Anda di halaman 1dari 40

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT


NOMOR HK.02.02/C/504/2023
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN SUB PEKAN IMUNISASI NASIONAL
(SUB PIN) DALAM RANGKA PENANGGULANGAN
KEJADIAN LUAR BIASA POLIO CIRCULATING VACCINE-DERIVED POLIOVIRUS
TYPE 2 (CVDPV2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT,

Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Keputusan Menteri


Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1949/2022
tentang Pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi Nasional
Dalam Rangka Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Polio
di Provinsi Aceh, diperlukan ketentuan mengenai Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi Nasional;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a perlu menetapkan Keputusan Direktur
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi
Nasional (Sub PIN) Dalam Rangka Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa Polio Dalam Rangka Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa Polio circulating Vaccine-Derived
Poliovirus Type 2 (cVDPV2);

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
-2-

Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014
tentang Upaya Kesehatan Anak (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 825);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 559);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor
156);
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/1949/2022 tentang Pelaksanaan Sub
Pekan Imunisasi Nasional Dalam Rangka Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa Polio di Provinsi Aceh;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN SUB PEKAN IMUNISASI NASIONAL (SUB PIN)
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA
POLIO CIRCULATING VACCINE-DERIVED POLIOVIRUS TYPE 2
(CVDPV2);
-3-

KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sub Pekan


Imunisasi Nasional (Sub PIN) Dalam Rangka Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa Polio circulating Vaccine-Derived Poliovirus
Type 2 (cVDPV2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur
Jenderal ini.
KEDUA : Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sub PIN sebagaimana dimaksud
dalam Diktum KESATU digunakan sebagai acuan bagi
pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah
daerah kabupaten/kota, puskesmas, petugas kesehatan, dan
pemangku kepentingan dalam pelaksanaan Sub PIN dalam
rangka penanggulangan KLB Polio circulating Vaccine-Derived
Poliovirus Type 2 (cVDPV2).
KETIGA : Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Sub PIN Dalam Rangka Penanggulangan KLB
Polio circulating Vaccine-Derived Poliovirus Type 2 (cVDPV2)
sesuai dengan kewenangan masing-masing.
KEEMPAT : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2023
-4-

LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT
NOMOR HK.02.02/C/504/2023
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN SUB
PEKAN IMUNISASI NASIONAL (SUB PIN)
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN
KEJADIAN LUAR BIASA POLIO
CIRCULATING VACCINE-DERIVED
POLIOVIRUS TYPE 2 (CVDPV2)

PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN SUB PEKAN IMUNISASI NASIONAL (SUB PIN)
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN
KEJADIAN LUAR BIASA POLIO
CIRCULATING VACCINE-DERIVED POLIOVIRUS TYPE 2 (CVDPV2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia telah berhasil menerima sertifikat bebas polio bersama


dengan negara anggota WHO lainnya di Regional South East Asia Region
(SEARO) pada bulan Maret 2014, sementara itu masih tersisa negara
Afganistan dan Pakistan yang masih dikategorikan endemis penyakit polio.
Seluruh negara telah berkomitmen untuk bersama melakukan upaya
seoptimal mungkin untuk membasmi penyakit polio dari seluruh dunia
pada tahun 2026.

Pandemi COVID-19 mengakibatkan pelaksanaan imunisasi rutin


tidak dapat berjalan optimal. Data beberapa tahun terakhir menunjukkan
-5-

terjadinya penurunan cakupan imunisasi rutin yang cukup signifikan,


termasuk imunisasi polio yaitu Oral Polio Vaccine (OPV) dan Inactivated
Poliovirus Vaccine (IPV). Hal ini menyebabkan jumlah anak-anak yang tidak
mendapatkan imunisasi rutin lengkap sesuai usia semakin bertambah
banyak.

Walaupun kasus polio akibat virus polio liar sudah tidak ditemukan
lagi di Indonesia selama lebih dari 10 tahun, namun penyakit ini masih
mungkin terjadi di wilayah Indonesia oleh karena importasi virus dari
negara lain atau virus vaksin yang bermutasi di daerah dengan cakupan
imunisasi polio yang rendah dalam jangka waktu lama.

Pada bulan November 2022, terkonfirmasi kasus poliomyelitis pada


anak usia 7 tahun yang diakibatkan oleh Vaccine-Derived Polio Virus Type
2 (VDPV2). Penemuan kasus ini di tanggulangi secara cepat oleh tim
gabungan Kementerian Kesehatan RI beserta mitra yang melakukan
pengumpulan sampel tinja dari kontak erat, pengumpulan sampel tinja dari
anak sehat sekitar lingkungan, pengumpulan sampel lingkungan, mengkaji
data kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) secara retrospektif, serta
mendukung persiapan pelaksanaan imunisasi dalam rangka
penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau Outbreak Response
Immunization (ORI).

Komite Ahli Eradikasi Polio dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi


Nasional (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization)
merekomendasikan agar dilakukan pemberian imunisasi novel Oral Polio
Vaccine Type 2 (nOPV2) melalui kegiatan Sub Pekan Imunisasi Nasional
(Sub PIN) sejumlah 2 putaran. WHO merekomendasikan bahwa kegiatan
Sub PIN dalam rangka penanggulangan KLB Polio cVDPV tipe 2 ini harus
menyasar 2 hingga 4 juta sasaran untuk dapat memutus rantai penularan.
Oleh karena itu, kegiatan Sub PIN tidak hanya dilakukan di Provinsi Aceh
namun juga di provinsi lain yang berbatasan/berdekatan serta
dikategorikan risiko tinggi terhadap penularan polio berdasarkan hasil polio
risk assessment.

Petunjuk Teknis ini digunakan sebagai panduan pelaksanaan Sub PIN


nOPV2 dalam rangka penanggulangan KLB Polio cVDPV2.
-6-

B. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Menyediakan petunjuk teknis sebagai acuan pelaksanaan Sub PIN
dalam rangka penanggulangan KLB Polio VDPV2.
2. Tujuan khusus:
a. Melakukan persiapan dan penyusunan mikroplaning
b. Melaksanakan edukasi kesehatan/penyuluhan kesehatan
c. Menjalin kemitraan/kerjasama
d. Melaksanakan pemberian imunisasi nOPV2
e. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan
f. Melaksanakan pemantauan dan penanggulangan KIPI
g. Melaksanakan monitoring dan evaluasi

C. Sasaran
Sasaran petunjuk teknis ini adalah:
1. Pengelola Program Imunisasi dan Logistik di dinas kesehatan provinsi,
dinas kesehatan kabupaten/kota, serta puskesmas.
2. Pengelola Program terkait lainnya di dinas kesehatan provinsi, dinas
kesehatan kabupaten/kota, serta puskesmas.

D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup petunjuk teknis ini meliputi:
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Pencatatan dan Pelaporan
4. Pemantauan dan Penanggulangan KIPI
5. Monitoring dan Evaluasi
-7-

BAB II

PERSIAPAN

A. Mekanisme Pelaksanaan

Pelaksanaan Sub PIN dalam rangka penanggulangan KLB Polio VDPV2


dilaksanakan sejumlah 2 putaran.

Masing-masing putaran Sub PIN dilaksanakan dalam waktu 1 minggu


ditambah 5 hari sweeping. Jarak minimal antar putaran adalah satu bulan.
Target cakupan sekurang-kurangnya adalah 95% untuk masing-masing
putaran.

Jika berdasarkan kajian epidemiologi masih ditemukan risiko


penularan maka dapat dilakukan Sub PIN putaran berikutnya atau mop-
up.

Sasaran Sub PIN merupakan kelompok usia berisiko tinggi, yang


ditentukan berdasarkan kajian epidemiologi. Imunisasi diberikan kepada
seluruh sasaran tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.

B. Vaksin yang Digunakan

Vaksin yang digunakan adalah vaksin novel Oral Polio Vaccine tipe 2
(nOPV2) dengan kemasan 50 dosis per vial. Vaksin merupakan produksi PT.
Biofarma dan digunakan HANYA pada pelaksanaan Sub PIN dalam rangka
penanggulangan KLB polio tipe 2.

Tabel 1. Perbedaan bOPV dan nOPV2

bOPV nOPV2

Dosis per vial 10 50

Vial per
10 10
pack/kemasan

Packed volume 3 3
0,1 cm 0,55 cm
per dosis

VVM Ya Ya
Pelayanan dinamis:tidak
Vaksin yang sudah dibuka
Penggunaan digunakan kembali selesai
pelayanan hanya dapat digunakan pada
vaksin terbuka
Pelayanan statis: 2 minggu hari yang sama
-8-

6 (pada kegiatan imunisasi


Indeks Pemakaian
tambahan massal IP lebih 40 (wastage 25%)
(IP)
tinggi)

Pengembalian vial Diperlukan untuk seluruh


Tidak diperlukan
dan dropper vial dan dropper

Pada akhir kegiatan Sub PIN,


Vial terbuka/terpakai yang
seluruh vial baik yang
sudah melewati masa
terbuka/terpakai, rusak
Pemusnahan pakai atau vaksin rusak
maupun utuh dilakukan
dilakukan pemusnahan
pemusnahan di tingkat
sesuai prosedur
provinsi

Imunisasi rutin dan


HANYA pada kondisi KLB
Penggunaan tambahan (berd. kajian
polio tipe 2
epidemiologi)

C. Penyusunan Perencanaan dan Mikroplaning

Perencanaan merupakan bagian yang sangat penting dalam


pengelolaan program imunisasi. Dengan perencanaan yang baik, kegiatan
pelayanan imunisasi diharapkan dapat berjalan dengan baik pula.

Dalam melaksanakan kegiatan ini, perencanaan disusun di semua


tingkatan administrasi baik di Pusat maupun Daerah sesuai dengan tugas
masing-masing dan memperhitungkan data dasar. Penyusunan
perencanaan di tingkat puskesmas dilakukan dengan lebih rinci
(mikroplaning). Penyusunan mikroplaning dilakukan dengan menggunakan
format yang dapat diunduh pada tautan
https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh.

1. Jumlah Sasaran

Jumlah sasaran tingkat provinsi dan kab/kota didapatkan dari data


estimasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, sedangkan
Puskesmas mendapatkan jumlah sasaran berdasarkan pendataan
langsung di lapangan.

Pendataan langsung dapat dilaksanakan dengan mekanisme sebagai


berikut:
-9-

a. Pendataan langsung (kunjungan rumah ke rumah) untuk


sasaran balita dan anak usia sekolah yang tidak bersekolah,
dilakukan oleh bidan desa dan bekerja sama dengan kader atau
dasawisma setempat.
b. Pendataan melalui kooordinasi dengan Dinas Pendidikan dan
Kanwil Kemenag untuk sasaran anak sekolah (SD/MI dan
Pondok Pesantren). Puskesmas diharapkan juga melakukan
konfirmasi dengan mendatangi SD/MI/ponpes dan
mendapatkan daftar murid by name by address.

2. Kebutuhan Vaksin dan Logistik


a. Kebutuhan Vaksin
Perhitungan kebutuhan vaksin (dalam vial) untuk pelaksanaan Sub
PIN adalah sebagai berikut:
Jml sasaran (0 bln s.d 12 thn) * 100% * jml putaran (2)
IP (40)
b. Kebutuhan Dropper
Jumlah dropper yang dibutuhkan yaitu sejumlah vial vaksin,
ditambahkan 2% cadangan.
c. Kebutuhan Pen Marker
Kebutuhan Pen Marker dihitung sebagai berikut:
Jumlah sasaran : 100
d. Kebutuhan Plastik Klip
Kebutuhan plastik klip dihitung sebagai berikut:
Volume vial vaksin dibagi volume plastik klip yang digunakan
dikalikan 2 putaran, ditambahkan 5% cadangan.
Di puskesmas, kebutuhan plastik klip adalah 2 kali lipat, karena
digunakan untuk membungkus vaksin utuh pada saat transportasi
dan vaksin terbuka/terpakai dan/atau rusak selesai pelayanan.
e. Kebutuhan Plastik Limbah Medis
Kebutuhan plastik limbah medis dihitung sebagai berikut:
Volume vial vaksin terbuka/terpakai dan/atau rusak serta dropper
terpakai dan/atau rusak dibagi volume kantong limbah medis yang
digunakan dikalikan 2 putaran, ditambahkan 5% cadangan.
f. Kebutuhan Wadah/Kontainer Limbah Medis
Kebutuhan kontainer limbah medis dihitung sebagai berikut:
- 10 -

Volume plastik limbah medis berisi vial serta dropper dibagi volume
wadah/kontainer yang digunakan dikalikan 2 putaran,
ditambahkan 5% cadangan
g. Kebutuhan Perlengkapan Anafilaktik
Perlengkapan anafilaktik merupakan komponen penting dalam
pelayanan imunisasi sebagai antisipasi terjadinya KIPI serius (syok
anafilaktik). Setiap tempat pelayanan imunisasi harus menyediakan
minimal 1 set perlengkapan anafilaktik sehingga jumlah kebutuhan
perlengkapan anafilaktik disesuaikan dengan jumlah tempat
pelayanan imunisasi.

Pastikan kelengkapan isi set anafilaktik dan perhatikan


agar tidak ada yang kadaluarsa

h. Kebutuhan logistik PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi)


Kebutuhan logistik PPI termasuk di dalamnya adalah Alat Pelindung
Diri (APD). Ketentuan alat pelindung diri mengacu pada Petunjuk
Teknis Pelayanan Imunisasi Pada Masa Pandemi COVID-19 meliputi
masker bedah medis, sabun untuk mencuci tangan atau sarung
tangan bila tersedia dan Alat Pelindung Diri (APD) lain bila tersedia.

3. Ketersediaan peralatan rantai vaksin (cold chain)


Petugas imunisasi/logistik provinsi, kabupaten/kota maupun
puskesmas harus melakukan inventarisasi jumlah dan kondisi cold
chain (vaccine refrigerator, cold/ice pack, cold box, vaccine carrier, dsb)
yang ada saat ini serta melakukan upaya untuk mengatasinya jika
terjadi kekurangan. Jika sarana penyimpanan vaksin dinilai kurang
dan penambahan vaccine refrigerator belum memungkinkan, maka
frekuensi pendistribusian vaksin dapat disesuaikan.

4. Rencana Distribusi dan Pembiayaan


Dalam dokumen perencanaan harus tercantum dengan jelas rencana
distribusi logistik dan perhitungan serta sumber pembiayaan yang
dibutuhkan.

5. Jadwal Pelaksanaan Supervisi


Provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas harus menyusun jadwal
pelaksanaan supervisi dan tentukan petugas yang bertanggung jawab
sebagai supervisor. Tugas supervisor adalah sebagai berikut:
- 11 -

a. Memantau pelaksanaan layanan imunisasi

b. Memantau pencatatan dan pelaporan cakupan Sub PIN harian

c. Memantau penggunaan serta stok vaksin nOPV2 dan dropper


harian

d. Memantau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

e. Memantau proses manajemen limbah

f. Memantau dan verifikasi vial vaksin dan dropper nOPV2 yang


akan dilakukan pengembalian setiap akhir putaran

6. Pemetaan Wilayah
Pelaksanaan Sub PIN harus menjangkau semua sasaran di wilayah
kerja puskesmas. Peta wilayah kerja puskesmas harus mencakup:
a. Lokasi dari setiap desa/kelurahan
b. Lokasi-lokasi penting seperti posyandu, puskesmas, fasilitas
pelayanan kesehatan lain, tempat ibadah, pasar, sekolah, dan
tempat-tempat umum lainnya.
c. Perkiraan jarak dan waktu tempuh dari puskesmas, fasilitas
pelayanan kesehatan dan posyandu ke setiap komunitas
masyarakat
d. Lokasi-lokasi rentan/berisiko yaitu wilayah padat penduduk,
wilayah kumuh, wilayah yang terdapat pekerja migran, kelompok
marjinal dan pengungsi yang berdomisili, wilayah pedesaan dan
sulit secara geografis, wilayah yang teridentifikasi adanya penolakan
terhadap imunisasi, atau wilayah pemukiman baru.

7. Tenaga pelaksana

Puskesmas melibatkan tenaga yang kompeten dalam pelaksanaan


imunisasi dan mengidentifikasi jika terdapat kekurangan tenaga
pelaksana. Kebutuhan jumlah tenaga pelaksana (satu tim)
mempertimbangkan:

a. Satu orang tenaga kesehatan sebagai vaksinator (Perawat, Bidan,


dan Dokter) yang diharapkan memberikan pelayanan untuk 100-
150 sasaran per harinya.

b. Jadwal dan jumlah pos pelayanan imunisasi disesuaikan dengan


jumlah sasaran dalam sehari.
- 12 -

c. Setiap pos pelayanan terdapat minimal 1 orang pelaksana imunisasi


dan dibantu oleh 2-3 kader yang bertugas untuk: (1) menggerakkan
masyarakat untuk datang ke pos pelayanan imunisasi, (2) membuat
jadwal/waktu imunisasi per sasaran agar sasaran tidak datang
bersamaan dalam satu waktu dan mengatur alur pelayanan
imunisasi di pos pelayanan (agar tidak terjadi kerumunan, yang
dapat meningkatkan risiko penularan COVID-19), (3) membantu
mencatat hasil pelayanan imunisasi dan (4) memberi tanda dengan
pen marker pada kuku jari kelingking kanan anak yang sudah
mendapat imunisasi.

d. Setiap 3-5 pos pelayanan imunisasi dikoordinir oleh satu orang


supervisor

8. Jadwal Pelaksanaan

Setiap puskesmas harus membuat jadwal pelaksanaan untuk setiap


pos pelayanan yang mencantumkan nama petugas dan supervisor,
tanggal pelaksanaan, dan jumlah sasaran.

D. Peningkatan Kapasitas Petugas Kesehatan

Kegiatan peningkatan kapasitas dilaksanakan sebelum pelaksanaan


kegiatan dimulai, dilakukan secara berjenjang dari tingkat provinsi,
kabupaten/kota sampai puskesmas. Peningkatan kapasitas dapat
dilakukan dalam bentuk orientasi, workshop, ataupun pelatihan
terstruktur.
1. Sasaran
Sasaran kegiatan peningkatan kapasitas adalah:
a. Tingkat provinsi, Kabupaten/Kota: yaitu petugas pengelola
program imunisasi, petugas surveilans PD3I dan KIPI, petugas
pengelola logistik, petugas pengelola program gizi dan kesehatan
ibu dan anak, petugas kesehatan lingkungan serta petugas
promosi kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
b. Tingkat puskesmas, yaitu para petugas kesehatan seperti dokter,
bidan, dan perawat yang ditunjuk sebagai pemberi layanan
imunisasi, petugas surveilans PD3I dan KIPI petugas pengelolaan
logistik, petugas kesehatan lingkungan serta petugas promosi
kesehatan.
- 13 -

2. Materi Peningkatan Kapasitas


Materi peningkatan kapasitas meliputi:
a. Melakukan persiapan dan penyusunan mikroplaning
b. Melaksanakan edukasi kesehatan/penyuluhan kesehatan
c. Menjalin kemitraan/kerjasama
d. Melaksanakan pemberian imunisasi nOPV2
e. Melaksanakan pengembalian vaksin dan dropper sisa serta
manajemen limbah
f. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan
g. Melaksanakan pemantauan dan penanggulangan KIPI
h. Melaksanakan monitoring dan evaluasi

E. Advokasi, Komunikasi dan Penggerakan Masyarakat


1. Advokasi
Advokasi kepada Pemerintah Daerah tingkat provinsi (Gubernur)
dan kab/kota (Bupati/Walikota), DPRD provinsi dan kab/kota serta
majelis ulama atau organisasi keagamaan perlu dilakukan untuk
mendapatkan komitmen dukungan terhadap pelaksanaan Sub PIN.
Advokasi bertujuan untuk memperoleh dukungan dari lintas
program dan lintas sektor terkait demi suksesnya penyelenggaraan
kegiatan Sub PIN. Dukungan bisa dalam bentuk kebijakan,
penyediaan fasilitas, sumber daya dan lainnya. Lintas program yang
dapat dilibatkan antara lain: Surveilans PD3I Lintas program yang
dapat dilibatkan antara lain: Surveilans PD3I dan KIPI, Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak (Gizi KIA), Promosi Kesehatan, Pelayanan
Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Bina Program, dan Farmasi. Lintas
sektor terkait yang dapat dilibatkan secara aktif dalam kegiatan antara
lain: tokoh agama/tokoh masyarakat, LSM, PKK, BKKBN, organisasi
profesi, organisasi masyarakat, akademisi, dan dunia usaha. Saluran
komunikasi yang digunakan berupa media sosial, media cetak, media
luar ruang dan media massa. Informasi yang penting untuk diberikan
adalah urgensi pentingnya penanggulangan KLB Polio, jenis imunisasi
dan manfaat Sub PIN untuk memutus rantai penularan, waktu dan
lokasi pelaksanaan, melaksanakan protokol kesehatan ketika
mendatangi pos imunisasi (contoh: penggunaan masker, jaga jarak,
dll), dan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang mungkin terjadi.
- 14 -

2. Komunikasi
a. Tujuan
 Membangun pemahaman publik terhadap keamanan, kualitas
dan manfaat imunisasi polio bagi anak.
 Mendorong kesadaran dan menggerakkan masyarakat agar
semua sasaran mengikuti Sub PIN.
 Meningkatkan kesadaran pentingnya menerapkan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS).
 Menggalang dukungan para pemangku kepentingan untuk
mendukung penanganan KLB polio dan pelaksanaan Sub PIN.
b. Pesan /narasi
 Penjelasan terkait faktor risiko penyebab polio.
 Edukasi publik terkait waktu, tempat, dan cara mengikuti Sub
PIN.
 Penjelasan tentang keamanan, kualitas dan manfaat vaksin.
 Penjelasan tentang KIPI (risiko, pencegahan dan penanganan).
 Edukasi penerapan PHBS.
 Upaya pemerintah dalam penanganan KLB Polio.
c. Sasaran
 Utama: Orang tua, orang tua asuh, anggota keluarga lainnya
(kakek/nenek/pengasuh). Sasaran ini mendapatkan pesan
edukasi publik baik untuk mengikuti Sub PIN dan maupun
tentang PHBS.
 Sekunder: Tenaga kesehatan, guru, tokoh masyarakat/tokoh
agama, pejabat publik/pemangku kepentingan, media. Kelompok
sasaran ini akan mendapatkan narasi upaya pemerintah dalam
penanganan KLB Polio, pesan umum seputar polio dan imunisasi
serta dukungan dalam mendorong partisipasi publik pada Sub
PIN.
d. Pemanfaatan Media
 Saluran komunikasi yang digunakan: media massa (cetak, online
dan penyiaran), media digital (website, webinar, media sosial),
media luar ruang dan media offline (forum, event);
 Publikasi di media luar ruang berupa spanduk, poster, baliho,
dll., penayangan advertorial/iklan/ad-lips/placement ILM di
- 15 -

media massa lokal (Serambinews.com, mutiara FM, Serambi FM)


atau nasional.
 Publikasi melalui temu media/media briefing atau talkshow di
televisi dan radio milik pemerintah (TVRI, RRI, Antara) dan swasta
dengan mengundang narasumber utama Kadinkes, pakar
dan/atau tokoh agama/masyarakat setempat.
 Publikasi di website dan media sosial milik Kemenkes,
Pemprov/Pemkab, Dinkes Provinsi/Kabupaten/Kota dan OPD
lainnya, khususnya Diskominfo.
 Penunjukkan juru bicara di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota yang memiliki kewenangan dan kompetensi,
sebagai komunikator/saluran komunikasi satu pintu dalam
menyampaikan informasi dan edukasi kepada masyarakat.
3. Penggerakan masyarakat
Penggerakan masyarakat dilaksanakan melalui:
a. Pengumuman oleh Kades/Ketua RT/kader untuk memberitahukan
tentang hari, tanggal, waktu dan lokasi pos pelayanan imunisasi.
b. Ajakan melalui forum-forum sosial keagamaan
c. Pengumuman langsung melalui tempat-tempat ibadah (Mesjid,
Gereja, Vihara, Pura, Kelenteng, dll).
d. Pemasangan spanduk di tempat-tempat yang strategis.
e. Kades/Ketua RT/kader “jemput bola” mendatangi rumah sasaran.

F. Pemantauan Persiapan
Pemantauan persiapan bertujuan untuk:

a. Menganalisa persiapan pelaksanaan Sub PIN dan dukungan yang


diperlukan di daerah

b. Menyediakan panduan dalam meningkatkan kesiapan daerah untuk


melaksanakan kegiatan Sub PIN dalam rangka penanggulangan KLB
Polio.
- 16 -

BAB III

PELAKSANAAN

A. Tempat Pelayanan Imunisasi

Sub PIN dalam rangka penanggulangan KLB Polio dilaksanakan di:

a. Puskesmas, Puskesmas pembantu;

b. Posyandu,

c. Sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, pondok pesantren dan satuan


pendidikan lainnya, dan

d. Pos imunisasi lainnya di bawah koordinasi puskesmas.

Pelayanan imunisasi dilaksanakan dengan menerapkan prinsip


protokol kesehatan, dengan mengacu pada Petunjuk Teknis Pelayanan
Imunisasi pada Masa Pandemi COVID-19.

Catatan:
Pada saat pelaksanaan Sub PIN, imunisasi rutin tetap berjalan

B. Distribusi Vaksin dan Logistik

Pendistribusian vaksin dan logistik harus dilakukan dan dikelola


sesuai dengan prosedur yang ditetapkan untuk menjamin kualitas yang
baik, agar mampu memberikan kekebalan yang optimal kepada sasaran.
Distribusi vaksin harus disertai dengan Vaccine Arrival Report (VAR) dan
Packing Slip. Distribusi logistik lainnya harus disertai dengan dokumen
pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar (SBBK).

Dalam waktu 24 jam setelah vaksin diterima, VAR harus diisi oleh
provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas menggunakan format yang dapat
diunduh pada tautan https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh. VAR
yang telah diisi dikembalikan kepada UNICEF Indonesia.

Pendistribusian vaksin nOPV2 dilakukan menggunakan cold box atau


vaccine carrier yang sesuai standar WHO/PQS, sebagai berikut:

a. Provinsi ke Kabupaten/Kota menggunakan cold box yang disertai


penahan suhu dingin berupa kotak dingin beku (cold pack) atau ice
pack.
- 17 -

b. Kabupaten/Kota ke puskesmas menggunakan cold box atau vaccine


carrier disertai kotak dingin beku (cold pack) atau ice pack.

c. Puskesmas ke tempat pelayanan imunisasi menggunakan vaccine


carrier yang diisi kotak dingin beku (cold pack) atau ice pack.

Pada masa pandemi COVID-19, dalam melakukan penataan vaksin di


vaccine refrigerator atau tempat penyimpanan vaksin lainnya wajib
menggunakan masker bedah/masker medis dan apabila diperlukan
memakai sarung tangan. Sebelum dan sesudah menangani vaksin dan
logistik lainnya wajib cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir
atau menggunakan hand sanitizer. Penyimpanan logistik lainnya mengacu
pada Standar Prosedur Operasional (SPO) yang berlaku.

Masukkan Cold/Ice Pack Masukkan vaksin Tutup rapat vaccine


(dalam plastik klip) carrier

Gambar 1. Cara Penyimpanan Vaksin Dalam Vaccine Carrier

Catatan:
• Di dalam cold box atau vaccine carrier, vaksin nOPV2
dimasukkan ke dalam plastik klip untuk melindungi dari
rendaman air
• Saat distribusi, vaksin nOPV2 ditempatkan terpisah dari vaksin
lainnya dan diberi tanda “nOPV2 untuk Sub PIN”.

C. Manajemen Vaksin dan Logistik


1. Vaksin nOPV2 sensitif terhadap panas, harus disimpan dengan baik
pada suhu yang direkomendasikan:
• Tingkat provinsi dan kabupaten/kota: suhu -25 s.d -15°C
• Tingkat puskesmas: suhu 2 s.d 8°C
2. Dalam freezer atau vaccine refrigerator, beri tanda/label pada vaksin
nOPV2 dan simpan secara terpisah (atau pada keranjang terpisah)
dengan vaksin lain termasuk bOPV.
- 18 -

3. Vaksin yang akan digunakan harus dalam kondisi baik (label masih
ada, tidak terendam air, disimpan pada suhu yang direkomendasikan,
belum kedaluwarsa dan VVM dalam kondisi A atau B.

Gambar 2. Status VVM Vaksin


4. Lakukan pemeliharaan cold chain selama pelaksanaan pelayanan
imunisasi sebagai berikut:
• Pastikan vaccine carrier dalam keadaan bersih sebelum
digunakan.
• Vaccine carrier jangan terpapar sinar matahari langsung.
• Vaksin yang sudah dibuka ditempatkan pada spons atau busa
penutup vaccine carrier, sedangkan vaksin yang belum dibuka
tetap disimpan di bawah busa penutup.
5. Vaksin yang belum terbuka saat pelayanan tetap berada di dalam
plastik klip, diberi tanda dan dapat disimpan kembali ke dalam lemari
es pada suhu 2 - 8oC. Vaksin tersebut didahulukan penggunaannya
pada pelayanan berikutnya.
6. Vaksin nOPV2 yang sudah dibuka masih dapat digunakan pada hari
yang sama, tetapi keesokan harinya TIDAK BOLEH digunakan
kembali.
7. Semua vial vaksin terbuka/terpakai dan/atau rusak serta dropper
terpakai, dimasukkan ke dalam plastik klip terpisah untuk dibawa
kembali ke puskesmas. Di puskesmas, plastik klip berisi limbah
tersebut dimasukkan ke dalam plastik limbah medis atau kantong
plastik kuning yang kuat dan anti bocor yang sudah disiapkan, diikat
dengan kuat dan diberi tanda khusus untuk nOPV2.
8. Plastik limbah medis atau kantong plastik kuning berisi vial
terbuka/terpakai dan rusak serta dropper terpakai dimasukkan ke
dalam kontainer khusus yang kuat, anti bocor dan tertutup. Kontainer
tidak boleh diisi dengan limbah selain dari vial dan dropper nOPV2.
Limbah medis yang sudah dikemas disimpan di Tempat Penyimpanan
Sementara Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (TPSLB3)
- 19 -

Puskesmas.
9. Vaccine carrier disimpan kembali di ruang penyimpanan dalam kondisi
bersih di puskesmas, sedangkan cold/ice pack dapat dimasukkan ke
dalam freezer untuk digunakan pada hari berikutnya.

D. Cara Pemberian

Buka penutup vial vaksin, kemudian pasangkan penetes (dropper)


vaksin. Gunakan satu dropper untuk satu vial vaksin. Tidak diperkenankan
membuka vial vaksin baru sebelum vaksin yang sedang digunakan habis
terpakai.

Imunisasi nOPV2 diberikan sebanyak 2 tetes ke dalam mulut anak.


Dropper TIDAK BOLEH menyentuh mulut anak untuk mencegah
kontaminasi. Beri tanda dengan pen marker pada kuku jari kelingking
kanan anak yang sudah diimunisasi nOPV2. Vaksin nOPV2 dapat diberikan
bersamaan imunisasi rutin.

Vaksin nOPV2 aman diberikan, walaupun demikian terdapat


beberapa kontra indikasi yaitu:

1. Anak dengan HIV dan/atau tinggal serumah dengan penderita HIV.


Anak diberikan imunisasi Inactivated Polio Vaccine (IPV), tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya.

2. Anak menderita imunodefisiensi (contohnya pada pasien dengan


keganasan hematologi atau tumor padat, sedang mendapatkan terapi
immuno supresan jangka panjang) atau tinggal serumah dengan
penderita imunodefisiensi. Anak diberikan imunisasi IPV, tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya.

3. Bayi dengan berat badan lahir rendah (≤ 2000 gram). Pemberian


imunisasi ditunda sampai berat badan lebih dari 2000 gram atau usia
lebih dari 2 bulan (dengan kondisi klinis stabil).

Pemberian imunisasi ditunda pada anak yang menderita diare dan


demam, sampai anak tersebut sembuh. Imunisasi tetap boleh diberikan
pada sasaran dengan kondisi:

1. Malnutrisi

2. Sedang dalam terapi antibiotik

3. Sedang mendapat ASI


- 20 -

Pelaksanaan Sub PIN dapat dilakukan terintegrasi dengan pemberian


vitamin A dengan urutan pemberian yaitu nOPV2 terlebih dahulu lalu
dilanjutkan dengan vitamin A. Sementara untuk pemberian obat cacing
dilakukan 2 minggu setelah pemberian nOPV2.

E. Mekanisme Pengembalian Vaksin dan Dropper

Setiap selesai pelaksanaan per putaran Sub PIN, perlu dilakukan


pengembalian vial vaksin dan dropper dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Puskesmas mengembalikan seluruh vial vaksin baik yang
terbuka/terpakai, rusak maupun utuh serta dropper baik yang terpakai
dan yang belum terpakai ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota:
a. Vial terbuka/terpakai dan rusak serta dropper terpakai dikirim
menggunakan kontainer khusus.
b. Vial vaksin utuh dikirim menggunakan vaccine carrier/cold box,
sementara dropper yang belum terpakai menggunakan
wadah/tempat yang bersih dan kering.
b. Di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, vial vaksin utuh dan dropper yang
belum terpakai disimpan untuk digunakan kembali pada putaran Sub
PIN berikutnya:
a. vial vaksin disimpan dalam freezer suhu -25 s.d -150C.
b. dropper disimpan pada tempat yang kering dan bersih.
c. Vial terbuka/terpakai dan rusak serta dropper terpakai dari puskesmas
disimpan di TPSLB3 RSUD Kabupaten/Kota atau TPSLB3 lain yang
ditunjuk.

Selesai pelaksanaan seluruh putaran Sub PIN, Kabupaten/Kota


mengirimkan seluruh vial vaksin baik yang terbuka/terpakai, rusak
maupun utuh serta dropper baik yang terpakai dan yang belum terpakai ke
Dinas Kesehatan Provinsi untuk dimusnahkan.

Pelaksanaan pengembalian vaksin dan dropper ini membutuhkan


kerja sama yang baik antara petugas imunisasi dan/atau petugas logistik
serta petugas kesehatan lingkungan. Peran masing-masing petugas dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
- 21 -

Tabel 2. Peran Petugas dalam Pengembalian Vaksin dan Dropper

Tingkatan Administratif Petugas imunisasi dan/ atau logistik Tenaga Sanitasi Lingkungan

Mencatat transaksi keluar masuk vaksin dan


dropper serta penggunaan dan
pengembaliannya, baik secara manual Mengumpulkan vial vaksin terbuka/ terpakai
maupun melalui aplikasi SMILE dan/ atau rusak serta dropper yang terpakai
Puskesmas
dan mengirimkannya ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota setiap selesai putaran
Mengirimkan vial utuh dan dopper belum
terpakai ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota

Mencatat transaksi keluar masuk vaksin dan Mengumpulkan vial vaksin terbuka/ terpakai
dropper serta penggunaan dan dan/ atau rusak serta dropper yang terpakai
pengembaliannya, baik secara manual dan mengirimkannya ke Dinas Kesehatan
maupun melalui aplikasi SMILE Provinsi setiap selesai putaran
Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota Mengumpulkan vial vaksin utuh dan dropper
Menyimpan vial utuh dan dopper belum belum terpakai yang tidak digunakan kembali
terpakai untuk digunakan pada putaran dan mengirimkannya ke Dinas Kesehatan
berikutnya Provinsi untuk dimusnahkan pada akhir
pelaksanaan seluruh putaran

Melakukan pemusnahan vial vaksin


Mencatat transaksi keluar masuk vaksin dan
terbuka/ terpakai, rusak dan utuh serta
Dinas Kesehatan Provinsi dropper serta penggunaannya baik secara
dropper yang terpakai dan belum terpakai
manual maupun melalui aplikasi SMILE
pada akhir pelaksanaan seluruh putaran

F. Manajemen Limbah
Limbah medis yang bersumber dari kegiatan Sub PIN termasuk dalam
kategori limbah B3 sehingga pengelolaan limbahnya harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Limbah medis yang ditimbulkan dari kegiatan Sub
PIN dapat berupa vial vaksin kedaluwarsa, rusak, dan terbuka serta dropper
rusak dan terpakai. Pada akhir pelaksanaan seluruh putaran Sub PIN, vial
utuh dan dropper yang belum terpakai juga dikelola sebagai limbah medis.
1. Limbah medis yang terkumpul di Puskesmas diangkut ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota kemudian dilakukan pencatatan dan
penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST). Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota kemudian menyimpan limbah medis di TPSLB3 RSUD
Kabupaten/Kota atau TPSLB3 lain yang ditunjuk dan dilakukan
pencatatan di log book TPSLB3.
2. Limbah medis yang telah terkumpul di TPSLB3 RSUD Kabupaten/Kota
diangkut ke Dinas Kesehatan Provinsi kemudian dilakukan pencatatan
dan penandatanganan BAST antara Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan Dinas Kesehatan Provinsi. Limbah medis dari Kabupaten/Kota
kemudian disimpan sementara di TPSLB3 RSUD Provinsi atau TPSLB3
lain yang ditunjuk dan dilakukan pencatatan di log book TPSLB3.
- 22 -

3. Pengolahan akhir limbah medis dilakukan setelah berakhir pelaksanaan


Sub PIN dan dilakukan secara terpusat di RSUD Provinsi yang ditunjuk
atau bekerja sama dengan pihak ke-3 pengolah limbah B3 yang berizin.
4. Pengangkutan limbah medis dari Puskesmas ke Kabupaten/Kota dan
dari Kabupaten/Kota ke Provinsi dapat menggunakan kendaraan
khusus (roda 4 atau 3) atau kendaraan yang sama pada saat
pengangkutan vaksin. Pada saat pengangkutan, limbah medis harus
dikemas dengan wadah yang kuat dan aman.
5. Apabila terdapat vial vaksin yang bocor/pecah maka perlu dilakukan
disinfeksi menggunakan klorin dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Siapkan larutan klorin 0,5%. Dapat juga menggunakan produk
rumah tangga berbahan klorin dengan mencampur 9 bagian air
dengan 1 bagian klorin di dalam wadah.
b. Rendam vial vaksin yang bocor ke dalam larutan klorin minimal
selama 30 menit.
c. Setelah 30 menit, air klorin didiamkan hingga menguap klorinnya
agar tidak pekat lalu kemudian dibuang ke inlet IPAL (larutan klorin
pekat dapat membunuh bakteri di IPAL dan menurunkan
efektivitasnya).
d. Vial yang sudah direndam kemudian dimasukkan ke dalam plastik
klip dan diberi label.
e. Jika vial bocor/ atau tumpah maka permukaan yang terkena cairan
vaksin wajib dibilas dengan larutan klorin. Apabila terjadi
tumpahan di dalam Vaccine Carrier atau Vaccine Refrigerator maka
bagian dalam Vaccine Carrier/Refrigerator juga harus dibilas dengan
larutan klorin.
- 23 -

BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN

A. Pencatatan dan Pelaporan Cakupan dengan Aplikasi Sehat IndonesiaKu


(ASIK)

Pencatatan harus dilakukan segera pada saat pelayanan, tidak


ditunda dan diisi secara lengkap. Pencatatan dan pelaporan pelayanan
dilakukan secara elektronik dengan menggunakan aplikasi Sehat
IndonesiaKu (ASIK) pada saat pelayanan.

Mekanisme pencatatan dengan ASIK dilakukan dengan menggunakan


menu imunisasi rutin dan memilih nOPV2 pada pilihan imunisasi. Secara
otomatis seluruh sasaran yang diinput oleh puskesmas di wilayah
pelaksanaan Sub PIN akan memiliki pilihan jenis imunisasi nOPV2. Menu
imunisasi rutin sudah terhubung dengan dukcapil, untuk itu data NIK
lengkap anak dan orang tua akan memudahkan proses pencatatan
imunisasi. Alur pencatatan dengan menggunakan ASIK dapat diakses pada
https://link.kemkes.go.id/multi/Links/lists/faqasik.

B. Pencatatan dan Pelaporan Vaksin dan Logistik Imunisasi dengan Aplikasi


Sistem Monitoring Imunisasi dan Logistik secara Elektronik (SMILE)

Pencatatan vaksin dan logistik imunisasi lainnya dilakukan secara


elektronik menggunakan aplikasi Sistem Monitoring Imunisasi dan Logistik
secara Elektronik (SMILE). Aplikasi SMILE akan mencatat vaksin nOPV2
berdasarkan dosis serta akan mencatat dropper nOPV2 secara satuan.
Penggunaan aplikasi SMILE dilakukan sebagai berikut:

1. Pencatatan penerimaan dan pengeluaran vaksin melalui aplikasi yang


dapat diakses petugas pengelola logistik secara online melalui telpon
genggam dan website. Sisa stok, vaksin ED dan rusak, agregasi vaksin
dan logistik di tiap tingkatan, serta analisis dan pelaporan lain yang
dibutuhkan pengelola logistik, adalah contoh beberapa informasi yang
dapat diperoleh secara cepat dan otomatis dari SMILE. Hasil input
petugas dan pengolahannya di SMILE telah terintegrasi dengan
dashboard satu data Kemenkes RI
https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines.
- 24 -

2. SMILE juga dilengkapi dengan notifikasi SMS kepada petugas pengelola


vaksin di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kementerian Kesehatan RI atas kondisi vaksin dan logistik
di setiap puskesmas seperti habis stok, kelebihan stok, permintaan
vaksin yang harus dipenuhi, vaksin yang mendekati ED, serta kondisi
suhu lemari es vaksin (pada lemari es yang telah terpasang alat
pemantau suhu berbasis IoT dan terhubung dengan SMILE).

3. Detail tata cara penggunaan aplikasi SMILE dapat diunduh pada tautan
https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh.

C. Pencatatan dan Pelaporan Manual

Pencatatan dan pelaporan manual menggunakan format standar yang


dapat diunduh pada tautan https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh.
Format manual terdiri atas:

1. Format pencatatan hasil layanan imunisasi individual

Format ini digunakan untuk mencatat hasil layanan imunisasi nOPV2


by name by address.

2. Format pelaporan harian

Format ini terdiri dari data dasar, laporan harian (bukan kumulatif) dan
rekapituasi per putaran, meliputi cakupan serta penggunaan vaksin
dan dropper. Format pelaporan harian diisi dan dikirimkan secara
berjenjang oleh puskesmas, kabupaten/kota dan provinsi dengan
waktu pelaporan sebagai berikut:
a. Rekapitulasi laporan harian dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota paling lambat pukul 16.00 WIB.
b. Rekapitulasi laporan harian dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
ke Dinas Kesehatan Provinsi paling lambat pukul 17.00 WIB
c. Rekapitulasi laporan harian dari Dinas Kesehatan Provinsi ke
Kementerian Kesehatan paling lambat pukul 18.00 WIB
Laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi dikirimkan kepada Kementerian
Kesehatan melalui email.

Hasil layanan imunisasi nOPV2 juga dicatat pada buku KIA maupun
buku Rapor Kesehatanku pada kolom kosong yang tersedia.
- 25 -

BAB V
PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI

A. Pengertian
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI
adalah kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi, menjadi perhatian
dan diduga berhubungan dengan imunisasi. Dapat berupa gejala, tanda,
hasil pemeriksaan laboratorium atau penyakit.
Meningkatnya jumlah pemberian imunisasi akan meningkatkan
jumlah laporan KIPI. KIPI yang tidak tertangani dengan baik dapat
berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi,
sehingga dapat menurunkan cakupan imunisasi. Keadaan ini dapat
menyebabkan tidak terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity)
yang berisiko terjadinya peningkatan kasus penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I) dan kejadian luar biasa (KLB). Dalam menghadapi
hal tersebut penting dilakukan surveilans KIPI, untuk mengetahui apakah
kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah
terjadi secara kebetulan (koinsiden). Surveilans KIPI tersebut sangat
membantu program imunisasi, khususnya memperkuat keyakinan
masyarakat akan pentingnya imunisasi dan keamanan vaksin.
KIPI dikategorikan menjadi dua, yaitu KIPI serius dan non-serius,
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. KIPI serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi yang
menyebabkan rawat inap, kecacatan, kematian, tuntutan medikolegal
serta yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dilaporkan segera
1x24 jam setiap ada kejadian dan secara berjenjang, dilengkapi
investigasi oleh pengelola program imunisasi di Dinkes
Kab/Kota/Provinsi untuk selanjutnya dilakukan kajian oleh
Pokja/Komda PP – KIPI serta rekomendasi oleh Komnas PP - KIPI. Hasil
kajian dan rekomendasi berupa klasifikasi yaitu reaksi yang berkaitan
dengan produk vaksin dan defek kualitas vaksin, kekeliruan prosedur
pemberian imunisasi, reaksi kecemasan yang berlebihan (immunization
stress related response/ISRR), kejadian koinsiden, dugaan hubungan
kausal kuat tetapi tidak cukup bukti (indeterminate), dan hubungan
kausal yang tidak dapat ditentukan penyebabnya (unclassifiable).
- 26 -

2. KIPI non-serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi dan


tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan si penerima.
Dilaporkan rutin setiap bulan bersamaan dengan hasil cakupan
imunisasi.
B. KIPI yang Mungkin Terjadi dan Antisipasinya

Vaksin nOPV2 yang digunakan dalam kegiatan Sub PIN dalam rangka
penanggulangan KLB Polio adalah vaksin yang aman dan efektif. Secara
umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi simpang pada tubuh, atau
apabila terjadi, hanya menimbulkan reaksi ringan. Imunisasi memicu
kekebalan tubuh dengan menyebabkan sistem kekebalan tubuh penerima
bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam vaksin. Reaksi simpang
yang mungkin terjadi paska pemberian imunisasi nOPV2 adalah menangis
(15%), mengantuk (7%), demam (11%), rewel (15%), hilang nafsu makan
(11%) dan muntah (13%), rate kejadian reaksi simpang pada pemberian
nOPV2 sama seperti reaksi simpang pada pemberian mOPV2.

Surveilans lumpuh layuh akut, juga akan digunakan dalam memantau


keamanan vaksin nOPV2 utamanya adalah untuk melakukan Kunjungan
Ulang (KU) 60 hari untuk setiap kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) dengan
hasil nOPV2 pada spesimen tinja. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi
kemungkinan adanya Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis (VAPP)
sesuai dengan persyaratan yang ada dalam EUL safety requirement. KU60
dilakukan oleh petugas puskesmas atau petugas dinas Kesehatan
kabupaten/kota dengan berkonsultasi dengan dokter pemeriksa. Seluruh
hasil KU60 akan didiskusikan dalam forum Expert Review Committee untuk
klasifikasi akhir. Untuk detail pelaksanaannya, untuk mengikuti pedoman
pelaksanaan surveilans AFP dan addendum-nya.

KIPI terkait reaksi kecemasan juga mungkin terjadi. Reaksi kecemasan


sering terjadi pada anak., dan kejadian dapat timbul karena target usia
pada kegiatan Sub PIN ini adalah sampai dengan usia 12 tahun.

Reaksi kecemasan karena pemberian imunisasi berbeda dengan reaksi


anafilaksis. Reaksi ini dapat ringan sampai berat, ditandai oleh ekspresi
wajah yang penuh kecemasan dan pucat disertai hiperventilasi, sakit
kepala ringan, pusing, dan kesemutan. Reaksi ini dapat terjadi pada anak
lebih kecil, terlihat muka yang kemerahan dan sianosis. Keadaan ini dapat
berakhir dengan penurunan kesadaran, bersamaan dengan dimulainya lagi
- 27 -

usaha bernafas. Reaksi kecemasan berat dapat mengakibatkan pingsan,


pucat, dan terjatuh. Pingsan kadang-kadang diikuti oleh gerakan seperti
kejang klonik singkat (gerak sentakan ritmik/berirama dari anggota badan),
apabila anggota badan yang bergerak ditahan, gerakan akan berhenti.
Keadaan ini tidak membutuhkan penanganan khusus. Pingsan, relatif
sering terjadi setelah imunisasi pada remaja dan dewasa, tetapi jarang pada
anak kecil. Reaksi kecemasan ditangani secara sederhana dengan
membaringkan penderita secara terlentang. Pemulihan kesadaran terjadi
dalam satu atau dua menit, tetapi penderita mungkin membutuhkan lebih
banyak waktu untuk pemulihan penuh. Tanda utama pada keadaan
pingsan karena reaksi kecemasan ditandai dengan tanda vital dalam
keadaan normal (frekuensi jantung, denyut nadi, isi kapiler dan frekuensi
napas). Berbeda dengan pingsan yang disebabkan reaksi anafilaksis,
pingsan yang disebabkan oleh reaksi kecemasan ditandai dengan tanda-
tanda vital dalam batas normal.

KIPI yang terkait kekeliruan prosedur dapat terjadi, untuk itu


persiapan pelaksanaan imunisasi yang baik, seperti petugas yang kompeten
(memiliki pengetahuan cukup, terampil dalam melaksanakan imunisasi
dan memiliki sikap profesional sebagai tenaga kesehatan), peralatan yang
lengkap dan petunjuk teknis yang jelas, termasuk surat tugas, STR dan SIP
harus disiapkan dengan maksimal kepada semua jajaran yang masuk
dalam sistem ini serta harus memahami petunjuk teknis yang diberikan.

KIPI yang tidak terkait dengan vaksin atau koinsiden harus


diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan anak yang akan
diimunisasi harus dilakukan seoptimal mungkin.
C. Mekanisme Pemantauan dan Penanggulangan KIPI

Pemantauan KIPI dimulai langsung setelah imunisasi. Setelah


menerima imunisasi maka anak dianjurkan menunggu di lokasi imunisasi
sampai dengan 30 menit untuk dilakukan observasi timbulnya KIPI. Jika
tidak ada keluhan/gejala maka anak diperbolehkan pulang dan orang tua
diberikan edukasi tata laksana jika anak mengalami KIPI di rumah.
Puskesmas dapat menerima laporan KIPI dari masyarakat/orangtua/kader.
Apabila ditemukan dugaan KIPI serius maka harus segera direspon,
diinvestigasi dan dilaporkan.
- 28 -

Skema alur kegiatan penemuan dan pelaporan KIPI Serius sesuai


dengan skema berikut:

Gambar 3. Skema Penemuan dan Pelaporan KIPI Serius


Keterangan:
a. Orangtua, kader, masyarakat atau pihak lain yang mengetahui adanya
KIPI melaporkan kepada petugas penanggung jawab surveillans KIPI di
puskesmas.
b. Selanjutnya, puskesmas akan mencatat laporan KIPI serius melalui
formulir pelaporan KIPI serius dan segera melaporkan KIPI serius
melalui laman web Keamanan Vaksin
(https://keamananvaksin.kemkes.go.id), secara otomatis dinas
kesehatan kabupaten/kota dan dinas kesehatan provinsi akan
menerima laporan dari puskesmas pelapor.
c. Dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau dinas kesehatan provinsi
segera melakukan investigasi. Investigasi dapat dilakukan bekerja sama
dengan Balai Besar POM Provinsi dan Pokja PP KIPI Kabupaten/Kota
atau Komda PP KIPI Provinsi (jika diperlukan). Hasil investigasi
dilaporkan melalui laman web Keamanan Vaksin, secara otomatis Pokja
maupun Komda PP KIPI akan menerima laporan tersebut.
d. Kajian KIPI serius oleh Pokja PP KIPI Kabupaten/Kota atau Komda PP
KIPI Provinsi dilakukan setelah mendapatkan hasil investigasi. Komnas
- 29 -

PP KIPI akan melakukan tanggapan ketika sudah dilakukan kajian oleh


Pokja PP KIPI Kabupaten/Kota atau Komda PP KIPI Provinsi.

Laporan KIPI Non-serius akan didapatkan oleh puskesmas dari


orang tua/pengantar anak pada saat pelayanan imunisasi di kunjungan
berikutnya setelah pemberian imunisasi nOPV2. Pada saat skrining
sebelum diberikan imunisasi maka petugas wajib menanyakan riwayat
terjadinya KIPI pada anak setelah diberikan imunisasi nOPV2. Apabila
orang tua/pengantar anak menyatakan bahwa terdapat gejala klinis setelah
pemberian imunisasi nOPV2 namun dapat diatasi di rumah dan tidak
menimbulkan risiko potensial pada kesehatan anak, maka hal tersebut
dapat dikategorikan sebagai kasus KIPI Non-serius.

Pencatatan dan pelaporan KIPI serius dan non serius dilakukan


melalui laman web keamanan vaksin oleh petugas surveilans KIPI yang
telah ditunjuk oleh puskesmas. Apabila terdapat kendala dalam pelaporan
KIPI Serius melalui laman web keamanan vaksin
(https://keamananvaksin.kemkes.go.id), maka untuk sementara dapat
dilakukan secara manual menggunakan format standar yang dapat
diunduh pada tautan https://bit.ly/formkipi. Laporan segera dikirim
secara berjenjang kepada Kementerian Kesehatan cq. Direktorat
Pengelolaan Imunisasi serta Komnas PP-KIPI melalui email:
komnasppkipi@gmail.com. Namun pencatatan dan pelaporan KIPI serius
melalui laman web keamanan vaksin tetap harus dilakukan.

Khusus untuk pelaporan KIPI non-serius secara manual, laporan


dilakukan pada bulan berikutnya bersamaan dengan laporan cakupan
imunisasi. Namun pelaporan KIPI non-serius melalui laman web keamanan
vaksin bisa dilakukan kapanpun sesuai dengan waktu pelaksanaan
imunisasi. Alur kegiatan penemuan dan pelaporan KIPI Non-serius
dilakukan seperti pada gambar berikut ini.
- 30 -

Gambar 4. Skema Penemuan dan Pelaporan KIPI Non Serius

Data KIPI serius dan non serius yang telah dilaporkan secara nasional
melalui laman keamanan vaksin kemudian akan disampaikan pada forum
global untuk menjamin keamanan vaksin. Badan POM merupakan Pusat
Farmakovigilans/MESO Nasional di Indonesia dan merupakan salah satu
anggota WHO Program for International Drug Safety Monitoring yang
berpusat di Uppsala Monitoring Center (WHO–UMC). Sebagai Pusat
Farmakovigilans, Badan POM menerima dan mengevaluasi setiap laporan
KIPI yang dilaporkan melalui laman web keamanan vaksin oleh pengelola
imunisasi dan telah dilakukan kajian kausalitas oleh Komnas/Komda PP-
KIPI.

Analisis data KIPI dilakukan di tingkat pusat oleh tim data Komnas
KIPI bersama dengan Kementerian Kesehatan. Analisis dilakukan untuk
memantau kelengkapan dan ketepatan pelaporan, tren KIPI yang
dilaporkan baik berdasarkan waktu maupun tempat, analisis deskriptif
data detail kasus KIPI (karakteristik klinis, onset, durasi), rate KIPI (AEFI
rate dan sub-group AEFI rate), analisis sub-group dan risk ratio. Terkait
dengan penggunaan nOPV2, data dasar (background data) akan dicoba
untuk diperoleh untuk beberapa diagnosis seperti reaksi anafilaktik,
ensefalitis, GBS, myelitis/myelitis tranversum dan VAPP.

Pengkajian kausalitas laporan KIPI Serius dilaksanakan dengan


melibatkan Komnas/Komda PP-KIPI, Tim Farmakovigilans BPOM, Focal
Point KIPI Kemenkes dan Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota,
faskes terkait, organisasi profesi, dan mitra pembangunan kesehatan.
Laporan tersebut kemudian akan dikirimkan ke WHO Collaborating Centre
yang berpusat di Uppsala, Swedia melalui sistem elektronik (Vigiflow).
- 31 -

Apabila terjadi reaksi masyarakat akibat KIPI maka akan dilakukan


penilaian terhadap dampak dari kejadian terkait vaksin. Penilaian dampak
dan perencanaan lebih lanjut dapat ditemukan pada tautan
https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh.
D. Komite Nasional dan Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan KIPI
Komite Nasional PP KIPI ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4719/2021 tentang Komite
Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI. Komite Nasional dan Komite
Daerah PP KIPI harus menjaga independensi dan menyatakan tidak
memiliki kepentingan (declaration of interest) yang mungkin akan
mempengaruhi penilaian dalam kegiatan kajian kausalitas suatu KIPI
serius. Dalam melaksanakan tugasnya, Komite Nasional dan Komite
Daerah harus memastikan kerahasiaan data pasien sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
E. Pelacakan KIPI

Pelacakan kasus KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan yang telah


ditentukan, dengan memperhatikan kaidah pelacakan kasus, vaksin,
teknik dan prosedur imunisasi, serta melakukan perbaikan berdasarkan
temuan yang didapat. Pelacakan KIPI yang dilakukan selama masa
pandemi COVID-19 harus dilaksanakan sesuai prinsip protokol kesehatan.
Pelacakan KIPI serius secara lengkap dapat dilihat pada Permenkes yang
berlaku tentang Penyelenggaraan Imunisasi dan disesuaikan dengan
Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/6424/2021 Tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi
COVID-19.

Adapun langkah-langkah pelacakan KIPI sesuai tabel berikut:


Tabel 3. Langkah-Langkah dalam Pelacakan KIPI
Langkah Tindakan
1) Pastikan • Dapatkan informasi tentang pasien dari catatan
kelengkapan medik dan dokumen klinis lainnya.
informasi • Lengkapi informasi yang kurang dari formulir
pada laporan laporan KIPI.
• Tambahkan informasi dari sumber lain yang
dibutuhkan untuk melengkapi pelacakan.
- 32 -

Langkah Tindakan
2) Lacak dan Tentang pasien
kumpulkan • Kronologis imunisasi saat ini yang diduga dapat
data menimbulkan KIPI
• Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat
imunisasi yang lalu dengan reaksi yang
sama/reaksi alergi yang lain
• Riwayat keluarga yang mengalami kejadian yang
sama

Tentang kejadian
• Deskripsikan kronologis secara rinci yang
mencakup gejala klinis, hasil laboratorium yang
relevan dengan KIPI bila ada, untuk membantu
menegakan diagnosis.
• Tindakan yang didapatkan, apakah dirawat
inap/jalan dan bagaimana hasilnya.

Tentang vaksin yang diduga menimbulkan KIPI:


• Jenis vaksin yang digunakan, nomor batch,
keadaan vaccine vial monitor, kondisi
penyimpanan, catatan suhu pada lemari es dan
prosedur pengiriman vaksin.

Tentang kondisi anak lainnya yang mendapat


vaksin yang sama :
• Adakah anak lain yang mendapat imunisasi dari
vaksin dengan nomor batch yang sama dan
menimbulkan gejala yang sama

F. Pengenalan dan Penanganan Anafilaksis

Reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas sistemik yang berat,


terjadi dengan cepat (umumnya 5-30 menit sesudah pemberian imunisasi),
serius, dan dapat menyebabkan kematian. Reaksi anafilaktik menjadi risiko
pada setiap pemberian vaksinasi, obat, makanan dan lainnya, dan
merupakan KIPI serius yang harus mendapat penanganan segera. Jika
- 33 -

reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai
syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan
tepat. Tata laksana mulai dari penegakan diagnosis sampai pada terapi
dilakukan di tempat kejadian, dan setelah tanda-tanda vital dari kasus
stabil baru dipertimbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit terdekat. Setiap
petugas pelaksana imunisasi harus sudah kompeten dalam mengenali dan
menangani reaksi anafilaktik.

Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilaktik berbeda-beda


sesuai dengan berat atau ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang. Namun pada tingkat yang berat berupa syok
anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi. Gejala anafilaksis dapat terjadi segera setelah pemberian
imunisasi (reaksi cepat) atau lambat seperti diuraikan dalam gambar
berikut ini:
Kriteria A. Satu gejala muncul tiba-tiba dalam menit sampai jam melibatkan
kulit jaringan mukosa atau keduanya (Mis: bercak merah diseluruh tubuh
terasa gatal dan panas bibir lidah dan uvula bengkak)
Ditambah sedikitnya satu dari keadaan berikut:
Gejala pada pernafasan (Mis: Tekanan darah menurun
sesak nafas, mengi, batuk, mendadak atau timbulnya gejala
stridor, hipoksemia) disfungsi organ seperti hipotonia
(kolaps), inkontinensia

ATAU kriteria B. Dua atau lebih dari keadaan berikut yang muncul mendadak
setelah pajanan alergen atau pemicu lainnya

Gejala muncul tiba- Gejala pada Tekanan darah Gejala pencernaan


tiba dalam hitungan pernapasan menurun yang timbul
menit sampai jam, (Misal: sesak mendadak atau mendadak (Misal:
melibatkan kulit, napas, batuk timbulnya gejala nyeri perut sampai
jaringan mukosa, hipoksemia) disfungsi organ kram muntah)
atau keduanya seperti hypotonia
(Misal: bercak kolep
merah di seluruh Inkontinensia
tubuh, terasa gatal
dan panas, serta
bibir, lidah, dan
uvula bengkak)
ATAU kriteria C. Tekanan darah berkurang setelah pajanan alergen yang
diketahui untuk pasien
(dalam hitungan menit sampai jam)
- 34 -

Bayi dan anak-anak tekanan darah sistolik rendah


spesifik usia atau pengurangan tekanan darah sistolik
yang lebih besar dari 30%
Keterangan:
*Sebagai contoh: imunologik namun independen IgE atau non imunologik (aktivasi
sel mast langsung)
**Sebagai contoh: setelah sengatan serangga berkurangnya tekanan darah dapat
menjadi satu-satunya manifestasi anafilaksis atau setelah imunoterapi alergen
bercak merah gatal diseluruh tubuh dapat menjadi manifestasi awal satu-satunya
dari anafilaksis
***Tekanan darah sistolik rendah pada anak diartikan sebagai tekanan darah yang
kurang dari 70 mmHg untuk usia 1 bulan - 1 tahun, kurang dari 70 mmHG + (2
kali usia) untuk 1 -10 tahun; dan kurang dari 90 mmHg untuk usia 11 -17 tahun
Frekuensi denyut jantung normal bervariasi dari 80 sampai 140 x / menit untuk usia
1-2 tahun; 80-12x/menit untuk usia 3 tahun, dan 7-115 x/menit usia 3 tahun. Pada
bayi dan anak kelainan pernafasan lebih umum terjadi daripada hipotensi dan syok
dan syok lebih sering bermanifestasi takikardia dari hipotensi

Gambar 5. Tanda dan Gejala Anafilaksis

1. Miliki protokol gawat darurat tertulis


untuk mengenal anafilaksis beserta
tatalaksananya dan latih secara rutin

2. Sedapat mungkin, jauhkan


bayi/anak dari paparan faktor
pemicu, yang kemungkinan
menjadi pemicu gejala

3. Nilai jalan nafas, pernafasan, dan


sirkulasi (airway, breathing,
circulation), status mental, kulit, dan
berat badan

4. Pada saat yang sama, panggil


bantuan tim resusitasi (jika kejadian
di rumah sakit) atu tim medis gawat
darurat (jika kejadian di luar rumah
sakit/komunitas)

5. Letakkan bayi/anak pada posisi


terlentang atau setengah berbaring
dalam posisi yang nyaman pada
lengan pengasuhnya
- 35 -

6. Beri injeksi epinefrin (adrenalin)


secara intramuskuler pada regio
tengah paha bagian depan dengan
dosis 0,01 mg/kg larutan 1:1000 (1
mg/ml), maksimum 0,3 mg. Catat
waktu pemberian dan dosis, ulangi
5–15 menit kemudian bila
diperlukan. Kebanyakan pasien
akan menunjukkan respon setelah
1–2 dosis

7. Bila diperlukan, berikan oksigen


dengan kecepatan tinggi (8-10
L/menit) dengan masker khusus
bayi/anak

8. Buat akses intravena menggunakan


jarum dan mulai pemberian
resusitasi cairan dengan larutan
NaCl 0,9% NaCl dengan dosis 10-20
ml/kg selama 5–10 menit

9. Pantau tekanan darah, denyut dan


fungsi jantung, status pernafasan,
serta kadar oksigen sesering
mungkin dalam interval yang teratur

10. Bila diperlukan, lakukan resusitasi


jantung paru dengan kompresi dada
100 kali per menit kedalaman 4 cm
secara kontinu dan berikan napas
buatan dengan kecepatan 15–20
kali/menit

Gambar 6. Penanganan Syok Anafilaksis


Sumber (dengan modifikasi): Simon, FER, & Sampson, HA. Anaphylaxis: Unique aspects of
clinical diagnosis and management in infants (birth to age 2 years). J Allergy Clin Immunol
2015(135):1125-31.
- 36 -

Untuk itu, dalam setiap pelayanan harus disediakan perlengkapan


anafilaktik, stetoskop, tensimeter (dengan ukuran bayi dan anak) dan
oxymeter (bila tersedia). Isi dari perlengkapan anafilaktik terdiri dari:
a. Epinefrin ampul 1 : 1000
b. Deksametason ampul
c. Spuit 1 ml
d. Infus set
e. Larutan infus (NaCl 0.9% atau Dekstrose 5%)
f. Tabung oksigen
- 37 -

BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan Sub PIN merupakan komponen


yang sangat penting, yang dilakukan untuk menilai apakah kegiatan yang
dilakukan terlaksana dengan baik dan sudah sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan mulai dari persiapan,
pelaksanaan (termasuk di dalamnya adalah hasil cakupan) dan evaluasi
dampak.
A. Pemantauan Cakupan

Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan memantau laporan


cakupan harian Sub PIN per putaran pada dashboard ASIK maupun dengan
menggunakan rekapan manual.

Pemantauan cakupan harian harus dibandingkan dengan target per


harinya, yang dihitung dengan cara:

target cakupan kegiatan / jumlah hari pelaksanaan kegiatan * hari ke ....

Contoh perhitungan target harian hari ke 3:

95%/7*3 = 40,7%

Jadi, target harian untuk hari ke-3 adalah 40,7%.


B. Pemantauan dan Pembinaan

Pemantauan adalah salah satu fungsi penting dalam manajemen


kegiatan imunisasi untuk mengetahui permasalahan saat persiapan
maupun pelaksanaan sehingga dapat segera dilakukan upaya pemecahan
masalah serta evaluasi paska kegiatan.

Ada tiga jenis pemantauan yang dilakukan yaitu:

a. Pemantauan yang dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan, untuk


memantau persiapan pelaksanaan.

b. Pemantauan atau supervisi saat pelaksanaan, untuk memantau


kegiatan yang sedang berlangsung serta kendalanya. Supervisi
dilaksanakan secara elektronik menggunakan daftar tilik pada tautan
https://link.kemkes.go.id/SupervisiORIKLB, format manual juga
dapat diunduh pada tautan
https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh.
- 38 -

c. Rapid Convenience Assessment) saat dan paska pelaksanaan, untuk


memantau tingkat keberhasilan penyelenggaraan kegiatan di suatu
lokasi. RCA dilaksanakan secara elektronik menggunakan daftar tilik
pada tautan https://link.kemkes.go.id/RCAORIKLB, format manual
juga dapat diunduh pada tautan
https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh.

Idealnya, seluruh puskesmas dilakukan supervisi, namun dengan


mempertimbangkan ketersediaan sumber daya, maka dapat
dilakukan pemilihan puskesmas yang akan disupervisi yaitu berdasarkan
kriteria tingkat kesulitan jangkauan (wilayah sulit dan biasa) atau
berdasarkan daerah yang berisiko tinggi (cakupan imunisasi polio rutin
<80%, daerah kumuh, padat penduduk, daerah sulit secara sosial dan
ekonomi, dan lain-lain).

Dalam supervisi semua aspek pelaksanaan dilihat sesuai dengan


checklist. Bila ditemukan pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai prosedur,
segera dilakukan on the job training pada petugas. Hasil supervisi dianalisa
dan didiskusikan bersama pelaksana lain yang terkait. Kemudian
dilakukan pemecahan masalah dan rencana tindak lanjut bersama dengan
kepala puskesmas dan petugas.

Pada tingkat Kabupaten/Kota hasil supervisi dari beberapa


Puskesmas direkapitulasi, dianalisis, dan dibuat rencana tindak lanjut.
Kemudian dilaporkan ke atasan langsung serta diumpanbalikkan ke
puskesmas melalui pertemuan khusus (dapat dilakukan secara
virtual/daring) maupun tertulis.
C. Evaluasi

Pertemuan evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi pencapaian


hasil kegiatan, seperti cakupan masing-masing wilayah; distribusi,
pengembalian dan pengunaan vaksin dan logistik; dan masalah-masalah
yang dijumpai di lapangan. Pada pertemuan evaluasi juga diidentifikasi
laporan KIPI serta aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya KIPI tersebut.
Evaluasi dilakukan untuk setiap putaran.

Evaluasi dampak dilakukan dalam rangka mengetahui dampak


pelaksanaan Sub PIN terhadap terhentinya penularan virus polio VDPV2
dan tidak ditemukan lagi kasus polio. Evaluasi dapat dilakukan melalui
surveilans AFP dan surveilans lingkungan.
- 39 -

D. OBRA (Outbreak Response Assessment)

Polio Outbreak Response Assessment atau OBRA dilaksanakan untuk


menilai apakah respon imunisasi dan surveilans cukup baik untuk
mendeteksi dan menghentikan penularan virus polio serta mengidentifikasi
apa yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah/kendala.

OBRA harus dilaksanakan tepat waktu, efektif, praktis dan


independen.
- 40 -

BAB VII
PENUTUP

Dengan ditetapkannya Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sub PIN Dalam


Rangka Penanggulangan KLB Polio cVDPV2 ini, pelaksanaan Sub PIN
diharapkan dapat terselenggara dengan baik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian penularan VDPV2 dapat
dihentikan dan KLB Polio dapat tertangani.

Anda mungkin juga menyukai