Anda di halaman 1dari 5

Biografi J.

Robert Oppenheimer

Mungkin kalian tau dengan tragedi yang menimpa kota Hiroshima dan Nagasaki dipenghujung akhir
Perang Dunia Kedua, namun apakah kalian mengetahui siapa orang dibalik kesuksesan bom nuklir
tersebut dalam mengakhiri perang dunia? Dia adalah Julius Robert Oppenheimer, seorang jenius
dalam dunia sains teoritis. Nah, berikut adalah biografinya.

Julius Robert Oppenheimer lahir di New York City pada 22 April, 1904. Karena terlahir sebagai anak
orang kaya, Robert menikmati kehidupan mewah sejak kecil. Ayahnya, Julius Oppenheimer,
merupakan seorang imigran yahudi dari Jerman yang sukses di Amerika sebagai importir tekstil.
Sedangkan Ibunya, Ella Friedman–yang juga merupakan orang yahudi–berprofesi sebagai pelukis.

Ketertarikan Robert terhadap mineralogi bermula ketika keluarganya mengajaknya berlibur ke


Jerman untuk berjumpa dengan kakeknya saat dia masih berusia 5 tahun. Disana, dia kagum dengan
koleksi batu milik kakeknya. Kekagumannya ini kelak mengantarnya pada terciptanya bom atom
dalam Perang Dunia Kedua.

Selama menjalani masa-masa awal pendidikan, Robert tenggelam dengan aktivitas belajarnya
sehingga membuatnya mengabaikan kehidupan sosialnya. Hal tersebut membuatnya tumbuh
menjadi anak yang penyendiri, dia bahkan pernah mengatakan bahwa “aku adalah pria yang paling
kesepian didunia”. Bukan hanya kecanggungannya dalam kehidupan sosial saja yang membuatnya
sulit mendapatkan teman baru, melainkan juga sifat arogan yang timbul akibat kecerdasannya
dibidang akademik yang mengungguli kawan lainnya.

Berkat otaknya yang cemerlang, Robert diterima di Universitas Harvard, dimana dia semakin jatuh
cinta pada ilmu pengetahuan alam, khususnya kimia dan fisika. Dia terus bekerja keras dibawah
arahan Percy Bridgman–seorang fisikawan terkenal yang ditahun 1946 menerima Penghargaan
Nobel–untuk mengembangkan minatnya melalui kegiatan belajar yang ketat karena dia meyakini
bahwa dunia sains adalah tujuan hidupnya.

Kontribusi Albert Einstein dalam sains modern membuat dunia sains Eropa berkembang pesat. Hal
tersebut membuat Robert tertarik untuk menuntut ilmu di Eropa, sehingga dia pun pergi ke Inggris
untuk melanjutkan studinya di Universitas Cambridge pada tahun 1925. Disana, atas rekomendasi
dari Percy Bridgman, dia mengajukan dirinya kepada Sir Ernest Rutherford, seorang fisikawan
terkenal yang sebelumnya meraih Penghargaan Nobel setelah berhasil menemukan cara untuk
membelah atom. Sayangnya, Rutherford menolaknya karena walaupun Robert sangat cerdas dalam
memaparkan teori fisika, dia gagal membuat Rutherford terkesan dibidang praktik.

Mendengar hal itu, Robert yang rela meninggalkan Harvard dan melintasi samudra atlantik hanya
untuk mendapatkan bimbingan dari Rutherford pun menjadi sangat kecewa. Namun dia tidak patah
semangat karena dia diterima di Cavendish Lab–laboratorium fisika nuklir yang paling terkenal
didunia–dan menjadi asisten peneliti J. J. Thomson, seorang fisikawan penemu elektron yang saat itu
sudah memasuki usia senja.
Tidak mudah untuk menjadi seorang fisikawan teoritis, beban pekerjaan yang dipikul oleh Robert
membuatnya mengabaikan kehidupan pribadinya: dia jarang mandi dan sering telat makan, dia
bahkan menjadi seorang perokok berat. Kondisi mentalnya yang semakin buruk ini membuatnya
harus pergi ke psikiater, dimana dia diagnosis sebagai pengidap schizophrenia. Robert awalnya tidak
mempercayai itu, namun diagnosa itu terbukti saat dia berlibur ke Paris dan hampir mencekik
seorang sahabatnya tanpa sebab.

Pada 1926, Robert melanjutkan studinya di Universitas Göttingen dibawah bimbingan Max Born,
fisikawan yang kelak meraih Penghargaan Nobel berkat penelitian mendasar dalam mekanika
kuantum yang dilakukan olehnya. Unviersitas yang terletak di Jerman itu merupakan pusat dari fisika
teoretis di Eropa. Disanalah Robert menemukan dunia yang menyenangkan baginya. Jika dulunya dia
adalah anak yang pendiam, maka disana dia menjadi anak yang paling berisik, khususnya ketika lagi
sesi diskusi. Bahkan, teman-temannya sempat mengancam kepada Max Born akan melakukan
boykot terhadap kelasnya jika tidak bisa membuat Robert diam. Berkat ketekunanya dalam belajar,
dia meraih gelar Phd setahun kemudian.

Robert melihat dirinya sebagai jembatan penghubung antara sains Eropa yang lebih unggul dan sains
Amerika. Oleh karena itu dia kembali ke negara asalnya untuk menjadi dosen di Universitas
California di Berkeley dengan tujuan memperkenalkan ilmu fisika kuantum kepada fisikawan
Amerika. Namun ada suatu masalah, Robert tidak tau bagaimana cara mengajar, pribadinya yang
kaku membuatnya gugup dihadapan murid-muridnya.

Seiring waktu berjalan, kemampuan public-speaking nya meningkat sehingga dia berhasil suasana
belajar yang awalnya kaku menjadi lebih berwarna. Disisi lain, dunia sains tidak dilupakan olehnya.
Dia masih melanjutkan riset dan menerbitkan sejumlah dokumen walaupun tidak melahirkan
penemuan baru. Disamping tenggelam dalam pekerjaan dan dunianya, dia juga tertarik dengan
mitologi kuno, khususnya Hindu, yang selalu dipelajarinya ketika dirinya tengah beristirahat.

Lahirnya Fasis Jerman pada tahun 1933 membuat Robert menjadi peka dengan perubahan sosial dan
politik yang terjadi disekitarnya. Sebagai seorang keturunan yahudi, dia khawatir akan pengaruh fasis
Jerman–yang sangat anti-yahudi–sampai ke Amerika Serikat. Kekhawatiran Robert ini kemudian
berubah menjadi gerakan politik ketika dia dekat dengan seorang wanita bernama Jean Tatlock.
Berkat wanita tersebut, Robert jadi semakin tertarik dengan komunisme, suatu ideologi yang
bertolak belakang dengan fasisme. Meskipun terlibat dengan berbagai aktivitas politik terkait
komunisme, dia tidak pernah bergabung dengan Partai Komunis.

Setelah hubungannya dengan Jean Tatlock berakhir, minat Robert pada ideologi komunis memudar,
apalagi saat itu dia telah mengetahui bahwa penerapan ideologi komunis di Uni Soviet membuat
rakyat sengsara. Robert yang putus cinta kemudian menjalin hubungan gelap dengan Katherine
“Kitty” Puening. Saking cintanya terhadap Robert, Kitty sampai rela menceraikan suaminya dan
menjadikan Robert sebagai suami ke-4 nya pada tahun 1940.
Serangan ke Pearl Harbour pada tahun 1941 menyeret Amerika Serikat kedalam Perang Dunia
Kedua. Dengan demikian, Pemerintah melakukan segala cara demi memenangkan perang. Saat
itulah para ilmuan menjadi aset negara yang berharga. Sebagai langkah pertama, mereka diminta
untuk membangun sistem radar, namun kemudian mereka diminta untuk mengembangkan sebuah
senjata yang dapat memberikan Amerika Serikat kemenangan telak. Senjata tersebut adalah bom
nuklir.

Pengembangan senjata pemusnah massal tersebut merupakan respon dari peringatan Albert
Einstein kepada Presiden Amerika Serikat bahwa Jerman–negara dimana teori bom atom berasal–
berpotensi dapat menciptakan senjata nuklir dan apabila Jerman berhasil melakukannya, maka
kedamaian dunia hanyalah angan semata.

Dibawah pengawasan militer, dimulailah penelitian rahasia terkait pengembangan bom atom pada
tahun 1942. Penelitian tersebut diberi kode Proyek Manhattan. J Robert Oppenheimer ditunjuk
menjadi pemimpinnya. Robert nampaknya bukanlah pilihan yang tepat untuk proyek ini, mengingat
dia memiliki pandangan politik sayap-kiri yang bertentangan dengan ideologi Amerika dan juga dia
belum pernah memimpin proyek sebesar ini. Namun berkat kemampuan Robert dibidang fisika yang
tidak perlu diragukan lagi, dia pun dipercaya untuk memegang tanggung jawab besar ini.

Robert memilih Los Alamos, sebuah daerah gersang di New Mexico, sebagai tempat diadakannya
proyek ini. Kurang lebih ada 6000 ilmuan yang akan tinggal disana selama tiga tahun kedepan.
Kondisi cuaca yang panas serta tentara yang terus mengawasi setiap saat membuat kehidupan
disana terasa kurang nyaman, namun para ilmuan akhirnya mampu beradaptasi dan menikmati hari-
hari mereka. Selain itu, karena kerahasiaan dari proyek ini, pegawai pemerintah terkadang
mengganggu privasi para ilmuan. Hal ini juga dirasakan oleh Robert, dia selalu diikuti kemanapun dia
berada dan percakapan pribadinya melalui telefon selalu disadap. Semua protokol itu dilakukan
untuk mencegah informasi yang bocor.

Pada Februari 1945, dengan budget sebesar $2 milyar, Proyek Manhattan menghasilkan dua desain
bom atom yang diberi nama Little Boy dan Fat Man. Robert dipenuhi oleh rasa cemas yang
membuatnya stress ketika bom Fat Man akan diuji coba, dia khawatir akan terjadinya kesalahan dan
membuat bom ciptaannya itu menghancurkan masyarakat New Mexico.

Saat uji coba dilakukan pada 16 Juli, Kepulan awan berbentuk jamur yang berasal dari ledakan bom
atom tersebut dapat dilihat dari 3 negara bagian saking dahsyatnya ledakannya. Para ilmuan
bersorak-sorai melihat kesuksesan mereka dalam mengembangkan bom nuklir, namun tidak bagi
Robert. Sepatah kutipan dari kitab Bhagavad-gītā melintas ke pikirannya ketika dia melihat simfoni
kematian dihadapannya itu: “Now i’m become death, the destroyer of worlds” (sekarang aku
menjadi maut, perusak dunia).
Bom atom hasil rancangan Robert dijatuhkan pertama kali di Hiroshima pada 6 Agustus. Namun
karena Jepang tidak kunjung menyerah, dijatuhkan lagi bom atom untuk kedua kalinya di Nagasaki.
Kedua serangan tersebut membinasakan dua kota penting Jepang dan merenggut ratusan ribu
warganya yang sebagian besar merupakan penduduk sipil. Takut akan serangan yang lebih dahsyat,
Jepang pun akhirnya menyerah.

Dengan demikian, perang telah berakhir dan Robert gembira akan hal itu. Namun kegembiraannya
itu juga diliputi dengan rasa bersalah setelah dia menyadari tentang kehancuran yang ditimbulkan
olehnya.

Dia mengawali kehidupan pasca-perang nya dengan menerima tawaran sebagai direktur di
Universitas Princeton. Popularitasnya menjadi naik setelah Proyek Manhattan dipublikasikan oleh
pemerintah dan wajahnya terpampang di majalah Times. Namun dia tidak tenggelam dengan
ketenarannya itu karena dia merasa bertanggung jawab atas bom atom ciptaannya dan berusaha
untuk menjaga agar ciptaannya itu tidak jatuh ketangan yang salah.

Uni Soviet hadir sebagai saingan baru Amerika Serikat memasuki era Perang Dingin. Teknologi nuklir
membuat Amerika menjadi jauh lebih unggul dibanding Uni Soviet, begitulah yang diyakini oleh
pemerintah Amerika saat itu sampai mereka menyadari bahwa Uni Soviet juga memiliki senjata
nuklirnya sendiri. Muncul dugaan bahwa mata-mata yang bersembunyi diantara para ilmuan proyek
Manhattan lah yang menjadi biang keladinya. Robert menjadi salah satu ilmuan yang dicurigai
sebagai mata-mata karena sebelumnya dia pernah berhubungan dengan partai komunis.

Amerika tidak mau kalah dengan perkembangan bom nuklir milik Uni Soviet. Mereka membangun
bom hidrogen yang 1000 kali lebih dahsyat dibanding bom atom yang jatuh di Hiroshima dan
Nagasaki. Bom atom saja sudah cukup mengkhawatirkan bagi Robert, apalagi bom hidrogen, oleh
karena itu dia menentang pengembangan bom tersebut. Namun suaranya tak didengar dan
penelitian terus dilanjutkan.

Karena penentangan yang dilakukannya itu, pada tahun 1953, Robert dikeluarkan dari penelitian
nuklir dan izinnya dicabut. Lebih lanjut, dia diselidiki oleh agen FBI terkait relasinya dengan komunis.
Namun pada akhirnya, pemerintah tidak melupakan jasanya. Sepuluh tahun kemudian, Robert
dianugerahi Penghargaan Enrico Fermi berkat peran pentingnya dalam penelitian nuklir. Walaupun
begitu, dia tetap tidak akan melupakan penghinaan yang diarahkan oleh pemerintah kepadanya
sepuluh tahun sebelumnya.

Julius Robert Oppenheimer menutup mata pada tahun 1967 karena Kanker Tenggorokan. Dia
dikenang sebagai orang yang menjadi kunci dibalik transisi menuju era nuklir. Maka tak heran bila
dia disebut sebagai “Bapak Bom Atom”

Bacaan lebih lanjut :


- Bird, Kai; Sherwin, Martin J. (2005). American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert
Oppenheimer. New York: Alfred A. Knopf

- Groves, Leslie (1962). Now it Can be Told: The Story of the Manhattan Project. New York: Harper &
Brothers

- Cassidy, David C. (2005). J. Robert Oppenheimer and the American Century. New York: Pi Press.

Anda mungkin juga menyukai