Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan dari kanak-kanak

menjadi dewasa, dimana pada masa ini terjadi berbagai perubahan dan

perkembangan, meliputi perkembangan fisik, perilaku, kognitif, dan emosi (Puji,

2019). Berdasarkan Kemenkes (2015) kelompok usia remaja terdiri dari tiga

kategori, yaitu ; masa remaja awal dengan rentang usia 10-13 tahun, masa remaja

pertengahan rentang usia 14-16 tahun, dan masa remaja akhir dengan rentang usia

17-19 tahun. Menurut WHO (2018) remaja adalah kelompok dengan rentang usia

10-19 tahun dan mewakili hampir 20% dari seluruh populasi di dunia (Rini S,

2022 ; Todd and Black, 2020). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)

2021, jumlah penduduk Indonesia kelompok usia 10-19 tahun tercatat sebanyak

44.316,2 juta jiwa atau setara dengan 16,3% dari total seluruh populasi penduduk

di Indonesia. Di Provinsi Sumatera Barat jumlah kelompok usia remaja tercatat

sebanyak 976, 2 ribu jiwa, dan jumlah kelompok usia remaja di Kota Padang

tercatat sebanyak 147 ribu jiwa.

Pada masa remaja seorang individu akan menghadapi beberapa perubahan

dalam dirinya. Perubahan yang dialami akan memicu remaja untuk mulai mencari

jati diri dan mulai mengenal dirinya lebih dalam. Menurut Erickson, proses

pencarian dan pengenalan diri tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan

utama yang harus dihadapi oleh remaja yaitu memecahkan krisis identitas versus
kebingungan peran (Gita, 2015). Jika seorang remaja gagal dalam menjalankan

tugas perkembangannya tersebut akan berdampak pada pembentukan konsep diri

yang negatif, karena pembentukan identitas dan peran pada remaja sangat erat

kaitannya dengan komponen konsep diri (Puji 2019 ; Apriliyanti, dkk ; 2016).

Menurut Hurlock (dalam Syahraeni, 2019) konsep diri merupakan persepsi

dan penilaian seseorang tentang dirinya, mencakup bagaimana seseorang

memaknai dirinya, baik dari pandangan dari individu itu sendiri maupun

pandangan orang lain dalam menilai dirinya. Konsep diri mulai terbentuk dan

berkembang sejak masa kanak-kanak hingga masa remaja melalui pengalaman

dan interaksi anak terhadap lingkungannya. Konsep diri tidak dipengaruhi oleh

faktor hereditas tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar anak, terutama

orang tua (Meylia, 2022).

Masa remaja merupakan tahap paling penting dalam proses pembentukan

konsep diri. Pembentukan konsep diri pada masa remaja akan mempengaruhi

seorang individu dalam cara berfikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam

menjalankan kehidupan sehari-hari. Remaja yang memiliki konsep diri yang

positif akan memunculkan sifat-sifat positif dalam dirinya seperti ; mempunyai

motivasi tinggi dalam mencapai cita-cita, optimis, percaya diri, dan mampu

berdaptasi dengan baik dalam setiap permasalahan. Remaja yang memiliki konsep

diri negatif cenderung akan memiliki sikap rendah diri, mudah cemas dan stress,

pesimis, kurang menerima dirinya, mudah marah, dan bahkan dapat memunculkan

sikap agresif (Coopersmith ; dalam Gainau, 2015).


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Levey (2019) pada 497 remaja

usia 13- 18 tahun di Belanda, ditemukan sebanyak 47,2 % atau 235 orang siswa

memiliki tingkat konsep diri rendah, dengan proporsi self concept clarity menurun

pada usia 13-15 tahun. Penelitian oleh E, Hards (2019) pada 822 remaja di

sekolah Northamptonshire dan Wiltshire di Inggris ditemukan rata-rata konsep

diri pada anak perempuan lebih rendah daripada anak laki-laki. Penelitian oleh

Martin (2022) pada 50 orang remaja di India, ditemukan 26% remaja memiliki

tingkat konsep diri rendah, 46% tingkat konsep diri sedang, 28% remaja memiliki

tingkat konsep diri tinggi. Penelitian oleh Widiarti (2017) pada 449 siswa SMP di

Yogyakarta didapatkan 49,4% siswa memliki konsep diri rendah dengan rincian ;

siswa sekolah negeri yang memiliki konsep diri rendah sebanyak 93 orang

(20,7%), dan siswa sekolah negeri yang memiliki konsep diri tinggi sebanyak 91

orang (20,3%), sedangkan siswa sekolah swasta yang memiliki konsep diri rendah

sebanyak 129 orang (28,7%) dan siswa sekolah swasta yang memiliki konsep diri

tinggi sebanyak 136 orang (30,3%).

Terbentuknya konsep diri yang postif dan konsep diri negatif dapat

mempengaruhi perilaku individu. Pada umumnya tingkah laku seseorang

berkaitan dengan persepsi atau pandangan tentang dirinya sendiri. Rahmadanti

(2021) menjelaskan bahwa perilaku individu cenderung sesuai dengan bagaimana

individu tersebut memandang dirinya. Konsep diri merupakan inti dari

kepribadian, dan aspek- aspek kepribadian sangat berperan dalam penentuan

tinggi rendahnya dan kerentanan depresi pada seseorang (Pieter, 2011). Hards

(2019) dalam penelitiannya menyebutkan 25% gejala depresi dipengaruhi oleh


valensi konsep diri. Remaja dengan konsep diri yang positif cenderung memiliki

gejala depresi yang lebih sedikit. Lebih lanjut, hasil penelitian oleh Dobson dan

Shaw menunjukkan bahwa remaja yang memiliki konsep diri negatif seringkali

mengalami depresi. Sejalan dengan yang disebutkan oleh Apriani (2021) bahwa

dampak lebih jauh konsep diri yang negatif akan meningkatkan kerentanan

depresi pada remaja.

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi gangguan mental

emosional dengan depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun keatas di Indonesia

tercatat sebanyak 6,1% penduduk Indonesia (11 juta jiwa), dan presentase usia

remaja (15-24 tahun) yang mengalami depresi tercatat sebanyak 6,2%. Adapun di

provinsi Sumatera Barat prevalensi gangguan mental emosional dengan depresi

pada usia 15-24 tahun sebesar 7,97%, dan di kota Padang tercatat persentase

gangguan mental emosional dengan depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun

keatas tercatat sebesar 7,76% (Riskesdas, 2018).

Konsep diri yang negatif juga dapat menimbulkan perilaku agresif pada

remaja. Konsep diri negatif akan menimbulkan rasa tidak percaya diri dan ini

dapat mengundang kompensasi dengan bertindak agresif kepada objek-objek yang

ada di sekitar individu yang dilandasi oleh rasa ketidakberdayaan yang berlebihan.

Konsep diri negatif akan menghambat penyesuaian diri seseorang dengan

lingkungan sosialnya, sehingga akan menyebabkan timbulnya perilaku yang

menyimpang dan cenderung berperilaku agresif (Adawiyah, 2020).

Perilaku agresif pada remaja disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal

dan eksternal. Dari beberapa faktor yang ada, konsep diri termasuk salah satu
faktor internal yang mempengaruhi kecenderungan perilaku agresif pada remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmadanti (2021) mengenai The Relationship

Between Self Concept and Aggressive Behavior in Junior High School Student

menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri

dengan dengan perilaku agresif, dan didapatkan data prevalensi perilaku agresif

kategori tinggi sebesar 28,7%, perilaku agresif kategori sedang 39,9%, dan

perilaku agresif kategori rendah 31,5%. Rosyad (2022) dalam penelitiannya juga

menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan agresi

verbal, dan konsep diri memberikan sumbangsih sebesar 25% terhadap

kecenderungan perilaku agresi verbal pada remaja. Sejalan dengan penelitian oleh

Hendri (2021) mengenai Hubungan antara konsep diri dengan agresivitas pada

peserta didik sekolah menengah atas gajah mada medan didapatkan bahwa

terdapat korelasi negatif antara konsep diri dengan perilaku agresivitas. Semakin

tinggi konsep diri, maka semakin rendah kecenderungan perilaku agresif,

sebaliknya semakin rendah konsep diri, maka semakin tinggi kecenderungan

perilaku agresif pada remaja.

Menurut Stuart & Sundeen (1995) salah satu faktor yang mempengaruhi

terbentuknya konsep diri adalah pola asuh. Menurut Hurlock tahap pembentukan

konsep diri paling dasar berasal dari dari hasil interaksi seorang anak dalam

lingkungan keluarganya, dan hal ini erat kaitannya dengan perlakuan atau pola

asuh yang diberikan orang tua kepada anaknya. Pengalaman dan pola asuh orang

tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang

terbentuk pada anak (Kemit, 2018). Sikap positif orang tua yang diamati oleh
anak akan menumbuhkan konsep dan pemikiran positif serta sikap menghargai

diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak dan

menimbulkan persepsi bahwa dirinya tidak layak untuk dikasihi, disayangi, dan

dihargai, dan berpikir karena semua kekurangan yang ada dalam dirinyalah yang

membuat orang tua tidak menyayanginya (Muhith, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2021) mengenai

Hubungan karakteristik dosen, pola asuh orang tua, dan peer group dengan

konsep diri self esteem remaja menunjukkan bahwa pola asuh orang tua

memberikan sumbangsih terbesar yaitu sebanyak 62,49% dari kedua faktor

lainnya yang mempengaruhi konsep diri remaja. Hal ini berarti pola asuh orang

tua memiliki pengaruh signifikan terhadap konsep diri self esteem remaja. Sejalan

dengan penelitian oleh Saraswatia (2015) mengenai Faktor - faktor yang

mempengaruhi konsep diri remaja di SMP N 13 Yogyakarta dengan jumlah

responden sejumlah 162 orang siswa, didapatkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara pola asuh orang tua dengan konsep diri remaja. Dimana hasil

penelitian menunjukkan 35,2% remaja memiliki persepsi pola asuh demokratis,

40,7% situasional, 18,5% otoriter, dan 5,6% permisif. Sebanyak 55,6% remaja

memiliki konsep diri positif dan 44,4% memiliki konsep diri negatif.

Menurut Baumrind (dalam Fellasari, 2016) pola asuh merupakan pola sikap

atau tingkah laku orang tua dalam mendidik, membimbing, dan mengarahkan

perilaku anak yang mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kompetensi

emosional, sosial, dan intelektual. Hurlock menjelaskan terdapat tiga jenis pola

asuh yang diterapkan oleh orang tua, yakni ; pola asuh autorithative, pola asuh
autotithorian, dan pola asuh permisif. Ketiga pola asuh tersebut memiliki

konstribusi penting dalam pembentukan karakter atau konsep diri anak (Subagia,

2021).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Noreen (2021) menunujukkan bahwa

ada hubungan yang signifikan dan korelasi yang positif antara pola asuh orang tua

dengan konsep diri akademik siswa, dengan hasil 61, 4% orang tua menerapkan

pola asuh otoritatif, 25,5 % pola asuh otoriter, dan 13, 1% pola asuh permisif.

Hasil konsep diri akademik siswa didapatkan lebih dari separuh konsep diri siswa

dalam kategori tinggi, dengan persentase academic confidence 54,8%, dan

persentase academic efforts 56, 06%. Hal ini diperkuat dengan penelitian oleh

Altaf (2021) mengenai Hubungan pola asuh dengan pengambilan keputusan dan

konsep diri remaja didapatkan hasil pola asuh otoriter ayah, pola asuh otoriter ibu,

pola asuh permisif ayah, dan pola permisif ibu berkorelasi negatif signifikan

terhadap konsep diri remaja, sedangkan pola asuh otoritatif ayah dan pola

otoritatif ibu berkorelasi positif signifikan terhadap konsep diri remaja. Semakin

otoritatif pola asuh orang tua, maka semakin positif konsep diri remaja.

Sikap dan respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi

bagi remaja untuk menilai siapa dirinya. Penerapan pola asuh orang tua yang

keliru dan negatif ataupun lingkungan yang kurang mendukung, mengakibatkan

tumbuhnya konsep diri negatif pada anak. Hal ini dapat disebabkan oleh sikap

orang tua pada anak misalnya seperti ; suka memukul, mengabaikan, melecehkan,

menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah


diasumsikan oleh anak sebagai kekurangan, kebodohan, dan kesalahan oleh

dirinya. (Muhith, 2015)

Banyak orangtua yang cenderung keliru dalam mendidik dan membimbing

anak mereka sehingga secara sadar atau pun tidak sadar orangtua sering kali

melakukan kekerasan fisik maupun atau verbal pada anak. Sebagian orang tua

mengganggap hal wajar kekerasaan pada anak, karena bagian mendisiplinkan

anak dengan dikontrol dan memberikan hukuman. Namun, hukuman yang

diberikan orang tua dapat dimasukkan dalam kategori kekerasan (Nova, 2020).

Verbal abuse yang terjadi pada remaja memberikan sebuah dampak negatif

terhadap pembentukan kepribadian pada remaja. Konsep diri memiliki peran yang

cukup penting dalam penentuan sikap, perilaku, dan reaksi anak terhadap orang

lain dan begitupun dilingkungan sekitarnya. Banyak anak yang mengembangkan

konsep diri yang cenderung negatif. Disnilah harusnya peran orang tua untuk

bertanggung jawab dalam membimbing mereka, namun orang tua tidak menyadari

peran tersebut (Susanti, 2018).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada

5.463 kasus kekerasan pada anak pada periode Januari hingga Juli 2021.

Kekerasan paling banyak dilaporkan terjadi pada anak dengan usia pendidikan

SMA atau sederajat, yakni sebanyak 3.122 kasus. Data menunjukkan 5.198 kasus

terjadi di lingkup rumah tangga. Berdasarkan hasil survei Komisi Perlindungan

Anak Indonesia (KPAI) tahun 2020, memberikan gambaran bahwa anak

mengalami kekerasan fisik dari orangtua berupa ditampar sebanyak 3%, dikurung

4%, ditendang 4%, didorong 6%, dijewer 9%, dipukul 10%, dan dicubit 23%.
Selain kekerasan fisik, ada juga kekerasan psikis yang dialami anak, yakni

dimarahi 56%, anak dibandingkan dengan anak lain 34%, dibentak 23%, anak

dipelototi 13%, dihina 5%, diancam 4%, dipermalukan 4%, mengalami bullying

3% dan diusir 2%. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekerasan anak di

Indonesia tergolong tinggi.

Menurut Lestari (2016), kekerasan verbal adalah semua bentuk tindakan

ucapan yang mempunyai sifat menghina, membentak, memaki, dan menakuti

dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Kekerasan verbal sangat

berpengaruh terhadap konsep diri remaja. Remaja yang mengalami kekerasan

verbal sering kali tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban, sehingga

akan merasa bahwa semua hal-hal buruk yang dikatakan orangtua kepada mereka

itu benar, dan merekalah yang salah. Hal ini akan membuat anak tumbuh menjadi

pribadi dengan konsep diri rendah (Awal, 2022). Kekerasan verbal yang

dilakukan oleh orang tua lebih berpengaruh terhadap masalah psikososial pada

anak yaitu kesulitan-kesulitan dalam proses pencarian identitas, dari pada orang

tua yang melakukan kekerasan secara fisik (Susanti, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian oleh Awal (2022) mengenai Pengaruh kekerasan

verbal orang tua terhadap konsep diri remaja di SMA N 1 Leuwiliang

menunjukkan bahwa kekerasan verbal orangtua berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap konsep diri remaja, dengan persentase kekerasan verbal

kategori rendah sebanyak 69,9%, kekerasan verbal kategori sesang sebanyak

24,3%, dan kekerasan verbal kategori rendah sebanyak 5,8%. Sebanyak 43,7%

remaja memiliki konsep diri rendah, 53,4 % konsep diri sedang, dan 2,9% konsep
diri tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Jeon (2018) mengenai The effect of

verbal violence in clinical practice, academic stress coping, and depression on

professional self concepts among korean nursing student didapatkan bahwa

kekerasan verbal berpengaruh negatif terhadap konsep diri. Penelitian sebelumnya

oleh Era (2015) di SD N 03 Purus Padang, ditemukan sebanyak 35 siswa (71,4%)

dari 49 orang mengalami kekerasan verbal dari orang tua. Penelitian oleh Mutila

(2017) di SMP N 23 Padang didapatkan data sebanyak 77,6% remaja mengalami

tindakan kekerasan verbal dari orang tua.

Berdasarkan uraian fenomena diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai Hubungan antara pola asuh orang tua dan verbal abuse

dengan konsep diri pada remaja di SMK N 8 Padang.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan fenomena pada latar belakang masalah diatas,

maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan

antara pola asuh orang tua dan verbal abuse dengan konsep diri pada remaja

di SMK N 8 Padang?”

1. 3 Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dan verbal abuse dengan

konsep diri pada remaja di SMK N 8 Padang Tahun 2023

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi pola asuh orang tua pada siswa di

SMK N 8 Padang Tahun 2023

b. Mengetahui distribusi frekuensi verbal abuse oleh orang tua pada

siswa di SMK N 8 Padang Tahun 2023

c. Mengetahui distribusi frekuensi konsep diri pada siswa di SMK N 8

Padang Tahun 2023

d. Mengetahui arah kekuatan dan hubungan antara pola asuh orang tua

dan verbal abuse dengan konsep diri pada remaja di SMK N 8

Padang Tahun 2023

1. 4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengembangan

layanan keperawatan terutama keperawatan anak dan jiwa dalam

memberikan pendidikan dan promosi kesehatan mengenai dampak

kekerasan verbal terhadap konsep diri remaja dan pentingnya penanaman

konsep diri yang baik sebagai kerangka acuan pembentukan karakter

remaja melalui penerapan pola asuh orang tua yang benar.

2. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi peneliti tentang hubungan

antara pola asuh orang tua dan verbal abuse dengan konsep diri pada

remaja dan menambah wawasan tentang pentingnya penanaman konsep

diri yang baik pada remaja agar terhindar dari perilaku - perilaku yang
menyimpang yang juga akan merujuk pada permasalahan kesehatan

mental.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi, acuan, serta data

dasar bagi penelitian selanjutnya yang akan meneliti hal -hal yang

berhubungan dengan konsep diri pada remaja.

Anda mungkin juga menyukai