MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN SUB PEKAN IMUNISASI NASIONAL (SUB PIN)
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA
POLIO CIRCULATING VACCINE-DERIVED POLIOVIRUS TYPE 2
(CVDPV2);
-3-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Januari 2023
-4-
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT
NOMOR HK.02.02/C/504/2023
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN SUB
PEKAN IMUNISASI NASIONAL (SUB PIN)
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN
KEJADIAN LUAR BIASA POLIO
CIRCULATING VACCINE-DERIVED
POLIOVIRUS TYPE 2 (CVDPV2)
PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN SUB PEKAN IMUNISASI NASIONAL (SUB PIN)
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN
KEJADIAN LUAR BIASA POLIO
CIRCULATING VACCINE-DERIVED POLIOVIRUS TYPE 2 (CVDPV2)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Walaupun kasus polio akibat virus polio liar sudah tidak ditemukan
lagi di Indonesia selama lebih dari 10 tahun, namun penyakit ini masih
mungkin terjadi di wilayah Indonesia oleh karena importasi virus dari
negara lain atau virus vaksin yang bermutasi di daerah dengan cakupan
imunisasi polio yang rendah dalam jangka waktu lama.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Menyediakan petunjuk teknis sebagai acuan pelaksanaan Sub PIN
dalam rangka penanggulangan KLB Polio VDPV2.
2. Tujuan khusus:
a. Melakukan persiapan dan penyusunan mikroplaning
b. Melaksanakan edukasi kesehatan/penyuluhan kesehatan
c. Menjalin kemitraan/kerjasama
d. Melaksanakan pemberian imunisasi nOPV2
e. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan
f. Melaksanakan pemantauan dan penanggulangan KIPI
g. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
C. Sasaran
Sasaran petunjuk teknis ini adalah:
1. Pengelola Program Imunisasi dan Logistik di dinas kesehatan provinsi,
dinas kesehatan kabupaten/kota, serta puskesmas.
2. Pengelola Program terkait lainnya di dinas kesehatan provinsi, dinas
kesehatan kabupaten/kota, serta puskesmas.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup petunjuk teknis ini meliputi:
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Pencatatan dan Pelaporan
4. Pemantauan dan Penanggulangan KIPI
5. Monitoring dan Evaluasi
-7-
BAB II
PERSIAPAN
A. Mekanisme Pelaksanaan
Vaksin yang digunakan adalah vaksin novel Oral Polio Vaccine tipe 2
(nOPV2) dengan kemasan 50 dosis per vial. Vaksin merupakan produksi PT.
Biofarma dan digunakan HANYA pada pelaksanaan Sub PIN dalam rangka
penanggulangan KLB polio tipe 2.
bOPV nOPV2
Vial per
10 10
pack/kemasan
Packed volume 3 3
0,1 cm 0,55 cm
per dosis
VVM Ya Ya
Pelayanan dinamis:tidak
Vaksin yang sudah dibuka
Penggunaan digunakan kembali selesai
pelayanan hanya dapat digunakan pada
vaksin terbuka
Pelayanan statis: 2 minggu hari yang sama
-8-
1. Jumlah Sasaran
Volume plastik limbah medis berisi vial serta dropper dibagi volume
wadah/kontainer yang digunakan dikalikan 2 putaran,
ditambahkan 5% cadangan
g. Kebutuhan Perlengkapan Anafilaktik
Perlengkapan anafilaktik merupakan komponen penting dalam
pelayanan imunisasi sebagai antisipasi terjadinya KIPI serius (syok
anafilaktik). Setiap tempat pelayanan imunisasi harus menyediakan
minimal 1 set perlengkapan anafilaktik sehingga jumlah kebutuhan
perlengkapan anafilaktik disesuaikan dengan jumlah tempat
pelayanan imunisasi.
6. Pemetaan Wilayah
Pelaksanaan Sub PIN harus menjangkau semua sasaran di wilayah
kerja puskesmas. Peta wilayah kerja puskesmas harus mencakup:
a. Lokasi dari setiap desa/kelurahan
b. Lokasi-lokasi penting seperti posyandu, puskesmas, fasilitas
pelayanan kesehatan lain, tempat ibadah, pasar, sekolah, dan
tempat-tempat umum lainnya.
c. Perkiraan jarak dan waktu tempuh dari puskesmas, fasilitas
pelayanan kesehatan dan posyandu ke setiap komunitas
masyarakat
d. Lokasi-lokasi rentan/berisiko yaitu wilayah padat penduduk,
wilayah kumuh, wilayah yang terdapat pekerja migran, kelompok
marjinal dan pengungsi yang berdomisili, wilayah pedesaan dan
sulit secara geografis, wilayah yang teridentifikasi adanya penolakan
terhadap imunisasi, atau wilayah pemukiman baru.
7. Tenaga pelaksana
8. Jadwal Pelaksanaan
2. Komunikasi
a. Tujuan
Membangun pemahaman publik terhadap keamanan, kualitas
dan manfaat imunisasi polio bagi anak.
Mendorong kesadaran dan menggerakkan masyarakat agar
semua sasaran mengikuti Sub PIN.
Meningkatkan kesadaran pentingnya menerapkan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS).
Menggalang dukungan para pemangku kepentingan untuk
mendukung penanganan KLB polio dan pelaksanaan Sub PIN.
b. Pesan /narasi
Penjelasan terkait faktor risiko penyebab polio.
Edukasi publik terkait waktu, tempat, dan cara mengikuti Sub
PIN.
Penjelasan tentang keamanan, kualitas dan manfaat vaksin.
Penjelasan tentang KIPI (risiko, pencegahan dan penanganan).
Edukasi penerapan PHBS.
Upaya pemerintah dalam penanganan KLB Polio.
c. Sasaran
Utama: Orang tua, orang tua asuh, anggota keluarga lainnya
(kakek/nenek/pengasuh). Sasaran ini mendapatkan pesan
edukasi publik baik untuk mengikuti Sub PIN dan maupun
tentang PHBS.
Sekunder: Tenaga kesehatan, guru, tokoh masyarakat/tokoh
agama, pejabat publik/pemangku kepentingan, media. Kelompok
sasaran ini akan mendapatkan narasi upaya pemerintah dalam
penanganan KLB Polio, pesan umum seputar polio dan imunisasi
serta dukungan dalam mendorong partisipasi publik pada Sub
PIN.
d. Pemanfaatan Media
Saluran komunikasi yang digunakan: media massa (cetak, online
dan penyiaran), media digital (website, webinar, media sosial),
media luar ruang dan media offline (forum, event);
Publikasi di media luar ruang berupa spanduk, poster, baliho,
dll., penayangan advertorial/iklan/ad-lips/placement ILM di
- 15 -
F. Pemantauan Persiapan
Pemantauan persiapan bertujuan untuk:
BAB III
PELAKSANAAN
b. Posyandu,
Catatan:
Pada saat pelaksanaan Sub PIN, imunisasi rutin tetap berjalan
Dalam waktu 24 jam setelah vaksin diterima, VAR harus diisi oleh
provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas menggunakan format yang dapat
diunduh pada tautan https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh. VAR
yang telah diisi dikembalikan kepada UNICEF Indonesia.
Catatan:
• Di dalam cold box atau vaccine carrier, vaksin nOPV2
dimasukkan ke dalam plastik klip untuk melindungi dari
rendaman air
• Saat distribusi, vaksin nOPV2 ditempatkan terpisah dari vaksin
lainnya dan diberi tanda “nOPV2 untuk Sub PIN”.
3. Vaksin yang akan digunakan harus dalam kondisi baik (label masih
ada, tidak terendam air, disimpan pada suhu yang direkomendasikan,
belum kedaluwarsa dan VVM dalam kondisi A atau B.
Puskesmas.
9. Vaccine carrier disimpan kembali di ruang penyimpanan dalam kondisi
bersih di puskesmas, sedangkan cold/ice pack dapat dimasukkan ke
dalam freezer untuk digunakan pada hari berikutnya.
D. Cara Pemberian
1. Malnutrisi
Tingkatan Administratif Petugas imunisasi dan/ atau logistik Tenaga Sanitasi Lingkungan
Mencatat transaksi keluar masuk vaksin dan Mengumpulkan vial vaksin terbuka/ terpakai
dropper serta penggunaan dan dan/ atau rusak serta dropper yang terpakai
pengembaliannya, baik secara manual dan mengirimkannya ke Dinas Kesehatan
maupun melalui aplikasi SMILE Provinsi setiap selesai putaran
Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota Mengumpulkan vial vaksin utuh dan dropper
Menyimpan vial utuh dan dopper belum belum terpakai yang tidak digunakan kembali
terpakai untuk digunakan pada putaran dan mengirimkannya ke Dinas Kesehatan
berikutnya Provinsi untuk dimusnahkan pada akhir
pelaksanaan seluruh putaran
F. Manajemen Limbah
Limbah medis yang bersumber dari kegiatan Sub PIN termasuk dalam
kategori limbah B3 sehingga pengelolaan limbahnya harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Limbah medis yang ditimbulkan dari kegiatan Sub
PIN dapat berupa vial vaksin kedaluwarsa, rusak, dan terbuka serta dropper
rusak dan terpakai. Pada akhir pelaksanaan seluruh putaran Sub PIN, vial
utuh dan dropper yang belum terpakai juga dikelola sebagai limbah medis.
1. Limbah medis yang terkumpul di Puskesmas diangkut ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota kemudian dilakukan pencatatan dan
penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST). Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota kemudian menyimpan limbah medis di TPSLB3 RSUD
Kabupaten/Kota atau TPSLB3 lain yang ditunjuk dan dilakukan
pencatatan di log book TPSLB3.
2. Limbah medis yang telah terkumpul di TPSLB3 RSUD Kabupaten/Kota
diangkut ke Dinas Kesehatan Provinsi kemudian dilakukan pencatatan
dan penandatanganan BAST antara Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan Dinas Kesehatan Provinsi. Limbah medis dari Kabupaten/Kota
kemudian disimpan sementara di TPSLB3 RSUD Provinsi atau TPSLB3
lain yang ditunjuk dan dilakukan pencatatan di log book TPSLB3.
- 22 -
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
3. Detail tata cara penggunaan aplikasi SMILE dapat diunduh pada tautan
https://link.kemkes.go.id/ORIKLBPolioAceh.
Format ini terdiri dari data dasar, laporan harian (bukan kumulatif) dan
rekapituasi per putaran, meliputi cakupan serta penggunaan vaksin
dan dropper. Format pelaporan harian diisi dan dikirimkan secara
berjenjang oleh puskesmas, kabupaten/kota dan provinsi dengan
waktu pelaporan sebagai berikut:
a. Rekapitulasi laporan harian dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota paling lambat pukul 16.00 WIB.
b. Rekapitulasi laporan harian dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
ke Dinas Kesehatan Provinsi paling lambat pukul 17.00 WIB
c. Rekapitulasi laporan harian dari Dinas Kesehatan Provinsi ke
Kementerian Kesehatan paling lambat pukul 18.00 WIB
Laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi dikirimkan kepada Kementerian
Kesehatan melalui email.
Hasil layanan imunisasi nOPV2 juga dicatat pada buku KIA maupun
buku Rapor Kesehatanku pada kolom kosong yang tersedia.
- 25 -
BAB V
PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI
A. Pengertian
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI
adalah kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi, menjadi perhatian
dan diduga berhubungan dengan imunisasi. Dapat berupa gejala, tanda,
hasil pemeriksaan laboratorium atau penyakit.
Meningkatnya jumlah pemberian imunisasi akan meningkatkan
jumlah laporan KIPI. KIPI yang tidak tertangani dengan baik dapat
berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi,
sehingga dapat menurunkan cakupan imunisasi. Keadaan ini dapat
menyebabkan tidak terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity)
yang berisiko terjadinya peningkatan kasus penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I) dan kejadian luar biasa (KLB). Dalam menghadapi
hal tersebut penting dilakukan surveilans KIPI, untuk mengetahui apakah
kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah
terjadi secara kebetulan (koinsiden). Surveilans KIPI tersebut sangat
membantu program imunisasi, khususnya memperkuat keyakinan
masyarakat akan pentingnya imunisasi dan keamanan vaksin.
KIPI dikategorikan menjadi dua, yaitu KIPI serius dan non-serius,
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. KIPI serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi yang
menyebabkan rawat inap, kecacatan, kematian, tuntutan medikolegal
serta yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dilaporkan segera
1x24 jam setiap ada kejadian dan secara berjenjang, dilengkapi
investigasi oleh pengelola program imunisasi di Dinkes
Kab/Kota/Provinsi untuk selanjutnya dilakukan kajian oleh
Pokja/Komda PP – KIPI serta rekomendasi oleh Komnas PP - KIPI. Hasil
kajian dan rekomendasi berupa klasifikasi yaitu reaksi yang berkaitan
dengan produk vaksin dan defek kualitas vaksin, kekeliruan prosedur
pemberian imunisasi, reaksi kecemasan yang berlebihan (immunization
stress related response/ISRR), kejadian koinsiden, dugaan hubungan
kausal kuat tetapi tidak cukup bukti (indeterminate), dan hubungan
kausal yang tidak dapat ditentukan penyebabnya (unclassifiable).
- 26 -
Vaksin nOPV2 yang digunakan dalam kegiatan Sub PIN dalam rangka
penanggulangan KLB Polio adalah vaksin yang aman dan efektif. Secara
umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi simpang pada tubuh, atau
apabila terjadi, hanya menimbulkan reaksi ringan. Imunisasi memicu
kekebalan tubuh dengan menyebabkan sistem kekebalan tubuh penerima
bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam vaksin. Reaksi simpang
yang mungkin terjadi paska pemberian imunisasi nOPV2 adalah menangis
(15%), mengantuk (7%), demam (11%), rewel (15%), hilang nafsu makan
(11%) dan muntah (13%), rate kejadian reaksi simpang pada pemberian
nOPV2 sama seperti reaksi simpang pada pemberian mOPV2.
Data KIPI serius dan non serius yang telah dilaporkan secara nasional
melalui laman keamanan vaksin kemudian akan disampaikan pada forum
global untuk menjamin keamanan vaksin. Badan POM merupakan Pusat
Farmakovigilans/MESO Nasional di Indonesia dan merupakan salah satu
anggota WHO Program for International Drug Safety Monitoring yang
berpusat di Uppsala Monitoring Center (WHO–UMC). Sebagai Pusat
Farmakovigilans, Badan POM menerima dan mengevaluasi setiap laporan
KIPI yang dilaporkan melalui laman web keamanan vaksin oleh pengelola
imunisasi dan telah dilakukan kajian kausalitas oleh Komnas/Komda PP-
KIPI.
Analisis data KIPI dilakukan di tingkat pusat oleh tim data Komnas
KIPI bersama dengan Kementerian Kesehatan. Analisis dilakukan untuk
memantau kelengkapan dan ketepatan pelaporan, tren KIPI yang
dilaporkan baik berdasarkan waktu maupun tempat, analisis deskriptif
data detail kasus KIPI (karakteristik klinis, onset, durasi), rate KIPI (AEFI
rate dan sub-group AEFI rate), analisis sub-group dan risk ratio. Terkait
dengan penggunaan nOPV2, data dasar (background data) akan dicoba
untuk diperoleh untuk beberapa diagnosis seperti reaksi anafilaktik,
ensefalitis, GBS, myelitis/myelitis tranversum dan VAPP.
Langkah Tindakan
2) Lacak dan Tentang pasien
kumpulkan • Kronologis imunisasi saat ini yang diduga dapat
data menimbulkan KIPI
• Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat
imunisasi yang lalu dengan reaksi yang
sama/reaksi alergi yang lain
• Riwayat keluarga yang mengalami kejadian yang
sama
Tentang kejadian
• Deskripsikan kronologis secara rinci yang
mencakup gejala klinis, hasil laboratorium yang
relevan dengan KIPI bila ada, untuk membantu
menegakan diagnosis.
• Tindakan yang didapatkan, apakah dirawat
inap/jalan dan bagaimana hasilnya.
reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai
syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan
tepat. Tata laksana mulai dari penegakan diagnosis sampai pada terapi
dilakukan di tempat kejadian, dan setelah tanda-tanda vital dari kasus
stabil baru dipertimbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit terdekat. Setiap
petugas pelaksana imunisasi harus sudah kompeten dalam mengenali dan
menangani reaksi anafilaktik.
ATAU kriteria B. Dua atau lebih dari keadaan berikut yang muncul mendadak
setelah pajanan alergen atau pemicu lainnya
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI
95%/7*3 = 40,7%
BAB VII
PENUTUP