para manajer yang menghadiri kelas bisnis di universitas dan dari berbagai asosiasi industri.
Tanggapan berasal dari semua jenis industri baik dari sektor publik maupun swasta.
Organisasi berusia lebih dari satu tahun dan semua umur diwakili. Mengenai ukuran
organisasi, penelitian kami mempertimbangkan organisasi dengan lebih dari lima karyawan.
Kami mendapatkan 1.200 tanggapan yang mewakili 140 organisasi, tapi hanya 713 tanggapan
yang menjawab sepenuhnya.
Saat memvalidasi model, penting untuk disebutkan bahwa tidak ada yang perbedaan
yang signifikan terkait dengan industri, umur atau ukuran organisasi.

Metodologi

Teknik statistik "partial least squares" (PLS) digunakan sebagai metode untuk
memperkirakan model strategi. PLS dipilih karena dapat memberikan informasi yang
berguna dalam hal kepuasan anggota dan loyalitas, dan PLS adalah teknik yang sesuai untuk
tujuan ini (Jreskog dan Wold, 1982). elain itu, PLS tidak sensitif terhadap distribusi miring
dan multi-collinearity dibandingkan dengan teknik pemodelan persamaan struktural lainnya
(Cassel et al., 1999; Kristensen dan Eskildsen, 2010). Model PLS terdiri dari tiga bagian:
hubungan dalam, hubungan luar dan hubungan berat (Wold, 1980; Fornell dan Cha, 1994).
Hubungan dalam menggambarkan hubungan antara variabel-variabel laten, seperti yang
ditunjukkan pada persamaan (1):

(1) Persamaan..

Dalam hubungan dalam, n adalah vektor dari variabel endogen laten. B adalah matriks
koefisien yang sesuai (Fornell dan Cha, 1994), 3 adalah vektor laten variabel eksogen, T
adalah matriks koefisien yang sesuai dan, akhirnya, istilah kesalahan, S, disertakan. Bagian
kedua dari model ini adalah hubungan luar (Fornell dan Cha, 1994). Bagian dari model ini
mendefinisikan hubungan antara variabel laten dan variabel manifes, dan keduanya dapat
bersifat reflektif dan formatif secara alami (Jreskog dan Wold, 1982). Karena analisis yang
dilakukan di sini didasarkan pada hubungan luar reflektif saja, persamaannya digambarkan
sebagai berikut. Rumus umum untuk hubungan luar reflektif ditunjukkan pada persamaan
(2):

(2) Persamaan

Dimana, y adalah vektor dari indikator yang diamati, x adalah vektor dari yang diamati
Indikator 3, Ay dan Ax adalah matriks yang mengandung koefisien V yang menghubungkan
11
variabel laten dan manifes bersama-sama dan ex dan ey adalah kesalahan pengukuran untuk
masing masing x dan y (Fornell dan Cha, 1994). Hubungan beban adalah bagian akhir dari
model PLS. Dalam PLS, setiap nilai kasus dari variabel laten dapat diperkirakan melalui
hubungan beban yang ditunjukkan pada persamaan (3) sebagai agregat linier dari indikator
empiris:

(3) Persamaan..

Berikut ini, laporan hasil analisisnya.

Hasil empiris

Hasil dari analisis PLS ditunjukkan pada Gambar 3 dan Tabel I di bawah ini. Semua
koefisien jalur yang ditunjukkan pada Gambar 3 signifikan, dan modelnya sesuai dengan
data.
Tabel I menunjukkan bahwa variabel laten memiliki reliabilitas internal yang cukup
sesuai ukuran Jreskogs Rho's. Seperti yang dapat diamati, koefisiennya antara 0,817 dan
0,905, yang mengindikasikan reliabilitas tinggi. Selanjutnya, validitas diskriminan model
cukup memuaskan karena varians rata-rata yang diekstrak dalam semua kasus lebih tinggi
daripada korelasi kuadrat antara variabel laten (Fornell dan Larcker, 1981).
Nilai R2 cukup memuaskan sehingga secara keseluruhan sesuai dengan model 0,487,
yang dalam konteks ini juga memuaskan. Sampel terdiri dari tiga kelompok organisasi yang
berbeda dan masuk akal untuk mengasumsikan bahwa nilai R2 akan lebih tinggi jika ketiga
kelompok dianalisis secara terpisah. Hal ini juga akan berpengaruh pada kebaikan
keseluruhan model.

Figure 3. The empirical


Pada Gambar 4, nilai indeks dari enam variabel laten ditampilkan menjadi 0-100. Dari
angka ini, terbukti bahwa responden percaya bahwa "eksekusi" dan "Inovasi" adalah wilayah
dimana organisasi Denmark menghadapi tantangan terbesar.

Diskusi dan kesimpulan


12
Sebagian besar penelitian ditempatkan dalam satu tradisi penelitian, misalnya dalam
tradisi konten dan proses, dan dalam tradisi konten, penelitian selanjutnya dibagi menjadi
sub-pendekatan, yaitu produktivitas, fleksibilitas dan inovasi. Tradisi prosesnya bahkan lebih
terbagi lagi yang selanjutnya menjadi sebuah pendekatan baru yang menjanjikan; Perspektif
SAP yang mengalihkan pandangan dari pendekatan sosiologis ke fenomena strategi. Lebih
khusus lagi, fenomena strategi ditempatkan dalam perspektif dan tradisi penelitian yang
berbeda yang berusaha menjelaskan apa yang menciptakan keunggulan kompetitif
berkelanjutan dan bagaimana kinerja terpengaruh. Tak satu pun dari perspektif tersebut dapat
sepenuhnya menjelaskan apa yang menciptakan keunggulan kompetitif dalam meningkatkan
kinerja, karena masing-masing perspektif menghasilkan asumsi dan metodologi berbeda.
Kami telah menunjukkan bahwa kombinasi perspektif strategi dapat digabungkan dalam
model gabungan yang berisi konten strategi dan proses strategi. Namun, hal ini di luar
cakupan makalah saat ini jika membahas bagaimana berbagai bidang strategi saling
mempengaruhi satu sama lain. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa ada
hubungan kausal antara lima wilayah strategi, dan model yang diuji menunjukkan bahwa
kelimanya saling terkait dalam pola hubungan kompleks yang pada akhirnya mempengaruhi
kinerja.

Strategy areas R2 AVE

Execution AC 0.598 0.899


Culture 0.595 0.817
Productivity 0.345 0.672 0.860
Flexibility 0.392 0.666 0.857
Innovation 0.509 0.578 0.905
Table I. Performance 0.294 0.651 0.849
Model results Goodness-of-fit 0.487

Figure 4.
Index score
Sebelum menggunakan model ini untuk implikasi manajerial, kami ingin menguji
modelnya logika dalam untuk menunjukkan seberapa baik wilayah yang berbeda dalam
model strategi berkorelasi. Pertama-tama, tes tersebut menunjukkan bahwa ada korelasi
positif antara keduanya yang berfokus pada produktivitas, fleksibilitas atau inovasi dan
kinerja. Meskipun inovasi adalah wilayah dimana organisasi memiliki tantangan terbesar,
ujiannya menunjukkan bahwa ketika menyangkut organisasi yang terkait dengan inovasi, ada
13
korelasi tinggi antar kinerja organisasi. Tes tersebut juga menunjukkan bahwa pelaksanaan
dan budaya organisasi sangat mempengaruhi dan memiliki dampak positif pada fokus
organisasi pada konten strategi dan secara tidak langsung pada kinerja. Dengan kata lain,
model ini valid secara empiris dan dapat dijadikan dasar untuk menjelaskan mengapa
organisasi tidak berkinerja baik dan apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki diri.
Strategi ini memiliki dampak signifikan terhadap kinerja seperti banyak penelitian
sebelumnya juga menunjukkan hal tersebut. Umumnya, seperti yang ditunjukkan oleh skor
indeks pada Gambar 4, organisasi Denmark menemukan bahwa tantangan terbesar terkait
dengan penerapan strategi dan kemampuan memasukkan elemen inovatif dalam konten
strategi.
Dari uji empiris, terbukti juga bahwa kemampuan organisasi untuk mengeksekusi
strategi memiliki dampak terbesar terhadap kemampuan organisasi untuk menjadi produktif,
fleksibel dan inovatif. Dampaknya lebih besar daripada budaya organisasi dalam semua
kasus, namun perbedaannya paling penting dalam hal produktivitas. Di sini, kemampuan
untuk menjalankan strategi sejauh ini merupakan ciri terpenting bagi sebuah organisasi untuk
dimiliki. Hal ini sangat menarik, karena skor indeks untuk kemampuan menjalankan strategi
adalah 59 dan dengan demikian secara signifikan lebih rendah dari skor indeks 66 untuk
budaya organisasi. Secara praktis, ini berarti bahwa organisasi termasuk dalam sampel untuk
memperbaiki kinerjanya secara substansial jika mereka mampu meningkatkan
kemampuannya menjalankan strategi hingga menjadi budaya organisasi. Perbaikan ini
sebagian besar akan melalui peningkatan produktivitas yang kemudian menyebabkan
peningkatan fleksibilitas, inovasi dan kinerja pada akhirnya. Lebih jauh, produktivitas
merupakan konstruk dengan pengaruh langsung terbesarnya pada kinerja bila dibandingkan
dengan dua konstruk menengah lainnya; fleksibilitas dan inovasi. Pengaruh terhadap
menningkatnya kemampuan menjalankan strategi akan menarik untuk diuji dari waktu ke
waktu. Desain penelitian semacam itu akan memudahkan kita menentukan apakah model
empiris (disajikan pada Gambar 3, yang diuji pada data cross-sectional), memiliki daya
prediksi sepanjang waktu.
Kami merasa perlu untuk menyelidiki lebih jauh bagaimana kelima wilayah tersebut
saling terkait. Bisa juga itu menarik untuk menguji bagaimana lima wilayah strategi saling
terkait dan bagaimana pengaruhnya terhadap kinerja secara umum. Selanjutnya, menarik
juga mempelajari bagaimana tingkat yang berbeda-beda dalam organisasi memandang
wilayah strategi, dan jika pada kenyataannya persepsinya mengenai strategi dan kinerja
organisasi juga berbeda-beda. Penelitian strategi sebelumnya melihat berbagai isu untuk
sukses dengan strategi: Hrebiniak berfokus pada hambatan dalam implementasi strategi
(Hrebiniak, 2006), dan (Joyce et al., 2003) mengidentifikasi beberapa faktor utama dan
sekunder yang penting bagi strategi sebuah organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
kesuksesan organisasi, ada beberapa wilayah yang lebih penting dibanding yang lain. Model
kami menunjukkan bahwa kelima wilayah strategi itu penting. Namun, bisa jadi menarik
untuk diselidiki jika ada beberapa hubungan atau keterkaitan antara beberapa wilayah strategi
yang mengarah pada kinerja yang lebih tinggi daripada pola lainnya. Mungkin, ini bisa
memberi beberapa gagasan tentang wilayah tersebut guna menaruh perhatian khusus dalam
tugas strategi.
Tes didasarkan pada sampel yang meminta para manajer puncak, manajer menengah
dan para karyawan. Sebagian besar penelitian strategi tradisional dilakukan dengan
menyelidiki data sekunder terutama yang berkaitan dengan tradisi konten. Sebagai contoh,
tradisi proses memiliki pendekatan yang lebih empiris dan longitudinal, menangani
pertanyaan "bagaimana" yang terkait dengan tantangan dalam bekerja dengan strategi.
Sedangkan perspektif penelitian SAP mengambil pendekatan sosiologis untuk menyelidiki
yayasan mikro yang terkait dengan strategi, dan ini mengilhami kami untuk melihat secara
14
luas strategi praktisi dan menggabungkan manajer menengah dan para karyawan dalam survei
tersebut. Dalam penelitian strategi tradisional, manajer puncak sebagian besar disertakan,
namun dengan memiliki kedua manajer menengah dan karyawan yang berpartisipasi, kami
telah menerima umpan balik lebih luas dan lebih kaya dari organisasi. Tujuannya bukan untuk
berfokus pada tingkat berbeda-beda dalam organisasi; karena topik tersebut kurang diteliti,
kami ingin menganalisisnya lebih jauh untuk melihat bagaimana berbagai wilayah strategi
dirasakan pada tingkat yang berbeda dalam organisasi.
Penelitian selanjutnya perlu diselidiki jika ketiga kelompok ini memiliki pandangan
yang sama terhadap lanskap strategis dan apakah terdapat kelompok berbeda secara
karakterisitik demografis. Selain itu, akan sangat menarik untuk membandingkan hasil yang
dilaporkan di sini dengan studi serupa yang dilakukan dalam setting budaya yang berbeda.
Akhirnya, penelitian harus lebih fokus pada hubungan antara aspek konten dan proses strategi
berdasarkan pada asumsi bahwa dalam menciptakan keunggulan kompetitif bagi suatu
organisasi, baik pasar maupun organisasi harus diperhitungkan. Untuk menciptakan atau
memiliki strategi yang baik, jelas tidaklah cukup hanya memiliki budaya memadai,
kemampuan / kompetensi dan akses terhadap sumber daya yang diperlukan serta pasar.
Implikasi praktik adalah bahwa manajer harus mempertimbangkan konten strategi dan
proses strategi. Ini bukan tugas mudah untuk membuat strategi dengan tujuan dan rencana
aksi, sebagaimana yang disarankan pada model strategi, dan fokus pada konten saja tidak
akan membuat kinerja baik. Strategi harus dijalankan secara efektif dan disesuaikan dengan
budaya. Menciptakan strategi itu membawa banyak kesulitan. Salah satunya karena banyak
organisasi sering memiliki pendekatan strategi yang sempit dengan berfokus hanya pada satu
atau beberapa wilayah. Misalnya, mereka hanya berfokus pada konten strategi dan lupa
untuk menerapkannya atau mereka memusatkan usaha mereka hanya pada wilayah konten
tertentu dan mengabaikan yang lain.
Model kami menunjukkan dua tugas umum yang perlu ditangani dalam tugas strategi
dan keduaya tidak bisa berdiri sendiri. Manajer harus mempertimbangkan konten dan proses
strategi. Organisasi harus mengembangkan strategi yang berfokus pada produktivitas,
fleksibilitas dan inovasi dan menemukan keseimbangan antara ketiga wilayah konten strategi
ini. Secara umum berarti bahwa dalam tugas strategi, sebuah organisasi harus terus berusaha
menyeimbangkan tugas strategis yang berkaitan dengan produktivitas, fleksibilitas dan
inovasi dan pendekatannya (bekerja dengan budaya organisasi dan eksekusi) yang merupakan
konsekuensi kinerja. Selanjutnya, hasil empiris menunjukkan bahwa eksekusi dan inovasi
adalah bidang dimana organisasi menghadapi tantangan terbesarnya. Hal ini bukan berarti
budaya, produktivitas dan fleksibilitas kurang penting, namun lebih untuk menyatakan bahwa
kemampuan menjalankan strategi dan lebih fokus pada inovasi adalah penting dan perlu
sebagai bagian tugas strategi.

References

Abell, D.F. (1999), Competing today while preparing for tomorrow, Sloan Management Review,
Vol. 40 No. 3, pp. 73-81.
Abu-Jarad, I.Y., Yusof, N. and Nikbin, D. (2010), A review paper on organizational culture and
organizational performance, International Journal of Business and Social Science, Vol. 1
No. 3, pp. 26-46.
Andrews, K.R. (1971), The Concept of Corporate Strategy, Dow Jones-Irwin Inc, New York, NY.
Ansoff, H.I. (1965), Corporate Strategy, McGraw-Hill, New York, NY.
15
Ansoff, I. (1979), Strategic Management, MacMillan, London.
Barney, B. (1986), Strategic factor markets: expectations, luck, and business strategy,
Management Science, Vol. 32 No. 10, pp. 1231-1241.
Bates, K. and Flynn, J. (1995), Innovation history and competitive advantage: a resource-based
view analysis of manufacturing technology innovations, Academy of Management
Journal, Vol. 1 No. 1, pp. 235-239.
Bolwijn, P.T. and Kumpe, T. (1990), Manufacturing in the 1990s productivity, flexibility and
innovation, Long Range Planning, Vol. 23 No. 4, pp. 44-57.
Burgelman, R.A. (1983), A process model of internal corporate venturing in the diversified major
firm, Administrative Science Quarterly, Vol. 28 No. 2, pp. 223-244.
Calantone, R.J., Cavusgil, S.T. and Zhao, Y. (2002), Learning orientation, firm innovation
capability, and firm performance, Industrial Marketing Management, Vol. 31 No. 6,
pp. 515-524.
Cassel, C., Hackl, P. and Westlund, A.H. (1999), Robustness of partial least-squares method for
estimating latent variable quality structures, Journal of Applied Statistics, Vol. 26 No. 4,
pp. 435-446.
Caves, R.E. (1984), Economic analysis and the quest for competitive advantage, The American
Economic Review, Vol. 74 No. 2, pp. 127-132.
Chaffee, E.E. (1985), Three models of strategy, Academy of Management Review, Vol. 10 No. 1,
pp. 89-98.
Chakravarthy, B.S. and Doz, Y. (1992), Strategy process research - focusing on corporate
self-renewal, Strategic Management Journal, Vol. 13 No. 1, pp. 5-14.
Chakravarthy, B.S. and Lorange, P. (1991), Managing the Strategy Process: A Framework for a
Multibusiness Firm, Prentice Hall International, Upper Saddle River, NJ.
Christensen, C.M. (2003), The Innovators Dilemma The Revolutionary Book that Will Change the
Way You Do Business, 1st ed., Harper Business Essentials, New York, NY.
Christopher, M. (2011), Logistics & Supply Chain Management, 4th ed., Financial Times/Prentice
Hall, London.
Clegg, S., Carter, C., Kornberger, M. and Schweitzer, J. (2011), Strategy: Theory and Practice, Sage
Publications, London.
Cleveland, G., Schroeder, R.G. and Anderson, J.C. (1989), A theory of production competence,
Decision Sciences, Vol. 20 No. 4, pp. 655-668.
Cyert, R.M. and March, J.G. (1963), A Behavioral Theory of the Firm, Prentice-Hall, London.
Day, G.S. (2014), An outside-in approach to resource-based theories, Journal of the Academy of
Marketing Science, Vol. 42 No. 1, pp. 27-28.
De Wit, B. and Meyer, R. (2010), Strategy Synthesis, 3rd ed., Cengage Learning, Boston, MA.
Drejer, A. and Printz, L. (2004), Luk op: Nye Strategier i en Brydningstid, Jyllands-Postens Forlag,
Kbenhavn.
EFQM (2013), EFQM Excellence Model 2013, EFQM Publications, Belgium.
Eisenhardt, K.M. and Martin, J.A. (2000), Dynamic capabilities: what are they?, Strategic
Management Journal, Vol. 21 Nos 10/11, pp. 1105-1121.
Flamholz, E. (2001), Corporate culture and the bottom line, European Management Journal,
Vol. 19 No. 3, pp. 268-275.
Fornell, C. and Cha, J. (1994), Partial least squares: advanced methods of marketing research,
Bagozzi, R.P. (Ed.), Advanced Methods of Marketing Research, Blackwell, MA.
Fornell, C. and Larcker, D.F. (1981), Evaluating structural equation models with unobservable
variables and measurement error, Journal of Marketing Research, Vol. 18 No. 1, pp. 39-50.
Friis, O. and Koch, C. (2010), Combat, cohabitation or combined mutual enforcement the
coexistence of strategy institutions in a textile company, Working Paper, 26th EGOS
Colloquium edition.
Galbraith, J.R. and Kazanjian, R.K. (1986), Strategy Implementation: Structure, Systems, and
Process, West Pub, Saint Paul, MN.
Giddens, A. (1979), Central Problems of Social Theory, MacMillan, London.
Hamel, G. (2007), The Future of Management, Harvard Business School Press, Boston, MA.
Hayes, R.H. and Jaikumar, R. (1988), Manufacturings crisis: new technologies, obsolete
organizations, Harvard Business Review, Vol. 66 No. 5, pp. 77-85.
Hayes, R.H. and Pisano, G.P. (1994), Beyond world-class: the new manufacturing strategy,
Harvard Business Review, Vol. 72 No. 1, pp. 77-84.
Helfat, C.E. and Peteraf, M.A. (2003), The dynamic resource-based view: capability lifecycles,

16
Strategic Management Journal, Vol. 24 No. 10, pp. 997-1010.
Hrebiniak, L.G. (2006), Obstacles to effective strategy implementation, Organizational
Dynamics, Vol. 35 No. 1, pp. 12-31.
Hult, G.T.M., Hurley, R.F. and Knight, G.A. (2004), Innovativeness: its antecedents and impact on
business performance, Industrial Marketing Management, Vol. 33 No. 5, pp. 429-438.
Jarzabkowski, P. and Spee, A.P. (2009), Strategy-as-practice: a review and future directions for
the field, International Journal of Management Reviews, Vol. 11 No. 1, pp. 69-95.
Jarzabkowski, P., Balogun, J. and Seidl, D. (2007), Strategizing: the challenges of a practice
perspective, Human Relations, Vol. 60 No. 1, pp. 5-27.
Johnson, G., Whittington, R., Scholes, K., Angwin, D. and Regner, P. (2014), Exploring Strategy,
10th ed., Pearson, London.
Jreskog, K.G. and Wold, H. (1982), The ML and PLS techniques for modeling with latent
variables: historical and comparative aspects, Jreskog, K.G. and Wold, H. (Eds), Systems
Under Indirect Observation, 1st ed., North-Holland, NY, pp. 263-270.
Joyce, W., Nohria, N. and Roberson, B. (2003), What Really Works: The 4 2 Formula for
Sustained Business Success, Harper Business, New York, NY.
Kim, W.C. and Mauborgne, R. (2004), Blue ocean strategy, Harvard Business Review, Vol. 82
No. 10, pp. 76-84.
Kotter, J.P. (1988), The Leadership Factor, Free Press, New York, NY.
Kristensen, K. and Eskildsen, J. (2010), Design of PLS-based satisfaction studies, Vinzi, V.E.,
Chin, W.W., Henseler, J. and Wang, H. (Eds), Handbook of Partial Least Squares: Concepts,
Methods and Applications in Marketing and Related Fields, Springer, Berlin, pp. 247-277.
Lindholm, M. and Holmgren, J. (2004),The Seven Circles of Innovation: A Model For Innovation
Management, Danish Centre for Leadership and Fremtid Stanken.
Miller, D. and Mintzberg, H. (1984), The case for configuration, in Miller, D. and Friesen, P. (Eds),
Organizations: A Quantum View, Prentice Hall, Englewood Cliffs, pp. 10-30.
Mintzberg, H. (1977), Policy as a field of management theory, Academy of Management Review,
Vol. 2 No. 2, pp. 83-103.
Mintzberg, H. (1978), Patterns in strategy formation, Management Science, Vol. 24 No. 9,
pp. 934-948.
Mintzberg, H. (1990), Strategy formation: schools of thought, in Fredrickson, J. (ed.), Perspectives
on Strategic Management, Ballinger, New York, NY, pp. 105-235.
Mintzberg, H., Ahlstrand, B.W. and Lampel, J. (1998), Strategy Safari: A Guided Tour through the
Wilds of Strategic Management, Free Press, New York, NY.
Mintzberg, H. and Waters, J.A. (1985), Of strategies, deliberate and emergent, Strategic
Management Journal, Vol. 6, pp. 257-272.
Morgan, M.J. (1993), How corporate culture drives strategy, Long Range Planning, Vol. 26 No. 1,
pp. 10-17.
Pettigrew, A. and Whipp, R. (1991), Managing Change for Competitive Success, Wiley-Blackwell,
Hoboken, NJ.
Pettigrew, A.M. (1985a), The Awakening Giant: Continuity and Change in ICI, Basil Blackwell,
Oxford.
Pettigrew, A.M. (1985b), Contextualist research: a natural way to link theory and practice, in
Lawler, E. (Ed.), Doing Research that is Useful in Theory and Practice, Jossey-Bass, San
Francisco, CA, pp. 222-274.
Pettigrew, A.M. (1990), Longitudinal field research on change: theory and practice, Organization
Science, Vol. 1 No. 1, pp. 267-292.
Pettigrew, A.M. (1992), The character and significance of strategy process research, Strategic
Management Journal, Vol. 13 No. 2, pp. 5-16.
Pettigrew, A. (1997), What is a processual analysis?, Scandinavian Journal of Management,
Vol. 13 No. 4, pp. 337-348.
Porter, M.E. (1980), Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors,
The Free Press, New York, NY.
Porter, M.E. (1985), Competitive Advantage, The Free Press, New York, NY.
Poulfelt, F. and Mnsted, M. (2007), Nye krav til ledelsesteori et dansk perspektiv?, Ledelse &
Erhvervskonomi, Vol. 71 No. 2, pp. 69-78.
Prahalad, C.K. and Hamel, G. (1990), The Core Competence of the Corporation, Harvard Business
Review.
Quinn, J.B. (1978), Strategic change: logical incrementalism, Sloan Management Review, Vol. 20

17
No. 1, pp. 7-21.
Regnr, P. (2008), Strategy-as-practice and dynamic capabilities: steps towards a dynamic view
of strategy, Human Relations, Vol. 61 No. 4, pp. 565-588.
759
Roth, A.V. and Miller, J.G. (1990), Manufacturing strategy, manufacturing strength, managerial
success and economic outcomes, Ettlie, J.E., Burstein, M.C. and Fiegenbaum, A. (Eds),
Manufacturing Strategy: The Research Agenda for the Next Decade, Kluwer, Boston, MA,
pp. 97-109.
Rumelt, R.P., Schendel, D. and Teece, D.J. (1991), Strategic management and economics,
Strategic Management Journal, Vol. 12 No. 1, pp. 5-29.
Sztompka, P. (1991), Society in Action: The Theory of Social Becoming, Polity Press, Cambridge,
MA.
Teece, D.J. (2007), Explicating dynamic capabilities: the nature and microfoundations of
(sustainable) enterprise performance, Strategic Management Journal, Vol. 28 No. 13,
pp. 1319-1350.
Teece, D.J., Pisano, G. and Shuen, A. (1997), Dynamic capabilities and strategic management,
Strategic Management Journal, Vol. 18 No. 7, pp. 509-533.
Tidd, J., Bessant, J. and Pavitt, K. (2001), Managing Innovation: Integrating Technological,
Market, and Organizational Change, 2nd ed., Wiley, Hoboken, NJ.
Wernerfelt, B. (1984), A resource-based view of the firm, Strategic Management Journal, Vol. 5
No. 2, pp. 171-180.
Wheelwright, S.C. and Clark, K.B. (1992), Revolutionizing Product Development: Quantum Leaps
in Speed, Efficiency, and Quality, Free Press, New York, NY.
Whittington, R. (1996), Strategy as practice, Long Range Planning Vol. 29 No. 5,
pp. 731-735.
Whittington, R. (2001), What is Strategy- and Does it Matter?, 2nd ed., Cengage Learning, Boston,
MA.
Whittington, R. (2003), The work of strategizing and organizing: for a practice perspective,
Strategic Organization, Vol. 1 No. 1, pp. 117-125.
Whittington, R. (2006), Completing the practice turn in strategy research, Organizational
Studies, Vol. 27 No. 5, pp. 613-634.
Williamson, O.E. (1985), The Economic Institutions of Capitalism, Free Press, New York, NY.
Wold, H. (1980), Model construction and evaluation when theoretial knowledge is scarce: theory
and application of partial least squares, Kmenta, J. and Ramsey, J.B. (Eds), Evaluation of
Econometric Models, Academic Press, New York, NY, pp. 47-74.
Wooldridge, B. and Floyd, S.W. (1990), The strategy process, Middle management
involvement, and organizational performance, Strategic Management Journal, Vol. 11
No. 3, pp. 231-241.
Zaltman, G.R., Duncan, R. and Holbek, J. (1973), Innovations and Organizations, Wiley, New York,
NY.

Further reading
Bourdieu, P. (1992), The Logic of Practice, 1st ed., Stanford University Press, Palo Alto, CA.
Flamholtz, E. and Kannan-Narasimhan, R. (2005), Differential impact of cultural elements on
financial performance, European Management Journal, Vol. 23 No. 1, pp. 50-64.
Giddens, A. (1984), The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, University
of California Press, Cambridge, MA.
Holst-Mikkelsen, M. and Poulfelt, F. (2008), Strategi Med Mening, Brsen.
Johnson, G., Melin, L. and Whittington, R. (2003), Micro strategy and strategizing: towards an
activity-based view, Journal of Management Studies, Vol. 40 No. 1, pp. 3-22.
Mintzberg, H. and Lampel, J. (1999), Reflecting on the strategy process, Sloan Management
Review, Vol. 40 No. 3.
Schatzki, T.R., Cetina, K.K. and Savigny, E.V. (2001), The Practice Turn in Contemporary Theory,
Routledge, New York, NY.
Weick, K.E. (2006), Faith, evidence, and action: better guesses in an unknowable world,
Organization Studies, Vol. 27 No. 11, pp. 1723-1736.
Wooldridge, B., Schmid, T. and Floyd, S.W. (2008), The middle management perspective on
strategy process: contributions, synthesis, and future research, Journal of Management,
Vol. 34 No. 6, pp. 1190-1221.

18
Lampiran. Daftar pertanyaan
Gunakan skala berikut untuk menunjukkan tingkat kesepakatan atau ketidaksepakatan Anda
dengan setiap pernyataan.
Kunci: 1 sangat tidak setuju, 2? tidak setuju, 3? netral, 4? setuju, 5? sangat setuju.
(1) Strategi tersebut diketahui di semua tingkatan di perusahaan.
(2) Strategi tersebut diterjemahkan ke dalam rencana tindakan di semua tingkat di
perusahaan.
(3) Sumber daya keuangan dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan yang direncanakan di
strategi.
(4) Kolaborasi dengan mitra kunci eksternal didasarkan pada strategi.
(5) Sumber daya karyawan dialokasikan sesuai dengan strategi.
(6) Kompetensi manajemen dan karyawan dipelihara dan dikembangkan sesuai kesepakatan
dengan strateginya.
(7) Strategi ini senantiasa disesuaikan.
(8) Karyawan diberi tanggung jawab dan wewenang dalam pekerjaannya.
(9) Karyawan diberi imbalan atas usaha mereka.
(10) Perusahaan memenuhi tujuan yang ditetapkan (keuangan dan non finansial).
(11) Kinerja keuangan perusahaan telah membaik dalam dua tahun terakhir.
(12) Citra perusahaan telah membaik selama dua tahun terakhir.
(13) Metode dan teknologi operasi baru dan alternatif diidentifikasi dan dikembangkan.
(14) Perbaikan operasional merupakan bagian alami dari bisnis sehari-hari.
(15) Produktivitas perusahaan telah meningkat dalam dua tahun terakhir.
(16) Produk dan layanan perusahaan dikembangkan berdasarkan kebutuhan pelanggan dan
harapan.
(17) Proses dikembangkan untuk menciptakan nilai tambah bagi pelanggan dan pemangku
kepentingan lainnya.
(18) Perusahaan menggunakan umpan balik dari kontak pelanggan harian, termasuk keluhan,
kepada
mengidentifikasi perbaikan proses potensial
(19) Manajemen puncak terlibat aktif dalam kegiatan inovasi.
(20) Manajemen tengah terlibat aktif dalam kegiatan inovasi.
(21) Karyawan dilibatkan dalam kegiatan inovasi.
(22) Ada fokus pada pengumpulan dan perolehan pengetahuan yang mendukung inovasi
kegiatan.
(23) Ada struktur yang jelas untuk mengumpulkan dan mengolah gagasan baru.
(24) Kegiatan inovasi terus diukur.
(25) Perusahaan mahir membawa ide bisnis baru ke pasar.

19

Anda mungkin juga menyukai