D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Kelompok 2:
Setiawan Wijaya
Elgan Sinuhaji
Daniel Sembiring
Kristoper Keliat
Rumusan masalah
1. Apa itu urbanisasi?
2. Dimana biasanya wilayah yang selalu mengalami urbanisasi?
3. Bagaiman urbanisasi itu bisa membuat kerugian bagi masyarakat?
4. Mengapa orang orang desa berpindah dari dessa ke kota?
5. Apa dampak urbanisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal atau komunitas?
Tujuan masalah
1. Untuk memahami tentang urbanisasi
2. Untuk memahami dampak urbanisasi bagi kehidupan kota dan desa
3. Untuk memenjaga diri dalam melakukan urbanisasi
4. Unruk mengetahui alasan orang orang berpindah dari desa ke kota
5. Untuk mengetahui tingkat urbanisasi di masa sekarang
6. Untuk mengetahui dampak urbanisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal atau
komunitas.
Bab 2
Pembahasan
Pekerjaan di kota
Industrialisasi dan urbanisasi seringkali diasumsikan saling terkait erat. Di negara maju
keberadaan kota merupakan akibat yang niscaya dari konsentrasi orang-orang yang dibutuhkan
demi kelangsungan industri. Di seluruh dunia ada kaitan erat antara tingkat urbanisasi dengan
tingkat pembangunan. Misalnya, negara-negara yang lebih kaya cenderung memiliki proporsi
penduduk perkotaan yang lebih besar. Tetapi jika dilihat sepintas lalu, hubungan antara
industrialisasi dan urbanisasi tidak begitu jelas. Sebelum Revolusi Industri, berbagai wilayah di
belahan dunia ini membanggakan kota-kotanya yang menjadi sentra kegiatan keagamaan, pusat-
pusat pemerintahan, dan sentra- sentra perdagangan.1 Penduduk perkotaan tergantung pada
pendapatan yang berasal dari surplus pertanian, tetapi surplus tersebut bisa dipergunakan
sebagaisumbangankepada para pendeta, upetiuntukpenguasa, atau ditukar dengan barang-barang
yang lain.
Kota-kotajajahan memiliki kawasan industriyang sedikit, tetapi tetap menunjukkan fungsinya
sebagai alat kontrol dan pusat perdagangan. Di India dan di negara-negara Amerika Latin,
beberapa industri didirikan
sejak awal dan sejumlah industri penting sudah dikembangkan sejak tahun 1940-an, tetapi di
sebagian besar negara Dunia Ketiga industrialisasi baru muncul mengiringi perang Dunia II, atau
bahkan
lebih akhir lagi, sekitar tahun 1960, dan didasarkan pada teknologi impor. Ada beberapa
keuntungan memiliki akses terhadap teknologi tinggi, tetapi satu hal penting teknologi tinggi tidak
tepat untuk negaranegara miskin. Teknologi maju lebih cocok dengan negara-negara industri maju.
Ketika cadangan modal melakukan ekspansi ke negara-negara tersebut, maka produktivitas kerja
meningkat secara dramatis. Tenaga kerja relatiflangka dan mahal. Oleh karena itu
teknologiberusaha untuk meminimalkan peran tersebut,seperti kita saksikan dalam kasus
otomatisasi dan proses data. Mengalihkan teknologi padat modal ke negara-negara miskin berarti
pengurasan besar- besaran terhadap modal dan sumberdaya yang langka dan sedikit sekali peluang
kerja akibat perkembangan tadi. Ironisnya, sebagian besar negara Dunia Ketiga mendukung proses
industrialisasitersebut. Proses tersebut secara implisit dilakukan
melalui pertukaran yang dinilai berlebihan dengan mensubsidi barangbarang modal impor.
Pemerintah Dunia Ketiga dan para investor swasta sama-sama berkeinginan keras terhadap
teknologi yang sangat menguntungkan karena akan menciptakan tenaga kerja yang murah dan
berlimpah, meskipun
risikonya banyak sekali. Pertama, dalam banyak kasus teknologi padat modal masih langka sekali.
Penelitian dan pengembangan, juga industri peralatan mesin terpusat di negara-negara kaya.
Sedangkan permintaan dari negara-negara miskin sangat terbatas sehingga tidak berpengaruh. Hal
semacam ini mungkin berubah ketika bantuan internasional untuk 'teknologi menengah’ tersedia.
Pada tahun-tahun terakhir ini, negaranegara seperti India dan Brazil telah menjadi negara produsen
yang penting dan sekaligus sebagai eksportir mesin-mesin tersebut. Kedua, para elit nasionalsecara
khususingin melengkapi negara mereka dengan peralatan yang terbaik, yakni peralatan yang tidak
ketinggalan zaman;
hal seperti ini tentu saja akan mempengaruhi pilihan terhadap teknik sektor publik.2 Ketiga,
sebagian besar produksi industri berlangsung pada unit-unit produksi yang besar dan dijalankan
oleh perusahaan-perusahaan besar pula. Perusahaan-perusahaan ini cenderung berani menyediakan
gaji yang tinggi, keuntungan yang lebih besar, dan keselamatan kerja. Keempat, di sebagian besar
negara Dunia Ketiga,
banyak investasi dilakukan oleh orang-orang asing yang cenderung memilih bentuk-bentuk
teknologi padat modal. Dalam sebuah studi terhadap sektor manufaktur berskala besar di India,
Agarwal (1976) menemukan perusahaan-perusahaan asing yang kelihatannya lebih menekankan
teknologi padat modal daripada perusahaan-perusahaan dalam negeri. Dia menyimpulkan dan
memberikan sejumlah pertimbangan: perusahaan-perusahaan asing yang membayar upah yang
lebih tinggi mempunyai akses yang lebih baik pada pasar modal dan uang, tidak dibatasi oleh
devisa dan peraturan-peraturan penting, dan mempunyai pengalaman yang lebih banyak dalam
teknologi padat modal dan pengoperasiannya; sedangkan perusahaan-perusahaan dalam negeri
tampak tidak ragu- ragu mempekerjakan buruh yang banyak karena mereka lebih akrab dengan
pasar tenaga kerja pribumi. Pabrik modern menyediakan lapangan ketja lebih sedikit dibandingkan
dengan pendahulunya pada masa revolusi industri. Pada saat yang sama, ekspansi
industriseringkali dibatasi oleh struktur pasar disebagianbesar negara Dunia Ketiga. Banyak
penduduk dalam keadaan sangat miskin sehingga hanya mampu menghasilkan produk-produk
industri kecil: tekstil,sepatu, makanan, minuman, rokok, bahan-bahan email, cat, alat-alat plastik,
dan sepeda. Semua itu merupakan industri yang sangat umum bagi pasar rakyat.3 Para produsen
barang tahan lama yang paling mencolok, yaitu industri mobil menghadapi fakta bahwa hanya
kelompok kecil kelas menengah dan kelas atas sajalah yang memiliki sarana untuk mendapatkan
hasil produksi yang mereka tawarkan. Tentu saja di beberapa negara pada umumnya, kelompok
kecil kelas menengah meru2 pakan pasar yang cukup besar, misalnya* di Indonesia, India, Brazil,
dan mungkin Nigeria. Beberapa negara keciltelah membangun pasar ekspor untuk sebagian besar
produksi industrinya— misalnya, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan. Negara-negara
tersebut merupakan perkecualian. Sedikit kota negara Dunia Ketiga merupakan poros-poros
industri, sebagian merupakan poros-poros pertambangan, tetapi sebagian besar merupakan
pusatjaringan perdagangan dan transportasi dan atau sebagai pusat pemerintahan
Sebagai satu kota yang memiliki sejarah dengan minyak, Balikpapan mewariskan
kebudayaan urban. Dalam perjalanan panjang dari sebuah dusun berhutan menjadi kota
besar, modernisasi terus diperlihatkan kota Balikpapan. Hotel, mal, apartemen,
perkantoran, perumahan mewah terus tumbuh. Bangunan yang tinggi dan rendah saling
berdesakan.
Demikianlah. Sementara para wakil rakyat mewakili rakyatnya sibuk bepergian dari satu
kota ke kota lainnya. Pada waktu yang sama, mungkin saja pemulung yang sedang
mengorek sampah menemukan bayi merah yang dibuang.
Ini suatu keganjilan tapi dalam sesaat saja dan orang tidak lagi kaget. Mungkin karena
kebiadaban seperti ini sudah sering terjadi di Kota Beriman. Apakah bayi yang dibuang
masih hidup atau mati bukan satu hal penting yang bisa mencegah ibu-ibu di kota ini untuk
tidak membuang bayinya. Peristiwa ini akan terjadi lagi, seperti halnya perampokan,
pencurian dan penjambretan yang semakin marak terjadi.
Dampak kemajuan dan urbanisasi yang terjadi di Balikpapan telah memicu peningkatan
masalah sosial di Kota Beriman. Human trafficking yang marak ditandai makin banyaknya
anak baru gede (ABG) yang menjual diri, kekumuhan kota, dan naiknya angka kejahatan.
Disiplin sosial semakin rendah, serta munculnya kecemasan baru di sebagian kalangan
akibat kalah bersaing lantaran gagalnya pemerataan pembangunan. Peningkatan masalah
sosial tersebut tidak bisa ditutup, betapa pun wajah kota Balikpapan dipulas dengan cantik.
Badan Pusat Statistik (BPS) Balikpapan merilis jumlah kemiskinan sebanyak 14,9 ribu
orang di tahun 2013, naik menjadi 15,2 ribu di tahun 2014. Jumlah penduduk miskin di
Balikpapan diprediksi terus bertambah akibat gelombang pemutusan hubungan kerja
(PHK) dan pelemahan ekonomi.
Fakta lain juga mencatat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kota
Balikpapan selama kurun waktu 2010-2014 realisasinya belum mencapai standar PBB
(Nilai IPM > 80).
Jika kecenderungan realisasi pencapaian IPM tersebut terus berlanjut tanpa ada upaya-
upaya akselerasi dan sinergitas, maka sasaran untuk mencapai IPM Kota Balikpapan ke
level sangat tinggi akan sulit terpenuhi. Atau mungkin saja justru menurun akibat
penurunan pendapatan masyarakat.
“Diperlukan upaya dan kesungguhan yang sangat keras untuk meraih peluang mencapai
nilai IPM dengan kriteria sangat tinggi,” kata Kepala BPS Balikpapan Nur Wahid.
Berkecil hati atau tidak, Balikpapan tidak bisa menunggu, terutama Wali Kota Rizal
Effendi dan pendamping barunya Wakil Wali Kota Rahmad Mas’ud. Urbanisasi dengan
setumpuk permasalahannya akan menjadi pemancing gejolak sosial.
Dengan rata-rata pertumbuhan 5,11 persen per tahun, Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil (Disdukcapil) merilis jumlah penduduk Balikpapan hingga 28 Mei 2016 telah
mencapai 746.329 jiwa. Membedah ledakan penduduk akibat urbanisasi, Balikpapan
sebenarnya pernah membuat kebijakan “Balikpapan Kota Tertutup”. Persis seperti yang
dilakukan DKI Jakarta di masa kepemimpinan Ali Sadikin pada 1970.
Adalah Wali Kota Imdaad Hamid yang menjadi pencetusnya. Administrasi kependudukan
terpayungi melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 22 tahun 2002. Perda ini mengatur
tentang KTP sementara, KTP bagi orang miskin, pilihan pengurusan KTP, dan KTP asing,
dan lain-lain.Bagi pendatang, enam bulan pertama mereka memegang KTP sementara.
Setelah mendapat pekerjaan, mereka dapat mengajukan KTP tetap. Bila setelah enam
bulan tidak mendapat pekerjaan, mereka akan diminta pulang atau dipulangkan secara
paksa (dengan biaya dari uang jaminan yang dulu mereka depositkan ke Pemerintah Kota).
Ada yang menilai kebijakan ini sebagai tindakan yang tidak simpatik, namun tak sedikit
pemimpin kota-kota lain yang tertarik dan datang ke Balikpapan untuk memelajarinya.
Syahdan, Pemerintah Pusat pun merasa tertarik dengan manajemen kependudukan Kota
Balikpapan.
“Pengendalian laju pertumbuhan penduduk akibat migrasi sangat diperlukan guna
mencegah timbulnya berbagai masalah sosial,” kata Imdaad Hamid pada masa itu.
Pada masa pemerintahannya, guru kota Balikpapan itu menilai penyelenggaraan
administrasi kependudukan belum dilaksanakan secara baik dan tertib. Akibatnya,
pertumbuhan penduduk menjadi tidak terkendali.
Berjalan sekitar 3 tahun, kebijakan “Balikpapan Kota Tertutup” berakhir seiring
dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.
Model administrasi kependudukan ala Balikpapan yang mampu memberikan kontribusi
pada PAD pun terhenti. Sesuai UU 23/2006, pendanaan program administrasi
kependudukan dibebankan kepada APBN.
“Meski telah ada undang-undang administrasi kependudukan, kebijakan adminduk sesuai
perda yang pernah ada di Balikpapan sangat relevan untuk diterapkan kembali. Pada kota-
kota tujuan urbanisasi dan memiliki keterbatasan kewilayahan seperti Balikpapan, perlu
ada pengecualian,” ujar seorang pejabat Disdukcapil Balikpapan.
“Kalau perda adminduk masih diberlakukan sampai sekarang, mungkin keadaannya tidak
seperti sekarang,” sambung pejabat yang menempati ruangan di lantai dasar Kantor
Disdukcapil.
Menurut dia, kota Balikpapan telah berfungsi sebagai tempat penampungan para
pendatang yang mengharapkan lapangan kerja. Masalah pendatang tanpa keahlian dan
tanpa lapangan kerja itu bisa meruncing dalam ketidakpastian dan kemarahan. Pemerintah
Kota Balikpapan tidak menghendaki hal ini.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai imbas merosotnya industri batu bara dan
migas dipastikan memunculkan permasalahan baru. Dinas Tenagas Kerja dan Sosial
Balikpapan mencatat angka PHK sepanjang 2015 mencapai sekitar 7.000 orang. Kepala
Disnakersos Balikpapan Tirta Dewi memang mengatakan pekerja yang terkena PHK tidak
hanya berasal dari Balikpapan asli, namun sebagian besar berasal dari luar daerah yang
bekerja dengan penempatan di kota tersebut.
Diakuinya ada pula para pekerja korban PHK langsung mencari pekerjaan pengganti
dengan mendaftar penempatan kerja di tempat lain, atau pulang ke daerah asalnya untuk
mencari pekerjaan di sana.
Meskipun begitu, pemkot tetap saja ‘pusing’ memikirkan bagaimana kelanjutan nasib
pekerja yang terkena PHK. Sebab angka pengangguran yang tinggi pun dapat berimbas
pada banyak hal, termasuk salah satunya pada angka kriminalitas.
Untuk mengantisipasi gelombang PHK kedua yang mungkin sekali terjadi sepanjang tahun
ini, Pemkot Balikpapan berencana untuk membuat Kampung PHK yang akan dijadikan
sebagai pusat pelatihan khusus bagi korban PHK.
“Mungkin saja para pekerja itu punya talenta yang bisa dikembangkan untuk usaha yang
bisa dijadikan mata pencaharian. Kami akan berkoordinasi dengan instansi terkait,
termasuk dengan Dewan Pengupahan untuk membentuk konsep Kampung PHK,” tutur
Tirta.
Dia berharap Kampung PHK ini nantinya bisa diintergrasikan dengan Kampung Wisata
yang juga tengah direncakan pembangunannya oleh Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan
Pariwisata Balikpapan, atau dengan ternak ayam Kampung Organik.
Dengan adanya Kampung PHK, Disnakersos ingin membantu para korban PHK
menemukan kegiatan usaha yang cocok untuk mereka, bahkan memberikan pelatihan pada
minat usaha masing-masing sebagai perbekalan.
Sayangnya, rencana itu masih sekadar angan-angan. Tirta mengaku belum bisa
merealisasikan pembuatan Kampung PHK tahun ini. Dia bahkan belum bisa memastikan
berapa kebutuhan lahan, konsep pembuatan, dan berapa anggaran yang dibutuhkan.
Adanya penghematan anggaran kegiatan sebesar 15% per SKPD menjadi penyebab utama.
Seperti yang diketahui, Wali Kota Balikpapan mengeluarkan surat edaran terkait
penghematan itu sebagai akibat dari belum turunnya dana bagi hasil untuk Balikpapan
sekitar Rp284 miliar.
“Rencana ini harus ditunda dulu, karena ada penghematan anggaran,” pungkas Tirta
Perluasan kilang pengolahan minyak di Balikpapan memunculkan asa baru. Sejumlah
media memberitakan perluasan kilang membutuhkan tenaga keja sekira 25.000 orang.
Namun Wakil Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud kurang meyakini serapan tenaga
kerja akan sebanyak itu. “Saya kurang yakin, perkiraan saya hanya sekitar 4.000-an orang
saja,” ujarnya.
Kecemasan pun muncul di benak pendamping baru Rizal Effendi tersebut. Yakni tenaga
kerja yang terserap akan didominasi pendatang dari luar daerah. Karenanya, ia meminta
agar Pertamina memiliki komitmen dan memprioritaskan warga ber-KTP Balikpapan
sebagai pengisi lapangan kerja baru tersebut.
Sejumlah megaproyek telah direntang oleh Pemkot Balikpapan. Jika proyek coastal road
sudah berjalan, mungkin akan melancarkan arus uang ke kas Pemkot Balikpapan. Dengan
semacam faktor x, atau katakanlah faktor keberuntungan pemimpin baru Rizal-Rahmad,
mudah-mudahan problem sosial bisa teratasi dan Balikpapan tetap berfungsi sebagai pintu
depan Kalimantan Timur.
a) Analisis Faktor Penyebab
Urbanisasi yang terjadi di kota Jakarta, juga terjadi di kota besar lainnya di Indonesia,
yaitu Balikpapan. Hal ini dibuktikan secara konkret dalam kasus yang berjudul “Masalah
Balikpapan, Urbanisasi akan Jadi Pemancing Gejolak Sosial” yang membuktikan bahwa
urbanisasi juga telah menjadi agenda tahunan bagi wilayah Kalimantan.
Terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan oleh beberapa faktor, salah
satunya yaitu perkembangan daerah perkotaan melalui sektor industri dan perdagangan,
serta keinginan untuk memperoleh penghasilan. Proses urbanisasi terjadi akibat kebijakan
dan peraturan di daerah perkotaan, terutama bidang ekonomi yang dikembangkan oleh
pemerintah kota. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk terhadap kegiatan akan
menyebabkan semakin besarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan
permasalahan pada daerah perkotaan.
b) Pengaruh Langsung Terhadap Komunitas Lokal
Berdasarkan kasus “Masalah Balikpapan, Urbanisasi akan Jadi Pemancing Gejolak Sosial”
pengaruh dari urbanisasi juga memiliki beberapa persamaan dengan kasus “Urbanisasi
Masa ke Masa”, antara lain meningkatkan kawasan kumuh di perkotaan, kemiskinan
karena meningkatnya PHK, kemacetan, naiknya tingkat kejahatan. Dan disiplin sosial yang
semakin rendah, menyebabkan kecemasan baru disebagian kalangan akibat kalah bersaing
lantaran gagalnya pemeretaan pembangunan.
Dalam kasus urbanisasi di Balikpapan, peningkatan masalah sosial sudah tidak dapat
dipungkiri lagi akan terjadi di kota tersebut. Bahkan, Human Trafficking atau perdagangan
manusia telah menjadi pengaruh yang paling parah terhadap komunitas lokal di
Kalimantan, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya anak baru gede (ABG) yang
menjual diri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi..
Solusi
Masalah urbanisasi membawa dampak dan akibat yang meluas dalam aspek kehidupan
manusia. Mulai dari urbanisasi menyebabkan desa kehilangan potensial tenaga kerja muda hingga
terhambatnya perekonomian desa karena dikendalikan kota. Di sisi lain, urbanisasi menyebabkan
kepadatan penduduk yang meningkat, pengangguran semakin luas, meningkatnya kriminalitas,
kemacetan, hingga bertambahnya daerah kumuh dan pencemaran. Adapun solusi mencegah
urbanisasi agar tidak terjadi perpindahan penduduk desa ke kota, antara lain.
1. Mengembangkan industri kecil dan industri rumah tangga di pedesaan.
Alasan penduduk desa pindah ke kota karena menganggap gaji atau upah pekerjaan di kota relatif
lebih tinggi. Mereka juga menganggap mencari pekerjaan dan penghasilan yang layak di kota jauh
relatif mudah. Realitanya, hal ini tidak selamanya benar.
Apabila perangkat daerah desa mampu menggalakkan potensi desa dengan mengembangkan
industri kecil dan industri rumah tangga melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan, maka
kehidupan ekonomi di desa menjadi hal yang sanggat menggiurkan bagi masyarakat desa.
Tentunya dengan bantuan modal (hibah), penciptaan jalur pemasaran, memudahkan fasilitas, dan
memfasilitasi perdagangan lintas kabupaten, provinsi, bahkan nasional dari perangkat desa, akan
meningkatkan orientasi daya pikir masyarakat desa untuk tetap menetap di desa dan
mengembangkan desanya.
2. Menghidupkan transportasi dan komunikasi daerah pedesaan
Alasan masyarakat desa pindah ke kota karena sulitnya transportasi dan komunikasi di pedesaan.
Aksesbilitas jalan di kota lebih mudah dibandingkan dengan pedesaan. Apalagi kesulitan
transportasi dan komunikasi di pedesaan juga mempersulit kegiatan kehidupan sehari-hari di
pedesaan. Untuk mencegah hal tersebut, maka perangkat desa atau pemerintah daerah dapat
mengembangkan transportasi dan komunikasi daerah pedesaan.
3. Membangun perguruan tinggi berskala nasional di kabupaten/kotamadya
Salah satu alasan lain masyarakat kota pindah ke kota karena ingin menempuh pendidikan yang
layak, khususnya di jenjang perguruan tinggi. Setelah tamat SMA/SMK, calon mahasiswa dari
desa pindah ke kota untuk kuliah di universitas-universitas ternama di kota. Apabila, bupati atau
walikota mampu memfasilitasi atau bekerja sama dengan penyelenggara pendidikan tinggi agar
membuat kampus berskala nasional di wilayah kabupaten/kotamadya, maka arus urbanisasi dapat
diminimalisir dan dikendalikan.
4. Membangun wisata alam dan wahana hiburan khas pedesaan.
Industri wisata adalah bagian terpenting yang harus menjadi perhatian perangkat desa dan
pemerintah kabupaten/kotamadya. Melalui pengembangan wisata alam dan wahana hiburan khas
pedesaan, akan menciptakan berbagai lapangan pekerjaan dalam sektor pariwisata. Desa-desa
menjadi objek wisata para turis, yang hasilnya akan meningkatkan perekonomian desa dan
membuat masyarakat akan menetap di pedesaan karena merasa nyaman terhadap desanya.
5. Mengupayakan pembangunan perumahan rakyat yang terjangkau.
Ketika perekonomian pedesaan semakin membaik karena dukungan pemerintah, maka masyarakat
desa pasti menginginkan rumah tinggal yang semakin layak dan terjangkau harganya. Oleh karena
itu, jika pemerintah dapat memberikan subsidi perumahan rakyat di pedesaan, maka arus urbanisasi
dapat dikendalikan. Dalam hal ini, untuk hidup di tempat tinggal yang layak tidak harus pindah ke
kota.
Sebagai calon penerus bangsa, generasi-generasi muda di Indonesia tentunya juga harus turut aktif
dalam mencegah terjadinya urbanisasi. Menurut pandangan penulis sebagai bibit penerus bangsa,
ada upaya-upaya yang dapat dilakukan sebagai pelajar untuk mencegah terjadinya urbanisasi, serta
meminimalisir dampak urbanisasi, antara lain.
1. Kita sebagai penerus bangsa harus terus menerus mengasah pengetahuan dan keterampilan agar
ketika terjadi urbanisasi, kualitas manusia dapat diimbangi dengan proses pembangunan di
perkotaan yang sedang berjalan. Sehingga dapat meminimalisir pengaruh dari terjadinya
urbanisasi.
2. Selalu ikut berpartisipasi aktif dalam menjaga dan menjamin kualitas lingkungan hidup. Dari hal
yang paling mudah adalah buang sampah pada tempatnya, sampai ikut bergotong royong
membersihkan lingkungan tempat tinggal. Hal ini bertujuan agar meminimalisir untuk
terbentuknya lingkungan kumuh di perkotaan akibat pengaruh dari urbanisasi.
3. Mengembangkan teknologi menengah bagi masyarakat desa. Sebagai pelajar, kita dapat
memberikan inovasi-inovasi dalam mengembangkan teknologi menengah untuk masyarakat desa,
yang dapat digunakan dalam mengembangkan industri padat karya dan meningkatkan
perekonomian masyarakat desa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Urbanisasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk desa ke kota. Urbanisasi sebagai
dampak globalisasi terhadap perubahan sosial di tingkat lokal telah menimbulkan permasalahan
sosial di berbagai kota-kota besar di berbagai wilayah Indonesia, misalnya adalah Jakarta dan
Kalimantan. Bagi kedua kota tersebut, urbanisasi telah menjadi agenda tahunan yang tidak dapat
dihindari, begitu pula dengan pengaruhnya yang tidak dapat dihindari. Pengaruh yang didapat
antara lain meningkatnya angka pengangguran, menurunkan disiplin sosial, meningkatnya angka
kejahatan, Human Trafficking, kemiskinan, kesenjangan sosial, kemacetan lalu lintas, dan
terciptanya pemukiman kumuh di perkotaan. Pengaruh urbanisasi juga dirasakan oleh pedesaan,
yaitu semakin berkurangnya pontensi mudah penerus desa dan menurunnya pertumbuhan
perekonomian di desa. Hal ini tentunya harus dapat dicegah dengan partisipasi aktif berbagai
kalangan, baik itu dari pemerintahan, masyarakat, dan lembaga sosial.
Urbanisasi