Anda di halaman 1dari 69

PROPOSAL

LAPORAN PENELITIAN ISPO

Analysis of Natural Formaldehyde Contain in Preserved Freshwater Fish

Peneliti : Annisa Nur Fauzi, Alfina Himmatus Tsuroyya

Pembimbing : Lailia Nofiana, M.Si.

Kategori : Kimia

MA NU BANAT KUDUS

Tahun 2023
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi yang besar dalam sektor perikanan, baik perikanan
laut maupun perikanan darat atau air tawar. Tiap tahun, tingkat kesadaran masyarakat
akan konsumsi ikan sebagai sumber protein terus meningkat. Menurut data dari KKP
pada tahun 2021, Angka Konsumsi Ikan (AKI) Nasional adalah sebesar
55,37kilogram perkapita dan ditargetkan akan naik di angka 59,53 pada tahun 2022
(Zulfikar, 2022). Diluar daerah pesisir, sebagian besar masyarakat lebih memilih
untuk mengonsumsi ikan air tawar, khususnya nila (Oreochromis niloticus) dan patin
(Pangasius djambal). Laporan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyatakan
bahwa nila dan patin merupakan jenis ikan air tawar dengan produksi terbanyak
dalam negeri, bersamaan dengan ikan mas, lele, dan gurami. Angka produksi kelima
jenis ikan tersebut mencapai 80% dari seluruh produksi ikan air tawar. Masalah bagi
supplier adalah jarak tempuh ketika distribusi ke pasar. Jarak tempu menyebabkan
kebanyakan ikan dijual dalam keadaan mati. Padahal, ikan merupakan bahan pangan
yang cepat mengalami pembusukan dan penurunan mutu.

Supplier melakukan berbagai metode pengawetan untuk menghindari


kerugian karena pembusukan saat proses distribusi. Metode yang lazim digunakan
untuk menjaga kesegaran ikan adalah dengan penyimpanan dibawah titik beku.
Menurut penelitian Junaini dkk. (2016), penyimpanan suhu rendah dalam jangka
waktu tertentu dapat memicu pembentukan zat formaldehida alami pada ikan patin
(Pangasius djambal). Selain pengawetan suhu rendah, beberapa oknum penjual
memakai formaldehida yang lebih dikenal sebagai formalin pada proses pengawetan
ikan di pasar. Berdasarkan hasil monitoring formalin pada pangan olahan yang
dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2016 – 2018, ikan dan
hasil olahannya merupakan produk dengan presentase tidak memenuhi syarat (TMS)
tertinggi selama tiga tahun berturut-turut (Namtini dkk., 2019). Hal tersebut
menunjukkan bahwa ikan dijual di pasaran dalam keadaan mati terindikasi
mengadung formaldehid atau formalin yang terbentuk alami maupun sengaja
ditambahkan oleh oknum.

Formaldehida merupakan zat karsinogenik yang memicu dampak kesehatan


jangka panjang. Berdasarkan aturan WHO tahun 2002 dan dinyatakan dalam aturan
BPOM no 7 tahun 2018 tentang Bahan Baku yang Dilarang dalan Pangan Olahan
menyatakan bahwa formalin merupakan salah satu senyawa yang dilarang
ditambahkan dalam pangan olahan karena toleransi tubuh terhadap paparan
formaldehida melalui rute oral sangat kecil, yaitu sebesar 0,15 mg/kgBB (Tim
Yuridis.id, 2018). Dari beberapa studi dapat disimpulkan bahwa kandungan
formaldehida pada ikan laut secara umum lebih tinggi daripada ikan air tawar. Hal ini
disebabkan karena ikan air laut kebanyakan didistribusikan dalam keadaan mati,
sehingga formaldehida secara alami akan berlangsung selama pengawetan suhu
rendah (Murtini dkk., 2014)

Penelitian yang cukup besar telah didedikasikan untuk menguji kadar


formaldehida pada ikan, khususnya penambahan secara langsung ada ikan air laut
yang marak dilakukan. Mengingat bahaya zat formaldehida dan kurangnya studi
mendalam terkait pembentukan formaldehida secara alami pada ikan air tawar
khususnya patin dan nila, melatarbelakangi peneliti untuk melakukan “Studi Analisis
Kandungan Formaldehida Alami pada Ikan Air Tawar yang Diawetkan”. Dari
penelitian tersebut, diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat terkait tatacara
dan rentang penyimpanan ikan air tawar secara tepat sehingga aman dikonsumsi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana ciri fisik pada ikan air tawar berdasarkan uji organoleptik pada
beberapa jenis ikan air tawar dengan pengawetan yang berbeda?
2. Bagaimana hasil analisis uji kandungan formaldehida pada beberapa jenis
ikan air tawar dengan perlakuan yang berbeda?
1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hasil analisis uji organoleptik pada beberapa jenis ikan air tawar
dengan perlakuan yang berbeda.
2. Mengetahui hasil analisis uji kandungan formaldehida pada beberapa jenis
ikan air tawar dengan perlakuan yang berbeda.
1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat, untuk mengetahui rentang aman penyimpanan ikan air tawar
supaya terhindar dari mengonsumsi ikan yang mengandung formaldehida.
2. Bagi siswa, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang zat
berbahaya pada makanan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Formaldehida

Formaldehida, atau dikenal sebagai methanal memiliki rumus molekul CH2O


dengan berat molekul sebesar 30 g/mol. Formaldehida terdapat dalam bentuk gas,
larutan, dan padatan. Pada suhu kamar, formaldehida berbau sangat menyengat,
sangat reaktif, mudah terpolimerisasi, serta mudah larut dalam air, alkohol, dan
solven padat lain. Formaldehida secara murni tidak dijual di pasaran, tetapi biasa
dijual dalam bentuk cair dengan penambahan methanol atau alkohol lain sebagai
penstabil. Formaldehida cair ini yang biasa dikenal sebagai formalin.

Formalin merupakan salah satu zat aditif yang dilarang digunakan dalam
makanan berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 7 Tahun 2018 menyatakan bahwa
formalin merupakan salah satu senyawa yang dilarang ditambahkan dalam pangan
olahan. Secara ilegal, formalin ditambahkan pada proses pengolahan dan distribusi
produk makanan, utamanya produk perikanan. Padahal, formalin sangat berbahaya
untuk tubuh manusia karena bersifat toksik, karsinogen, mutagen yang menyebabkan
perubahan sel serta jaringan tubuh dalam jangka panjang. World Health Organization
(WHO) pada tahun 2002 menetapkan bahwa toleransi tubuh terhadap paparan
formaldehida melalui rute oral sangat kecil, yaitu sebesar 0,15 mg/kgBB (Namtini
dkk., 2019).

Selain dari penambahan zat formalin secara sengaja, kenyataannya senyawa


formaldehida pada daging ikan dapat diproduksi secara alami selama proses
pembusukan yang terjadi pada ikan. Formaldehida pada ikan secara alamiah
terbentuk melalui reaksi reduksi trimetilamin oksida (TMAO) menjadi FA secara
enzimatik oleh bantuan enzim TMAOase dengan hasil samping dimetilamin (DMA).
Trimetilamin (TMA) akan terbentuk apabila yang bekerja untuk pemecahan TMAO
hanya bakteri saja tanpa adanya aktivitas enzim (Murtini dkk., 2014).

Karena dampak berbahaya yang ditimbulkan dari paparan zat formaldehida,


penelitian yang cukup besar telah didedikasikan untuk menguji kadar formaldehida
pada berbagai produk makanan olahan, utamanya ikan dan olahannya. Namun, hanya
sedikit penelitian yang dikhususkan untuk menguji kadar formaldehida yang
terbentuk secara alami. Oleh karena itu, fokus utama dari penelitian ini adalah untuk
meneliti kandungan formaldehida yang terbentuk secara alami khususnya pada ikan
air tawar.

2.2 Ikan Air Tawar

Ikan air tawar adalah ikan yang menghabiskan sebagian atau seluruh hidupnya
di air tawar, seperti sungai dan danau, dengan salinitas kurang dari 0,05%. Dalam
aspek fisiologis ikan air tawar berbeda dengan ikan laut. Insang mereka harus mampu
mendifusikan air sembari menjaga kadar garam dalam cairan tubuh secara simultan.
Ikan air tawar merupakan sumber protein hewani yang berkualitas. Ikan air tawar
mengandung 15-20% protein yang terdiri dari asam amino esensial yang tidak rusak
pada waktu pemasakan. Selain itu, ikan air tawar juga mengandung potasium dan
fosfor dalam porsi yang tinggi. Dibandingkan ikan air laut, ikan air tawar juga
umumnya lebih tinggi kandungan kalium dan asam lemak tak jenuh (Goentomo,
2021). Karena kandungan gizinya yang cukup tinggi, ikan air tawar dianjurkan untuk
dikonsumsi dalam jumlah cukup.

Kesadaran masyarakat akan konsumsi ikan sebagai sumber protein terus


meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2020 angka konsumsi ikan nasional sebanyak
54,56 kilogram perkapita dan meningkat menjadi 55,37 kilogram perkapita pada
tahun 2021. Pada tahun 2022, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) menargetkan Angka Konsumsi Ikan (AKI) Nasional sebanyak
sebesar 59,53 kilogram per kapita setara ikan utuh segar. Diluar daerah pesisir,
sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk mengonsumsi ikan air tawar,
khususnya gurami dan patin.

Laporan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menyatakan bahwa gurami


dan nila merupakan jenis ikan air tawar dengan produksi terbanyak dalam negeri,
bersamaan dengan ikan mas, lele, dan patin. Angka produksi kelima jenis ikan
tersebut mencapai 80% dari seluruh produksi ikan air tawar. Pada penelitian ini
berfokus pada ikan nila dan patin. Kedua jenis ikan tersebut, khususnya di daerah
Pasar Bitingan Kudus, jarang dijual dalam keadaan benar – benar segar. Ikan nila dan
patin yang dijual sudah melalui proses penyimpanan yang dilakukan distributor
sebelum sampai ke tangan konsumen. Maka, diasumsikan kedua jenis ikan tersebut
mengalami proses pembusukan lebih lama dibandingkan jenis lainnya.

a. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan nila termasuk ikan air tawar yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi, memiliki kandungan potensi protein tinggi dan keunggulan berkembang
dengan cepat. Selanjutnya kandungan gizi ikan nila protein 16-24%, kandungan
lemak berkisar antara 0,2-2,2% dan mempunyai kandungan karbohidrat, mineral
serta vitamin. Ikan nila mempunyai pertahanan yang tinggi terhadap gangguan
dan serangan penyakit. Ikan nila sangat diminati baik dari pasar lokal maupun
pasar ekspor. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang dapat diproduksi secara
massal dan mudah. Selain itu produk daging ikan nila dalam bentuk filet sangat
diminati pasar dunia, sehingga memiliki pasar ekspor yang luas ditingkat
internasional

Ikan nila ini memiliki kecepatan tumbuh relative cepat yakni 3-4 bulan
pemeliharaan sudah layak panen, sehinga perputaran uang untuk usaha lebih
cepat. Selain itu, kecenderungan pola makan masyarakat yang bergeser pada
bahan pangan yang sehat, aman, dan tidak berdampak negatif terhadap
kesehatan menjadi stimulant bagi peningkatan permintaan ikan termasuk ikan
nila. Hal ini menyebabkan perkembangan kegiatan budidaya ikan nila yang
semakin pesat dan peluang pasar yang tinggi untuk dibudidayakan

b. Ikan Patin (Pangasius djambal)


Ikan Patin (Pangasius djambal) adalah salah satu jenis ikan dari
kelompok lele-lelean (catfish) yang menjadi salah satu komoditas unggulan ikan
air tawar. Ikan patin merupakan ikan berdaging putih yang menjadi salah satu
jenis ikan air tawar yang menjadi komoditas andalan untuk dibudidaya dan
memiliki jumlah yang melimpah. Hal ini karena patin memiliki pangsa pasar
yang cukup besar, baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan nilai jual
yang cukup tinggi.

Ikan patin memiliki cita rasa yang khas dan mengandung protein yang
cukup tinggi. Disamping itu kadar kolesterol yang terdapat di dalam ikan patin
sangat rendah sehingga sangat aman apabila dikonsumsi oleh semua kalangan.
Ikan patin sangat terkenal dan digemari oleh masyarakat karena daging ikan
patin sangat gurih dan lezat untuk dikonsumsi.

2.3 Pembusukan

Pembusukan atau deteriorasi adalah keadaan dimana jaringan tubumengalami


penghancuran oleh proses autolisa dan aktivitas mikroorganisme. Autolisis adalah
kerusakan jaringan dan organ melalui proses kimiawi yang disebabkan oleh enzim
intraseluler. Sementara aktifitas mikroorganisme penyebab utama pembusukaadalah
Clostridium Welchii yang biasanya terdapat pada usus besar. Apabila Clostridium
Welchii mulai tumbuh pada satu organ parenkim, maka sitoplasma dari organ sel
tersebut akan mengalami desintegrasi dan nukleusnya akan dirusak sehingga sel
menjadi lisis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan kehilangan
strukturnya

Pembusukan pada ikan disebabkan oleh degradasi daging ikan karena


aktivitas enzim, perubahan biokimia dan pertumbuhan mikroorganisme
(Connell,1980; Pedroza-Menabrito & Regenstein, 1990; Ashie et al., 1996). Segera
setelah ikan mati, enzim yang terdapat pada ikan mulai aktif mendegradasi daging
ikan menjadi substansi yang lebih sederhana dan mikroorganisme yang terdapat pada
isi perut, insang dan kulit berkembang biak secara cepat. Bakteri pembusuk mulai
memproduksi produk yang mengandung sulfur yang menimbulkan bau yang tidak
enak dan toksin/racun (Hultin, 1991). Bakteri pembusuk juga mengubah beberapa
penampakan dan sifat fisik ikan beberapa komponen ikan (Conell, 1980).
2.4 Pengawetan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengawetan adalah proses, cara,


permuting menjadi awet dan tahan lama (tidak mudah rusak, basi atau busuk).
Menurut Irianto (2005) pengawetan ikan adalah suatu usaha untuk mengawetkan ikan
dalam rangka mempertahankan mutu dan mencegah terjadinya pembusukan ikan.
Tujuan utama dari proses pengawetan yaitu pengurangan kadar air dalam tubuh ikan
sehingga bakteri tidak dapat berkembang biak. Ada beberapa metode untuk
mengawetkan ikan, diantaranya: a). Pendinginan (chilling) dengan menggunakan es
contohnya es kering, air dingin, air laut dingin, atau alat pendingin mekanis. b).
Pembekuan (freezing), c). Pengalengan (canning), d). Penggaraman (salting),
termasuk pemindangan, e). Pengeringan (drying) secara mekanis dan secara alami, f).
Pengasaman (pickling atau marinading), g). Pengasapan (smoking), h). Pembuatan
olahan hasil khusus, misalnya bakso ikan, abon ikan, sashimi, i). Pembuatan olahan
hasil sampingan, seperti; tepung ikan, minyak ikan, kecap ikan, petis, kerupuk
(Mareta & Awami, 2011).

Pada ikan air tawar, metode pengawetan yang lazim dilakukan adalah
pendinginan, baik dengan penyimpanan dalam freezer maupun penyimpanan dalam
box yang diberi es. Dalam metode penyimpanan ini, proses pembusukan tetap terjadi
dalam perut ikan dan memicu pembentukan zat formaldehida.

2.5 Sprektofotometer UV-VIS

Spektrofotometer UV-VIS adalah pengukuran serapan cahaya di daerah


ultraviolet (200- 350nm) dan sinar tampak (350-800nm) oleh suatu senyawa. Serapan
cahaya UV atau VIS (cahaya tampak) mengakibatkan transisi elektronik, yaitu
promosi elektron-elektron dari orbital keadan dasar yang berenergi rendah ke orbital
keadaan tereksitasi berenergi lebih rendah. Spektrofotometer UV-Vis lebih banyak
dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif. Spektrum UV-Vis sangat
berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan
bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer (Rohman, 2007)

Prinsip kerja spektrofotometer adalah penyerapan cahaya pada panjang


gelombang tertentu oleh bahan yang diperiksa. Tiap zat memiliki absorbansi pada
panjang gelombang tetentu yang khas. Panjang gelombang dengan absorbansi
tertinggi digunakan untuk mengukur kadar zat yang diperiksa. Banyaknya cahaya
yang diabsorbsi oleh zat berbanding lurus dengan kadar zat. Memastikan ketepatan
pengukuran, kadar yang hendak diukur dibandingkan terhadap kadar yang diketahui
(standar). Setelah dimasukan blangko (Kemenkes, 2010)
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari – Februari 2023,


bertempat di Pasar Ikan Bitingan Kabupaten Kudus, Laboratorium MA NU Banat
Kudus, dan Laboratorium ITIKES Cendekia Utama Kudus.

3.2 Timeline Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan dengan perencanaan waktu sebagai berikut

BULAN
N NOVEMBE DESEMBE JANUARI FEBRUAR
TAHAP
O R R I
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengumpula
n literature
pendukung
2 Persiapan
Pengumpula
n dan
3
pengujian
data
Penyuntinga
4
n

3.3 Sumber Data, Alat dan Bahan

3.3.1. Sumber Data


Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peneliti
secara langsung dari sumber-sumber yang sudah tervalidasi dan dari berbagai
sumber yang lain. Dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah data
dari uji organoleptik dan uji formaldehida. Sedangkan data sekunder adalah data
yang mendukung data primer diperoleh dari literatur, jurnal, dan buku-buku
yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu, sumber data sekunder juga
diperoleh dari guru pembimbing penulis.

3.3.2. Alat dan Bahan

1. Gelas beaker
2. Tabung reaksi
3. Pipet tetes
4. Gelas ukur
5. Labu ukur 25 ml
6. Spektrofotometer
7. Kuvet
8. Tabung sentrifugal
9. Aquades
10. Ikan Nila
11. Ikan Patin
12. Fenil hidrazin
13. IPA 45%
14. K3Fe(CN)6 0,1 M
15. NaOH 0,1 M
16. Larutan standar formaldehyde
17. Fehling A +B

3.4 Metode Pemerolehan Data

3.4.1. Metode Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian eksperimen menggunakan metode
kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif adalah suatu analisis yang
menggunakan data angka yang bersifat akurat dan disajikan sesuai standarisasi
yang berlaku. Metode kuantitatif digunakan pada uji kandungan formaldehida
yang menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Metode kualitatif adalah suatu
penilaian risiko menggunakan data non numerik seperti rendah, sedang, tinggi
yang digambarkan secara deskriptif. Metode kualitatif dalam penelitian ini
digunakan pada uji organoleptik dan uji kandungan formaldehida menggunakan
uji Fehling pada ikan air tawar yang diawetkan. Metode kuantitatif adalah suatu
analisis yang menggunakan data angka yang bersifat akurat dan disajikan sesuai
standarisasi yang berlaku. Metode kuantitatif digunakan pada uji kandungan
formaldehida yang menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Variabel penelitian
yang diamati adalah ciri fisik sampel, serta kandungan formaldehida selama
masa penyimpanan 3 hari.

3.4.2. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel secara acak diperoleh dari Pasar Bitingan Kudus


dibandingkan dengan kontrol yaitu ikan nila dan patin segar kondisi hidup yang
diperoleh dari kolam budidaya. Pada masing-masing sampel yaitu nila kontrol,
nila pasar, patin kontrol, dan patin pasar, diambil masing-masing 2 gr untuk uji
kualitatif dengan reagen fehling A + B dan 3 gr untuk uji formaldehida dengan
UV-VIS. (Lampiran)

3.4.3. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dalam analisis kandungan formaldehida pada ikan


yang diawetkan menggunakan dua metode pengujian, yaitu uji organoleptik dan
uji kandungan formaldehida. Adapun sampel yang akan diuji dibagi menjadi 4
kelompok sesuai jenis ikan. Hasil dari 3 hari pengujian menggunakan
spektrofotometer UV-VIS dengan pengulangan sebanyak 2 kali akan
dibandingkan dalam bentuk rancangan diagram garis
3.4.4. Mekanisme Pengujian

1) Uji Organoleptik
Uji organoleptk meruakan pengujian yang menggunakan panca indera
manusia, sehingga sering disebut uji indera atau uji sensori. Indra yang lazim
dipakai dalam pengujian organoleptik diantaranya pengelihatan, penciuman,
pengecap, dan peraba. Namun, dalam beberapa pengujian tidak semua indra
tersebut digunakan. Kemampuan dari alat indra inilah yang akan menjadi acuan
dalam penilaian terhadap produk yang diuji.

Pada penelitian ini, sampel yang diuji adalah ikan nila dan patin segar
sebagai variabel kontrol, ikan yang diperoleh dari pasar Bitingan, dan ikan yang
diawetkan. Alasan digunakannya sampel ini dikarenakan jenis ikan tersebut
dijual tidak dalam keadaaan hidup atau dalam kondisi yang sudah diawetkan,
sehingga memiliki kemungkinan lebih besar akan adanya zat formaldehida.
Teknik pengambilan sampel yaitu menggunakan form uji organoleptic/score
sheet sesuai SNI 2729:2013 yang berisi beberapa deskripsi dari berbagai aspek,
yaitu kenampakan (meliputi mata, insang, dan lendir), daging, bau, dan tekstur.
Setiap deskripsi per aspek memiliki skor yang berbeda-beda dengan poin
maksimal 9. Berdasarkan indra, panelis memilih kondisi yang paling sesuai
dengan keadaan sampel. Dari teknik pengujian secara kualitatif ini akan
diperoleh hasil secara deskriptif kuantitatif. Berdasarkan ketentuan SNI
2729:2013, skor minimal ikan layak konsumsi adalah 7.

Pengujian organoleptik dilakukan karena kondisi penjualan ikan di pasar-


pasar ikan saat ini masih kurang menerapkan prinsip hati-hati, cepat, cermat, dan
bersih. Sehingga kualitas ikan sangat cepat mengalami penurunan mutu. Dengan
demikian, penting dipahami bahwa rantai dingin harus dipertahankan sejak ikan
mati, selama distribusi hingga pemasaran (Junianto, 2003).

2) Uji Formaldehida
a) Uji Kualitatif (Fehling)
Uji formaldehida secara kualitatif dengan fehling bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya kandungan formaldehida pada sampel. Pertama fehling
A dan B dicampurkan dengan volume masing – masing 1 ml Kemudian pada
masing – masing sampel diambil sebanyak 2 gr kemudian larutkan dalam ml
aquades dan difiltrasi menggunakan kertas saring. Diambil 2 ml filtrat,
tambahkan fehling A+B dan dipanaskan dalam penangas ± 30 menit. Adanya
formaldehida pada bahan ditunjukkan oleh terbentuknya warna hijau kekuningan
pada larutan.

b) Uji Kuantitatif (UV-VIS)

Uji formaldehida dengan spektrofotometer bertujuan untuk mengetahui


kadar formaldehida pada sampel tersebut. Dalam penelitian Antoni (2010) proses
dibagi dalam tahap:

1) Penentuan Panjang Gelombang Optimum

Panjang gelombang maksimum dapat diketahui dengan melihat nilai


absorbansi maksimum yang terukur pada spektronik-20 untuk panjang
gelombang tertentu. Sebelum menentukan panjang gelombang optimum terlebih
dahulu dibuat larutan standar yaitu sebagai berikut, diambil 5 ml larutan standar
lalu ditambahkan dengan 0,5 ml isopropil alkohol 45 %, dan 0,5 ml fenil
hidrazin, 0,5 ml IPA 45% dan didiamkan selama 10 menit. Selanjutnya
penambahan 0,3 ml K3Fe(CN)6 0,1 M dan didiamkan selama 10 menit.
Kemudian ditambahkan 2 ml NaOH 0,1 M pada masing – masing larutan standar
dan didiamkan 4 menit. Kemudian larutan dipindahkan kedalam kuvet, diukur
dengan panjang gelombang 360 - 500 nm dengan kenaikan 5 nm. Grafik dilihat
hubungan antara panjang gelombang dengan nilai absorbansi. Nilai panjang
gelombang optimum ditentukan dimana absorbansi bernilai maksimum.

● Pembacaan dengan spektrofotometer. Kuvet dibilas lalu diisi


dengan IPA 45% sampai tanda segitiga kuvet. Larutan kemudian
letakkan dalam spektrofotometer bagian blangko. Pertama, isi
dengan larutan standar 0 ml formaldehida untuk penentuan panjang
gelombang maksimum. Lalu tekan test dan pilih scanning, atur
panjang gelombang 500-540 nm, lalu pilih run test. Jika tidak ada
puncak dari panjang gelombang maka kita ulangi dengan mengatur
start wave length menjadi 400 nm dan stop wave length menjadi
500 nm. Klik collect baseline kemudian klik measure sample.
● Untuk melihat panjang gelombang maksimum klik edit sampel,
pilih math lalu pilih peaks + valleys kemudian on lable peaks dan
klik ESC. Didapatkan panjang gelombang optimum 415 nm.
Spektrum dan panjang gelombang yang diperoleh dari larutan
standar menjadi standar pembanding dengan sampel yang akan
diujikan.
2) Pembuatan Kurva Standar
Diambil larutan induk dengan volume masing-masing 5 ml, 10 ml,
15 ml, 20 ml dan 25 ml dengan konsentrasi 0,10, 30, 60, 90, dan 120 ppm.
Kemudian ditambah 0,5 ml isopropil alkohol 45 % dan 0,5 ml fenilhidrazin
lalu didiamkan selama 10 menit. Selanjutnya penambahan 0,3 ml
K3Fe(CN)6 0,1 M dan didiamkan selama 10 menit. Kemudian ditambahkan
2 ml NaOH 0,1 M pada masing – masing larutan standar dan didiamkan 4
menit. Setelah itu absorbansinya dibaca dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang optimum.

3) Penentuan Formaldehida pada Sampel

Sampel-sampel dihancurkan dengan belender, dan ditimbang sebanyak 6


gram. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge, ditambahkan
27,5 ml isopropil alkohol 45 %, dan disentrifuge dengan kecepatan 2600
rpm selama 30 menit. Hasil dari sentrifugasi tersebut diambil masing-
masing 5 ml dan ditambahkan 0,5 ml isophropyl alkohol (IPA) 45 % dan,
0,5 ml fenilhidrazin, kemudian tutup gelas kimia dengan kapas dan
didiamkan 10 menit. Selanjutnya penambahan 0,3 ml K3Fe(CN)6 0,1 M dan
didiamkan selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 2 ml NaOH 0,1 M
pada masing – masing larutan standar dan didiamkan 4 menit. Setelah itu
absorbansinya dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
optimum

● Pembacaan menggunakan spektrofotometer. Kuvet dibilas dengan


IPA 45%, lalu masukkan masing-masing larutan standar hingga
batas segitiga pada kuvet. Letakkan sampel di posisi 1 dan 2. Klik
test, pilih advanced kemudian atur panjang gelombang maksimum
415, klik run test.
● Atur ulang posisi sampel sesuai perintah spektrofotometer yang
tertera pada layar.Klik enter jika sudah diatur. Layar akan
menampilkan panjang gelombang sampel yang kemudian
dibandingkan dengan hasil pada larutan standar.

3.5 Metode Pengolahan Data

1) Uji Organoleptik
Hasil dari uji organoleptik adalah deskriptif kuantitatif melalui skor pada
score sheet sesuai SNI 2729:2013 dari seluruh responden

2) Uji Formaldehida
Hasil dari uji formaldehida terbagi menjadi 2 data, yaitu data kualitatif
melalui uji formaldehida dengan fehling, dan data kuantitatif melalui uji
formaldehida dengan spektrofotometer UV-VIS. Pengolahan data secara
kuantitatif dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah
melakukan validasi data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh sudah
sesuai standar penelitian atau tidak mengambil sampel acak. Selanjutnya,
dilakukan editing data untuk menyunting data mentah yang telah
dikumpulkan, baru kemudian mengelompokkan data sesuai karakteristiknya.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Organoleptik


Uji organoleptik terhadap 4 sampel (nila kontrol, nila pasar, patin kontrol,
dan patin pasar) dilakukan oleh 5 panelis selama 3 hari. Hasil dari rerata uji
organoleptik yang diawetkan suhu rendah selama 3 hari masa simpan berupa
penilaian pada scoresheet SNI 2729:2013 (Gambar 4.1). Menurut SNI 2729:2013,
nilai minimal dari sampel yang layak konsumsi adalah 7.

10 9
8
8
6 7
6 5
Score

4 3 Nila Pasar (NP)


2 Nila Kontrol (NK)
0
1 2 3
Penyimpanan (Hari)

Gambar 4.1. Uji Organoleptik Ikan Nila berdasarkan scoresheet SNI 2729:2013;
ket: Angka dalam lingkaran menunjukkan score di bawah nilai
minimal layak konsumsi (score<7)

Berdasarkan hasil uji organoleptik pada ikan nila pada Gambar 4.1 bahwa
ikan nila kontrol (NK) berada dibawah batas minimal layak konsumsi pada hari
ke-3 dengan score yaitu 5. Adapun nila pasar (NP) yang yang tidak layak
konsumsi adalah hari ke-2 dan ke-3 berturut-turut memiliki skor 6 dan 3.

Berdasarkan gambar 4.2, rerata hasik uji organoleptik pada ikan patin,
dapat disimpulkan bahwa patin kontrol (PK) dan patin pasar (PP) masih layak
dikonsumsi hanya pada hari pertama dengan skor berturut-turut adalah 9 dan 7.
Adapun PK dan PP pada hari ke-2 dan ke-3 sudah tidak memenuhi standar
minimal layak konsumsi karena memiliki skor dibawah 7.
10 9
8 7
6 6
6 5

Score
Patin Pasar (PP)
4
2 Patin Kontrol
2 (PK)
0
1 2 3
Penyimpanan (Hari)

Gambar 4.2. Organoleptik Ikan Patin berdasarkan scoresheet SNI 2729:2013;


ket: Angka dalam lingkaran menunjukkan score di bawah nilai
minimal layak konsumsi (score<7)

Dari hasil uji organoleptik pada sampel nila dan patin, dapat disimpulkan
bahwa kualitas ikan semakin lama akan mengalami penurunan. Hal tersebut
dikarenakan proses pembusukan mengakibatkan penurunan mutu secara
organoleptik (Anissah dkk.,2019).

4.2 Uji Formaldehida


4.2.1. Uji Kualitatif dengan Fehling
Uji Fehling bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya zat
formaldehida pada sampel. Berdasarkan studi dari Pavia (2015), indikator adanya
zat formaldehida diketahui dari perubahan larutan menjadi kehijauan dan adanya
endapan merah bata.
Gambar 4.3 Uji Fehling sebelum (kiri) dan sesudah dipanaskan (kanan)

Uji kualitatif menggunakan fehling A dan fehling B dilakukan


terhadap 4 sampel yang kemudian dipanaskan dalam penangas selama ± 30 menit
(Lamp L.9). Hasil pengamatan perubahan warna akibat reaksi kimia adalah
sebagai berikut. Dari hasil uji kualitatif dengan fehling terhadap sampel nila
kontrol (NK), diperoleh hasil larutan yang berwarna ungu gelap dengan endapan
kuning samar. Hal ini mengindikasikan adanya zat formaldehida (+) pada sampel
NK. Sementara itu, pada sampel nila pasar (NP) juga terlihat larutan berwarna
ungu dengan endapan putih kekuningan. Dari sampel NP juga disimpulkan bahwa
tidak terdapat kandungan formaldehida (-) dengan asumsi kadar yang kecil karena
warna yang dihasilkan masih samar.

NP
NK PK PP

(a) (b)
Gambar 4.4 Uji kandungan formaldehida dengan fehling: (a) sampel nila (b)
sampel patin

Pada sampel patin kontrol (PK), larutan yang dihasilkan adalah ungu
terang dengan endapan kuning pekat. Maka, dapat disimpulkan bahwa sampel
PK mengandung formaldehida (+). Pada sampel patin pasar (PP), warna ungu
yang dihasilkan paling terang dan endapan yang terbentuk berwarna kuning
agak kehijauan (Lamp L.10), sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel PP
memiliki kandungan formaldehida (+) dan diasumsikan lebih besar daripada
ketiga sampel sebelumnya.

Dari hasil uji zat formaldehida secara kualitatif ini, warna yang
terbentuk memang kurang pekat untuk menyatakan adanya kandungan
formaldehida. Warna yang terbentuk dari keempat sampel adalah warna
kuning yang samar, sehingga peneliti mengasumsikan bahwa terdapat
kandungan zat formaldehida namun dalam kadar yang sedikit. Maka dari itu,
selanjutnya dilakukan uji kuantitatif untuk mengetahui kadar zat
formaldehida secara pasti menggunakan spektrofotometer UV-VIS.

4.2.2. Uji Kuantitatif Kandungan Formaldehida


Hasil kalibrasi antara absorbansi dari larutan formaldehida beberapa
konsentrasi dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Konsentrasi formalehid yang
digunakan adalah 25, 50, 75, 100, dan 125 ppm.

Tabel 4.1. Kurva Baku Formaldehida


Konsenta Absorban
si (ppm) si
25 0,122
50 0,265
75 0,380
100 0,482
125 0,506

Berdasarkan tabel 4.1 menghasilkan kurva dengan sumbu X adalah


konsentrasi (ppm) dan absorbansi sebagai sumbu Y. Nilai R2 yang
diperoleh adalah sebesar 0,985 (Gambar 4.6).
Kurva Kalibrasi Formaldehid
0.6
0.5 f(x) = 0.00394 x + 0.0555000000000001
R² = 0.952470941647687
0.4
Absorbansi
0.3
0.2
0.1
0
20 40 60 80 100 120 140
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.6. Kurva Kalibrasi Formaldehid pada Berbagai Konsentrasi

Hasil spektrofotometri UV vis pada ikan Nila Pasar Bitingan (NP)


yang dibandingkan dengan nila kontrol (NK) ditunjukkan Gambar 4.7.

350.0 306.2
300.0
250.0
Konsentrasi (ppm)

195.8 196.9
200.0
175.4 142.8
150.0 174.7 Nila Kontrol
100.0 Nila Pasar
50.0
0.0
1 2 3
Penyimpanan (hari)

Gambar 4.7. Konsentrasi Formaldehid pada Ikan Nila selama 3 hari Penyimpanan
Suhu Rendah

Berdasarkan Gambar 4.7 konsentrasi formaldehid ikan nila kontrol (NK) dari
hari ke-1 hingga ke-3 berturut-turut yaitu 175,4 ppm, 142,8 ppm dan 196,9 ppm.
Penurunan kadar formaldehid alami pada NK hari ke-2 dikarenakan ikan dipreparasi
menggunakan bagian daging ekor tanpa bagian organ dalam ikan, sehingga NK
terlihat lebih berwarna cemerlang (Gambar 4.8). Berbeda dengan hari pertama dan
ketiga yang menyertakan organ insang dalam preparasi sampel. Berdasarkan data
grafik Gambar 4.1 nilai uji organoleptik daging dan tekstur ikan pada hari ke-2
menunjukkan bahwa NK memiliki skor yaitu 7. Nilai ini memiliki arti bahwa daging
bersifat elastis sehingga diasumsikan belum terjadi pembusukan. Adapun hari ke-3
sampel NK mengalami kenaikan kadar formaldehid alami dimungkinkan karena
masih terdapat sisa organ insang dan usus dalam sampel ikan yang disimpan dalam
suhu rendah. Organ dalam seperti insang dan usus ikan mengandung banyak mikroba
yang mempercepat proses pembusukan bahan (Magar, 2021). Formaldehida secara
alami terbentuk pada oksidasi hidrokarbon yang merupakan tahap awal proses
dekomposisi bahan organik yang ada dalam bahan pagan, tumbuhan dan hewan
(Namtini dkk., 2019).

NK NP

Gambar 4.8. Kenampakan Sampel setelah Dihaluskan: NK (kiri); dan NP (kanan)


pada Hari ke-2 Penyimpanan

Hasil uji kandungan formaldehid ikan pasar (NP) berturut-turut yaitu 195,8
ppm, 306,2 ppm, dan 174,7 ppm. Kenaikan kadar pada hari ke 2 masa simpan
yaitu 195,8 ppm menjadi 306,2 ppm dimungkinkan karena pada proses preparasi
peneliti mengambil organ dalam lebih banyak, sehingga nampak pucat (Gambar
4.8.). Berdasarkan gambar tersebut NP bertekstur sangat halus dengan nilai
organoleptik daging dan tekstur yaitu 6 (score <7), di bawah nilai layak konsumsi.
Tekstur daging sedikit elastis dimungkinkan pembusukan daging telah
berlangsung. Seperti telah sebelumnya, organ insang dan perut ikan yang diambil
pada proses preparasi sampel mempengaruhi kandungan formaldehid yang
terukur. Formaldehida terbentuk merupakan reduksi enzimatik trimetilamin oksida
(TMAO) menjadi formaldehida dan dimetilamin (Namtini, dkk. 2019) yang
disebabkan oleh dekomposisi bahan (deteriorasi) daging ikan oleh bakteri dalam
usus dan perut ikan (Magar, 2021). Pada hari ke-3, NP mengalami penurunan
kadar formaldehid. Hal ini dikarenakan formaldehid yang terbentuk secara alami
berupa molekul yang bebas yang tidak terikat dalam jaringan (Namtini, dkk.
2019). Preparasi yang membutuhkan waktu agak lama dapat menyebabkan
senyawa formaldehid menguap pada suhu kamar.
Hasil spektrofotometri UV vis pada ikan Patin Pasar Bitingan (PP) yang
dibandingkan dengan nila kontrol (PK) pada Gambar 4.9 menunjukkan
konsentrasi formaldehida semakin naik seiring penyimpanan. Konsentrasi
formaldehid pada PP lebih tinggi daripada PK selama masa simpan. Hal ini
dimungkinkan karena PP memiliki masa post mortem lebih lama dibandingkan
PK. Ikan patin pasar yang diperoleh dari Pasar Bitingan dikirim dari daerah luar
kabupaten Kudus sampai di pasar dalam keadaan sudah mati, sedangkan sampel
PK diambil dari kolam budidaya dalam kondisi hidup. Terbentuknya formaldehid
selama proses post mortem yang ditandai dengan pembusukan oleh aktivitas
mikroba maupun aktivitas enzim (Lestari, dkk., 2020).

600.0 510.3
500.0
Konsentrasi (ppm)

400.0 354.9
300.0 218.5 225.5
158.3 160.9 Patin
200.0 Kontrol
100.0 Patin
Pasar
0.0
1 2 3
hari ke
Gambar 4.9. Konsentrasi Formaldehid pada Ikan Patin selama 3 hari
Penyimpanan Suhu Rendah

Kandungan formaldehid alami yang terbentuk pada hari terakhir


pengukuran (hari ke-3) pada keempat sampel dapat dilihat pada tabel 4.2. Nilai
tabel berdasarkan asumsi bobot 1 ekor ikan nila memiliki bobot 160 gr dan ikan
patin sebesar 250 gr.

Tabel 4.2 Asumsi Konversi Kandungan Formaldehid dalam 1 Ekor Ikan


Sampel Kandungan Asumsi kandungan
Formaldehid hari ke-3 Formaldehid per 1 ekor ikan
(per 6 gr sampel) (ket: Nila 160 gr dan patin 250
gr)
NK
196,9 ppm 5.250 ppm = 5250 mg/kg
(Nila Kontrol)
NP
174,7 ppm 4.674 ppm = 4.674 mg/kg
(Nila Pasar)
PK
225,5 ppm 9.395 ppm = 9.395 mg/kg
(Patin Kontrol)
PP
510,3 ppm 21.262 ppm = 21.262 mg/kg
(Patin Pasar)

WHO telah menetapkan asupan harian yang dapat ditoleransi melalui rute
per oral untuk formaldehida adalah 0,15 mg/kgBB (Namtini dkk., 2019). Sebuah
contoh, jika si A memiliki bobot tubuh 50 kg, maka batas maksimum asupan
formaldehid yang dapat ditoleransi adalah 7,5 ppm per oral. Berdasarkan Tabel 4.2
dapat disimpulkan bahwa kandungan formaldehid yang ada pada sampel ikan
mentah kesemua jenis sampel telah melebihi batas toleransi asupan per oral dari si
A tersebut. Sampel daging dengan campuran organ dalam mengandung
formaldehid lebih tinggi dibandingkan dengan daging murni. Adapun kandungan
formaldehid alami pada ikan mentah tersebut meliputi daging dan organ dalam
ikan. Menurut Namtini dkk. (2019) formaldehid akan berkurang (menguap) pada
suhu ruang. Ketika dimasak sempurna melalui perebusan dengan air mendidih atau
digoreng, maka kandungan formaldehid akan semakin berkurang. Hal berbeda
pada ikan yang dibakar, karena pemanasan kurang sempurna, sehingga
memungkinkan residu formaldehid dalam ikan belum berkurang atau hilang
sepenuhnya. Berdasarkan hal ini, maka disarankan untuk mengkonsumsi ikan yang
dimasak secara matang sempurna.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil Studi Analisis Kandungan Formaldehida pada Ikan Air Tawar
yang Diawetkan di Pasar Bitingan, Kabupaten Kudus, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:

1. Berdasarkan uji organoleptik, keadaan keempat sampel (nila kontrol, nila


pasar, patin kontrol, dan patin pasar) secara fisik /sensori pada awalnya
adalah sama dan memenuhi SNI 2729:2013 sebagai ikan segar yang
layak dikonsumsi. Namun, pada penyimpanan hari kedua, hanya ikan nila
kontrol yang memenuhi standar dengan nilai minimal 7. Pada hari ketiga,
keempat sampel sudah berada dibawah standar kelayakan dengan skor
dibawah 7 berdasarkan penilaian pada scoresheet SNI 2729:2013.
2. Konsentrasi formaldehid setelah masa simpan pada hari ke-3 pada suhu
dingin, ikan nila (Oreochromis niloticus), nilai NP sedikit lebih rendah
dari NK berturut-turut yaitu 174,7 dan 196,9 ppm. Hal ini diasumsikan
kualitas ikan yang dijual di pasar hampir sama dengan ikan kontrol (ikan
hidup dari kolam budidaya). Sedangkan konsentrasi formaldehid pada
ikan patin (Pangasius djambal), nilai PK lebih rendah dari PP setelah
masa simpan yaitu 225,5 dan 510,3 ppm. Nilai ini menunjukkan PP
melewati post mortem lebih lama dari PK, sehingga PP memiliki
kandungan formaldehid lebih tinggi dari PK.
3. Berdasarkan penelitian, kandungan formaldehid alami kesemua sampel
ikan (kondisi mentah dan terdapat organ dalam) dari hari pertama telah
melebihi batas asupan toleransi yang ditetapkan oleh WHO. Kandungan
ini dapat berkurang dengan penghilangan bagian insang dan isi perut
(usus dan organ dalam) ikan sebelum diproses atau dengan pemanasan
sempurna.
5.2 Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan masa uji yang lebih
lama untuk mengetahui perubahan kandungan formaldehida dalam ikan
yang signifikan.
2. Untuk masyarakat umum, penyimpanan ikan sebaiknya tidak dilakukan
dalam jangka waktu yang lama, untuk menghindari peningkatan
kandungan formaldehida pada ikan.
DAFTAR PUSTAKA

Anissah, U., Barokah, G., Ariyani, F. 2019. Pengaruh Penyimpanan Terhadap


Profil Formaldehida Alami dan Kemunduran Mutu pada Ikan Beloso
(Saurida Tumbil). JPHPI 2019, Vol 22 (3)

Antoni S (2010). Analisa kandungan formalin pada ikan asin dengan metoda
spektrofotometri di Kecamatan Tampan Pekanbaru. Pekanbaru :
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau. (Skripsi)

Barokah, G. R., et al. 2020. Determination of Endogenous Formaldehyde in


Moonfish (Lampris guttatus) Frozen Storage. Egytian Journal of
Aquatic Biology and Fisheries. Vol. 24(3). 17- Jiwando, K., Driejana,
R., & Irsyad, M. 2014. Analisis Konsentrasi Formaldehida di Daerah
Perkotaan Padat Lalu Lintas. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 20(1): 1-
10

Connel, J.J. (1980). Control Fish Quality. Second Edition. Fishing News
Book. Ltd

Goentomo 2021. Mana yang Lebih Bergizi: Ikan Laut Atau Air Tawar?.
Heru, S. 1996. Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat
Protein Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia

Irianto, I. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta : Gajah Mada University


Press.

Jati, A. 2018. Perbedaan Kadar Total Protein Berdasarkan Penggunaan


Kuvet Dan Tabung Reaksi Baru
Junaini. dkk. 2013. Pemanfaatan Antioksidan Alami Flavonol untuk Mencegah
Proses Ketengikan Minyak Kelapa. Jurnal Jurusan Teknik Kimia FTI UPN
“Veteran”. Jawa Timur

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya.

Khairuman, & Amri, K. (2010). Petunjuk Praktis Budidaya Patin di


Kolam Terpal. Jakarta:AgroMedia

Lestari, S., dkk. 2020. Pengaruh Kondisi Post Mortem Ikan Patin (Pangius
Djambal) dengan Kematian Menggelepar yang Disimpan pada Suhu
Berbeda Terhadap Mutu Filletnya. Jurnal FishtecH. Vol. 9(1): 34-44

Kordi, M. G. H. 2005. Budidaya Ikan Patin : Biologi, Pembenihan dan


Pembesaran. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. Mardiyah, U.
Jamil, S. 2020. Identifikasi Kandungan Formalin pada Ikan Segar Yang
Dijual Di Pasar Mimbo dan Pasar Jangkar Kabupaten Situbondo. Jurnal
Perikanan Vol 11(2), Oktober 2020
Magar, ST. 2021. Microbial Spoilage of Fish and Fish Products and its
Preservation. https://microbenotes.com/microbial-spoilage-of-fish-
preservation/ [Diakses, 3 Februari 2023]
Mardiyah, U. Jamil, S. 2020. Identifikasi Kandungan Formalin pada Ikan Segar
Yang Dijual Di Pasar Mimbo dan Pasar Jangkar Kabupaten Situbondo.
Jurnal Perikanan Vol 11(2), Oktober 2020
Mulia, D.S. 2006. Tingkat Infeksi Ektoparasit Proozoa Pada Benih Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) di Balai Benih Ikan (BBI) Pandak dan
Sidabowa, Kabupaten Banyumas. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto
Murtini, J,. Riyanto, R,. Priyanto, N,. Hermana, I. 2014. Pembentukan
Formaldehid Alami pada Beberapa Jenis Ikan Laut Selama
Penyimpanan dalam Es Curai

Mulyati, S. Suwarjoyowirayatno. 2019. Uji Mikrobiologi, Organoleptik, dan


Formalin IkanPelagis di Pasar Tradisional Kota Kendari. Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Namtini. 2019. Pedoman Peraturan Penerapan Badan POM tentang Cemaran
Mikroba dalam Pangan Olahan

Nurhayati, T., Abdullah, A., Sari, S. 2019. Penentuan Formaldehid Ikan


Beloso (Saurida tumbil) Selama Penyimpanan Beku. JPHPI 2019, Vol 2
(2)
Oka, W., Susi, L., Rodiana, N. 2015. Analisis Proksimat, Protein Larut Air,
dan Protein Larut Garam pada Beberapa Jenis Ikan Air Tawar Sumatera
Selatan. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan Vol. 4(2)
Purnomowati, Ida, dkk. 2007. Ragam Olahan Bandeng. Cetakan I.
Yogyakarta : Kanisius. Rachmawati, N., Riyanto, R., & Ariyani, F. 2007.
Pembentukan Formaldehid pada Ikan Kerapu Macan ( Ephinephelus
fuscoguttatus ) selama Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pascapanel dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 2(2)
Rachmawati, N., Riyanto, R., & Ariyani, F. 2007. Pembentukan Formaldehid
pada Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus) selama
Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pascapanel dan Bioteknologi Kelautan
dan Perikanan Vol. 2(2)

Rahmatillah, R. 2018. Analisis Usaha Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di


Desa Beringin Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan
Singingi. Jurnal Agri Sains Vol, 2 No.2
Riyanto, R. Kusmawarti, A. Dwiyitno. 2004. Pembentukan Formaldehid pada
Ikan Kerapu (Epinephelus fuscoguttatus) pada Penyimpanan Suhu
Kamar. Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Perikanan dan Kelautan
Vol. 1(2). Desember 2014

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sitanggang, M. dan Sarwono, 2007. Budidaya Gurami. Jakarta : Penebar Swadaya

Sofiantin, N. 2018 Perbandingan Kadar Protein pada Ikan Bandeng (chanos


chanos) dengan Perebusan Menggunakan Variasi Waktu

Wibawa, Y. Amin, M. Wijayanti, M. 2018. Pemeliharaan Benih Ikan Gurame


(Osphronemus Gouramy) dengan Frekuensi Pemberian Pakan yang
Berbeda. Jurnal Akualkultur Rawa Indonesia

Steffens, W., 2006. Freshwater fish – wholesome foodstuffs. Bulg. J. Agric,


Sci., 12: 320-328 Umar, I. 2014. Identifikasi Ikan Air Tawar Hasil
Tangkapan Nelayan di Sungai Meureubo Hulu

Kecamatan Pante Ceureumen Kabupaten Aceh Barat. [Skripsi]. Meulaboh:


Universitas Teuku Umar.

Zulfikar, M. 2022. KKP Bidik Angka Konsumsi Ikan Nasional 55,37 Kilogram
per Kapita. Tribunbisni
ATTACHMENT

L.1 Sampel Ikan Patin L.2 Sampel Ikan Nila

L.4 Sampel setelah dihaluskan


L.3 Uji Organoleptik

L.5 Penimbangan sampel


L.6 Penambahan IPA 45%
L.8 Hasil sentrifugasi
L.7 Sentrifugasi sampel

L.9 Uji kualitatif dengan fehling L.10 Hasil uji fehling setelah dipanaskan
CHAPTER 1: INTRODUCTION

1.1 Background

Indonesia has great potential in the fisheries sector, both marine fisheries and
inland or fresh water fisheries. Every year, the level of public awareness of
consuming fish as a source of protein continues to increase. According to data from
the KKP in 2021, the National Fish Consumption Rate (AKI) is 55.37 kilograms per
capita and is targeted to increase to 59.53 in 2022 (Zulfikar, 2022). Outside the
coastal areas, most people prefer to consume fresh water fish, especially tilapia
(Oreochromis niloticus) and catfish (Pangasius djambal). A report from the
Directorate General of Aquaculture Fisheries states that tilapia and catfish are the
types of freshwater fish with the highest domestic production, along with carp, catfish
and gourami. The production figures for the five types of fish reach 80% of all
freshwater fish production. The problem for suppliers is the distance traveled when
distribution to the market. The distance caused most of the fish sold dead. In fact, fish
is a food that quickly decays and decreases in quality.

Suppliers use various methods of preservation to avoid losses due to spoilage


during the distribution process. The method commonly used to keep fish fresh is by
storing it by freezing. According to research by Junaini et al. (2016), low temperature
storage for a certain period of time can trigger the formation of natural formaldehyde
in catfish (Pangasius djambal). In addition to low temperature preservation, some
unscrupulous sellers use formaldehyde, better known as formalin, in the process of
preserving fish in the market. Based on the monitoring results of formaldehyde in
processed food conducted by the Food and Drug Supervisory Agency (BPOM) in
2016 – 2018, fish and processed products are products with the highest percentage of
non-compliant (TMS) for three consecutive years (Namtini et al., 2019). This shows
that fish sold in the market dead have indications that they contain formaldehyde or
formalin which are formed naturally or intentionally added by unscrupulous persons.
Formaldehyde is a carcinogenic substance that triggers long-term health
effects. BPOM Regulation Number 7 of 2018 states that formalin is a compound that
is prohibited from being added to processed food because the body's tolerance to
formaldehyde exposure via the oral route is very small, namely 0.15 mg/kg BW
(WHO, 2002). From several studies it can be concluded that the formaldehyde
content in marine fish is generally higher than freshwater fish. This is because most
seawater fish are distributed in a dead state, so formaldehyde will naturally take place
during low temperature preservation (Murtini et al., 2014)

Considerable research has been dedicated to testing formaldehyde levels in


fish, in particular the direct addition of saltwater fish which is widespread. Given the
dangers of formaldehyde and the lack of in-depth studies related to the formation of
formaldehyde naturally in fresh water fish, especially catfish and tilapia, this is the
background for researchers to conduct a "Study of Analysis of Formaldehyde Content
in Preserved Freshwater Fish". From this research, it is hoped that it can add to the
public's insight regarding the procedures and ranges for storing freshwater fish
properly so that it is safe for consumption.

1.2 Formulation of the Problem


1. What are the physical characteristics of freshwater fish based on organoleptic
tests on tilapia and catfish during preservation?
2. What are the results of the analysis of formaldehyde content tests on tilapia
and catfish during preservation?
1.3 Research Purposes
1. Knowing the results of the analysis of organoleptic tests on tilapia and catfish
during preservation.
2. Knowing the results of the analysis of formaldehyde content tests on tilapia
and catfish during preservation.
1.4 Research Benefits
1. For the public, this is to find out the safe range for storing freshwater fish so
that they avoid consuming fish containing formaldehyde.
2. For students, to increase knowledge and insight about harmful substances in
food.
CHAPTER 2 : LITERATURE REVIEW

2.1 Formaldehida

Formaldehyde, also known as methanal, has the molecular formula CH2O


with a molecular weight of 30 g/mol. Formaldehyde exists in the form of gas,
solution, and solid. At room temperature, formaldehyde has a strong odor, is very
reactive, polymerizes easily, and dissolves easily in water, alcohol and other solid
solvents. Pure formaldehyde is not sold on the market, but is usually sold in liquid
form with the addition of methanol or other alcohol as a stabilizer. This liquid
formaldehyde is commonly known as formalin.

Formalin is one of the additives that is prohibited from being used in food
based on BPOM Regulation Number 7 of 2018 stating that formalin is a compound
that is prohibited from being added to processed food. Illegally, formaldehyde is
added to the processing and distribution of food products, especially fishery products.
In fact, formalin is very dangerous for the human body because it is toxic,
carcinogenic, mutagen which causes changes in cells and body tissues in the long
term. The World Health Organization (WHO) in 2002 determined that the body's
tolerance for exposure to formaldehyde via the oral route is very small, namely 0.15
mg/kg BW (Namtini et al., 2019).

Aside from the intentional addition of formaldehyde, in fact formaldehyde


compounds in fish meat can be produced naturally during the decomposition process
that occurs in fish. Formaldehyde in fish is naturally formed through the enzymatic
reduction of trimethylamine oxide (TMAO) to FA with the help of the TMAOase
enzyme with dimethylamine (DMA) as a side product. Trimethylamine (TMA) will
be formed if only bacteria work to break down TMAO without any enzyme activity
(Murtini et al., 2014).

Due to the harmful effects of exposure to formaldehyde, considerable research


has been dedicated to testing formaldehyde levels in various processed food products,
especially fish and their preparations. However, only a few studies have been devoted
to testing levels of naturally occurring formaldehyde. Therefore, the main focus of
this research is to examine the naturally occurring formaldehyde content, especially
in freshwater fish.

2.2 Freshwater Fish

Formaldehyde, also known as methanal, has the molecular formula CH2O


with a molecular weight of 30 g/mol. Formaldehyde exists in the form of gas,
solution, and solid. At room temperature, formaldehyde has a strong odor, is very
reactive, polymerizes easily, and dissolves easily in water, alcohol and other solid
solvents. Pure formaldehyde is not sold on the market, but is usually sold in liquid
form with the addition of methanol or other alcohol as a stabilizer. This liquid
formaldehyde is commonly known as formalin.

Formalin is one of the additives that is prohibited from being used in food
based on BPOM Regulation Number 7 of 2018 stating that formalin is a compound
that is prohibited from being added to processed food. Illegally, formaldehyde is
added to the processing and distribution of food products, especially fishery products.
In fact, formalin is very dangerous for the human body because it is toxic,
carcinogenic, mutagen which causes changes in cells and body tissues in the long
term. The World Health Organization (WHO) in 2002 determined that the body's
tolerance for exposure to formaldehyde via the oral route is very small, namely 0.15
mg/kg BW (Namtini et al., 2019).

Aside from the intentional addition of formaldehyde, in fact formaldehyde


compounds in fish meat can be produced naturally during the decomposition process
that occurs in fish. Formaldehyde in fish is naturally formed through the enzymatic
reduction of trimethylamine oxide (TMAO) to FA with the help of the TMAOase
enzyme with dimethylamine (DMA) as a side product. Trimethylamine (TMA) will
be formed if only bacteria work to break down TMAO without any enzyme activity
(Murtini et al., 2014).
Due to the harmful effects of exposure to formaldehyde, considerable research
has been dedicated to testing formaldehyde levels in various processed food products,
especially fish and their preparations. However, only a few studies have been devoted
to testing levels of naturally occurring formaldehyde. Therefore, the main focus of
this research is to examine the naturally occurring formaldehyde content, especially
in freshwater fish.

a. Nila Fish (Oreochromis niloticus)

Tilapia is a freshwater fish that has high economic value, contains high
protein potential and has the advantage of growing rapidly. Furthermore, the
nutritional content of tilapia is 16-24% protein, the fat content ranges from 0.2-
2.2% and contains carbohydrates, minerals and vitamins. Tilapia has a high
defense against disturbances and disease attacks. Tilapia is in great demand both
from the local market and the export market. This is due to its nature that can be
mass-produced and easily. In addition, tilapia meat products in the form of fillets
are in great demand in the world market, so they have a broad export market at the
international level.

This tilapia has a relatively fast growth speed, namely 3-4 months of
maintenance, it is suitable for harvest, so that the turnover of money for businesses
is faster. In addition, the tendency of people's diet to shift towards food that is
healthy, safe, and does not have a negative impact on health is a stimulant for
increasing demand for fish, including tilapia. This has led to the rapid development
of tilapia aquaculture activities and high market opportunities for cultivation

b. Catfish (Pangasius djambal)

Catfish (Pangasius djambal) is a type of fish from the catfish group which
is one of the leading freshwater fish commodities. Catfish is a white-fleshed fish
which is a type of freshwater fish which is a mainstay commodity for cultivation
and has an abundant amount. This is because catfish has a fairly large market
share, both domestically and abroad with a fairly high selling price.
Catfish have a distinctive taste and contain high enough protein. Besides
that, the cholesterol content in catfish is very low, so it is very safe for
consumption by all groups. Catfish are very well known and favored by the public
because the meat of catfish is very tasty and delicious for consumption.

2.3 Decay

Putrefaction or deterioration is a condition in which the body tissue is


destroyed by the process of autolysis and the activity of microorganisms. Autolysis is
tissue and organ damage through chemical processes caused by intracellular enzymes.
While the activity of the main microorganism that causes spoilage is Clostridium
Welchii which is usually found in the large intestine. If Clostridium Welchii begins to
grow in a parenchyma organ, the cytoplasm of that organ cell will disintegrate and the
nucleus will be damaged so that the cell becomes lysed. Then the cells become loose
so that the tissue loses its structure

Spoilage in fish is caused by degradation of fish flesh due to enzyme activity,


biochemical changes and growth of microorganisms (Connell, 1980; Pedroza-
Menabrito & Regenstein, 1990; Ashie et al., 1996).

As soon as the fish dies, the enzymes present in the fish begin to actively
degrade the fish flesh into simpler substances and the microorganisms found in the
stomach contents, gills and skin multiply rapidly. The putrefactive bacteria begin to
produce sulfur-containing products which cause an unpleasant odor and
toxins/poisons (Hultin, 1991). Decomposing bacteria also change some of the
appearance and physical properties of fish, some fish components (Connell, 1980).

2.4 Preservation

According to the Big Indonesian Dictionary, preservation is the process,


method, permuting to make it durable and long lasting (not easily damaged, stale or
rotten). According to Irianto (2005) fish preservation is an attempt to preserve fish in
order to maintain quality and prevent fish spoilage. The main purpose of the
preservation process is to reduce the water content in the fish's body so that bacteria
cannot reproduce. There are several methods for preserving fish, including: a).
Cooling (chilling) using ice for example dry ice, cold water, cold sea water, or
mechanical cooling devices. b). Freezing (freezing), c). Canning (canning), d).
Salting (salting), including pemindangan, e). Drying (drying) mechanically and
naturally, f). Acidification (pickling or marinading), g). Fumigation (smoking), h).
Manufacture of special product preparations, for example fish balls, fish floss,
sashimi, i). Manufacture of processed by-products, such as; fish meal, fish oil, fish
sauce, paste, crackers (Mareta & Awami, 2011).

In fresh water fish, the usual preservation method is cooling, either by storing
in a freezer or by storing in a box filled with ice. In this storage method, the
decomposition process still occurs in the stomach of the fish and triggers the
formation of formaldehyde.

2.5 Sprektofotometer UV-VIS

UV-VIS spectrophotometer is a measurement of the absorption of light in the


ultraviolet (200-350nm) and visible (350-800nm) regions by a compound. Absorption
of UV or VIS (visible light) light results in electronic transitions, namely the
promotion of electrons from lower energy ground state orbitals to lower energy
excited state orbitals. UV-Vis spectrophotometer is more widely used for quantitative
analysis than qualitative. The UV-Vis spectrum is very useful for quantitative
measurements. The concentration of the analyte in solution can be determined by
measuring the absorbance at a certain wavelength using the Lambert-Beer law
(Rohman, 2007)

The working principle of the spectrophotometer is the absorption of light at a


certain wavelength by the material being examined. Each substance has a unique
absorbance at certain wavelengths. The wavelength with the highest absorbance is
used to measure the level of the substance being examined. The amount of light
absorbed by a substance is directly proportional to the level of the substance.
Ensuring the accuracy of measurement, the levels to be measured are compared to
known levels (standards). After entering the form (Ministry of Health, 2010)
CHAPTER 3 : RESEARCH METHOD

3.1 Time and Place of Research

This research will be carried out in January - February 2023, at Bitingan Fish
Market, Kudus, MA NU Banat Kudus Laboratory, and ITIKES Cendekia Utama
Kudus Laboratory.

3.2 Timeline of Research

MONTH

NO STEP NOVEMBER DECEMBER JANUARY FEBRUARY


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Literature
Collection
2 Prepare
Data Procesing
3
and Testing
4 Drafting

3.3 Data Sources, Tools and Materials

3.3.1. Data source

The data used are primary data obtained from researchers directly from
validated sources and from various other sources. In this study, the primary data
were data from organoleptic tests and formaldehyde tests. While secondary data
is data that supports primary data obtained from literature, journals, and books
related to this research. In addition, secondary data sources were also obtained
from the author's supervisor.

3.3.2. Tools and materials


1. Beaker glass

2. Test tube

3. Pipette drops

4. Measuring cup

5. 25 ml volumetric flask

6. Spectrophotometer

7. Cuvettes

8. Centrifugal tube

9. Aquades

10. Tilapia

11. Catfish

12. Phenyl hydrazine

13. IPA 45%

14. K3Fe(CN)6 0.1 M

15. NaOH 0.1 M

16. Formaldehyde standard solution

17. Fehling A + B

3.4 Data Acquisition Methods

3.4.1. Research methods

This research is an experimental research using qualitative and


quantitative methods. Quantitative method is an analysis that uses numerical
data that is accurate and presented according to applicable standards. The
quantitative method was used in the formaldehyde content test using a UV-VIS
spectrophotometer. The qualitative method is a risk assessment using non-
numeric data such as low, medium, high which is described descriptively. The
qualitative method in this study was used in the organoleptic test and
formaldehyde content test using the Fehling test on preserved fresh water fish.
Quantitative method is an analysis that uses numerical data that is accurate and
presented according to applicable standards. The quantitative method was used
in the formaldehyde content test using a UV-VIS spectrophotometer. The
research variables observed were the physical characteristics of the samples, as
well as the formaldehyde content during the 3 day storage period.

3.4.2. Sampling Method

Random sampling was obtained from the Bitingan Kudus Market


compared to controls, namely tilapia and catfish fresh living conditions obtained
from aquaculture ponds. For each sample, namely control tilapia, market tilapia,
control catfish, and market catfish, 2 g each was taken for the qualitative test
with the A + B fehling reagent and 3 g for the formaldehyde test with UV-VIS.

3.4.3. Research Implementation

Implementation of research in the analysis of formaldehyde content in


preserved fish using two test methods, namely organoleptic test and
formaldehyde content test. The samples to be tested were divided into 4 groups
according to the type of fish. The results of 3 days of testing using a UV-VIS
spectrophotometer with 2 repetitions will be compared in the form of a line
diagram design

3.4.4. Test Mechanism

1) Organoleptic Test
Organoleptic test is a test that uses the five human senses, so it is often
called a sensory test or sensory test. The senses commonly used in organoleptic
testing include sight, smell, taste, and touch. However, in some tests not all of
these senses are used. The ability of these sensory organs will be a reference in
the assessment of the product being tested.

In this study, the samples tested were fresh tilapia and catfish as control
variables, fish obtained from the Bitingan market, and preserved fish. The reason
for using this sample is because the type of fish sold is not alive or in a condition
that has been preserved, so it has a greater possibility of the presence of
formaldehyde. The sampling technique is to use an organoleptic test form/score
sheet according to SNI 2729: 2013 which contains several descriptions. from
various aspects, namely appearance (including eyes, gills, and mucus), meat,
smell, and texture. Each description per aspect has a different score with a
maximum point of 9. Based on the senses, the panelists choose the conditions
that best suit the circumstances of the sample. From this qualitative testing
technique, quantitative descriptive results will be obtained. Based on the
provisions of SNI 2729:2013, the minimum score for edible fish is 7.

Organoleptic testing is carried out because the current conditions for


selling fish in fish markets still do not apply the principles of caution, speed,
accuracy and cleanliness. So that the quality of the fish is very quickly degraded.
Thus, it is important to understand that the cold chain must be maintained from
the time the fish dies, during distribution to marketing (Junianto, 2003).

2) Formaldehyde Test
a. Qualitative Test (Fehling)
Qualitative formaldehyde test with Fehling aims to determine whether
there is formaldehyde content in the sample. First fehling A and B are mixed
with a volume of 1 ml each. Then 2 grams of each sample is taken then
dissolved in 100 ml of distilled water and filtered using filter paper. Take 2 ml of
the filtrate, add fehling A+B and heat in a bath for ± 30 minutes. The presence of
formaldehyde in the material is indicated by the formation of a yellowish green
color in the solution.
b. Quantitative Test (UV-VIS)
The formaldehyde test with a spectrophotometer aims to determine the
level of formaldehyde in the sample. In Antoni's research (2010) the process is
divided into stages:

1. Determination of Optimum Wavelength


 The maximum wavelength can be determined by looking at the
maximum absorbance value measured at spectronic-20 for a particular
wavelength. Before determining the optimum wavelength, a standard
solution is made as follows. 5 ml of standard solution is taken and then
added with 0.5 ml of 45% isopropyl alcohol and 0.5 ml of phenyl
hydrazine, 0.5 ml of 45% IPA and allowed to stand for 10 minute.
 Next, 0.3 ml of 0.1 M K3Fe(CN)6 was added and allowed to stand for
10 minutes. Then 2 ml of 0.1 M NaOH was added to each standard
solution and allowed to stand for 4 minutes. Then the solution was
transferred into the cuvette, measured at a wavelength of 360 - 500 nm
with 5 nm increments. The graph looks at the relationship between the
wavelength and the absorbance value. The optimum wavelength value
is determined where the absorbance is maximum.
 Reading with a spectrophotometer. The cuvette was rinsed and then
filled with 45% IPA up to the triangle cuvette mark. The solution is
then placed in the blank section of the spectrophotometer. First, fill
with a standard solution of 0 ml of formaldehyde to determine the
maximum wavelength. Then press test and select scanning, set the
wavelength 500-540 nm, then select run test. If there is no peak of the
wavelength then we repeat by setting the start wave length to 400 nm
and stop wave length to 500 nm. Click collect baseline then click
measure sample.
 To see the maximum wavelength, click edit sample, select math then
select peaks + valleys then on labelable peaks and click ESC. The
optimum wavelength is 415 nm. The spectrum and wavelength
obtained from the standard solution become the standard for
comparison with the sample to be tested.
2. Standard Curve Creation
 Mother liquor was taken with a volume of 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml
and 25 ml each with a concentration of 0.10, 30, 60, 90 and 120 ppm.
Then 0.5 ml of 45% isopropyl alcohol and 0.5 ml of phenylhydrazine
were added and allowed to stand for 10 minutes.
 Next, 0.3 ml of 0.1 M K3Fe(CN)6 was added and allowed to stand for
10 minutes. Then 2 ml of 0.1 M NaOH was added to each standard
solution and allowed to stand for 4 minutes. After that, the absorbance
is read with a spectrophotometer at the optimum wavelength.
3. Determination of Formaldehyde in Samples
 The samples were crushed with a blender, and weighed as much as 6
grams. Then it was put into a centrifuge tube, added 27.5 ml of 45%
isopropyl alcohol, and centrifuged at 2600 rpm for 30 minutes. The
results of the centrifugation were taken 5 ml each and added 0.5 ml of
isophropyl alcohol (IPA) 45% and 0.5 ml of phenylhydrazine, then
covered the beaker with cotton and allowed to stand for 10 minutes.
 Next, 0.3 ml of 0.1 M K3Fe(CN)6 was added and allowed to stand for
10 minutes. Then 2 ml of 0.1 M NaOH was added to each standard
solution and allowed to stand for 4 minutes. After that, the absorbance
is read with a spectrophotometer at the optimum wavelength
 Reading using a spectrophotometer. Rinse the cuvette with 45% IPA,
then add each standard solution up to the triangular boundary of the
cuvette. Place the samples in positions 1 and 2. Click test, select
advanced then set the maximum wavelength to 415, click run test.
 Reset the sample position according to the spectrophotometer
instructions listed on the screen. Click enter if it has been set. The
screen will display the wavelength of the sample which is then
compared with the results in the standard solution.

3.5 Data Processing Methods

1) Organoleptic Test
The results of the organoleptic test are descriptive quantitative through
scores on the score sheet according to SNI 2729: 2013 of all respondents

2) Formaldehyde Test
The results of the formaldehyde test were divided into 2 data, namely
qualitative data through the formaldehyde test with Fehling, and quantitative
data through the formaldehyde test with a UV-VIS spectrophotometer.
Quantitative data processing is carried out in several stages. The first stage is
to validate the data to ensure that the data obtained is in accordance with
research standards or does not take random samples. Next, data editing is
done to edit the raw data that has been collected, and then group the data
according to their characteristics.
CHAPTER 4 : RESULT AND DISCUSSION

Organoleptic tests on 4 samples (control tilapia, market tilapia, control


catfish, and market catfish) were carried out by 5 panelists for 3 days. The results
of the organoleptic test are in the form of an assessment on the SNI 2729: 2013
scoresheet and then the average value is taken. According to SNI 2729:2013, the
minimum value of a sample that is fit for consumption is 7. The test results are
then presented in a bar chart as follow (Figure 4.1).

10 9
8
8
6 7
6 5
score

4 3 Nila Pasar (NP)


2 Nila Kontrol (NK)
0
1 2 3
Storage (Days)

Figure 4.1. Tilapia Organoleptic Test based on scores sheet SNI 2729:2013; note
: Numbers in circle shows the score below minimum worth _
consumption (score<7)

Based on the results of the organoleptic test on tilapia in Figure 4.1, the
control tilapia (NK) was below the minimum limit suitable for consumption on the
3rd day with a score of 5. The market tilapia (NP) which were not suitable for
consumption were on the 2nd day and 3rd in a row has scores of 6 and 3.

Based on Figure 4.2, the average organoleptic test results on catfish, it can be
concluded that control catfish (PK) and market catfish (PP) are still suitable for
consumption only on the first day with successive scores of 9 and 7. As for PK and
PP on the third day -2 and 3 do not meet the minimum standards for consumption
because they have a score below 7.
10 9
8 7
6 6
6 5

score
Patin Pasar (PP)
4
2 Patin Kontrol
2 (PK)
0
1 2 3
Storage (Days)

Figure 4.2. Organoleptic Fish Catfish based on scores sheet SNI 2729:2013; note
: Numbers in circle shows the score below minimum worth
consumption (score<7)

From the results of organoleptic tests on tilapia and catfish samples, it can be
concluded that the quality of fish will decrease over time. This is because the decay
process results in a decrease in organoleptic quality (Anissah et al., 2019).

4.3 Formaldehyde Test


4.2.3. U ji Qualitative with Felling
The Fehling test aims to determine whether formaldehyde is present
in the sample. Based on a study from Pavia (2015), indicators of the presence of
formaldehyde can be seen from the change in solution to green and the presence of
a brick red precipitate.
Figure 4.3 Fehling's test before (left) and after heated (right)

Qualitative tests using fehling A and fehling B were carried out on 4 samples
which were then heated in a bath for ± 30 minutes (Lamp L.9). The results of
observations of color changes due to chemical reactions are as follows. From the
results of the qualitative test with Fehling on the control tilapia sample (NK), a dark
purple solution with a faint yellow precipitate was obtained. This indicates the
presence of formaldehyde (+) in the NK sample. Meanwhile, the market tilapia (NP)
sample also showed a purple solution with a yellowish white precipitate. From the NP
samples it was also concluded that there was no formaldehyde content (-) assuming a
small level because the resulting color was still faint.

NP PK PP
NK

(a) (b)
Figure 4.4 Test for formaldehyde content with fehling: (a) tilapia sample (b)
catfish sample

In the control catfish sample (PK), the resulting solution was bright purple
with a thick yellow precipitate. So, it can be concluded that the PK sample contains
formaldehyde (+). In the market catfish (PP) sample, the purple color produced was
the brightest and the precipitate formed was slightly greenish yellow (Lamp L.10), so
it can be concluded that the PP sample contains formaldehyde (+) and is assumed to
be larger than the three previous samples.

From the results of the formaldehyde test qualitatively, the color formed is
indeed not too intense to indicate the presence of formaldehyde content. The color
formed from the four samples was a faint yellow color, so the researchers assumed
that formaldehyde was present, but in small amounts. Therefore, a quantitative test
was then carried out to determine the level of formaldehyde with certainty using a
UV-VIS spectrophotometer.

4.2.4. Test Quantitative Content Formaldehyde


The results of the calibration between the absorbance of several
concentrations of formaldehyde solutions can be seen in Table 4.1. The
concentrations of formaldehyde used were 25, 50, 75, 100 and 125 ppm.

Table 4.1. Standard Curve of Formaldehyde

Concentratio
Absorbance
n (ppm)
25 0.122
50 0.265
75 0.380
100 0.482
125 0.506

Table 4.1 produces a curve with the X-axis being the concentration (ppm) and
absorbance as the Y-axis. The R2 value obtained is 0.985 (Figure 4.6).
Formaldehyde Calibration Curve
0.6
0.5 f(x) = 0.00394 x + 0.0555000000000001
R² = 0.952470941647687
0.4
absorbance

0.3
0.2
0.1
0
20 40 60 80 100 120 140
Concentration (ppm)

Figure 4.6. Formaldehyde Calibration Curves at Various Concentrations

The results of UV vis spectrophotometry on Bitingan Market tilapia (NP)


compared to control tilapia (NK) are shown in Figure 4.7.

350.0 306.2
300.0
Concentration (ppm)

250.0
195.8 196.9
200.0
175.4 142.8
150.0 174.7 Nila Kontrol
100.0 Nila Pasar
50.0
0.0
1 2 3
Storage (days)

Figure 4.7. Concentration of Formaldehyde in Tilapia for 3 days Low Temperature


Storage

Based on Figure 4.7, the formaldehyde concentrations of the control tilapia


(NK) from the 1st to the 3rd day were 175.4 ppm, 142.8 ppm and 196.9 ppm
respectively. The decrease in natural formaldehyde levels on the 2 nd day of NK was
because the fish was prepared using the tail meat without the fish's internal organs, so
the NK looked more brilliantly colored (Figure 4.8). In contrast to the first and third
days which included gill organs in sample preparation. Based on the graphic data in
Figure 4.1, the organoleptic test values for meat and fish texture on 2 nd day show that
NK has a score of 7. This value means that the meat is elastic, so it is assumed that
spoilage has not occurred. On the 3rd day, the NK samples experienced an increase in
natural formaldehyde levels, which was possible because there were still gill and
intestinal organs remaining in the fish samples which were stored at low
temperatures. Internal organs such as gills and fish intestines contain many microbes
that accelerate the process of decomposition of materials (Magar, 2021).
Formaldehyde is naturally formed in the oxidation of hydrocarbons which is the
initial stage of the decomposition process of organic matter present in foodstuffs,
plants and animals (Namtini et al., 2019).

NK NP

Figure 4.8. S ample Appearance after mashed: NK (left) and NP (right) on 2 nd


Day of Storage

The test results for the formaldehyde content of market fish (NP) were 195.8
ppm, 306.2 ppm and 174.7 ppm respectively. The increase in levels on day 2 of the
shelf life from 195.8 ppm to 306.2 ppm was possible because during the preparation
process the researchers took more internal organs, so they looked pale (Figure 4.8).
Based on the figure, the NP is very fine textured with an organoleptic value of meat
and texture, namely 6 (score <7), below the value suitable for consumption. The
texture of the meat is slightly elastic, it is possible that meat spoilage has taken place.
As previously, the gills and stomach organs of the fish taken during the sample
preparation process affect the measured formaldehyde content. The formaldehyde
formed is the enzymatic reduction of trimethylamine oxide (TMAO) to formaldehyde
and dimethylamine (Namtini, et al. 2019) which is caused by the decomposition
(deterioration) of fish flesh by bacteria in the intestines and stomach of the fish
(Magar, 2021). On the 3rd day, NP experienced a decrease in formaldehyde levels.
This is because formaldehyde is formed naturally in the form of free molecules that
are not bound in tissues (Namtini, et al. 2019). Preparation that takes a long time can
cause the formaldehyde compound to evaporate at room temperature.

UV vis spectrophotometry results on Pasar Bitingan Catfish (PP) compared


to control tilapia (PK) in Figure 4.9 shows that the formaldehyde concentration
increases with storage. The concentration of formaldehyde in PP was higher than
in PK during the shelf life. This is possible because PP has a longer post mortem
period than PK. The market catfish obtained from the Bitingan Market were sent
from areas outside the Kudus Regency to the market dead, while the PK samples
were taken from the aquaculture ponds in a living condition. Formaldehyde is
formed during the post mortem process which is characterized by decay due to
microbial activity and enzyme activity (Lestari, et al., 2020).

600.0 510.3
Concentration (ppm)

500.0
400.0 354.9
300.0 218.5 225.5
158.3 160.9 Patin
200.0 Kontrol
100.0 Patin
0.0 Pasar
1 2 3
Storage (days)

Figure 4.9. Concentration of Formaldehyde in Catfish for 3 days Low


Temperature Storage
The natural formaldehyde content formed on the last day of measurement (3rd
day) in the four samples can be seen in table 4.2. The table values are based on the
assumption that 1 tilapia weighs 160 grams and catfish weighs 250 grams.

Table 4.2 Assumption Conversion Content formaldehyde in 1 Fish _


Sample Content formaldehyde Assumption content
3rd day Formaldehyde per 1 fish (note :
(per 6 gr sample) Tilapia 160 gr and catfish 250
gr)
NK
196.9 ppm 5.250 ppm = 5250 mg/kg
(Control Tilapia )
NP
174.7 ppm 4.674 ppm = 4.674 mg/kg
(Market Tilapia )
PK
225.5 ppm 9.395 ppm = 9.395 mg/kg
(Control Catfish)
PP
(Market 510.3 ppm 21.262 ppm = 21.262 mg/kg
Catfish)

WHO has determined that the tolerable daily intake via the oral route for
formaldehyde is 0.15 mg/kg BW (Namtini et al., 2019). An example, if “person A”
has a body weight of 50 kg, then the maximum tolerable intake of formaldehyde is
7.5 ppm orally. Based on Table 4.2, it can be concluded that the formaldehyde
content in the raw fish samples for all types of samples has exceeded the tolerance
limit for oral intake of this person. Meat samples with mixed internal organs
contained higher formaldehyde than pure meat. The natural formaldehyde content in
raw fish includes the meat and internal organs of the fish. According to Namtini et al.
(2019) formaldehyde will decrease (evaporate) at room temperature. When cooked
perfectly through boiling with boiling water or fried, the formaldehyde content will
decrease. It is different with fish that is burned, because the heating is not perfect, so
that the formaldehyde residue in the fish has not been reduced or completely lost.
Based on this, it is advisable to consume perfectly cooked fish.
CHAPTER 5. CONCLUSION AND RECOMMENDATION

5.3 Conclusion
From the results of the Analysis of Formaldehyde Content in Preserved
Freshwater Fish at Bitingan Market, Kudus Regency, the following conclusions can
be drawn:

1. Based on the organoleptic test, the physical/sensory condition of the four


samples (control tilapia, market tilapia, control catfish, and market catfish)
were physically/sensory initially the same and fulfilled SNI 2729:2013 as
fresh fish fit for consumption. However, on the second day of storage, only
control tilapia met the standard with a minimum score of 7. On the third day,
all four samples were below the eligibility standard with a score below 7
based on the assessment on the SNI 2729: 2013 scoresheet.
2. The concentration of formaldehyde after the storage period on day 3 at cold
temperature, for tilapia (Oreochromis niloticus), NP value was slightly lower
than NK, namely 174.7 and 196.9 ppm, respectively. It is assumed that the
quality of the fish sold in the market is almost the same as the control fish
(live fish from aquaculture ponds). Meanwhile, the concentration of
formaldehyde in catfish (Pangasius djambal) PK was lower than PP after the
shelf life, namely 225.5 and 510.3 ppm. This value indicates PP passed post
mortem longer than PK, so PP has a higher formaldehyde content than PK.
3. Based on research, the natural formaldehyde content of all fish samples (raw
condition and internal organs) from the first day has exceeded the tolerance
intake limit set by WHO. This content can be reduced by removing the gills
and entrails (intestines and internal organs) of fish before processing or by
heating it completely.
5.4 Reccomendation
1. For further research, it is better to do a longer test period to find out
significant changes in formaldehyde content in fish.
2. For the general public, storing fish should not be done for a long time, to
avoid increasing the formaldehyde content in fish.
REFFERENCES

Anissah, U., Barokah, G., Ariyani, F. 2019. Pengaruh Penyimpanan Terhadap


Profil Formaldehida Alami dan Kemunduran Mutu pada Ikan Beloso
(Saurida Tumbil). JPHPI 2019, Vol 22 (3)

Antoni S (2010). Analisa kandungan formalin pada ikan asin dengan metoda
spektrofotometri di Kecamatan Tampan Pekanbaru. Pekanbaru:
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau. (Skripsi)

Barokah, G. R., et al. 2020. Determination of Endogenous Formaldehyde in


Moonfish (Lampris guttatus) Frozen Storage. Egytian Journal of
Aquatic Biology and Fisheries. Vol. 24(3). 17- Jiwando, K., Driejana,
R., & Irsyad, M. 2014. Analisis Konsentrasi Formaldehida di Daerah
Perkotaan Padat Lalu Lintas. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 20(1): 1-
10

Connel, J.J. (1980). Control Fish Quality. Second Edition. Fishing News
Book. Ltd

Goentomo 2021. Mana yang Lebih Bergizi: Ikan Laut Atau Air Tawar?.
Heru, S. 1996. Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat
Protein Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia

Irianto, I. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta : Gajah Mada University


Press.

Jati, A. 2018. Perbedaan Kadar Total Protein Berdasarkan Penggunaan


Kuvet Dan Tabung Reaksi Baru
Junaini. dkk. 2013. Pemanfaatan Antioksidan Alami Flavonol untuk
Mencegah Proses Ketengikan Minyak Kelapa. Jurnal Jurusan
Teknik Kimia FTI UPN “Veteran”. Jawa Timur
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya.
Khairuman, & Amri, K. (2010). Petunjuk Praktis Budidaya Patin di
Kolam Terpal. Jakarta:AgroMedia
Lestari, S., dkk. 2020. Pengaruh Kondisi Post Mortem Ikan Patin (Pangius
Djambal) dengan Kematian Menggelepar yang Disimpan pada Suhu
Berbeda Terhadap Mutu Filletnya. Jurnal FishtecH. Vol. 9(1): 34-44
Kordi, M. G. H. 2005. Budidaya Ikan Patin : Biologi, Pembenihan dan
Pembesaran. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. Mardiyah, U.
Jamil, S. 2020. Identifikasi Kandungan Formalin pada Ikan Segar Yang
Dijual Di Pasar Mimbo dan Pasar Jangkar Kabupaten Situbondo. Jurnal
Perikanan Vol 11(2), Oktober 2020
Magar, ST. 2021. Microbial Spoilage of Fish and Fish Products and its
Preservation. https://microbenotes.com/microbial-spoilage-of-fish-
preservation/ [Accessed, 3 February 2023]
Mardiyah, U. Jamil, S. 2020. Identifikasi Kandungan Formalin pada Ikan Segar
Yang Dijual Di Pasar Mimbo dan Pasar Jangkar Kabupaten Situbondo.
Jurnal Perikanan Vol 11(2), Oktober 2020
Mulia, D.S. 2006. Tingkat Infeksi Ektoparasit Proozoa Pada Benih Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) di Balai Benih Ikan (BBI) Pandak dan
Sidabowa, Kabupaten Banyumas. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto

Murtini, J,. Riyanto, R,. Priyanto, N,. Hermana, I. 2014. Pembentukan


Formaldehid Alami pada Beberapa Jenis Ikan Laut Selama
Penyimpanan dalam Es Curai
Mulyati, S. Suwarjoyowirayatno. 2019. Uji Mikrobiologi, Organoleptik, dan
Formalin IkanPelagis di Pasar Tradisional Kota Kendari. Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Namtini. 2019. Pedoman Peraturan Penerapan Badan POM tentang Cemaran
Mikroba dalam Pangan Olahan
Nurhayati, T., Abdullah, A., Sari, S. 2019. Penentuan Formaldehid Ikan
Beloso (Saurida tumbil) Selama Penyimpanan Beku. JPHPI 2019, Vol 2
(2)
Oka, W., Susi, L., Rodiana, N. 2015. Analisis Proksimat, Protein Larut Air, dan
Protein Larut Garam pada Beberapa Jenis Ikan Air Tawar Sumatera
Selatan. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan Vol. 4(2)
Purnomowati, Ida, dkk. 2007. Ragam Olahan Bandeng. Cetakan I.
Yogyakarta : Kanisius.
Rachmawati, N., Riyanto, R., & Ariyani, F. 2007. Pembentukan Formaldehid
pada Ikan KerapuMacan (Ephinephelus fuscoguttatus) selama
Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pascapanel dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan Vol. 2(2)
Rahmatillah, R. 2018. Analisis Usaha Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di
Desa Beringin Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan
Singingi. Jurnal Agri Sains Vol, 2 No.2
Riyanto, R. Kusmawarti, A. Dwiyitno. 2004. Pembentukan Formaldehid pada
Ikan Kerapu (Epinephelus fuscoguttatus) pada Penyimpanan Suhu
Kamar. Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Perikanan dan
Kelautan Vol. 1(2). Desember 2014
Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sitanggang, M. dan Sarwono, 2007. Budidaya Gurami. Jakarta : Penebar Swadaya
Sofiantin, N. 2018 Perbandingan Kadar Protein pada Ikan Bandeng (chanos
chanos) dengan Perebusan Menggunakan Variasi Waktu
Wibawa, Y. Amin, M. Wijayanti, M. 2018. Pemeliharaan Benih Ikan Gurame
(Osphronemus Gouramy) dengan Frekuensi Pemberian Pakan yang
Berbeda. Jurnal Akualkultur Rawa Indonesia
Steffens, W., 2006. Freshwater fish – wholesome foodstuffs. Bulg. J. Agric,
Sci., 12: 320-328 Umar, I. 2014. Identifikasi Ikan Air Tawar Hasil
Tangkapan Nelayan di Sungai Meureubo Hulu
Kecamatan Pante Ceureumen Kabupaten Aceh Barat. [Skripsi]. Meulaboh:
Universitas Teuku Umar.
Zulfikar, M. 2022. KKP Bidik Angka Konsumsi Ikan Nasional 55,37 Kilogram
per Kapita. Tribunbisni
ATTACHMENT

L.1 Catfish sample L.2 Tilapia sample

L.4 Mashed Sample


L.3 Organoleptic Test

L.5 Sample Weighing


L.6 Adding IPA 45%
L.8 Sentrifugation result
L.7 Sentrifugation of sample

L.9 Fehling Test (Boiling Samples) L.10 Result of Fehling Test (After boiled)

Anda mungkin juga menyukai