Anda di halaman 1dari 89

Merenung Sampai Mati

Blog ini berisikan kumpulan tulisan dari Prie GS, seorang Penulis sekaligus
Kartunis asal Semarang, Jawa Tengah. Merenung Sampai Mati, adalah buku
pertama beliau yang saya baca. Tulisan-tulisannya yang sederhana,
menggelitik, kritis ternyata dapat sekaligus menampar kesadaran terdalam
dari setiap manusia yang mengaku masih punya akal dan perasaan :d

Monday, February 25, 2008

Kucing yang Bertamu


Di rumahku pada jam-jam tertentu, selalu kedatangan seekor kucing sebagai
tamu. Mula-mulai ia cuma tidur-tiduran di bangku depan, lama-lama masuk ke
dalam dan akhirnya menjelajah ke sekujur ruangan. Terakhir, sebagai bukti
bahwa ia sudah akrap dengan keluargaku, ia telah diizinkan tidur di atas
bantal besar kesayangan anak lelakiku.

Sementara si kucing tidur dengan nyenyak di bantal besarnya, anakku cukup


mengambil tempat di sebelahnya, tidur dengan alas seadanya. Keduanya tidur
bersama tetapi tidak benar-benar tidur. Sebentar-sebentar si kucing ini
melenguh dan merubah posisi tubuhnya. Sebentar-sebentar anakku terjaga
untuk mengamati seluruh gerakan kucingnya.

Tak bisa berlama-lama kucing itu dengan tidurnya, karena akan datang istri
dan anak perempuanku untuk merubungnya. Berebut mengelus bulu-bulunya.
Jika mereka hendak tertawa kucing ini digodanya sedemikian rupa. Jika kedua
belah pihak telah merasa cukup bemain, sang kucing akan pamit pergi dengan
caranya sendiri yang keluargaku telah menghafalinya.

Jika pintu kami tertutup, ia akan mengetuk-etukkan kakinya sampai pintu itu
terbuka. Jika ia hendak pergi, anak dan istriku akan mengantarnya di depan
pintu. Jika jam-jam kucing itu hendak datang bertamu, keluargaku tegang
menunggu. Jika tamu itu benar-benar datang, semuanya berteriak girang.
Sudah tentu, kecuali aku.

Dari seluruh keriuhan itu biasanya aku memang cuma mengamati dari
kejauhan. Sikap inilah yang dianggap mengurangi kegembiraan keluargaku.
Dianggapnya aku sama sekali tidak ikut bergembira bersama mereka.
Anggapan itu pasti keliru. Ketika aku melihat anak lelakiku merelakan bantal
besarnya untuk tidur si kucing, sementara ia sendiri cukup beralas apa saja,
dari jauh mataku sesungguhnya telah berkaca-kaca. Tetapi pasti aku tidak
mau kehilangan muka. Menangis di hadapan anak dan istri? Huh, gengsi! Maka
biarlah aku terharu dengan caraku sendiri.

Ini bukan sekadar keharuan bapak atas anak, melainkan keharuan atas
hasutan imajinasiku sendiri. Begitulah sejatinya seluruh hati anak-anak di
dunia, seluruh hati manusia, ia selalu memiliki ruang-ruang yang besar untuk
cinta, untuk menyayangi sesamanya. Dan ruang-ruang itu jika dibuka lebar-
lebar, seluruh dunia ini akan berisi cinta.

Cinta yang besar itu cukup disulut dengan soal-soal sederhana. Kucing ini
sama sesali kucing liar, ia bukan jenis anggora yang ningrat dan manja.
Hewan ini datang tanpa diminta dan pergi tanpa dipaksa. Sesungguhnya, ia
tetaplah kucing tanpa kelas. Tapi tak peduli siapapun dia, kedatangannya di
rumah kami seperti menyalakan lampu raksasa.

Setiap meong pertama di kemunculannya akan langsung disambut suka cita.


Anak-anakku akan berlarian dan istriku dengan sok anggun mengikutinya. Tapi
sebetulnya tidak. Perasaan istriku itu pasti setara saja dangan anak-anaknya
yang gegap-gempita. Cuma karena kedudukannya sebagai ibu, ia merasa
perlu menganggun-anggunkan diri. Untuk menggembirakan seluruh keluarga,
cukup dengan hanya meongan seekor kucing, betapa murahnya. Dan ketika
kucing ini tiba gilirannya pergi, seluluruh keluargaku serentak terharu
bersama.

Jangan disangka bobot keharuan lebih rendah katimbang kegembiraan.


Keduanya setara dan sama menakjubkannya. Keharuan adalah kegembiran
yang tengah bermetamorfosa. Maka ketika dalam sehari kami setidaknya
memilik sekali kegembiraan dan sekali keharuan, sesungguhnya kami telah
gembira berkali-kali. Belum lagl, kegembiraan atas kucing ini bisa kami
perpanjang. Jika malam menjelang, kepada anak-anak, kami dongengkan
betapa esok pagi ia akan ketemu kucingnya lagi.

Dan tidur berbekal kerinduan atas kegembiraan esok hari, pasti tidur yang
menyenangkan. Dan pagi hari ketika mereka hendak ke sekolah, bersiap
menempuh hari-hari yang berat, kami ingatkan, bahwa sepulang sekolah
nanti, kucingnya telah menanti. Jika kegembiraan menjadi bekalnya,
keberatan hidup itu pasti akan meringan dengan sendirinya. Cuma dengan
seekor kucing liar yang tak jelas asal-usulnya, keluarga kami gembira setiap
hari. Ini bukti satu lagi, bahwa kegembiraan itu sejatinya murah sekali!

(Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Monday, February 25, 2008 1 comments Links to this post

Labels: kucing keluarga serambi baru

Wednesday, February 20, 2008

Aku Ingin Mencintaimu Secara Bersahaja


Aku ingin mencintaimu dengan cara yang biasa-biasa saja. Ini bukan karena
aku tidak mencintamu, tetapi lebih karena aku takut pada bahaya cinta.
Semua ini pertama; untuk kepentinganku sendiri, kedua untuk kepentinganmu
dan ketiga untuk kepentingan kita bersama. Untuk kepentinganku, karena jika
cintaku ini kandas, akulah pihak yang paling sakit.

Karena tak ada jaminan bahwa yang kucintai selalu mencintaiku. Untuk
kepentinganmu; karena kesakitanku yang sangat, pasti akan membebani
hidupmu. Padahal makin besar cintaku kepadamu, makin besar risiko
kesakitanku. Padahal makin besar kesakitanku akan makin besar risiko
kesakitanmu akibat kesakitanku. Untuk kepentingan kita, karena sakitku, mau
tidak mau pasti akan menjadi sakitmu. Jadi makin besar kecintaanku akan
makin besar risiko kesakitan kita bersama.

Lalu siapakah kamu itu? Kamu bisa siapa saja, karena cinta bisa jatuh kepada
siapa saja. Bisa jatuh ke orang-orang terdekatku, bapakku, ibuku dan
saudara-saudaraku. Maka cintaku yang keterlaluan kepada bapakku akan
membuat bisa menantang siapa saja yang membencinya, meskipun misalnya
bapakku adalah seorang penjarah uang negara. Kamu itu bisa pula berupa
anak-anakku. Jika keterlaluan cintaku kepadanya, akan menggodaku berbuat
apa saja demi kebahagiaannya.

Jika anakku adalah si bodoh misalnya, aku bisa ngotot merayu sekolahnya
agar tetap diterima meskipun dengan cara membayar dari bawah meja. Jika
anakku adalah pengangguran, maka akau akan berkolusi dengan siapa saja
asal anak itu mendapat posisi, sambil tak peduli betapa ia miskin kompetensi.
Padahal jika anak yang sudah aku bela mati-matian, dengan segala cara pula
itu, kemudian cuma akan sibuk dengan dirinya sendiri dan lupa pada orang
tuanya, yang lebih mencintai pasangannya sambil mengabaikan orangtua,
lebih banyak tinggal di rumah mertua sampai lupa orangtuanya sendiri? aku
pasti akan mengutuknya sebagai anak durhaka. Aku pasti akan makin marah
saja jika ternyata, sudah kukutuk pun, eee kutukanku tak mempan juga!
Apa jadinya jika kamu itu adalah idolaku? Inilah yang kutakutkan karena aku
bisa menganggapmu sebagai orang suci cuma karena sering melihatmu
memberi nasihat di televisi. Maka aku akan berhenti menontonmu ketika
kemunculanmu sudah keterlaluan. Aku takut engkau menjadi terlalu terkenal
dan aku makin memujamu cuma karena popularitasmu. Betapa mudah
membayangkanmu sebagai si sempurna, cuma karena televisi tak pernah
menyutingmu ketika bangun tidur, sedang malas dan uring-uringan.

Televisi cuma suka mengambil adegan ketika engkau sedang sebagai si


sempurna, si baik, si sabar dan si sejuk. Televisi sungguh tidak pernah jujur
kepadaku, apakah kebaikan yang sedang ditampilkan itu kebaikan asli atau
sekadar kebaikan industri. Sudah lama aku takut, jika televisi itu sebenarnya
tidak sedang memopulerkanmu, tetapi sedang menghisapmu. Menampilkan
wajahmu siang malam, pagi dan petang. Kemana remote control itu berpindah
selalu cuma harus ketemu wajahmu. Aduh, begitu ingin berteriak
mencegahmu tapi aku mencegah diriku sendiri. Aku khawatir jika kau anggap
aku sebagai si cemburu pada popularitasmu.

Maka yang bisa aku lakukan hanyalah mencegah diriku sekuatku, sebisaku,
agar aku tidak menjadi pemujamu cuma oleh hasutan televisi dan media
massa. Tidak mudah, karena televisi telah menyita begitu banyak energi
bangsaku cuma untuk menghabiskan waktu. Ia telah menjadi pengasuh bagi
anak-anak, karib bagi ibu-ibu dan teman begadang bapak-bapak. Maka apa
saja yang dimunculkan televisi, tiba-tiba menjadi nilai terpenting saat itu.
Jelas, aku menolak untuk tertipu. Maka izinkan aku mencintamu secara
bersahaja agar kita berdua tidak sama-sama tertipu dan menjadi korban
hasutan media massa.

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Wednesday, February 20, 2008 0 comments Links to this
post
Labels: cinta, mencintai

Tuesday, February 19, 2008

Jurus Menghibur Diri


Tak terbayangkan betapa berat beban hidup ini jika manusia tak dilengkapi
dengan kemampuan menghibur diri. Lihatlah jumlah penderitaan itu, sejauh-
jauh mata memandang, rasanya manusia cuma akan melihat derita dan
persoalan. Lihatlah daftar persoalan itu, sambung-menyambung tanpa henti
mulai lahir sampai mati. Tetapi jika hidup cuma berisi penderitaan, manusia
pasti tak kuat bertahan. Begitu lahir, ia pasti akan langsung mati. Setengah
dari hidup itu, pastilah berisi sang kebalikan. Maka antara derita dan
kegembiraan, pasti sama banyaknya. Inilahlah yang membuat bahkan filsuf
seperti Sartre kebingungan. Fakta bahwa manusia bisa bertahan hidup tanpa
bunuh diri itu saja baginya sudah amat mengherankan.

Ya, banyak orang tergoda untuk mati karena daftar derita yang tak ada
rampung-rampungnya. Tapi fakta bahwa jauh lebih banyak orang berani hidup
katimbang berani mati juga bukti yang nyata bahwa di dalam hidup, seseorang
boleh bergembira kapan saja dia mau, karena kegembiraan itu jumlahnya tak
terhingga dan tinggal memungut begitu saja. Salah satu pintu kegembiraan itu
adalah kemampuan menghibur diri seperti yang telah saya sebutkan. Dan jujur
saja, hingga saat ini, jurus menghibur ini menolong saya dari bermacam-
macam persoalan. Saya tidak malu disebut sebagai suka menghibur diri atas
banyak kegagalan. Jika setelah gagal saya tak boleh menghibur diri, tak akan
pernah bisa saya melahirkan kolom ini.

Misalnya saja ketika saya memiliki sepetak tanah, kecil saja, yang saya beli
dengan menabung serupiah demi serupiah, tetapi ternyata suratnya tak juga
rampung selama bertahun-tahun. Geram belaka bawaan saya setiap
mengingatnya. Setiap melihat tanah ini bukannya seperti melihat harta karun,
melainkan malah seperti melihat sumber kegeraman. Lalu apa yang saya
lakukan? Tanah itu pelan-pelang saya buang dari pikiran. Tanah itu tetap di
tempatnya, tetapi lokasi di pikiran saya telah berubah. Katimbang menatap
tanah itu, saya lebih suka menatap gunung-gunung di sekitar yang terlihat dari
rumah saya. Saya suka naik ke atas rumah dan menengadah melihat langit.
Waa.. dunia ini luas sekali.

Begitu luasnya sehingga menempatkan pikiran hanya untuk berpikir tentang


tanah secuil itu sungguh merupakan ketololan. Saya mengembangkan dada
seluas yang saya bisa. Saya berjanji kepada diri sendiri, bahwa tanah itu
terlalu kecil untuk dipikirkan. Kalau perlu saya akan membeli pantai, membeli
gunung dan lautan sebagai gantinya. Saya tidak tahu apakah keinginan saya
ini masuk akal. Tetapi baru memikirkan keinginan ini saja hati saya sudah
gembira luar biasa. Hati itu tiba-tiba terbimbing untuk menuju keumungkinan-
kemungkinan yang luas tanpa batas. Hati dan pikiran itu akhirnya tidak cuma
tergadai untuk soal-soal yang terlalu remeh jika badingannya adalah seluruh
hidup kita.

Maka setiap memandangi tanah itu, saya tidak lagi terpaku pada surat-
suratnya yang hingga tulisan ini saya buat belum rampung juga, melainkan
malah seperti melihat seorang yang menegur saya untuk mau terbang lebih
tinggi, untuk lari lebih kencang, untuk membeli apa saja karena dunia
menyediakan apa saja jika saya menginginkan. Ya, banyak sekali soal-soal
sederhana yang kita biarkan menyita hampir seluruh pikran padahal ia murah
sekali jika bandingannya adalah seluruh dari kehidupan.
Posted by Prie GS at Tuesday, February 19, 2008 0 comments Links to this
post

Sunday, February 17, 2008

Saya Mimpi Menjadi Casper


Untuk mengukur sejauh mana tingkat kematangan Anda sebagai manusia,
cukup diukur dari kualitas mimpi-mimpi dalam tidur Anda. Untuk itulah kenapa
belum lama ini saya menyesali sebuah mimpi yang menurut saya sangat
dangkal dan tidak bermutu, yakni mimpi menjadi Casper, si hantu baik, salah
satu tokoh kartun Disney.

Di mimpi itu entah bagaimana awal mulanya saya dikutuk menjadi hantu
Casper. Sedih, karena tubuh saya menjadi mengkeret dan kehilangan konvensi
gerak seperti lazimnya manusia. Tapi kepedihan ini pelan-pelan menemukan
obatnya ketika serombongan anak-anak sekolah yang saya datangi tunggang
langgang ketakutan. Bahkan sebuah truk yang sedang parkir pun kaget ketika
saya bentak. Saat sedang membentak truk inilah saya terbangun karena istri
keburu membangunkan saya.

Sungguh butuh terdiam lama untuk menjawab pertanyaan istri, tentang mimpi
apa gerangan yang membuat saya sampai mengigau begitu hebat. Untuk
berterus terang bahwa mimpi itu sekadar menjadi hantu Casper, pasti akan
merusak ketegangan yang telah kami bina. Melihat kecemasan istri pun
sungguh merupakan kebahagiaan juga. Saya jelas tidak ingin merusak
kebahagiaan ini dalam waktu singkat.

Biarlah istri menduga, bahwa saya sedang bermimpi begitu seriusnya, mimpi
mendapat wangsit semacam kejatuhan rembulan atau berselancar gagah di
atas gelombang samudera. Itulah mimpi khas kaum aulia, orang-orang suci
dan manusia yang dekat dengan bisikan-bisikan Tuhan. Membiarkan istri salah
paham dan mengira suaminya adalah manusia yang dikasihi Tuhan juga
kebahagaan tersendiri. Maka saya sengaja menyimpan rahasia ini hingga esok
hari.

Karena benar juga, ketika saya terpaksa berterus terang, istri saya merasa
sangat tertipu. Ia tak cuma geli tapi juga menyesal bahwa mimpi suaminya
yang ikut menegangkan hatinya itu tak lebih dari sekadar mimpi hasil
rembesan dunia keseharian yang mengendap dalam pikiran. Apa boleh buat,
karena mimpi ini, terbukalah kualitas saya sebagai manusia, yang ternyata
masih suka membawa persoalan-persoalan hidup yang remeh temeh, bahkan
ke dalam tidur.

Betapa melelahkan hidup semacam ini. Karena hanya membenci seseorang


tadi siang, di malam hari, orang itu bisa datang dalam mimpi untuk kita pukuli
sampai klenger. Kita lalu puas untuk kemudian terbangun sambil kecewa lagi.
Hanya karena ditekan oleh kesulitan hidup, kita bisa mengusung kesulitan itu
untuk dipecahkan di malam hari lewat mimpi, untuk kemudian terbangun dan
menderita lagi.

Bukan sekali dua kali saya dibikin lelah oleh mimpi-mimpi halusinatif semacam
itu. Jadi jelas sudah, betapa saya adalah kualitas manusia yang masih mudah
terguncang oleh hal-hal sepele, manusia yang belum cukup tenang untuk
melupakan persoalannya hingga ke kamar tidur, betapapun remeh persoalan
itu. Jadi, bahkan saat tidur pun, saat terbaik untuk mengendorkan semua
ketegangan, untuk mengistirahatkan dari tekanan hidup yang penat, malah
menjadi kepenatan tersendiri.

Jadi, jika dalam kesendirian pun, dalam keadaan paling pribadi pun, saya
masih begitu gampang diguncang persoalan, betapa makin buruk kualitas saya
di tengah keramaian, di tengah hidup sehari-hari. Apa jadinya jika saya
melihat teman naik pangkat dan tambah kaya. Pasti teman ini akan muncul
dalam tidur saya untuk saya pukuli dan saya hajar habis-habisan. Jadi, dalam
tidur maupun jaga, saya ini orang yang terus menerus didera ketegangan!

Sungguh lelah punya kualitas mental semacam ini. Maka jika maagh saya
kambuh, jika urat leher saya menegang diam-diam dan kepala pusing secara
berkala, jangan-jangan semua ini bukan karena penyakit medis, tapi hasil
endapan-endapan hidup yang tegang belaka.

Maka, jika Anda juga menderita penyakit saya, mari kita berobat bersama.

(PrieGS/)
Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post

Labels: lawas, mimpi

Seekor Kucing di Rumahku


Ada kucing di rumahku. Ia tak secara khusus dipelihara, tapi selalu saja betah
berlama-lama. Kucing ini agaknya sebatang kara, terbukti rumahkulah satu-
satunya tempat yang dia suka.
Sebagai layaknya pihak yang cuma nebeng, kucing ini sebetulnya relatif tahu
diri. Ia cuma berkisar tidur di genting tumah, di kolong dapur dan di tempat-
tempat darurat lainnya. Jika ia suatu kali kedapatan bermalasan di tempat-
tempat terhormat, seperti ruang tamu dan sofa misalnya, ia sadar diri.
Secepat kilat ia akan berlari jika kepergok, terutama olehku.

Kucing ini tahu, aku adalah pihak yang paling keras kepadanya di rumah ini.
Kekerasan ini semula kusengaja, karena aku tidak ingin kucing ini kerasan di
rumahku. Aku tahu, untuk memelihara hewan seperti kucing, butuh waktu
ekstra. Maka jika waktu dan komitmen itu tak ada, lebih baik jangan coba-
coba. Berteman dengan kucing liar, hanya akan membuat panas hati saja.

Padahal, karena kucing ini tidak jelas statusnya, ia terancam menjadi setengah
liar pula. Tongkrongannya memang telah mirip kucing rumahan, tapi
kelakuannya betul-betul liar sempurna. Jika pintu dapur terbuka sedikit saja,
lauk-pauk yang ada akan secepat kilat dijarahnya. Berak dan kencing bisa
sembarangan. Dan yang paling menjengkelkan, jika malam tiba. Ia bisa
mengundang kucing tetangga untuk datang, berebut pasangan dan bertengkar
dengan kegaduhan yang mengerikan.

Pendek kata itulah peran si kucing di rumah kami hingga hari ini. Dibanding
sukanya, rasanya jauh lebih banyak dukanya. Tambahan kejengkelan lain ialah
ketika ia bisa meninggalkan bulu-bulunya itu di mana saja. Ia bisa memakai
kursi busa untuk mengasah kuku-kukunya pula. Pokoknya, meski saya bukan
pembenci kucing, godaan untuk marah pada hewan ini bisa berlangsung setiap
kali.

Meski tidak sampai menyiksa, saya tetap menyalurkan hasrat kemarahan pada
kucing ini setiap ada kesempatan. Mulai dari sekadar membentaknya, hingga
mengguyurnya air jika terpaksa. Pendek kata, baginya aku adalah musuh, dan
ia menangkap permusuhan ini dengan seksama. Maka reaksinya terhadap aku
pun khas. Ia akan buru-buru menyingkir jika kelebat bayanganku dilihatnya.

Komunikasi semacam itulah yang ada di antara kami selama ini. Aku tak tahu
persis ukuran pastinya. Yang jelas kucing ini aku kenal mulai dari balita hingga
kini beranjak tua. Jadi sudah dalam bilangan tahun. Yang aku heran, meskipun
bertahun-tahun hewan ini kukasari, ia tetap saja betah di rumah kami.

Sampai pada suatu hari, ketika di suatu sore, aku dan kucing ini menjadi
begitu dekatnya oleh sebab yang tak terduga. Semua berawal dari
kebiasaanku naik ke genting rumah jika udara gerah. Memandang langit,
menikmati keluasan dari sebuah ketinggian, adalah hobiku sejak lama. Si
kucing ini, entah kenapa juga sedang berada di genting yang sama.

Ia berbaring, dengan mata lurus ke barat, ke arah hari yang mulai senja. Tak
seperti biasa, ia sama sekali tak terusik oleh kedatanganku. Akulah yang ganti
kaget oleh ulahnya yang tak biasa. Sedang apakah hewan ini? Sedang
sedihkah dia? Baru aku sadar sepenuhnya, betapa ia selama ini memang
sebatang kara. Tidak sepertiku, yang istri ada, anak-anak pun ada, dan dalam
batas-batas yang tertentu, kami hidup bahagia.

Lalu kucing ini? Matanya yang lurus itu, jangan-jangan ia sedang


membayangkan ibu bapaknya yang sudah tiada. Sanak saudaranya yang juga
entah kemana. Sudah sendiri, nebeng pada sebuah keluarga pun tak peduli
pula. Ia bahkan cenderung selalu dikasari. Soal makan, ia juga dibiarkan
memecahkannya sendiri. Karena keluarga ini pasti punya dalih, mereka tak tak
pernah punya ikrar memelihara, karenanya tak perlu pula merasa bertanggung
jawab atas nasibnya.

Kucing yang sedang menerawang ke arah matahari terbenam itu, memang


tidak tampak sedang menyalahkan kami sekelurga. Ia lebih seperti meratapi
kemalangannya sendiri. Sejenak kemudian aneka loudspeaker dari beberapa
masjid serempak menyuarakan azan bersama. Kucing ini masih terpaku,
menatap hari yang berangkat senja. Dan di ketinggian genting ini, kami
berdua merasa sangat sepi. Aku dan kucing itu, pasti akan ketemu magrib
juga. Sama-sama akan menemukan hari senja dan kembali ke mati bersama-
sama.

Dalam hidup yang cuma sekali dan itupun cuma singkat saja, kenapa di antara
kami masih tega untuk saling mengasari. Kenapa aku yang manusia ini tidak
juga tanggap, betapa hewan ini, sudah ditakdirkan sebagai kucing, tidak
bahagia pula. Kenapa manusia yang sudah diberi banyak kemuliaan ini, tidak
bisa berbaik hati ada kucing yang papa ini, yang pada akhirnya juga akan
menjadi teman seperjalanan, menuju senja yang di sana.

(PrieGS/)
Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post

Labels: keluarga, kucing

Karena Aku Sering Numpang Mobilmu


Karena sering numpang mobil teman, tulisan ini akhirnya diturunkan. Temanku
itu bermacam-macam tapi seperti seragam dalam satu keadaan. Ada yang
kelas atas, menengah dan bawah, ada yang bermobil tua dan payah ada pula
yang mewah, tapi hampir semuanya tanpa tong sampah. "Terus di mana
kotoran ini harus aku buang," tanyaku. "Lewat jendela," jawabmu sekenanya.

Ini bukan soal tradisi buang sampah sembarangan yang memang sudah
termashur di Indonesia. Ini lebih menyangkut soal kelakuan kita yang
membuat kenapa kerusakan tatanan di hampir semua lini itu terjadi. Penyakit
boleh menyebar menjadi bemacam-macam versi, tapi sumbernya ternyata
satu saja: diri sendiri.

Prioritas kita terhadap diri sendiri ternyata masih luar biasa. Konsep
membersihkan diri tanpa peduli kebersihan tetangga adalah hal yang biasa.
Menjaga kebersihan mobil sendiri sambil membuang limbahnya ke mana saja,
karenanya juga hal yang biasa. Akibatnya, yang bersih dan yang kotor, yang
lebih dan yang kurang, di negeri ini memang bisa berdampingan dengan
sangat kontrasnya.

Sanggup mengotori tanpa sanggup membersihkan adalah hobi kita. Itulah


kenapa WC umum selalu jorok keadaannya, bus kota selalu cepat bobroknya
dan kendaraan-kendaran iventaris selalu tak terurus kedaannya. Apalagi yang
bisa diharap dari masyarakat yang hanya bisa memakai tanpa mau merawat,
hanya mau enak tapi enggan menanggung risikonya, hanya bisa
mementingkan diri sambil mengabaikan kepentingan sekitarnya.

Masyarakat seperti ini pasti akan merosot mutunya. Jika membentuk


kesebelasan sepak bola pasti akan menjadi kesebalasan yang lemah. Yang
kuat cuma suporternya. Dan ini juga cuma bukti baru betapa lemahnya
kekuatan yang kita punya itu karena ia hanya berupa kekuatan untuk berbuat
onar dan membuat kerusakan.

Dalam masyarakat yang egois semacam ini tak akan ada bentuk organisasi
yang kuat, tak akan ada perencanan yang utuh dan tak ada orientasi yang
terfokus. Jika kita membanagun sebuah kota, maka kota itu akan begitu ruwet
dan penuh tabrakan kepentingan. Akan ada trotoar bukan untuk pejalan kaki
tapi untuk bedagang dan malah menjadi lahan strategis untuk mendirikan
posko partai. Akan ada jembatan penyebarangn bukan untuk menyeberang
tapi untuk pangkalan pengemisdan penodong.

Jika kita adalah pengendara motor, maka ngebut di kegelapan tanpa lampu
adalah kewajaran. Bikin kaget orang malah kalau perlu tabrakan lalu mati
bersama bukanlah kejahatan. Maka juga bisa dimengerti, jika banyak pemilik
mobil dan motor di Indonesia yang mengganti knalpot aslinya dengan knalpot
baru yang lebih pekak, lebih bikin hiruk pikuk sekitarnya.

Jadi, membahagiakan diri sendiri sambil bikin budek kuping tetangga memang
tujuan kita. Jika kita sopir angkutan maka membuat penumpang ketakutan
adalah kebanggaan. "Bayangkan, dari kota A ke B saya haya menempuhnya
dalam dua jam. Tancap terus. Penumpang di bagian depan malah sampai
harus mengangkat kakinya hahaha…," kata kita gembira.

Jika kita anggota partai, maka dipakailah partai itu sebagai tak ubahnya
perusahaan. "Prospeknya cerah," batin kita. Dengan mengatas namakan
tegaknya kebenaran dan keadilan kita pun meneriakaan slogan. Sementara
yag sebenarnya terjadi, kita ini tak lebih sedang mencari makan.

(PrieGS/)
Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post

Labels: lawas, mobil, numpang


Karena Aku Kebal...
Aku anak seorang diplomat Aku punya kekebalan diplomatik
Aku menjual heroin
Maka:
Karena aku anak diplomat dan memiliki kekebalan diplomatik, maka aku
berjualan heroin.

Kita mengenal penarikan kesimpulan dengan gaya seperti di atas dengan


sebutan silogisme. Pelajaran matematika di sekolah sering mengajarkan hal itu
pada kita. Pelajaran ini pula yang muncul ketika kita membaca berita tentang
ditangkapnya seorang anak diplomat Indonesia yang kedapatan memiliki
heroin dalam jumlah yang sudah layak disebut sebagai bandar. Apakah ia
terkena hukuman? Tidak, kasusnya ditutup. "Karena punya kekebalan
diplomatik," begitu argumentasinya.

Penarikan kesimpulan gaya silogisme di atas bisa saja keliru. Tapi kasus heroin
itu, jika berita media tersebut benar, membuktikan kepada kita, bahwa
sesuatu yang keliru pun bisa dan boleh terjadi. Karenanya gaya berpikir yang
keliru pun bisa terjadi, hak-hak yang digunakan secara keliru juga bisa terjadi,
dan akibatnya penarikan kesimpulan yang keliru pun boleh saja terjadi. Bunyi
kesimpulan itu bisa ditulis: hak-hak diplomatik itu ternyata hanya untuk
berjualan heroin.

Kasus itu juga mengingatkan kita tentang betapa luar negeri tidak lagi selalu
identik dengan mutu, tapi juga bisa soal sekadar konsumsi, soal gengsi biasa.
Artinya, menyekelohkan anak ke luar negeri tidak selalu untuk mengejar mutu,
tapi sekadar untuk menyalurkan naluri konsumtif semata. Karena aku punya
duit, apalagi duit ini kuperoleh dengan gampang, apalagi kalau cuma dengan
korupsi, maka aku merasa gampang pula memboros-boroskan.

Begini caraku mencari, begini pula caraku menghabiskan. Meski pun aku
nebeng dengan berbagai atribut yang tampaknya mulia seperti menyekolahkan
anak, membangun tempat ibadah, menyantuni anak yatim, tapi pada dasarnya
kegiatan itu tetap tak lebih dari tindakan penghambur-hamburkan uang
semata.

Mutu seseorang, ternyata tidak terletak pada lokasi tempat ia berada, tapi
terletak pada tingkat kejujuran proses hidupnya. Karena ada yang bersekolah
ke luar negeri bukan menjadi tambah baik tapi malah menjadi tambah rusak.
Karena ada yang tidak pernah ke luar negeri tapi mutunnya baik-baik saja.
Proses hidup yang salah, akan membuat niat hidup juga salah.

Niat yang salah juga kan memunculkan akibat yang salah. Dan niat ini
ternyata tak bisa ditipu. Maka di manapun berada, orang salah niat ini juga
akan terus dikuntit hasil-hasil yang yang salah. Malah makin jauh ia pergi,
kesalahan itu bisa makin menjadi-jadi. Derajatnya malah bisa mempermalukan
bangsa dan negara.

Orang-orang yang terlihat lebih bermutu sepulang dari luar negeri itu, bukan
karena mereka dimutukan oleh luar negeri, tapi karena pada dasarnya mereka
adalah orang-orang bermutu. Luar negeri hanya pelengkap, penyempurna
mutu mereka. Tapi bahwa mereka adalah orang baik, jujur dan
berkepribadian, sudah teruji bahkan di tingkat kampungnya sendiri.

Orang-orang yang mengalami kerusakan di luar negeri itu juga bukan karena
luar negeri yang merusak mereka, tapi karena mereka sendirlah yang
membawa kerusakan itu ke manapun mereka pergi. Jadi luar negeri hanya
melapangkan jalan, mematangkan dan menyempurnakan kerusakannya. Jadi
jangan biarkan lokasi menipu kita. (03)

(PrieGS/)

Technorati Tags: karena aku kebal


Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post

Labels: lawas, masyarakat

Inul Pulang Kampung


Inul pulang kampung. Ia akan kembali pentas dari pangung ke panggung
sambil introspeksi, sambil meminta maaf karena sekarang ini ia telah dianggap
berdosa membenamkan musik dangdut yang telah naik derajatnya itu kembali
ke comberan.

Maka sekarang jelas sudah: peta musik dangdut ternyata terbagi dua bagian:
yang satu adalah pedangdut aliran putih, dan sisanya aliran hitam.
Sebagaimana pendekar dalam cerita silat, tugas pendekar aliran putih ini
adalah menumpas kezaliman dan menegakkan kebenaran.

Para pendekar yang telah begitu bersusah-payah membangun kemuliaan di


bumi ini masgul karena segenap usahanya itu luluh lantak secara tiba-tiba
akibat ulah golongan hitam. Maka para pedangdut sesat itu harus angkat
koper dari tempat-tempat yang mulia seperti televisi dan panggung-panggung
yang cuma cocok untuk trah kaum putih. Karena untuk sepanggung bersama
pun para pedangdut putih itu merasa sedang berhadapan dengan pasien lepra.

Selain ada golongan putih, dunia musik juga memiliki golongan bapak dan ibu
asuh. Dari rahim merekalah musik dangdut itu dilahirkan dengan mutu
seorang anak jadah. Hanya karena berkat kesabaran merekalah, berkat
kemuliaan dan mutu mereka sebagai orang tua asuh itulah, musik dangdut
naik jenjang, menjadi anak baik-baik dan luhur martabatnya.

Sebagaimana galibnya orang tua, golongan ini kemudian merasa berhak


menganggap anak sebagai hak milik. Sebagai hak milik, wajar jika orang tua
ini berhak mengatur-atur, mencegah jika anaknya bergaul dengan teman yang
berstatus rendah, marah jika si anak diajak ke arah yang salah. Dari awal,
anak bernama dangdut ini sudah dirawat begitu rupa, sudah hampir menjadi
anak yang menjunjung nama baik keluarga jika tidak tiba-tiba muncul para
pedangdut berandalan yang menghancurkan semuanya.

Padahal jasa para orang tua ini sudah hampir sempurna. Mereka bahkan sudah
layak dipatungkan dan dijadikan nama-nama jalan karena jasa-jasanya.
Menyebut dangdut tanpa menyebut mereka adalah sebuah kelancangan.
Membuat pembaruan tanpa restu mereka adalah langkah durhaka. Jangankan
bermimpi menggeser kedudukan mereka, bahkan para generasi berikutnya itu,
harus tahu diri. Jangan sukses tanpa menganggap mereka sebagai senior,
panutan, guru, dan minimal sesepuh.

Maka bahkan soal cara bergoyang pun harus dikonsultasikan. Jangan


bergoyang tanpa mendapat restu. Ingat, dangdut sudah menjadi hak milik
pribadi, dan jangan ada pihak lain mencoba bermain api. Jangan mengotori
goyang yang sudah ditetapkan karena moral dan keluhuran itu sudah pula
digariskan. Maka pihak di luar garis ini, jelas kedudukannya: perusak moral
bangsa, artis kampungan dan penyanyi tanpa kasta. Jadi memang ada bangsa
yang begitu rapuh moralnya hingga terhadap goyang pinggul saja langsung
porak-poranda.

Begitulah wajah musik dangdut di Indonesia. Musik yang semula dikira milik
kaum pinggiran, musik rakyat kampungan ini ternyata diam-diam telah
menjadi anak pingitan. Ia telah menjadi hak milik sebuah kekuasaan. Dan
seperti lazimnya kekuasan, ia langsung berkuasa menentukan baik-buruk,
boleh-tidak boleh, halal-haram, taat-sesat, tanpa berkonsultasi dengan rakyat
kebanyakan. Padahal sementara para penguasa itu demikian tegang, rakyat
kebanyakan ini biasa tenang-tenang saja.

Tapi sudahlah. Inul sudah terlanjur pulang kampung dan kita lupa
mengantarnya. Orang boleh tidak menyukai goyangannya, tapi siapa saja yang
sedang menjadi korban kekuasaan, berhak atas santunan, setidaknya teman
perjalanan.

(PrieGS/)
Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post

Saturday, February 16, 2008

Istriku Mengaku Kuper


Bisa jadi karena jenuh menjaga rumah, merawat anak dan mengurus suami,
istri saya terpaksa ngomel. ''Anak-anak dan bapaknya sama saja. Menjadi
tukang perintah. Saya adalah babu besar,'' katanya sambil bersungut-sungut.
Tapi itulah kehebatan istri, meskipun sambil ngedumel, tangannya terus
bekerja. Menyingkirkan gelas kotor, melap kaca, membereskan semua barang
yang berseliweran hasil kenakalan anak-anaknya.

Saya sebetulnya senang melihat istri ngomel seperti ini. Pekerjaannya pastilah
berat. Dan ngomel adalah obat yang sehat. Toh sambil marah-marah begitu,
pekerjaannya malah makin beres. Dengan ngedumel, tiga keuntungan
diperoleh sekaligus. Kemarahan batin disalurkan, fisik disehatkan, dan
pekerjaan dirampungkan. Tapi istri saya terlalu banyak diam. Ngomelpun
hanya kalau terpaksa. Ini menurut saya sebuah kerugian.

Padahal sudah sejak awal, saya adalah orang yang secara dini membayangkan
betapa berat pekerjaan seorang istri, khususnya lagi istri saya. Karena sebagai
lelaki, saya telah kepalang menganggap, bahwa dunia paling cocok bagi istri
adalah rumah dan seisinya. Artinya, itulah petisi yang harus ditandatangani
sebelum akad perkawinan tiba.

Sudah tentu anggapan ini bisa keliru dan malah bisa berbahaya bagi lain
keluarga. Maka anggapan ini cuma soal pilihan, tak ada kaitannya dengan
benar dan salah. Yang menjadi pokok persoalannya bagi kami ialah bagaimana
agar istri saya nanti kuat menahan beban berat ini. Karena bentuk pilihan lain,
misalnya dengan mengizinkan istri bekerja, sudah tidak saya punya.

Dan kecurigaan yang saya bayangkan itu datang juga. Istri mulai merasa
cuma objek yang dikurungi, dianiaya dan diisolasi dari dunia luar. Malah,
pernah sekali ia mengancam akan benar-benar menjadi istri kuper, menjadi
istri yang kurang gaul. ''Biar engkau malu. Karena hanya dengan cara begini,
aku bisa membalas dendamku kepadamu,'' katanya masih dengan muka
ditekuk. Omelan kali ini ia sampaikan sambil memijitku.

Sekali lagi, omelan ini menyenangkan saya. Karena itu sehat untuk istri,
menggembirakan untuk saya. Gembira dalam arti, betapa senang melihat istri
bersungut-sungut, betapa saya menikmati kesalahpahamannya. Salah paham
dalam arti: ia menyangka bahwa menjadi kuper itu musibah. Padahal bagi
saya, ada jenis kuper yang asyik. Karena faktanya, ada manusia menjadi rusak
karena pergaulannya, dan ada yang selamat karena kekuperannya. Menjadi
modern dan menjadi kampungan, ternyata tak ada hubungannya dengan mutu
kelakuan manusia.

Istri saya juga menyangka, betapa akan semakin kuat keadaan ekonomi
keluarga jika ia boleh membantu saya bekerja. Sungguh ini jelas sebuah
kesalahpahaman yang lain lagi. Kenapa ia meminta izin kerja padahal ia sudah
sangat bekerja? Dibanding gaji kantor yang rata-rata rendah untuk pegawai
pemula, bayaran istri sungguh sudah sangat tinggi. Bayaran itu berupa anak-
anak yang selalu bisa berdekatan dengan ibunya, selalu mendapat guyuran
perhatian kapan saja yang dia minta. Bisa rewel dan bermanja-manja kapan
saja. Ayo, tanyakan kepada anak-anak yang kesepian, yang bapak-ibunya
sibuk bekerja, yang ketika sangat ingin bercerita, orang tunya tak ada.
Tanyakan, betapa berat derita mereka. Lalu, berapa gaji yang harus dipatok
pada seorang karyawan yang bisa menghasilkan kerja segemilang ini?

Lalu soal rezeki itu, wah dia salah paham lagi. Ia menyangka, bahwa hanya
karena saya yang bekerja di luaran, penghasilan itu semata-mata penghasilan
saya. Ini keliru. Karena sejak semula saya telah ragu, apakah jika saya
mendapatkan uang, uang ini bener-benar rezeki saya atau rezeki istri saya
yang dititipkan ke saya. Jangan-jangan bagian saya kecil saja dan bagian
dialah yang selama ini menopang kebutuhan keluarga. Jangan-jangan
sebetulnya saya ini cuma kuli dan dia juragannya. Maka melihat seorang
juragan sedang mengomeli kulinya ini, sambil membayangkan keadaan yang
sebaliknya, sungguh membuat saya suka tertawa dalam hati.

(PrieGS/)
Posted by Prie GS at Saturday, February 16, 2008 0 comments Links to this
post
Labels: istri, keluarga, lawas

Hidup Enak, Mati Enak


TAK semua orang yang hidup enak bisa mati dengan enak. Terbukti banyak
''orang enak'' yang bisa mati secara tidak enak. Tapi Umar Kayam, adalah
sedikit dari manusia yang saya duga sanggup memperoleh dua keenakan itu
sekaligus.

Menatap kehidupan Umar Kayam, adalah menatap kehidupan seorang


''priyagung'', priyayi agung. Priyayi adalah gambaran sebuah kemewahan dan
agung adalah gambaran kemewahan lain lagi. Umar Kayam seperti sanggup
mengenyam dua kemewahan itu sekaligus.

Tapi jangan salah, ia memperoleh kemewahan itu justru ketika ia menganggap


yang priyayi dan yang agung itu sekadar dunia main-main dan tak lebih dari
humor belaka. Kata agung itu bagi Kayam cuma setara dengan sebutan Ageng
untuk nama tokoh dalam kolomnya, yang akhirnya menjadi stereotip dirinya
sendiri. Cuma setara dengan sebutan Garuda Yeksa, yakni panggilan untuk
Jeep tua yang menjadi kendaraan pribadinya.

Artinya, yang priyayi, yang agung dan ageng itu bagi Kayam hanya sebuah
dunia main-main, dunia klangenan dalam meledek diri sendiri. Tapi apa boleh
buat, akhirnya Kayam malah membesar dengan dunia klangenan-nya itu.
Kekuatan kolomnya juga terletak pada gaya yang disebut Sapardi Joko
Damono sebagai glenyengen itu, selengekan, tidak sok profesor dan sok guru
besar itu.

Dengan kepribadiannya itu, akhirnya Kayam malah mencatat keagungannya


sendiri. Agung dalam pengertian yang nyaris sebenarnya. Karena jika Kayam
ingin menulis novel, ia langsung diungsikan oleh sponsor nyepi ke luar negeri.
Jika Kayam berkata ''tidak'' kepada universitas yang hendak mengangkat
doktor honoris causa, batal pula rencana ini. Jika Kayam hendak nonton
pertunjukkan kesenian, ada panitia yang menyediakan kursi ''kebesaran''.
Ketika Kayam pamit pensiun, ia disambut pesta. Ketika ia sembuh dari sakit,
semua ikut bersyukur dan bergembira.

Fenomena Kayam sebagai budayawan, benar-benar pernah menggentarkan


kami, anak-anak muda yang memiliki interest ke arah ini. Secara prbadi,
sebagai wartawan pemula, saat itu saya malah sempat menyusun daftar idola
yang harus saya buru. Salah satunya adalah Umar Kayam ini. Sepanjang
perburuan itu, pengidolaan saya atas Kayam makin menjadi-jadi bukan karena
nama besarnya semata, tapi juga karena saya menyaksikan langsung, betapa
banyak pihak terhormat menaruh rasa hormat yang nyata pada orang ini.

Sambil menunggu diterima oleh Pak Ageng, si penunggang Garuda Yeksa itu
untuk giliran wawancara, saya juga melihat P, seorang intelektual, tokoh,
ilmuwan yang juga sedang menunggu Kayam dengan gaya anak tengah
menunggu bapak. Saya melihat S, tokoh sepuh, yang juga tengah mendatangi
Kayam dengan gaya bawahan yang hendak ''sowan''. Jalan pikiran saya
sederhana, jika begitu banyak orang terhormat menaruh hormat pada Kayam,
lalu kehormatan jenis apa yang dimiliki tokoh ini?

Terhadap Kayam, seorang budayawan beken lain bisa ngedumel dengan nada
kabur; antara kagum dan iri, antara takut dan segan: ''Alam begitu
memanjakan orang ini,'' katanya.

Tapi bagi sekadar fans Kayam seperti saya, tokoh ini mengisyaratkan satu hal
penting saja: betapa Kayam sanggup menjadi ''priyayi'' tanpa orang ribut
apakah ia benar-benar berdarah biru. Sanggup menjadi agung dan ageng
tanpa orang berdebat soal kriteria kualitatifnya. Sanggup bertahta di atas
singgasana yang singgasana itu cuma berupa cerpen, novel, kolom, humor dan
kepribadian dia seluruhnya. Kayam sanggup memiliki kerajaan cuma dengan
basis humor dan kepribadian, bukan basis duit atau kekuasaan. Ini sungguh-
sungguh sulit untuk tidak disebut mengesankan. (03)

(PrieGS/)
Posted by Prie GS at Saturday, February 16, 2008 0 comments Links to this
post
Older Posts

Sunday, December 30, 2007

Siapa Takut Jatuh Cinta


Siapa Takut Jatuh Cinta

Beruntung saya pernah mengambil diploma seni musik di IKIP Negeri


Semarang yang sekarang menjadi Universitas Negeri Semarang.
Keberuntungan pertama ialah karena topografi kampus saya di kawasan Jl
Kelud itu bagus sekali. Ia seperti kawasan puncak, naik turun, tinggi rendah,
jauh dekat. Ruang kampus itu seperti sebuah vila-vila saja layaknya.

Penuh rimbun pohon-pohon besar dengan rumput dan bunga-bunga yang rapi
terpelihara. Seperti berada di sebuah pegunungan dengan banyak vila….
sungguh sebuah suasana yang bagi usia saya saat itu, amat mudah memicu
untuk jatuh cinta.
Karenanya hampir setiap saat saya bisa jatuh cinta: ada yang pada tema
sekelas, ada yang beda kelas, ada yang beda jurusan dan ada pula yang beda
fakultas, karena saat itu, rasanya kawa-kawan kuliah yang cantik memang ada
di mana-mana. Dan syukyurlah, di antara semua teman yang saya taksir itu
tidak ada satupun yang menjadi pacar saya.

Macam-macam saja alasannya, tapi terbesar adalah karena saya sendiri


penyebabnya. Tegasnya, saya memang cuma asyik jatuh cinta tetapi tidak
terlalu bernafsu untuk pacaran karena pasti ditolaknya. Rasa percaya diri
ditolak inilah yang membuat saya malah merasa bebas. Bebas jatuh cinta
kepada siapa saja dan bebas putus kapan saja saya mau, tanpa perlu pihak
yang saya taksir itu membalas atau malah sekadar tahu.

Saya pernah naksir seorang teman yang begitu cantiknya sehingga kalau saya
maju terus pasti tidak kebagian. Dan benar, seluruh dari kami, mahiswa paling
top pun terpaksa harus gigit jari, karena kecantikan yang keterlaluan seperti
itu tidak cocok bagi kelas mahiswa yang payah modalnya. Seperti yang telah
saya duga, si cantik itu akhirnya kawin dengan pengusaha kaya. Dari awal
saya sudah mengerti kemungkinan ini, maka untuk apa berdarah-darah atas
sesuatu yang saya tahu ia bukan jatah saya. Tetapi untuk menjadi pacar bagi
imajinasi, saya bebas pacaran sesuka hati dengan teman ini.

Persis seperti Ebiet G Ade bercinta dengan Camellia. Itu sebuah percintaan
yang menurut saya dahsyat sekali. Dari pandangan pertama sampai Camellia
masuk liang lahat, ternyata belum sekalipun Ebiet pernah menjumpai. Apakah
Ebiet menjadi gila karenanya? Tidak. Ia sehat sekali, waras sekali dan malah
suskes sekali. Karena energi jatuh cinta itu, jika cerdik cara mengelolanya
memang luar biasa.

Di dalam perasana jatuh cinta itu, semuanya menjadi penuh sensasi. Melihat
mega-mega berarak, seperti melihat puisi. Melihat jemuran berkelebat seperti
melihat burung-burung blekok berterbangan di atas sawah kampung saya.
Melihat rinai hujan, seperti melihat air mata peri-peri cantik berjatuhan. Tak
ada yang tidak indah ketika saya jatuh cinta.

Sesumbang apapun suara ini, bawaannya melulu ingin beryanyi. Sepayah


apapun tampang saya, rasanya ingin selalu berkaca. Jadi jika begini besar efek
jatuh cinta dalam mendatangkan keindahan, kenapa saya tidak jatuh cinta
saben hari saja? Maka saat itu, saya merdeka untuk jatuh cinta setiap kali
tanpa takut patah hati.

Jatuh cinta semacam ini ternyata hemat sekali; tidak harus kehilangan ongkos
nonton bareng, makan bareng, dan tidak perlu repot-repot bertengkar segala.
Padahal ongkos pertengkaran itu, ongkos mental terutama, besar sekali!
Sekali waktu saya pernah pacaran beneran. Astaga… daftar pertengkaran saya
ternyata lebih panjang dari daftar kebahagiaan saya. Ini pasti melelahkan.

Padahal dalam keadaan jatuh cinta versi pertama itu, yang ada cuma
keinginan bernyanyi dan menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk
ditulisi. Bakat menulis saya pun rasanya terpupuk dengan hebat karena
seringnya saya jatuh cinta semacam ini. Menulis saat jatuh cinta itu luar biasa
menggelegak. Seluruh dunia jadi semuanya berwarna biru saking indahnya.
Kenapa kawasan Puncak itu diburu orang Jakarta? Karena warna biru itulah.
Biru, temaram, sendu, syahdu, kelu, rindu. Itulah suasana cinta.

Sementara merah, darah, gerah…itulah warna perang, warna derita, dan itulah
warna Jakarta. Maka bisa Anda bayangkan betapa menyenangkan jika jalan
menuju ke biru itu bisa saya askes setiap waktu, kapan saja saya mau. Betapa
hati akan melulu dipenuhi kegembiraan cinta. Dan hati yang penuh cinta akan
melihat apa saja, tiba-tiba dengan perasaan cinta. Berkarya apa saja jadi
penuh semangat cinta. Tetapi persoalannya, bagaimana kalau saya kemudian
sudah berkeluarga? Apakah cinta seperti ini masih aman untuk diperagakan?
Biarlah akan saya ceritakan pada kolom berikutnya!

(Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Sunday, December 30, 2007 1 comments Links to this
post
Labels: Siapa Takut Jatuh Cinta

Dari pintu ke pintu, dari hati ke hati


Inilah tantangan bagi aneka institusi agama yang ada, betapa mereka harus
membuat dakwah yang lebih indah dan menggugah, agar umat tidak lari ke
dalam keyakinan-keyakinan baru, yang cuma akan ditolak oleh masyarakat
dan negara. Penolakan itu bahkan ada kalanya, harus berujung kekerasan
pula. Jika kemunculan demi kemunculan aliran baru terus bermunculan, jika
penolakan demi penolakan terus dilakukan, berarti akan pula diikuti oleh risiko
kekerasan demi kekerasan. Jika cuma sekali waktu, hampir setiap negara,
mengalaminya. Tetapi jika ia bisa muncul setiap waktu, pasti ada kesakitan
sosial di negara itu.

Marilah kita kutip pendapat Dr Azumardi Azra, tentang kenapa aliran-aliran


baru ini selalu saja berhasil memikat hati pengikutnya. Jawabnya, menurut
Azumardi adalah karena cara dakwahnya. Mereka melakukannya dari pintu ke
pintu, dan lebih dari itu dari hati ke hati. Mengetuk langsung ke hati itulah
yang hendak ditekankan dalam persoalan ini. Dan begitulah memang watak
hati, jika ia tersentuh kelembutan, apa saja bisa dimasukkan, termasuk
kekeliruan.

Bahkan kekeliruan pun, jika disebarkan dengan cara yang menyentuh dan
indah, ia menghuni hati dengan kuat sekali. Itulah kenapa apapun dan
siapapun yang telah menghuni hati dengan cara yang indah, ia terpatri kuat
sekali. Jika penghuni hati itu bernama ketersetatan, hati itu akan tersesat
hingga jauh sekali. Jika penghuni itu bernama kebenaran, maka keteguhannya
tak akan terguncangkan. Mengingat watak itulah jutsru muncul persoalan ini:
tak semua kesalahan disampaikan dengan cara yang salah, tak semua
kebenaran disampaikan dnegan cara yang indah.
Adakah sekarang ini kebenaran tidak cuma disampaikan dengan cara yang
tidak indah tapi juga dengan cara yang salah? Penting sekali mempertanyakan
soal ini, dan penting sekali institusi agama menyadari persoalan artistik ini.
Jiak para agamawan awam dalam persoalan artistic dalam berbagai segi, maka
artistik itu bisa jatuh ke tangan yang keliru. Maka kekeliruan pun akan menjadi
tampak aryistik, indah, dan mengguggah. Kekeliruan yang indah itu lalu akan
menjadi seolah-olah lebih benar dari kebenaran, lebih indah dari keindahan itu
sendiri.

Di Indonesia, sungguh tak terkira jumlah hati yang sedang dahaga, yang
butuh disantuni oleh kelembutan, oleh keindahan. Tapi yang lembut dan indah
itu, harus pula adalah sekaligus si benar. Karena jika kelembutan dan
keindahan dipinjam oleh si keliru, ia akan menjadi berbahaya sekali฀ Kita
semua akan merasa indah tanpa tahu bahwa sedang tertipu!

(PrieGS)
Posted by Prie GS at Sunday, December 30, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: dari hati ke hati, Dari pintu ke pintu

Ada Langit Di Rumahku


Karena rumahku kecil maka hanya ada satu cara jika harus menambah ruang:
meninggikannya. Tetapi karena meninggikan rumah tidak murah, maka ia bisa
terhenti ketika pembangunan baru jalan setengah. Setengah pembangunan
inilah yang akan aku ceritakan karena ia cuma meninggalkan hamparan lantai
beton tanpa bangunan. Maka jadilah beton sebagai salah satu atap rumahku.
Dan di atas beton ini adalah ruang terbuka dengan langit sendiri sebagai
atapnya.

Semula aku mengira rumahku adalah jenis rumah terbengkalai korban salah
perencanaan. Bukan... bukan salah rencana, melainkan rumah ini memang
adalah produk tanpa rencana. Semula ada juga bermacam-macam
kejengkelan, perasana marah dan menyesalan. Bukan datang dari diriku
sendiri, melainkan dari orang-orang yang datang. Mereka bisa saudara dekat,
bisa saudara jauh, bisa sekadar tetangga dan teman.

Tapi siapapun mereka, senada saja komentarnya. ‘'Lengkap sekali kekacauan


di rumahmu ini'' begitu biasa komentar yang saya dengar. Lumayan jika
komentar itu cuma berhenti hingga di sini. Aku sering tegang menunggu
komentar selanjutnya, karena makin panjang, cuma makin menyinggung
perasaan. Misalnya; ‘'Ini pasti karena engkau membangun rumah sekaligus
engkau tempati. Jadi ini arsitektur gerilya!'' kata pihak lain biasanya dengan
tawa mereka. Tak jarang mereka mengomentari sambil geli pada imajinasinya
sendiri. Semakin mereka gembira, semakin tersinggung hati saya.

Padahal komentar itu bisa diteruskan lagi; ‘'Tidak apa-apa sebetulnya


membangun rumah sambil tetap dinempati. Asal... tetap terencana. Tetapi ini
pasti rumah hasil rencana pembangunan lima tahunan alias repelita, yang
tidak nyambung. Setiap lima tahun berubah rencana tergantung duit yang
ada.'' Kata yang lain lagi. Kata-kata iu semakin menyakitkan karena semakin
cocok dengan kenyataan. Tegasnya, rumah ini menjadi kacau begini, pasti
karena kemiskinanku. Karena cuma bisa jengkel tapi tak berdaya, maka
semua akhirnya aku iyakan saja.

Malah kejengkelan kuteruskan saja, seluruh rumahku, akhirnya kunikmati apa


adanya lengkap dengan semua kekacauannya, termasuk lantai beton yang
beratap angkasa raya itu. Malah kini aku sedang bertaruh dengan diriku
senidri, kalaupun uang sudah ada, akankah aku dirikan bangunan di atas lantai
beton ini, seperti yang aku bayangkan semula. Rasanya tidak! Aku mencintai
hasil pembangunan setengah jalan ini karena sebuah sensasi yang tak
terduga.

Pertama setelah kuteliti, di seantero kampung, rasanya cuma rumahku yang


memiliki atap langit seperti itu. Selebihnya adalah ruang-ruang yang
seluruhnya tertutup. Kalaupun ada rumah yang meninggi, mereka langsung
mengatapinya. Sudah berumah kecil, tertutup pula, jadi betapa sumpeknya.
Mak setiap kali aku sumpek, aku cukup menuju ke lantai beton beratap langit
ini. Hasilnya luar biasa. Dari sebuah kamar yang sumpek, aku langsung
ketemu langit yang terhampar begitu luasnya!

Aku segera melihat kaki langit, horison-horison yang jauh serta beberapa
gunung yang ada di tanah Jawa di pagi dan sore hari. Jika malam hari, dan
aku berebahan di lantai beton itu, bintang-bintang segera berserak di atasku.
Indah sekali. Dan kepada bintang-gemintang, aku selalu mencari komposisi
yang diajarkan oleh ibuku dulu ketika malam-malam kami bersantai di
halaman.

Sebuah bintang yang letaknya sedemikan rupa, sehingga bentuknya


menyerupai bajak petani. ‘'Jika ia telah condong ke barat, pertanda malam
sedang bersiap pagi,'' begitu kata ibu. Jika bulan puasa tiba, dan kami belum
punya weker sebagai penanda, kami cukup keluar rumah, untuk melihat
kedudukan bintang ini. Jika letaknya sudah bergeser ke ufuk barat, pertanda
jadwal makan sahur sudah tiba. Bintang ‘'bajak petani''itu hingga sekarang
masih menjadi bintang idolaku.

Jika aku sedang kesal dengan istriku, dengan kenakalan anak-anak, atau
penat dengan pekerjaan, lantai beton itu menjadi obatku. Aku cukup berdiri di
atasnya, menatap ruang terbuka, melihat bukit-bukit yang jauh di siang hari,
dan melihat bintang-gemintang di malam hari, maka luruhlah kekesalan
hatiku. Karena setelahnya, baru aku merasa bahwa kejengkelan pada istriku
itu, ternyata adalah kejengkelan pada diriku sendiri, bahwa kemarahan pada
anak-anakku tak lebih dari kemarahan pada diriku sendiri. Selanjutnya, anak-
anak dan istri, kembali menjadi orang-orang menyenangkan di mataku.

Jadi rumahku dengan lantai beton beratap langit itu adalah harta karun yang
tak ternilai harganya฀ Di atasnya memuat banyak keindahan, efek terapi dan
akses tak terbatas menuju langi luas. Rumahku yang sempit menjadi luas
karena bangunan salah rencana ini. Di rumahku ada langit, aset yang aku sulit
menaksir nilainya!

(PrieGS)
Posted by Prie GS at Sunday, December 30, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: Ada Langit Di Rumahku

Monday, December 03, 2007

Bunga-bunga di Rumahku
MAU tapi tak mampu, itulah keadaanku atas bunga-bunga di rumahku.
Kusangka, jika sudah kusiram, setiap tanaman akan tumbuh sempurna dengan
sendirinya. Dugaanku ternyata keliru. Ada jenis tanaman yang sampai lelah
aku menyirami, bentuknya senantiasa seperti pihak yang merana. Karena
jengkel, aku mendatangi pakar bunga di kampungku. Hasilnya, ia tergelak
melihat kebodohanku. Begitu banyak bunga salah letak menurutnya. Ada jenis
bunga yang rakus panas, tetapi letaknya di keteduhan. Ada jenis yang suka
teduh, tetapi malah selalu kepanasan. Olala, sama-sama hijau daunnya tetapi
kenapa berbeda wataknya.

Dari sini saja pikiranku segera menerawang ke mana-mana. Ooo bunga-bunga


ini ternyata mirip partai-partai di negaraku. Sama warnanya bisa pecah
menjadi dua, tiga dan seterusnya. Sama niat baiknya, tetapi macam-macam
cara mewujudkannya. Lumayan jika cuma beda cara. Tetapi ada niat baik yang
begitu banyaknya sementara kebaikannya sendiri tidak muncul-muncul juga.
Bunga-bunga di rumahku itu sungguh mengisyaratkan tentang bermacam-
macam keadaan yang ada di sekitarku.

Maka atas saran sang teman yang ahli itu aku memindahkan bunga-bunga ini
sesuai kebutuhannya. Yang suka panas ketemu panas, yang suka teduh
ketemu teduh. Aku menyangka perubahan akan terjadi segera. Bunga-bunga
yang merana itu kusangka akan menyubur seketika. Tapi lagi-lagi aku salah
sangka. Rasanya mereka tetap saja seperti sedia kala. Hampir saja aku
menyangka yang salah adalah bunga-bunga itu sendiri karena terlalu keras
kepala. Seluruhnya sudah kuberikan, tetapi mereka sendirilah yang enggan
pada pertumbuhan.

Setiap kali, batangan tonggak yang nyaris mati itu rasanya tetap merana
belaka meskipun panas matahari sudah leluasa mengguyurnya. Setiap saat,
daun-daun yang kurang gizi itu kuning saja warnanya. Ia tak segera
menghijau segar seperti yang aku duga. Hampir saja aku patah hati dan pohon
yang kusangka mati itu kukorek-korek saja sesuka hati. Astaga, ketika
kulitnya mengelupas baru aku kaget dibuatnya. Pokok bunga itu ternyata
terlihat hijau sekali. Ini pasti pohon sehat cuma belum bersemi. Melihat
perubahan ini aku girang sekali. Setiap pagi, aku semakin bergairah
menyambangi bunga-bunga yang nyaris sekarat ini dan tegang menunggu
perubahan apalagi yang akan terjadi.
Oo semuanya ternyata sedang berubah cuma aku saja yang kurang teliti.
Dahan-dahan yang meranggas itu diam-diam menghijau dengan pasti. Daun-
daun yang menguning itu diam-diam menyergarkan diri. Makin hari perubahan
itu kian nyata cuma memang tidak dengan segera. Ternyata tidak ada
perubahan yang seketika. Ketidaksabaran terhadap perubahan inilah watak
dasar manusia yang sering melahirkan bermacam-macam perkara. Di dalam
dunia politik ia bisa melahirkan revolusi yang mahal biaya, di dalam birokrasi
ia bisa menggoda untuk korupsi yang bisa membangkrutkan negara, di dalam
urusan mencari kekayaan ia bisa membuat orang tidak sabar bekerja dalam
kewajaran. Ada yang begitu nekatnya sehingga masa tuanya malah berakhir di
penjara. Ada perubahan yang jika ukurannya adalah ketidaksabaran terasa
amat lambat.

Tetapi anehnya, ketika bonggol meranggas itu mulai bersemi, rasanya daun-
daun berikutnya menyusul cepat sekali. Ketika tulisan ini dibuat, si bonggol itu
malah telah memunculkan putik bunga, sebuah percepatan yang sama sekali
tak terbayangkan. Perubahan rasanya juga seperti perbuatan; kesulitannya
ada di langkah pergtama. Ketika yang pertama telah dijatuhkan, kedua dan
ketiga akan mengikuti dengan sendirinya. Prajurit Keraton Yogyakarta dalam
berbaris misalnya, memakai aba-aba yang artinya kaki kiri maju, kaki kanan
mengikuti. Jadi yang penting adalah kaki kiri maju lebih dulu agar kaki kanan
bisa mengikuti. Tanpa si kiri maju tak ada kanan yang akan mengikuti.

Terakhir dan ini terpenting bagiku, bunga-bunga ini mengajariku meyakini satu
hal: jika segala sesuatu diletakkan sesuai tempatnya, tak peduli betatapun
lambat, ia akan berubah juga!

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Monday, December 03, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: bunga

Monday, November 26, 2007

Pelajaran yang Tak Pernah Aku Tamatkan


ADA jenis pelajaran yang aku selalu gagal lulus dari ujiannya. Pelajaran itu
bernama buruk sangka. Di usia kanak-kanakku dulu, aku pernah amat terhina
ketika disapa dengan cara yang menurutku tidak semestinya. Aku punya
panggilan kesayangan yang membuat aku ketagihan. Penyebutan di luar
sebutan itu, apalagi langsung main sebut nama asliku, akan terasa asing dan
tidak ramah di hatiku. Aku akan menafsirkan pemanggil itu sebagai orang
yang tidak sayang kepadaku. Dan aku bisa menjadi pemberontak di
hadapannya.

Begitu juga dengan orang tua satu ini. Ia saudara jauhku, pertama kali
bertemu dan kasar memaggilku. Aku marah sekali dan kujawab ia dengan tak
kalah kasarnya sebagai bukti perlawananku. Orang tua itu terpana. Ia kaget
sekali atas reaksiku. Bertahun kemudian baru kusadari betapa reaksiku itu
cuma bikin malu. Ia adalah saudara yang amat baik kepadaku. Ia tidak kasar,
cuma serba menggelagar. Hingga saat ini, sikap itu adalah jenis kebodohan
yang amat aku sesali.

Ketika masuk umur remaja, aku mulai jatuh cinta. Jatuh cinta kepada
seseorang yang menurutku jelek sekali. Ya wajahnya, ya kelakuannya. Jika di
sekolah kami ketemu, dengan suka cita aku menyingkirinya. Jika kebetulan
aku melihat dia sedang bercanda, kuanggap hanya teknik menarik perhatianku
saja. Bertambah tambah belaka kejengkelanku padanya.

Lama aku membenci gadis ini sampai kemudian aku mengerti reputasinya.
Ternyata ia selalu ranking satu, tulisannya rapi, bintang organisasi dan yang
naksir banyak sekali. Melihat bahwa ia bukan sembarang perempuan, tiba-tiba
semuanya berubah. Tertawanya berubah menjadi merdu, senyumnya
mengharu-biru dan wajahnya jadi cantik sekali. Pelan tapi pasti, aku jatuh
cinta kepadanya. Dan ketika cintaku sudah sedemikian rupa, ia ganti
menolakku! Eh, tepatnya bukan menolak, karena bahkan ia tak pernah
menggubrisku!

Ketika aku sudah mulai bekerja, aku merasa jagoan dalam profesiku. Maka
ketika ada orang yang menurutku bodoh tapi sok tahu, seluruh kebencianku
tertumpah kepadanya. Aku masuk dalam geng gosip yang menggunjingnya
dan menyebut-nyebut bentuk kepalanya sebagai kepala duren! Ya buah durian
itulah yang kami sebut mirip kepalanya, bukan benar-benar karena bentuknya,
melainkan pasti karena kebencian kami saja.

Tetapi astaga, orang yang aku benci inilah orang yang kemudian menolong
kami ketika sedang dalam kesulitan masuk gedung pertunjukkan. Ia adalah
orang yang dengan jelas menunjukkan kualitas budinya, ketika kami sedang
dalam kesusahan. Kini aku selalu mengingat orang ini dengan rasa hormat
yang mendalam. Bertahun-tahun aku meratapi kesalahan ini dan berjanji tak
akan memandang rendah orang lagi.

Tapi janji memang cuma janji. Bayangkan, jika aktor sekelas Roy Marten saja
bisa kejebak kesalahan dua kali, apalagi diriku yang pasti bukan Roy. Maka
kesalahan yang sama pun terulang lagi. Kali ini menyangkut orang tua yang
mengetuk-ketuk pintu rumah dengan kerasnya. Ia orang asing dengan
dandanan sederhana dan tak kukenal pula. Maka satu saja tafsirku: ini pasti
pencari sumbangan yang memang gemar lalu-lalang di kampungku. Gayanya
khas, keramahannya palsu, terbukti jika ditolak ia berlalu sambil menggerutu.
Ia juga bisa main gebrak pintu tanpa kenal waktu. Maka melihat orang tua ini
yang terus mengetuk-ngetuk pintu itu sudah cukup membuat kesal hatiku.
Kutemui dia cuma untuk segera menghardiknya. Tapi alamak, ia ternyata
adalah pemilik urusan yang telah lama aku rindu. Ada sebuah urusan yang jika
orang ini tak ada, akan menjadi gelap akhirnya. Aku sudah pusing mencari
siapa orang ini dan di mana alamatnya, tahu-tahu malah nongol sendiri di
rumahku.
Tetapi sungguh, aku lupa bergembira karena telah sibuk didera rasa malu.
Ketika ia pamit, aku menatap orang tua itu dengan perasaan remuk redam dan
rasa bersalah yang gagal aku ungkapkan. Aku khawatir, buruk sangka adalah
jenis ujian yang aku tak kunjung sanggup menamatkan.

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Monday, November 26, 2007 0 comments Links to this
post

Sandal Buruk Rupa (2)


Tukang sandal ini selalu berhenti di depan rumahku, sehingga terpaksa lahirlah
episode Sandal Buruk Rupa bagian yang kedua. Bagian pertama telah terjadi
hampir dua tahun lalu, dan tukang sandal itu, hingga dua tahun kemudian
berhenti lagi di depan rumahku.

Pada mulanya, setiap orang ini lewat dengan sepeda bututnya, dengan kotak
kayu di goncengannya dan ia berdiri termangu, aku ganti ikut termangu. Jika
tukang sandal dan sol sepatu itu menerawangkan sepinya pekerjaan, aku ganti
menerawang betapa ironi masih amat penuh di negaraku. Sementara hanya
dengan menulis novel saja JK Rowling memilki kekayaan yang konon melebih
kekayaan ratunya sendiri, Elizabeth, sementara dua anak muda Larry Page
dan Sergey Brin, dengan ketawa-ketiwi bisa melahirkan Google dan menjadi
milyader dunia, di depan rumahku masih ada tukang jahit sandal dan sol
sepatu.

Melihat profesi penjahit sandal ini aku serasa melihat dinosaurus hidup
kembali. Negaraku seperti museum besar, tempat bermacam-macam
kehidupan yang cuma layak ada di masa lalu masih hidup hingga kini. Setiap
tukang sandal itu termangu, aku juga ikut termangu, itulah kenapa kami
merasa harus bertemu. Aku merasa harus beremphati pada orang ini, syukur-
syukur berbagi rezeki. Maka meskipun tak butuh jasanya, aku cari-cari juga
sandal yang bisa ia reparasi. Sekadar untuk berbagi kegembiraan.

Telah kuceritakan sekitar dua tahun lalu itu, tentang sandalku yang bagus
rupanya tapi lemah jahitannya, yang kemudian aku bengkelkan ke tukang ini.
Hasilnya malah membuatku murka. Sandal itu menjadi kuat sekali, tetapi
kemudian menjadi buruk sekali. Tukang sandal ini aku marahi habi-habisan.
Sandal itu, begitu habis diperbaiki, malah langsung tidak berguna sama sekali.
Tukang ini lalu kuberi bermacam-macam kotbah, mulai dari kotbah
manajemen sampai kotbah spriritual. Bagaimana ia harus berkomunikasi
sampai bagaimana harus mengambil hati pelanggan jika tidak ingin bisnisnya
mati. Kemarahanku yang menggila itu cuma menandakan, bahwa
sesungguhnya, niatku saat itu memang tidak benar-benar ingin menolongnya,
tetapi sekadar mengagumi kedermawananku sendiri. Maka kekecewaanku
ganda waktu itu, kecewa pada diriku sendiri, kemudian kecewa pada tukang
sandal ini.

Tetapi dua tahun kemudian, tukang itu masih juga berhenti di rumahku
dengan ekspresi yang masih sama, masih termangu seperti dulu. Tampangnya
masih memelas saja. Aku pun tergoda kembali untuk jatuh iba dan sok ingin
berbuat mulia. Ee barangkali ia telah berubah. Telah belajar dari kesalahannya
kepadaku dulu. Inul Daratista dan Elvi Sukaesih yang dulu berseteru saja kini
sudah duet, kenapa aku dan tukang sandal ini tidak berdamai. Maka kembali
kucari-cari sandal yang bisa untuk memberi proyek padanya. Bukan besarnya
pekerjaan tetapi niat baik berbagi kegembiraan itulah yang kupikirkan. Di
mana ada niat, di situ ada alat. Sandal buruk rupa itu, masih ada juga di
rumahku. Maka lagi-lagi untuk yang kedua kali, aku bertransaksi pada tukang
ini. Aku sengaja membiarkan dia berbuat apa saja, tak perlu tanya soal harga,
toh pasti dia sudah berubah dan aku hendak berbuat baik pula. Ia pasti sudah
menjadi lebih baik dan mengerti kebaikan orang lain, apalagi di depan orang
yang pernah memarahinya dulu.

Tapi abrakadabra, setelah sandal itu rampung, ternyata tarifnya mahal sekali.
Lebih tinggi dari harga sandal ini ketika ia kubeli (karena memang sandal
murah). Mentang-mentang aku tak bertanya berapa, ia memukul harga
seenaknya. Orang ini benar-benar dengan sengaja memanfatakan keadaan.
Aku kecewa sekali. Tukang sandal ini ternyata belum berubah. Sakit sekali
hatiku ini karena merasa dizalimi. Tepai lebih besar lagi ternyata adalah
kekecewaan pada diriku sendiri. Aku ternyata juga belum berubah juga. Masih
sok dermawan tetapi sebelullnya hanya ingin mencari kepuasan atas pujian.

(/Prie GS)
Posted by Prie GS at Monday, November 26, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: sandal buruk rupa

Beyonce, Binal, Menggeletar


JUDUL tulisan ini saya pungut dari tulisan seorang wartawan atas konser
Beyonce di Jakarta, belum lama ini. Sebuah judul yang membuat minat saya
atas Beyonce berubah. Saya tak lagi tertarik membayangkan konsernya, tetapi
malah ganti tertarik membayangkan imajinasi wartawan ini yang bisa jadi
adalah seorang seperti saya: laki-laki.

Seorang lelaki yang sedang menonton sebuah konser yang disebutnya sebagai
binal dan menggeletar. Waa, ini menarik sekali. Mendengar nama Beyonce
disebut saja, saya tak perlu diajari lagi untuk berimajinasi, karena saya juga
lak-laki. Apalagi ketika ia disebut binal… menggeletar!

Apalagi wartawan ini juga memberitahukan kepada pembacanya tentang gaun


super mini, tentang sekujur tungkai, tentang kurva tubuh yang tegas, tentang
helai-helai rambut liar yang tersangkut di leher, tentang leher yang basah oleh
keringat, yang semuanya terlihat dalam layar besar karena pentas diterangi
cahaya 200 ribu watt, tentang bagian bawa gaun yang dilepas lalu dibuang,
tentang bagaimana Beyonce menggeletarkan paha, dada dan pantat (yang
dalam laporan itu disebut bokong) sambil membelakangi penonton, tentang
gaun atasnya yang terbuka lebar. ''Untuk ini tolong Anda bayangkan sendiri,''
tulis sang wartawan.

Tulisan ini dahsyat sekali. Saya terpaksa berhenti membacanya, karena


sebagai lelaki, saya tak kuat lagi. Alasannya jelas, Beyonce bukan istri saya.
Jika seluruh keindahan ragawinya disodor-sodorkan di depan mata saya,
sementara ia bukan milik saya, pasti cuma akan membuat saya tersiksa. Hidup
di Indonesia ini sudah penuh ujian, maka saya tak hendak menambah-nambah
ujian hidup ini dengan cara menginginkan sesuatu yang bukan milik saya, dan
mustahil pula saya dapatkan. Mustahil Beyonce naksir saya dan tiba-tiba
datang ke kampung saya di sudut kota Semarang sana untuk berkata: ''Tolong
Anda poligami, dan jadikan saya sebagai istri muda.'' Maka dengan berat hati,
saya akan menghapus imajinasi ini dengan segera karena ia akan membebani
hidup saya yang sudah berat ini.

Kedua, jika keindahan ragawi yang gegap gempita itu dibaca oleh lelaki yang
sedang tidak bahagia dengan istrinya, ia pasti akan menambah beban
deritanya. Istrinya, pasti akan makin terlihat reyot di matanya. Dan di depan
tongkrongan Beyonce yang muda, gagah dan sentosa itu tentu akan membuat
rumah tangganya terasa sepi, karena setekun apapun istrinya mendampingi,
meksipun seluruh kesetiaan telah dicurahkan, tapi tak akan mengobati dahaga
atas sebuah kebosanan. Dahaga, tapi tak berdaya, aduh alangkah beratnya.

Terus, jika keterpanaan atas fisik Beyonce itu disodorkan kepada para artis-
artis yang telah pensiun, tua dan sepi peran, dibaca oleh perempuan yang
sedang grogi dan bersedih karena sedang merasa tidak kebagian kecantikan,
pasti akan berisiko menimbulkan luka diam-diam. Karena di hari yang sama
saya, di media yang sama, saya juga membaca tentang seorang artis senior
yang setiap berkaca, selalu gatal untuk kembali mengencang-ngencangkan
kulitnya yang mulai kondor. Sementara di sini ada barisan lelaki yang lemah
seperti saya, ada perempuan yang sedang rendah diri dan cemburu, di
panggung sana, Beyonce yang kencang sempurna itu, disorongkan untuk
mencibir dengan bahagia!

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Monday, November 26, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: beyonce, binal

Haru Lebaran
Banyak soal membuat haru hatiku saat lebaran tiba. Misalnya penjaga masjid
di kampungku yang selalu menunda pulang mudiknya karena harus
menyelengarakan bermacam-macam kegiatan. Mulai dari memimpin anak-
anak takbir keliling kampung di malam hari sampai menyiapkan perlengkapan
shalat Idul Fitri di esok hari. Maka ketika kampung telah sepi, ia masih harus
mengepel lantai, menggulung karpet dan memunguti koran-koran bekas untuk
alas shalat. Wahai koran bekas itu betapa banyaknya. Padahal jika setiap
pembawa itu membawa kembali korannya, gunungan kotoran itu tak akan
ada.
Tapi beginilah tabiat kita ini, sambil beribadah pun bisa sekaligus berbuat
dosa. Jelas sekali, kenapa ada jenis peribadatan yang rendah saja
pengaruhnya bagi perbaikan kelakuan. Kita tetap di sini, seperti ini, tak ada
yang berubah juga. Kita adalah pribadi yang sama dengan yang kemarin, yang
berani menebar kekotoran tanpa berani membersihkan. Itulah kenapa WC
umum selalu buruk mutunya. Masih saja ada orang yang berani kencing tapi
tak berani mengguyur. Makanya di WC-WC umum itu, hingga di hari ini, masih
saja anjuran yang sebetulnya menghina martabat kita: habis kencing harap
diguyur!

Jelas anjuran itu pasti akibat dari banyaknya pengencing yang lupa mengguyur
bahkan kencingnya sendiri. Itulah kecurigaan saya kenapa Indonesia ini
lambat sekali menjadi negara yang sehat. Karena kesehatan itu cuma baru
bisa terjadi, jika setiap dari kita sudah sama-sama menjadi pembela
kepentingan bersama. Padahal sedang kita lihat, penghancuran kebersamaan
itu tengah berlangsung di mana-mana. Soal-soal yang menyangkut tentang
keadilan umum kesejahteraan umum, dan ketenteraman bersama sedang ada
di titik rendahnya. Sementara yang menyangkut tentang keadilan pribadi,
kesejahteraan pribadi dan keadilan pribadi sedang berada di titik tertinggi.

Padahal ini tidak mungkin. Karena jika orang membangun ketinggian sambil
merendahkan yang lain, ia sesungguhnya sedang berada dalam bahaya. Jika
seseorang membangun keluasan sambil menyempitkan pihak lain,
sesungguhnya ia tengah bersiap untuk celaka. Jika keseimbangan alam ini
terganggu, ia akan meminta keseimbangan itu kembali. Dan jika ini sudah
terjadi, tak akan ada kekuatan yang bisa menghalangi. Siapa saja, akan
dilumatnya.

Tetapi baiklah. Di tengah pameran ego-ego pribadi itu, marilah kita pungut
sisa-sisa yang masih ada, soal-soal yang mengharukan hati kita, setidaknya
hatiku ini. Biar ia menjadi sedikit penentram dan menerbitkan lagi kerindukan
kita atas pentingnya kebersamaan. Di antara sederet soal yang bikin haru itu
adalah HP tuaku. Ia tampak terengah-engah menerima berondongan SMS
yang terlalu deras untuk ukuran usianya. Sebentar-sebenatar HP ini sudah
berteriak bahwa ia tak kuat lagi.

Satu-satu ia saya buangi agar bisa menerima SMS lagi. Bukan pekerjaan yang
mudah, karena sambil membuang, aku sempatkan untuk membalasnya,
dengan sentuhan pribadi. Bukan SMS generik, yang sekali bikin bisa dikirim
untuk seluruh umat di jagat raya. Aku tahu pentingnya menyebut nama-nama,
menempatakn mereka sebagai pribadi istimewa di hatiku. Aku mengerti
hebohnya perasaan pihak yang dihargai.

Jika cuma berpikir tentang mode, tentang ketuaan dan tentang gaya, rasanya
HP ini sudah layak aku campakkan, karena bahkan anak saya pun enggan
menerimanya. ''Itu HP abad Flindstone,'' katanya. Tetapi setiap hendak benda
ini, entah kenapa saya selalu teringat logika poligami. Banyak orang menyakiti
istri pertama yang begitu besar jasanya cuma karena ia telah peot dan tua.
Maka selama ia masih bisa bersuara dan masih terlihat hurufnya, biarlah ia
menjadi teman hidup saya.

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Monday, November 26, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: haru, lebaran

Saturday, October 20, 2007

Anakku Kena Jotos


Dari sekian drama dalam ephos Mahabarata, bagian yang sangat saya suka
adalah hubungan antara tokoh Karna dan Arjuna, dua kesatria yang sama-
sama tampan, sakti, jagoan, mulia hati, tetapi harus bermusuhan hingga salah
seorang di antara mereka ada yang mati. Bukan kematian yang mudah kita
setujui, karena sesungguhnya keduanya adalah saudara, kakak beradik, satu
ibu, beda bapak. Dua saudara yang harus saling mematikan cuma karena
sebuah alasan.

Alasan itu di tangan seorang dalang maestro seperti Ki Narto Sabdo misalnya,
akan segara akan menjadi drama yang mencekam. Saya menyimpan kaset
dalang ini di dalam mobil sebagai kelengkapan. Ia saya jadikan teman setiap
kali melakukan perjalanan. Begitu sering saya menyetelnya, tetapi selalu
teraduk perasaan saya ketika bagian pertemuan antara Karna dan Arjuna itu
tiba.

Jika ada dua perbedaan di antara dua saudara ini ialah watak Karna yang lebih
pemberang. Ketika bertemu adiknya untuk pertama kali, ia cemburu setengah
mati karena reputasi Arjuna sebagai jagoan. Sang jagoan itu dilabraknya,
dihajarnya habis-habisan tanpa si adik itu mau membalas, karena ia malah
jatuh sayang pada musuh yang ternyata memang kakaknya sendiri itu. Dari
awal, hubungan kaka beradik ini memang sudah penuh dilema. Dan Ki Narto
Sabdo berhasil menghadirkan dilema itu seperti di depan mata. Sosok Arjuna,
yang meskipun sakti mandraguna, pada dasarnya adalah anak yang berfisik
kecil kurus, lembut hati dan selalu pilih mengalah. Membayangkan si kurus itu
dihajar habis-habisan tanpa melawan entah mengapa suka menerbitkan air
mata saya.

Saya tidak menyangka, jika bagian paling saya sukai itulah yang belum lama
ini terjadi pada anak lelaki saya. Ia masih kelas tiga SD, dan kebetulan kecil
dan kurus serta pendiam pembawaannya. Ia biasa menyelesaikan persoalan
cuma dengan kata, bukan dengan kekuatan fisiknya. Jika tak setuju, ia cukup
diam saja. Jika ia kecewa, tahu-tahu cuma matanya yang berkaca-kaca. Maka
setiap kali mengantarnya ke sekolah, saya melepas dengan rasa cemas
membayangkan betapa akan lemah ia di hadapan kenakalan teman-temannya.

Hingga suatu hari bayangan buruk itu malah terjadi. Anak saya dilaporkan
kena jotos. Saya langsung gemetaran dan segera menghentikan seluruh
pekerjaan saya. Apalagi saya tahu, di kelasnya memang ada anak yang selama
ini dikenal nakal, bongsor tubuhnya, dilatih bertinju pula oleh bapaknya.
Jotosan petinju itulah yang kabarnya singgah di tubuh anak saya. Waktu kabar
itu saya dengar, air mata saya meleleh tak terasa.

Bayangan wajah anak saya yang lemah dan kalah menghajar imajinasi saya.
Apa saja rasanya ingin saya lakukan agar bisa segera melindungi anak saya.
Ingin rasanya saya terbang secepat kilat menemuinya, untuk segera
melindunginya sekuat yang saya bisa. Padahal setelah ketemu saya kaget
dengan imajinasi saya sendiri karena ternyata ia jauh lebih dramatik
katimbang kenyataannya. Karena ketika saya sedang gemetaran sedemikian
rupa, anak itu sudah berlari dan tertawa-tawa seperti galibnya anak-anak.
Pemukulan itu tak lebih dari sebuah insiden khas anak-anak dan merupakan
bagian dunia permainan mereka belaka. Sementara saya bereringat dingin
oleh pikiran buruk, anak saya sudah kembali bergembira menatap dunia.

Hati-hati dengan imajinasi. Jika ia kelebihan porsi, dunia yang sesungguhnya


terang benderang ini bisa kita bayangkan sebagai sedang gelap gulita!

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Saturday, October 20, 2007 4 comments Links to this
post

Tuesday, September 25, 2007

Berkah Seorang Penipu


Bulan puasa memang bulan penuh berkah. Begitu penuhnya berkah itu
sehinga mengalir ke mana-mana termasuk kepada para penipu. Misalnya
tamuku ini, seorang yang seluruh tampilannya meyakinkan sehinga kepadanya
aku tidak menaruh kecurigaan. Inilah kesalahan pertamaku, terintimidasi oleh
penampilan. Kesalahan ini mestinya membuatku malu.

Kenapa malu? Karena terpedaya oleh penampilan ini, hanyalah pintu dari
sebuah mata rantai kekeliruan berikutnya. Jika tidak percaya, baiklah aku
ceritakan saja urut-urutan imajinasiku. Karena penampilan yang meyakinkan,
aku percaya orang ini menguntungkan. Jadi jelas sekal watakku ini, gembira
menemui tamu, cuma jika dia dianggap menguntungkan.

Padahal yang aku bayangkan sebagai keuntungan itupun datang dari jenisnya
yang mestinya aku malu mengaku karena agak tidak bermutu. Jangan-jangan
orang ini hendak menawarkan kerjasama untuk sebuah proyek raksasa,
misalnya. Atau minimal , ia adalah panitia seminar yang hendak
mengundangku bicara di sebuah tempat megah dengan honor raksasa.
Maklum, aku memang doyan bicara, sekaligus doyan duit pula. Saking
seringnya aku bicara dan dibayar dengan duit sebagai imbalannya, setiap
orang asing yang datang kepadaku, menggoda cuma kubayangkan hanya dari
satu jurusan; ia duit bagiku!
Maka dengan segenap gairah aku menemuinya. Basa-basi seperti biasa
dengan ending yang kubayangkan seperti lazimnya. Begitulah memang gaya
orang menemuiku. Maklum, sudah lama aku mengemas diriku ini sebagai
orang penting. Maka jika tidak sepadan dengan kepentinganku, jangan harap
menemuiku. Jadi hanya orang-orang penting yang datang membawa kabar
penting saja yang akhirnya datang kepadaku. Jika tidak, ia hanya akan
mendapat murkaku. Orang ini, siapapun dia, pasti sudah mengerti rumus ini.
Untuk itulah aku berkenan menemui.
Aku gembira dengan basa-basinya. Tertawa lepas bersama. Tak perlu saling
mengerti nama karena bahasa tubuh kami berdua, sudah menggambarkan
kesejajaran ini: kami sama-sama orang penting. Apalagi aku sudah terbiasa
dimanja. Orang lain telah jamak mengerti namaku lebih dulu. Merasa terkenal
itulah akibatnya watakku. Jadi aku sudah terbiasa bicara berlama-lama untuk
kemudian berpisah tanpa mengerti dia siapa. Aku malu sebetulnya mengakui
sifat ini. Tapi demi kejujuran, aku terbuka saja kepadamu. Ee siapa tahu ada
orang lain yang wataknya seperti aku.

Tapi astaga, makin lama aku melayaninya, basa-basi itu tak pernah jelas
ujungnya. Makin ia dilayani, makin panjang belaka kelakarnya. Padahal aku
sibuk sekali. Kesibukan ini bisa kuperlonggar asal hasilnya memadai. Cuma
dengan kalkulasi itulah aku sudi melayani berlama-lama orang ini. Maka ketika
sampai hitungan bermenit-menit belum menunjukkan keuntungan akan tiba,
jiwaku mulai gelisah. Sebagai orang yang sudah kepalang sok mulia, tak elok
rasanya aku mengipas-ipas perkara, memanciing-mancing agar rahasia ini
segera terbuka. Aku harus tetap terlihat sebagai pribadi yang anggun. Harus
jaim sempuran meskipun hatiku mulai meronta-ronta.

Maka ketika makin lama orang ini makin tidak jelas maksudnya, kemarahanku
mulai membara. Ia bukan cuma mengganggu waktuku tetapi juga menipuku.
Dosanya sungguh tak terampunkan jika sampai akhir pertemuan orang ini
ternyata memang tidak membawa keuntungan yang aku bayangkan. Tetapi
inilah deritaku, dengan cara apa kemarahan ini hendak kusalurkan ketika aku
sudah memulai dengan kesalahan. Sejak awal aku sudah kepalang ramah,
kepalang mulia, dan berlagak suka menerima tamu siapa saja. Maka untuk
tiba-tiba murka hanya karena tamu ini tidak membawa keuntungan apa-apa,
adalah soal yang aku tak mungkin melakukannya. Jalan satu-satunya adalah
mengakhiri pertemuan ini baik-baik dan melanjutkan pekerjaanku.

Naah baru di saat itulah terbuka seluruh rahasia. Orang ini diam-diam
mengambil sesuatu dari tasnya dan menyodorkan kalender sera jadwal puasa
untuk dibayar suka rela. ‘’Saya edarkan secara terbatas, hanya kepada orang-
orang yang baik hatinya,’’ katanya gembira. Saya bayar barang itu segera
dengan uap mengepul di kepala dan senyum ramah merana. Tapi selebihnya
adalah pertanyaan keras kepada diriku sendiri; orang ini seorang penipu, atau
aku sendiri yang mudah tertipu oleh harapan-harapanku

(Prie GS)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 25, 2007 2 comments Links to this
post
Dua Jam Sebelum Keberangkatan
Sebelum atlet berlaga, harus melakukan peregangan. Sebelum kendaraan
diberangkatkan, mesin harus dipanaskan. Sebelum menulis sajak, penyair
harus duduk dan terdiam. Maka sebelum berangkat kerja, manusia juga butuh
kesiapan. Pemanasan mutlak hukumnya bagi sebuah pergerakan. Tetapi saya
curiga, tidak semua kita yang hendak bekerja, berangkat dengan kesiapan.
Maka kerja yang tidak siap itulah sumber aneka persoalan.

Hanya karena soal sederhana, seorang pekerja yang tidak siap, akan mudah
terbakar kemarahan. Kalau ia seorang atasan: bawahan terlambat akan terasa
sebagai hinaan. Dering telepon akan serasa gelegar petir dan klakson di jalan
akan terasa seperti bentakan.

Jika ia seorang bawahan, maka ia akan tegang cuma deru mobil atasan. Ketika
atasan memanggil ke ruangan, ia seperti hendak masuk arena uji nyali. Ketika
atasan ia lihat untuk pertama kali, ia seperti melihat penampakan.

Cuma karena ketidaksiapan yang soal-soal sederhana menjadi begitu


beratnya. Maka jika ingin kuat, bersiaplah! Begitulah cara saya menasihati diri
sendiri. Nasihat ini butuh ditegaskan berulang-ulang, karena saya tahu benar
siapa diri saya ini. Saya pasti bukan orang pemberani. Maka untuk berani saya
pasti butuh kesiapan. Saya bukan orang yang selalu jujur. Maka untuk jujur,
saya butuh latihan. Saya bukan orang ramah, maka agar bisa ramah, saya
butuh kegembiraan. Berangkat setelah siap, itulah kata kuncinya. Kesiapan
akan membuat kegembiraan. Dan kegembiraan akan mengalirkan bermacam-
macam kekuatan. Kuat ramah, kuat jujur, kuat derma.

Sulit sekali untuk ramah jika hati kita tidak gembita. Sulit sekali berbuat jujur
kalau hidup ini penuh persoalan. Sulit sekali kita berderma kalau hari sedang
tidak rela meskipun sedang banyak uang di kantong kita. Kesiapan akan
mudah memantik kegembiraan, kegembiraan mudah melahirkan kekuatan.

Dan kesiapan itu, sepanjang pengalaman saya, cuma butuh cara-cara


sederhana, misalnya cukup dengan menyediakan waktu minimal dua jam
sebelum keberangkatan. Karena setelah bangun tidur, untuk tenang,
seseorang butuh terdiam, demi mengembalikan kesadaran, menata nafas dan
pikiran, baru mengerjakan lain-lain persoalan. Mandi dengan tenang, minum
kopi dengan tenang, dan maka pagi dengan tenang. Bahkan makan minum
yang kehilangan ketenangan, cuma setara dengan memasukkan barang ke
dalam keranjang.

Jika jarak antara tidur dan kerja itu cuma sekejap saja, saya tak bisa
membayangkan mutu keberangkatan seperti apa yang ia dapatkan. Itulah
kerja yang dibekali dengan mandi yang buru-buru, makan yang buru-buru, di
jalan yang buru-buru dan semua soal yang berwatak buru-buru. Sepanjang
yang saya tahu, tidak ada hasil bermutu dari sebuah proses yang buru-buru.
Bahkan di jalanan pun, jika kita buru-buru, tak ada yang nikmat dari sebuah
perjalanan kecuali siksaan.
Seluruh obyek di jalanan cuma seperti hambatan. Jika ada orang yang terlalu
pelan, ia tampak seperti menggoda. Jika ada orang menyalip sembarangan ia
seperti menantang. Dan siapapun yang sedang menghalangi jalan ia sah untuk
disingkirkan. Seluruh isi jagat raya ini sepertinya tengah keliru cuma karena
kita sedang buru-buru. Ada banyak mutu hidup yang kita pertaruhkan, cuma
karena sebuah ketidaksiapan. Dan membangun kesiapan itu ternyata
sederhana: cukup dimulai dengan kebiasaan bangun setidaknya dua jam
sebelum keberangkatan.

(Prie GS)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 25, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: keberangkatan

Ada Rossi di Televisi


DUA keharusan ini datang bersamaan. Yang satu adalah keharusan mengetik
karena tuntutan pekerjaan, dan satunya lagi adalah keharusan menonton
karena kesukaan. Dari dua keharusan ini siapakah yang harus didahulukan?
Mestinya, saya mendahulukan pekerjaan. Tetapi nyatanya tidak. Ternyata saya
lebih mendahulukan yang kurang penting katimbang yang penting untuk
kepentingan diri saya sendiri. Persoalannya ialah, kenapa ada soal penting
yang tiba-tiba menjadi kurang penting dan yang kurang penting tiba-tiba
menjadi penting. Jawabannya ialah karena ada Valentino Rossi sedang balapan
di televisi.

Siapakah Rossi ini sehingga kehadirannya sanggup mengganggu jadwal kerja


saya? Toh jika ia menang balapan, saya tak kebagian hadiahnya. Jika ia juara
saya juga tak ikut menjadi berprestasi karenanya. Dia bukan teman, tetangga
apalagi saudara. Apapun yang dia kerjakan mestinya tak saya pedulikan
karena bahkan mengenal saya pun dia tidak. Tapi kenapa orang yang sama
sekali asing ini sanggup menghentikan kegiatan mengetik saya.

Padahal kalau Rossi tahu, betapa penting pekerjaan saya ini. Karena
mengetiklah saya bekerja dan menghidupi anak istri saya. Jika mutu hidup
Rossi tergantung balapannya, mutu hidup saya pun tergantung dari ketikan
saya. Mestinya saya lebih berkonsentrasi pada prestasi saya sendiri katimbang
prestasi dia. Saya pikir, betapa banyak dari kita ini lebih suka berkonsentrasi
pada prestasi orang lain. Orang lain yang balapan kita yang teriak-teriak di
pinggir jalan. Orang lain yang lomba nyanyi, kita yang menghabiskan pulsa
untuk kirim SMS.

Sudah harus rugi waktu, rugi tenaga, rugi biaya pula. Sudah rugi demikian
rupa, jika orang lain itu kalah, kita masih harus ikut berduka. Jika dia menang,
kita ikut gembira seolah-olah ikut kebagian hadiahnya. Padahal tidak. Ia sama
sekali tidak mengerti kita, kenal pun tidak. Susah payah kita mendukungnya
hingga ke tampuk juara, sementara prestasi kita sendiri tetap seperti sedia
kala. Sementara orang lain menjadi juara, kita tetap di sini, cukup sebagai
pemandu sorak saja.
Maka mestinya, ketika Valentino Rossi itu sedang balapan, saya juga harus
terus ngebut dengan pekerjaan saya sendiri. Ini soal hidup dan mati. Tetapi
kenapa, selalu ada orang-orang yang kita biarkan mengganggu laju prestasi
kita seperti ini. Saya pun tak kuasa mengelak dari dorongan ini. Dorongan
untuk menghentikan seluruh kegiatan diri sendiri, betapapun pentingnya, demi
merayakan prestasi orang lain, tak peduli ia adalah orang yang asing dalam
hidup kita, bukan tetangga, bukan saudara. Tetapi jika orang itu seperti Rossi,
yang berani menikung dengan kecepatan tinggi, yang start di belakang tapi
finish di depan, yang sanggup menyalip di tikungan, yang kalah di depan tetap
selalu menang di belakang… tak peduli apapun tugas saya saat itu, saya rela
berhenti untuk menghormati kemampuan ini.

Saya dengan gembira menghentkan semua urusan demi melihat Muhamamd


Ali bertinju, Mariah Carey dan Celine Dion menyanyi. Muhamamd Ali itu rela
dipukuli si raksasa George Foreman sepanjang pertandingan dan membalas
cuma beberapa pukulan untuk membuat si raksasa itu tumbang. Ketika
Foreman bangun, bel pertandingan berdentang sebagai akhir pertandingan. Ia
kalah dan gelarnya melayang. ''Butuh waktu setahun untuk kembali tidur
nynyak,'' kata Foreman mengenang kekalahan yang menyakitkan itu.

Saya menonton berulang-ulang rekaman pertandingan ini hingga hari ini. Dan
Mariah Carey, dengan suara empat oktafnya, dengan tenggorokan tanpa cela,
jika ia sedang menyanyi, kupu-kupu terbang pun rela berhenti. Malah siapapun
engkau, jika memiliki prestasi semempesona ini, akan saya rayakan setiap
kali, dengan cara menghentikan sejenak kesibukan ini dengan senang hati.

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 25, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: rossi televisi

Tuesday, September 04, 2007

Sherina dan Indonesia


SEANDAINYA anak-anak Indonesia berkesempatan tumbuh seperti Sherina...,
begitu pikirku suatu kali. Sejak lama anak itu membuatku termangu. Sejak
usia SD kelas dua ia telah menggemparkan Indonesia dengan lagu anak-anak
yang tak biasa. Lagu yang bahkan orang tua pun berat menyanyikannya. Lagu
yang amat dewasa, amat berselera tetapi tanpa menganggu masa kanak-
kanaknya. Anak itu tetaplah anak-anak, tetapi dari jenisnya yang berbeda.
Keberanian meneguhkan perbedaan ini, sungguh menggugah rasa hormatku,
terutama pada keluarganya.

Di usai sedini itu, bahasa Inggrisnya telah baik sekali. Ia tampak mungil nyelip
di antara sosok-sosok Westlife yang raksasa ketika boysband itu datang ke
Indonesia. Tetapi anak ini berdialog dengan mereka seperti kepada teman
sepermainannya. Ini sebuah syiar yang menggugah kepada anak-anak di
negaraku yang terancam inferior oleh kekuatan asing. Lalu terbayanglah di
benakku tokoh Haji Agus Salim yang kecil dan kurus tetapi begitu sampai di
podium langsung berubah menjadi singa. Terbayang Sutan Syahrir dengan
fisik yang seadanya, tetapi dengan isi pikiran seluas Indonesia Raya.

Ketika Sherina main film, aku diseret putriku untuk ikut antre berdesakan
cuma untuk bisa menontonnya. Aku terharu melihat film ini. Bukan karena
terhasut pada ceritanya, melainkan karena terhasut imajinasiku sendiri.
Melihat akting Sherina yang alamiah dengan pipi segembul mangga muda, aku
menoleh untuk melihat putriku sendiri. Anak yang lahir dari kemampuan kami
yang sederhana. Kepadanya belum bisa kuberikan kursus balet, kursus
bahasa, kursus piano, kursus vokal, kursus wushu... seperti yang telah
diperkenalkan kepada Sherina sejak balita.

Kepada anakku, paling banter baru bisa aku ikutkan kursus menghitung cepat
yang pernah jadi wabah itu. Begitu cepatnya kemampuan menghitung itu
hingga kalkulator sendiri tak berdaya melawannya. Tetapi sebelum kecepatan
anakku dalam menghitung itu benar-benar menggila, aku telah
menghentikannya. Aku ketakutan jika kecepatan menghitung itu sudah dia
punya, tetapi yang dihitung ternyata tidak ada. Aku mungkin tidak sangup
memberikan seluruh kursus terbaik pada anakku. Tetapi setidaknya aku masih
bisa mengajarkannya untuk tidak mudah tertipu, sibuk mengajaknya
menghitung barang-barang yang bukan miliknya. Aku tidak ingin anakku
ngebut dan bergaya di jalan raya dengan sepeda motor yang tengah macet
angsuran kreditnya.

Kini Sherina telah dewasa, tetapi rasa cemburuku pada keluarganya malah
kian bertambah saja. Seandainya seluruh keluarga di Indonesia memiliki
kesempatan serupa, anak-anak di negeri ini, tentu lebih mudah bergembira,
lebih mudah menemukan dirinya. Di album terbarunya, album remajanya yang
pertama, kekuatannya sebagai anak muda itu hadir penuh. Ia menghapus
seluruh bayang-bayang masa kecilnya tanpa harus menjadi pemberontak yang
marah. Tidak seperti pejabat baru yang bahkan membenci hingga ke kursi
yang diduduki pejabat lama. Sebuah pemberontakan yang tenang, pasti dan
amat percaya diri yang cuma mungkin muncul dari pribadi lengkap lauk pauk
hidupnya. Inilah yang di dalam industri agro adalah hasil dari teknik sonic
bloom itu.

Bahkan tanaman pun jika kepadanya diasupkan nutrisi organik, didengarkan


bunyi-bunyian yang selaras dengan habitatnya akan segera merangsang
pertumbuhannya. Pasti tidak semua anak Indoneisa punya berkesempatan
tumbuh selengkap Sherina. Tetapi jika setidaknya mereka tumbuh dengan
cinta yang semestinya, anak-anak itu, pasti akan mudah menemukan
kehidupannya.

(/Prie GS)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 1 comments Links to this
post
Labels: sherina dan indonesia
Turangga Titihan Sekaring Bawana
Di alun-alun Kota Magelang terdapat patung Pangeran Diponegao sedang
berkuda. Saya sudah terkesima dengam patung ini bahkan ketika baru lancar
membaca. Apa hubungannya patung ini dengan bacaan? Karena sebuah
tulisan di bawahnya: turangga titihan sekaring bawana. Artinya: kuda
tunggangan kembang dunia! Saya terpana pada kalimat itu.

Di kali yang lain, di alun-alun ini saya pernah kehabisan uang dan kelaparan.
Patung itulah yang menggugah saya dengan semangatnya. Dalam pandangan
saya waktu itu, patung ini adalah karya seni yang sempurna. Kuda itu gagah
sekali. Jika kudanya saja gagah, apalagi penunggangnya.

Itulah Pangeran Diponegoro, tokoh yang namanya memaksa penyair seangkuh


Chairil Anwar harus menulis sajak untuknya. Tokoh yang makamnya amat jauh
dari kota kelahirannya. Saya pernah berziarah di makam itu, di Makasar sana
dan merenung: hidup dan mati memang sedekat urat leher. Tapi jarak antara
tempat kelahiran dan tempat kematian bisa seluas samudera.

Di patung itu, Pangeran tampak gagah di atas kuda, matanya tajam sambil
jarinya menunjuk ke kejauhan. Itulah jari yang barangkali sedang menuding
preman-preman pribumi yang mematoki tanah suadaranya sendiri atas
perintah Kumpeni. Dan meskipun Diponegoro menunjukkan kemarahnnya
sejak tahun 1825 atas premanisme, watak itu masih merajalela hingga kini.

Pemilik jari itulah yang di Magelang, mencium untuk pertama kali bahaya
pejajahan. Penciuman semacam itulah yang saya sebut sebagai visi. Tapi
meksipun indera penciuman atas pejajahan itu telah ia ajarkan sejak lama,
keterjajahan masih berlangsung hingga kini. Karena harga yang jatuh di pasar
bursa Amerika, rupiah pula yang ikut menangung derita. Kita yang memiliki
tambang, tetapi kepada kita cuma kebagian bagi hasilnya.

Kita kembali pada kalimat itu, turangga titihan sekaraning bawana, kuda
tungangan sang kembang jagat itu. Pada imajinasi saya watu itu, turangga
adalah pihak yang menjadi daya tarik pertama saya. Terlebih lagi kalimat ini
memang mendahulukan sang kuda katimbang penunggangnya. Ada apa
dengan kuda, pikir saya. Oo, bukan sembarang kdua, melainkan kuda
tunggangan seorang kesatria yang menggemparkan Indonesia.

Seorang yang lahir dari desa kecil tetapi harus membuat Belanda menguras
brankas untuk membiaya sebuah perang yang melelahkan. Diponegoro
memang kalah, tetapi tak surut kekaguman saya kepadanya karena selalu ada
kekalahan yang juara. Dan kepada para juara, ada kehormatan penuh yang
siaga senantiasa.

Dan sang Juara itu telah memilih kudanya. Ia seperti Michael Scumacher yang
telah memilih mobil Formulanya. Bahkan kursi kemudinya pun pasti layak
dikoleksi. Maka patung kuda itu bisa saya tetap berlama-lama. Karena tidak
sembarang mobil Scumacher sudi menaiki. Tak sembarang kuda Diponegoro
mau menunggangi. Ia pasti kuda yang dalam bahasa KiTimbul, dalang sepuh
Yoga, sebagai kuda yang sudah katara, katari dan katarimah, kuda yang sudah
terlihat, terseleksi dan akhirnya terterima.

Kuda yang baik, memang langsung katara, terlihat dari tongkrongannya,


begitu juga orang yang baik. Tetapi tongkrongan saja bisa menipu jika ia tidak
katari, jika tidak diteliti, ditawari, diseleksi, diuji, digosok, digesek, dan dipoles
sedemikan sampai akhinya lolos dan katarimah, diterima, disetujui dan
percayai.

Patung kuda itu memang memenjara saya dalam kekaguman karena bahkan ia
disebut pertama dan baru menyusul penunggangnya. Tapi ternyata selalu ada
pihak yang sengaja disebut pertama cuma untuk menegaskan kehormatan
pihak kedua. Jadi di manapun nomor urut Anda, tak penting benar sepanjang
Andalah pemilik kehormatan itu.

Ia akan mengalir ke mana-mana. Walau orang lain disebut pertama,


percayalah, ia cuma untuk mengingatkan Anda sebagai pusatnya. Jadi jika
engkau telah menjadi kembang jagat raya, apa yang ada di dekatmu, akan
menjadi terciprati harumnya tak peduli ia cuma seekor kuda.

(Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 1 comments Links to this
post
Labels: turangga titihan sekaring bawana

Tentang Tiga Perjalanan


Dua kali acara TV itu terlihat, dua kali saya mendapat nasihat. Ia tentang
seorang pesohor muda yang melengkapi rumahnya dengan fasilitas untuk
berkumpul banyak orang. Ketika tamu di rumahnya itu sebagian besar adalah
anak-anak inilah kurang-lebih pernyataannya: ''Perjalanan yang paling mulia
adalah perjalanan ke tempat ibadah. Perjalanan paling baik adalah perjalanan
ke tempat kerja. Dan perjalanan paling menentramkan adalah perjalanan
menuju rumah.''

Di hari yang lain, di acara dan televisi yang sama, yang juga terlihat secara tak
sengaja saya dengar pernyataannya. Saat itu, ia sedang kedatangan tamu-
tamu tuna netra; ''Kita semua memliki tiga mata. Mata beneran untuk melihat,
mata hati untuk merasa, dan mata kaki untuk melangkah menuju perbuatan.''
Saya mengagumi anak muda ini, tapi soal dia akan saya tulis lain kali. Kita
langsung menuju nasihatnya saja.

Kita mulai dari nasihat pertama, tentang tiga jenis perjalanan itu, perjalanan
termulia, yakni berjalan ke tempat ibadah. Jadi barang siapa rampung
beribadah tidak juga menjadi mulia, berarti yang mulia cuma perjalanannya.
Manusianya bisa tetap seperti sedia kala.

Perjalanan kedua adalah perjalan terbaik, yakni ketika seseorang berangkat


kerja. Jadi kerja adalah pusat kebaikan. Maka jika ada orang bekerja hasilnya
malah masuk penjara, ia pasti sedang mengingkari hakikat pekerjaannya. Jika
ada sopir bus masih tega mengencingi pintu busnya sendiri, dan jika ada
pegawai enggan merawat kendaran dinasnya, ia tak layak mendapat kebaikan
dari pekerjaannya.

Perjalanan ketiga, ini menurut saya perjalanan yang tidak cuma


menentramkan tetapi juga menyenangkan yakni berjalan menuju rumah,
pulang, kepada keluarga. Maka barang siapa punya rumah dan keluarga tetapi
tidak memiliki ketenteraman, sesungguhnya ia sedang tidak memiliki apa-apa.
Maka siapa saja yang bermain api dengan keluarganya, ia sedang berjudi
dengan hidup dan matinya.

Padahal sejauh pengamatan saya, untuk mengakses kebahagaian keluarga ini


cuma butuh tindakan-tindakan sederhana. Saya, misalnya, langsung
mendapatkan kebahagiaan yang nyaris penuh dari istri saya, ketika ia saya
biarkan mengerti seluruh duit yang saya peroleh dan kepadanya sering saya
perintahkan mengobrak-abrik dompet saya. Hasilnya luar biasa. Ia segera
mengggap saya sebagai lelaki setia dan terpercaya karena tak butuh ''uang
laki-laki''. Di masa lalu, uang laki-laki ini biasa ditaruh di lipatan kaos kaki, di
saku-saku rahasia dan di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Tujuannya
jelas, agar ia digunakan sesuka hati tanpa diketahui istri.

Dampak uang laki-laki ini ternyata dahsyat sekali, terutama jika ia dipergoki.
Istri bisa berimajinasi macam-macam dari imajinasi ringan, berat atau sedang.
Imajinasi ini sungguh biang bahaya karena sudah dibimbing oleh bibit
ketidakpercayaan. Di mata istri, kenapa suami menyimpan uangnya secara
sembunyi hanya punya satu alasan: semua ini cuma demi kepentingannya
sendiri. Dan ego semacam ini hanya mungkin dijalankan dengan dua cara:
secara diam-diam atau dengan menyiapkan kebohongan. Dan inlah bahaya
bohong, ia tidak mengenal berat dan ringat karena jika ketahuan selalu
meninggalkan bekas yang dalam. Batu pertama untuk saling tidak percaya
telah diletakkan.

Hidup bersama yang sudah tidak saling mempercayai adalah sumber dari
seluruh tragedi. Jika serumah sudah tidak saling percaya, maka di dalam satu
selimut pun tidak akan saling meraba. Ketika inilah rumah akan berubah fungsi
dari pusat ketentraman menjadi pusat kegaduhan. Seseorang yang gagal
menentramkan rumahnya sendiri, sulit untuk diharap membuat kebaikan di
dalam pekerjaan dan membuat kemuliaan di dalam peribadatan.

( Prie GS/cn05)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: perjalanan

Saat Aku Terima SMS-mu


SMS di hari ini adalah Pak Pos di masa SMP ku dulu. Bahkan cukup hanya
mendengar bel sepedanya, sudah cukup membuat gemetar jantungku. Aku
sudah mulai jatuh cinta saat itu dan surat-suratan adalah keasyikan
tertinggiku. Maka menunggu balasan surat adalah ketegangan utamaku. Masih
bersepeda Pak Pos saat itu dan seragamnya berwarna kelabu. Gesit, cepat dan
berburu waktu. Maka ketika ia cuma berlalu, kecewa sekali hatiku.

Begitulah perasaanku sekarang terhadap SMS setiap ia menyalak di HP ku.


Kedatangannya kusambut dengan degup jantung. Saat-saat hendak
membukanya adalah saat-saat yang penuh dengan teka-teki. Dan inilah
pesona teka-teki; ia mendebarkanku. Dari siapa, kabar apa yang ia bawa!
Itulah selalu gairah yang tersimpan di bawah sadarku. Setiap SMS yang masuk
adalah cuplikan dari misteri besar di depan yang gelap gulita. Maka
mencungkil sedikit-demi sedikit kegelapan di depan untuk menjadi serpihan-
serpihan terang di hari ini, pasti sebuah keadaan yang menegangkan.

Maka jika bunyi SMS itu tak lebih dari kabar yang biasa-biasa saja, hambarlah
hatiku. Apalagi jika SMS itu hanya berisi kabar generik, yang bias dikirim juga
ke sembarang orang, tak penting, tak mendesak, akan kecewalah hatiku. Di
SMS aku butuh kiriman-kiriman yang sangat pribadi. Kalau pun ia bukan
penting, sepanjang ia ada namaku, hanya untukku, ia akan menghibur hatiku.

Dari caramu mengirim SMS, aku akan segera menentukan apakah engkau bisa
segera menjadi temanku. Jika SMS punuh singkatan, aku akan mengangapmu
sebagai orang yang kikir. Aku jelas bukan orang yang bahagia mendapat
sahabat kikir seperti itu. Cuma kata-kata saja engkau hemat demikian
ketatnya. Jika engkau sedang tak punya waktu, lebih baik tundalah. Di
negaraku ini sudah terlalu banyak singkatan untuk soal-soal yang tidak perlu.
Malangnya, untuk hal-hal yang mestinya perlu disingkat, malah di panjang-
panjangkan. Jadi jika, singkatan SMS mu itu hanya menggambarkan pribadi
seperti itu, aku tidak gembira menyambutmu.

Ketahuilah, betapapun bagus kata-katamu dalam mengirim ucapan, jika itulah


kata-kata yang juga engkau kirim ke sembarang orang, aku akan
menyambutnya dengan dingin. Karena tidak ada unsur aku di dalam
kirimanmu itu. Di mataku, engkau sedang menyamaratakan aku sebagai
barang recehan. Susah payah aku meyakinkan diriku bahwa aku adalah
sebuah pribadi. Memang aku tidak lebih hebat dari orang lain, tetapi aku juga
pasti tidak lebih rendah. Tetapi ini bukan soal tinggi dan rendah. Ini cuma soal
''aku''. Inilah repotnya; dalam beberapa urusan, keakuan ini penting aku
munculkan. Teman yang tidak memahami kedudukanku sebagai pribadi,
adalah teman yang tidak peka. Dan ia pasti bukan teman yang mengasyikkan
karenanya.

Sesingkat apapun engkau mengirim SMS-mu, sesingkat apapun waktu yang


engaku punya, sebutlah namaku dalam SMS mu. Maka aku akan merasa
menjadi pribadi yang istimewa. Sebagai akibatnya kau akan kusimpan di
dalam hatiku sebagai pihak yang lembut hati dan penuh rasa hormat dengan
sesamamu. Aku tidak sedang gila hormat. Tetapi aku jelas membutuhkan
kehormatan karena ia menghidupkan, membuatku bergairah dan merasa
berharga.
Maka jika ada SMS masuk, aku akan berdebar-debar membukanya.
Sebetulnya aku tidak selalu mengharapkan kabar gembira, karena hidup
memang tidak cuma berisi kegembiraan. Aku bahkan rela-rela saja jika SMS
itu dikirim oleh seorang penipu. Dari pihak yang mengatakan aku adalah
seorang pemenang hadiah dan begitu hadiah itu langsung aku dermakan
kepadanya, orang ini malah kecewa! Tapi jelas, aku pasti tidak sedang
membicarakan para penipu. Aku sedang membicarakan engkau sebagai
sahabat yang bisa menggembirkaanku cukup dengan soal-soal sederhana dan
cuma sedikit butuh waktu. Percayalah, aku juga akan melakukannya untukmu!

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: sms

Paku Di Kepala Itu…


Seorang ibu memaku kepala anaknya sendiri. Adakah ia ibu yang kejam?
Tidak. Karena ia juga memaku kepalanya sendiri. Jika pun ia dianggap kejam,
ia juga pasti kejam tidak cuma kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinnya.
Kepada seseorang yang tengah kehilangan kendali atas diri sendiri, ia tak bisa
ditutut untuk punya kendali atas orang lain, walau ia adalah anaknya sendiri.

Sambil kepala yang berpaku itu ditayangkan televisi, penyiar menyebut


penyebab itu semua adalah tekanan ekonomi. Walau mungkin, saya tidak
mudah mempercayai komentar ini. Izinkan saya meduga lebih jauh lagi.
Dugaan saya ini berawal dari fakta bahwa kemiskinan bisa saja membuat
seseorang menjadi gila. Tetapi faktanya tidak semua orang miskin otomatis
gila. Sebagian di antaranya baik-baik saja mentalnya, sebagian di antaranya
malah tetap berwatak mulia.

Ada orang miskin yang menemukan dompet dan berkeras mengembalikan


tanpa sedikitpun menyentuh isinya. Ada pedagang kecil yang terancam
bangkrut tetapi ringan saja memberi uang pada orang terlantar yang
kebingungan untuk pulang. Ada tukang sepatu keliling yang pantang menilep
uang kembalian meskipun pelanggan telah melupakan. Panjang daftar orang-
orang kecil yang tidak cuma tetap kuat tetapi juga mulia ini.

Bahwa miskin itu berat, iya. Tetapi bahwa menjadi miskin otomatis harus
menjadi kalap, tidak! Maka meskipun kemiskinan itu berat, ia tak otomasti
harus menjadi sumber kekalapan. Dari mana orang miskin bisa menemukan
kekuatannya? Pasti bukan dari duitnya, melainkan harus dari prinsip-prinsip
hidupnya. Tahu diri, adalah prinsip yang pertama. Miskin tapi merokok, naa ini
tak tahu diri.

Bapak dari anak yang dipaku itu adalah seorang satpam. Tak ada yang keliru
dari profesi satpam. Ini pekerjaan terhormat. Bahwa kemungkinan
penghasilnya kurang, bisa saja. Benar, gaji satpam bisa jadi tidak mencukupi.
Tetapi jika gaji kecil adalah alasan untuk boleh memaku kepala anak sendiri,
kepala anak-anak satpam di Indonesia akan berpaku seluruhnya. Nyatanya
tidak. Banyak kehidupan satpam, meskipun sederhana tetapi baik-baik saja.
Mereka tetap berteman gelak tawa bersama keluarga. Jadi meskipun miskin itu
berat, tetapi untuk tetap kuat, adalah sebuah kemungkinan. Maka menjadi
kuat dan lemah itu, adalah pilihan.

Persoalnnya, banyak orang yang memang memilih menjadi lemah tanpa


sengaja. Misalnya, sudah tahu cekak penghasilan tapi besar keinginan. Sudah
ngerti menganggur suka berjudi. Sudah tahu miskin masih suka memukuli
istri. Saya dengar, satpam yang satu ini juga suka main pukul kepada istrinya.
Jadi bisa dibayangkan betapa berat derita wanita itu. Bersuamikan pria miskin
sendiri sudah kemalangan, apalagi tambah pula dipukuli, jadi ganda
sengsaranya. Miskin tapi mesra, itu bisa! Cuma tidak mereka lakukan.

Maka tengoklah orang-orang sederhana yang memilih bahagia itu. Para


satpam yang tetap tenteram hidupnya itu. Mereka ada dan jelas di depan mata
kita. Karena sudah memilih, mereka pasti sadar membayar harganya. Gajinya
yang tak seberapa pasti hanya untuk membiayai yang perlu-perlu saja.
Bahkan jika untuk membiayai kekeliruan, seorang yang berduit pun bisa
dipersalahkan, apalagi bagi yang cekak penghasilan. Sudah miskin, ngawur
pula. Apakah ada? Banyak sekali. Kemiskinan banyak dipersalahkan padahal
biang masalah itu bernama kelakuan!

(Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: paku di kepala

Meditasiku yang Gagal


Saya selalu senang melihat orang-orang yang berpembawaan tenang. Saya
malah suka terpesona melihat orang-orang yang begitu mudah tidur. Masuk
mobil langsung tidur. Sementara penumpang lain tegang pada keganasan
jalan raya, orang ini malah mendengkur dengan kerasnya. Enak betul.

Begitu juga dengan penumpang pesawat yang satu ini: masuk, menemukan
kursi, memasang sabuk pengaman dan pulas seketika. Salama perjalanan ia
cuma bangun sekali, yakni ketika ia digugah pramugari, itupun cuma bangun
untuk tidur lagi. Sementara penumpang lain sibuk tegang berada di ketinggan,
sementara ada penumpang yang sejak pesawat naik hingga turun tak henti-
hentinya berdoa, orang yang satu ini baru benar-benar bangun setelah
pesawat sampai ke landasan.

Jika pesawat itu meledak berkeping-keping di udara misalnya, orang ini pasti
pihak yang paling menikmati situasinya. Bahkan jika harus mati pun, kematian
itu bukan soal yang menyakitkan karena ia sedang tertidur begitu nyenyaknya
untuk bangun dan tersadar ketika kematian tiba. Enak betul. Telah banyak
diceritakan tentang kematian orang-orang suci yang begitu rileks caranya dan
sebagian di antaranya, konon meninggal sambil tertidur. Apakah orang yang
mudah tertidur adalah indikasi orang suci? Entahlah. Tetapi suci atau tidak,
tidur dengan mudah adalah anugerah!

Kebetulan saya mengerti betul betapa enaknya tidur nyenyak, betapa tidak
enaknya tak bisa tidur dan betapa capeknya tidur tak nyenyak, karena ketiga
keadaan ini sering saya alami. Untuk menjadi orang yang tidak bermutu yang
mudah uringan-uringan, suka mengutuki keadaan dan merasa bernasib
malang, saya tidak memerlukan musibah besar, melainkan cukup hanya
dengan kekurangan tidur. Sebaliknya, bangun dari tidur yang bermutu
sungguh mendorong kita untuk mudah bergembira. Batuk tetangga pun akan
terdengar merdu di telinga.

Maka kekaguman aaya kepada orang-orang yang tenang dan mudah tertidur
sungguh tak terbantahkan. Begitu ada kesempatan tak tahan bagi saya untuk
menanyakan resepnya. Ada di antara meeka yang mengaku memiliki bakat
tidur alamiah, tetapi ada yang karena rajin berlatih. Meditasi adalah salah
satunya. Naa, meditasi itu pula yang akhirnya menjadi keinginan saya. Di
mata saya, ahli meditasi, adalah orang yang selalu berhasil mengembalikan
keadaan, betatapun gentingnya, ke dalam ketenangan.

Hidup selala berselancar di pantai yang tenang, di semilir angin dan


kedamaiman lembah amboi, betapa indahnya. Itulah hidup yang selalu
dijalankan dengan senyum mengembang, dengan kesabaran yang terjaga dan
kebijaksanaan tanpa henti. Itulah senyum yang jejaknya saya temui pada diri
para bijak dan empu-empur rohani yang membuat saya iri. Karena iri saya pun
tergoda untuk berlatih meditasi di pagi dan petang.

Begitu saya telah duduk bersila nafas tenang saya alirkan, bibir ini saya
senyum-senyumkan bak orang-orang bijak itu. Pada dua tarikan nafas
pertama saya benar-benar serasa telah mejadi bijak. Tapi tarikan nafas
berikutnya mulai seret dan nafas selanjutnya malah berkembang seperti orang
terserang asma. Bayangan orang bijak dengan senyum sabar itu sudah
bergeser ke pekerjaan yang semalam tertunda karena sebuah kelelahan. Ooo,
meditasi ini serasa salah waktu, karena pagi ini mestinya saya sau harus
merampungkan sebuah tulisan yang sudah ditunggu.

Jadi betapapun baik saya merampungkan meditasi ini, betapapun tenang jiwa
ini oleh sebuah kontemplasi, tetapi telah jelas hitung-hitungannya: bahwa
sehabis meditasi, pekerjaan yang semalam sudah tertunda itu akan makin
buruk saja keadaannya. Sebentar lagi pasti akan ada telepon yang menagih,
dan saya harus menyiapkan alasan pembenaran. Setelah alasan saya berikan
orang itu pasti akan kecewa meskipun mencoba memahami.

Tetapi meskipun dipahami, saya pasti merasa besalah di dalam hati. Sebagai
gantinya, saya pasti akan ngebut merampungkan keterlambatan ini. Dalam
suasana seperti itu, jangankan menjadi orang bijak, bahkan tidak mengutuk
menyumpah kanan-kiri pun sudah merupakan keberuntungan.
Maka meditasi saya itu malah cuma berbuah kekacauan. Saya putuskan
bangun secepatnya untuk mengetik dengan kesetanan dan sepakat
mendahulukan pekerjaan. Begitu telepon berdering, pekerjaan sudah saya
rampungkan. Hasilnya saya lega, tenteram dan gembira luar biasa. Oo inilah
agaknya hasil meditasi yang sesungguhnya. Maka rumus menentramkan diri
itu ialah: merampungkan pekerjaan pada waktunya, menghindari masalah
secepatnya dan hidup dengan sedikit mungkin masalah!

(Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 1 comments Links to this
post
Labels: meditasi

Memperpanjang Nafas Keluarga


Saya pernah mengatakan sumber stres utama di zaman ini adalah jalan raya.
Kini, pernyatan itu saya koreksi sendiri bahwa sumber stres utama itu adalah
keluarga. Terutama keluarga yang kita biarkan menjadi buruk mutunya.
Karena seberat-beratnya jalan raya menekan kita dengan kemacetannya, ada
keluarga yang akan menyambut kita dan meredakannya. Jalan raya hanyalah
bagian dari hidup, sedang keluarga adalah seluruh hidup. Maka jika rusak
mutunya, akan rusak pula seluruh hidup.

Karena cukup hanya dengan memiliki bapak yang otoriter, seorang anak
merasa rumahnya adalah neraka. Pulang adalah kata yang ia takuti karena
rumahnya cuma mendatangkan satu perasaan saja: ketidaktenteraman.
Kemanapun matanya memandanng ke sekujur ruangan, hanya akan terlihat
wajah bapaknya yang selalu keruh, penuh perintah dan hardikan. Maka hidup
di luaran menjadi keasyikan.

Sebagai sesama lelaki dan seorang bapak, saya pasti juga memiliki
kemungkinan yang sama untuk menjadi orang tua horor semacam itu. Suatu
kali watak ini saya simulasikan di rumah. Anak-anak saya minta
membayangkan bapaknya sebagai bapak yang kejam. Pertama saya minta
mereka mengimajinasikan bagaimana jika bapaknya kawin lagi. Baru diminta
membayangkan saja jeritan sudah terdengar di sana-sini. Tapi permintaan ini
serius. Saya meminta mereka meneruskan imajinasinya.

Bahwa sejak hari ini, bapakya sudah memiliki ibu baru yang lebih muda, lebih
cantik dari ibu mereka. Dan hari-hari bapaknya akan terbagi dengan
pemberatan di istri mudanya. Jika pagi hari, bapak ini tidak lagi punya
kesempatan untuk mengantar mereka kesekolah lagi, ikut mencarikan topi dan
dasi dan menjemput mereka jika pulang nanti. Ketika telah sampai ke rumah,
mereka hanya akan mendapati kamar-kamar yang sepi, ibunya yang makin
lama makin terlihat tua, tertekan dan uring-uringan lalu gagal mengurus diri.

Sementara di rumahnya kekacauan makin hari makin meninggi, mereka malah


mendapat bocoran bahwa bapaknya sedang membangunkan rumah baru untuk
ibu tiri mereka. Ibu muda itu sedang mengandung pula dan bersiap memiliki
bayi, membangun keluarga kecil baru, bermain, bergembira seperti keluarga
mereka dulu. Kini keindahan mereka yang dulu telah berpindah ke rumah baru
itu. Hasilnya, ibu mereka makin hari makin termakan oleh kesedihan dan
fisiknya tinggal kulit berbalut tulang.

Jika sesekali bapaknya datang untuk menengok dan mendapati istrinya sudah
demikian layu dan porak-poranda, hanya satu keinginannya: berbalik
secepatnya ke rumah istri muda. Kalaupun reaksi ini memunculkan kemarahan
seluruh keluarga, si bapak ini akan membalasnya dengan kemarahan. Apa saja
akn dibantingnya. Gelas-gelas, foto-foto hingga asbak. Saya betul-betul
memeragakan bantingan ini. Saya membanting bantal dengan keras ke lantai
dan meminta mereka membayangkan sebagai bola kritsal yang di rumah saya
tidak ada. Saya bahkan melempar pesawat televisi yang sedang menyala
dengan kaos kaki dan meminta mereka membayangkannya sebagai granat.

Simulasi ini berjalan sempurna. Karena sebelum saya melanjutkan imajinasi


gila ini anak-anak sudah memekik-mekik histeris. Selanjutnya mereka sudah
menghambur ke ibu mereka yang dalam benak barusan sedang menjadi pihak
yang amat teraniaya. Jika mereka gagal menangis, lebih karena secepat
mungkin kami merubahnya menjadi gelak tawa. Anak-anak ini takjub bukan
main demi melihat ibu tercintanya masih utuh, masih segar bugar dan tidak
diitnggal kawin suaminya. Anak-anak ini kami ajak merasakan sensasi betapa
walau rumah mereka kecil dan sederhana, masih penuh dengan cadangan
gelak tawa. Kami setiap kali berimajinasi tentang kengerian, agar kebahagiaan
di dunia nyata yang sedang kami miliki ini, tidak kami lupa.
(/Prie GS)
Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: keluarga

Thursday, June 14, 2007

Buah Pisang yang Hilang


Buang pisang di kebun kecil kami raib diserobot pencuri. Kepada kami cuma
ditinggalkan bekas-bekasnya, ceceran kotoran bekas cacahan di mana-mana.
Semakin kami pandangi aneka kotoran ini semakin kami merasa terintimidasi.
Mencuri ya mencuri, tetapi ya jangan sambil meledek seperti ini. Kotoran itu,
seperti sengaja diacak-acak sedemikian rupa agar efek kehilangan ini lebih
terasa. Maka setiap memandangi serpihan itu, yang terbayang adalah serpihan
hati kami sendiri.

Tetapi yang disebut kami itu sebetulnya cukup diwakili oleh Bapak saya. Kebun
sepetak itu adalah ladang kegembiraan di masa tuanya. Beliau pula yang
merawat, mencintai dan memperlakukan kebun itu sebagai teman di hari
tuanya, tak terkecuali pisang yang hilang itu. Setiap detail pertumbuhan
pisang ini, tidak lepas dari pengamatannya. Ketika ia sudah mulai berbunga
dan menongolkan jantungnya, Bapak berkabar dengan gembira. ''Pisang di
kebun kita mulai ada hasilnya,'' katanya waktu itu.
Pisang ini melulu yang ia bicarakan setiap saya berkunjung kepadanya. ''Sudah
mulai muncul buahnya,'' kata Bapak. ''Kau perlu menengoknya,'' tambahnya.
Saya biasanya selalu mengiyakan dan pura-pura gembira terhadap tema ini
walau pikiran saya sebetulnya mengembara ke mana-mana. Ke sejumlah
pekerjaan yang belum usai, ke rencana-rencana yang masih terbengkalai, ke
target-target hidup yang memenuhi benak. Maka persoalan pisang itu pasti
menjadi tema yang menyebalkan jika yang berbicara bukan bapak saya.

Di hari-hari berikutnya, pisang ini lagi yang menjadi tema wajib dialog kami.
''Ia telah membesar. Beberapa minggu lagi telah bisa dipotong. Tengoklah
kalau ada waktu,'' katanya.

Lama-lama saya penasaran juga. Toh jarak kebun itu hanya sekelebatan dari
rumah, maka tak ada salahnya menengok buah yang menjadi isu terpanas
dalam keluarga besar kami. Woo boleh juga. Ranum, mulus, dan penuh. Buah
ini tumbuh sempurna dan dari pisang jenis kesukaan saya pula. Kini ganti
sayalah yang bersemagat bicara tentang pisang ini.

''Ini panen pertama sejak kebun ini jadi milik kita,'' kata saya kepada istri.
''Nanti ajak anak-anak menengoknya,'' kata istri. ''Tengok sekarang juga!''
teriak anak-anak. Pisang ini, telah menjadi kegemparan di rumah kami.
Sampai kemudian hari penentuan itu tiba.

Kami telah menghitung hari. Bapak adalah pihak yang pasti amat cermat soal
ini. Mulai dari membangun rumah, menentukan hari perkawinan saya, sampai
hari kapan menegur buah pisang, tak pernah lepas dari hitung-hitungan ''hari
baik'' Bapak.

Tetapi mungkin karena saking telitinya menghitung, Bapak malah kalah cepat
dengan pencuri yang ternyata juga memiliki hari baiknya sendiri. Pisang
kebanggaan kami lenyap, dan yang tinggal hanya cacahan kotoran di sana-
sini. Saya melihat Bapak yang terpukul dan amat kecewa.

Saya mengerti betul kekecewaan jenis ini. Karena ada saja pagar-pagar yang
lebih baik dibiarkan kosong, padahal ia bisa dirembeti oleh tanaman anggur,
tetapi batal dilakukan cuma karena jika ia berbuah, kita khawatir kalah cepat
dengan pencuri.

Ada seorang yang memlih menebang pohon buahnya, karena tak tahan
melihat betapa pohon ini tak pernah tenteram dari gangguan. Ketimbang
diganggu, lebih baik sama sekali tidak menanam. Dari pada sakit hati, lebih
baik semuanya tidak makan. Begitulah kejamnya kekecewaan ini, sehingga
seseorang merasa lebih tidak menanam sama sekali, dan puncaknya; lebih
baik sama-sama tidak makan!

Saya dan Bapak saya pasti juga tidak terlepas dari kekecewaan semacam ini.
Cuma kami berdua sepakat untuk saling menyemangati, ayo tanam lagi,
meskipun akhirnya cuma untuk dicuri lagi. Karena jika jika seseorang enggan
membangun cuma karena takut rusak, enggan mandi cuma karena takut kotor
lagi, ogah makan cuma karena pasti lapar lagi, bumi bisa berhenti berputar
dan kehidupan akan macet.

Maka pisang yang hilang ini membuat kami malah menjadi semangat sekali.
Belum pernah terjadi dalam hidup kami, pencuri malah menyemangati kami
seperti ini!
Posted by Prie GS at Thursday, June 14, 2007 0 comments Links to this post

Labels: Buah Pisang yang Hilang

Wednesday, May 09, 2007

Ketika Sopir Sakit


HARI itu sopir kami sakit dan pemberitahuannya yang mendadak membuat
saya kacau sekali. Ini artinya, pagi hari itu saya harus mengantar anak-anak
sekolah sendiri, harus mencuci mobil sendiri, harus menyetir sendiri,
menembus kemacetan sendiri, mencari tempat parkir sendiri. Duh Gusti di
pagi itu saya gundah sekali.

Kegundahan pertama karena saya bukan pengemudi yang terampil. Melihat


lalu lalang kendaraan di jalanan, disalip dari kanan dan kiri, dan menghadapi
keganasan jalan raya, bukanlah bakat saya. Saya bisa mengetik berjam-jam di
depan komputer tetapi untuk terengah-engah dengan keringat dingin
berleleran cukup hanya dengan waktu setengah jam menyetir sendiri di
jalanan. Hari itu, saya menghadapi ujian berat.

Maka ketika mobil hendak saya keluarkan dari garasi, dengan kantuk
semalaman masih jelas tersisa, dengan bayangan jalan raya yang penuh
keganasan, sejuta penderitaan sudah membayang. Kemarahan saya terhadap
beban ini membuat saya bersiap untuk marah kepada apa saja. Kepada istri
yang rasanya terlalu lambat berkemas-kemas, kepada anak-anak bersepeda
yang tahu saya hendak memundurkan mobil tetapi malah menghalangi jalan
dengan begitu santainya. Terakhir saya marah luar biasa kepada sopir kami,
yang meskipun ia sopir setia, tetapi kenapa harus sakit salah waktu. Sakit ya
sakit, tetapi kenapa harus hari Senin, hari ketika saya sangat tidak siap untuk
mengerjakan ini semua.

Sepagi itu, kemarahan sudah nyaris mengepul di kepala. Belum lagi jika saya
bayangkan, sehabis tugas mendadak ini rampung, berarti ada tugas rutin yang
terpaksa molor waktunya. Jika tugas rutin itu molor, maka pertemuan dengan
kolega itu akan berubah pula agendanya. Jika agenda itu berubah, maka soal-
soal yang sudah rapi tertata harus di bongkar ulang. Repotnya sungguh tak
terbayangkan.

Tetapi ketika kemarahan itu hendak memuncak bahkan sebelum saya benar-
benar mengerjakan seluruh kerepotan itu, saya melihat anak-anak saya yang
sepagi itu telah rapi dengan seragam sekolahnya, dengan bekal makan
minum, dan kesigapan menyambut tugas. Astaga! Betapa lama saya tidak
mengantar mereka ke sekolah, tugas yang sebelum sopir kami ada, selalu
menjadi tugas saya. Betapa tiba-tiba saya teringat tentang pagi-pagi ketika
kami selalu berada di jalanan bersama-sama. Melepas mereka ke sekolah,
berdada-dada dari kejauhan dan menatap anak-anak dengan perasaan
bangga, khawatir dan gentar.

Bangga, karena kami dianugerahi putra-putri yang sehat lahir-batin. Saya dan
istri bukanlah pasangan yang sempurna. Penuh cacat dan kesalahan, brengsek
dan sering tidak bermutu. Tetapi bahwa dari pasangan yang tidak bermutu
seperti kami, Tuhan tetap menganugerahkan anak-anak yang baik membuat
kami tersipu dan terharu.

Melihat anak-anak dari kejauhan dengan tas sekolah di punggungnya, adalah


juga melihat kekhawatiran jika kelak kami tidak sanggup membimbingnya ke
arah yang semestinya. Betapa anak-anak tidak cuma membutuhkan arah yang
jelas, tetapi juga keteladanan dan nasib baik. Sanggupkah kami memberi arah
yang jelas, sementara untuk mempertegas arah kami sendiri saja masih begini
repotnya. Sanggupkah kami memberi keteladanan jika kami sendiri masih
tergoda oleh banyak sekali keburukan.

Ketiga adalah perasaan gentar itu, karena untuk apa kami punya arah yang
jelas, punya keteladanan, jika tanpa nasib baik. Seideal apapun keluarga
Anda, Anda tidak bisa mencegah ancaman gempa bumi yang bisa membuat
seluruh kampung kita porak-poranda dan risiko perang nuklir yang
mengancam kita kehilangan orang-orang tercinta. Aduh… aduh… sepagi itu,
imajinasi saya sudah merayap ke mana-mana. Sehingga tanpa sadar, anak-
anak itu sudah saya lepas masuk ke kelas-kelas mereka dan di mobil tinggal
saya berdua dengan istri tercinta, mirip ketika dulu kami sedang pacaran saja.

Gara-gara sopir sakit, saya kembali menemukan keindahan-keindahan lama


yang nyaris terlupa. Maka kenapa harus takut kerepotan mendadak seperti ini,
jika ia ternyata adalah pintu-pintu untuk menemukan kembali kebahagiaan
yang hilang.
(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Wednesday, May 09, 2007 0 comments Links to this post

Labels: ketika, sakit, sopir

Saturday, April 28, 2007

Kejengkelan Di Rumahku
Aku amat mencintai rumahku karena di sanalah terkumpul semua kecintaanku.
Tetapi bukan rumah sebagai sumber cinta yang hendak aku bicarakan,
melainkan bahwa rumah ternyata juga sebagai sumber kejengkelan. Karena
ternyata apa yang kita cintai adalah apa yang juga mendatangkan
kejengkelkan.
Lalu bagaimana mengelola perasaan jengkel ini jika ia datang dari pihak yang
kita cintai? Belajar cinta pada kejengekelan inilah yang kemudian yang
menjadi pekerjaan rumah terbaruku di hari-hari ini.

Di rumah selalu saja ada soal-soal yang menurut kita keliru. Barang yang
salah letak, nonton televisi yang salah waktu hingga masakan istri yang salah
bumbu. Daftar kejengkelan ini bisa bertambah panjang jika kita telah
memasukkan pula kesalahan-kesalahan pembantu.

Apalagi bersama kami tinggal seorang pembantu yang seluruh perilakunya


mengundang kami untuk segera memecatnya. Pembantu ini begitu sopannya
pada kami, begitu takutnya pada kami, tetapi adalah pihak yang begitu
membangkangnya pada perintah-perintah kami. Jadi bagaimana mungkin ada
seorang yang begitu takut, tetapi begitu penuh pembangkangan.

Jika kami meminta dia jangan membuang barang-barang sembarangan tanpa


lapor dulu, ia selalu mengiyakan, tetapi selalu melakukan apa yang kami
larang. Selalu ada saja barang-barang kami yang hilang karena agresivitas
pembantu kami ini dalam melakukan pembersihan. Rumah memang menjadi
bersih, termasuk bersih dari barang-barang yang aku butuhkan.

Kami nyaris putus asa menghadapi pembangkangan yang sopan ini. Suatu kali
kami sepakat untuk memberhentikannya ketimbang setiap hari makan hati
dan dibuat gila oleh kebandelannya. Tetapi pembantu ini seperti memiliki sihir
gaib. Setiap kali ia datang kami memang sudah jengkel luar biasa, bahkan
baru melihat kemunculannya. Kedatangannya selalu cuma berarti
membongkar kembali tumpukan kejengkelan kami.

Tetapi anehnya, begitu ia pulang kami selalu diserang rasa iba luar biasa.
Menatapnya berjalan, sendiri, kemudian lenyap di tikungan jalan, adalah
pemandangan yang menganggu kami setiap kali

Pemandangan itu membuat kami sejenak melupakan seluruh kesaahannya dan


yang tinggal hanyalah fakta-fakta berikut ini: bahwa hidup orang itu, cuma
tergantung pada kami. Padahal dari kami pun, ia cuma mendapat upah
sekadarnya, sekadar umum orang lain dalam membayar pembantunya. Dan
kami tahu, jumlah itu amat jauh dari mencukupi untuk seluruh kebutuhan
hidupnya lengkap dengan keluarganya yang juga cuma tergantung kepadanya.
Jadi membayangkan bahwa ia selalu berada dalam sebuah keadaan yang
selalu darurat setiap hari, membuat kami melupakan seluruh kejengkelan yang
tidak penting ini.

Karena kenapa kepada pihak yang sudah begitu penuh beban, kami malah
tega meminta banyak sekali. Kenapa jika upah yang kami berikan rendah saja,
kami meminta pelayanan yang tinggi. Ini pasti tidak adil. Akhirnya kami
menempuh cara yang agak tidak lazim kepada pembantu yang unik ini. Kami
tidak cuma gagal memecatnya, tetapi malah mencoba bergembira dengan
seluruh kesalalahnnya.
Jika ia kembali melakukan kesalahan yang sama, aku malah meminta istri
untuk menyediakan upah ekstra ketika ia telah rampung bekerja. Tentu saja
istri melotot pada awalnya. Tetapi segera kujelaskan alasannya: Mudah saja
memberikan kegembiraan kepada pihak yang memang menggembirakan
hatimu. Tetapi sanggupkah kamu menggembirakan pihak yang
menjengkelkanmu, begitu kataku, yang tak lebih adalah kataku pada diriku
sendiri! Mudah untuk berderma ketika hati sedang gembira, tetapi sanggupkah
kita memberi ketika hati kita sedang begitu marahnya?

Sulit, amat sulit! Tetapi kami tertantang untuk kuat melakukannya. Maka kami
bukan cuma batal memecat pembantu ini, tetapi juga malah sering
memberinya tips ekstra ketika hati kami sedang jengkel kepadanya. Ia juga
selalu kami tempatkan sebagai pihak penerima oleh-oleh pertama sehabis
kami dari luar kota. Ia kami pertahankan di rumah kami karena menjadi guru
terbaik kami dalam berteman dengan kejengkelan.

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Saturday, April 28, 2007 0 comments Links to this post

Labels: kejengkelan di rumahku

Monday, April 09, 2007

Ciuman Salah Waktu


JIKA Anda orang tua, risiko ini akan dekat dengan Anda, karena contoh ini
saya pungut dari pelaku yang sebenarnya. Pertama ketika secara tanpa dosa,
anak Anda mengorek-orek dinding mobil dengan benda tajam, padahal mobil
itu baru dan kreditan pula. Jika ini terjadi, hati-hati, penyakit kalap bisa
menyerang Anda.

Tak peduli betapa pun polos anak Anda, tak peduli bahwa ia sesungguhnya
tidak bermaksud merusak mobil keluarga, melainkan merasa cuma sedang
menggambar, melukis dengan hati gembira di sebuah kanvas yang
menurutnya adalah ruang yang bebas terbuka. Tak tebersit di dalam benak
anak itu merusak sebuah mobil, apalagi mobil baru, apalagi mobil milik
bapaknya, apalagi belum lunas pula.

Tapi semua ini tak cukup kuat untuk menahan sikap kalap orang tua yang
tengah terluka itu. Karena luka di mobil itu setara dengan luka di hati kita,
yang bekerja keras sedemikan rupa untuk bisa membeli barang kesayangan
dan belum genap kegembiraan ini berjalan sempurna telah diorek-orek pula.
Maka tak peduli anak sendiri, anak kesayangan pula, luka di mobil itu adalah
dorongan yang gegap gempita untuk minimal membentak sang anak dengan
teriakan termarah yang kita punya.

Maka anak yang sedang bergembira akan segera melotot matanya oleh
perasaan kaget luar biasa. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar untuk
kemudian surut ke belakang dengan sikap gemetaran. Sebuah rasa takut yang
bukan cuma datang tiba-tiba, tetapi ketakutan yang sungguh tak ia sangka-
sangka. Ingatlah kenakalan masa kecil Anda, dan ingatlah sebuah rasa takut
akibat kemarahan sekitar yang timbul karenanya. Kita begitu takut karena
sama sekali tak pernah menduga bahwa yang kita lakukan adalah sebuah
kekeliruan. Kita menyangka semua itu tak lebih dari kegembiraan bagi akal
kita yang masih cekak dan terbatas.

Saya pernah menyimpan sebuah pengalaman dahsyat di usia prasekolah, yang


karena jasa kakak-kakak, saya telah bisa membaca. Sebuah keberuntungan?
Bisa jadi. Tetapi bahaya segera menyelinap di baliknya. Seorang remaja
kampung, ia telah remaja, seorang berandal muda mestinya, tetapi memilik
kenakalan yang cerdas, karenanya amat berbahaya. Ia semula memuji
kemampuan saya dan saya senang atas pujiannya. Selanjutnya ia menoreh di
tanah berdebu tiga huruf besar-besar dan saya diminta membacanya keras-
keras.

Didorong keinginan unjuk kebolehan, saya dengan gembira melakukannya.


Saya baca huruf itu dengan teriakan yang memenuhi sekujur desa. Apa yang
terjadi, selepas saya berteriak, anak itu lari meninggalkan saya sendiri yang
kemudian didatangi banyak orang, di antararnya adalah orang-orang tua.
Orang-orang ini mengabarkan kepada saya sebuah berita yang mencekam,
bahwa saya bisa masuk penjara karenanya. Kenapa? Karena tiga huruf yang
saya teriakkan keras-keras itu adalah nama sebuah partai terlarang, yang di
saat itu, cuma karena menyebut namanya saja sudah berarti bencana. Saya
masih mengingat betapa seperti lenyap tulang belulang saya. Hari berikutnya
badan saya demam oleh pukulan batin yang teramat sangat.

Ya, anak-anak itu, termasuk penggores pintu mobil itu, atau seluruh kenakalan
anak-anak kita, bisa jadi tak lebih dari sebuah kegembiraan baginya. Tetapi
siapa peduli kegembiraan anak jika korbannya adalah barang-barang yang
tengah begitu menyedot seluruh konsentrasi kita. Maka kepada anak yang
tengah kita anggap berdosa ini kadang tak cukup hanya diganjar dengan
bentakan.

Kadang itu perlu tamparan di pantat, jeweran di telinga atau malah


tempelengan di kepala. Begitu kalapnya sehingga ketika sadar kita cuma bisa
terpana. Padahal tak mudah meminta maaf kepada anak karena tak sedikit
dari kita adalah para orang tua yang jaim dan tak biasa melakuan permintaan
maaf secara terbuka. Maka yang bisa kita lalukan hanyalah menangis
diam-diam. Memandangi si anak ketika ia telah lelap tertidur dan
menciuminya dengan segenap perasaan remuk redam. Saya percaya
kualitas tangisan penyesalan seperti ini, karena tak ada dari kita yang
tidak mencintai anak-anak kita.

Tetapi tidakkah ciuman semacam itu menjadi sesuatu yang nyaris percuma,
karena sementara kita mencium, anak itu sudah begitu terlelapnya. Ketika hati
kita tengah porak-poranda, anak itu sama sekali tak menangkapnya, karena
penyesalan itu, ciuman itu, datang di waktu yang keliru, ketika anak sama
sekali tak pernah mengetahuinya.(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Monday, April 09, 2007 1 comments Links to this post

Labels: anak-anak, ciuman, penyesalan, salah, waktu

Keponakan dari Desa


Suatu kali keponakan saya datang dari desa dengan motor dan tas penuh
meninggi di punggungnya, isinya adalah hasil kebun kakak saya: buah petai!
Buah yang baunya jauh lebih menggemparkan dibanding rasanya. Jumlahnya
membuat saya terpana dan karena banyaknya saya berencana membagi-
bagikan juga ke tetangga.

Ada banyak alasan, pertama menyenangkan tetangga adalah pekerjaan yang


menggembirakan.
Kedua, makan petai enaknya harus bersama-sama. Ini baru adil. Karena jika
engkau makan, aku cuma kena baunya, ini kejahatan, karena bau petai ini
memang jahat sekali. Saya bukan penggemar petai, tetapi juga tidak anti
sama sekali. Tapi intinya ialah bahkan bau pesing pun kalau itu hasil produksi
bersama pasti jauh dari pertengkaran.

Tetapi bukan soal petai itu yang akan saya ceritakan, melainkan kedatangan
keponakan yang salah waktu itu, meskipun ia datang hendak membagi
kegembiraan. Tetapi itulah waku yang saya sedang diburu-buru pekerjaan.
Komputer baru saja menyala dan sebuah tulisan buru-buru harus
dirampungkan. Pada saat seperti ini, tak ada soal yang lebih penting selain
melihat agar tulisan itu lekas jadi. Maka kedatangan keponakan saya dari jauh
itu tak lebih dari gangguan.

Hampir saja saya menyelesaikan persoalan ini dengan cara praktis, menyapa
secukupnya, meminta maaf karena saya sibuk, meminta dia ambil makan dan
minum sendiri dan begitu pulang saya cukup memberinya uang saku
seperlunya. Hampir saja! Tetapi kemudian saya begitu marah kepada diri
sendiri. Komputer itu segera saya matikan. Ini pasti bukan karena saya terlalu
sibuk. Ini pasti karena di mata saya, pekerjaan adalah satu-satunya soal yang
terpenting di dunia. Pekerjaan benar-benar telah bersiap menjadi berhala.

Saya tanya kepada diri saya sendiri dengan perasan marah, apakah dunia
akan kiamat kalau pekerjaan ini sejenak saya hentikan? Tidak! Keponakan itu
datang dari jarak hampir seratus kilo, dengan beban berat di pungungnya. Dari
daerah pegunungan yang pasti membuat ia harus melawan dingin dengan
geraham gemeretak dan bibir kebiruan. Dan ia tidak akan singgah lama,
karena setelahnya ia harus pergi meneruskan urusannya sebagai anak muda.

Saya tidak tahu, berapa kali momen persaudaraan seperti itu akan terulang.
Tetap saya tahu, selama bumi berputar, cuma sekali saja saya akan melihat
keponakan ini bermotor, menembus hawa dingin, dengan beban menggunung
di punggung, demi mengantar oleh-oleh petai dari desa kepada om-nya.

Cuma sekali! Dan yang sekali itu pun cuma akan disambut dengan sekadar
sapaan seperlunya dan kebaikan basa-basi. Untung saya segera habis-habisan
mendamprat diri sendiri! Komputer itu saya pelototi dengan marah untuk saya
bunuh dengan tega dan dengan segera saya temui keponakan yang ketika
kecil saya gendong-gendong itu.

Saya pandangi dia hingga tas itu merosot dari pungungnya. Saya tongkrongi
ketika dia melepas jaket-jaketnya. Saya duduk di depannya. Saya tak peduli
ketika ia cuma diam saja. Ia telah tumbuh besar. Dia membesar, saya
menyibuk. Perkembangan ini telah membuat kami terancam saling asing. Tapi
meskipun kami saling terdiam, saya mengirim pesan yang jelas untuknya.

Ia tahu, saya tengah menyambutnya, menghargai kedatangannya dan


menerimanya. Pesan ini pelan-pelan membuatnya nyaman. Maka setiap
pertanyaan tentang kabar di desa, tentang kuliahnya di kota, tentang
aktivitasnya, ia jawab dengan hati yang hidup dan gembira. Saya segera
mendengar seorang anak-anak yang haus bercerita. Benar, ada segudang
cerita yang ia ingin orang lain mendengarnya, terutama pasti orang-orang
terdekatnya.

Cerita itu akan menjadi barang beku, jika saya, om-nya, orang tuanya, orang-
orang terdekatnya, cuma sibuk dengan dirinya sendiri. Kesibukan yang
keterlaluan kepada diri sendiri, telah membuat banyak orang-orang
yang mestinya kita sayang menjadi korban. Mereka kesepian, gagal
tumbuh dan beku.

Pertemuan kami tak lebih dari setengah jam. Saya mengantarnya hingga ia
lenyap dengan sepeda motornya di pengkolan jalan. Ia pasti pulang dengan
hati gembira dan pesan yang jelas di jiwanya: bahwa om-nya ini, masih
menyayanginya! (Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Monday, April 09, 2007 0 comments Links to this post

Labels: keponakan dari desa persaudaraan silaturahmi

Sunday, March 25, 2007

Semua Benar, Semua Salah


Saya takjub pada perilaku seorang gubenur yang mengaku amat jarang
memakai sopir pribadi ini. ''Dengan sopir saya jadi seperti orang lumpuh,''
katanya. Sikap gubernur ini saya kagumi sekaligus menyakiti saya. Jika
perilaku gubernur itu serasa menyindir, maka pernyataannnya itu malah sudah
menampar saya.

Karena apa? Untuk mempekerjakan sopir pribadi, saya tidak perlu menunggu
jadi gubenrur, dan tak perlu lebih dulu menjadi orang kaya. Sopir dan mobil
saya pernah sama-sama tua-tuanya. Tidak pantas sebetulnya dengan mobil
setua itu bersopir pribadi. Malu juga saya mestinya.

Tetapi jika keputusan bersopir itu saya batalkan, berarti akan ada begitu
banyak waktu saya buang untuk mencuci mobil yang sudah tua itu,
mengantarnya ke bengkel setiap kali, karena semakin tua sebuah mobil akan
semakin akrap ia dengan bengkel. Merawat mobli tua, rasanya nyaris setara
dengan merawat bayi.

Jelas, hidup saya pasti cuma akan habis dirampas benda ini. Saya tidak
sedang menganggap pekerjaan mencuci dan mengelap mobil itu hina.
Melainkan karena saya sedang mengawasi dengan keras desain mental saya
sendiri; adakah pekerjaan ini saya ambil lebih karena saya gagal membedakan
mana yang penting mana yang mendesak.

Begitu sayangnya saya kepada mobil tua itu, sehingga saya bisa menunda
kesempatan saya bercanda dengan keluarga, misalnya. Menemani anak-anak
saya tidur, saya pikir jauh lebih menggembirakan katimbang mencuci mobil
malam-malam akibat hujan seharian. Tapi saya pasti juga tidak tega
menganiaya mobil tua yang sudah berjasa itu. Maka harus ada orang yang
menjaganya.

Atau jangan-jangan pekerjaan itu saya lakukan lebih karena saya ingin
menjadi orang yang begitu hematnya. Bahkan mencuci mobil pun harus
dilakukan sendiri karena akan menyelamatkan anggaran. Termasuk
membongkar pasang rodanya pun kalau perlu harus dikuasai sendiri karena
melatih kemandirian. Saya bukan anti penghematan dan kemandirian, tetapi
saya ngeri jika menjadi orang yang kesulitan membedakan mana hemat, mana
kikir. Mana kemandirian mana kekonyolan.

Tapi alasan pertama itu sesungguhnya masih saya anggap sederhana. Jika
terpaksa, saya masih sanggup melakukannya. Jika perlu, saya bisa
menyiapkan alasan pembenaran. Tetapi begitu alasan pembenar itu saya adu
dengan alasan saya yang sejujurnya, niat bersopir pribadi itu saya teruskan
juga.

Alasan paling jelas ialah ketika melihat jumlah manusia menganggur begitu
banyaknya, termasuk saudara, sahabat dan tetangga. Saya tidak ingin mejadi
tontonan, karena sementara mereka begitu menganggurnya, saya begitu
sibuknya. Ini pasti karikatur sosial. Lepas dari bahwa Anda tidak bermaksud
sok mulia, membiarkan ketidak seimbangan lingkungan adalah keputusan
berbahaya.

Apalagi sebetulnya, selalu ada dorongan dari manusia untuk berbuat mulia, tak
terkecuali saya. Dorongan ini harus didengar, dirawat dan dibesarkan karena
ia adalah sumber kegembiraan. Maka tidak malu saya jika harus dianggap sok
mulia, bahwa dengan mempekerjakan sopir itu karena memang ada niat ingin
menggembirakan sesama. Jangankan cuma membantu seorang sopir saja, jika
perlu, senang sekali jika ternyata saya ini diberi kemampuan mempekerjakan
semua penganggur di seluruh dunia.

Maka jika gubernur ini mengatakan bak orang lumpuh ketika sedang disopiri,
saya malah merasa sedang melumpuhkan orang-orang yang sehat ketika
sedang menyetir sendiri. Konsep siapa yang kebih benar? Semuanya benar
karena salah dan benar ternyata seperti dua buah gambar di sebuah koin yang
sama. (Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post

Ketika Pikiran Kukosongkan


Aku berterimakasih kepada seorang yang telah kuanggap sebagai kakak
pergaulan dan kepadaku ia memberi banyak bimbingan. Tak semua bimbingan
aku laksanakan bukan karena bimbingan itu keliru, melainkan lebih karena
kekerasan kepalaku. Salah satu bimbingan itu kuperloleh ketika kami berdua
menonton pertunjukan lawak dan seluruh penonton tertawa rerbahak-bahak,
termasuk dia, sementara aku sendiri cemberut demikian hebatnya.

Jadi ketika seluruh orang bergembira, aku malah begitu menderita. Seluruh
lawakan itu bagiku adalah pertunjukan kebodohan. Jadi jangankan tertawa,
bahkan melihat tampang-tampang pelawak itu pun malah membuatku ingin
membakar seluruh gedung pertunjukan saja raanya. Menurutku seluruh isi
lawakan itu cuma menghina kecerdasanku. Kemarahanku makin menjadi-jadi
saja ketika para penonton itu, suka cita saja menertawakan sebuah
kebodohan. Maka sementara orang-orang bergembira dan tertawa-tawa, aku
menyumpah-nyumah demikian hebatnya.

Melihat aku menderita seperti ini, sang kakak pergaulan itu segera melirikku,
memintaku untuk menenangakan diri dan mau mengosongkan pikiran. Nasihat
yang sama sekali gagal kururuti, karena kesibukanku menuruti kemarahan
artistik yang sedang membakar kepalaku. Baru di hari-hari ini saja aku
terkenang kembali nasihatnya. Bersyukur bahwa aku pernah menjadi adik
pergaulannya dna mendapat nasihat yang berharga ini.

Kini seluruh pelawak, bahkan yang paling tidak lucu sekalipun, selalu
menggelikan hatiku. Jika aku ingin menonton pelawak yang lucu aku cukup
menikmati kelucuannya di atas pangung. Sementara untuk menikmati pelawak
yang gagal aku akan mencari kelucuannya setelah dia turun panggung.

Seorang pelawak yang diminta turun pentas karena dianggap tidak lucu,
pernah mengocok perutku justru ketika ia aku temui di kamar ganti.
Tampangnya susah sempurna dengan keringat dingin membasah di sekujur
tubuhnya. ''Luar biasa! Penonton sebegitu banyaknya kok satu saja tidak ada
yang tertawa. Ini lucu sekali! Ini meyadarkan saya bahwa esok pagi, saya
harus sudah harus pindah profesi jadi tukang bakso,'' kata pelawak malang ini
sambil mengelap seluruh keringat dingin yang kuyup di wajahnya.

Kenapa dulu aku sulit tertawa begitu melihat pelawak yang menurutku buruk
mutunya? Karena aku pernah merasa ahli dalam soal humor. Maka siapa saja
yang berhumor kurang dari mutu yang kutetapkan, ia akan menjadi musuhku.
Perasaan sebagai orang ahli inilah yang kemudian menanamkan banyak
prasangka di benakku. Ada berbagai kriteria yang telah kutetapkan, aneka
standar telah kupatok nilainya. Maka bahkan penonton yang sedang
menertawakan humor yang belum menjangkau standarku itu, akan ikut
kupersalahkan.

Aku menjadi angkuh dengan standarku yang kukira paling benar, paling mutu
dan paling artistik itu. Kepalaku lalu mendongka dengan standar itu. Apa saja
yang menurutku di bawah ukuranku akan kupandang dengan mata memicing
dan sinisme yang merendahkan. Tapi inilah hasilnya: dengan kepala yang
penuh standar seperti itu membuatku sulit sekali untuk tertawa dan sulit sekali
bahagia. Musuh seperti berada di mana-mana, karena hampir semua orang
aku musuhi.

Kini aku sungguh ingin melihat manusia dari sudut standarnya sendiri. Dari
sudut ini aku baru mengerti bahwa setiap pribadi menyimpan pesonannya
sendiri-sendiri. Kini aku ingin sekali terpesona pada siapa saja.

(Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post

Aku dan Jeep Tuaku


Suatu saat, ketika aku telah merasa sebagai anak muda yang mulai
berpenghasilan, aku tidak tahan untuk tidak segera menjadi orang kaya baru,
meskipun penghasilan itu sejatinya pas-pasan belaka. Tapi dorongan untuk
cepat-cepat dianggap kaya ini benar-benar tak tertahankan. Maka membeli
mobil adalah salah satunya jalan. Tapi karena dasarnya orang kaya gadungan,
maka beli mobil pun pasti cuma kuat yang murahan.

Murahan tapi tetap gaya, inilah soal yang harus segera dipecahkan. Maka
inilah caranya: memilih jeep Wyllys tua tapi yang sudah diobrak-obrak
sedemikian, bercat menyala, khas anak muda. Mobil bobrok ini lalu tampak
berharga. Jadi antik. Terhadap barang antik, orang tak lagi peduli soal usia.
Efek itulah yang hendak aku manfaatkan untuk memanipulasi kemiskinan ini.
Kesannnya, aku membeli mobil ini, karena keantikannya. Bukan karena cekak
duitnya.

Dalam beberapa hal manipulasi ini berhasil. Saat itu aku pernah menjadi anak
muda yang menurutku amat gaya, jika ukurannya adalah menjadi barang
tontonan. Ke mana-mana rasanya semua mata cuma memandang kepadaku
dengan Jeep antikku itu.

Bangga sekali rasanya. Sebuah kebanggaan yang bertahun-tahun kemudian


terbukti keliru. Karena ternyata sebagian di antaranya cuma berisi salah
sangka. Orang-orang itu ternyata tak semuanya bangga melainkan malah iba.
Karena rasa iba itu pula yang muncul di benakku saat ini, setiap aku melihat
pihak yang pas-pasan tapi ngotot hendak bergaya sepertiku dulu.

Tapi setiap orang pasti memiliki periode kesesatannya sendiri, temasuk diriku
ini. Maka agar tidak tersesat kembali, rasanya penting membongkar-ngongkar
kesesatan lama untuk ditengok kembali. Sesat pertama ialah kebanggaan
menjadi barang tontonan itu.

Begitu penting menjadi tontonan itu sehingga soal-soal lain bisa aku
korbankan. Misalnya saja soal penghasilanku yang pas-pasan untuk membiayai
sebuah gaya yang belum semestinya. Tapi siapa peduli. Tontonan orang-orang
itu adalah soal yang menakjubkan hatiku. Berapapun harganya, harus
kubayarkan. Meskipun risikonya harus menguras seluruh keuanganku.

Betul-betul menguras. Karena sejak punya mobil itu, aku jarang sekali berada
di rumah. Bukan untuk selalu bepergian karena punya mobil baru, melainkan
karena harus ke bengkel melulu. Namanya juga mobil tua, meskipun gaya,
tapi mesinnya bobrok senantiasa. Hari ini anunya yang ngadat, besok itunya
kondor, besok lagi ininya lecek. Hampir tiada hari tanpa reparasi.

Ekonomiku saat itu benar-benar berdarah-darah. Tapi bagi pikiran yang


sedang sesat, bahkan sudah mau mati pun masih ingin gaya. Semua
kebangkrutan ini tak ada artinya jika sekeluar dari bengkel, aku sudah kembali
ke jalan raya. Kembali melaju dan semua mantap menatapku, tak peduli
apakah mereka sedang iri, bangga, atau malah iba. Menjadi barang tontonan
itulah kebutuhanku. Dan aku tak peduli jika risikonya adalah kebangkrutanku.

Kesesatan ini sejatinya akan menjadi-jadi jika tidak karena pengalaman di


sebuah lampu merah itu terjadi. Sebuah pengalaman yang mendebarkan.
Tegang ketika lewat di sebuah lampu merah, ada Jeep serupa telah lebih dulu
berhenti. Mobil sama-sama tuanya, sama-sama antiknya, dan sama-sama
gayanya. Secepatnya mobil itu akan kudampingi, aku akan menyapa sopirnya
sebagai sesama penyuka barang antik. Kepadanya akan aku tawarkan
program arak-arakan, membuat extravaganza dengan jeep-jeep tua tapi gaya.
Dan aku memang berhalo kepadanya.

Tapi astaga, lambaian tangan balasannya tak sehangat yang aku duga. Bukan
galibnya sambutan sesama penyuka jeep tua, tetapi lambaian orang yang
tengah sengsara. ''Ah, gara-gara aku punya mobil ini, jadi habis-habisan. Duit
melulu. Salah beli saya,'' kata orang ini dengan mimik sepenuhnya berisi
derita.

Wooo, kami hanya bertemu di lampu merah. Tapi orang ini sudah langsung
menyodorkan kepahitan hidupnya. Ini pasti karena saking sengsaranya cuma
karena dirusak oleh jeep antiknya itu.

Ya, ya…. Di dalam hidup ini, ada jenis kerusakan yang kita sangka adalah
sumber kegembiraan!

(Prie GS/Cn07)
Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post
Menggeser Definisi
Seorang teman yang memberi saya bunga hias dalam pot ini ternyata juga
memberi saya lebih dari sekadar bunga, yang ketika sedang musim, konon
harganya mahal sekali cuma untuk ukuran bunga. Terpenting dari itu semua,
ia memberi saya sebua definisi. Tepatnya, cara mengeser definisi. Karena dari
cara kita membuat definisi atas segala sesuatu, amat menentukan mutu kita
dalam menjalani segala sesuatu.

Semua bermula dari anggapan bahwa bunga dalam pot itu mahal harganya.
Merasa mendapat barang mahal, maka gugup juga hati ini. Bukan cuam
karena kerepotan mengurusnya, tetapi juga karena kerepotan menjaga
keamanannya. Repot mengurus karena bunga ini harus cukup panas matahari,
sehingga mutlak harus bertempat di luar rumah. Repot menjaga karena jika di
luar, ia rawan lenyap oleh pencuri. "Yang namanya kecurian, saya sudah
berkali-kali,'' kata si teman ini meyakinkan, betapa karena mahalnya, bunga
ini memang menjadi incaran pencuri.

Belum bunga ini saya terima, kerepotannya sudah membayang di depan mata.
Bayangkan jika setiap hari harus menjerang bunga ini di panas matahri dan di
malam hari ia harus diungsikan ke dalam rumah lagi. Betapa melelahkan
mengurusnya. Mengurus anak saja rasanya tidak serepot ini.

Hampir saja saya menolak pemberian yang berat syarat ini. ''Lho berat
bagaimana. Taruh saja bunga ini terus di tempatnya, asal ia cukup sinar
matahari,'' kata sang teman ini sambil tertawa. Tapi bukankah langkah ini
cuma akan menjadi garapan pencuri? Tanya saya segera.

Oo, teman saya yang agaknya telah kenyang kecurian ini ternyata lelah juga
memindah bunga-bunganya. Akhirnya ia membiarkan bunga-bunga itu tetap di
tempatnya dan soal risiko kecurian itu tak lagi menganggu pikirannya.
Darimana ia memperoleh ketenangan ini, apakah akibat putus asa? Tidak.
Melainkan semenjak ia mengganti definisi tentang aryi kata kecurian itu.
Menurutnya, yang namanya mencuri itu sekadar memindahkan barang, tetapi
barang itu sendiri tidak hilang. ''Cuma berpindah tempat,'' katanya.

Jadi sejak saat itu, ia tidak menganggap bunganya yang dicuri itu sebagai
hilang, melainkan sekadar berpindah tempat. Dan efeknya, risiko kecurian
bukan lagi soal yang membuatnya tegang. Dari perubahan satu definisi,
perubahn yang lain segera mengiktui. Misalnya ia mulai merasa aneh melihat
ada orang yang memagari rumahnya sepeti penjara saja layaknya. Sudah
tinggi, dilapisi kawat berduri, di tanam pecahan kaca dan kalau perlu dialiri
strum segala.

Tetapi seluruh upaya pengamanan seperti ini ternyata cuma menjadi


pekerjaan yang sia-sia belaka. Pencuri yang ditakuti itu tidak pernah masuk ke
rumahnya, perampok juga tidak. Ia aman-aman saja dari risiko yang amat
dicemaskannya. Bahaya itu ternyata tidak datang dengan cara melompat pintu
gerbang, menerobos kawat berduri dan melewati pagar beraliran strum listrik.
Bahaya itu ternyata malah datang dari arah yang tak disangka-sangka yakni
dari kelakuannya sendiri.

Di kantor, orang ini ini ternyata sedang diduga korupsi. Dari duit itulah ia
dicurigai memegahkan rumahnya yang berlilit kawat berduri itu. Rumah yang
ia sangka aman, tetapi tidak sanggup mengamankannya itu. Sementara
rumahnya begitu megah, ia malah harus tinggal di pengapnya kamar tahahan.

Orang ini, jika mau sejak awal mengeser definisinya tentang rasa aman,
barangkali tak akan bernasib seperti ini. Keamanan itu ternyata amat
tergantung pada kelakuan. Jadi kualitas kita dalam membuat definisi, ternyata
amat menentukan mutu hidup di kelak kemudian hari.

(Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post

Oprah Winfrey dan Kertas Tisu


Saya menyukai Oprah Winfrey Show. Tidak ada yang istimewa karena saya
pasti cuma bagian dari berjuta-juta penggemar show yang luar biasa ini. Tapi
izinkan saya mengemukakan alasan pribadi kenapa saya menyukai orang ini,
lebih dari ketrampilannya sebagai pewawancara, tetapi lebih karena
sensivitasnya sebagai manusia. Menurut saya, itulah kekuatan terbesar Oprah.
Ia sukses menghidupkan pertunjukkannya karena ia menghidupkan
kemanusiaan.

Ketika 20 tahun genap umur perusahaannya, ia menerbangkan ratusan


karyawannya piknik ke Hawai dengan mencarter 5 pesawat. Sebuah keputusan
yang disambut teriakan gembira oleh seluruh pekerja dan beberapa di
antaranya harus berlinang air mata. Kenapa? Karena bahkan di antara
karyawan itu ada orang-orang yang belum pernah sekalipun naik pesawat.
Piknik ke Hawai itu adalah salah mimpi besar mereka.

Tetapi kabar gembira ini belum lengkap. Belum rampung para karyawan itu
bergembira, Oprah yang terdiam sejenak sudah menyambung lagi: ''Dan
kalian semua boleh mengajak keluarga!'' Teriakan karyawan itu meledak
gegap gempita. Air mata gembira berhamburan di banyak mata. Menonton
adegan ini, Anda harus siap kertas tisu. Tapi menonton acara Oprah, memang
harus selalu menyediakan penghapus air mata.

Oprah membawa ke depan hidung kita, aneka jenis peristiwa kemanusiaan


yang menggetarkan. Misalnya tentang seorang ibu pengidap kanker. Ketika
vonis dokter datang, ibu ini merasa batas hidupnya telah ditentukan. Mati
telah disiapkan. Persoalannya, ia memiliki suami yang tampan dan baik hati
serta putri semata wayang yang amat ia cintai. Berpisah dari putri kesayangan
inilah soal yang belum sanggup ia bayangkan. Tetapi waktu terus mendesak.
Dan ia harus melunaskan seluruh tugasnya sebagai ibu.

Maka setiap hari, kerjaannya adalah ngebut merekam gambarnya sendiri lewat
video. Isinya adalah kurikulum nasihat untuk sang putri, mulai dari soal
mencukur rambut, memilih pacar, hingga memilih suami kelak. Ibu yang hebat
ini akhirnya memang harus menjemput ajal, tapi putri tercintanya setiap hari
masih bisa mendengar nasihatnya. Kematian ternyata tidak memisahkan
komunikasi ibu dan anak. Melengkapi kebaikan hati wanita ini, sambil melawan
maut, ia sepenuhnya merestui jika kelak suaminya menikah lagi.

Si putri ini pun meremaja, dan sang ayah memang kembali jatuh cinta. Tidak
mudah bagi sang anak menerima ayahnya memiliki kekasih baru, apalagi jika
ia harus menjadi ibu baru. Ketika si anak mengatakan belum siap, sang bapak
tak memaksa, tetapi sabar menunggu. Melihat ada jenis keluarga yang
menetapkan standar kasih sayang demikian tinggi atas anggotanya, saya
hanya bisa mengumpulkan anak-anak plus emaknya. Kami menonton
bersama-sama talkshow ini. Dan kami ikut bersorak gembira ketika ibu baru
itu ternyata juga wanita yang tak kalah baiknya.

Ia membacakan kembali, surat izin dari anak tirinya itu, surat yang
mengizinkan ia menikah dan surat yang pertama kali menyebutnya sebagai
ibu. Kamera merekam mata ibu baru ini yang basah dan bibirnya yang
gemetar, Oprah meminta tisu dan seluruh penonton tercekam oleh rasa haru.

Jika saya menteri pendidikan, saya akan menginstruksikan agar Oprah Show
ini dijadikan sebagai kurikulum wajib di sekolah dan universitas, tak peduli
apakah saya akan dianggap sedang melanggar HAM. Karena orang-orang tulus
hati, perilaku yang mulia, orang-orang yang merawat rumah tangganya
sebagai harta tak terkira, manusia yang mencintai sesama dengan ketulusan
nyaris sempurna, amat dibutuhkan Indonesia. Orang-orang itu menggentarkan
kita langsung dengan kharisma perilakunya. Dan atas keteladanan seperti ini,
sungguh kita sedang amat dahaga!

(/Prie GS)
Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post

Wednesday, January 31, 2007

Begitu Hidupmu, Begitu Matimu


Keasyikan yang sangat, itulah perasaan saya ketika punya anak pertama.
Saking asyiknya, saya hampir lupa kalau ia sudah layak masuk TK dan ketika
ingat, hari penutupan sudah tiba.

Dengan tergopoh-gopoh saya mendatangi sekolah, sebuah sekolah yang


selama ini saya bayangkan akan menjadi sekolah anak-anak saya. Secara
emosional, saya merasa dekat dengan sekolah ini karena setiap hari
melewatinya. Saya menyukai halamannya yang luas, suasananya yang hidup
dan bentuk gedungnya yang berwibawa. Begitulah mestinya suasana sebuah
sekolah, pikir saya.
Tapi sekolah ini membuat saya kecewa. Bukan cuma oleh penolakannya yang
angkuh, tapi lebih pada tawarannya yang tak pernah saya duga. Bahwa
katanya, saya masih bisa memperoleh formulir pendaftaran secara diam-diam,
asal mau membayar biaya ekstra.

Saya memilih pulang dan patah hati. Saya lalu membayangkan wajah anak
saya yang tampangnya memang sudah memelas itu, dengan rasa iba.
Bagaimana mungkin saya membiarkan anak yang polos itu dididik oleh sekolah
yang doyan suap. Hidup saya sendiri sudah bergelimang dosa. Jalan satu-
satunya untuk mengurangi dosa ini ialah mencegah agar anak tidak
mengalami kesesatan yang sama. Begitulah pelajaran yang saya tarik dari
novel-novel mafia. Bahkan penjahat paling ganas pun ingin agar sang anak
tidak meniru cara hidup bapaknya.

Tapi konsekuensi dari penolakan atas tawaran ini sungguh tidak ringan. Anak
saya harus sekolah, dan sekolah yang masih membuka diri tinggal satu-
satunya, sekolah yang sebetulnya sangat ingin saya singkiri karena kemahalan
tarifnya. Saya terperangkap dalam sikap iba dan ngeri yang kedua kali. Iba
pada nasib saya sendiri dan ngeri pada jenis pendikan yang boros ini. Jika
keputusan akhirnya tetap dijatuhkan, bukan karena kekuatan ekonomi saya,
tapi lebih pada bisikan gaib saja: daripada murah tapi menyuap, mending
mahal tapi legal, begitu sang gaib berkata.

Ilustrasi ini saya ceritakan bukan karena ada keinginan untuk menjadi suci.
Tidak, ini ilustrasi orang yang sedang takut saja. Dari awal saya percaya
karma. Karma itu bukan klenik tapi matematika alam saja. Bahwa bau
keringatmu tergantung jenis makananmu. Jika engkau ada di tempat ber AC
maka engkau akan pipis melulu dan jika kebanyakan makan sambal, pasti
berisiko terserang sembelit. Itu adalah hukum-hukum yang nyata belaka.
Jelas, tidak butuh sekolah tinggi untuk mengerti dan tidak perlu menjadi orang
suci untuk bisa mempercayai. Jenis akibat selalu tergantung pada jenis sebab.
Cara mendapatkan, sejalan dengan cara kehilangan, karenanya cara hidup,
akan menentukan cara mati.

Maka saya sering memilih menyerah pada hukum yang jelas itu. Bukan karena
ingin menjadi mulia, tapi karena terlalu berbahaya untuk menentangnya.
Lagipula penyerahan terhadap hukum itu akan membuat hidup jadi praktis.
Dalam melihat mutu seorang pemimpin pun, pandangan ini menjadi efesien.
Tidak perlu susah-susah menyeleksinya lewat debat publik, membentuk
pansus, membuat komisi pemantau kekayaan segala.

Pokoknya jika ada calon pemimpin yang ngotot menawar-nawarkan diri, orang
ini pasti lebih kuat keinginannya katimbang kualitas kepemimpinannya.
Pemimpin yang menjadi pemimpin karena memaksa, ia pasti cuma ingin
berkuasa, tidak benar-benar ingin menjadi pemimpin. Seorang penguasa
memang bisa saja jadi pemimpin, tapi sebetulnya, kekuasaanlah yang menjadi
cita-citanya, bukan demi perbaikan mutu hidup yang dipimpin dan mutu
wilayahnya.
Karena telah jelas apa maunya, maka pemimpin semacam ini bisa
menggunakan cara apa saja unutk berkuasa. Bisa menggunakan uang dan
berani pula mengumbar kebohongan. Jika uang menjadi landasannya, maka
wajar jika kekuasaan akan segera menjadi barang dagangan. Modal tak cuma
harus dikembalikan tapi harus disertai keuntungan. Jika mencari untung
adalah pijakannya, maka semua elemen kekuasaan akan dilihatnya sebagai
sumber pemasukan. Jika bohong sudah menjadi kebiasaannya, maka tak ada
bedanya pemimpin ini dengan seorang penipu. Di tangan seorang penipu, tak
sulit membayangkan apa jadinya sebuah keadaan.

Hukum sebab-akibat, matematika alam dan rumus-rumus kenyataan ini begitu


sederhana, tapi masih saja banyak pihak yang belum percaya. Buktinya selalu
ada saja pemimpin yang salah jurusan, yang merasa mampu, dan malah
berani mematungkan dirinya sendiri untuk kemudian cuma dirobohkan dan
diludahi.
Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 1 comments Links to this
post

Anting Tukang Siomay


Berhentilah berharap dari orang lain maka semua manusia akan menjadi
saudara. Pelajaran ini diberikan oleh tukang siomay yang lewat di depan
rumah. Dia anak muda dengan anting di kupingnya.

Aku menyukai siomay tapi terancam batal membeli dari penjual ini gara-gara
kupingnya. Bagiku cuma rokcer dan semacamnya yang layak beranting. Hanya
seniman yang layak berambut gondrong dan menguncir rambut. Tapi kuli
bangunan tidak, abang bakso, penjual sayur, apalagi penganggur, harus
menyadari kedudukannya. Ia harus tahu diri dan memakai azas kepantasan.

Terhadap orang lain, tiba-tiba aku memasang banyak keharusan. Jika engkau
datang hanya untung menghutang, maka lagakmu harus sopan sempurna.
Jangan berbantah, jangan membuat gara-gara. Jika ia tahu maksud
kedatanganmu dan lantas bermuka masa karena itu, terimalah. Jika dia
menunjukkan superioritasnya karena merasa telah berjasa menolongmu,
sabarlah. Jika dia membuat humor, meski tidak lucu, tertawalah.

Jika engkau cuma seorang pembantu, idetintas itu harus kau tegaskan bahkan
mulai dari pakaianmu. Jika engkau perempuan, jangan menjadi bersih dan
cantik. Kecantikan semacam itu tidak layak bagimu karena hanya akan
memancing komentar: "Dia terlalu cantik untuk menjadi pembantu." Jadi
pahamilah, bagi pembantu, menjadi pintar dan cantik itu suatu kekeliruan.
Pembantu harus selalu bodoh dan buruk rupa.

Jika engkau menjadi semacam anak asuh, posisi yang dianggap setingkat lebih
baik dibanding pembantu tapi tetap saja sebuah posisi yang kau dapat karena
kemiskinanmu, jagalah dengan teguh kenyataan itu. Jangan pernah sok akrab
apalagi sok menjadi anggota keluarga jika tidak diminta. Jika orang tua
asuhmu tak punya pembantu, engkaulah pemeran pengganti itu. Engkau harus
bangun paling pagi dan tidur paling larut karena engkaulah yang harus
memastikan apakah semua pintu telah terkunci. Engkau pula yang harus
membuka pintu itu pagi-pagi sekali.

Ingat, siapapun orang tua asuhmu, dia adalah malaikat penolongmu. Karena
dia, engkau bisa sekolah dan makan tidur gratis tanpa harus mendapat
sebutan anak kos. Maka jika kau dapati mereka pulang berbelanja,
tergopohlah engkau menyongsongnya. Jika harus semobil bersama, tunggulah
giliran paling akhir, di kursi mana engkau harus berada. Jika orang tua asuhmu
itu nanggung ekonominya, jika mobilnya cuma sekadar angkutan bak terbuka,
engkau malah harus siap duduk di bak belakang menjadi serupa barang.

Maka jika engkau sekadar tukang somai, hak seperti apakahkah yang
mebuatmu berani memasang anting di kuping? Ini sungguh tidak layak.
Karena hanya kuping anak muda kaya dan modern saja yang boleh dilubangi.
Hanya mereka yang boleh berdandan semaunya. Engkau tidak. Anting di
kupingmu itu jelas pengingkaran dan ini membuatku menolak siomaymu jika
tidak perut dan lidahku ngotot memintanya.

Ya sudah, aku pun menyerah. Dan hebatnya, setelah siomay itu ku kunyah,
tak ada rasa kuping dan anting di dalamnya. Ia enak seperti yang aku duga.
Jadi, betapa anting itu tak ada hubungannya dengan makanan apalagi dengan
mutu hidup manusia. Maka izinkan aku memakan siomaymu dengan rasa
bersalah.
Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 0 comments Links to this
post

Bapak Berkaos Singlet


Pagi, saat mengantar anak sekolah, adalah saat yang penuh dengan tawa.
Bukan cuma karena geli melihat istri yang selalu berantem dengan anak-anak
karena perbedaan persepsi di kepala mereka. Sementara si anak tak pernah
tahu artinya buru-buru, si ibu tak pernah tahu artinya santai. Bagi anak, tak
ada rumus terlambat ke sekolah. Meksipun jam sudah mepet, anak ini malah
bisa sibuk mencari baterai mainanya yang hilang, tangan robotnya yang patah
atau ban mobil mainnya yang terlepas.

Jadi, soal yang amat penting bagi anak, adalah soal yang amat tidak penting
bagi ibu. Karena nyatanya selalu saja ada perlengkapan anak yang kurang, di
mana dasinya, di mana tas dan astagaa... malah ada pula pekerjaan rumah
yang lupa dikerjakan!

Sementara kepala ibu menguap karena kemarahan, si anak pilih meraung-


raung meratapi tangan robotnya yang benar-benar hilang. Jadi antara yang
marah dan yang dimarahi tidak nyambung. Dan pagi hari, ketidak
nyambungan seperti ini adalah sarapan pagi kami.

Ketika kami sampai ke jalan raya, kelucuan itu malah menjadi-jadi. Kami
melihat banyak sekali anak-anak sekolah bermotor tanpa helm dengan
kecepatan tinggi. Pemandangan ini menarik, karena begitu banyak ternyata
para orang tua yang membelikan motor hanya untuk membunuh anak-
anaknya sendiri. Mereka membiarkan anak-anaknya ngebut sedemikian rupa
tanpa menyayangi kepalanya sendiri. Jika terhadap kepala sendiri saja tidak
menghargai, anak-anak semacam itu pasti juga sulit untuk diminta
menghargai nyawa orang lain.

Jadi dari ngebut tanpa helm itu menandakan, bahwa pelajaran bunuh diri dan
membunuh orang lain memang justru bisa dimulai dari rumah. Malah tren itu
sekarang makin menjadi-jadi: pengendara motor itu makin lama makin
mengecil. Jika semula SMU sekarang mulai ke SLTP dan SD. Dan anak-anak ini
tampak lebih menikmati keenakannya semata katimbang menimbang
risikonya. Adakah anak sekecil itu sudah sanggup berurusan pada polisi, sudah
sanggup bertanggung jawab jika menabrak orang hingga mati? Jadi, ada orang
tua menyayangi dengan cara membuatnya celaka.

Tapi anak-anak ini juga tidak sendirian. Karena di jalan raya yang sama, kami
juga bisa melihat ada orang tua yang bermotor tidak cuma tanpa helm,
melainkan cuma dengan kaos singlet. Pemandangan ini sungguh memiliki
kandungan humor yang luar biasa karena aksi ini menjadi tumpukan watak
salah sangka. Orang ini pasti menyangka bermotor dengan bersinglet ini gaya,
padahal yang terjadi tak lebih dari kenekatan belaka. Kenapa? Karena singlet
ini dipilih, biasanya karena dua alasan: pertama karena si bapak ini merasa
gede badannya, dan kedua, karena biasanya untuk pamer tato di lengannya.

Dua hal inilah yang sebetulnya menggelikan. Karena segede-gedenya otot, ia


tidak pernah bisa menang melawan angin. Jika kebiasaan ini diteruskan dalam
jangka waktu yang lama, pastilah bapak berbadan gede ini akan gampang
masuk angin dan rawan terserang banyak penyakit. Membiarkan diri digerogoti
penyakit tentu sebuah perbuatan bodoh. Anak-anak pasti juga tidak bangga
memiliki bapak bertubuh gede padahal penyakitan diam-diam.

Terus, jika singlet itu dipilih untuk menunjukkan tato di lengannya,


pemandangan seperti itu juga salah jurusan. Tato sebagai seni, bisa saja. Tapi
ajang pamerannya tentu bukan di jalan raya, di pagi hari sambil mengantarkan
anak sekolah seperti ini. Tapi kalau tato itu tidak ia perlakukan sebagi seni,
tapi sekadar untuk menakuti-nakuti orang, tujuan ini justru lebih menggelikan
lagi.

Sekarang ini banyak pihak bertato yang telah ramai-ramai mengubur tatonya
dengan segala yang cara. Ada yang sekadar ditutupi, dan ada pula yang harus
disterika segala. Para pemakai tato untuk gagah-gagahan itu biasanya malah
pihak yang sering dimuat di koran-koran kriminal sebagai korban bacok salah
sasaran atau kriminal yang menjadi objek amuk massa. Jadi, anak-anak tentu
tidak berbangga hati jika bapaknya cuma disamakan kelasnya dengan orang-
orang yang wajahnya menghiasi koran dan televisi sebagai kriminal
kambuhan.

Maka, saat pagi mengantar anak-anak sekolah, jalan raya yang padat itu,
selain membawa kemacetan juga membawa kegembiraan karena humor di
dalamnya.
Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 1 comments Links to this
post
Labels: bapak, berkaos, singlet

Andai Aku Engkau Percayai


Sulit benar membuat orang lain mempercayai pihak lain, walau untuk hal-hal
yang sederhana sekalipun. Soal lampu rem misalnya. Jika ia menyala, pasti
ada ada hambatan di depan. Maka sudah sepantasnya, si belakang mengikuti
si depan karena depanlah yang tengah menjadi imam, melihat dengan mata
kepala sendiri, paling menguasai data dan informasi.

Tapi karena azasnya sudah tidak dipercayai, maka otoritas ini sering dianggap
sepi. Saat itu, akulah yang mestinya paling berhak untuk mengerti bahwa di
depan ada becak yang hendak menyeberang. Biarlah ia lewat, karena
bebannya berat amat. Kalau ia harus berhenti dan menggejot dari awal lagi,
tentu repot sekali.

Tapi keputusanku ini ternyata cuma membuat mobil di belakang itu salah
paham. Baru aku menginjakkan rem saja klaksonnya sudah menyalak galak
sekali. Tapi keputusan telah ditetapkan, dan abang becak telah mengambil
jalan. Hanya si mobil belakang ini juga telah membulatkan hati: memilih
menyalipku katimbang ikut berhenti. Maka yang terjadi terjadilah.

Seterusnya ia harus kaget setengah mati ketika becak itu nongol begitu saja di
moncong mobilnya. Ia menginjak rem sekuat yang ia bisa. Tabrakan keras
memang tidak terjadi tapi sekadar ciuman bumper pun itu telah membuat
sang becak terguling. Muatan buahnya yang menggunung berhamburan ke
sekujur jalan. Sebagai kecelakaan ia tidak ngeri, tapi buah-buah yang
berhamburan itu benar-benar telah menjadi provokasi tersendiri.

Jalanan macet seketika. Si mobil dibelakangku pucat pasi. Ia seorang lelaki,


terpelajar, tapi saat itu sudah berubah menjadi orang dogol. Posisi mobilnya
secara mencolok mengatakan bahwa dialah biang keladi kemacetan ini. Semua
pihak kini menudingnya. Dan abang becak yang terkapar, ini entah belajar
teori drama dari mana, membangun sensasi. Ia membiarkan saja becaknya
telentang. Ia sendiri dengan ketenangan seorang jagoan, memilih bangkit dan
berjalan menghampiri si pengemudi dan langsung menghajarnya.

Cerita selanjutnya bukan urusanku lagi. Tapi tak sulit merekonstruksi ending
insiden ini. Betapa tidak enak membayangkan pengemudi mobil tadi, seorang
yang tampak terpelajar, bertampang bersih, tapi cuma jadi bahan olok-olok
lingkungan dan dipukuli abang becak lagi. Padahal, jika ia mau sedikit
bersabar, dan terpenting, mau mempercayaiku untuk ikut berhenti, musibah
ini tentu tidak akan terjadi. Tapi begitulah memang keadaan di negeriku,
orang lain tak pernah dibiarkan menjadi imam, walau ia memang tengah
memegang otoritas yang sesungguhnya.
Inilah kenapa kita selalu terdorong main klakson kepada mobil yang ada di
depan. Itulah kenapa dalam hal antre, leher kita cenderung terjulur demikian
panjang untuk selalu gatal menginterogasi keadaan di depan. Padahal di depan
itu sering tidak terjadi apa-apa. Kemacetan itu masih baik-baik saja. Sekeras
apapun klakson ini engkau ledakkan, engkau masih akan macet juga jika
waktu lancar memang belum tiba. Pada gilirannya, antrean pasti akan
bergerak maju dengan caranya sendiri. Jika semua masih terhenti, pasti
karena masih ada persoalan. Tapi biarlah itu persoalan yang di depan. Kita di
belakang sini, tinggal mempercayai. Berat memang, tapi inilah ongkos hidup
bersama. Harus ada semacam tebusan sebagai ongkos kepercayaan.

Ketidaksabaran membayar ongkos inilah yang membuat hidup bersama sering


dilanda kekacauan. Para imam, pemimpin, dan pihak yang di depan itu,
memang bisa saja menyelewengkan kepercayaan. Kita boleh kecewa tapi tak
perlu trauma. Karena untuk hidup bersama, manusia memang butuh saling
percaya. Soal bahwa sesekali kita tertipu, tidak usah diherankan pula. Siapa
yang sama sekali bisa membebaskan diri dari nasib sial? Rasanya tak ada.
Maka jika saat itu aku engkau percayai, engkau pasti tak akan dipukuli. Oleh
abang becak lagi. (cn05)
Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: aku, andai, engkau, percayai

Merenung Sampai Mati..


Aku sering memandangi rumahku berlama-lama. kadang dari dekat, kadang
dari kejauhan. Bukan untuk menggumi keindahannya karena rumahku kecil
saja, berantakan pula. Namun, semua tentang rumahku, aku menyukainya.

Memandang rumahku, aku jadi memandang diriku sendiri juga kekayaanku.


Sebagai diriku, ia menggambarkan betul watakku, kebaikanku juga
keburukanku.rumah itu serba gelap, tak pernah dicat, tak pernah
dirampungkan sebagaimana layaknya sebuah rumah.

Ada tembok yang tidak rata, ada lantai dari marmer perca, ada sudut tidak
simetris, ada tanam-tanaman yang cukup siraman,tetapi tak cukup perawatan.
Rumah ini benar-benar bukan hasil karya seni, tetapi hasil spekulasi. Spekulasi
dari relasi hidup yang cuma bisa kujalankan dengan cara merambat. Setindak
demi setindak. Dan, rumahku adalah kumpulan dari tindak demi tindak itu.
Bukan sebuah kesatuan makanya di banyak sudut seperti Cuma berisi
kesalahan.

Begitulah hidupku, lengkap dengan kesalahan yang kuperbuat adalah


kenyataan yang menggembirakan hatiku. Hidup, lengkap dengan kesalahan,
sungguh merupakah kesempurnaan. Maka memandangi kesalahan itu setiap
kali sungguh sebuah kegembiraan.

Padahal, di rumahku tidak Cuma ada kesalahan-kesalahan hidupku, tetapi juga


ada anak-istriku. Di dalam rumah itulah aku dan keluargaku tumbuh,
menyejarah dan menjalani hidup ini dengan segenap cobaan dan berkah-
berkahNya. Memandang anak-anak tertidur, sering melelehkan air mataku.
Mulia sekali rasanya kualitasku saat terharu seperti itu. Namun, begitu anak-
anak itu terbangun, mengobrak-abrik apa saja, membuat kegaduhan, menjadi
anak-anak yang menjengkelkan, lalu terlihatlah kualitas kelakuanku. Aku
ternyata tak lebih dari bapak-bapak kebanyakan yang gampang didikte oleh
kemarahan, terutama jika kenyamanan dirinya terganggu.

Aku jelas bukan orang kaya, akan tetapi, semua simbol orang kaya telah
kulengkapi hampir seluruhnya. Butuh apa saja di rumahku ada dan tersedia,
sepanjang kebutuhan itu cuma seperti kebutuhanku. Mau makan apa saja
yang menjadi kesukaanku ada: pisang goreng, kacang rebus hingga juadah
bakar. Istriku telah pintar membuatnya.

Mau jajan apa saja terlaksana karena di depan rumah mengalir tanpa henti
jajanan kelilingan. Ada yang generik model mi ayam, mi kopyok, siomay, ada
pula yang baru dan aneh-aneh seperti telur grandong dan upil macan, jenis
makanan yang tak hendak aku jelaskan di sini karena keanehannya. Malah ada
pula jajanan kuno yang sesekali masih bisa ditemui seperti arum manis dan
gulali.

Di rumahku juga tersedia kolam renang meskipun bukan untuk manusia,


melainkan untuk renang ikan-ikan. Ikan pun bukan jenis louhan dan arwana,
tetapi cukup jenis sepat dan mujahir, dan wader saja, yang tak perlu dirawat
pun tahan hidup lama. Mau mendengar semua jenis kicau burung piaraan juga
ada sepanjang ia adalah jenis tekukur, kutilang, dan puter. Aku juga
memelihara banyak burung gereja di sela-sela atap rumahku.

Mau bersantai dan menghibur diri juga tak perlu bingung. Televisiku, meskipun
kecil dan kuno, masih kuat menyala seharian-semalaman. Mau nonton konser
apa saja, film apa saja, talkshow apa saja...semua ada. Mau sekadar
mendengar musik dan karaoke? Malah cukup mendengarkan VCD tetangga
yang bisa menyetel karaokenya sampai terdengar ke lain desa.

Aku kaget sendiri ketika di rumahku semuanya ada. Ternyata kaya sekali aku
ini. Jika kamu memiliki tingkat kebutuhan cuma seperti kebutuhanku dan
memiliki aset sepertiku, marilah kita merasa menjadi orang kaya bersama-
sama.
Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 0 comments Links to this
post
Labels: mati, merenung, sampai
Newer Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Merenung Sampai Mati


Blog ini berisikan kumpulan tulisan dari Prie GS, seorang Penulis sekaligus
Kartunis asal Semarang, Jawa Tengah. Merenung Sampai Mati, adalah buku
pertama beliau yang saya baca. Tulisan-tulisannya yang sederhana,
menggelitik, kritis ternyata dapat sekaligus menampar kesadaran terdalam
dari setiap manusia yang mengaku masih punya akal dan perasaan :d

Thursday, January 31, 2008

Pergi Hanya untuk Kembali!


PAK Harto mangkat dan bendera setengah tiang dikibarkan di sekujur
Indonesia, termasuk di kampung saya. Kematian tokoh ini memberi banyak
pekerjaan rumah tidak cuma bagi Indonesia, tetapi juga bagi kedisiplinan di
rumah saya. Betapa berantakan keadaannya karena bendera itu baru saya
temukan setelah seluruh almari saya obrak-abrik sedemikian rupa. Betapa
buruk perhatian saya pada negara, jika perhatian kepada bendera menjadi
salah satu indikatornya.

Ketika bendera itu sudah ketemu, saya baru ingat, bahwa tiangnya yang ganti
tidak ada. Yang ada cuma kotak beton tancapannya. Kotak ini pun baru saya
temukan belakangn karena baik tiang maupun kotaknya sama-sama mudah
dilepas dan dipindah. Jadi entah oleh keisengan siapa barang ini pernah lenyap
dari rumah dan saya butuh keliling kampung untuk kembali menemukannya.

Akhirnya bendera setengah tiang saya kibarkan, saya menyapu daun-daun


kering di bawahnya. Saya singkirkan kerikil dan apa saja yang mengotori
lokasi tiang bendera saya yang sempit itu. Untuk ikut melepas jenazah Pak
Harto saya tidak perlu ke Cendana atau ke Astana Giri Bangun karena pasti
percuma. Bukan cuma akan gagal masuk, tapi salah-salah malah bisa
tergencet massa. Maka saya merasa bebas melakukannya dari halaman rumah
saya sendiri. Dan tidak ada perintah politik apapun yang membuat saya
melakukan keputusan ini.

Begitu juga dengan tetangga-tetangga saya. Saya melihat bendera setengah


tiang rapi dikibarkan di sekujur kampung. Ini pasti juga bukan kepatuhan
politik. Tetapi memang begitulah cara kampung kami mengajarkan, bahwa
setiap jenazah yang hendak diberangkatkan siapapun ia, harus dibekali
kesaksian tentang kebaikannya. Tegasnya, terhadap jenazah, kami dimohon
menatap cuma kebaikan-kebaikannya. Maka keadaan seperti itulah yang
terjadi ketika Pak Harto tiada. Itulah kenapa duka cita bisa demikian serempak
berlangsung di Indonesia.

Tapi adakah pihak yang hari ini yang berduka dan yang kemarin menurunkan
Soeharto dari kekuasaan itu adalah pihak yang sama? Bisa jadi. Dan inilah
persoalan terbesar manusia yakni kesulitannya memisahkan diri dari ironi.
Manusia bisa mencintai sedemikian rupa untuk akhirnya cuma membenci
sedemkian rupa. Setelah membenci sedemikian rupa, ia bisa jauh cinta lagi
sedemikian rupa. Saya punya teman yang jika pergi selalu terburu-buru, tetapi
jika sudah sampai tujuan, selalu ingin kembali juga secara buru-buru. Jadi
pekerjaan orang ini sebetulnya bukan pulang bukan pergi, melainkan sekedar
terburu-buru itu sendiri. Terburu-buru untuk apa? Untuk sesuatu yang tidak
jelas bentuknya. Seperti Sisipus itulah; mahkluk yang dikutuk untuk bolak-
balik mengangkat batu ke atas bukit cuma untuk dijatuhkannya kembali.
Selalu ada ''Sisipus Kompleks'' dalam hidup kita. Kita bisa membenci seorang
copet habis-habisan untuk kembali iba setelah ia babak belur dihajar massa.
Saya pernah begitu marah pada anak saya gara-gara ia menghapus tulisan di
komputer, tetapi langsung gemetar oleh rasa iba begitu melihat anak itu pucat
oleh ketakutan dan rasa bersalah. Naluri Sisipus memang bersemayam dalam
diri kita. Dan ia sesungguhnya bukan kutukan, melainkan naluri yang wajar
dan menyehatkan. Di mana letak kesehatan itu berada? Di dalam batas!

Marah dan iba saya kepada anak saya itu, adalah keasyikan yang
menyehatkan hidup, jika persoalannya memang sekadar ia menghapus tulisan
di komputer, batapapun susah-payah saya menulisnya. Ia tak perlu jadi anak
durhaka karenanya. Saya malah makin bisa mencintai anak ini setiap
terbayang kembali wajahnya yang pucat dan matanya yang berleleran air
mata. Ya, saya atau siapapun kita, sebetulnya bisa mencegah ironi-ironi hidup
ini jika mengerti batas!

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Thursday, January 31, 2008 1 comments Links to this
post
Labels: baru

Wednesday, January 30, 2008

Teman Masa Kecilku


Pelajaran kepemimpinan yang kudapat pertama kali ternyata berasal dari
teman-teman masa kecilku. Eloknya, mereka adakah teman-teman yang
sangat ku kenang justru karena kenakalannya. Misalnya si A yang dikenal
kikir. Terkenal sekali kemampuan anak ini dalam soal jajan tidak bayar. Jika
masuk ke kantin sekolah ia seperti bebas makan apa saja. Jika kantin sedang
ramai ia tinggal ngeloyor pergi sambil menbentak bahwa teman di sebelah
yang sedang makan itulah yang nanti akan bayar. Jika kantin sedang sepi
pembeli dan ia datang sendiri, ia tinggal bilang ngutang pada penjaganya,
seorang ibu tua yang baik hati.

Ngemplang? Tidak. Ia akan datang di lain kesempatan bersama rombongan


dan salah satu di antaranya ia jebak untuk membayar hutangnya yang
kemarin. Jika ia akan gantian dijebak, diajak jajan bersama dan dialah nanti
yang harus membayar, ia memiliki ketangguhan untuk bertahan secara ekstra.
Ia mengajak adu kuat, siapa yang nanti lebih dulu akan mengeluarkan
uangnya. Jika semuanya bertahan sama kuat, ia akan berteriak pada pemilik
kantin: ‘’Siapa yang nanti yang akan membayar, hanya Tuhan yang tahu,’’
katanya. Sudah tentu, salah satu dari kami terpaksa harus mengalah
katimbang malu.

Kenapa anak ini selalu sukses menjalankan aksinya? Apakah karena begitu
mudahnya kami ditipu? Tidak. Jika mau saat itu kami bisa mengeroyoknya dan
memukulinya habis-habisan. Kami rela dikerjai karena kami gembira dengan
ulahnya. Ia menipu kami tetapi dengan cara-cara yang lucu. Malah di sekolah
anak ini jadi terkenal sekali. Gayanya menjadi bahan cerita di mana-mana.
Belum lengkap rasanya menjadi murid sekolah kami jika belum pernah ditipu
oleh anak ini. Dan setiap saat, para korban itu bisa saling bertukar cerita
sebagai sebuah kegembiraan.

Inilian bibit leadership itu. Seorang pemimpin bisa jadi tidak ideal, bisa jadi ia
nakal dan keliru perilaku. Tetapi apapun kebencian kita kepadanya, seperti ada
yang menarik-barik kita untuk tetap takjub kepadanya. Tetapi inilah kehebatan
pemimpin itu ternyata: betapapun ia keliru, jumlah kekeliruannya itu, setelah
dihitung-hitung, selalu lebih kecil dibanding nilai kebaikannya. Si kikir ini,
memiliki energi kegembiraan yang amat kami kenang hingga kami dewasa dan
tersebar di mana-mana. Apa yang kami keluarkan untuk tipuannya itu,
rasanya kecil saja jika dibandingkan dengan kegembiraan kami saat
mengenang kenakalannya.

Lepas dari si A saku terkenang pada B. Anak itu begitu pendiam dan bicara
cuma kalau ditendang pantatnya. Tetapi cukup dengan sekali bicara ia akan
langsung menggemparkan. Malah yang sering, ia tak perlu berkata-kata untuk
menyulut kegemparan. Suatu kali kami, sekelompok anak-anak kampung ini
menyambut riang gembira ketika Pak X datang dengan kerbaunya untuk di
gembalakan di tanah lapang yang biasa. Entah bagaimana ceritanya, antara
penggemabala dan kerbaunya itu, adalah pihak yang amat kami sayangi.
Sama-sama baik. Yang kerbau jinak dinaiki, yang penggembala dengan sabar
membiarkan kami, anak-anak nakal ini untuk ramai-ramai naik ke punggung
kerbaunya. Hewan itu sudah dewasa dan muat tiga sampai empat anak seusia
kami.

Tak setiap hari Pak X datang ke lapangan kami. Maka hari-hari ia datang, amat
kami tunggu dan kami hafali. Dengan gembira kami mengatur strategei
bagaimana nanti cara naik ke punggung kerbau, dengan siapa yang akan
menjadi tangaanya, berapa jumlah anak setiap ‘’kloter’’-nya, dan berapa lama
kami ada di sana, mengingat jumlah kami banyak sekali. Begitu semangatnya
kami menyiapkan manajemen naik kerbau ini dan lupa memperhitungkan B
yang sejak awal cuma diam seperti arca.

Tahu apa yang terjadi? Begitu kerbau itu datang, begitu kami besorak-sorak
gembira, begitu kami sudah saling hendak menyusun anak tangga, si B ini,
tanpa diduga melangkah dengan pasti. Dengan sebatang ranting di tangan ia
langsung membuat tindakan luar biasa gila: menyogrok dubur hewan baik hati
itu. Kerbau yang semula manis itu langsung melonjak kaget dan menjadi kalap
seketika. Seluruh anak-anak bubar, sang penggembala berteriak-teriak seperti
orang gila dan si B lenyap entah kemana. Apakah kami marah? Tidak! Kami
tertawa tergelak-gelak dan menghormatinya oleh sebuah alasan yang entah.
Tetapi yang jelas, di mata kami, keputusan yang dia ambil itu luar biasa. Tidak
pernah kami pikir, dan kalau terpikir pun pasti bukan tindakan yang kami
berani melakukannya.

Begitulah pemimpin. Ada sesuatu yang bisa jadi tidak selalu kita setujui, tetapi
untuk sebuah alasan, sulit untuk tidak kita hormati. Hai penyogrok kerbau, di
manakah gerangan sekarang engkau!
Posted by Prie GS at Wednesday, January 30, 2008 0 comments Links to this
post
Labels: baru, nostalgia

Monday, January 28, 2008

Betapa Ingin Saya Dicemburui


Sebagai suami, sangat ingin saya melihat istri cemburu. Tapi ternyata
keinginan ini tidak mudah. Berbagai godaan telah saya coba, tapi hasilnya nihil
belaka. Di tempat-tempat umum, saya secara terus terang sering menatap
wanita-wanita yang lalu lalang. Jika ada yang cantik saya mengaguminya
secara terbuka. Dan hebatnya, istri saya malah ikut berkomentar serupa.

Tentu saya kecewa dan segera mengubah taktik. Dengan melihat wanita lain
secara diam-diam, barangkali akan lebih membuat panas hatinya. Tapi
hasilnya malah lebih gawat. Karena saya beraksi diam-diam, dia juga cuma
diam, dan akhirnya memang tidak terjadi apa-apa. Bahkan untuk membaca
tanda, apakah dia tahu apa yang saya lakukan pun sama sekali tak bisa.

Sebagai lelaki, saya terancam rendah diri. Saya membayangkan dengan rasa
iri, teman-teman lain, para suami yang sangat dicemaskan oleh istri-istri
mereka. Apakah gerangan salah saya? Pekik saya dalam hati. Oo jangan-
jangan karena istri saya pernah terprovokasi oleh gurauan teman karib saya,
seorang yang sangat suka bercanda dan sudah sangat terbuka dengan
keluarga kami.

Di suatu kesempatan, kami, dua pasangan keluarga lengkap dengan anak-


anak, berkencan untuk berlibur bersama. Di tengah keramaian, saya sempat
tersesat dari rombongan dan istri saya bingung mencari-cari. Ketika ketemu,
bukan rasa syukur yang ia gambarkan, tapi sikap geli. ''Kenapa?'' tanya saya
penasaran. Ia menjawab, masih dengan tawa yang tertahan. Bahwa menurut
sang karib tadi, istri saya tak perlu cemas pada saya, dan tak perlu khawatir
saya akan digoda lain wanita, misalnya. ''Karena satu-satunya wanita yang
menyukai dia cuma mbak saja,'' kata si karib yang jahat ini.

Saya curiga istri sangat mempercayai hal ini. Buktinya, sejak itu
ketenangannya makin menjadi-jadi. Apapun manuver yang saya siapkan untuk
memanaskan hatinya, malah membuat saya kelelahan sendiri. Setelah benar-
benar menyerah, saya jadi kalap. ''Kamu ini bisa cemburu apa tidak sih?''
bentak saya marah. Tapi jangankan kaget, istri saya malah tersenyum dan
ganti bertanya. ''Apa kamu juga pernah cemburu kepadaku?''

Wah kaget juga mendapat serangan yang tak terduga ini. Tapi karena ini
pertanyaan gampang, berondongan jawaban langsung saya lepaskan. ''Tentu
saja tidak. Engkau istri yang baik. Setia. Terlalu baik, dan terlalu setia.
Cemburu jelas tidak pernah terlintas di kepalaku,'' kata saya dengan
keyakinan seorang suami yang sedang ada di puncak kesetiaannya. Tapi apa
jawab istri? ''Jawabanku sama dengan jawabanmu!''

Jawaban ini membuat saya sulit menyembunyikan rasa marah dan putus asa.
Jadi, kalau saya tidak pernah cemburu kepada dia, punya hak apa saya ini
meminta dia mencemburui saya? Jika saya begitu percaya kepada dia, kenapa
tidak boleh dia mempercaya saya sepenuhnya?

Ooo, kunci dari masalah saya ini ternyata berasal dari sebuah jebakan mental
berpikir yang sekarang sedang ramai disebut sebagai bias jender itu. Bahwa
kebiasaan berpikir kita telah dibentuk oleh dua perspektif ekstrem: lelaki dan
perempuan. Dan dengan segenap kepatuhan, otak saya telah tunduk oleh
perangkap berpikir khas laki-laki yang telah diajarkan secara turun-temurun
ini. Bahwa lelakilah yang layak dicemburui karena selalu lelaki yang rawan
godaan. Pikiran laki-laki ini pula yang membuat saya jadi lupa mencemburui
istri, karena di mata saya ia sudah pasti setia.

Padahal siapa menjamin bahwa istri saya pasti setia dan saya pasti tergoda?
Sama sekali tidak ada. Bagaimana jika terbalik bahwa sayalah yang setia dan
istri sayalah yang tergoda. Maka hari-hari ini, saya sedang belatih
membayangkan seandainya istri saya jatuh cinta dengan lain lelaki. Ketika
bayangan ini membesar, saya lalu jadi gelisah. Rasa cemburu saya bangkit
dengan sendirinya dan baru saya menyadari: setelah saya pikir-pikir, istri saya
itu toh memang terlalu cantik untuk ukuran saya. Jadi sebetulnya dia yang
lebih rawan tergoda. Dan ketika saya cemburu, dia tampak bahagia. Sialan!

(PrieGS\)
Posted by Prie GS at Monday, January 28, 2008 0 comments Links to this post

Labels: jadul, keluarga

Milikku Akan Selalu Kembali Kepadaku


Apa yang sudah digariskan menjadi milikku akan tetap menjadi milikku.
Begitulah watak rezeki dan keberuntungan. Kejadian berikut ini menjelaskan
konsep itu. Adalah suheng saya, Andrie Wongso, motivator paling
menggelegar di Indonesia itu yang hendak merayakan ulang tahunnya dan
menggelar perayaan. Perayaan terbesar sepanjang sejarah hidupnya karena
selama ini, apalagi ketika ia masih miskin dahulu, ulang tahun itu hanya
dirayakan dengan sebutir telur. Cuma sebutir… itu pun sudah merupakan
kemewahan karena telur utuh, hanya ia dapati cuma di hari keramatnya.

Tentu, kini Andrie Wongso sanggup membeli berton-ton telur untuk sekali
makan. Jika mau, tiap hari ia bisa menggelar pesta. Maka pesta ulang
tahunnya kali ini, pasti juga sebuah pesta yang sudah amat berbeda. Pesta
yang pasti penting, meriah dan megah. Dan di dalam pesta itulah Andrie
meminta saya sebagai pemandu acaranya. Permintaan ini tentu sebuah
kehormatan yang tak pernah saya duga. Karena saya tidak pernah menduga
maka dengan berat hati, dengan segenap rasa ngeri saya terpaksa
menolaknya. Saya tidak cukup punya keberanian untuk mengambil peran
sepenting itu. Maka kepada sang suheng itu saya cukup meminta peran yang
saya siap menjalaninya; cukup menjadi pelaku testimony saja.

Beruntunglah permintaan saya disetujui. Saya dengar, acara itu akan dipandu
oleh Helmy Yahya. Saya gembira mendengarnya. Tak ada keraguan dengan
nama ini. Kesukesannya tak perlu ditanya. Kecerdasannya tak perlu kita
meragukannya. Saya sudah mengagumi orang ini jauh sebelum ia suskes
seperti sekarang. Bersama Bambang Iss, senior saya yang wartawan musik
tangguh itu, saya pernah semobil bersama bertahun lalu, sebuah Suzuki
pickup tua yang suara knalpotnya jauh lebih menyita perhatian katimbang
bentuk mobilnya. Begitu kecil dan payah mobil itu, sehingga kami harus
berhimpit sedemikian rupa.

Tetapi ada yang tak akan saya lupa soal Helmy Yahya dengan mobil tuanya.
Waktu itu, saya sudah merasakan pandangan-pandangan nya yang luas,
visinya yang jauh dan kalimatnya yang bersih. Jika sekarang Helmy tumbuh
seperti ini, saya tidak kaget lagi. Saat itu mungkin ia masih miskin secara
materi. Tetapi kualitas pribadi suksesnya telah terasa. Maka Helmy Yahya,
pastilah nama yang amat layak untuk memandu acara penting dari seorang
motivator nomor satu Indonesia itu. Tapi aduh saya dengar kemudian, Helmy
juga tak bisa memenuhi permintaan karena sebuah persoalan.

Pilihan kemudian jatuh ke nama yang tak kalah berwibawa: Andi F Noya. Saya
tidak mengenal secara pribadi tokoh yang akrap dibanggil Bang Andy ini. Kick
Andy adalah acaranya di Metro TV yang telah teruji. Inilah talkshow paling
dingin, paling tega bertanya apa saja, tetapi kita semua rela dan terhibur
mendengarnya. Saya membayangkan, di tangan Andy, pesta ulang tahun ini
pasti akan menjadi ajang talkshow yang gegap-gempita. Saya amat bergairah
membayangkan hasilnya. Sayang, Andi juga batal tampil di perhelatan ini.
Maka permintaan itu akhirnya kembali ke tempatnya semula, ke saya yang
pasti merasa sangat terhormat, tetapi lagi-lagi ini bukan kehormatan yang
saya telah siap menjalani. Hanya untuk menolaknya pasti tak mungkin lagi.

Karena jalan menghindar sudah tak ada lagi saya cuma bisa menyerah dan
menikmati. Saat menyerah inilah seluruh lampu-lampu panggung lalu
berpendar dengan warna yang berbeda. Woo tiba-tiba saya baru sadar tentang
begitu banyaknya orang penting dan orang beken di acara ini. Mata saya
langsung berbinar-binar oleh gairah aneh. Saya membayangkan, betapa
seluruh orang-orang penting itu dihadirkan cuma untuk mendengar saya
bicara. Ada Ebiet G Ada yang menyanyi, ada Hermawan Kertadjaya yang
legendaris ada Komarudiin Hidayat si penyejuk Indonesia, ada Subronto Laras
yang mobilnya pasti bantyak sekali dan ada… aduh… semua orang penting
Indonesia rasanya berkumpul di acara ini cuma untuk mendengar saya bicara
hahaha….

Turun panggung, saya berdiri memojok dan sendiri. Memandangi panggung


besar yang akan saya kenang bukan cuma sebagai panggung pertunjukkan
melainkan sebuah tempat yang menegaskan bahwa apa saja yang sudah
diperintahkan menjadi milik saya, ia akan berjalan ke arah saya tanpa seorang
pun bisa mencegahnya.
Posted by Prie GS at Monday, January 28, 2008 0 comments Links to this post

Labels: baru

Berikan Sakit Anakku Kepadaku


Sepanjang bicara soal anak, kita, orang tua, seperti memiliki rumus generik.
Misalnya ketika bicara soal pendidikan anak: anakku harus bersekolah tinggi,
jangan goblok seperti bapaknya. Misalnya lagi soal beragama: anakku harus
mendapat les privat dari guru agama. Orang tuanya sudah kepalang rusak,
anaklah yang harus bisa membantu orang tuanya masuk surga. Lalu jika
bicara soal masa depan: jangan sampai anak besok menjadi orang susah.
Cukup bapaknya saja yang sengsara.

Sebagai sesama orang tua, saya sungguh tidak asing lagi dengan rumus-
rumus semacam itu. Saya sendiri toh juga tertulari rumus yang sama.
Membayangkan anak harus menanggung derita yang sama seperti yang kita
tanggung, adalah bayangan celaka. Membiarkan anak mengalami kebodohan
yang sama dengan apa yang pernah menjadi kebodohan kita, adalah tindakan
jahat. Pendek kata, anak-anak itu, harus menjadi generasi yang sama sekali
baru: generasi yang bebas dari duka lara seperti yang pernah ditangung para
orang tuanya.

Begitu juga soal sakit. Sepanjang yang saya tahu. Banyak sekali orang tua
berkomentar yang sama saat melihat anaknya sakit. Jika anak itu batuk: ingin
rasanya memindahkan batuk itu menjadi deritanya. ''Tidak tega rasanya,
melihat anak sekecil itu disiksa oleh penyakit jahat,'' kata kita. ''Jika anak
panas, atau yang lebih jahat dari itu, ingin rasanya kupindah deritanya,
menjadi deritaku saja,'' tambah kita.

Yang saya tulis kemudian ini adalah sebuah kisah nyata. Belum lama ini anak
saya sakit panas lengkap dengan batuk dan pileknya. Seperti biasa, panas itu,
darimana sumbernya, selalu membuat mata anak saya meredup dan semangat
bermainnya merosot tiba-tiba. Dalam keadaan seperti itu anak akan layu dan
cuma memancing rasa iba.

Memandang dia cuma bisa tergeletak, muntah bila kemasukan makanan dan
merintih jika tertidur, adalah pemandangan yang menyakitkan. Pada saat
itulah saya secara tidak sengaja terseret dalam rumus generik itu. Katimbang
anak saya yang menderita seperti itu, biarlah derita itu saya tanggung saja.
Biarlah sakitnya menjadi sakit saya, kata batin ini. Saya tidak tahu, apakah
permintaan itu sudah menjadi doa, atau sekadar ungkapan kegundahan orang
tua belaka.

Yang jelas permintaan itu cepat sekali dikabulkan. Anak saya berangsur
sembuh. Dan entah kebetulan, entah memang proses pengabulan permintaan,
hanya selang sehari, saya bangun pagi dalam keadaan pening. Tidak jelas
penyebabnya. Bisa jadi kelelahan, bisa jadi karena tidur dengan banyak beban
pikiran.
Meskipun tidak separah anak saya, sakit pening ini rasanya hebat sekali.
Kepala seperti penuh paku. Pada saat semacam ini apapun bisa berubah
menjadi bencana. Mendengar suara televisi terlalu keras, murka. Mendengar
orang lain bercanda, terdengar seperti menghina. Dan yang paling serius, saya
begitu marah ketika anak-anak saya begitu gaduhnya.

Anak yang ketika sakit menjadi sumber rasa iba itu, yang bahkan kesakitannya
saya minta untuk dipindah menjadi kesakitan saya itu, kini menjadi sumber
masalah. Saya berteriak sekuat-kuatnya agar anak itu takut dan terdiam.
Sakit kepala ini membuat dunia tiba-tiba kiamat. Saya menjadi lupa, bahwa
semua ini akibat permintaan saya juga.

Padahal jika diukur, penyakit yang dipindah dari anak saya itu baru sebagian
saja. Cuma peningnya, belum panas, batuk dan pileknya. Baru sebagian saja
sudah membuat pertahanan mental saya jebol, lalu bagaimana kalau penyakit
itu dipindah semuanya. Jangan-jangan saya bisa edan.

Maka betapa ngeri jika semua permintaan manusia dikabulkan karena manusia
cenderung meminta apa saja yang menurut mereka baik dan menyenangkan.
Banyak orang menyangka akan kuat jika seluruh permintaan itu dikabulkan.
Bayangan semacam ini membuat manusia bisa terlalu percaya diri dalam
berdoa kepada Tuhan.

Saya ini buktinya. Baru diganjar sakit kepala saja, dunia sudah seperti
berakhir. Lupa semuanya, lupa anak yang semula saya bela mati-matian itu.
Jatuhnya, saya hanyalah manusia yang bisa sibuk dengan urusan sakitnya
sendiri walau sekadar sakit kepala.

Maka untunglah tidak semua permohonan saya selalu dikabulkan Tuhan. Kalau
tidak, bisa-bisa saya malah menjadi gila.

(PrieGS\)
Posted by Prie GS at Monday, January 28, 2008 0 comments Links to this post

Labels: jadul, keluarga

Bau Tubuh Istriku


Anak saya memiliki serpihan gombal yang derajatnya telah menjadi jimat.
Tanpa gombal ini, mustahil dia tertidur. Jika kami sekeluarga harus pergi
menginap ke luar kota, semua barang boleh ketinggalan kecuali gombal yang
satu ini. Jika barang ini sampai tertinggal, bencana akibatnya.

Anak ini akan menolak tidur semalaman. Ia akan mencari gombal jimatnya itu
melebih apa saja. Jika ia sudah mendekat gombalnya, wahai... anak ini akan
segera stoned, mabuk, dan tidur dengan lelapnya. Kami hanya bisa heran,
bagaimana gombal bulukan yang tak pernah kenal air ini bisa membuat
hidupnya demikian tenteram.

Gombal wasiat itu sebetulnya berasal dari kain sarung yang dipergunakan
sebagai selimut saat istri melahirkan. Sarung inilah yang kemudian menjadi
karib anak karena sering menjadi pembungkus ketika ia masih bayi dan
menjadi selimut ketika ia balita serta tak jarang menjadi selimut berdua antara
anak dan ibunya.

Begitu tinggi frekuensi pemakaian sarung ini hingga ia menjadi kain teraniaya
yang aus dalam waktu singkat. Hingga ketika si anak sudah masuk TK, sarung
itu telah menjadi kain perca selebar serbet saja lebarnya. Serbet apak inilah
yang hingga sekarang masih menjadi teman tidur setianya. Melihatnya lelap
sambil menghirup gombal ajaibnya itu sungguh pemandangan yang
mengherankan hati. Itu gombal sudah bertahun-tahun tak boleh dicuci. Tapi
bau inilah satu-satunya aroma terapi yang mujarab bagi tidurnya.

Pernah kami diam-diam mencucinya. Ketika malam gombal ini kami sodorkan,
si anak malah ngamuk sejadi-jadinya. Ia menolak aroma terapi gombalnya
yang sudah tercemar bau detergen. Semalaman, kami harus menanggung
tidurnya yang penuh krisis. Tidur dengan bekal marah, telah membuat dia
mengigau dan banyak gerak. Sejak saat itu, kami memilih membiarkan
gombal ini menjadi kain purba, dengan komplikasi bau yang cuma anak saya
yang tega menghirupnya.

Tapi belum lama ini kami mengalami kecelakaan kedua menyangkut soal bau
ini. Secara tak sengaja, gombal ini tertindih tidur bapaknya semalaman. Ketika
malam berikutnya si anak mencium bau bapak di gombalnya, ia menolak
menghirupnya. Ia ingin bau ibu, bukan bau bapak. Kami sadar risikonya jika
bau ibu tidak secepatnya dihadirkan. Akan terjadi geger semalaman. Maka
cara instan pun kami tempuh, gombal itu ditindih, digosok, dililit ke segenap
tubuh ibunya, dan ketika bau ibu itu telah menindih bau bapak, si anak baru
mau menghirupnya dengan nikmatnya. Kurang ajar!

Sudah lama saya cemburu pada kedekatan si anak ini dengan ibunya. Tapi
malam itu benar-benar menjadi puncak rasa cemburuku. Apa salah bapaknya
ini sehingga soal bau pun dia memihak ibunya? Apa kurang tanggung jawabku
pada mereka? Setiap hari aku bekerja hingga tak kenal waktu. Aku
memberikan yang terbaik untuk mereka sekuatku, sebisaku. Tapi apa balasan
mereka pada kerja kerasku ini!

Gombal itu benar-benar menyinggung perasaanku. Ia bukti kekalahanku di


keluarga ini. Betapa aku yang bekerja keras di luaran tapi istri juga yang
mendapat penghargaan di dalam rumah, di depan anak-anak. Sekarang
kutanya kepadamu anak-anakku, beda apa bau tubuh bapakmu dengan ibumu
ini? Betul, ibu adalah pihak yang setiap saat merawatmu. Betul, bahwa di
waktu kecilku dulu, aku lebih suka menyelinap di ketiak ibu katimbang di
ketiak bapak. Betul, jika aku ditantang untuk menggantikan pekerjaan ibumu
saat merawatmu, bisa-bisa aku terserang stroke dini. Itu pekerjaan berat dan
hanya ibumu yang sanggup melakukannya. Tapi persoalannya ialah, apakah
cuma ibumu yang bekerja keras?

Tidak, jawabku. Aku juga bekerja keras untuk menyayangimu. Jika hanya bau
tubuh ibumu yang engkau sukai, ini betul-betul tidak adil. Belum jika aku tega
membuka rahasia besar ini kepadamu. Dengarlah, engkau boleh begitu
menyukai bau ketiak ibumu, tapi tanpa setahumu, ibumu adalah juga pihak
yang suka menyelinap di ketiak bapakmu kalau bakat manjanya kumat. Jadi
anakku, engkau jangan salah sangka pada bau tubuh bapakmu.

(PrieGS)
Posted by Prie GS at Monday, January 28, 2008 0 comments Links to this post

Labels: jadul

Sunday, January 20, 2008

Berdialog dengan Derita


DERITA adalah sesuatu serupa mahkluk, karenanya ia bisa kita sapa dan kita
ajak berdialog untuk dijinakkan. Penjinakkan ini bukan untuk membuat dia
tidak ada melainkan sekadar membuat agar orang tidak merasakan derita
yang kita punya.

Banyak orang gagal menyimpan deritanya, atau malah tak sedikit orang yang
justru menawarkan derita itu kepada siapa saja. Cara ini betul-betul berbahaya
karena orang semacam itu akan segera menjadi proposal masalah di hadapan
orang lain. Ia akan dengan cepat menuai hasil berupa atribut sebagai orang
yang ditolak dan disingkiri. Kedatangannya dianggap sebagai sumber
persoalan dan pribadinya akan dianggap semacam kuman lepra.

Membiarkan suasana hati terbaca secara terbuka hanyalah suatu kemanjaan.


''Hari ini aku sedang tak enak hati, maka engkau jangan menyetel musik
terlalu keras, jangan mengetuk pintu sembarangan dan jangan memancing
kemarahan,'' katamu.

Pada akhirnya permintaanmu itu akan menjadi semacam kekonyolan belaka.


Karena apapun suasana hatimu sekarang, dunia tetap akan berputar seperti
biasa. Matahari akan tetap muncul dari timur tanpa peduli apakah engkau
sedang sedih atau gembira. Maka jika engkau kedapatan tengah memanjakan
kesedihanmu, memohon belas kasihan orang-orang di sekitarmu,
sesungguhnya engkau sedang merepotkan banyak orang.

Kesedihan yang engkau pertontonkan adalah rapor buruk bagi hidupmu.


Mengertilah, setiap orang punya beban dan kesedihannya sendiri. Maka untuk
memahami bebanmu, orang boleh mengklaim tak punya waktu.

Maka jika ada jenis orang yang masih saja menyediakan waktu untuk
menghiburmu, bukan berarti orang itu lebih bahagia darimu. Tapi karena ia
benar-benar telah bekerja keras untuk itu. Ia harus menekan deritanya sendiri
demi untuk menghibur deritamu. Ia sama sepertimu, orang yang mestinya
juga penuh persoalan, tapi karena sedikit sekali ia mengurusnya, si persoalan
itu pun putus asa. Ia menjadi sesuatu yang tak terpelihara dan akhirnya pergi
sia-sia.

Itulah kenapa orang semacam itu terlihat selalu kuat, tenang dan terjaga.
Engkau tak pernah bisa menebak apakah ia sedang sedih atau bahagia. Jika
tengah bergembira, ia tak akan pernah terlihat berbunga-bunga. Jika tengah
bersedih, ia tak pernah kedapatan kusut dan menekuk muka. Kegemparan tak
pernah membuatnya kaget, kekacauan tak pernah membuatnya panik.

Maka kepadanyalah orang-orang takjub dan terpana. Kepadanyalah orang


mengadu dan bertanya. Kedatangannya menjadi sesuatu yang ditunggu, kata-
katanya adalah hiburan, perilakunya adalah keteladanan, dan pancaran
pribadinya mendatangkan kegembiraan.

Apakah orang ini lalu menjadi orang suci? Tidak. Ia masih tetap orang biasa
seperti kita. Bedanya, ia cuma malu menyusahkan sekitarnya dengan
kesusahannya. Ia malu membuat orang lain menderita karena deritanya.

Ia paham beratnya menanggung kesedihan. Maka kesedihan orang lain akan


terasa sebagai deritanya. Berpikir tentang kepentingan orang lain jauh lebih
menyita kesibukannya. Ia sungguh enggan merepotkan dunia dengan urusan
dan kepentingannya sendiri. Tapi anehnya, ketika orang telah merasa dirinya
tidak penting, ia malah menjadi penting luar biasa.

(03)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post

Doa Yang Salah Jurusan


Ini kisah seorang bapak muda dengan anak prematur yang tengah menjemput
ajal. Bayi itu, hanya sekepal tangan besarnya dan cuma bisa tergolek kaku di
inkubator dengan tubuh seluruhnya membiru. Bibirnya sama sekali menolak
bereaksi dan tubuhnya dipenuhi empat selang di empat penjuru. ''Harap
tabah,'' kata dokter kepada bapak muda ini. Ia bapak yang cerdas, apa arti
kalimat dokter ini telah ia pahami.

Bapak muda ini seorang santri. Maka rerfleks santrinya cepat bekerja.
Menghadapi ancaman maut seperti ini, ia menggali tradisi yang jamak di
desanya, yakni dukungan sebuah jamaah doa. Sementara ia sendiri
menunggui anak di rumah skait, ia meminta orang rumah untuk
mengumpulkan tetangga dan memohon dukungan doa hidup bagi si anak.Tak
sulit menjalankan tradisi ini, karena kampungnya memang kampung santri.
Tak cuma kampungnya, keluarganya sendiri adalah para pendoa ulung karena
mereka keurunan seseou desa yang juga kiai. Tapi hari itu, kampung sedang
kosong. Seluruh kiai dan pendoa terbaik di kampung itu sedang berziarah ke
makam para wali, termasuk sebagian besar keluarganya sendiri. Yang ada
hanyalah para pekerja dan jika masih tersisa seorang pendoa itu pun cuma
pendoa papan bawah dengan lidah cadel pula.

Di hari-hari biasa, orang ini hanya layak menjadi jamaah dan penggembira. Ia
jenis manusia kebanyakan dan diangap warga kelas dua. Tapi orang inilah
satu-satunya yang di hari itu layak menjadi imam dan memimipin doa karena
lain tak ada. Dari rumah sakit, bapak muda ini hanya bisa tepana. Keadaan
anaknya yang sudah amat payah.

Keadaan semacam itu jelas butuh doa kelas satu. Dengan doa itupun hasilnya
hanya Tuhan yang tahu. Padahal yang tersedia cuma doa lapis bawah. Maka si
bapak muda ini pasrah. Ia membiarkan majelis doa seadanya itu berjalan
semampunya.

Tapi dasar imam papan bawah. Sudah mutu bacaannya payah, ia membaca
doa yang salah pula. Yang dibacakan oleh majelis kacau ini adalah doa
percepatan kematian. Dari rumah sakit, bapak muda yang mendengar kabar
tentang jenis doa apa yang dipanjatkan untuk anaknya itu cuma tambah
gundah belaka.Para pendoa itu, jangankan mengerti salah dan benarnya jenis
doa yang mereka baca, karena untuk memahami apa arti doa yang mereka
ucapkan pun sudah di luar kesanggupan. Jadi doa itu derajatnya cuma serupa
mantera yang mereka ucapkan tak lebih karena semata-semata cuma hafalan.
Hafalan pun, doa itu adalah satu-satunya hafalan
yang mereka bisa.

Jadi lengkap sudah. Di mata bapak yang sedang berduka ini, nasib anaknya
sudah ditentukan. Ketabahan harus dia siapkan. Doa yang yang salah jurusan
itu hanya isyarat, bahwa Tuhan belum mempercayakan titipan anak itu
kepadanya. Ia meyerah.

Tapi belum genap kepasrahan itu berjalan kekagetan sudah menyergapnya.


Esok hari, bibir anaknya itu bergerak-gerak. Anak yang semula cuma seperti
sekepal patung itu menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dari vonis tiga bulan
harus mengeram di inkubator, cuma dalam waktu sebelas hari anak itu bisa
diboyong pulang. Kini anak yang menghebohkan itu telah tumbuh menjadi
bayi yang montok, sehat dan cerdas.Bapak muda ini, setiap kali memandangi
anaknya dengan ketakjuban, selalu juga diikuti oleh takjub lanjutan, yakni
takjub pada para pendoa kelas dua itu. Para pendoa papan bawah yang cuma
hafal doanya tapi tanpa paham maknanya itu. Cuma bisa bisa hafal itupun
cuma satu-satunya hafalan. Tapi jika doa murahan semacam itu pun
dikabulkan, berarti ada jenis sifat Tuhan yang harus ditambahkan, yakni Maha
Suka-suka. Mau mengabulkan doa atau tidak suka-suka Tuhan saja, bukan
karena mutu pendoanya.Maka, bagi pendoa yang terlalu fasih, teralu lancar
lidahnya, terlalu merdu suaranya, jika saking merdunya malah takjub pada
kemerduannya sendiri, penting mewaspadai hukum Tuhan yang satu
ini!

(Prie GS/Cn08)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post
Doa Anak-anak Saya
Dua anak saya, usia SD dan balita, tak bisa tidur dan makan tanpa lebih dulu
mengerjakan kebiasaannya: berdoa. Selapar dan sengantuk apapun, mereka
selalu menyempatkan berdoa. ''Biar tidak mimpi buruk,'' kata si SD pada
adiknya, jika mereka hendak tidur. ''Biar tidak diganggu setan,'' jika keduanya
hendak makan.

Cerita ini saya tulis bukan untuk membuktikan betapa saleh keluarga kami,
melainkan untuk menegaskan betapa dibanding orang tua, anak-anak sering
jauh lebih setia pada komitmen moralnya. Di sebuah gerai fast food yang
sangat sibuk, ketika kami sekeluarga tengah begitu laparnya, kelaparan yang
membuat nama Tuhan tak kami ingat lagi, si balita, dengan muka pucat dan
mulut cadelnya yang gemetar menahan lapar, ngotot untuk tetap berdoa.
Tempat yang semula hiruk pikuk itu terasa sepi seketika. Sepi oleh rasa malu
yang menampar wajah saya, bapak anak ini.

Pertama, malu, bahwa doa itu lebih mereka dapat dari sekolah, katimbang dari
kami, orang tuanya. Si SD lah yang membawa doa itu ke rumah, si balita
menirunya dan kami sekadar menjaga dan mengingatkannya. Kedua, malu
terhadap kemampuan kami yang cuma sebagai pengingat itu sementara kami
sendiri sering lupa mengerjakan hal serupa.

Malu berikutnya jauh lebih serius. Betapa anak-anak itu bisa demikian kokoh
dalam menjaga kewajibannya. Sekali meneken kontrak kesanggupan, mereka
akan mematuhinya sepenuh hati. Dan dampaknya sungguh membuat saya iri.
Sekecil itu, mereka bahkan telah sanggup membuat jarak yang jelas dengan
setan. Di dua kegiatan utamanya, makan dan tidur, mereka jelas-jelas sudah
menolak bersinggungan dengan setan.

Sementara tidur saya? Aduh, sambil tidur, tak jarang kepala ini sesak oleh
rencana dead line, penuh oleh judul-judul berita, keluhan-keluhan hidup, dan
tegang oleh perhitungan-perhitungan hari depan. Mata memang terpejam, tapi
sesak di kepala itu membuat si tidur tak lebih adalah anyaman kegelisahan.
Buntutnya? Nama Tuhan nyelip di gelap malam.

Lalu mutu makan apa pula ini, yang sambil mengunyah pun dering telepon
terus menyalak di sana-sini. Telepon yang di meja, yang di saku. Semua
dering itu menguntit bagai hantu. Jika ia berupa dering kegembiraan, kita bisa
lupa lapar, lupa waktu. Jika ia berupa dering masalah, sama saja makan juga
bisa terhenti sebelum waktu. Buntutnya serupa pula, untuk berdoa, serasa tak
lagi ada waktu. Jika sikap makan dan sikap tidur pun sudah begini tidak
bermutu, lalu kualitas hidup seperti apa pula yang saya punya.

Daftar malu berikutnya, jauh lebih serius lagi. Betapa ketulusan anak dalam
menunaikan kewajibannya dengan cara yang bebas prasangka itu, dengan
kepatuhan sempurna itu, malah makin menegaskan aib orang tuanya belaka.
Betapa saya ini, di depan mereka, tak lebih dari Pendeta Durna saja, yang
dengan gagah menyuruh muridnya, Bima, meningkatkan mutu hidup dengan
cara yang muskil, mencari sarang angin. Sementara Sang Bima benar-benar
memperoleh apa yang dicarinya, Si Durna justru terbuka kedoknya sebagai
pendeta bermasalah.

Sayalah Durna itu. Yang di tengah keluarga pun, mata ini masih sering
kelayapan melihat wanita-wanita cantik di sekitar. Apalagi di tempat-tempat
umum, sekarang banyak wanita yang terang-terangan menonjolkan dadanya,
memamerkan putih lengannya dan membuka pusernya. Betapa berat
mengingat nama Tuhan di wilayah semacam ini.

Dengan mutu hanya sekelas ini, mendadak saya bisa berlagak menjadi orang
tua yang saleh. Yang marah ketika anak-anak lupa berdoa, lupa menaruh rasa
hormat dan gagal berbakti pada orang tuanya. Sementara anak-anak itu betul-
betul patuh dengan kewajibannya, sementara mereka sedang menuju menjadi
Bima, orang tua ini, masih terhenti di sini, tertahan sebagai Durna belaka.

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post

Di Stadion dengan Penonton Ratusan Ribu


Di stadion Senayan tak kurang seratus ribu orang berkumpul bukan untuk
nonton sepak bola, tapi sekadar untuk nonton layar lebar yang menyiarkan
pertandingan bola. Ada perbedaan besar antara nonton bola beneran dan
cuma sekadar nonton "bioskop" bola. Tapi perbedaan besar itu bagi kita
seperti tak ada artinya.

Kita seperti sudah bingung membedakan mana kejadian sebenarnya, mana


yang bukan. Atau, meskipun bisa, kita sudah tak peduli lagi apakah yang kita
hadapi adalah benar-benar kenyataan atau cuma sekadar gambaran
kenyataan. Karena bisa jadi, saking jauhnya kita dari kenyataan itu, maka
sekadar gambar kenyataan pun cukuplah. Karena saking mustahilnya kita ikut
piala dunia, maka menjadi penonton pun cukuplah. Soal apakah mereka
adalah Jerman, Brasil atau Indonesia, tak penting lagi, karena semua bisa
terasa sebagai "negara saya".

Sebagai penonton, kita pun tidak cukup menjadi penonton biasa, tapi
penonton sesungguhnya. Bahwa yang kita tonton itu bukan sekadar bioskop,
tapi sepak bola sebenarnya. Maka jika ada kesebelasan favorit kalah, bila hati
ini panas dan tidak puas, kita boleh membuat keonaran, kalau perlu
membakar stadion segala.

Hebat sekali kemampuan kita ini dalam merasakan kenyataan semu itu
sebagai asli. Karena cuma dengan "nonton bioskop" pun kita terbukti bisa
membakar bangku-bangku tribune, kita bisa mengadakan karnaval di jalan-
jalan dengan kegembiraan sepenuhnya, kita bisa berpesta sedemikian rupa
atas hajatan yang bukan punya kita.
Lalu di tengah-tengah panggung besar itu, seorang pejabat pun berpidato,
yang celakanya, malah menambah jelas bakat kita dalam urusan nebeng
kenyataan tetangga. Tiba-tiba saja, dengan alasan entah, pejabat ini merasa
perlu untuk berkomentar tentang sepak bola Indonesia. Tentang mutunya
yang jauh dari ajang panggung bola dunia. "Sepak bola kita adalah tanggung
jawab kita semua," katanya.

Lho, bagaimana ini mungkin? Kenapa lagi-lagi, jika ada persoalan, pihak
penanggungjawab itu harus melebarkan sebutannya menjadi "kita". Kenapa
tidak cukup saya dan kami saja. Ini sama sekali pilihan kata yang tidak fair.
Karena rakyat jarang membuat kerusakan. Tapi giliran kerusakan --yang
biasanya disebabkan oleh kaum "saya" dan "kami"-- itu tiba, rakyat harus
dilibatkan sebagai kita. Sekarang, siapa yang peduli dengan jumlah lapangan
di Indonesia? Berapa jumlah lapangan yang dibabat untuk dijadikan hunian?
Apakah para pengembang perumahan itu pernah menyediakan lapangan
sebagai derma publik?

Banyak sekali keputusan para "kami" dan "saya" itu yang sama sekali tidak
membela hak-hak publik. Dan anehnya, publik yang jelas-jelas menjadi
korban, pada gilirannya malah ditunjuk sebagai pihak yang keliru. Lalu ada
pula pejabat yang mengajak semua pihak untuk melupakan hal-hal yang lalu.
"Kita berpikir ke depan saja. Kita lupakan kesalahan-kesalahan lalu."

Lho, bagaimana ini mungkin? Bagaimana bisa ongkos kesalahan cukup ditebus
hanya dengan melupakan. Begitu enak ternyata hidup para pembuat
kesalahan. Padahal kesalahan masa lalu itu banyak di antaranya tidak benar-
benar lalu, tapi sekadar kemarin. Jadi tidak ada jaminan bahwa setelah
dimaafkan tidak akan ada lagi kesalahan baru. Jangan-jangan, ajakan untuk
gampang memaafkan kesalahan lama itu hanya untuk membuat agar
seseorang tetap gampang melakukan kesalahan baru.

(03)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post

David Beckham, Gogon dan Kejujuran


Jika David Beckham adalah orang Indonesia, ia pasti akan berpikir ulang untuk
bercukur model jambul Mohican, karena ia akan segera menjadi pesaing
pelawak Gogon. Untung, di Inggris literatur komedian sama sekali telah
berubah. Di negaranya, telah jarang -atau kalau malah tidak sudah lenyap
sama sekali- pelawak yang melucu dengan mengobrak-abrik fisiknya, dengan
dandanan serba aneh. Tapi di Indonesia, Beckham akan paham bahwa
gayanya itu sama dan setara dengan gaya Gogon.

Yang berbeda cuma bahwa Gogon seorang pelawak dan Beckham bukan.
Padahal "hanya" pelawak yang direstui masyarakatnya untuk bergaya aneh-
aneh. Karena masyarakat maklum, masih ada sementara komedian yang
masih menghubungkan kelucuan dengan keanehan. Itulah kenapa pelawak
Indonesia hingga kini masih menyukai tempelan kumis model Chaplin. Lucu
atau tidak, jika sudah berkumis Chaplin ia sudah boleh merasa sebagai
pelawak. Jadi ada jenis komedian yang lebih bergantung pada kumis
katimbang pada kualitas humor.

Tapi lepas dari itu semua, mari kita tegaskan lagi bahwa cuma pelawak yang
punya "hak" memasuki wilayah yang sering disebut sebagai oddity itu, sebagai
keganjilan. Maka jika ada pihak lain mencoba bergaya ganjil dan aneh, ia akan
berisiko disebut sebagai pelawak. Tepatnya bukan disebut tapi diledek.
Ledekan itu bisa bermuatan aneka tujuan. Ada yang merasa geli-geli saja, ada
yang sinis, ada yang malah kasihan dan ada yang campuran dari semuanya.

Anehnya, pihak bukan pelawak yang meniru-niru tingkah pelawak itu marah
sekali jika dianggap pelawak. Beckham pun belum tentu siap hati jika harus
disejajarkan dengan Gogon. Penceramah, seminaris, pengkotbah, politisi yang
lucu-lucu itu bisa sangat tersinggung jika disamakan dengan pelawak. Dari sini
terlihat, bertapa profesi pelawak masih mereka anggap rendah, masih belum
cukup berharga untuk berdiri sejajar.

Tapi walau dianggap remeh, kelebihan mereka itu ternyata sering ditiru dan
dimanfaatkan tanpa para peniru itu mau mengaku. Ibarat penulis yang
mengutip pernyataan tapi malu menyebut sumber. Ibarat seorang yang gemar
berselingkuh tapi menolak disebut tunasusila. Ibarat pedagang yang ingin
dagangannya laku tapi menolak disebut berjualan. Dari sini baru terlihat,
betapa rendah hati para pelawak itu. Betapa mereka lebih terbuka dalam
memperagakan kejujuran.

Sungguh tidak gampang memutuskan menjadi seorang Gogon. Sungguh tidak


mudah memelontos rambut, menyisakan cuma jambulnya, yang sebelum
menjadi tambang rezeki, model itu pasti berisiko menjadi sumber tertawaan.
Pelawak melucu langsung dari sumbernya. Jika sumber itu berupa keharusan
membotaki kepala, memonyongkan bibir dan berdandan bak orang gila,
pelawak akan melakukannya. Mereka tidak takut menjadi jelek, diledek dan
diremehkan. Pelawak mengatakan ambisi ingin laris, ingin terkenal dan banyak
rezeki secara terbuka.

Sementara banyak pihak bertujuan serupa, ingin laris, terkenal, lucu dan
mendapat banyak tepuk tangan, tapi menolak berterus terang. Memang selalu
ada saja pihak yang membungkus keinginan dengan kemasan yang tampak
mulia tapi sesungguhnya mereka tak lebih berbobot dibanding manusia
kebanyakan seperti kita.

(03)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post
Cinta Membawa Pingsan
ADA Apa dengan Cinta? Ada antrean panjang ketika film ini diputar. Ada ABG
pingsan karena berdesakan. Terdapat setidaknya empat hal untuk
menjelaskan soal ini.

Pertama, sebut saja siklus periodik. Secara periodik, sebuah siklus akan
mengalami semacam titik puncak. Periode siklus ini bisa panjang bisa pendek,
tergantung mutu masyarakat yang bersangkutan. Di Hollywood, siklus itu
demikian pendek. Belum rampung Home Alone membuat sejarah, menyusul
Jurassic Park, menyusul lagi Titanic menyusul lagi Harry Potter. Di sebuah
kebudayaan yang baik arsip sejarah begitu cepat penuh karena banyak
pembuat sejarah bekerja secara produktif.

Di Indonesia, sejarah itu memang berjalan sempoyongan. Periode siklus itu


juga berjalan lamban, penuh ketidak pastian. Tapi sejarang apapun kita
membuat sejarah, selalu ada saja sejarah yang lahir, betapapun kecilnya.

Di balik banjir komedi slapstik yang bangga terhadap kekonyolan, setidaknya


pernah lahir film Naga Bonar, film Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Di tengah
apatisme yang parah terhadap film nasional, sempat pula lahir Tjut Nya Dien,
film yang membuktikan bahwa tak sepenuhnya dunia film kita diisi oleh para
tengkulak. Di tengah industri musik anak-anak yang gaduh, nyelip juga figur
Sherina yang reflektif. Sebangkrut apapun kebudayaan kita, selalu lahir
sesuatu yang menghibur kita. Cuma, hiburan itu memang sering kita tunggu
begitu lama.

Kedua, adalah bukti bahwa hukum kausalitas masih berjalan secara konsisten.
Siapa bersungguh-sungguh akan mendapat imbalan sesuai kesungguhannya.
Mira Lesmana adalah orang yang bersungguh-sungguh itu. Ia berani melawan
keterbatasan dengan caranya sendiri. Menyiapkan film sendiri, membiayai
sendiri, menjual sendiri, menyiapkan riset, menyebar
kuisener, menentukan gagasan dan memilih parnter. Semua adalah rangkaian
keputusan yang berani dan tak biasa.

Ketiga, betapa teori efek domino memang sanggup menimbulkan sensasi luar
biasa. Anak-anak yang ngebet nonton film Sherina, para ABG yang bikin pecah
kaca jendela sampai harus pingsan segala itu, kita yang sering pensaran atas
sesuatu, adalah sebagian korban efek ini. Kita menonton sesuatu bukan
semata-mata karena mutu sesuatu itu, tapi juga karena dorongan psikologis
sekitarnya, karena sesuatu itu tengah menjadi objek aktualitas bersama.

Kita menonton sesautu bukan cuma untuk memenuhi hasrat artistik semata,
tapi juga demi hasrat aktualitas kita. Bahwa aku sudah nonoton film ini maka
aku sudah sejajar dengan yang lainnya. Kebutuhan untuk sejajar sungguh
kebutuhan yang serius. Karenanya film itu cuma jembatan, cuma media agar
aku merasa satu kelompok, merasa in group. Menjadi orang
yang tidak aktual dan dianggap tertinggal, adalah kenyataan yang
menakutkan. Maka meski aku harus berdesakan dan pingsan, jalan itu akan
kutempuh juga.
Mira Lesmana dengan film-filmnya, baik Petualangan Sherina maupuan Ada
Apa dengan Cinta memiliki efek domino itu. Beruntung pula efek itu berjalan
ke arah semestinya. Karena ada juga, pemilik efek serupa, tapi berjalan ke
arah sebaliknya. Film-film Garin Nugroho adalah contoh terbaik kasus ini. Tak
peduli sebaik apapun film Garin, telah muncul anggapan bahwa film itu cuma
cocok untuk para Juri Festival, bukan untuk penonton. Maka cerita tentang
koleksi
piala Garin, jauh lebih banyak katimbang koleksi penontonnya.

Efek domino itu sesungguhnya adalah efek yang tidak adil. Karena ia bisa
mendorong orang untuk membuat keputusan cuma berdasar gosip, dugaan
dan prasangka. Ada film baik yang digosipkan buruk hingga sepi penonton.
Ada film biasa tapi melimpah penontonnya karena luar biasa gosipnya.

Soal kenapa efek domino itu masih sering menimpa kita, semua sangat
tergantung pada potret kita sebagai masyarakat yang melahirkan faktor
keempat dalam tulisan ini, yakni masyarakat penggemar mitos. Maka cita rasa
kita atas sebuah film pun masih bisa serupa dengan cita rasa terhadap cerita
klenik. Jika dikabarkan ada burung tetangga bisa berubah menjafi ular,
berbondong-bondong kita mendatanginya. Tak pedului apakah kabar itu
adalah kebenaran atau sekadar klenik murahan, semua soal belakangan.
Pokoknya hasrat menonton ini harus dipuaskan walau pada akhirnya kita bisa
berkata: "Apa sih istimewanya! Tiwas berdesakan!".

(03)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post

Bahu Membahu Membela yang Keliru


Seorang yang baru keluar dari ruang ATM ini sama sekali tak memberitahu
bahwa mesin uang itu rusak sementara sayalah satu-satunya pihak yang
menunggu di dekatnya. Ia ngeloyor begitu saja dan saya harus mengalami
soal yang sama, sebuah kesialan yang sama sekali tak perlu jika orang ini mau
sedikit saja berderma dalam bentuk memberi tahu.

Sebetulnya saya tak benar-benar butuh jasanya. Karena di negara saya orang
cuek seperti itu tak terhitung banyaknya. Maka katimbang harus tersinggung
setiap hari lebih baik menganggap pemandangan itu sebagai soal yang jamak
saja.

Karena ada saja angkutan kota yang dengan tekun menunggu penumpang
sambil tak merasa jika ia tengah mengangkangi jalan dan menimbulkan
kemacetan panjang di belakangnya. Masih ada saja sopir taksi yang seluruh
kabinnya pengap oleh asap rokok sehingga bau taksi itu tak lebih dari sebuah
asbak besar. Lumayan jika cuma rokok. Beberapa sopir di antaranya malah
masih ada yang tega mengencingi mobilnya sendiri begitu kebelet tiba. Sopir
ini cukup hanya dengan membuka pintu dan menjadikannya sebagai dinding
toilet portable, habis perkara. Jika taksi lain ada yang sekadar berbau asbak,
taksi yang ini malah telah menjadi WC umum.

Jangan tanya pula tentang banyaknya perokok yang salah ruang. Tidak cuma
di bus-bus omprengan yang pengap dan sesak, di restoran-restoran yang
jelas-jelas serba tertutup dan berpendingin ruangan, tetapi juga di rumah-
rumah mereka sendiri. Ada seorang bapak yang sedang menimang bayinya
lengkap dengan rokok mengepul seperti ketel uap dari mulutnya, dengan bayi
sendiri sabagai penadahnya. Maka jangankan orang lain, bahkan bayi sendiri
pun diasapi. Jadi jika cuma ada seseorang yang enggan memberi tahu tentang
mesin ATM yang rusak kepada pemakai berikutnya, adalah soal yang harus
dimaafkan dan kalau perlu malah disambut gembira.

Di Indonesia, cadangan maaf memang harus demikian besarnya karena jumlah


pelanggaran dan kesalahan seperti jauh di atas jumlah maaf yang tersedia.
Walau yang belangsung itu sesungguhnya pasti bukan lagi peristiwa maaf-
memaafkan tetapi sudah menyerupai sikap putus asa. Putus asa kerpada
jumlah pelanggaran yang telah di luar takaran itulah yang kemudian membuat
kita secara bersama-sama memiLIh diam dan seolah-olah sabar terhadap
kesalahan. Itulah keadaan yang disebut oleh Stephen Covey sebagai
konspirasi gelap.

Konspirasi yang tidak terang-benderang, seolah-lah tidak ada tetapi begitu


nyata dan ganas daya rusaknya. Karena konspirasi ini ibarat seorang yang
sedang berlari bersama-sama, saling bantu-mebantu, dorong mendorong,
tarik-menarik tetapi cuma untuk masuk ke lubang secara berjamaah.
Konspirasi semacam inilah yang rasanya sedang berlangsung di sekujur
urusan, secara intensif, pasti dan berbahaya. Itulah keadaan saling
mendukung, bahu-membahu di dalam kekeliruan. Maju tak gentar mendukung
sang onar!

Maka bisa dimengerti kenapa jumlah keterlanjuran kita besar sekali. Untuk
membersihkan bantaran sungai dari bangunan liar misalnya, harus menunggu
seluruh bantaran itu benar-benar menjadi perkampungan terlebih dulu.
Akhinya mormalisasi sungai yang hendak dicanangkan cuma terpenjara di
dalam pencanangan karena ia tak mungkin lagi dijalankan. Kampung di
bantaran itu benar-benar telah menjadi sebuah desa dan pengusiran
tehadapnya hanya akan menimbulkan perang terbuka.

Saya pernah tampil di acara interaktif di televisi memandu seorang pejabat


dengan seorang penelpon yang demikian marah pada pengelolaan sampah di
kotanya. Begitu marahnya sehingga yang ia lakukan ialah bagaimana caranya
agar ia bisa sekuat mungkin ikut mengotori kota. Membuang seluruh sampah
ke sungai dekat tempat tinggalnya itulah yang putuskan sambil barangkali
membayangkan wajah pejabat yang dibencinya. Inilah konspirasi gelap itu;
keadaan ketika seorang bisa membenci sebuah kesalahan sambil ikut berbuat
rusak sekalian. Jadi memang ada jenis gotong royong kelabu , bahu membahu
membela yang keliru!
(PrieGS/)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post

Anak-anak Ayam
Tak semua tamu membawa oleh-oleh dan tak semua oleh-oleh ternyata
menyenangkan tuan rumah. Contohnya adalah tamu yang satu ini, yang
datang dengan oleh-oleh aneh: tiga ekor anak ayam. Yang dituju pastilah
anak-anak saya yang masih kecil-kecil, karena anak ayam yang dibawa ini
adalah jenis yang telah diguyur warna merah, hijau, kuning, seperti manisan.

Tamu ini benar, karena dalam sekejap saya anak-anak saya sudah histeris
dengan mainan hidupnya. Tamu ini mengira bahwa tujuan mulianya berhasil
karena ia juga tampak begitu bergembira. Begitu gembiranya hingga lupa
kalau saya dan istri saling pandang dengan muka ditekuk.

Tapi di hadapan tamu yang tulus ini, kami harus secepatnya tahu diri. Kami
pun segera terlibat dengan ayam yang memang lucu itu. Walau kegembiraan
kami adalah palsu belaka. Kelucuan ayam ini sungguh menjadi tak penting
lagi. Karena jauh lebih penting adalah membayangkan betapa repot nanti
mengurus tahinya, bagaimana kandangnya dan berapa lama kami harus
memeliharanya.

Di rumah kami yang kecil, tambahan makhluk hidup, betapapun lucunya,


mengandung risiko yang tidak sederhana. Soal tempat dan kotoran, itu yang
pertama. Soal pemeliharaan itu soal yang kedua. Rumah sekecil ini habis
sudah untuk berhimpit kami sekeluarga. Tenaga istri habis sudah untuk
mengurus anak-anak yang memilik tingkat kenakalan ekstra. Sedang anak-
anak, cuma bisa menyukai ayam-ayamnya. Mereka masih terlalu kecil untuk
bekerja, tapi sudah terlalu berkuasa untuk main perintah kepada orang
tuanya.

Akhirnya, ayam-ayam ini benar-benar menjadi persoalan serius. Tiga hari


pertama, hewan-hewan kecil ini telah menjadi tiran yang sanggup memerintah
kami semua. Di pagi hari kandang kecilnya harus dikeluarkan, kotorannya
harus dibersihkan, makanannya harus disiapkan. Dasar ayam, dan masih
anak-anak pula, jika malam dan kedinginan, mereka berciat-ciat sedemikian
rupa. Yang berciat-ciat ayamnya, yang rewel anak-anak saya, karena si sulung
harus gelisah tidurnya. ''Dimasukkan dalam kamar, diselimuti,'' pintanya!

Kami tentu melotot atas permintaan ini. Lebih melotot lagi ketika permintaan
ini tidak boleh tidak harus dituruti. Jika tidak, ancamannya serius. Kami paham
betul watak si sulung. Ia akan melawan dengan taktik yang merepotkan:
tangis tertahan semalaman. Benar-benar celaka. Maka hingga saat ini, ayam-
ayam itu telah pindah ke dalam, ke tempat terhormat dan hebatnya, anak-
anak ayam itu menikmatinya. Anak saya dan ayamnya lalu tidur tenang
bersama-sama. Ganti orang tuanya yang gelisah oleh kejengkelan.
''Ayam ini terlalu terhormat,'' kutuk saya di depan istri, ketika anak-anak telah
tertidur. ''Kembali dikeluarkan saja,'' keputusan saya. Istri pasif saja.
Tampaknya ia kesulitan bersikap. Di dalam, ayam itu memang menganggu,
tapi di luar, ia pasti tak tega. Anak dan emaknya ini memang sama saja
wataknya terhadap binatang, serba tidak tega. Tapi sikap mendua istri ini
tetap sebuah modal untuk membulakan tekad: ayam itu harus dikeluarkan.
Wah, lega rasanya, lepas dari tekanan ayam.

Tapi astaga, tak lama kemudian ayam-ayam celaka itu berciat-ciat lagi dengan
marahnya. Saya dan istri kembali saling pandang membayangkan risiko yang
saya takutkan dan risiko itu akhirnya datang juga: sulung terbangun untuk
menengok ayamnya kembali. Ia luar biasa kecewa atas tindakan sepihak
bapaknya ini. Dan sejak malam itu, ia berangkat tidur dengan ketakutan
dikhianati orang tuanya. Karena takut dianggap pengkhianat, saya pun
menyerah, menempatkan ayam-ayam itu kembali di tempat terhormat, hingga
hari ini.

Kini ayam-ayam itu mulai membesar dan kasih sayang anak-anak kami
terhadap mereka makin besar saja. Kami sekeluarga memang repot bukan
main, tapi saya mulai tenteram karena ayam itu membuat saya bisa belajar
ketulusan dari anak-anak saya, meskipun cuma kepada ayam.

(PrieGS/)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post

Aib pun Butuh Dibagi


Belum lama ini saya lewat di sebuah toko buah yang sedang sepi pembeli.
Kesepian itulah yang membuat penjualnya, seorang ibu muda, tampak punya
waktu untuk membenahi kerapian dagangannya. Beberapa jenis buah dalam
kantung plastik tampak sedang siap-siap digantung. Penggantungan inilah
yang memancing masalah. Letak cantolan itu agaknya terlalu tinggi untuk
ukuran tubuhnya, tapi terlalu rendah untuk dibantu tangga atau penyangga.

Maka jadilah ia memakai media yang menurutnya paling praktis berjinjit saja.
Usaha yang dianggap praktis ini ternyata malah tidak praktis. Karena kantung
buahnya cuma bisa sampai pada mulut pengait, tapi untuk benar-benar terkait
bukanlah persoalan mudah.

Padahal jinjit adalah gerakan darurat, apalagi ditambah dengan usaha


mengaitkan buah yang tidak mudah ini. Artinya ia tidak boleh terjadi berkali-
kali karena ancaman kelelahannya yang tinggi. Dan si ibu ini, ketika sudah
lebih dari tiga kali usahanya melulu gagal, tampak mulai menyadari risikonya.
Ia mulai menoleh kanan-kiri, dan saya yakin bukan untuk mencari
pertolongan, tapi lebih pada mendektesi, apakah usahanya tadi aman dan
tidak menjadi bahan tertawaan. Ketika ia yakin keadaan terkendali, usaha itu
dicobanya lagi, dan ... gagal lagi.
Setiap kegagalan ia tebus dengan menoleh kanan-kiri untuk terus mengecek,
apakah adegan konyolnya ini telah diketahui orang. Sesekali, ia menebus
kegagalannya itu dengan tersenyum, menentramkan diri sendiri. Puncaknya
adalah ketika kesabarannya telah habis.

Dari berjinjit, ia nekat berjingkat untuk meraih ketinggian yang lebih memadai.
Akibatnya sungguh tak pernah ia duga. Gantungan buah itu memang nyantol
ke kawat pengait. Tapi yang lupa ia perhitungkan ialah ketika tubuhnya
melayang turun tangan itu masih memegang kantung buahnya, dan musibah
itupun datanglah. Buah itu, tepatnya apel, berhamburan ke mana-mana.

Ibu ini mencoba mengatasi musibahnya dengan tertawa. Tapi kita tahu, tawa
itu pasti tidak mewakili suasana hatinya. Tawa ini pasti sekadar upaya untuk
berdamai pada suasana yang menekannya. Kita tidak tahu persis perasaan ibu
ini. Ia bisa jengkel, marah, dan malu. Persoalnya bukan pada jenis perasaan
apa yang sedang ia alami, tapi terletak bahwa ia sedang sendiri. Jadi apapan
perasaan dia saat itu, entah jengkel, kesal dan malu, tidak ada tempat untuk
berbagi. Maka tawa yang pahit itulah jalan tengahnya. Tawa ini pun sebuah
langkah yang penuh risiko, karena ia cuma bisa tertawa pada buah
dagangannya dan maksimal pada dirinya sendiri.

Semua jenis perasaan ternyata butuh teman untuk berbagi. Kita tidak bisa
marah sendirian, terharu sendirian dan bahkan untuk malu pun kita tidak bisa
sendirian. Sekali waktu, dalam hidup kita pasti pernah mengalami jenis
kesialan yag tidak bermutu ini. Kesialan itu bukan hal serius, tidak juga
mengancam hilangnya nyawa. Tapi ia tetap menjadi derita jika kita sendiri.
Terpeleset, menabrak pintu kaca, salah masuk ruangan... adalah hal-hal yang
berat ketika sendiri tapi menjadi lelucon saja ketika kita bersama-sama.

Begini hebat kebutuhan manusia untuk berbagi itu. Dan jika rasa malu saja
butuh dibagi, apalagi rezeki.

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post

Monday, January 14, 2008

Nonton Konser Bee Gees


Di sebuah waktu luang seharian, saya membongkar-bongkar barang-barang
lama. Saya membaca ulang buku-buku lama, menonton rekaman DVD lama.
Saya membaca ulang novel Max Havelaar yang saya beli tapi tidak pernah
saya baca dengan seksama. Aduh, berdosa benar saya. Buku itu ternyata
sastra luar biasa. Sebuah novel sejarah yang mencekam. Dan gaya Multatuli
alias Douwes Dekker itu dalam bercerita, benar-benar bergelora ketika saya
dengan teliti menyimaknya. Sinis, lucu, cerdas. Tergelak-gelak saya dibuatnya
dan bodoh benar saya bahwa humor seperti ini pernah saya biarkan teronggok
begitu lama.
Buku ini dibuka dengan narasi seorang pedagang yang pikirannya cuma melulu
kepada uang. Maka seluruh soal yang tidak mendatangkan uang ia cibir habis-
habisan, termasuk kesenian. Kepada sepotong sajak yang mengatakan: udara
hitam pekat… dan waktu sudah jam empat, misalnya, ia umpat sebagai
kebohongan. ''Mana mungkin ada udara sudah hitam pekat tepat pada jam
empat. Bisa jadi waktu itu baru pukul tiga seperempat,'' begitulah kira-kira
rasa sinisnya.

Saya baca ulang buku-buku Kahlil Gibran. Kecil, tipis, murah dan seperti
barang tak berharga. Tapi ya ampun, baru membuka selembar halamannya
saja, saya seperti terlempar di sebuah galaksi yang jauh. Ia langsung
menggedor saya: suka cita tak lebih adalah duka yang telah terbuka
kedoknya, katanya. Sangar benar penyair ini! Baru satu kalimat. Padahal
seluruh buku itu berisi ribuan kata yang semuanya tak selalu saya mengerti
tapi entah kenapa kenindahannya terasa di hati.

Saya menonton ulang biografi Muhammad Ali. Edan, keberanian orang ini
keterlaluan. Di depan wartawan, saat ia hendak menantang juara dunia ia
tidak cuma menjawab, tetapi juga bertanya. ''Apa kabar Sony Liston? Apa dia
masih jelek? Juara dunia harus ganteng seperti saya!'' teriaknya. Ali tidak
cuma berani berkelahi, tetapi juga berani disalahpahami. Dan keberanian itu
melebar ke mana-mana hingga jauh di luar dunia tinju. Sendiri, ia menantang
politik Amerika yang hendak mengirimnya ke Vietnam sebagai wajib militer.
''Tak ada alasan saya pergi untuk membunuh sesama orang miskin. Lagipula
tak pernah ada Vietkong yang memangil saya Negro!'' Untuk keyakinannya ini,
ia merelakan gelar juaranya dicopot paksa dan terancam masuk penjara.
Meletup-letup gairah saya melihat keberanian semacam ini.

Saya lalu menonton ulang dokumentasi Bruce Lee. Wuaaah… pede-nya


setengah mati. Kecil saja tubuhnya, tetapi seluruhnya seperti cuma terdiri atas
otot. Itulah otot yang sanggup melahirkan teknik pukulan satu inchi yang
fenomenal. Di dalam tubuh sekecil itu menggelegak nyali yang menyala-nyala.
Ia taklukkan Amerika dengan pukulan satu inchinya dan memaksa orang-
orang yang dua kali lipat tinggi tubuhnya harus datang sebagai murid.
Lalu saya nonton konser Bee Gees di Las Vegas. Haaa… suara falset Gibb
bersaudara yang sebetulnya aneh itu, menjelma sebagai koor yang memukau.
Mereka telah menjadi para veteran. Si bungsu, Andi Gibb bahkan telah tiada
saat konser itu berlangsung. Tetapi tenggorokan mereka seperti masih tetap
sepeti sedia kala. Seluruh penonton hafal hingga titik koma lagu mereka. Tapi
tidak pernah sekalipun orang-orang ini terpancing mengacungkan mikrofonnya
ke arah penonton dan meminta untuk menirukan nyanyiannya. Di tengah
lautan pemuja, orang-orang ini tidak sekalipun tergoda berimprovisasi macam-
macam cuma karena dorongan untuk bergaya.

Ada jenis penyanyi yang begitu mendengar tepuk tangan langsung lenyap
kesadarannya lalu bergaya terlalu dini. Baru masuk intro sudah melenggak-
lenggokkan lagunya sedemikian rupa. Penonton pasti tidak butuh ini. Penonton
butuh lagu yang secara persis telah ada di benak mereka, dan Bee Gees
mengerti hukum ini. Di tengah histeria pemuja, Bee Gees tampil lurus, patuh,
tertip dan sederhana. Ini sungguh setara dengan orang kaya raya tetapi tetap
hidup bersahaja. Sungguh tirakat batin yang berat, dan hanya para juara yang
sanggup melakukannya.

Lalu saya nonton konsernya Guns N Roses. Wuaaa… urakan sekali AXL Roses
itu. Kalau ia tetangga saya, bisa jadi saya sudah meminta Pak Lurah untuk
mengusirnya. Tetapi ketika ia sudah berada di depan piano dan menyanyikan
November Rain itu…. Ups! Saya boleh tidak menyukai orang ini secara pribadi
tetapi saya tidak bisa untuk tidak menghormati bakatnya.

Terakhir: sebetulnya saya bukan sedang ingin membuat resensi buku dan
pertunjukan. Saya cuma sedang ingin menunjukkan; ada banyak harta karun
terpendam di rumah Anda. Bongkarlah dan temukan kebahagiaan yang
terancam Anda lupakan!

(Prie GS/)
Posted by Prie GS at Monday, January 14, 2008 0 comments Links to this post

Labels: konser, nonton


February 2008

Anda mungkin juga menyukai