Anda di halaman 1dari 31

Pendidikan Nasional VS Pendidikan Madrasah, Kelebihan,

Kekurangan serta Strategi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan

Idikan Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Kapita Selekta Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Arifin, M.Pd.

Disusun oleh :

Putra Nahdi Abiyyu 20.1.2037

(Semester 7A)

INSTITUT AGAMA ISLAM DEPOK (IAID) AL-KARIMIYAH


Jalan H. Maksum No. 23, Sawangan Baru, Kecamatan Sawangan
Kota Depok, Jawa Barat
16511
DAFTAR ISI

BAB I................................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................................4

C. Tujuan.....................................................................................................................4

BAB II...............................................................................................................................5

PEMBAHASAN............................................................................................................... 5

A. Pendidikan Nasional...............................................................................................5

B. Kelebihan Dan Kekurangan Pendidikan Nasional................................................. 7

C. Pendidikan Madrasah........................................................................................... 11

D. Kelebihan Dan Kekurangan Pendidikan Madrasah..............................................15

E. Strategi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan...................................................22

BAB III............................................................................................................................27

PENUTUP.......................................................................................................................27

A. Kesimpulan...........................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 28

i
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah Pendidikan seringkali diartikan dan dimakna secara beragam,

bergantung pada sudut pandang masing-masing orang dan teori yang

dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks

akademik merupakan sesuatu yang wajar, bahkan dapat semakin memperkaya

wawasan berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya

1
masyarakat, bangsa dan negera.

Terdapat tiga pokok pikiran utama yang terkandung di dalam definisi

tersebut diatas, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan

potensi dirinya dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan pengendalian

diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

2
dirinya, masyarakat, bangsa dan negera.

1 Harefa, D., Telaumbanua, T. (2020). Belajar Berpikir dan Bertindak Secara Praktis Dalam
Dunia Pendidikan kajian untuk Akademis. CV. Insan Cendekia Mandiri.
2 Iyam Maryati, Yenny Suzana, Darmawan Harefa, I. T. M. (2022). Analisis Kemampuan
Komunikasi Matematis dalam Materi Aljabar Linier. PRISMA, 11(1), 210–220.

1
2

Pada dasarnya, setiap kegiatan yang dilakukan manusia memiliki dampak

positif dan dampak negatif. Dampak positif tentunya merupakan sebuah harapan

yang diinginkan oleh setiap manusia. Dan dampak negatif adalah sesuatu yang

dapat menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia. Jika dikaitkan dengan dunia

pendidikan, penerapan pendidikan yang berjalan secara tidak baik akan

menimbulkan dampak negatif. Hal ini merupakan penghambat bagi suatu proses

kelancaran dalam proses belajar mengajar. Dan peristiwa ini banyak terjadi di dalam

dunia pendidikan formal. Permasalahan demi permasalahan pendidikan di Indonesia

dituai tiap tahunnya. Permasalahan pun muncul mulai dari aras input, proses,

sampai output. Ketiga aras ini sejatinya saling terkait satu sama lain. Input

mempengaruhi keberlanjutan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran pun

turut mempengaruhi hasil output. Seterusnya, output akan kembali berlanjut ke

input dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi atau masuk ke dalam dunia

3
kerja, dimana teori mulai dipraktekkan.

Pendidikan merupakan sektor penting dalam pembangunan bangsa, melalui

pendidikan kita menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengisi

pembangunan bangsa ke depan. Pentingnya pendidikan sebagai pilar pembangunan

secara tegas tertuang dalam pembukaan UUD Faridah Alawiyah, Pendidikan

Madrasah di Indonesia 1945. Sesuai alinea ke-4 salah satu tujuan bangsa Indonesia

adalah Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Cerdas dalam semua lini kehidupan

berbangsa dan bernegara. Indonesia menyelenggarakan pendidikan dalam satu

sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah penyelenggaraan

3 Megawanti, P. (2012). Permasalahan Pendidikan Dasar Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan


MIPA, 2(3), 227–234
3

pendidikan Islam yang diselenggarakan bersama antara Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Kementerian Agama (Kemenag) yang

fokus menyelenggarakan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.

Peranan pendidikan Islam di kalangan umat Islam sebagai agama

mayoritas penduduk Indonesia merupakan salah satu bentuk manifestasi dari

cita-cita hidup Islami untuk melestarikan, mengalihkan, menanamkan

(internalisasi), dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi

generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan

4
dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu.

Kiprahnya untuk mencetak generasi penerus bangsa tidak bisa diabaikan lagi.

Salah satunya melalui penyelenggaraan pendidikan Islam dalam bentuk

pendidikan formal yang sering kita kenal dengan madrasah. Madrasah tersebut

memiliki payung hukum sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah

Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

dalam bentuk Raudhatul Athfal (RA), Madrasah, dan Perguruan Tinggi Agama,

serta Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Tulisan ini bertujuan membahas mengenai gambaran Pendidikan nasional

dan juga pendidikan Islam yang berbentuk madrasah di Indonesia termasuk

didalamnya kelebihan dan kekurangan dari masing masing sistem Pendidikan dan

juga strategi untuk meningkatkan mutu Pendidikan. Kajian ini menggunakan

4 Suhartini, Andewi. 2004. Dasar-Dasar Pendidikan Islam Kerangka Teoritis dalam Bunga Rampai
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Angkasa. Hal.3.
4

metode studi kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder dari berbagai

sumber.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Pendidikan Nasional?

2. Apa kelebihan dan kekurangan dari pendidikan nasional?

3. Apa itu Pendidikan Madrasah?

4. Apa kelebihan dan kekurangan dari Pendidikan Madrasah?

5. Bagaimana Strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pendidikan Nasional.

2. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari pendidikan nasional.

3. Untuk mengetahui Pendidikan Madrasah.

4. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari Pendidikan Madrasah.

5. Untuk mengetahui Strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan.


BAB II

PEMBAHASAN
A. Pendidikan Nasional

Ahmad D. Marimba memaknai pendidikan sebagai bimbingan atau

pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani

5
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Marimba pun

merumuskan lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu; 1) Usaha yang bersifat

bimbingan, pertolongan, atau pimpinan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada

pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau peserta didik. 4)

Adanya dasar atau tujuan dalam bimbingan tersebut. 5) Adanya alat yang

digunakan dalam usaha tersebut.

Soeganda Poerbakawatja lebih umum mengartikan pendidikan sebagai

upaya dan perbuatan generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya,

pengetahuannya, kecakapannya dan keterampilannya kepada generasi muda

6
untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.

Berkenaan dengan pendidikan nasional, sepertinya pendapat Ki Hajar

Dewantoro, yang disunting oleh Abuddin Nata, sudah bisa mewakili. Ia berpendapat

bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari

bangsanya dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat

derajat Negara dan rakyatnya agar dapat bekerjasama dengan bangsa

5 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 2007), hal.166.
6 Soeganda Purbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung,
2007), hal. 11.

5
6

lain untuk kemuliaan segenap manusia di muka bumi.9 Lebih lanjut, Ki Hajar

Dewantara menyoroti pendidikan sebagai upaya memelihara hidup tumbuh ke

arah kemajuan. Pendidikan menurutnya adalah usaha kebudayaan berasaskan

peradapan, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.

Sementara dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dijelaskan

bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan

demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan

kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan tersebut

dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UU sisdiknas).

Dalam rangka mewujudkan sistem pendidikan nasional, hal-hal yang

berkenaan dengan dasar, tujuan, fungsi, unsur-unsur pokok dan azas-azas

pelaksanaan pendidikan nasional dituangkan dalam kurikulum. Kurikulum

merupakan seperangkat minimal program belajar mengajar untuk mencapai tujuan

pendidikan, baik pendidikan umum, khusus maupun pendidikan kemasyarakatan.

Kurikulum sebagai perangkat dan upaya pelaksanaan pendidikan nasional

hendaknya disusun sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan tujuan lembaga

sesuai dengan jenis dan jenjangnya serta kaitannya satu sama lain. Di samping itu

harus diperhatikan tahap-tahap perkembangan anak didik serta relevansi kurikulum

terhadap lingkungan dan pembangunan nasional.

Penyusunan program belajar mengajar didalam pendidikan nasional

didasarkan atas kurikulum induk nasional. Atas dasar kurikulum induk tersebut

disusun paket program belajar mengajar, baik untuk jenis pendidikan umum,
7

kejuruan, pendidikan kemasyarakatan maupun untuk pendidikan khusus

(kedinasan dan keagamaan). Kurikulum sebagai perangkat minimal program

belajar mengajar terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai bahan, komposisi

7
bahan, sistem penyampaian dan sistem evaluasi.

B. Kelebihan Dan Kekurangan Pendidikan Nasional

Kelebihan sistem pendidikan nasioanal adalah sebagai berikut:

1. Biaya pendidikan yang terjangkau

Peserta didik di negeri ini tak perlu menghabiskan banyak biaya untuk

pembayaran fasilitas pendidikan. Negara sudah menanggung biaya tersebut.

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dana Anggaran

Pendapatan Belanja dan Negara (APBN) yang dialokasikan untuk pendidikan

ialah sebanyak 20 persen. Jumlah tersebut menjadi bentuk upaya pemerintah

dalam mewujudkan visi negeri, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Contohnya, pada tahun 2018, Indonesia memiliki total anggaraj

sebanyak Rp2.200 triliun. Pemerintah Indonesia tercatat melakukan alokasi dana

sekitar Rp444,131 triliun untuk edukasi rakyat pada APBN 2018. Persentase

sebanyak 20 persen memang telah dituangkan dalam Lampiran XIX Peraturan

Presiden tahun anggaran 2018. Anggaran tersebut terbagi atas tiga alokasi, yakni

Rp15 triliun melalui pembiayaan, Rp279,450 melalui dana desa atau transfer

daerah, serta Rp159.680 triliun melalui belanja pemerintah pusat.

7 Daradjat, Zakiah. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Hal.25.
8

Adapun Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang tidak membolehkan

sekolah menagih iuran dari wali peserta didik. Jika memang dana yang diberikan

pemerintah untuk sekolah masih kurang, hanya komite sekolah yang berhak

meminta kekurangan biaya pada wali siswa.

2. Sistem yang transparan

Dalam pendidikan Indonesia sekarang, sistem dijalankan secara

transparan. Berkat hal ini, wali murid dapat mengawasi proses pembelajaran

dengan mudah dan jelas. Wali peserta didik pun bisa ikut serta mengembangkan

kecerdasan dan keterampilan para murid sendiri berdasarkan proses

pembelajaran di sekolah.

3. Kurikulum disusun oleh orang-orang ahli dan berpengalaman

Dahulu, kurikulum hanya disusun oleh para ahli. Namun, sejak adanya

Kurikulum 2013, guru sebagai praktisi juga bisa terlibat dalam penyusunan

kurikulum. Terlebih, guru adalah orang yang langsung terjun ke lapangan

sehingga diharapkan dapat mengetahui materi-materi yang dibutuhkan dan

menggali bakat para peserta didik.

4. Pertimbangan penerimaan siswa lebih mudah

Pemerintah di masa ini sedang menggalakkan pengurangan kesenjangan

antardaerah. Tidak ada lagi istilah “daerah terpencil”. Pemerintah pusat maupun

daerah akan memfasilitasi tiap sekolah. Belum lagi, adanya sistem zonasi baru-
9

baru ini membuat semua sekolah negeri mempunyai kewajiban dan hak yang

sama. Tak ada lagi yang dijuluki “sekolah favorit”.

Dahulu, peserta didik beramai-ramai mendaftar ke sekolah-sekolah yang

dianggap unggul di tengah masyarakat. Namun, dengan sistem zonasi yang baru

beberapa tahun terakhir diterapkan, penerimaan murid hanya mempertimbangkan

daerah dan umur. Peserta didik pun tidak diberi syarat minimal lulusan Taman

Kanak-Kanak. Dengan sistem pendidikan ini pula, seluruh peserta didik yang

8
mendaftar bisa menuntut ilmu dekat dengan domisili mereka.

Kekurangan yang dimiliki oleh sistem pendidikan nasioanal adalah

sebagai berikut:

1. Ketidakonsistenan yang dilakukan para pengambil kebijakan baik DPR

maupun pemerintah dalam menindaklanjuti tujuan pendididikan. Kegagalan

pelaksanaan sistem pendidikan nasional sangat dipengaruhi oleh politik baik

dalam penentuan nilai-nilai dan karakter manusia yang dibutuhkan,

penentuan besarnya dana untuk pendidikan, penentuan proses belajar

mengajar, dan penentuan perilaku warga negara yang diharapkan.

2. Ketidakkonsistenan pendanaan Pendidikan antara yang disebutkan dalam UUD

1945 pasal 31 ayat (4) bahwa Negara harus memprioritaskan anggaran

pendidikan sekurang kurangnya 20 % dari APBN/APBD dengan kenyataan dan

praktik pendanaan pendidikan. Kenyataanya bahwa anggaran penyelenggaraan

pendidikan sebesar 20% APBN/APBD tersebut didalamnya

8https://mutuinstitute.com/post/sistem-pendidikan-indonesia-kelebihan-dan-kekurangan/ dikutip pada 2


november 2023.
10

sudah termasuk gaji guru dan lain-lain. Ketidakonsistenan dalam pendanaan

pendidikan menyebabkan sarana pendukung pendidikan seperti gedung

sekolah, lapangan olah raga, dan alat prasarana lainya menjadi tidak sesuai

dengan kebutuhan. Ketidakonsistenan pendanaan juga menyebabkan

pengembangan sekolah dan mutu lulusan menjadi rendah.

3. Kurangnhya guru profesional. Sistem pendidikan nasional seperti apa yang

dapat berfungsi untuk mencapai cita-cita seperti dalam mekadimah UUD

1945? Jawabnya adalah sistem pendidikan nasional yang proses

pembelajaranya bermakna yaitu sebagai proses pembudayaan berbagai

kemampuan (multiple intellegent), nilai, dan sikap. Tentu saja proses belajar

yang bermakna ini tidak bisa dilepaskan dari manajemen dan pembiayaan

penyelenggaraan yang menunjang. Salah satu hal penting dalam

pengembangan proses pembelajaran yang bermakna adalah tersedianya

guru-guru yang profesional. Dari 2,7 juta guru di Indonesia, kualifikasi

pendidikannya masih rendah, yaitu 65% pendidikan guru mereka dibawah 4

9
tahun. Belum lagi bicara mutu. Penyediaan guru yang profesional selama ini

terabaikan. Selama ini profesionalitas guru-guru di Indonesia beragam. Jika

jabatan profesionalitas guru disejajarkan dengan jabatan profesional lainya

seperti dokter dan pengacara, maka profesionalitas guru masih tertinggal.

4. Pendidikan yang berlangsung selama ini pada umumnya tidak menghasilkan

sesuai tujuan pendidikan nasional. Ini salah satunya disebabkan proses

pembelajaran yang tidak bermakna karena proses pembelajaran selama ini

9 Fasli Jalal. 2009. Teacher Sertification in Indonesia, A Strategy for Teacher Quality
Improvement. Jakarta, Depdiknas. hal. 2.
11

tidak pernah mencapai tingkatan joy of dicovery pada learning to know, joy

of being succesfull in achieving objective pada learning to do dan joy of

10
getting to gether to achieve common goal pada learning to live together.

Gagalnya proses pendidikan yang menyenangkan tersebut menyebabkan

kegagalan dalam membentuk kepribadian (learning to be) yang mantap,

kreatif dan mandiri. Selama ini proses pembelajaran di sekolah lebih banyak

hanya mendengar, mencatat, dan menghapal.

C. Pendidikan Madrasah
Dalam dunia pendidikan Islam, madrasah dibentuk awalnya mengajarkan

berbagai pengetahuan keagamaan, melatih pengalaman dalam ajaran-ajaran

Islam, termasuk praktek ibadah, muamalah, serta akhlaq. Pada periode awal ini

madrasah tidak mengenal kategorisasi ataupun polarisasi ilmu pengetahuan,

sehingga tidak ada persoalan dikotomi ilmu, semua ilmu pengetahuan dipandang

sebagai bagian dari ilmu-ilmu islam dan dikembangkan oleh ulama yang

keislamannya tidak diragukan.

Model sekolah yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk

rakyat Indonesia pada awalnya terbatas pada kalangan bangsawan, berupa sekolah

kelas satu yakni Hollands Inlandsche school (HIS) dan sekolah kelas dua yakni

Standard School, yang diselenggarakan dengan tujuan mencetak pegawai-pegawai

11
pemerintah. Pada masa penjajahan, sesuai dengan misi kolonialisme,

10 Soedijarto.2013. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan tenaga Pendidikan Sebagai Unsur Strategis
Dalam Penyelenggraaan Satu Sistem Pendidikan Nasional.Makalah. Disajikan dalam pertemuan
dengan FPP-DPRRI, Jakarta, 30 Januari 2013. Hal.18.
11 Mastuhu,. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: PT Logas Wacana Ilmu. 1999, hal.113
12

pendidikan Islam dianaktirikan.. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah

liar, bahkan pemerintah kolonial telah memproduksi peraturan-peraturan yang

membatasi, atau justru mematikan sekolah sekolah termasuk madrasah. Dengan

kata lain, pemerintah kolonial belanda bersikeras, melalui berbagai kebijakannya,

12
menolak peranan Islam dalam kehidupan publik. Akibat kebijakan deskriminatif

pemerintah kolonial tersebut, pendidikan Islam, termasuk madrasah menghadapi

kesulitan-kesulitan dan bahkan terisolasi dari arus modernisasi.

Era baru madrasah dimulai tahun 1930 ketika madrasah mulai

13
menggunakan kurikulum dan metode pembelajaran yang terorganisasikan.

Sebagai upaya menciptakan pendidikan Islam yang seimbang dan sederajat

dengan pendidikan sekolah ala Belanda yang bersifat formal dan sekuler. Hal ini

mempengaruhi para pemikir pendidikan pada saat menjelang kemerdekaan

dalam penentuan sistem pendidikan Indonesia, antara sistem pendidikan pribumi

yang berupa pondok pesantren dan madrasah ataukah sistem pendidikan umum

seperti yang dikembangkan oleh Belanda. Adapun pilihan akhirnya jatuh pada

sistem pendidikan umum yang berorientasi pada sekolah ala Belanda.

Sedangkan madrasah eksistensinya tetap berbasis pada swadaya masyarakat

(swasta), tetap pada jalurnya sendiri yang terpisah dari sistem pendidikan

nasional. Dan ini berarti pesantren dan madrasah berada pada posisi marjinal

sebagaimana terjadi di saat belum merdeka, yang memprihatinkan lagi

pemerintahan sudah ditangan pribumi.

12 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia,( Bandung:Mizan, 1998), hlm.149 5Abdul Aziz, Edukasi, 2005 : 34
13 Abdul Aziz, Edukasi, 2005 : 34
13

Angin segar bagi madrasah berhembus saat dikeluarkanya maklumat

pada tanggal 22 Desember 1945 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia

Pusat (BP KNIP), yang diantaranya menganjurkan untuk memajukan pendidikan

dan pengajaran di madrasah, pengajian-pengajian di langgar atau surau-surau,

dan pondok pesantren. Serta menyarankan agar institusi-institusi pencerdasan

rakyat seperti itu yang keberadaannya sudah berakar dalam masyarakat

Indonesia, mendapat perhatian dan bantuan material dari pemerintah. Maklumat

ini diwujudkan melalui Departemen Agama yang didirikan pada 3 Januari 1946,

dan sejak saat itu pembinaan dan pengembangan madrasah dan pondok

pesantren menjadi tugas pokok pemerintah yang diselenggarakan oleh

Departemen Agama RI. Dan melalui Panitia Penyelidik Pengajaran, telah

mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 tentang pemberian

14
subsidi bantuan terhadap lembaga pendidikan Islam.

Melalui Departemen Agama pula, pemerintah berusaha mengintegrasikan

pendidikan madrasah menjadi salah satu komponen pendidikan nasional, dan upaya

ini membuahkan hasil dengan diakuinya lembaga pendidikan agama secara yuridis

yang dituangkan dalam ”Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4

Tahun 1950 ayat 2, menyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah

mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban

belajar´ Kebijakan ini kemudian menuntut madrasah agar dapat diakui, harus

memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar yaitu memberikan

pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit

14 Burhanudin, Jajat dan Dina Afrianty (ed.). Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan
Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada. 2006.hal.23.
14

6 jam seminggu di samping pelajaran umum lainnya, dan terdaftar di

Kementerian Agama.

Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang eksistensinya

tidak bisa dilepaskan para ulama atau intektual muslim Indonesia yang peduli

terhadap agama Islam. Dalam bukunya Mahmud Yunus disebutkan bahwa

perkembangan pendidikan Islam bisa dibagi kedalam masa awal perintisan,

15
masa awal penjajahan dan pasca kemerdekaan.

Hal ini pada tingkatan madrasah, yang mana pada Bab I, paal 1, ayat (2)

dari SKB 3 Menteri dinyatakan bahwa tiga tingkatan Madrasah meliputi;

1. Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar.

2. Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menegah Pertama.

3. Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas.

Selanjutnya dari implikasi dari Bab pertama di atas menimbulkan Bab II

disebutkan juga bahwa:

1. Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke Sekolah Umum setingkat lebih atas.

2. Siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum yang setingkat. Lulusan

Madrasah dapat melanjutkan ke Sekolah Umum setingkat lebih atas.

3. Siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum yang setingkat.

Perkembangan madrasah secara kualitas belum bisa berbicara banyak,

walaupun di daerah tertentu telah ada medrasah berkualitas berkaliber Nasional

15 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, Mutiara, 1979).


15

seperti di Malang mulai dari MI, MTs, dan MA, dan di Jakarta dengan Madrasah

Insan Cendekia. Menurut Husni Rahim ”Praktek pendidikan Islam di Indonesia

sebagaimana diidentifikasikan mengalami pasang surut dari waktu ke waktu,

walaupun demikian dalam perkembangannya terakhir, menunjukan kemajuan

16
setidak-tidaknya jika dilihat dari indikator kuantitas. Keadaan perkembangan

pendididkan Islam di Indonesia belakangan dapat dilihat dari data yang

menunjukan peningkatan jumlah madrasah dan peserta didiknya (siswa), mulai

dari tingkat Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), sampai Aliyah (MA) baik.

Perkembangan madrasah di Indonesia cukup pesat, hal ini dapat dilihat

dari jumlah madrasah yang setiap tahun semakin bertambah. Menurut data

Kemenag hingga akhir tahun 2011 jumlah madrasah sudah lebih dari 43.640

buah. Banyaknya madrasah yang tersebar di seluruh pelosok negeri membantu

pencapaian pemerataan pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, dalam

penyelenggaraannya, madrasah kerap menghadapi masalah. Persoalan klasik

dari penyelenggaraan pendidikan di madrasah antara lain terkait dengan

pengelolaan madrasah yang berada di bawah pembinaan dua kementerian yaitu

Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, kesenjangan antara madrasah

negeri dan swasta, serta mutu madrasah yang masih rendah.

D. Kelebihan Dan Kekurangan Pendidikan Madrasah


Madrasah merupakan bagian dari Sisdiknas memiliki peran yang cukup

penting dalam pendidikan dan sejajar dengan sekolah umum. Perbedaan antara

madrasah dan sekolah umum terletak pada sejarah pembentukannya serta ciri

16 HusniRahim,Pendidikan Islam Di Indonesia Keluar Dari Eksklusivisme, (dalam Pendidikan


untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo (editor), Jakarta, PT Grasindo,
2002 ,hal.39
16

khasnya. Dari sisi sejarah, sekolah atau pendidikan umum dibentuk dari model

pendidikan umum yang dibangun pada masa kolonialisme Belanda, sementara

madrasah dibentuk sebagai respons terhadap pandangan umum bahwa sekolah-

sekolah Belanda hanya diperuntukkan bagi kaum elit yang berkuasa dan pejabat

pemerintahan. Madrasah itu sendiri memiliki kelebihan yang dapat

dimanfaatkan sebagai potensi kedepannya dan kekurangan yang dapat

digunakan sebagai bahan evaluasi kedepannya.

Menurut Abdurrahman madarasah memiliki kelebihan dan peluang

sebagai berikut:

1. Berperan strategis dalam peningkatan sumber daya manusia khususnya

dalam bidang keagamaan.

Kehidupan beragama yang semakin semarak dan semakin diamalkan dalam

kehidupan pribadi maupun dalam sosial kemasyarakatan memberi peluang

untuk bersama-sama membangun khususnya dalam bidang pendidikan yang

mempunyai peranan strategis dalam peningkatan sumber daya manusia.

Ditengah krisis moral yang terjadi di Indonesia, pendidikan madrasah

menjadi pilihan tepat karena paket pendidikan di dalamnya sudah

mencangkup pemberian wawasan ilmu agama.

2. semakin berfungsinya Kementerian Agama dalam pembinaan dan

pengelolaan madrasah. Hal ini kemudian dikuatkan dengan adanya program

strategis Kementerian Agama yakni meningkatkan mutu pendidikan

madrasah.
17

3. Animo masyarakat dan gairah beribadah untuk berperan serta dalam ikut

serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun manusia Indonesia

seutuhnya, serta meningkatkan sumber manusia melalui penyelenggaraan

madrasah dan memasukkan putra-putrinya pada jenjang pendidikan

madrasah.

4. Mengembangkan program sesuai dengan kemandirian dan ciri kekhususan

madrasah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional.

5. Dukungan masyarakat yang sangat luas dalam upaya untuk ikut berperan

serta dalam menyelenggarakan madrasah baik dalam hal pengelolaan,

pembangunan maupun dalam hal tanggung jawab kemitraan dalam

pengabdiannya kepada bangsa, negara dan agama.

Pertama, persoalan dualisme pengelolaan pendidikan. Pengelolaan

pendidikan madrasah berada dibawah dua kementerian yaitu Kemendiknas dan

Kemenag. Pengelolaan ini seringkali menimbulkan kecemburuan terutama dari

segi pendanaan, perhatian, bantuan, yang seringkali mendapat perlakuan yang

berbeda. Anggaran pendidikan untuk madrasah yang diambil dari anggaran

pendidikan langsung dikelola oleh Kemenag. Namun jumlahnya tidak sebanding

dengan jumlah madrasah yang ada di seluruh Indonesia. Sehingga kucuran dana

yang diberikan menjadi terbagi dan lebih kecil dibandingkan dengan sekolah

umum. Selain itu kesejahteraan guru di madrasah juga cukup memprihatinkan.

Sistem dualisme pengelolaan pendidikan ini memang telah terjadi di Indonesia

sejak lama, dan menjadi bentuk jalan kompromi politik kelompok kepentingan
18

17
dalam masyarakat Indonesia. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus.

Madrasah secara bersama dengan sekolah umum ikut memajukan pendidikan

dan memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan dalam menghasilkan

lulusan yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan umum, tetapi juga

berbekal ilmu pengetahuan agama. Sudah sepatutnya mendapat perhatian ekstra

dari dua kementerian ini. Kemenag dan Kemendikbud tentu saja harus

mengabaikan ego sektoralnya dalam mengembangkan pendidikan. Karena

madrasah pun menjadi bagian dalam Sisdiknas.

Kedua, kesenjangan antara madrasah negeri dengan madrasah swasta.

Ada perbedaan perlakuan yang diberikan untuk madrasah negeri dan swasta.

Perbedaan perlakuan ini sangat dirasakan oleh madrasah swasta. Pemberian

bantuan pendidikan untuk madrasah swasta selalu dinomor-duakan. Contohnya

saja, dalam hal pemberian beasiswa baik untuk siswa maupun untuk guru.

Sarana dan prasarana pun masih kurang memadai. Pembinaan sekolah atau

madrasah swasta yang minim perhatian. Padahal jumlah madrasah negeri dan

swasta sangat jauh sekali perbedaannya.

Ketiga, persoalan mutu madrasah. Seperti yang telah diungkapkan Supangat

Meskipun madrasah telah berkontribusi bagi pencerdasan kehidupan bangsa, namun

18
masih menghadapi berbagai kendala yang sulit dihindarinya. Menurut Amirullah,

hambatan terbesar yang dihadapi madrasah adalah rendahnya kualitas proses

pendidikan yang ada didalamnya. Hal ini terjadi karena aspek manajemen, aspek

kurikulum dan aspek kualitas tenaga pendidiknya yang dinilai

17 Subhan, Arief. 2012. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.Hal.230.


18 Supangat. 2011. “Transformasi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Jurnal
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Tahun 15 Nomor 1.Hal.155.
19

masih rendah. Pada umumnya madrasah masih dihadapkan pada beberapa

kendala yang mempengaruhi mutu baik proses maupun hasil pendidikan, baik

berkenaan dengan latar belakang siswa dan keluarganya, dukungan berbagai

sumber pendidikan, kualifikasi dan rendahnya partisipasi dari masyarakat.

Persoalan yang dihadapi madrasah terutama pada pencapaian mutu dipicu

karena tidak terpenuhinya standar-standar tertentu, seperti infrastruktur,

pendidik dan tenaga kependidikan, kurikulum, calon siswa, proses

pembelajaran, dan manajemen kelembagaannya. Pendirian madrasah sering

kurang mempertimbangkan pemenuhan aspek mutu baik standar pelayanan

19
pendidikan maupun standar nasional pendidikan.

Keempat, beban kurikulum di madrasah yang cukup berat. Kurikulum

yang diterapkan di madrasah adalah 100% kurikulum sekolah umum ditambah

dengan kurikulum berciri khas agama. Mata pelajaran keislaman menjadi

tambahan dengan proporsi sepenuhnya diserahkan kepada madrasah dan

persentasi kurikulumnya 100% agama dan 100% umum (Arief, 2012:257). Hal

ini mengakibatkan beban belajar siswa madrasah lebih berat dibandingkan

dengan siswa sekolah umum. Seperti diungkap Junaidi yaitu di satu sisi

pendidikan madrasah harus memperkaya dengan ilmu-ilmu agama, namun disisi

lain harus memahamkan diri pada pengetahuan umum sehingga dikhawatirkan

20
penguasaan ilmunya justru setengah-setengah. Hal ini menjadikan proses

pendidikan di madrasah tidak optimal.

19 Minnah, Ek Widdah, Asep Suryana, dkk. 2012. Kepemimpinan Berbasis Nilai dan
Pengembangan Mutu Madrasah. Bandung: Alfabeta. Hal.5.
20 Junaidi, 2003. “Reformasi Pendidikan” dalam Bunga Rampai Kapita Selekta Pendidikan
Islam. Bandung: Angkasa. Hal.77.
20

Sejalan dengan pendapat Marwan yang menyebutkan bahwa terdapat

beberapa kelemahan pendidikan Islam antara lain alokasi waktu pendidikan di

madrasah, isi kurikulum yang terlalu padat, sarana dan prasarana yang tidak

memadai, kurangnya kerjasama guru, kurangnya kompetensi guru dalam ilmu

yang diampu, serta kurangnya kemampuan yang komprehensif untuk menjawab

permasalahan dalam perkembangan zaman, serta pemberian metode pendidikan

21
yang tidak tepat. Hal inilah yang menjadikan mutu pendidikan madrasah

terutama madrasah swasta memiliki mutu rendah. Berbagai permasalahan

madrasah tersebut masih belum diperoleh penyelesaiaannya, meski begitu

penyelenggaraan pendidikan madrasah terus berjalan. Kemenag maupun

Kemendikbud sebagai aktor penting dalam penyelenggaraan pendidikan di

madrasah perlu duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan tersebut

sehingga dapat diperoleh titik temu yang selanjutnya dampaknya akan dirasakan

oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Adapun masalah yang sering dihadapi oleh Pendidikan madrasah menurut

Abdurrahman adalah sebagai berikut:

1. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, perubahan sosial dan globalilsasi

yang demikian cepat, yang tidak dibarengi percepatan konsepsional, tehnik

metodologi maupun administrasi, managemen di lingkungan madrasah.

21 Sarijo, Marwan. 1998. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Departemen Agama RI. Dirjen
Pembina Kelembagaan Agama Islam. Hal.66.
21

2. Hambatan birokrasi dalam penataan prosedur pengembangan baik

kelembagaan madrasah, organisasi, administrasi serta kurikulum dan teknik

metodologinya.

3. Tuntutan komputerisasi dalam sistem administrasi kependidikan, kelengkapan

alat-alat laboratorium dan perpustakaan yang masih diperlukan meningkat

secara luas dan profesional berkenaan dengan tuntutan yang dihadapinya.

4. Implementasi kemitraan dan penyelenggaraan pendidikan pada madrasah

antara pembina dan masyarakat pengelola madrasah belum dikembangkan

secara optimal dan profesional.

5. Ketidaksiapan pelaksanaan pendidikan di madrasah berkenaan dengan

tuntutan kurikulum perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta

perubahan sosial khususnya dalam hubungan kemampuan teknik metodologi

dan manajemen pendidikan.

6. Perkembangan pendidikan pada madrasah pada umumnya diselenggarakan

oleh masyarakat yang latar belakang ekonominya rendah, namun demikian

harus menampung siswa yang datang dari kalangan masyarakat yang kurang

mampu. Maka akan selalu dihadapkan pada kesulitan pembiayaan

operasional pendidikan dan berakibat rendahnya mutu pendidikan yang

diselenggarakan. Faridah Alawiyah, Pendidikan Madrasah di Indonesia


22

7. Ketidaksiapan pelaksanaan pendidikan di madrasah berkenaan Pengetahuan

dan teknologi serta perubahan sosial, khususnya dalam hal kemampuan

22
teknik metodologi dan manajemen pendidikan.

E. Strategi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan

Setelah kita membahas tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki

oleh pendidikan yang ada, maka diperlukan srategi supaya Pendidikan di

Indonesia berkembang lebih baik lagi. Adapun Langkah-langkahnya adalah

sebagai berikut:

Pertama, pengelolaan, peran pemerintah dan masyarakat dalam sistem

pendidikan dikelola secara desantralistik atau otonom merupakan salah satu

tuntutan di era reformasi. Disentralisasi pendidikan berhadapan dengan masalah

23
yang sangat mendasar yaitu pendidikan adalah milik rakyat dan untuk rakyat.

Gagasan desentralisasi pendidikan bukanlah dekonstruksi kekuasaan

semata dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Itu berarti, pendidikan

merupakan proses pengembangan social capital dan intellectual capacity dari

suatu bangsa. Bahkan lebih jauh, pendidikan merupakan hak serta milik rakyat

yang dilahirkan dan dikembangkan di dalam masyarakat yang kongkrit. Oleh

karena itu, penyelenggaraan pendidikan juga seharusnya mengikut sertakan

masyarakat. Alasannya, masyarakat adalah stakeholder yang pertama dan utama

dari proses pendidikan. Hal ini berarti proses pendidikan, tujuan pendidikan, dan

22 Sarijo, Marwan. 1998. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Departemen Agama RI. Dirjen
Pembina Kelembagaan Agama Islam. Hal.130.
23 Tilaar, HAR, 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta. Pemerintah Republik
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Hal.26.
23

sarana pendidikan, termasuk pula mutu pendidikan adalah merupakan bagian

dari tanggung jawab masyarakat.

Di samping itu, pelaksanaan pendidikan hendaknya dilangsungkan

secara demokratis dimana setiap warga negara memperoleh kesempatan yang

sama untuk belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan (UU

SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003). Pada dasarnya pendidikan adalah proses

pemanusiaan. Dalam prosesnya, pemanusiaan dalam pendidikan tidak datang

dengan sendirinya tetapi datang dari masyarakat. Hal ini merupakan ciri dari

sistem demokrasi pendidikan yang diharapkan. Semua keputusan ada pada

anggota masyarakat yang terlibat dalam pendidikan baik secara individu maupun

sosial. Tuntutan pendidikan demikian dalam era modern adalah penyelenggaraan

satuan pendididkan yang demokratis dan otonom yang memenuhi prinsip-

prinsip school based management atau pengelolaan sekolah berbasis masyarakat

yang mengusung budaya yang melingkari sekolah itu, namun tetap dalam nilai-

24
nilai kebangsaan dan kenegaraan.

Kedua, kurikulum atau materi ajar. Materi ajar yang diharapkan adalah

yang dapat memenuhi sifat-sifat integrality, holistic, wholistic, continuity dan

consistency serta dapat memenuhi kebutuhan peserta didik, pasar, dan

pengembangan IPTEK. Karakteristik itu dapat diketahui karena terjadi

kemanunggalan yang fungsional dalam bidang studi bukan secara dikotomi,

dimana ada pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama misalnya. Karena itu

24 Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Yogyakarta: Safiria Ingaria Press. Hal.37.
24

seyogyanya materi ajar untuk ilmu-ilmu umum bersumber dari nilai- nilai

agama, dan berkembang melalui metodologi pembelajaran yang tepat.

Ketiga, pendekatan dan metodologi pembelajaran. Pendekatan dan

metodologi pembelajaran menempatkan guru sebagai motivator, fasilitator, dan

dinamisator murid dalam mencari dan menemukan ilmu. Murid sendiri yang

mencari ilmu dan memutuskannya.

Keempat, sumber daya manusia dalam pendidikan yang meliputi guru,

karyawan, dan siswa. Sebagai guru dan karyawan (disebut juga tenaga

kependidikan) hendaknya profesional agar mampu mengembangkan kreativitas,

inovasi dan dedikasi baik sebagai pendidik ataupun tenaga kependidikan. Di

samping itu guru dapat mengembangkan metodologi belajar dan bukan hanya

produk belajar.

Dengan adanya guru dan tenaga kependidikan professional dalam system

pendidikan diharapkan akan mampu mengembangkan kualitas pendidikan yang

mampu berasaing dengan Negara lain dalam percaturan pendidikan serta mampu

memenuhi tuntutan zaman yang selalu berubah.

Kelima, dana dan Lingkungan Sekolah. Dana yang diperlukan hendaknya

mencukupi atau memadai kebutuhan pendidkan yang diperlukan, dan dalam

pennggunaannya jelas atau transparan, sehingga akan efektif dan efisien. Apalagi

adanya system otonomi daerah hendaknya dana digunakan denga sebaik-baiknya,

dimana dalam pengelolaannya secara otonom hanya berlaku dalam hal memperoleh,

mengelola, dan mengembangkan serta menjalin kerjasama dengan berbagai

agencies baik dalam negeri dan luar negeri sesuai dengan perundang-
25

undangan yang ada tetapi dalam membelanjakan dan untuk membiayai program-

program pendidikan unit kerja dana harus selalu in one yaitu bersama-sama

dalam system kebijaksanaan sekolah atau perguruan dalam mensukseskan visi,

misi, tujuan, orientasi dan strategi sekolah dalam mencapai tujuan. Selanjutnya

pemakaian dana pendidikan harus tegas, jelas, dan prodktf, tidak boleh

digunakan untuk kepentingan lain apapun alasannya selain untuk program-

program pendidikan bermutu.

Kemudian untuk lingkungan kampus diupayakan yang kondusif dan

mendorong kegairaham belajar-mengajar atau interaksi akademik. Bangnan

bangunan dan local belajar harus didesain sedemikian rupa sehingga

menciptakan suasana yang nyaman, enak dan menyenangkan dalam kerja

akademik. Begitu juga hendaknya fasilitas harus tersedia atau mencukupi seperti

perpustakaan, ruang diskusi, seminar dan sebagainya.

Keenam, evaluasi diri dan akreditasi. Akreditasi hendaknya dapat dilakukan

oleh banyak lembaga secara independen atau otonom, baik oleh pemerintah maupun

ikatan profesi, atau asosiasi ahli menurut bidang-bidang keahlian. Komponen

akreditasi meliputi seluruh syarat-syarat pendidikan bermutu, kecuali evaluasi diri

kita sendiri, dengan arah penilaian dan penetaan standar yang berbeda yaitu patokan

benchmarking terus berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan mutu yang

terus berkembang dan asumsi atau teori pendidikan yang digunakan. Akreditasi

yang dilakukan dengan menggunakan teori pendidikan yang demokratis dan

otonom, lengkap dengan system kompetisi akademik, maka nilai tinggi akreditasi

akan diperoleh sekolah atau perguruan tinggi yang demokratis sesuai denagn

standar mutu yang diakui oleh dunia kerja


26

dan perkembangan IPTEK, dan bukan karena sesuai-tidaknya sengan atuuran

pemerintah yang menjadi focus utamanya, adalah mutu reputasi akademiknya.


BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menghadapi tantangan masa depan, dengan perkembangan

globalisasi, IPTEK, arus informasi yang cepat dan layanan professional, maka

diperlukan pembaharuan pendidikan yang dilakukan secara sistemik dan

sistematik, yaitu pendidikan yang dirancang secara teratur melalui perencanaan

yang bertahap dan menyeluruh mulai dari lapisan sistem pendidikan nasional,

lembaga pendidikan sampai lapis individual.

Pemahaman tentang keadaan masyarakat masa depan tersebut akan

sangat penting sebagai latar kebijakan dan upaya pendidikan masa kini dan masa

yang akan datang. Kajian masyarakat masa depan itu semakin penting jika

diingat bahwa pendidikan selalu berupaya menyiapkan peserta didik yang

memiliki peran di masa yang akan datang.

Dalam rangka meningkatkan mutu bangsa Indonesia, maka diperlukan

langkah-langkah strategis dan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan,

sistem evaluasi, dan perbaikan yang terus-menerus sistem pendidikan Indonesia.

Saat ini, Indonesia membutuhkan “grand design sistem pendidikan nasional”

yang pembuatannya harus melibatkan semua stake holder bangsa Indonesia.

Dan, dalam pelaksanaanya nanti membutuhkan pemimpin visioner dan kuat

sehingga Indonesia mampu bangkit dan berlari mengejar berbagai ketertinggalan

dari bangsa bangsa lain di dunia

27
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad D. Marimba. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-


Ma’arif,

Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap


Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,( Bandung:Mizan, 1998), hlm.149 5Abdul Aziz,
Edukasi, 2005 : 34

Burhanudin, Jajat dan Dina Afrianty (ed.). 2006. Mencetak Muslim Modern,
Peta Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.

Daradjat, Zakiah. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Fasli Jalal. 2009. Teacher Sertification in Indonesia, A Strategy for Teacher


Quality Improvement. Jakarta, Depdiknas

Harefa, D., Telaumbanua, T. (2020). Belajar Berpikir dan Bertindak Secara


Praktis Dalam Dunia Pendidikan kajian untuk Akademis. CV. Insan Cendekia Mandiri.

Husni Rahim. 2002. Pendidikan Islam Di Indonesia Keluar Dari Eksklusivisme,


(dalam Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru), Ikhwanuddin dan Dodo Murtadlo
(editor), Jakarta, PT Grasindo.

Iyam Maryati, Yenny Suzana, Darmawan Harefa, I. T. M. (2022). Analisis


Kemampuan Komunikasi Matematis dalam Materi Aljabar Linier. PRISMA, 11(1),
210– 220.

Mahmud Yunus. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, Mutiara,).

Minnah, Ek Widdah, Asep Suryana, dkk. 2012. Kepemimpinan Berbasis Nilai


dan Pengembangan Mutu Madrasah. Bandung: Alfabeta.

Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam


Abad 21, Yogyakarta: Safiria Ingaria Press.

Mastuhu, 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: PT Logas


Wacana Ilmu.

28
29

Megawanti, P. (2012). Permasalahan Pendidikan Dasar Di Indonesia. Jurnal


Ilmiah Pendidikan MIPA, 2(3), 227–234

Suhartini, Andewi. 2004. Dasar-Dasar Pendidikan Islam Kerangka Teoritis


dalam Bunga Rampai Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan
Islam Klasik. Bandung: Angkasa.

Soeganda Purbakawatja. 2007. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka,


Jakarta: Gunung Agung,.

Soedijarto.2013. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan tenaga Pendidikan Sebagai


Unsur Strategis Dalam Penyelenggraaan Satu Sistem Pendidikan Nasional.Makalah.
Disajikan dalam pertemuan dengan FPP-DPRRI, Jakarta, 30 Januari 2013..

Subhan, Arief. 2012. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:


Kencana.Hal.230.

Supangat. 2011. “Transformasi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional”


dalam Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Tahun 15 Nomor 1.

Junaidi, 2003. “Reformasi Pendidikan” dalam Bunga Rampai Kapita Selekta


Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa.

Sarijo, Marwan. 1998. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Departemen Agama RI.
Dirjen Pembina Kelembagaan Agama Islam.

Tilaar, HAR, 2002, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.


Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai