Anda di halaman 1dari 8

Identifikasi Tingkat Kecemasan Sosial (Social Anxiety)

Pada Remaja

Hanif Sanjaya Sutanto1, Emirza Rahmat Firdaus2


SMA Negeri 1 Surabaya

Abstract
This study aims to identify the level of social anxiety in adolescents
using literature review methods and google form questionnaires. The
study participants consisted of adolescents in the age range of 15-18
years who were students at the high school / vocational level and
adolescents in the age range of 19-23 years and over who were
students. Data was collected through a Google Form questionnaire
that focused on symptoms of social anxiety. The results suggest that
the Google Form questionnaire can be a useful tool in identifying and
understanding levels of social anxiety in adolescents, although keep
in mind that the results may require further validation through other
approaches. The majority of adolescents in the age range of 15-18
years are more susceptible to experiencing high social anxiety.
Keywords: Social Anxiety; Adolescent

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan
sosial pada remaja dengan menggunakan metode kajian kepustakaan
dan kuesioner google form. Partisipan penelitian terdiri dari remaja di
rentang usia 15-18 tahun yang merupakan pelajar di jenjang
SMA/SMK dan remaja di rentang usia 19-23 tahun ke atas yang
merupakan mahasiswa. Data dikumpulkan melalui kuesioner Google
Form yang berfokus pada gejala kecemasan sosial. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kuesioner google form dapat menjadi alat yang
berguna dalam mengidentifikasi dan memahami tingkat kecemasan
sosial pada remaja, meskipun perlu diingat bahwa hasilnya dapat
memerlukan validasi lebih lanjut melalui pendekatan lain. Mayoritas
remaja pada rentang usia 15-18 tahun lebih rentan mengalami
kecemasan sosial tinggi.
Kata Kunci: Kecemasan Sosial; Remaja
Pendahuluan
Kecemasan sosial pada remaja merupakan masalah kesehatan mental
yang semakin mendapat perhatian serius dalam masyarakat modern. Kondisi
ini tidak hanya dapat menghambat perkembangan sosial-emosional remaja,
tetapi juga berpotensi menjadi hambatan bagi pencapaian potensi penuh
mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam era digital dan globalisasi ini,
tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi seringkali menjadi pemicu utama
gangguan kecemasan sosial pada remaja, memerlukan upaya identifikasi dan
penanganan yang lebih baik untuk memastikan kesejahteraan psikologis
mereka.
Setiap hari, individu dihadapkan pada berbagai peristiwa dan situasi yang
mungkin memicu timbulnya rasa cemas. Kecemasan sendiri merupakan
respons alami yang dapat dialami oleh siapa saja sebagai reaksi terhadap situasi
yang dianggap berpotensi membahayakan atau mengancam. Namun, ketika
kecemasan berlangsung secara terus-menerus, hal tersebut dapat menjadi tidak
normal dan mengganggu pola pikir serta aktivitas seseorang. Terdapat
berbagai gejala yang dapat menandakan keberadaan kecemasan, dan setiap
individu mungkin mengalami gejala yang berbeda. Gejala fisik, seperti
keringat berlebih, detak jantung yang cepat, gemetaran, hilangnya nafsu
makan, serta kesulitan tidur, dapat muncul ketika seseorang mengalami
kecemasan. Di sisi lain, gejala perilaku yang terkait dengan kecemasan
meliputi perilaku menghindar, terguncang, melekat pada orang lain, dan
menjadi bergantung. Selain itu, gejala kognitif dari kecemasan mencakup
kekhawatiran terhadap berbagai hal dan perasaan takut terhadap peristiwa di
masa depan, keyakinan bahwa suatu hal yang menakutkan akan segera terjadi,
serta ketakutan terkait ketidakmampuan untuk mengatasi masalah (Oktapiani
& P, 2018).
Clark dan Wills (dalam Puspita, 2018) mengungkapkan bahwa
kecemasan sosial merupakan ketakutan akan evaluasi negatif, eksposur dan
pengindaran sosial (bersembunyi). Kecemasan sosial akan membuat individu
berpikir bahwa orang lain sedang melihat, menilai dirinya dan mengamati
secara negatif atau buruk pada dirinya maupun kegiatan yang sedang
dilakukan. Dengan kata lain kecemasan sosial merupakan ketakutan seseorang
akan dievaluasi negatif oleh orang lain yang dapat menimbulkan rasa malu,
tidak mampu, depresi dan penghinaan.
Timbulnya kecemasan sosial pada remaja terjadi ketika mereka
menganggap bahwa melakukan sesuatu yang berbeda dari orang lain dapat
menyebabkan mereka diberi label negatif oleh orang-orang di sekitar mereka.
Mereka khawatir bahwa tindakan mereka dapat dianggap sebagai hal yang
memalukan di hadapan orang lain. Masa remaja merupakan periode yang
dicirikan oleh perubahan fisik dan psikologis yang signifikan. Menurut
pandangan Rapee dan Spense (dalam Yudianfi, 2022), perubahan-perubahan
ini dalam diri remaja memiliki dampak yang berkontribusi terhadap
munculnya kecemasan sosial, termasuk pematangan sosio-kognitif, perubahan
fisik, perubahan lingkungan sekolah, dan interaksi sosial dengan teman sebaya.
Kecemasan sosial yang dialami oleh remaja cenderung berasal dari
kesadaran mereka terhadap reaksi sosial, seperti kritikan, ketidaksesuaian
dengan standar, evaluasi negatif, dan penilaian. Membangun hubungan positif
dengan teman sebaya dapat memberikan dampak positif, memungkinkan
remaja untuk mengembangkan kemampuan penalaran dan belajar untuk lebih
baik mengekspresikan diri. Remaja yang mengalami kecemasan sosial
cenderung menghindari atau melarikan diri dari situasi sosial, percaya bahwa
partisipasi dalam situasi tersebut dapat menghasilkan penilaian negatif dari
orang lain. Mereka yang mengalami kecemasan sosial juga cenderung
memiliki lingkaran pergaulan yang terbatas, menunjukkan keterampilan sosial
yang kurang baik, dan kesulitan beradaptasi di lingkungan sekolah (Anggreni,
2017).
Melalui identifikasi dini, guru BK dapat memberikan dukungan yang
lebih efektif dan tepat sasaran kepada remaja yang mungkin mengalami
kecemasan sosial. Mengetahui gejala-gejala khas yang muncul pada tahapan
perkembangan remaja dapat menjadi kunci dalam mendeteksi gangguan ini
secara lebih akurat. Dengan memahami faktor-faktor yang dapat memicu dan
memperburuk kecemasan sosial, guru BK juga dapat merancang pendekatan
preventif dan intervensi yang lebih terarah untuk membantu remaja mengatasi
tantangan ini dan membangun fondasi kesehatan mental yang kokoh.

Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, atau
penelitian yang dilakukan dengan membaca buku, majalah, dan sumber
informasi lainnya untuk mengumpulkan informasi dari berbagai publikasi baik
di perpustakaan maupun di tempat lain (Zed, 2014). Penulis menganalisis data
yang telah dikumpulkan dan melakukan analisis mendalam terhadapnya dalam
bentuk kalimat disamping membaca dan mencatat informasi atau data yang
telah dikumpulkan.
Adapun, teknik pengumpulan data yang digunakan penulis yakni dengan
menggunakan aplikasi kuesioner google form untuk mengidentifikasi variabel
kecemasan sosial yang ingin diuji. Menurut (Sugiyono, 2017) Angket atau
kuesioner ialah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan
serangkaian pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk
kemudian mereka jawab. Responden atau subjek dalam penelitian ini diambil
secara acak dari berbagai usia.

Hasil
Dari penyebaran kuesioner menggunakan google form yang telah
dilakukan, didapati hasil bahwa sebagian besar responden masih berusia 15-18
tahun dan 14 dari 22 responden merupakan seorang pelajar di jenjang SMA,
yang jika menurut penelitian oleh (Pilkionienė et al., 2021) dimana pada
rentang umur 15-19 tahun adalah masa-masa remaja mengalami tingkat
kecemasan sosial tinggi;
Adapun ringkasan jawaban responden berdasarkan total 24 pernyataan
dalam instrumen kecemasan sosial sebagai berikut;

Pembahasan
Berdasarkan hasil identifikasi tingkat kecemasan sosial (social anxiety)
pada remaja diatas, diperoleh bahwa remaja di rentang usia 15-18 tahun yang
merupakan pelajar di jenjang SMA/SMK memiliki tingkat kecemasan sosial
lebih tinggi dibandingkan remaja di rentang usia 19-23 tahun keatas yang
merupakan mahasiswa. Didapati mayoritas jawaban SS (Sangat Setuju) dan S
(Setuju) pada pernyataan yang merupakan symptom/gejala kecemasan sosial
tinggi cenderung dari responden di rentang usia 15-18 tahun.
Pernyataan yang merupakan symptom atau gejala-gejala dari kecemasan
sosial tersebut antara lain seperti; merasa takut jika harus presentasi di depan
kelas, merasa tidak percaya diri jika sedang berpendapat atau berinteraksi
dengan orang lain, merasa takut akan melakukan hal yang memalukan, merasa
takut akan melakukan kesalahan, dan tidak berani jika harus berinteraksi
dengan banyak orang di tempat umum.
Menurut (Putri, 2017) Masa remaja adalah fase kehidupan ketika ada
banyak perubahan dalam penampilan dan emosi penampilan. Mereka juga
dipisahkan dari keluarga mereka sebagai sumber perlindungan dan
kenyamanan. Remaja sebenarnya lebih sensitif terhadap pengalaman stres
daripada remaja yang lebih muda. Hal ini karena mereka sudah memiliki
kemampuan berpikir dewasa dan mampu bernalar serta dapat memahami
implikasi jangka panjang dari konflik dan kekerasan yang dialami. Remaja,
tidak seperti anak-anak yang notabene tidak sering mengalami stres melainkan
berfantasi atau bermain. Reaksi emosi yang dapat diamati ketika remaja
mengalami kecemasan yaitu:
a. Remaja yang merusak diri sendiri akan melakukan perilaku merusak diri
sendiri untuk mengatasi kemarahan dan kesedihan mereka. Menyusul
kejadian traumatis, banyak remaja terlibat dalam perilaku berisiko tinggi
seperti memberontak terhadap orang dewasa dalam posisi otoritas,
menyalahgunakan narkoba, bergabung dengan pencuri, dan menjarah.
Remaja memahami sejauh mana kekerasan mempengaruhi kehidupan
mereka. Mereka menemukan bahwa mereka tidak kebal terhadapnya.
Setelah kejadian traumatis, individu mungkin mundur, waspada terhadap
orang lain, dan percaya bahwa hal-hal buruk akan terjadi lagi pada mereka.
b. Memiliki masalah fisik yang tidak dapat dijelaskan, kecemasan, dan alasan
keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan juga sangat umum.
Selain itu, (Ingman, 1999) mengemukakan simptom atau gejala
kecemasan sosial dapat di ekspresikan dalam beberapa cara yaitu:
a. Simtom Fisik
1. Keringat yang berlebihan
2. Detak jantung yang berdebar-debar
3. Wajah memerah
4. Bergetar
5. Sakit perut
6. Mati rasa
7. Pusing
b. Simtom Tingkah Laku
1. Tidak berani/sedikit melakukan kontak mata
2. Penundaan
3. Cara bicara tidak lancar
4. Gelisah
5. Menolak interaksi sosial
c. Simtom Kognitif
1. Kesadaran diri yang tinggi
2. Merasa dirinya dilihat dan dievaluasi oleh orang lain
3. Kewaspadaan yang berlebihan
4. Berpikir merendahkan diri sendiri
Dari penjelasan simptom-simptom kecemasan sosial diatas, dapat
simpulkan bahwa kecemasan sosial memiliki tiga simptom atau gejala, yaitu
simptom fisik, perilaku, dan kognitif yang sesuai dengan pernyataan-
pernyataan dalam instrumen kecemasan sosial yang telah disebar dengan
menunjukkan ketakutan, khawatir, dan tidak percaya diri.
Kesimpulan
Dalam rangka mengidentifikasi tingkat kecemasan sosial pada remaja,
metode kajian kepustakaan dan penggunaan kuesioner Google Form telah
memberikan kontribusi yang berharga. Hasil identifikasi menunjukkan
perbedaan signifikan dalam tingkat kecemasan sosial antara remaja di rentang
usia 15-18 tahun, yang merupakan pelajar di SMA/SMK, dan remaja di rentang
usia 19-23 tahun ke atas, yang merupakan mahasiswa. Temuan ini memberikan
wawasan mendalam bahwa masa remaja, terutama di lingkungan pendidikan
menengah atas, merupakan periode yang kritis yang rentan terhadap
kecemasan sosial.
Dalam menganalisis jawaban kuesioner, mayoritas respon SS (Sangat
Setuju) dan S (Setuju) pada pernyataan yang mencerminkan gejala kecemasan
sosial tinggi mengindikasikan bahwa remaja di rentang usia 15-18 tahun
cenderung lebih rentan terhadap kecemasan sosial. Meskipun hasil kuesioner
Google Form tidak sepenuhnya dapat diandalkan atau valid, metodenya
memberikan gambaran umum dan dapat dijadikan referensi awal. Hal ini
menjadi penting terutama bagi para guru, khususnya guru bimbingan dan
konseling, untuk memberikan perhatian khusus dan intervensi yang sesuai
dengan tingkat kecemasan sosial yang diidentifikasi pada setiap siswa. Dengan
demikian, metode ini dapat menjadi langkah awal yang efektif untuk
memahami dan mengatasi tantangan kesehatan mental pada remaja.

Daftar Pustaka
Anggreni, N. W. Y. (2017). Pengaruh Stigma Terhadap Self Esteem Pada
Remaja Perempuan Yang Mengikuti Ekstrakurikuler Tari Bali di SMA 2
Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 4(1).
Fuadi, M. A. (2011). Dampak Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi
Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam, 8(2), 191–208.
Ingman, A. K. (1999). An Examination of Social Anxiety, Social Skills, Social
Adjustment, and Self Construal in Chinese and American Students at an
American University. Virginia Tech.
Oktapiani, N., & P, A. P. (2018). Gangguan Kecemasan Sosial dengan
Menggunakan Pendekatan Rasional Emotif Terapi. Fokus, 1(6), 227–232.
Pilkionienė, I., Širvinskienė, G., Žemaitienė, N., & Jonynienė, J. (2021). Social
Anxiety in 15-19 Year Adolescents in Association with Their Subjective
Evaluation of Mental and Physical Health. Children (Basel), 8(9), 737.
https://doi.org/10.3390/children8090737
Puspita, N. A. (2018). Hubungan Antara Regulasi Diri Dengan Kecemasan
Menghadapi Dunia Kerja Pada Taruna Akademi Kepolisian Semarang.
Universitas Diponegoro.
Putri, M. E. (2017). Konseling Krisis Dengan Pendekatan Konseling Realitas
Untuk Menurunkan Kecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual.
INTERNATIONAL CONFERENCE: 1 St ASEAN School Counselor
Conference on Innovation and Creativity in Counseling.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
ALFABETA.
Yudianfi, Z. N. (2022). Kecemasan Sosial Pada Remaja Di Desa Selur
Ngrayun Ponorogo. Rosyada: Islamic Guidance and Counseling, 3(1),
12–19.
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/rosyada/article/download/42
11/2172
Zed, M. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan (3rd ed.). Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai