Kategori : Kimia
MA NU BANAT KUDUS
Tahun 2023
BAB 1. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi yang besar dalam sektor perikanan, baik perikanan
laut maupun perikanan darat atau air tawar. Tiap tahun, tingkat kesadaran masyarakat
akan konsumsi ikan sebagai sumber protein terus meningkat. Menurut data dari KKP
pada tahun 2021, Angka Konsumsi Ikan (AKI) Nasional adalah sebesar
55,37kilogram perkapita dan ditargetkan akan naik di angka 59,53 pada tahun 2022
(Zulfikar, 2022). Diluar daerah pesisir, sebagian besar masyarakat lebih memilih
untuk mengonsumsi ikan air tawar, khususnya nila (Oreochromis niloticus) dan patin
(Pangasius djambal). Laporan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyatakan
bahwa nila dan patin merupakan jenis ikan air tawar dengan produksi terbanyak
dalam negeri, bersamaan dengan ikan mas, lele, dan gurami. Angka produksi kelima
jenis ikan tersebut mencapai 80% dari seluruh produksi ikan air tawar. Masalah bagi
supplier adalah jarak tempuh ketika distribusi ke pasar. Jarak tempu menyebabkan
kebanyakan ikan dijual dalam keadaan mati. Padahal, ikan merupakan bahan pangan
yang cepat mengalami pembusukan dan penurunan mutu.
1. Bagaimana ciri fisik pada ikan air tawar berdasarkan uji organoleptik pada
beberapa jenis ikan air tawar dengan pengawetan yang berbeda?
2. Bagaimana hasil analisis uji kandungan formaldehida pada beberapa jenis
ikan air tawar dengan perlakuan yang berbeda?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hasil analisis uji organoleptik pada beberapa jenis ikan air tawar
dengan perlakuan yang berbeda.
2. Mengetahui hasil analisis uji kandungan formaldehida pada beberapa jenis
ikan air tawar dengan perlakuan yang berbeda.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat, untuk mengetahui rentang aman penyimpanan ikan air tawar
supaya terhindar dari mengonsumsi ikan yang mengandung formaldehida.
2. Bagi siswa, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang zat
berbahaya pada makanan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Formaldehida
Formalin merupakan salah satu zat aditif yang dilarang digunakan dalam
makanan berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 7 Tahun 2018 menyatakan bahwa
formalin merupakan salah satu senyawa yang dilarang ditambahkan dalam pangan
olahan. Secara ilegal, formalin ditambahkan pada proses pengolahan dan distribusi
produk makanan, utamanya produk perikanan. Padahal, formalin sangat berbahaya
untuk tubuh manusia karena bersifat toksik, karsinogen, mutagen yang menyebabkan
perubahan sel serta jaringan tubuh dalam jangka panjang. World Health Organization
(WHO) pada tahun 2002 menetapkan bahwa toleransi tubuh terhadap paparan
formaldehida melalui rute oral sangat kecil, yaitu sebesar 0,15 mg/kgBB (Namtini
dkk., 2019).
Ikan air tawar adalah ikan yang menghabiskan sebagian atau seluruh hidupnya
di air tawar, seperti sungai dan danau, dengan salinitas kurang dari 0,05%. Dalam
aspek fisiologis ikan air tawar berbeda dengan ikan laut. Insang mereka harus mampu
mendifusikan air sembari menjaga kadar garam dalam cairan tubuh secara simultan.
Ikan air tawar merupakan sumber protein hewani yang berkualitas. Ikan air tawar
mengandung 15-20% protein yang terdiri dari asam amino esensial yang tidak rusak
pada waktu pemasakan. Selain itu, ikan air tawar juga mengandung potasium dan
fosfor dalam porsi yang tinggi. Dibandingkan ikan air laut, ikan air tawar juga
umumnya lebih tinggi kandungan kalium dan asam lemak tak jenuh (Goentomo,
2021). Karena kandungan gizinya yang cukup tinggi, ikan air tawar dianjurkan untuk
dikonsumsi dalam jumlah cukup.
Ikan nila ini memiliki kecepatan tumbuh relative cepat yakni 3-4 bulan
pemeliharaan sudah layak panen, sehinga perputaran uang untuk usaha lebih
cepat. Selain itu, kecenderungan pola makan masyarakat yang bergeser pada
bahan pangan yang sehat, aman, dan tidak berdampak negatif terhadap
kesehatan menjadi stimulant bagi peningkatan permintaan ikan termasuk ikan
nila. Hal ini menyebabkan perkembangan kegiatan budidaya ikan nila yang
semakin pesat dan peluang pasar yang tinggi untuk dibudidayakan
Ikan patin memiliki cita rasa yang khas dan mengandung protein yang
cukup tinggi. Disamping itu kadar kolesterol yang terdapat di dalam ikan patin
sangat rendah sehingga sangat aman apabila dikonsumsi oleh semua kalangan.
Ikan patin sangat terkenal dan digemari oleh masyarakat karena daging ikan
patin sangat gurih dan lezat untuk dikonsumsi.
2.3 Pembusukan
Pada ikan air tawar, metode pengawetan yang lazim dilakukan adalah
pendinginan, baik dengan penyimpanan dalam freezer maupun penyimpanan dalam
box yang diberi es. Dalam metode penyimpanan ini, proses pembusukan tetap terjadi
dalam perut ikan dan memicu pembentukan zat formaldehida.
BULAN
N NOVEMBE DESEMBE JANUARI FEBRUAR
TAHAP
O R R I
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengumpula
n literature
pendukung
2 Persiapan
Pengumpula
n dan
3
pengujian
data
Penyuntinga
4
n
1. Gelas beaker
2. Tabung reaksi
3. Pipet tetes
4. Gelas ukur
5. Labu ukur 25 ml
6. Spektrofotometer
7. Kuvet
8. Tabung sentrifugal
9. Aquades
10. Ikan Nila
11. Ikan Patin
12. Fenil hidrazin
13. IPA 45%
14. K3Fe(CN)6 0,1 M
15. NaOH 0,1 M
16. Larutan standar formaldehyde
17. Fehling A +B
1) Uji Organoleptik
Uji organoleptk meruakan pengujian yang menggunakan panca indera
manusia, sehingga sering disebut uji indera atau uji sensori. Indra yang lazim
dipakai dalam pengujian organoleptik diantaranya pengelihatan, penciuman,
pengecap, dan peraba. Namun, dalam beberapa pengujian tidak semua indra
tersebut digunakan. Kemampuan dari alat indra inilah yang akan menjadi acuan
dalam penilaian terhadap produk yang diuji.
Pada penelitian ini, sampel yang diuji adalah ikan nila dan patin segar
sebagai variabel kontrol, ikan yang diperoleh dari pasar Bitingan, dan ikan yang
diawetkan. Alasan digunakannya sampel ini dikarenakan jenis ikan tersebut
dijual tidak dalam keadaaan hidup atau dalam kondisi yang sudah diawetkan,
sehingga memiliki kemungkinan lebih besar akan adanya zat formaldehida.
Teknik pengambilan sampel yaitu menggunakan form uji organoleptic/score
sheet sesuai SNI 2729:2013 yang berisi beberapa deskripsi dari berbagai aspek,
yaitu kenampakan (meliputi mata, insang, dan lendir), daging, bau, dan tekstur.
Setiap deskripsi per aspek memiliki skor yang berbeda-beda dengan poin
maksimal 9. Berdasarkan indra, panelis memilih kondisi yang paling sesuai
dengan keadaan sampel. Dari teknik pengujian secara kualitatif ini akan
diperoleh hasil secara deskriptif kuantitatif. Berdasarkan ketentuan SNI
2729:2013, skor minimal ikan layak konsumsi adalah 7.
2) Uji Formaldehida
a) Uji Kualitatif (Fehling)
Uji formaldehida secara kualitatif dengan fehling bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya kandungan formaldehida pada sampel. Pertama fehling
A dan B dicampurkan dengan volume masing – masing 1 ml Kemudian pada
masing – masing sampel diambil sebanyak 2 gr kemudian larutkan dalam ml
aquades dan difiltrasi menggunakan kertas saring. Diambil 2 ml filtrat,
tambahkan fehling A+B dan dipanaskan dalam penangas ± 30 menit. Adanya
formaldehida pada bahan ditunjukkan oleh terbentuknya warna hijau kekuningan
pada larutan.
1) Uji Organoleptik
Hasil dari uji organoleptik adalah deskriptif kuantitatif melalui skor pada
score sheet sesuai SNI 2729:2013 dari seluruh responden
2) Uji Formaldehida
Hasil dari uji formaldehida terbagi menjadi 2 data, yaitu data kualitatif
melalui uji formaldehida dengan fehling, dan data kuantitatif melalui uji
formaldehida dengan spektrofotometer UV-VIS. Pengolahan data secara
kuantitatif dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah
melakukan validasi data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh sudah
sesuai standar penelitian atau tidak mengambil sampel acak. Selanjutnya,
dilakukan editing data untuk menyunting data mentah yang telah
dikumpulkan, baru kemudian mengelompokkan data sesuai karakteristiknya.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
10 9
8
8
6 7
6 5
Score
Gambar 4.1. Uji Organoleptik Ikan Nila berdasarkan scoresheet SNI 2729:2013;
ket: Angka dalam lingkaran menunjukkan score di bawah nilai
minimal layak konsumsi (score<7)
Berdasarkan hasil uji organoleptik pada ikan nila pada Gambar 4.1 bahwa
ikan nila kontrol (NK) berada dibawah batas minimal layak konsumsi pada hari
ke-3 dengan score yaitu 5. Adapun nila pasar (NP) yang yang tidak layak
konsumsi adalah hari ke-2 dan ke-3 berturut-turut memiliki skor 6 dan 3.
Berdasarkan gambar 4.2, rerata hasik uji organoleptik pada ikan patin,
dapat disimpulkan bahwa patin kontrol (PK) dan patin pasar (PP) masih layak
dikonsumsi hanya pada hari pertama dengan skor berturut-turut adalah 9 dan 7.
Adapun PK dan PP pada hari ke-2 dan ke-3 sudah tidak memenuhi standar
minimal layak konsumsi karena memiliki skor dibawah 7.
10 9
8 7
6 6
6 5
Score
Patin Pasar (PP)
4
2 Patin Kontrol
2 (PK)
0
1 2 3
Penyimpanan (Hari)
Dari hasil uji organoleptik pada sampel nila dan patin, dapat disimpulkan
bahwa kualitas ikan semakin lama akan mengalami penurunan. Hal tersebut
dikarenakan proses pembusukan mengakibatkan penurunan mutu secara
organoleptik (Anissah dkk.,2019).
NP
NK PK PP
(a) (b)
Gambar 4.4 Uji kandungan formaldehida dengan fehling: (a) sampel nila (b)
sampel patin
Pada sampel patin kontrol (PK), larutan yang dihasilkan adalah ungu
terang dengan endapan kuning pekat. Maka, dapat disimpulkan bahwa sampel
PK mengandung formaldehida (+). Pada sampel patin pasar (PP), warna ungu
yang dihasilkan paling terang dan endapan yang terbentuk berwarna kuning
agak kehijauan (Lamp L.10), sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel PP
memiliki kandungan formaldehida (+) dan diasumsikan lebih besar daripada
ketiga sampel sebelumnya.
Dari hasil uji zat formaldehida secara kualitatif ini, warna yang
terbentuk memang kurang pekat untuk menyatakan adanya kandungan
formaldehida. Warna yang terbentuk dari keempat sampel adalah warna
kuning yang samar, sehingga peneliti mengasumsikan bahwa terdapat
kandungan zat formaldehida namun dalam kadar yang sedikit. Maka dari itu,
selanjutnya dilakukan uji kuantitatif untuk mengetahui kadar zat
formaldehida secara pasti menggunakan spektrofotometer UV-VIS.
350.0 306.2
300.0
250.0
Konsentrasi (ppm)
195.8 196.9
200.0
175.4 142.8
150.0 174.7 Nila Kontrol
100.0 Nila Pasar
50.0
0.0
1 2 3
Penyimpanan (hari)
Gambar 4.7. Konsentrasi Formaldehid pada Ikan Nila selama 3 hari Penyimpanan
Suhu Rendah
Berdasarkan Gambar 4.7 konsentrasi formaldehid ikan nila kontrol (NK) dari
hari ke-1 hingga ke-3 berturut-turut yaitu 175,4 ppm, 142,8 ppm dan 196,9 ppm.
Penurunan kadar formaldehid alami pada NK hari ke-2 dikarenakan ikan dipreparasi
menggunakan bagian daging ekor tanpa bagian organ dalam ikan, sehingga NK
terlihat lebih berwarna cemerlang (Gambar 4.8). Berbeda dengan hari pertama dan
ketiga yang menyertakan organ insang dalam preparasi sampel. Berdasarkan data
grafik Gambar 4.1 nilai uji organoleptik daging dan tekstur ikan pada hari ke-2
menunjukkan bahwa NK memiliki skor yaitu 7. Nilai ini memiliki arti bahwa daging
bersifat elastis sehingga diasumsikan belum terjadi pembusukan. Adapun hari ke-3
sampel NK mengalami kenaikan kadar formaldehid alami dimungkinkan karena
masih terdapat sisa organ insang dan usus dalam sampel ikan yang disimpan dalam
suhu rendah. Organ dalam seperti insang dan usus ikan mengandung banyak mikroba
yang mempercepat proses pembusukan bahan (Magar, 2021). Formaldehida secara
alami terbentuk pada oksidasi hidrokarbon yang merupakan tahap awal proses
dekomposisi bahan organik yang ada dalam bahan pagan, tumbuhan dan hewan
(Namtini dkk., 2019).
NK NP
Hasil uji kandungan formaldehid ikan pasar (NP) berturut-turut yaitu 195,8
ppm, 306,2 ppm, dan 174,7 ppm. Kenaikan kadar pada hari ke 2 masa simpan
yaitu 195,8 ppm menjadi 306,2 ppm dimungkinkan karena pada proses preparasi
peneliti mengambil organ dalam lebih banyak, sehingga nampak pucat (Gambar
4.8.). Berdasarkan gambar tersebut NP bertekstur sangat halus dengan nilai
organoleptik daging dan tekstur yaitu 6 (score <7), di bawah nilai layak konsumsi.
Tekstur daging sedikit elastis dimungkinkan pembusukan daging telah
berlangsung. Seperti telah sebelumnya, organ insang dan perut ikan yang diambil
pada proses preparasi sampel mempengaruhi kandungan formaldehid yang
terukur. Formaldehida terbentuk merupakan reduksi enzimatik trimetilamin oksida
(TMAO) menjadi formaldehida dan dimetilamin (Namtini, dkk. 2019) yang
disebabkan oleh dekomposisi bahan (deteriorasi) daging ikan oleh bakteri dalam
usus dan perut ikan (Magar, 2021). Pada hari ke-3, NP mengalami penurunan
kadar formaldehid. Hal ini dikarenakan formaldehid yang terbentuk secara alami
berupa molekul yang bebas yang tidak terikat dalam jaringan (Namtini, dkk.
2019). Preparasi yang membutuhkan waktu agak lama dapat menyebabkan
senyawa formaldehid menguap pada suhu kamar.
Hasil spektrofotometri UV vis pada ikan Patin Pasar Bitingan (PP) yang
dibandingkan dengan nila kontrol (PK) pada Gambar 4.9 menunjukkan
konsentrasi formaldehida semakin naik seiring penyimpanan. Konsentrasi
formaldehid pada PP lebih tinggi daripada PK selama masa simpan. Hal ini
dimungkinkan karena PP memiliki masa post mortem lebih lama dibandingkan
PK. Ikan patin pasar yang diperoleh dari Pasar Bitingan dikirim dari daerah luar
kabupaten Kudus sampai di pasar dalam keadaan sudah mati, sedangkan sampel
PK diambil dari kolam budidaya dalam kondisi hidup. Terbentuknya formaldehid
selama proses post mortem yang ditandai dengan pembusukan oleh aktivitas
mikroba maupun aktivitas enzim (Lestari, dkk., 2020).
600.0 510.3
500.0
Konsentrasi (ppm)
400.0 354.9
300.0 218.5 225.5
158.3 160.9 Patin
200.0 Kontrol
100.0 Patin
Pasar
0.0
1 2 3
hari ke
Gambar 4.9. Konsentrasi Formaldehid pada Ikan Patin selama 3 hari
Penyimpanan Suhu Rendah
WHO telah menetapkan asupan harian yang dapat ditoleransi melalui rute
per oral untuk formaldehida adalah 0,15 mg/kgBB (Namtini dkk., 2019). Sebuah
contoh, jika si A memiliki bobot tubuh 50 kg, maka batas maksimum asupan
formaldehid yang dapat ditoleransi adalah 7,5 ppm per oral. Berdasarkan Tabel 4.2
dapat disimpulkan bahwa kandungan formaldehid yang ada pada sampel ikan
mentah kesemua jenis sampel telah melebihi batas toleransi asupan per oral dari si
A tersebut. Sampel daging dengan campuran organ dalam mengandung
formaldehid lebih tinggi dibandingkan dengan daging murni. Adapun kandungan
formaldehid alami pada ikan mentah tersebut meliputi daging dan organ dalam
ikan. Menurut Namtini dkk. (2019) formaldehid akan berkurang (menguap) pada
suhu ruang. Ketika dimasak sempurna melalui perebusan dengan air mendidih atau
digoreng, maka kandungan formaldehid akan semakin berkurang. Hal berbeda
pada ikan yang dibakar, karena pemanasan kurang sempurna, sehingga
memungkinkan residu formaldehid dalam ikan belum berkurang atau hilang
sepenuhnya. Berdasarkan hal ini, maka disarankan untuk mengkonsumsi ikan yang
dimasak secara matang sempurna.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil Studi Analisis Kandungan Formaldehida pada Ikan Air Tawar
yang Diawetkan di Pasar Bitingan, Kabupaten Kudus, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
Antoni S (2010). Analisa kandungan formalin pada ikan asin dengan metoda
spektrofotometri di Kecamatan Tampan Pekanbaru. Pekanbaru :
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau. (Skripsi)
Connel, J.J. (1980). Control Fish Quality. Second Edition. Fishing News
Book. Ltd
Goentomo 2021. Mana yang Lebih Bergizi: Ikan Laut Atau Air Tawar?.
Heru, S. 1996. Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat
Protein Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia
Lestari, S., dkk. 2020. Pengaruh Kondisi Post Mortem Ikan Patin (Pangius
Djambal) dengan Kematian Menggelepar yang Disimpan pada Suhu
Berbeda Terhadap Mutu Filletnya. Jurnal FishtecH. Vol. 9(1): 34-44
Zulfikar, M. 2022. KKP Bidik Angka Konsumsi Ikan Nasional 55,37 Kilogram
per Kapita. Tribunbisni
ATTACHMENT
L.9 Uji kualitatif dengan fehling L.10 Hasil uji fehling setelah dipanaskan
CHAPTER 1: INTRODUCTION
1.1 Background
Indonesia has great potential in the fisheries sector, both marine fisheries and
inland or fresh water fisheries. Every year, the level of public awareness of
consuming fish as a source of protein continues to increase. According to data from
the KKP in 2021, the National Fish Consumption Rate (AKI) is 55.37 kilograms per
capita and is targeted to increase to 59.53 in 2022 (Zulfikar, 2022). Outside the
coastal areas, most people prefer to consume fresh water fish, especially tilapia
(Oreochromis niloticus) and catfish (Pangasius djambal). A report from the
Directorate General of Aquaculture Fisheries states that tilapia and catfish are the
types of freshwater fish with the highest domestic production, along with carp, catfish
and gourami. The production figures for the five types of fish reach 80% of all
freshwater fish production. The problem for suppliers is the distance traveled when
distribution to the market. The distance caused most of the fish sold dead. In fact, fish
is a food that quickly decays and decreases in quality.
2.1 Formaldehida
Formalin is one of the additives that is prohibited from being used in food
based on BPOM Regulation Number 7 of 2018 stating that formalin is a compound
that is prohibited from being added to processed food. Illegally, formaldehyde is
added to the processing and distribution of food products, especially fishery products.
In fact, formalin is very dangerous for the human body because it is toxic,
carcinogenic, mutagen which causes changes in cells and body tissues in the long
term. The World Health Organization (WHO) in 2002 determined that the body's
tolerance for exposure to formaldehyde via the oral route is very small, namely 0.15
mg/kg BW (Namtini et al., 2019).
Formalin is one of the additives that is prohibited from being used in food
based on BPOM Regulation Number 7 of 2018 stating that formalin is a compound
that is prohibited from being added to processed food. Illegally, formaldehyde is
added to the processing and distribution of food products, especially fishery products.
In fact, formalin is very dangerous for the human body because it is toxic,
carcinogenic, mutagen which causes changes in cells and body tissues in the long
term. The World Health Organization (WHO) in 2002 determined that the body's
tolerance for exposure to formaldehyde via the oral route is very small, namely 0.15
mg/kg BW (Namtini et al., 2019).
Tilapia is a freshwater fish that has high economic value, contains high
protein potential and has the advantage of growing rapidly. Furthermore, the
nutritional content of tilapia is 16-24% protein, the fat content ranges from 0.2-
2.2% and contains carbohydrates, minerals and vitamins. Tilapia has a high
defense against disturbances and disease attacks. Tilapia is in great demand both
from the local market and the export market. This is due to its nature that can be
mass-produced and easily. In addition, tilapia meat products in the form of fillets
are in great demand in the world market, so they have a broad export market at the
international level.
This tilapia has a relatively fast growth speed, namely 3-4 months of
maintenance, it is suitable for harvest, so that the turnover of money for businesses
is faster. In addition, the tendency of people's diet to shift towards food that is
healthy, safe, and does not have a negative impact on health is a stimulant for
increasing demand for fish, including tilapia. This has led to the rapid development
of tilapia aquaculture activities and high market opportunities for cultivation
Catfish (Pangasius djambal) is a type of fish from the catfish group which
is one of the leading freshwater fish commodities. Catfish is a white-fleshed fish
which is a type of freshwater fish which is a mainstay commodity for cultivation
and has an abundant amount. This is because catfish has a fairly large market
share, both domestically and abroad with a fairly high selling price.
Catfish have a distinctive taste and contain high enough protein. Besides
that, the cholesterol content in catfish is very low, so it is very safe for
consumption by all groups. Catfish are very well known and favored by the public
because the meat of catfish is very tasty and delicious for consumption.
2.3 Decay
As soon as the fish dies, the enzymes present in the fish begin to actively
degrade the fish flesh into simpler substances and the microorganisms found in the
stomach contents, gills and skin multiply rapidly. The putrefactive bacteria begin to
produce sulfur-containing products which cause an unpleasant odor and
toxins/poisons (Hultin, 1991). Decomposing bacteria also change some of the
appearance and physical properties of fish, some fish components (Connell, 1980).
2.4 Preservation
In fresh water fish, the usual preservation method is cooling, either by storing
in a freezer or by storing in a box filled with ice. In this storage method, the
decomposition process still occurs in the stomach of the fish and triggers the
formation of formaldehyde.
This research will be carried out in January - February 2023, at Bitingan Fish
Market, Kudus, MA NU Banat Kudus Laboratory, and ITIKES Cendekia Utama
Kudus Laboratory.
MONTH
1 Literature
Collection
2 Prepare
Data Procesing
3
and Testing
4 Drafting
The data used are primary data obtained from researchers directly from
validated sources and from various other sources. In this study, the primary data
were data from organoleptic tests and formaldehyde tests. While secondary data
is data that supports primary data obtained from literature, journals, and books
related to this research. In addition, secondary data sources were also obtained
from the author's supervisor.
2. Test tube
3. Pipette drops
4. Measuring cup
5. 25 ml volumetric flask
6. Spectrophotometer
7. Cuvettes
8. Centrifugal tube
9. Aquades
10. Tilapia
11. Catfish
17. Fehling A + B
1) Organoleptic Test
Organoleptic test is a test that uses the five human senses, so it is often
called a sensory test or sensory test. The senses commonly used in organoleptic
testing include sight, smell, taste, and touch. However, in some tests not all of
these senses are used. The ability of these sensory organs will be a reference in
the assessment of the product being tested.
In this study, the samples tested were fresh tilapia and catfish as control
variables, fish obtained from the Bitingan market, and preserved fish. The reason
for using this sample is because the type of fish sold is not alive or in a condition
that has been preserved, so it has a greater possibility of the presence of
formaldehyde. The sampling technique is to use an organoleptic test form/score
sheet according to SNI 2729: 2013 which contains several descriptions. from
various aspects, namely appearance (including eyes, gills, and mucus), meat,
smell, and texture. Each description per aspect has a different score with a
maximum point of 9. Based on the senses, the panelists choose the conditions
that best suit the circumstances of the sample. From this qualitative testing
technique, quantitative descriptive results will be obtained. Based on the
provisions of SNI 2729:2013, the minimum score for edible fish is 7.
2) Formaldehyde Test
a. Qualitative Test (Fehling)
Qualitative formaldehyde test with Fehling aims to determine whether
there is formaldehyde content in the sample. First fehling A and B are mixed
with a volume of 1 ml each. Then 2 grams of each sample is taken then
dissolved in 100 ml of distilled water and filtered using filter paper. Take 2 ml of
the filtrate, add fehling A+B and heat in a bath for ± 30 minutes. The presence of
formaldehyde in the material is indicated by the formation of a yellowish green
color in the solution.
b. Quantitative Test (UV-VIS)
The formaldehyde test with a spectrophotometer aims to determine the
level of formaldehyde in the sample. In Antoni's research (2010) the process is
divided into stages:
1) Organoleptic Test
The results of the organoleptic test are descriptive quantitative through
scores on the score sheet according to SNI 2729: 2013 of all respondents
2) Formaldehyde Test
The results of the formaldehyde test were divided into 2 data, namely
qualitative data through the formaldehyde test with Fehling, and quantitative
data through the formaldehyde test with a UV-VIS spectrophotometer.
Quantitative data processing is carried out in several stages. The first stage is
to validate the data to ensure that the data obtained is in accordance with
research standards or does not take random samples. Next, data editing is
done to edit the raw data that has been collected, and then group the data
according to their characteristics.
CHAPTER 4 : RESULT AND DISCUSSION
10 9
8
8
6 7
6 5
score
Figure 4.1. Tilapia Organoleptic Test based on scores sheet SNI 2729:2013; note
: Numbers in circle shows the score below minimum worth _
consumption (score<7)
Based on the results of the organoleptic test on tilapia in Figure 4.1, the
control tilapia (NK) was below the minimum limit suitable for consumption on the
3rd day with a score of 5. The market tilapia (NP) which were not suitable for
consumption were on the 2nd day and 3rd in a row has scores of 6 and 3.
Based on Figure 4.2, the average organoleptic test results on catfish, it can be
concluded that control catfish (PK) and market catfish (PP) are still suitable for
consumption only on the first day with successive scores of 9 and 7. As for PK and
PP on the third day -2 and 3 do not meet the minimum standards for consumption
because they have a score below 7.
10 9
8 7
6 6
6 5
score
Patin Pasar (PP)
4
2 Patin Kontrol
2 (PK)
0
1 2 3
Storage (Days)
Figure 4.2. Organoleptic Fish Catfish based on scores sheet SNI 2729:2013; note
: Numbers in circle shows the score below minimum worth
consumption (score<7)
From the results of organoleptic tests on tilapia and catfish samples, it can be
concluded that the quality of fish will decrease over time. This is because the decay
process results in a decrease in organoleptic quality (Anissah et al., 2019).
Qualitative tests using fehling A and fehling B were carried out on 4 samples
which were then heated in a bath for ± 30 minutes (Lamp L.9). The results of
observations of color changes due to chemical reactions are as follows. From the
results of the qualitative test with Fehling on the control tilapia sample (NK), a dark
purple solution with a faint yellow precipitate was obtained. This indicates the
presence of formaldehyde (+) in the NK sample. Meanwhile, the market tilapia (NP)
sample also showed a purple solution with a yellowish white precipitate. From the NP
samples it was also concluded that there was no formaldehyde content (-) assuming a
small level because the resulting color was still faint.
NP PK PP
NK
(a) (b)
Figure 4.4 Test for formaldehyde content with fehling: (a) tilapia sample (b)
catfish sample
In the control catfish sample (PK), the resulting solution was bright purple
with a thick yellow precipitate. So, it can be concluded that the PK sample contains
formaldehyde (+). In the market catfish (PP) sample, the purple color produced was
the brightest and the precipitate formed was slightly greenish yellow (Lamp L.10), so
it can be concluded that the PP sample contains formaldehyde (+) and is assumed to
be larger than the three previous samples.
From the results of the formaldehyde test qualitatively, the color formed is
indeed not too intense to indicate the presence of formaldehyde content. The color
formed from the four samples was a faint yellow color, so the researchers assumed
that formaldehyde was present, but in small amounts. Therefore, a quantitative test
was then carried out to determine the level of formaldehyde with certainty using a
UV-VIS spectrophotometer.
Concentratio
Absorbance
n (ppm)
25 0.122
50 0.265
75 0.380
100 0.482
125 0.506
Table 4.1 produces a curve with the X-axis being the concentration (ppm) and
absorbance as the Y-axis. The R2 value obtained is 0.985 (Figure 4.6).
Formaldehyde Calibration Curve
0.6
0.5 f(x) = 0.00394 x + 0.0555000000000001
R² = 0.952470941647687
0.4
absorbance
0.3
0.2
0.1
0
20 40 60 80 100 120 140
Concentration (ppm)
350.0 306.2
300.0
Concentration (ppm)
250.0
195.8 196.9
200.0
175.4 142.8
150.0 174.7 Nila Kontrol
100.0 Nila Pasar
50.0
0.0
1 2 3
Storage (days)
NK NP
The test results for the formaldehyde content of market fish (NP) were 195.8
ppm, 306.2 ppm and 174.7 ppm respectively. The increase in levels on day 2 of the
shelf life from 195.8 ppm to 306.2 ppm was possible because during the preparation
process the researchers took more internal organs, so they looked pale (Figure 4.8).
Based on the figure, the NP is very fine textured with an organoleptic value of meat
and texture, namely 6 (score <7), below the value suitable for consumption. The
texture of the meat is slightly elastic, it is possible that meat spoilage has taken place.
As previously, the gills and stomach organs of the fish taken during the sample
preparation process affect the measured formaldehyde content. The formaldehyde
formed is the enzymatic reduction of trimethylamine oxide (TMAO) to formaldehyde
and dimethylamine (Namtini, et al. 2019) which is caused by the decomposition
(deterioration) of fish flesh by bacteria in the intestines and stomach of the fish
(Magar, 2021). On the 3rd day, NP experienced a decrease in formaldehyde levels.
This is because formaldehyde is formed naturally in the form of free molecules that
are not bound in tissues (Namtini, et al. 2019). Preparation that takes a long time can
cause the formaldehyde compound to evaporate at room temperature.
600.0 510.3
Concentration (ppm)
500.0
400.0 354.9
300.0 218.5 225.5
158.3 160.9 Patin
200.0 Kontrol
100.0 Patin
0.0 Pasar
1 2 3
Storage (days)
WHO has determined that the tolerable daily intake via the oral route for
formaldehyde is 0.15 mg/kg BW (Namtini et al., 2019). An example, if “person A”
has a body weight of 50 kg, then the maximum tolerable intake of formaldehyde is
7.5 ppm orally. Based on Table 4.2, it can be concluded that the formaldehyde
content in the raw fish samples for all types of samples has exceeded the tolerance
limit for oral intake of this person. Meat samples with mixed internal organs
contained higher formaldehyde than pure meat. The natural formaldehyde content in
raw fish includes the meat and internal organs of the fish. According to Namtini et al.
(2019) formaldehyde will decrease (evaporate) at room temperature. When cooked
perfectly through boiling with boiling water or fried, the formaldehyde content will
decrease. It is different with fish that is burned, because the heating is not perfect, so
that the formaldehyde residue in the fish has not been reduced or completely lost.
Based on this, it is advisable to consume perfectly cooked fish.
CHAPTER 5. CONCLUSION AND RECOMMENDATION
5.3 Conclusion
From the results of the Analysis of Formaldehyde Content in Preserved
Freshwater Fish at Bitingan Market, Kudus Regency, the following conclusions can
be drawn:
Antoni S (2010). Analisa kandungan formalin pada ikan asin dengan metoda
spektrofotometri di Kecamatan Tampan Pekanbaru. Pekanbaru:
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau. (Skripsi)
Connel, J.J. (1980). Control Fish Quality. Second Edition. Fishing News
Book. Ltd
Goentomo 2021. Mana yang Lebih Bergizi: Ikan Laut Atau Air Tawar?.
Heru, S. 1996. Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat
Protein Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia
L.9 Fehling Test (Boiling Samples) L.10 Result of Fehling Test (After boiled)