Anda di halaman 1dari 1

“Bagi hasilnya dengan sistem 5:1, misalnya ketika panen dan hasilnya 5 juta maka saya akan dapat 1

juta,” tutur pak naneng ketika sedang beristirahat di rumah pembibitan mangrove di desa Paria”

Awal pertemuan dengan Pak Naneng, ketika kelompok pemuda dari KPPI Desa Paria sedang melakukan
observasi lokasi pembangunan rumah bibit mangrove dan pembibitan yang direncanakan pada bulan
April lalu, tepatnya lima hari sebelum memasuki bulan puasa. Saat kelompok mulai mendirikan tiang
rumah pembibitan di pematang tambak miliknya yang terlindung oleh vegetasi mangrove jenis api-api
(Avicennia) dari gelombang laut, Pak naneng datang dengan memegang parang di tangan kanannya,
sembari berkisah tentang pertengkarannya dengan masyarakat diluar desa yang mencoba mencuri dan
menebang pohon mangrove (Avicennia sp) di pesisir pantai dekat tambak yang dikelolanya.

“Saya capek-capek tanam, baru kau (pencuri kayu mangrove) seenaknya mau tebang,” katanya dengan
suara yang tinggi sambil menolak pinggang dan bergaya seperti sedang mengulang kejadian pada saat
itu”

Dia melanjutkan, dengan menunjuk propagul berdaun empat yang berjejer diantara api-api sepanjang
pematangnya. “ini saya yang tanam, karena memang bagus untuk pelindung”. Menurutnya mangrove
yang tumbuh disekitar kawasan tambak yang dikelolanya sangat berguna sebagai pelindung abrasi,
Ketika pasang tinggi maka sudah dipastikan air laut akan masuk kedalam tambak jika mangrove tidak
ada.

Sepanjang proses pembangunan rumah pembibitan mangrove, sesekali pak naneng ikut membantu
sembari memberi saran mengenai pembangunan nursery, seperti cara mendirikan tiang, memasang
pasak dan memaku atap seng, termasuk arah pintu rumah karena angin di pesisir terbilang kuat.

Anda mungkin juga menyukai