Anda di halaman 1dari 16

Tugas Sosiologi

Dampak Globalisasi (urbanisasi) terhadap perubahan sosial


di tingkat lokal atau komunitas

D
I
S
U
S
U
N

OLEH:

Kelompok 2:
Setiawan Wijaya
Elgan Sinuhaji
Daniel Sembiring
Kristoper Keliat

Guru pembimbing : Madiana Sinulingga, S.Pd

KELAS:XII-PLATO SMA METHODIST-AN PANCUR BATU


Tahun ajaran 2022/2023
Kata pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,atas berkatnya dan
penyertaanya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dengan ini makalah kami yang berjudul Dampak urbanisasi terhadap perubahan sosial di
tingkat lokal atau komunitas, kami berharap agar makalah kami ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagi yang membacanya khususnya wawasan tentang dampak
urbanisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal dan komunitas..
Mungkin hasil pembuatan makalah kami ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan
yang belum kami ketahui.Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari Ibu guru agar
dikemudian hari kami dapat menyelesaikan makalah kami dengan lebih baik lagi.
Bab I
Pendahuluan
Latar belakang
Desa dan kota merupakan suatu wilayah yang perbedaannya terletak pada cara
mendapatkan dan menghasilkan suatu yang dibutuhkan misalnya kota memiliki lapangan
kerja yang luas yang belum tentu dimiliki oleh desa. Desa juga memiliki bahan dan bahan
untuk kebutuhan kota. Karena kota itu memiliki lapangan kerja yg luas itulah yang
mengakibatkan banyak orang orang yang tinggal mdi desa berpindah ke wilayah kota demi
mendapat pekerjaan yang layak yang mempu memenuhi kebutuhan mereka itulah yang
disebut urbanisasi.
Jika urbanisasi itu sangat tinggi ddapat mengakibatkan ledakan penduduk di kota
sehingga banyaknya pengangguran karena semua lapangan pekerjaan sudah dipenuhi oleh
tenaga kerja. Memang kota terutama perusahaan membutuhkan tenaga kerja tetapi harus
sesuai dengan batas tenaga kerja yang dibutuhkan.
Kadang kala orang desajika ada orang yang sudah kerja di kota,orang di desa sudah
menganggap mereka sebagai orang yang hebat inilah yang merupakan salah satu motivasi
orang orang desa berpindah ke kota dan menganggap bahwa mereka dapat penghasilan
yang cukup disana.
Akibat adanya urbanisasi desa menjadi kekurangan penduduk. Urbanisasi sangat
berpengaruh besar terhadap perubahan sosial terutama di tingkat lokal atau komunitas baik
itu dalam bidang politik,ekonomi,dan sosial budaya. Dan kita tahu juga bahwa dampak
urbanisasi ini sangat berpengaruh bagi lingkungan sekitar kita dan kadang kala bisa
membuat perekonomia seseoramg menurun dan bisa juga meningkat.

Rumusan masalah
1. Apa itu urbanisasi?
2. Dimana biasanya wilayah yang selalu mengalami urbanisasi?
3. Bagaiman urbanisasi itu bisa membuat kerugian bagi masyarakat?
4. Mengapa orang orang desa berpindah dari dessa ke kota?
5. Apa dampak urbanisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal atau komunitas?

Tujuan masalah
1. Untuk memahami tentang urbanisasi
2. Untuk memahami dampak urbanisasi bagi kehidupan kota dan desa
3. Untuk memenjaga diri dalam melakukan urbanisasi
4. Unruk mengetahui alasan orang orang berpindah dari desa ke kota
5. Untuk mengetahui tingkat urbanisasi di masa sekarang
6. Untuk mengetahui dampak urbanisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal atau
komunitas.
Bab 2
Pembahasan

Apa itu Urbanisasi?


Urbanisasi adalah proses berpindahnya masyarakat desa ke kota dengan tujuan
untuk menetap dalam waktu tertentu. Urbanisasi juga bisa disebut sebagai fenomena
bertambahnya jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu yang terjadi secara memusat.
Empat wilayah dengan urbanisasi tertinggi yaitu Jakarta, Jawa Bara, Yogyakarta, dan
Banten. Tingkat urbanisasi di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara,
melebihi tinggi daripada China dan India. Penyebab urbanisasi adalah kota dianggap
memiliki akses lebih luas terhadap pekerjaan dan fasilitas publik lainnya. Faktor
pendorong urbanisasi adalah terbatasnya akses pekerjaan dan fasilitas publik di wilayah
pedesaan.

Perkembangan Perkotaan Dalam Sebuah Sistem Dunia


Bentuk perkotaan merupakan akibat langsung dari cara-cara terorganisirnya suatu
masyarakat. Oleh karena itu, dalam suasana yang timpang, tidaklah mengherankan kalau
kota-kota juga mengalami ketimpangan. Telah di ungkapkan bahwa sepanjang sejarahnya
kota melayani kelompok-kelompok elite dan hanya pada masyarakat elite lah kota benar-
benar bisa berkembang. Masyarakat egaliter yang didasarkan atas apa yang di sebut oleh
Polanyi dengan asas ’timbal balik yang seimbang’ itu tidak mampu menciptakan kota-
kota. Tanpa ada kekuasaan sentral dan mekanisme untuk menciptakan surplus atas
konsumsi dan memusatkan surplus tersebut di wilayah-wilayah perkotaan, maka kota-kota
tersebut tidak bisa tumbuh. Urbanisasi hanya akan terjadi dalam masyarakat yang
didasarkan atas ’redistribusi’ di mana surplus atas konsumsi dapat di alokasikan oleh suatu
kelompok khusus. Tetapi kenyataan urbanisasi tergantung pada berbagai mekanisme
pemusatan kekayaan tidaklah memberikan penjelasan yang lebih dalam kepada kita.
Sejarah 500 tahun terakhir ini dibentuk oleh ekspansi sistem kapitalis. Wilayah-
wilayah terpencil pun dipersatukan ke dalam sistem ekonomi dunia yang sedang muncul.
Kota-kota yang ada terintegrasi ke dalam sistem baru tersebut, fungsi-fungsinya pun
ditransformasikan. Kota-kota baru tumbuh untuk membangun kontrol politik dan
meyalurkan sumberdaya alam ke sentra-sentra metropolitan. Penduduk pedesaan digeret
ke dalam aktivitas-aktivitas baru di pertambangan atau perkebunan, atau menjadi petani,
dan kesemuanya berproduksi untuk pasar-pasar perkotaan. Semuanya tunduk pada kontrol
politik dan penetrasi budaya yang datang dari kota. Pada masa lampau penduduk pedesaan
pada umumnya hidup dengan sistem ekonomi subsisten, tetapi sekarang isolasi telah
berakhir. Masya1 Analisis inkorporasi penduduk pedesaan, lihat Pearse (1970) untuk
Amerika Latin, Gugler dan Flanagan (1978a : 180-3) untuk Afrika Barat.
Masyarakat yang berpusat pada diri sendiri dengan kontak luar yang sangat terbatas
akhirnya hilang. Bagi banyak bangsa, integrasi ke dalam sistem kapitalis merupakan suatu
yang traumatis. Dalam sistem tersebut mereka diperbudak, dipaksa masuk ke dalam
sebuah encomienda atau menderita sebagai buruh terikat. Dengan demikian, mereka terikat
pada tanah walaupun produksi kerja mereka masuk ke pasaran dunia. Di Brazil sebelum
tahun 1930, misalnya, mobilitas pekeija dibatasi oleh ikatan ekonomi dan psikologis yang
mengikat para petani dan penyewa, parceiros, dan orangjajahan dengan para tuan tanah.
Ikatan-ikatan ini di dukung oleh segerombolan penjahat bersenjata yang di beberapa
tempat merupakan prajurit "sertao" sesungguhnya (Singer, 1975: 455).
Tetapi ikatan-ikatan tersebut telah memudar. Dewasa ini penduduk pedesaan
meningkatkan penghasilan yang mereka perlukan untuk membayar pajak, membeli
barang-barang manufaktur dan membayar uang sekolah dengan menjual berbagai produk
yang dihasilkan secara mandiri, baik sebagai petani penyewa maupun sebagai penggarap
tanah dengan sistem bagi hasil. Atau mereka mendapatkan pekerjaan pada pemilik tanah
setempat, didesa lainnya, atau dikota. Baik merekamenjual produksinya di pasar atau
menyewakan tenaga mereka kepada seorang majikan, dan mereka merupakan bagian
darisistem ekonomi yangjauh diluar kontrol mereka. Mereka mengalami berbagai macam
polah-tingkah sistem ekonomi dunia ketika mereka kehilangan pekerjaan selama resesi
atau ketika harga pasar dunia tiba-tiba turun drastis sehingga menurunkan
pendapatan mereka dari ekspor bahan pangan.

Penggabungan ke dalam sistem dunia membawa diferensiasi yang berarti terhadap


apayang sering kali disebut dengan masyarakat egaliter. Tentu saja, banyak yang
mengetahui adanya ketimpangan yang mengerikan di masa lampau. Musuh-musuh yang
tertangkap dijadikan budak, masyarakat awam ditaklukkan dan dipaksa menyediakan
barang-barang dan jasa untuk tuan-tuan mereka. Namun, ukuran persamaan yang
didasarkan atas akses secara umum terhadap tanah merupakan pola yang lebih umum.
Masyarakat pedesaan kini mengalami deprivasi relatif. Begitu pengintegrasian itu
berlangsung, mereka mengenal kemiskinan mereka sendiri. Mereka melihatsedikit
kalangan mereka yang terangkat ke tingkat kemakmuran yang tak pernah terbayangkan
pada masa lalu dan mereka sekarang berhadapan dengan cara hidup orang-orang luar kaum
misionaris, pedagang, pegawai pemerintahan, para ahli dari luar negeri, dan para turis.
Beberapa wilayah pedesaan dieksploitasi sampai pada titik tertentu, sehingga kondisi
kehidupan penduduknya merosot. Di tempat-tempat lain, kelompok-kelompok tertentu
mengalami kemiskinan. Tetapi sebagian besar, kondisi kehidupan penduduk pedesaan
membaik; dalam konteks kesehatan, perubahan yang terjadi sangat dramatis. Tetapi,
peningkatan ini mempercepat pertumbuhan penduduk dan peningkatan jumlah penduduk
ini sendiri menimbulkan persoalan persediaan tanah di banyak daerah.
Dengan persepsi kehidupan yang lebih baik yang dinikmati oleh penduduk lokal, dan oleh
para pengunjung dari luar, muncul kesadaran akan sarana untuk menuju ke arah tujuan.2
Di seluruh dunia saat ini, sedikit warga pedesaan yang tidak menjual dan membeli di
pasar-pasar atau di toko toko, yang tidak mengetahui apa manfaat ijazah sekolah bagi masa
depan anaknya, yang tidak mendengar berita dari tangan pertama seperti apa bekerja di
kota itu. Sebagian dapat memperbaiki kehidupan mereka, kendatipun tetap tinggal di
pedesaan atau dengan berpindah ke desa lain sebagai petani, pedagang, atau pengrajin.
Tetapi bagi banyak orang, prospek pedesaan tampak suram dan perkotaan tetap lebih
menjanjikan.

Mengapa Masyarakat Berpindah


Sebuah badan penelitian tentang migrasi desa-kota terkemuka setelah mengadakan
penelitian selama dua dekade menemukan banyak bukti bahwa mayoritas penduduk
berpindah karena alasan ekonomi. Ketika masyarakat ditanya tentang alasan kepindahan
mereka, selalu saja prospek ekonomi perkotaan yang lebih baik menjadi alasan. Arus
migrasi antar wilayah-wilayah juga dapat ditunjukkan dengan menghubungkan dengan
perbedaan pendapatan antar wilayah tersebut.6 7 Dan setiap waktu, jika kondisi ekonomi
dalam tujuan-tujuan alternatif itu berubah, maka arus migrasinya mengalami perubahan
pula. Pentingnya pertimbangan-pertimbangan material dalam pengambilan keputusan itu
tampaknya menjadi kenyataan yang universal. Tentu saja bagi masyarakat miskin, berbuat
sebaliknya akan mengancam kelangsungan hidup mereka. Migrasi membutuhkan biaya
ekonomi, psikologi, juga risiko membuang-buang waktu.
Mereka yang terlibat di dalamnya tanpa prospek imbalan materi dan secara substansial
tidak mempengaruhi hasil secara keseluruhan. Teori ’Brigth Ligtt’ tentang migrasi desa-
kota pernah memcuat, tetapi fakta sederhana menunjukkan bahwa sebagian besar
pendatang baru tidak memiliki sarana untuk menghabiskan waktunya di bar, ruang dansa,
atau bioskop. Sesungguhnya, banyak orang yang masih lebih menyukai berada di
lingkungan pedesaan daripada pindah ke kota. Di sana mereka bisa berkembang, asal
mampu menyediakan standar hidup yang sama dan mempunyai prospek yang sama untuk
anak-anak mereka.

Siapa Yang Bermigrasi?


Dengan adanya kesenjangan desa-kota tersebut, migrasi besar-besaran dari
wilayah pedesaan yang tidak menguntungkan mungkin diharapkan. Tetapi kota merupakan
tempat yang kurang ramah bagi migran baru dan hanya mereka yang betul-betul terlatih,
mempunyai koneksi yang baik dan petualang keraslah yang mampu hidup di sana. Arus
yang tampak hebat di sisi perkotaan hanya proporsi kecil saja dari penduduk pedesaan.
Hampir di setiap wilayah Dunia ketiga, penduduk pedesaannya terus berkembang Ada
berbedaan utama di kalangan kaum migran tersebut dari sudut pandang latar belakang
sosio-ekonomi, dan prospek urbannya bervariasi sesuai dengan latar belakang tersebut. Di
satu sisi, banyak orang miskin yang tidak memiliki keterampilan apapun, tetapi sebagian
besar memiliki tanggung jawab yang besar: sebagian datang dari wilayah-wilayah yang
kemiskinan merupakan nasib umum bagi petani, misalnya dataran tinggi Volta; yang
lainnya berasal dari strata yang lebih rendah dari pembagian masyarakat yang ada,
misalnya desa India; dengan beberapa perkecualian, di antara mereka ada yang pernah
bersekolah dan telah diikat dengan peluang-peluang yang lebih memberikan harapan. Dan
di sisi yang lain, migran itu datang dari wilayah yang maju atau lebih tepat lagi dari
anggota minoritas pedesaan yang terpandang, yang menempuh pendidikan lebih baik,
menapakijenjang pendidikan tinggi untuk mendapatkan akses terhadap karier yang
menjanjikan di administrasi pemerintahan,sebagai pegawai utama disebuah perusahan atau
sebagai pegawai profesional. Pemuda-pemuda selalu mendominasi migrasi untuk mencari
pekerjaan. Sebagian besar tipe migrasi secara tidak proporsional telah merekrut para
pemuda. Dampaknya semakin menguatnya kelompok pemuda sehingga menutup migrasi
kelompok umur lainnya, yang terkenal dengan nama migran pensiunan. Shaw (1975:133)
menyimpulkan tinjauannya dalam suatu proposisi:’ kepadatan untuk bermigrasi bervariasi
berbanding terbalik dengan umur. Pemuda yang berumur belasan tahun lebih banyak
bermigrasi daripada kelompok umurlainnnya. Kepadatan terbesar ditemukan pada
kelompok-kelompok yang berumur 20-29 tahun. Mereka biasanya belum kawin, bahkan
yang sudah kawin kurang mendapat pengakuan akan hak mereka di pedesaan ketimbang
orang-orang yang lebih tua. Seringkali kontrol mereka terhadap sumberdaya lokal lemah.
Atau kita bahasakan secara universal, para pemuda tersebut masih dalam tahapan transisi
antara pemuda dan dewasa tetapi masih belum sepenuhnya dipercayai untuk berperan
sebagai orang dewasa di desa mereka. Dengan alasan seperti ini, mereka dapat menikmati
keberuntungan ekonomi diwilayah perkotaan: mereka tidak hanya kuat secara fisik,
mereka pun lebih mudah beradaptasi dengan berbagai tuntutan perkotaan. Jika Migrasi ini
mengakibatkan penerimaan pendapatan yang marjinal dengan harapan mendapatkan
pekerjaan yang terlindungi atau pekerjaan yang dapat memuaskan, maka upah potensial
tertinggi adalah bagi para pemuda yang meniti karier di perkotaan. Pola-pola seleksi jenis
kelamin dapat dibedakan dalam wilayah-wilayah utama. Di sebagian besar wilayah
tersebut, laki-laki jumlahnya lebih banyak daripada wanita. Meskipun demikian, pola ini
tidak seluruhnya sama di negara-negara Dunia Ketiga: khususnya di Amerika Latin dan
Filipina, kaum wanita mendominasi kota. Sebuah ikhtisar tentang data sensus yang dicatat
antara tahun 1965 dan 1975 mendokumentasikan perbedaan-perbedaan pokok tersebut. Di
wilayah Pasifik, rata-rata dari 6 negara menunjukkan bahwa 128 laki-laki dari setiap 100
wanita berada di wilayah perkotaan; di Asia, untuk 13 negara terdapat rata-rata 109; di
Afrika, rata-rata untuk 23 negara juga mencapai 109. 5 Di Amerika Latin sebaliknya, rata-
rata dari 23 negara menunjukkan 92 laki-laki dari setiap 100 wanita berada di wilayah
perkotaan (PBB, 1980 :117). Warisan kolonial yang ada di negara Amerika Latin dan
Filipina menyatakan bahwa banyaknya wanita dalam migrasi desa-kota terkait erat dengan
pola hak pemilikan tanah yang diwariskan semasa penjajahan. Sebenarnya, banyak
penduduk desa di wilayah-wilayah tersebut sedikit atau bahkan tidak memiliki tanah. Jadi,
situasi mereka tidak sebagaimana di wilayah-wilayah lain di mana kaum wanitanya tetap
mengolah sawah sementara kaum laki-laki bermigrasi. Pola ini sepintas lalu akan saya
bahas di sini. Tetapi, kondisi kekurangan dan tidak memiliki tanah itu juga merupakan
sesuatu yang umum terjadi di banyak wilayah Asia di mana laki-laki yang bermigrasi ke
kota melebihi kaum wanita. Dalam kasus manapun, argumentasi mengapa kaum wanita
menyertai suami mereka bermigrasi tidaklah memadai untuk menjelaskan kasus di
Amerika Latin di mana kaum wanita yang bermigrasi melebihi kaum laki-laki. Kita harus
memahami mengapa banyak wanita yang pindah dari desa mereka.

Pekerjaan di kota
Industrialisasi dan urbanisasi seringkali diasumsikan saling terkait erat. Di negara maju
keberadaan kota merupakan akibat yang niscaya dari konsentrasi orang-orang yang dibutuhkan
demi kelangsungan industri. Di seluruh dunia ada kaitan erat antara tingkat urbanisasi dengan
tingkat pembangunan. Misalnya, negara-negara yang lebih kaya cenderung memiliki proporsi
penduduk perkotaan yang lebih besar. Tetapi jika dilihat sepintas lalu, hubungan antara
industrialisasi dan urbanisasi tidak begitu jelas. Sebelum Revolusi Industri, berbagai wilayah di
belahan dunia ini membanggakan kota-kotanya yang menjadi sentra kegiatan keagamaan, pusat-
pusat pemerintahan, dan sentra- sentra perdagangan.1 Penduduk perkotaan tergantung pada
pendapatan yang berasal dari surplus pertanian, tetapi surplus tersebut bisa dipergunakan
sebagaisumbangankepada para pendeta, upetiuntukpenguasa, atau ditukar dengan barang-barang
yang lain.
Kota-kotajajahan memiliki kawasan industriyang sedikit, tetapi tetap menunjukkan fungsinya
sebagai alat kontrol dan pusat perdagangan. Di India dan di negara-negara Amerika Latin,
beberapa industri didirikan
sejak awal dan sejumlah industri penting sudah dikembangkan sejak tahun 1940-an, tetapi di
sebagian besar negara Dunia Ketiga industrialisasi baru muncul mengiringi perang Dunia II, atau
bahkan
lebih akhir lagi, sekitar tahun 1960, dan didasarkan pada teknologi impor. Ada beberapa
keuntungan memiliki akses terhadap teknologi tinggi, tetapi satu hal penting teknologi tinggi tidak
tepat untuk negaranegara miskin. Teknologi maju lebih cocok dengan negara-negara industri maju.
Ketika cadangan modal melakukan ekspansi ke negara-negara tersebut, maka produktivitas kerja
meningkat secara dramatis. Tenaga kerja relatiflangka dan mahal. Oleh karena itu
teknologiberusaha untuk meminimalkan peran tersebut,seperti kita saksikan dalam kasus
otomatisasi dan proses data. Mengalihkan teknologi padat modal ke negara-negara miskin berarti
pengurasan besar- besaran terhadap modal dan sumberdaya yang langka dan sedikit sekali peluang
kerja akibat perkembangan tadi. Ironisnya, sebagian besar negara Dunia Ketiga mendukung proses
industrialisasitersebut. Proses tersebut secara implisit dilakukan
melalui pertukaran yang dinilai berlebihan dengan mensubsidi barangbarang modal impor.
Pemerintah Dunia Ketiga dan para investor swasta sama-sama berkeinginan keras terhadap
teknologi yang sangat menguntungkan karena akan menciptakan tenaga kerja yang murah dan
berlimpah, meskipun
risikonya banyak sekali. Pertama, dalam banyak kasus teknologi padat modal masih langka sekali.
Penelitian dan pengembangan, juga industri peralatan mesin terpusat di negara-negara kaya.
Sedangkan permintaan dari negara-negara miskin sangat terbatas sehingga tidak berpengaruh. Hal
semacam ini mungkin berubah ketika bantuan internasional untuk 'teknologi menengah’ tersedia.
Pada tahun-tahun terakhir ini, negaranegara seperti India dan Brazil telah menjadi negara produsen
yang penting dan sekaligus sebagai eksportir mesin-mesin tersebut. Kedua, para elit nasionalsecara
khususingin melengkapi negara mereka dengan peralatan yang terbaik, yakni peralatan yang tidak
ketinggalan zaman;
hal seperti ini tentu saja akan mempengaruhi pilihan terhadap teknik sektor publik.2 Ketiga,
sebagian besar produksi industri berlangsung pada unit-unit produksi yang besar dan dijalankan
oleh perusahaan-perusahaan besar pula. Perusahaan-perusahaan ini cenderung berani menyediakan
gaji yang tinggi, keuntungan yang lebih besar, dan keselamatan kerja. Keempat, di sebagian besar
negara Dunia Ketiga,
banyak investasi dilakukan oleh orang-orang asing yang cenderung memilih bentuk-bentuk
teknologi padat modal. Dalam sebuah studi terhadap sektor manufaktur berskala besar di India,
Agarwal (1976) menemukan perusahaan-perusahaan asing yang kelihatannya lebih menekankan
teknologi padat modal daripada perusahaan-perusahaan dalam negeri. Dia menyimpulkan dan
memberikan sejumlah pertimbangan: perusahaan-perusahaan asing yang membayar upah yang
lebih tinggi mempunyai akses yang lebih baik pada pasar modal dan uang, tidak dibatasi oleh
devisa dan peraturan-peraturan penting, dan mempunyai pengalaman yang lebih banyak dalam
teknologi padat modal dan pengoperasiannya; sedangkan perusahaan-perusahaan dalam negeri
tampak tidak ragu- ragu mempekerjakan buruh yang banyak karena mereka lebih akrab dengan
pasar tenaga kerja pribumi. Pabrik modern menyediakan lapangan ketja lebih sedikit dibandingkan
dengan pendahulunya pada masa revolusi industri. Pada saat yang sama, ekspansi
industriseringkali dibatasi oleh struktur pasar disebagianbesar negara Dunia Ketiga. Banyak
penduduk dalam keadaan sangat miskin sehingga hanya mampu menghasilkan produk-produk
industri kecil: tekstil,sepatu, makanan, minuman, rokok, bahan-bahan email, cat, alat-alat plastik,
dan sepeda. Semua itu merupakan industri yang sangat umum bagi pasar rakyat.3 Para produsen
barang tahan lama yang paling mencolok, yaitu industri mobil menghadapi fakta bahwa hanya
kelompok kecil kelas menengah dan kelas atas sajalah yang memiliki sarana untuk mendapatkan
hasil produksi yang mereka tawarkan. Tentu saja di beberapa negara pada umumnya, kelompok
kecil kelas menengah meru2 pakan pasar yang cukup besar, misalnya* di Indonesia, India, Brazil,
dan mungkin Nigeria. Beberapa negara keciltelah membangun pasar ekspor untuk sebagian besar
produksi industrinya— misalnya, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan. Negara-negara
tersebut merupakan perkecualian. Sedikit kota negara Dunia Ketiga merupakan poros-poros
industri, sebagian merupakan poros-poros pertambangan, tetapi sebagian besar merupakan
pusatjaringan perdagangan dan transportasi dan atau sebagai pusat pemerintahan

Dampak Urbanisasi sebagai gejala sosial


Dampak positif urbanisasi sebagai gejala sosial yaitu membuka kesempatan pada
seseorang untuk mendapatkan akses pendidikan dan pekerjaan menjadi lebih mudah,
sedangkan dampak negatifnya yaitu rawannya tindakan kriminalitas ketika pendatang tidak
bisa bersaing dikota dan berpotensi timbulnya pengangguran dikota semakin tinggi.

Urbanisasi Masa ke Masa


Ketika Idulfitri usai. Para pekerja yang berasal dari luar Jakarta berduyun-duyun kembali
ke ibukota untuk mengais rezeki. Namun, yang jadi masalah setiap tahun adalah banyak
dari mereka yang kemudian membawa sanak saudara atau temannya untuk mengadu nasib
di Jakarta.
Urbanisasi musiman pun tiba. Pendatang baru menjadi semacam problema bagi
pemerintah DKI Jakarta, yang setiap tahun dibikin pusing.
Sesungguhnya masalah urbanisasi bukan sesuatu yang baru, sudah ada sejak ratusan tahun
silam. Peter Boomgaard dalam bukunya Anak Jajahan Belanda mencatat, Belanda
melakukan sensus penduduk untuk kali pertama pada 1795 di Kabupaten Jakarta dan
Priangan, pesisir dan ujung Timur Jawa.
Masih menurut Boomgaard, sensus pertama yang dilakukan di seluruh Pulau Jawa
dilakukan pada 1815, kala Jawa ada dalam kendali Inggris.
Sementara, dalam artikelnya State Without Cities; Demographic Trends in Early Java, Jan
Wissman Christie mengatakan, terjadi ledakan penduduk di Jawa dari survei yang
dilakukan pada masa Raffles. Semula hanya tercatat 4,5 juta penduduk, pada 1900 menjadi
30 juta.
Christie melihat, pertambahan jumlah penduduk itu hanya terjadi di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Populasi tersebut meningkat di daerah-daerah partikelir, dengan segala faktor
penyebab urbanisasi.
Lantas, bagaimana dengan Jakarta? Kapan urbanisasi besar terjadi?
Alwi Shahab menuliskannya dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo
Doeloe. Ia menulis, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen merupakan orang yang
mengumandangkan urbanisasi.
Saat masa pemerintahannya (1619-1623), Coen mendatangkan budak-budak belian, yang
merupakan tawanan perang VOC dari berbagai daerah. Pada awal abad ke-18, penduduk
Batavia mencapai 50.000 jiwa. Separuhnya berstatus budak dari Bali.
Seiring waktu, Batavia berkembang pesat menjadi kota dagang dan industri. Menurut
Alwi, setelah 1869, muncul imigran-imigran dari Belanda, Tiongkok, dan Arab.
Munculnya kantor-kantor besar dan pabrik-pabrik, akhirnya mendorong orang dari desa
mengadu nasib di Batavia. Menurut Alwi, saat itu yang mengadu nasib memiliki keahlian
dan profesi spesifik. Misalnya, orang dari Tasikmalaya menjadi tukang kredit, dan orang
Madura menjual sate ayam.
Setelah Indonesia merdeka, urbanisasi rupanya masih menjadi "hantu" yang menakutkan
bagi pemerintah DKI Jakarta. Gubernur DKI era Soekarno, Soemarno Sostroatmojo (1960-
1964 dan 1965-1966), pernah membuat kebijakan revolusioner untuk mengatasi
urbanisasi.
Dalam sebuah wawancara di majalah Prisma edisi Mei 1977, Soemarno mengatakan, pada
1962 ia mengumumkan Jakarta sebagai kota tertutup. Ia memberikan instruksi setiap RT
dan RW supaya melaporkan pendatang baru. Bagi mereka yang tak punya pekerjaan,
dilarang masuk Jakarta. Namun, kebijakan itu gagal total.
Penggantinya, Ali Sadikin (1966-1977) juga pernah mengeluarkan kebijakan Jakarta
sebagai kota tertutup. Tapi, gagal pula.
Masri Singarimbun pernah menulis dalam artikelnya Urbanisasi: Apakah itu Suatu
Problema di Prisma edisi Mei 1977 bahwa salah satu dilema dalam membendung arus
urbanisasi adalah kenyataan perbedaan pendapatan antara desa dan kota. Besarnya
pendapatan untuk keahlian yang kurang lebih sama, menjadi faktor utama perpindahan
penduduk ke kota.
Di majalah yang sama, Mayling Oey menulis artikel Jakarta Dibangun Kaum Pendatang.
Artikel Mayling ini cukup menohok untuk menyebutkan bahwa orang-orang yang pindah
ke Jakarta merupakan orang-orang yang berkontribusi membangun ibukota.
Mayling mencatat, para pendatang mayoritas berasal dari empat wilayah, yakni Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Pada dekade 1970-an, empat
provinsi di Jawa saja menyumbangkan 80 persen dari semua migran ke ibu kota.
Selebihnya, tujuh persen dari Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
Arus urbanisasi yang besar, terutama setelah Idulfitri, selalu menghantui pemerintah DKI.
Berulang terus-menerus setiap tahun.
Pada 2002, Gubernur DKI Sutiyoso (1997-2007) mengemukakan wacana pembatasan
penduduk Jakarta. Ia ingin menerbitkan Perda khusus mengenai kependudukan, yang dapat
mengatur tentang persyaratan penduduk DKI, semisal memiliki tempat tinggal dan
pekerjaan tetap di Jakarta. Namun, realisasinya tak terdengar kembali.
Baru-baru ini, Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat pun mengambil langkah
mengantisipasi arus urbanisasi pasca-Idulfitri. Ia berkoordinasi dengan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil DKI hingga RT/RW untuk melakukan pendataan warga
pendatang yang masuk ke Jakarta. Kebijakan ini dilakukan hingga 20 hari setelah Lebaran.
Jika ada warga pendatang kedapatan tak memiliki identitas resmi, Djarot pun mengimbau
mereka untuk pulang kampung. Sebelum dipulangkan, Pemda DKI akan membina mereka
di panti-panti yang disediakan Dinas Sosial DKI.
Usaha Djarot ini mirip apa yang dilakukan Soemarno dan Ali Sadikin puluhan tahun silam.
Yang sering dilakukan Pemda DKI adalah Operasi Yustisi. Sebuah operasi memeriksa
kartu identitas yang kerap menimbulkan tanggapan sinis berbagai pihak. Tahun ini,
sepertinya operasi yang sering digelar pasca-Lebaran itu tak ada di DKI.
Meski begitu, saya sepakat dengan Mayling Oey bahwa perkembangan Kota Jakarta
nyatanya didominasi oleh kontribusi para pendatang. Kaum migran datang ke Jakarta pada
usia yang produktif. Jika latar belakang mereka cukup tinggi, mereka berpotensi
menduduki kepemimpinan dalam birokrasi yang ada.
Kita tak bisa menutup mata. Banyak pengusaha, pejabat, pendidik, yang berasal dari desa.
Namun, urbanisasi memang merupakan salah satu masalah bagi kota besar seperti Jakarta.
Perlu ada penanganan khusus, tapi jangan juga antipati.
Usaha untuk menciptakan lapangan kerja baru di daerah, program transmigrasi,
membangun daerah dengan memaksimalkan potensi lokal, tampaknya perlu dilakukan
dengan taktis dan cerdas. Jika tidak, masalah ini hanya akan menjadi --ditangani dengan
kebijakan yang berulang, tapi tak efektif.
a) Analisis Penyebab
Urbanisasi telah menjadi permasalahan sosial perkotaan besar di Indonesia secara tahunan,
khusunya ibukota Jakarta. Munculnya perusahaan multinasional telah mengembangkan
ekonomi kota-kota besar di Indonesia yang semakin pesat memicu masyarakat untuk
berpindah dari desa ke kota. Dalam artikel berita yang berjudul “Urbanisasi Masa ke
Masa” telah membuktikan bahwa urbanisasi telah menjadi agenda tahunan bagi Jakarta.
Urbanisasi di Jakarta ini disebabkan oleh faktor momentum, yaiutu hari raya yang
menyebabkan masyarakat berpikir bahwa membutuhkan kehidupan baru diperkotaan.
Momentum yang paling memicu urbanisasi di perkotaan besar Indonesia adalah hari raya
Idul Fitri. Munculnya niat untuk pindah dari desa ke kota pasca hari raya Idul Fitri
umumnya sangat dipengaruhi oleh ajakan, kesalahan menerima informasi media massa,
impian pribadi, dan terdesak kebutuhan ekonomi.

b) Pengaruh Langsung terhadap Komunitas Lokal


Laju urbanisasi memberikan dampak bagi komunitas lobal, dikarenakan kualitas
masyarakat yang melakukan urbanisasi masih rendah jika dilihat dari tingkat pendidikan,
keahlian maupun kesadaran akan lingkungan. Urbanisasi cepat atau lambat akan
berdampak pada permasalahan kependudukan dan lingkungan, permasalahan paling utama
yang disebabkan oleh urbanisasi pasca hari raya adalah tata perkotaan dan daya dukung
kota. Ledakan penduduk yang disebabkan urbanisasi akan sulit diatasi oleh kemampuan
daya dukung kota. Lahan yang bukan merupakan pemukiman warga, seperti Ruang
Terbuka Hijau (RTH) dan trotor bagi pedestrian dialih fungsikan sebagai ruang tempat
tinggal maupun berjualan kaki lima, ruang untuk lalu lintas kendaraan, dan tempat parkir
lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan. Yang paling memprihatinkan adalah
pengalih fungsian Daerah Aliran Sungai (DAS) yang semula berfungsi sebagai penyerap
air hujan menjadi lahan pemukiman warga urbanisasi. Pengalih fungsian ini dapat
menyebabkan banjir bagi warga yang tinggal disekitar DAS.
Dampak jangka panjang dari urbanisasi yang secara terus menerus setiap tahunnya pasca
hari raya adalah permasalahan lingkungan, lingkungan pemukiman menjadi kumuh dan
tidak layak huni serta tidak sehat karena sering terkena banjir dan asap polusi kendaraan
yang tinggi. Dan juga terjadi peningkatan pengangguran, kriminalitas, bahkan
ketimpangan sosial ekonomi.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota tidak menjadi permasalahan sosial apabila
penduduk yang datang ke kota mempunyai kualitas keterampilan yang dibutuhkan di
perkotaan. Faktanya, perpindahan penduduk tersebut tidak diikuti oleh kualitas
keterampilan yang bagus, sehingga profesi yang diambil hanyalah sebagai buruh harian,
penjaga malam, pembantu rumah tangga, tukang becak, dan pekerjaan lain yang sejenis
(pekerjaan kasar). Bahkan ada juga masyarakat yang gagal memperoleh pekerjaan memilih
atau terpaksa tinggal di kota dan menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila.
HARI merayap petang. Penjaja jasa perbaikan sepatu masih saja meneriakkan “Sol
spatu!...sol spatu!. Sedang penjual sayur tetap berkeliling hingga matahari berdiri tegak
lurus di atas kepala. Di tempat lain, penjual keripik singkong melepas lelah di ujung gang.
Rekaman dari pengeras suara menyalak nyaring: “Keripik singkong…keripik singkong…
manis, pedas, gurih…eeenak rasanya!”
Di kawasan Lapangan Merdeka, tak jauh dari Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB),
mobil-mobil berpelat hitam dengan pintu bagasi terbuka menggelar dagangan pada sore
hari.
Di driving range PT. Telkom Jalan MT. Haryono, kabut pagi belum terangkat saat tangan-
tangan yang terawat baik mengayunkan stik, melambungkan bola golf. Siang hingga
malam hari, resto dan café di sejumlah mal tak pernah sepi pengunjung. Di tepi jalan Pasar
Buton, seorang nenek menanti dengan penuh kesabaran agar tumpukan singkong yang
digelarnya beralih ke tangan pembeli.
Di kawasan Jalan Jenderal Sudirman pada dini hari menjelang pagi, mobil jemputan
bersiap mengantarkan perempuan-perempuan muda berpakaian seksi ke pondokan yang
menampung mereka. Di Bandara SAMS Sepinggan yang megah, ribuan orang datang dan
pergi silih berganti.

Sebagai satu kota yang memiliki sejarah dengan minyak, Balikpapan mewariskan
kebudayaan urban. Dalam perjalanan panjang dari sebuah dusun berhutan menjadi kota
besar, modernisasi terus diperlihatkan kota Balikpapan. Hotel, mal, apartemen,
perkantoran, perumahan mewah terus tumbuh. Bangunan yang tinggi dan rendah saling
berdesakan.
Demikianlah. Sementara para wakil rakyat mewakili rakyatnya sibuk bepergian dari satu
kota ke kota lainnya. Pada waktu yang sama, mungkin saja pemulung yang sedang
mengorek sampah menemukan bayi merah yang dibuang.
Ini suatu keganjilan tapi dalam sesaat saja dan orang tidak lagi kaget. Mungkin karena
kebiadaban seperti ini sudah sering terjadi di Kota Beriman. Apakah bayi yang dibuang
masih hidup atau mati bukan satu hal penting yang bisa mencegah ibu-ibu di kota ini untuk
tidak membuang bayinya. Peristiwa ini akan terjadi lagi, seperti halnya perampokan,
pencurian dan penjambretan yang semakin marak terjadi.
Dampak kemajuan dan urbanisasi yang terjadi di Balikpapan telah memicu peningkatan
masalah sosial di Kota Beriman. Human trafficking yang marak ditandai makin banyaknya
anak baru gede (ABG) yang menjual diri, kekumuhan kota, dan naiknya angka kejahatan.
Disiplin sosial semakin rendah, serta munculnya kecemasan baru di sebagian kalangan
akibat kalah bersaing lantaran gagalnya pemerataan pembangunan. Peningkatan masalah
sosial tersebut tidak bisa ditutup, betapa pun wajah kota Balikpapan dipulas dengan cantik.
Badan Pusat Statistik (BPS) Balikpapan merilis jumlah kemiskinan sebanyak 14,9 ribu
orang di tahun 2013, naik menjadi 15,2 ribu di tahun 2014. Jumlah penduduk miskin di
Balikpapan diprediksi terus bertambah akibat gelombang pemutusan hubungan kerja
(PHK) dan pelemahan ekonomi.
Fakta lain juga mencatat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kota
Balikpapan selama kurun waktu 2010-2014 realisasinya belum mencapai standar PBB
(Nilai IPM > 80).
Jika kecenderungan realisasi pencapaian IPM tersebut terus berlanjut tanpa ada upaya-
upaya akselerasi dan sinergitas, maka sasaran untuk mencapai IPM Kota Balikpapan ke
level sangat tinggi akan sulit terpenuhi. Atau mungkin saja justru menurun akibat
penurunan pendapatan masyarakat.
“Diperlukan upaya dan kesungguhan yang sangat keras untuk meraih peluang mencapai
nilai IPM dengan kriteria sangat tinggi,” kata Kepala BPS Balikpapan Nur Wahid.
Berkecil hati atau tidak, Balikpapan tidak bisa menunggu, terutama Wali Kota Rizal
Effendi dan pendamping barunya Wakil Wali Kota Rahmad Mas’ud. Urbanisasi dengan
setumpuk permasalahannya akan menjadi pemancing gejolak sosial.
Dengan rata-rata pertumbuhan 5,11 persen per tahun, Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil (Disdukcapil) merilis jumlah penduduk Balikpapan hingga 28 Mei 2016 telah
mencapai 746.329 jiwa. Membedah ledakan penduduk akibat urbanisasi, Balikpapan
sebenarnya pernah membuat kebijakan “Balikpapan Kota Tertutup”. Persis seperti yang
dilakukan DKI Jakarta di masa kepemimpinan Ali Sadikin pada 1970.
Adalah Wali Kota Imdaad Hamid yang menjadi pencetusnya. Administrasi kependudukan
terpayungi melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 22 tahun 2002. Perda ini mengatur
tentang KTP sementara, KTP bagi orang miskin, pilihan pengurusan KTP, dan KTP asing,
dan lain-lain.Bagi pendatang, enam bulan pertama mereka memegang KTP sementara.
Setelah mendapat pekerjaan, mereka dapat mengajukan KTP tetap. Bila setelah enam
bulan tidak mendapat pekerjaan, mereka akan diminta pulang atau dipulangkan secara
paksa (dengan biaya dari uang jaminan yang dulu mereka depositkan ke Pemerintah Kota).
Ada yang menilai kebijakan ini sebagai tindakan yang tidak simpatik, namun tak sedikit
pemimpin kota-kota lain yang tertarik dan datang ke Balikpapan untuk memelajarinya.
Syahdan, Pemerintah Pusat pun merasa tertarik dengan manajemen kependudukan Kota
Balikpapan.
“Pengendalian laju pertumbuhan penduduk akibat migrasi sangat diperlukan guna
mencegah timbulnya berbagai masalah sosial,” kata Imdaad Hamid pada masa itu.
Pada masa pemerintahannya, guru kota Balikpapan itu menilai penyelenggaraan
administrasi kependudukan belum dilaksanakan secara baik dan tertib. Akibatnya,
pertumbuhan penduduk menjadi tidak terkendali.
Berjalan sekitar 3 tahun, kebijakan “Balikpapan Kota Tertutup” berakhir seiring
dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.
Model administrasi kependudukan ala Balikpapan yang mampu memberikan kontribusi
pada PAD pun terhenti. Sesuai UU 23/2006, pendanaan program administrasi
kependudukan dibebankan kepada APBN.
“Meski telah ada undang-undang administrasi kependudukan, kebijakan adminduk sesuai
perda yang pernah ada di Balikpapan sangat relevan untuk diterapkan kembali. Pada kota-
kota tujuan urbanisasi dan memiliki keterbatasan kewilayahan seperti Balikpapan, perlu
ada pengecualian,” ujar seorang pejabat Disdukcapil Balikpapan.
“Kalau perda adminduk masih diberlakukan sampai sekarang, mungkin keadaannya tidak
seperti sekarang,” sambung pejabat yang menempati ruangan di lantai dasar Kantor
Disdukcapil.
Menurut dia, kota Balikpapan telah berfungsi sebagai tempat penampungan para
pendatang yang mengharapkan lapangan kerja. Masalah pendatang tanpa keahlian dan
tanpa lapangan kerja itu bisa meruncing dalam ketidakpastian dan kemarahan. Pemerintah
Kota Balikpapan tidak menghendaki hal ini.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai imbas merosotnya industri batu bara dan
migas dipastikan memunculkan permasalahan baru. Dinas Tenagas Kerja dan Sosial
Balikpapan mencatat angka PHK sepanjang 2015 mencapai sekitar 7.000 orang. Kepala
Disnakersos Balikpapan Tirta Dewi memang mengatakan pekerja yang terkena PHK tidak
hanya berasal dari Balikpapan asli, namun sebagian besar berasal dari luar daerah yang
bekerja dengan penempatan di kota tersebut.
Diakuinya ada pula para pekerja korban PHK langsung mencari pekerjaan pengganti
dengan mendaftar penempatan kerja di tempat lain, atau pulang ke daerah asalnya untuk
mencari pekerjaan di sana.
Meskipun begitu, pemkot tetap saja ‘pusing’ memikirkan bagaimana kelanjutan nasib
pekerja yang terkena PHK. Sebab angka pengangguran yang tinggi pun dapat berimbas
pada banyak hal, termasuk salah satunya pada angka kriminalitas.
Untuk mengantisipasi gelombang PHK kedua yang mungkin sekali terjadi sepanjang tahun
ini, Pemkot Balikpapan berencana untuk membuat Kampung PHK yang akan dijadikan
sebagai pusat pelatihan khusus bagi korban PHK.
“Mungkin saja para pekerja itu punya talenta yang bisa dikembangkan untuk usaha yang
bisa dijadikan mata pencaharian. Kami akan berkoordinasi dengan instansi terkait,
termasuk dengan Dewan Pengupahan untuk membentuk konsep Kampung PHK,” tutur
Tirta.
Dia berharap Kampung PHK ini nantinya bisa diintergrasikan dengan Kampung Wisata
yang juga tengah direncakan pembangunannya oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan
Pariwisata Balikpapan, atau dengan ternak ayam Kampung Organik.
Dengan adanya Kampung PHK, Disnakersos ingin membantu para korban PHK
menemukan kegiatan usaha yang cocok untuk mereka, bahkan memberikan pelatihan pada
minat usaha masing-masing sebagai perbekalan.
Sayangnya, rencana itu masih sekadar angan-angan. Tirta mengaku belum bisa
merealisasikan pembuatan Kampung PHK tahun ini. Dia bahkan belum bisa memastikan
berapa kebutuhan lahan, konsep pembuatan, dan berapa anggaran yang dibutuhkan.
Adanya penghematan anggaran kegiatan sebesar 15% per SKPD menjadi penyebab utama.
Seperti yang diketahui, Wali Kota Balikpapan mengeluarkan surat edaran terkait
penghematan itu sebagai akibat dari belum turunnya dana bagi hasil untuk Balikpapan
sekitar Rp284 miliar.
“Rencana ini harus ditunda dulu, karena ada penghematan anggaran,” pungkas Tirta
Perluasan kilang pengolahan minyak di Balikpapan memunculkan asa baru. Sejumlah
media memberitakan perluasan kilang membutuhkan tenaga keja sekira 25.000 orang.
Namun Wakil Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud kurang meyakini serapan tenaga
kerja akan sebanyak itu. “Saya kurang yakin, perkiraan saya hanya sekitar 4.000-an orang
saja,” ujarnya.
Kecemasan pun muncul di benak pendamping baru Rizal Effendi tersebut. Yakni tenaga
kerja yang terserap akan didominasi pendatang dari luar daerah. Karenanya, ia meminta
agar Pertamina memiliki komitmen dan memprioritaskan warga ber-KTP Balikpapan
sebagai pengisi lapangan kerja baru tersebut.
Sejumlah megaproyek telah direntang oleh Pemkot Balikpapan. Jika proyek coastal road
sudah berjalan, mungkin akan melancarkan arus uang ke kas Pemkot Balikpapan. Dengan
semacam faktor x, atau katakanlah faktor keberuntungan pemimpin baru Rizal-Rahmad,
mudah-mudahan problem sosial bisa teratasi dan Balikpapan tetap berfungsi sebagai pintu
depan Kalimantan Timur.
a) Analisis Faktor Penyebab
Urbanisasi yang terjadi di kota Jakarta, juga terjadi di kota besar lainnya di Indonesia,
yaitu Balikpapan. Hal ini dibuktikan secara konkret dalam kasus yang berjudul “Masalah
Balikpapan, Urbanisasi akan Jadi Pemancing Gejolak Sosial” yang membuktikan bahwa
urbanisasi juga telah menjadi agenda tahunan bagi wilayah Kalimantan.
Terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan oleh beberapa faktor, salah
satunya yaitu perkembangan daerah perkotaan melalui sektor industri dan perdagangan,
serta keinginan untuk memperoleh penghasilan. Proses urbanisasi terjadi akibat kebijakan
dan peraturan di daerah perkotaan, terutama bidang ekonomi yang dikembangkan oleh
pemerintah kota. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk terhadap kegiatan akan
menyebabkan semakin besarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan
permasalahan pada daerah perkotaan.
b) Pengaruh Langsung Terhadap Komunitas Lokal
Berdasarkan kasus “Masalah Balikpapan, Urbanisasi akan Jadi Pemancing Gejolak Sosial”
pengaruh dari urbanisasi juga memiliki beberapa persamaan dengan kasus “Urbanisasi
Masa ke Masa”, antara lain meningkatkan kawasan kumuh di perkotaan, kemiskinan
karena meningkatnya PHK, kemacetan, naiknya tingkat kejahatan. Dan disiplin sosial yang
semakin rendah, menyebabkan kecemasan baru disebagian kalangan akibat kalah bersaing
lantaran gagalnya pemeretaan pembangunan.
Dalam kasus urbanisasi di Balikpapan, peningkatan masalah sosial sudah tidak dapat
dipungkiri lagi akan terjadi di kota tersebut. Bahkan, Human Trafficking atau perdagangan
manusia telah menjadi pengaruh yang paling parah terhadap komunitas lokal di
Kalimantan, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya anak baru gede (ABG) yang
menjual diri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi..

Solusi
Masalah urbanisasi membawa dampak dan akibat yang meluas dalam aspek kehidupan
manusia. Mulai dari urbanisasi menyebabkan desa kehilangan potensial tenaga kerja muda hingga
terhambatnya perekonomian desa karena dikendalikan kota. Di sisi lain, urbanisasi menyebabkan
kepadatan penduduk yang meningkat, pengangguran semakin luas, meningkatnya kriminalitas,
kemacetan, hingga bertambahnya daerah kumuh dan pencemaran. Adapun solusi mencegah
urbanisasi agar tidak terjadi perpindahan penduduk desa ke kota, antara lain.
1. Mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga di pedesaan.
Alasan penduduk desa pindah ke kota karena menganggap gaji atau upah pekerjaan di kota relatif
lebih tinggi. Mereka juga menganggap mencari pekerjaan dan penghasilan yang layak di kota jauh
relatif mudah. Realitanya, hal ini tidak selamanya benar.
Apabila perangkat daerah desa mampu menggalakkan potensi desa dengan mengembangkan
industri kecil dan industri rumah tangga melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan, maka
kehidupan ekonomi di desa menjadi hal yang sanggat menggiurkan bagi masyarakat desa.
Tentunya dengan bantuan modal (hibah), penciptaan jalur pemasaran, memudahkan fasilitas, dan
memfasilitasi perdagangan lintas kabupaten, provinsi, bahkan nasional dari perangkat desa, akan
meningkatkan orientasi daya pikir masyarakat desa untuk tetap menetap di desa dan
mengembangkan desanya.
2. Menghidupkan transportasi dan komunikasi daerah pedesaan
Alasan masyarakat desa pindah ke kota karena sulitnya transportasi dan komunikasi di pedesaan.
Aksesbilitas jalan di kota lebih mudah dibandingkan dengan pedesaan. Apalagi kesulitan
transportasi dan komunikasi di pedesaan juga mempersulit kegiatan kehidupan sehari-hari di
pedesaan. Untuk mencegah hal tersebut, maka perangkat desa atau pemerintah daerah dapat
mengembangkan transportasi dan komunikasi daerah pedesaan.
3. Membangun perguruan tinggi berskala nasional di kabupaten/kotamadya
Salah satu alasan lain masyarakat kota pindah ke kota karena ingin menempuh pendidikan yang
layak, khususnya di jenjang perguruan tinggi. Setelah tamat SMA/SMK, calon mahasiswa dari
desa pindah ke kota untuk kuliah di universitas-universitas ternama di kota. Apabila, bupati atau
walikota mampu memfasilitasi atau bekerja sama dengan penyelenggara pendidikan tinggi agar
membuat kampus berskala nasional di wilayah kabupaten/kotamadya, maka arus urbanisasi dapat
diminimalisir dan dikendalikan.
4. Membangun wisata alam dan wahana hiburan khas pedesaan.
Industri wisata adalah bagian terpenting yang harus menjadi perhatian perangkat desa dan
pemerintah kabupaten/kotamadya. Melalui pengembangan wisata alam dan wahana hiburan khas
pedesaan, akan menciptakan berbagai lapangan pekerjaan dalam sektor pariwisata. Desa-desa
menjadi objek wisata para turis, yang hasilnya akan meningkatkan perekonomian desa dan
membuat masyarakat akan menetap di pedesaan karena merasa nyaman terhadap desanya.
5. Mengupayakan pembangunan perumahan rakyat yang terjangkau.
Ketika perekonomian pedesaan semakin membaik karena dukungan pemerintah, maka masyarakat
desa pasti menginginkan rumah tinggal yang semakin layak dan terjangkau harganya. Oleh karena
itu, jika pemerintah dapat memberikan subsidi perumahan rakyat di pedesaan, maka arus urbanisasi
dapat dikendalikan. Dalam hal ini, untuk hidup di tempat tinggal yang layak tidak harus pindah ke
kota.

Sebagai calon penerus bangsa, generasi-generasi muda di Indonesia tentunya juga harus turut aktif
dalam mencegah terjadinya urbanisasi. Menurut pandangan penulis sebagai bibit penerus bangsa,
ada upaya-upaya yang dapat dilakukan sebagai pelajar untuk mencegah terjadinya urbanisasi, serta
meminimalisir dampak urbanisasi, antara lain.
1. Kita sebagai penerus bangsa harus terus menerus mengasah pengetahuan dan keterampilan agar
ketika terjadi urbanisasi, kualitas manusia dapat diimbangi dengan proses pembangunan di
perkotaan yang sedang berjalan. Sehingga dapat meminimalisir pengaruh dari terjadinya
urbanisasi.
2. Selalu ikut berpartisipasi aktif dalam menjaga dan menjamin kualitas lingkungan hidup. Dari hal
yang paling mudah adalah buang sampah pada tempatnya, sampai ikut bergotong royong
membersihkan lingkungan tempat tinggal. Hal ini bertujuan agar meminimalisir untuk
terbentuknya lingkungan kumuh di perkotaan akibat pengaruh dari urbanisasi.
3. Mengembangkan teknologi menengah bagi masyarakat desa. Sebagai pelajar, kita dapat
memberikan inovasi-inovasi dalam mengembangkan teknologi menengah untuk masyarakat desa,
yang dapat digunakan dalam mengembangkan industri padat karya dan meningkatkan
perekonomian masyarakat desa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Urbanisasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk desa ke kota. Urbanisasi sebagai
dampak globalisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal telah menimbulkan permasalahan
sosial di berbagai kota-kota besar di berbagai wilayah Indonesia, misalnya adalah Jakarta dan
Kalimantan. Bagi kedua kota tersebut, urbanisasi telah menjadi agenda tahunan yang tidak dapat
dihindari, begitu pula dengan pengaruhnya yang tidak dapat dihindari. Pengaruh yang didapat
antara lain meningkatnya angka pengangguran, menurunkan disiplin sosial, meningkatnya angka
kejahatan, Human Trafficking, kemiskinan, kesenjangan sosial, kemacetan lalu lintas, dan
terciptanya pemukiman kumuh di perkotaan. Pengaruh urbanisasi juga dirasakan oleh pedesaan,
yaitu semakin berkurangnya pontensi mudah penerus desa dan menurunnya pertumbuhan
perekonomian di desa. Hal ini tentunya harus dapat dicegah dengan partisipasi aktif berbagai
kalangan, baik itu dari pemerintahan, masyarakat, dan lembaga sosial.

Urbanisasi

Anda mungkin juga menyukai