Oleh
Tim Widyaiswara BPSDMD Prov. Jateng
Pendahuluan
Pendidikan menjadi faktor penentu kejayaan suatu bangsa di masa depan. Jepang
misalnya, bisa tampil sebagai bangsa yang kuat dan memukau dunia karena
menerapkan strategi pendidikan yang pas yang digali dari budaya Jepang. Bangsa
Jepang adalah bangsa pembelajar terbaik di dunia. Mereka belajar seperti
melakukan ibadah agama, yang dipraktekkan dengan penuh semangat karena
paham betul kegunaannya. Menyotek adalah melanggar agama sehingga
merupakan aib. Belajar dan mencari ilmu adalah jiwa dari masyarakat Jepang.
Semangat belajar yang tinggi sudah terbentuk sejak ratusan tahun. Sejak
masuknya Konfusianisme menjadi dasar kepercayaan Jepang. Sejak para elite
Samurai mulai meninggalkan pedangnya dan mengajar di sekolah sekolah, dan
sejak Restorasi Meiji. Konfusius juga mengajarkan pengikutnya untuk banyak
1
membaca. Melalui sistem pendidikan yang efektif nilai nilai budaya tersebut
tertanam kuat dalam masyarakat Jepang.
Oleh karena itu perlu dirumuskan strategi pendidikan yang pas untuk
menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, sehingga
selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
2
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.
Dengan demikian tujuan pendidikan, tidak hanya menghasilkan anak didik yang
mengabdi kepada angka-angka tetapi ada keseimbangan antara pengetahuan,
(kognitif),ketrampilan (psikomotorik), dan sikap mental (attitude) yang baik
sehingga pada akhirnya mampu menghasilkan anak didik mandiri yang
diharapkan berhasil menciptakan kerja bagi dirinya sendir (bukan menenteng
ijazah untuk mencari kerja). Oleh karena ini sesaat setelah dilantik menjadi
Menteri di Kementrian Pendidikan Nasional , Moh Nuh mencanangkan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Seiring dengan program pemerintah
tersebut sekolah memiliki tanggung jawab untuk merealisasikan melalui
pengintegrasian pendidikan karakter tersebut kedalam program pendidikan secara
keseluruhan. Sebagai lembaga sekolah diharapkan menjadi “Centre of Nation
Character Building”, pusat pembangunan karakter bangsa. Pendidikan karakter
bukan mata pelajaran, tetapi nilai nilai karakter itu harus ditanamkan kepada
kepada para peserta didik melalui pembelajaran di kelas maupun di luar kelas
3
angka akademik saja (Intelektual Quotient/ IQ), tetapi perlu menyeimbangkan
antara Intelektual Quotient (IQ), Emotional Quotiont (EQ), dan Spiritual Quotient
(SQ). Daniel Goleman (1997), dalam bukunya Kecerdasan Emosi berpendapat
sumbangan Intelektual Quotient terhadap kesuksesan seseorang maksimal 20 %,
sisanya yang 80 % sangat ditentukan oleh kecerdasan lainnya.
3. Kejujuran/ Amanah
Dari definisi di atas jenis dan jumlah pilar yang dipilih tentu akan berbeda
antara daerah satu dengan daerah lainnya, antar sekolah satu dengan sekolah
lainnya, tergantung urgensi dan kondisi daerah atau sekolah masing masing
4
Apakah tujuan pendidikan tersebut di atas sudah dijabarkan secara konsisten
dengan strategi pendidikan yang sesuai
Hal ini menjadi lebih buruk lagi hasilnya oleh sistem target dalam hal belajar
mengajar dengan memakai standar NEM. Dalam masyarakat yang berperilaku
santai, sistem NEM mendorong sekolah untuk memanipulasi angka, baik dengan
membocorkan materi ujian maupun membiarkan murid menyontek atau
mengangkat nilai. Oleh karena itu, fungsi pendidikan sudah berubah dari tujuan
mendidik murid menjadi memperalat murid demi memelihara “nama baik”
sekolah. Padahal untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi NEM
tidaklah menentukan secara otomatis dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Disamping itu perlu penyeimbang dalam strategi pendidikan kita bukan hanya
terfokus kepada kepandaian intelektual tetapi perlu kepandaian emosional maupun
spiritual.
Secara garis besar permasalahan akibat strategi pendidikan nasional yang kurang
sesuai adalah:
1. Rendahnya kualitas pendidikan, dan kurang adanya pemerataan
memperoleh pendidikan, hal ini dikarenakan pendidikan kurang menggali
dari nilai-nilai yang menjadi budaya bangsa.
5
2. Pendidikan hanya mengabdi kepada kepentingan angka-angka. Hanya
terfokus pada penggunaan otak kiri. Kurang ada penyeimbang dalam hal
kecerdasan.
3. Pendidikan belum mampu menciptakan lulusan pencipta kerja.
Selama ini yang banyak dikenal masyarakat tujuan pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantoro hanyalah Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangunkarso, Tut
Wuri Handayani (dibelakang memberi dorongan/semangat). Tentu hal ini tidak
salah dan bahkan setiap siswa/ anak didik hafal diluar kepala ajaran luhur
tersebut. Soal implementasi perlu pengkajian lebih lanjut.
Ajaran Ngerti, Ngroso, lan Nglakoni bernialai filosofi tinggi dan nyaris
tak pernah diketahui anak didik apalagi awam. Nyaris tidak terdengar. Padahal
arti ajaran tersebut sungguh bernilai sangat tinggi
6
Apabila sebagian besar pemimpin, pejabat bangsa ini mampu
mengimplemantasikan ajaran Ngerti, Ngroso, Nglakoni, niscaya negeri ini tak
akan seperti sekarang ini. Sayangnya pendidikan saat ini berfokus kepada angka-
angka yang esensinya kurang berdampak nyata terhadap kehidupan berkarakter.
7
1. Pendidikan Multi Budaya (Multi Culture Education)
Selain ditentukan oleh konsep ideologi bangsa, juga ada kesetaraan dalam
pendidikan di sekolah, tanpa membedakan dari kelompok mana (siapa)
berasal, sehingga dapat mempromosikan kesetaraan pendidikan untuk
semua siswa dari berbagai kelompok.
Hal ini selaras dengan Permenpan No. 39 tahun 2012 yang merupakan
revisi dari Kepmenpan No. 25 tahun 2002. tentang pengembangan
implementasi nilai nilai Budaya Kerja. Pola lama nilai nilai budaya kerja
sudah dirumuskan oleh pemerintah sejumlah 17(tujuh belas pasang nilai),
Sedangkan pola baru nilai nilai yang akan menjadi acuan dam bekerja
dirumuskan atau digali sendiri berdasarkan ajarn agama, falsafah negara,
kebiasaan yang berkembangkan di masyarakat (kearifan lokal)
1) Learning to know
8
Sejalan dengan hakikat penerapan ilmu pengetahuan pada proses
pembelajaran Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Sebagai
makhluk Tuhan diberi kemampuan untuk mengelola kemajuan
taraf hidup manusia (Transfer of Learning).
2) Learning to Do
3) Learning to be
9
4) Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri.
3. Pendidikan Kewirausahaan
10
Dari pengalaman di beberapa negara antara lain Amerika Serikat, Mexico,
beberapa negara di Amerika Latin, Eropa, Jepang, India dan Papua New
gine, pelaksanaan program ini telah menunjukkan hasil yang nyata, antara
lain yaitu, adanya perubahan pola pikir dan pola tingkah laku yang sesuai
dengan tuntutan nilai nilai yang berkembang sesuai dengan kemajuan
suatu negara serta meningkatnya perkembangan perekonomian negara
negara yang bersangkutan khususnya di sektor industri.
11
Pelatihan AMT sangat berbeda dengan jelas pelatihan yang lain, untuk
lebih memahaminya seperti tergambar pada skema di bawah ini :
Pelatihan Umum
Kemampuan
Mampu
Pengembangan Diri
Produktivitas
Pengenalan Diri
Mau
12
gabungan dari kognitif, afektif dan psikomotorik, AMT menghasilkan
kemauan, semangat, tahan banting dalam menghadapi persoalan.
Gabungan antara mampu dan mau untuk mengembangkan diri sehingga
menghasilkan produktivitas kerja. Produktivitas secara filosofis artinya
adalah suatu sikap mental yang memandang bahwa mutu kehidupan hari
ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini. Sikap ini perlu
ditanamkan kepada anak didik, karena kalau hari ini sama dengan kemarin
termasuk golongan yang merugi, apalagi kalau hari ini lebih buruk dari
kemarin termasuk golongan yang tercela. Golongan yang beruntung
adalah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Sehingga dari hari
kehari berubah teru ke arah yang lebih baik
13
2. Hubungan Need for Achievement ( N-Ach ) dengan kewirausahaan
Simpulan
14
Strategi tersebut akan berdampak secara nyata bila dibarengi dengan perubahan
olah pikir , olah sikap dan olah perilaku.
Artinya pembelajaran akan jauh lebih efektif bila suasana belajar mengajar
menyenangkan. Selaras j dengan yang disampaikan Ibu Ratna Megawangi bahwa
Sekolah bahasa Inggrisnya School.berasal dari bahasa Yunani Scholea artinya
tempat untuk bersenang senang. Demikian juga Bobbi De Porter dalam bukunya,
“ Quantum Teaching”, menganjurkan agar sistem pengajaran dirancang
sedemikian rupa sehingga menggairahkan dan menyenangkan.
Sayangnya banyak guru yang tidak memahami hal tersebut, sehingga pada saat
proses belajar mengajar suasana kelas menjadi demikian menegangkan, guru
hanya berstempel sebagai pengajar tetapi bukan guru berstempel sebagai
pendidik
Harus ada perubahan pola pikir dalam memandang pendidikan, dari yang tadinya
beban menjadi sesuatu yang menyenangkan . Dengan demikian pendidikan di
negeri ini selalu mengalami perbaikan yang berkelanjutan..
Anak didik bergairah menuju sekolah untuk mebangun Indonesia kedepan yang
lebih cerah. Amin 3x
Daftar Pustaka
15
Sagala, syaiful,2011. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan, Bandung, Alfabeta .
16